DI BALIK JENDELA - Tetangga Baru -

2
0
Deskripsi

Ini sebuah kisah, tentang seorang pria manis bernama Arka. Dia selalu menatapku dengan berbagai macam tatapan. Tajam, sendu, senang, haru, dan tatapan lain yang kadang membuatku curiga. Arka, anak remaja dengan berbagai macam karakter serta kejutan di dalam hatinya.

Arka, seorang pria tanpa cerita. Selalu berada di dalam kandang bak burung merpati tanpa pasangan yang terjebak di sebuah kandang kayu usang. Dia hanya bisa tertawa ketika menyibakkan tirai pembatas dan bermain bersama hewan yang menumpang...

Namanya Arka. Dalam bahasa Sanskerta, artinya matahari. Seperti namanya, dia ingin bersinar seperti matahari dan dihargai oleh orang sekitar. Tapi, cahaya matahari yang ditawarkan Arka ditutupi oleh orang-orang di sekitar, bahkan terdekat. Arka tidak bisa bersinar baik di pagi, siang, ataupun malam hari. Arka selalu bersinar redup, bahkan gelap. Matanya selalu menangis. Arka adalah laki-laki kuat, sebenarnya. Entah kenapa, sinar Arka diambil. Dia tidak bisa bersinar lagi.

Ini kisahku,

Dan Arka.

Si pria unik tetangga sebelahku.

***

Cerita ini berawal dari kepindahan Arka dan keluarganya di sebelah rumahku. Mama sudah memberitahuku akan ada tetangga baru hari ini, namun aku tidak tahu pasti siapa nama dan kapan mereka datang. Aku baru tahu di sore hari, ketika sebuah truk besar berhenti di sebelah rumahku, mengeluarkan beberapa perabotan rumah tangga, dan sebuah mobil berwarna putih berhenti tepat di belakang truk itu. Sepasang suami-istri dan seorang anak laki-laki sepantaran denganku keluar dari mobil itu sambil membawa beberapa dus berukuran besar.

Aku ingin datang dan menyambut mereka, terutama anak laki-laki itu. Jadi aku melangkahkan kakiku keluar dari pagar untuk mengajaknya berkenalan, tapi anak itu sudah memberikan tatapan tajam padaku. Dia terus melihatku sambil membawa kotak besar. Matanya menatapku seakan berkata.

“Ayo gelut.”

Aku berdecih sebal. Kesan pertama anak itu sudah jelek di mataku. Tiba-tiba, Seorang wanita yang sepertinya Ibunya datang dan memukul kepala anak itu. Aku sedikit tertawa melihatnya merintih kesakitan, namun dia kembali menatapku tajam. 

“Maaf, ya,” seru wanita itu sambil membungkukkan badan, disusul anak itu –sebenarnya dia dipaksa membungkuk oleh Ibunya-.

Aku mengangguk. Setelah adegan itu, anak itu masuk ke dalam tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu. Sang Ibu melambaikan tangan padaku, kubalas dengan anggukan lagi. mereka masuk ke dalam bersamaan dengan beberapa lemari besi serta oven.

“Mereka berjualan roti? Oven, lemari, eh. Ada panci dan wajan besar. Hhmm, mereka pengusaha atau—“

“Ngapain, Sar? Ayo, masuk,” perintah Papa padaku.

Sebelum masuk, aku kembali melihat anak itu keluar dengan sebotol air di tangan kanannya. Menengok ke kanan dan kiri seperti mencari sesuatu, ataupun seseorang. Ketika dia melihatku, aku kembali mendapat tatapan sadis. Aku melenggang masuk ke dalam rumah tanpa berniat kembali kesana. Namun, cara jalannya seperti aneh. Dia menjijitkan kaki, jari tangannya bergerak sendiri, dan kepalanya terus menunduk

Anak aneh.

“Sar, liatin tetangga baru? Udah ketemu, belum?” tanya Papa padaku setelah kami masuk. Kami duduk di sofa ruang tamu. Papa sibuk dengan tab-nya, aku sibuk dengan wajah anak laki-laki itu.

“Belum, Pa. Males. Baru mau disapa udah songong,” jawabku kesal. Ayah mengangguk dan kembali fokus ke tabletnya.

Aku melangkahkan kakiku ke kamar karena Papa masih sibuk dengan tab itu. Mengintip dari jendela kamar untuk melihat bagaimana pria itu menyusun barang-barangnya. Menurutku, barang yang dia bawa sangat banyak. Kulihat beberapa kali dia keluar masuk kamar dengan kotak-kotak besar.

“Sepertinya dia suka mengoleksi sesuatu,” gumamku. “Banyak sekali kotak dan peralatan di kamarnya, gila.”

Anak itu mengeluarkan sebuah buku serta beberapa bola yang berisikan sebuah benda mirip salju. Kenapa aku bisa tahu? Karena anak itu selalu membolak-balik sebuah bola kaca dan beberapa benda kecil berwarna putih di dalamnya jatuh kebawah. ketika aku mencari, nama benda itu adalah snow ball. Mirip dengan bola salju. Dia punya banyak sekali benda seperti itu dengan berbagai macam bentuk. Rumah, manusia salju, bahkan ada bentuk tanaman kaktus mini disitu. 

Kardus kedua yang dia buka adalah tanaman kecil. Kaktus, bunga, dan tanaman kecil lainnya dia keluarkan, dia susun rapi di dekat jendela. Anak itu terus tersenyum ketika menyusun semua koleksinya. Semua tampak rapi dan teratur. Aku yang diam-diam memperhatikan anak itu tersenyum kecil.

Dia begitu polos dengan wajah kotak serta bibir runcing berbentuk seperti bibir kucing. Tubuhnya begitu kurus, seperti tidak diberi makan, namun tetap bagus dengan beberapa otot di tangannya. Dia begitu mungil, mungkin aku lebih tinggi darinya sedikit.

Setelah selesai mengatur koleksinya, anak itu tiduran di tempat tidurnya yang berwarna biru. Tidak ada pergerakan lagi darinya, mungkin dia tidur. Namun pikiran tidurku itu menghilang setelah dia sibuk memainkan tangannya, seperti membuat bahasa isyarat. Aku tidak bisa berbahasa isyarat, jadi aku tidak tahu dia berbicara apa.

Apakah dia tuna wicara dan tuna rungu? Biasanya orang yang memakai bahasa isyarat begitu, bukan?

“Puas liatin anak sebelah?”

“Astaga, Mama! Ngagetin, tahu!” gerutuku. Mama terkekeh kecil lalu mendatangiku.

“Mau kenalan sama anak itu? Besok sore Mama mau kesana.”

“Enggak, Ma. Aku di rumah aja.”

“Lho, nggak papa. Dia baik, kok. Dia saudaranya Baron, temanmu itu. Dia pindah kesini karena terganggu sama tetangga sebelahnya di rumah lama. Kenalan aja, siapa tahu suka, hahaha...”

Decihan kesal kembali keluar dari mulutku. Mama selalu begini.

“Anaknya sombong.”

“Enggak, ya. Anaknya baik. Kayak Wondeuk yang sering Mama tonton di TV itu.”

“BEDA, MA!” Aku memperlihatkan ekspresi pura-pura menangis ketika Mama kembali membanding-bandingkan laki-laki dengan anggota EXO, Do Kyungsoo.

“Nama aslinya D.O. Do Kyungsoo, bukan Wondeuk. Lagian, ganteng juga Sehun.”

“Halah, siapa lagi itu? Mending Wondeuk. Atau siapa yang dari Cina itu?”

“Lay?” tebakku. Mama menggeleng.

“Yang namanya sering diplesetin jadi makanan itu, lho. Cendol?”

“CHEN! CHEN, MA! CHEN! Lagian Mama kenapa bisa kenal sama Chen?” tanyaku. 

“Soalnya dia ganteng, Sar. Mama pernah liat di TV. Kalau nggak salah acara gosip itu. Dia pake baju hitam sama putih, kayak anak magang.”

“MAMA!!!” 

Mama tertawa lepas karena wajah kesalku. 

***

Senja berlalu hingga sang bulan mengintip dari awan untuk datang menerangi bumi. Begitupun aku. Aku masih menatap pria di seberang rumah yang sedang mengganti tirai putih menjadi transparan. Semua dia lakukan sendiri tanpa bantuan orang tuanya. Sesekali ibunya masuk ke dalam untuk memberikan makanan untuknya.

“Hebat, dia bisa lakuin sendiri,” pujiku.

Setelah pasang memasang tirai selesai, kembali dia menata barang-barang yang dibawa. Seperti tidak ada habisnya dia menata barang-barang itu. Dia menyalakan lagu melalui speaker, mendengarkan lagu-lagu terkenal di kalangan anak muda. Sesekali dia ikut bernyanyi mengikuti irama.

“Lucunya.”

“Hayo, ngapain?” goda Mama lagi sambil memberikan es krim rasa cokelat padaku.

“Hehe.. itu, Ma. Aku masih liatin cowok tetangga,” tunjukku ke arah seberang.

 “Dia sibuk banget dari sore. Masa bersihin rumah sampe malem? Apa nggak capek?” tanyaku bertubi-tubi.

Mama ikut memperhatikan pria itu. Tampaknya Mama juga bingung dengan tingkah anak itu.

“Nak! Kamu yang disana! Halo!”

“Ish, Mama! Jangan dipanggil!” bisikku malu. Mama terkekeh lalu melambaikan tangan ke arah anak itu. Anak itu membungkuk sopan lalu kembali melanjutkan acara sapu menyapu yang tertunda.

“Anaknya sopan, lho. Kamu nggak mau kenalan?”

“Lagi apa?!” teriak Mama lagi. Aku memukul lengan Mama pelan.

Ya malu, lah!

“Kenapa aku bisa punya Mama se-barbar ini?” keluhku.

Anak itu hanya diam sambil memegang sapu, lalu keluar dari kamarnya. Mama sedikit kecewa karena pertanyannnya tidak dijawab.

“Yah, kabur, Sar. Padahal mau Mama kenalin kamu.”

“Mama, sih! Makanya nggak usah SKSD sama orang, apalagi anak muda kayak dia. Dibilangin anaknya sombong juga. Lagian ngapain mau ngenalin aku ke dia? Ogah, ah.”

“Tapi suka, kan?” 

“MAMA!”

***

Dalam hatiku, aku bertanya-tanya.

Siapa dia? 

Kenapa dia pindah?

Apakah dia memiliki pacar? Atau istri, mungkin?

***

Halo readers!

perkenalkan namaku Abigail, si penulis baru!

ini story pertamaku di Karya Karsa, jadi mohon dukungannya dengan memberikan like dan komen, ya.

terima kasih! selamat membaca dan menikmati karyaku!

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya DI BALIK JENDELA - Sekolah -
2
0
Ini sebuah kisah, tentang seorang pria manis bernama Arka. Dia selalu menatapku dengan berbagai macam tatapan. Tajam, sendu, senang, haru, dan tatapan lain yang kadang membuatku curiga. Arka, anak remaja dengan berbagai macam karakter serta kejutan di dalam hatinya.Arka, seorang pria tanpa cerita. Selalu berada di dalam kandang bak burung merpati tanpa pasangan yang terjebak di sebuah kandang kayu usang. Dia hanya bisa tertawa ketika menyibakkan tirai pembatas dan bermain bersama hewan yang menumpang lewat di sekitar.Aku, yang penasaran dengan Arka. Si tukang galau karena selalu tertolak oleh semua laki-laki. Namaku Sarah, dia Arka. Ini kisah kami jika bertemu.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan