DI BALIK JENDELA - Sekolah -

2
0
Deskripsi

Ini sebuah kisah, tentang seorang pria manis bernama Arka. Dia selalu menatapku dengan berbagai macam tatapan. Tajam, sendu, senang, haru, dan tatapan lain yang kadang membuatku curiga. Arka, anak remaja dengan berbagai macam karakter serta kejutan di dalam hatinya.

Arka, seorang pria tanpa cerita. Selalu berada di dalam kandang bak burung merpati tanpa pasangan yang terjebak di sebuah kandang kayu usang. Dia hanya bisa tertawa ketika menyibakkan tirai pembatas dan bermain bersama hewan yang menumpang...

Tuk tuk tuk

Pagi hariku diawali dengan lemparan-lemparan batu dari jendela kamarku. Aku mengambil bantal untuk menutup telinga karena berisik. Aku masih ingin tidur! Namun, semakin lama lemparan batu itu semakin kencang. Takut kena omel Mama kalau melihat jendelaku pecah karena anak itu, akhirnya aku bangun dan menegur si pelaku.

“Berisik, tahu!” teriakku kencang.

Disana, pria aneh itu membawa sebuah batu kerikil di tangan kanannya, serta tumpukan batu di tangan kirinya. Dia terus menatapku dengan tatapan tajam, lalu menunduk. Matanya langsung tidak fokus, memandang ke segala arah. Namun, tangan kanannya kembali bersiap untuk melempar batu ke arah jendelaku. Segera kututup jendelaku sebelum kepalaku benjol karena anak itu. Aku tidak peduli dan karena terlanjur bangun, aku pergi ke kamar mandi untuk bersiap ke sekolah. Aku malas menghadapi orang sombong seperti anak itu serta mencari masalah di hari pertama dia pindah. 

30 menit berlalu, kini aku sudah di meja makan bersama Mama dan Papa. Kami terbiasa makan bersama sejak ku kecil. Terdapat beberapa lauk seperti ayam, sayur sop, serta sambal bawang buatan Mama.

“Sar, nanti pulang sekolah, kamu temenin Mama ketemu tetangga baru, ya?” pinta Mama.

“Males, ah. Aku udah bilang dia sombong,” jawabku malas.

“Maklum, dia laki-laki. Mungkin malu lihat kamu. Ajak kenalan, dong, biar dia ada temen. Kayaknya seumuranmu, deh, anaknya,” lanjut Mama,

“Ma, mau cowok, mau cewek. Kalau sudah sombong bakal susah.”

“Ikutin kata Mama kamu. Biar lega hatinya,” sela Papa. Aku mendengus kesal dan menganggukkan kepala.

Kalimat Papa adalah mutlak.

“Nanti sore kita beli makanan dulu buat mereka, ya?”

“Iya, Mama.”

“Kudengar mereka pengusaha UMKM di daerah Bandara,” cerita Papa tiba-tiba. Mama menaruh beberapa buah untuk kami makan.

“Kalau tidak salah makanan, gitu. Tapi Papa kurang tahu pasti.”

“Semalam Bapak-Bapak ronda ngomongin anaknya. Katanya dia sakit atau gimana, gitu.”

“Mulut Bapak-Bapak zaman sekarang lebih julid daripada Ibu-Ibu,” ucapku tanpa sengaja. Papa hanya melirikku sebentar lalu melanjutkan perbincangan itu.

“Waktu ambil jumputan ronda, anaknya suka teriak-teriak sendiri gitu. Papa juga denger suara barang jatuh ataupun sabetan sabuk.”

“Anaknya nakal, po, ya? Kok, begitu?” balas Mama.

“Nggak tahu. Tapi kayaknya iya, Ma. Masa sampe rame-rame begitu. Papa harus bilang Pak RT biar bisa ditangani langsung.”

Dari cerita Papa dan Mama, aku menyimpulkan bahwa anak ini mengalami KDRT. Sabetan dan pukulan sudah cukup menguatkan pengamatanku ini.

“Pa, udah selesai belum julidnya? Makananku sampai habis, nih.”

“Halah, sebentar, to. Papa belum selesai ini.”

“PAPA NANTI AKU TELAT!!”

***

Setelah menyuruh Papa mempercepat sarapan, Papa mengantarku ke sekolah. Kenapa? Kaget, ya? Aku tidak keberatan diantar orang tua disaat semua teman-temanku menaiki kendaraan sendiri. Kenapa? Agar aku jelas kemana aku pergi. Toh, Mama dan Papa tidak melarangku pergi kemanapun dan dengan siapapun. Aku juga tidak pernah aneh-aneh. Tempat seperti club ataupun hotel tidak pernah kudatangi. Aku juga pulang dengan taksi, bis, atau memesan ojek online

Aku anak baik-baik, teman.

Plus, aku belum bisa naik motor. Traumaku ketika kecil membuatku masih takut untuk mengendarai motor ataupun mobil sendiri. Aku pernah tertabrak mobil ketika kecil, jadi... bisa kalian simpulkan sendiri.

Kini, aku duduk di kelas XI. Sebentar lagi aku kelas XII dan sibuk dengan ujian. Maka dari itu, kupuaskan mainku sampai semester dua.

“Sarah!” Panggil seseorang dari jauh. Aku berlari setelah berpamitan dengan Papa.

“Emily! Tumben berangkat awal, biasanya telat sama Baron,” sindirku.

“Sstt, Baron lagi diare,” cerita Emily sambil cekikikan.

Aku menutup mulutku menahan tawa. Ternyata, anak seperti Baron bisa sakit juga. Padahal dia menerapkan pola hidup sehat sejak dini. Aku mengucapkan terima kasih atas seblak level 10 yang kubeli kemarin bersama Emily dan Baron yang membuat Baron kepedasan hingga menghabiskan satu liter air mineral. Kami hanya tertawa melihat wajahnya yang memerah hingga keluar ingus dari hidungnya. Emily dan aku terus tertawa ketika mengingat itu selama perjalanan kami ke kelas.

Ah, akan kukenalkan mereka berdua. Emily dan Baron. Mereka adalah temanku sejak SD. Awalnya kami bertetangga, kemudian Baron pindah ke kota lain, Emily juga pindah rumah karena kontraknya habis. Untungnya, Baron kembali ke kota kami dan melanjutkan sekolah menengahnya disini, tapi rumahnya tidak bersebelahan denganku. Walaupun begitu, kami tetap berkomunikasi dan bermain bersama, hingga sekarang. Bahkan kami akan memilih Universitas yang sama agar kami selalu bersama. Seperti anak kecil, memang. Tapi ini sudah janji kami bertiga.

Emily dan Baron berpacaran, baru-baru ini. Sebenarnya, Emily adalah pelarian Baron setelah kutolak. Aku tidak enak dengan temanku ini. Karena aku dan Baron berjanji untuk diam, maka hubungan mereka cukup mesra. 

Kenapa Baron kutolak? Karena aku tidak ingin persahabatan kami rusak karena cinta. Kedua, aku malas berpacaran. Menurutku pacaran adalah hal serius untuk menuju pernikahan, jadi itu bukan cinta monyet ataupun lainnya. Ketiga, aku selalu mengalami kegagalan di dalam percintaan. Selingkuh, hilang tanpa kabar, pernikahan, bahkan kekerasan sudah ku rasakan selama ini. Aku terlalu lelah dengan cinta hingga rasa itu sudah menghilang sejak lama.

“Sar, ku dengar saudara Baron pindah ke sebelah rumahmu,” ujar Emily. Aku mengangguk mengiyakan.

“Cowok, ya? Beneran? Ganteng, nggak?”

“Enggak. B aja. Gantengan juga Sehun.”

“Sehun terus. Sehun susah digapai, Sarah. Bangun. Jangan tidur terus.”

Aku hanya mendengus kesal lalu duduk di kursiku. Menikmati angin lembut dengan kicauan burung membuatku merasa tenang. Aku merasa duduk di tengah awan-awan sambil meminum air dari mereka. Para burung mengicaukan nyanyian lembut, angin ikut menari bersamaku.

Khayalan itu menghilang setelah guru masuk dengan tumpukan kertas.

“Selamat pagi, mari awali pagi ini dengan ulangan. Masukkan buku kalian.”

Sialan, aku belum belajar!

***

Siang hari menyapa setelah bel pulang sekolah berdering. Aku langsung pulang karena kepalaku sakit setelah ditimpa oleh ulangan-ulangan mendadak. Berjalan menuju halte bis, aku melihat beberapa siswa lain sedang menunggu juga. Mereka saling berpegangan tangan, bahkan pelukan.

Memalukan. Pelukan di tempat umum membuat jiwa jomblo banyak orang bergetar kesal.

Kulihat seseorang yang kukenal sedang mencium kening seorang wanita. Dia adalah orang yang juga melakukan hal yang sama padaku. Dia orang yang membuatku trauma akan cinta. Dia orang yang membuatku ingin mati dari kehidupan ini.

“Sarah?” dengan santai, dia memanggil namaku. Aku melengos pergi tidak melihatnya. Lebih baik aku berjalan kaki saja daripada melihat orang gila itu disana.

“Sarah.” Tanganku digenggam olehnya. Aku mencoba tidak memalingkan muka.

“Aku bisa jelaskan semua.”

Menyerah, aku membalikkan badanku untuk bertemu dengannya. Adit, orang gila itu sudah berdiri di depanku dengan wajah memelas.

“Cukup, Adit. Cukup semua ini. Aku lelah denganmu.” Kulepas genggaman tangan itu.

“Urusi saja istrimu dan berbahagialah dengannya.”

Adit, dia adalah salah satu dari sekian banyak pria yang mendekatiku hanya untuk kepuasan semata. Uang, waktu, semua sudah kuberikan padanya. Namun dengan santainya dia pergi dengan perempuan lain sampai menghamilinya?! Bahkan aku selalu menolak jika Adit meminta lebih. 

“Sudah, jangan dekati Adit lagi. Dia memakai mobil kita hanya untuk berkencan dengan wanita murahan? Najis.” Bahkan Papa berkata begitu ketika kuceritakan semua kebusukan Adit.

Jika mengingat itu, rasanya aku ingin membunuh semua pria bangsat bernama Adit di bumi ini.

Adit hanya diam melihatku pergi, sedangkan aku berusaha mati-matian untuk menahan air mataku agar tidak jatuh di depannya. Sungguh memalukan jika aku menangis lagi di depannya.

Ingat, Sarah. Dia sudah mencampakkanmu!

“Sarah!” Emily memanggilku kencang, lalu berlari menyusulku. 

“Akh!” bisa kudengar suara Adit merintih kesakitan.

“Hei, aku sudah membalas dendammu. Bijinya kutendang,” bisik Emily sambil kecicikan. Aku tersenyum senang lalu memeluk sahabatku ini.

***

Halo readers!

perkenalkan namaku Abigail, si penulis baru!

ini story pertamaku di Karya Karsa, jadi mohon dukungannya dengan memberikan like dan komen, ya.

terima kasih! selamat membaca dan menikmati karyaku!

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya DI BALIK JENDELA - Perkenalan -
2
0
Ini sebuah kisah, tentang seorang pria manis bernama Arka. Dia selalu menatapku dengan berbagai macam tatapan. Tajam, sendu, senang, haru, dan tatapan lain yang kadang membuatku curiga. Arka, anak remaja dengan berbagai macam karakter serta kejutan di dalam hatinya.Arka, seorang pria tanpa cerita. Selalu berada di dalam kandang bak burung merpati tanpa pasangan yang terjebak di sebuah kandang kayu usang. Dia hanya bisa tertawa ketika menyibakkan tirai pembatas dan bermain bersama hewan yang menumpang lewat di sekitar.Aku, yang penasaran dengan Arka. Si tukang galau karena selalu tertolak oleh semua laki-laki. Namaku Sarah, dia Arka. Ini kisah kami jika bertemu.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan