
Claire Davina Salim definisi dari keegoisan itu sendiri. Ia tidak ingin dimiliki oleh siapapun. Menikah tidak pernah menjadi tujuah hidupnya,
Sampai pria bernama Arsaka Alexander Winata melamarnya.
Chapter 9
Go Public
“Wah, Saka si paling nggak mau masuk berita gosip murahan, justru sekarang berhasil nenggalamin skandal dating gue.” Keelan tersenyum miring, melanjutkan sarkasmenya. “Thanks lho, Bro. Gue ngerasa terharu lo sepeduli ini sama gue.”
Saka tidak menanggapi Keelan. Cowok itu melambatkan laju treadmill-nya. Meraih botol air minum lalu turun tanpa mempedulikan Keelan yang belum puas mengejeknya.
“Arsaka Alexander Winata pengusaha sukses sekaligus pewaris dari Winata Group. Dikabarkan akan menikah dengan Claire Davina Salim, aktris nomor satu di Indonesia sekaligus cucu dari Rudi Salim. What a surprise. Pantas lo dan Claire masih jadi hot topic sampai sekarang.” Keelan meng-scroll ponselnya, melihat foto-foto Saka dan Claire yang tersebar bebas di internet. “Kalian kelihatan mesra di sini. Kayak couple beneran.”
Saka menghela napas. Menatap Keelan lelah. “What do you want, Ke? Lo nggak datang ke sini cuma buat ngomong hal-hal nggak penting itu, kan?”
Keelan malah menganggukkan kepalanya. Tersenyum manis. “Gue ke sini memang mau ngomong hal-hal nggak penting itu.”
Saka memutar bola matanya. Menenggak lagi air di dalam botol air lalu melemparkan pandangan pada pemandangan gedung pencakar langit di pagi hari ini. Mood Saka akan sangat baik jika saja Keelan tidak tiba-tiba bertandang ke apartemennya tanpa diundang dengan alasan ingin memberikan selamat padanya.
“Come on, bro. Seharusnya sekarang gue ngambek lo nggak pernah cerita apa-apa sama gue.” Keelan menunduk, memasang muka melas yang dibuat-buat. “Gue pikir selama ini kita dekat.”
“Tanpa gue cerita gue yakin lo udah tahu,” sahut Saka. Melirik sinis Keelan yang duduk di static bicyle tanpa menggunakannya. Tentu saja, Keelan tidak datang ke apartemennya untuk menumpang nge-gym.
Keelan terkekeh. “Berarti sekarang lo udah ngaku kalau apa yang gue lihat sejak dulu emang benar. Lo … sama Claire … punya hubungan?”
Saka tidak menjawab. Malah memutar badannya keluar dari ruang gym. Keelan sigap menyusul di belakang. “By the way, gue harus ucapin selamat dong sama lo. Katanya kalian mau tunangan ya. Kapan?”
“Dua bulan lagi.”
“Terus nikahnya?”
Pertanyaan Keelan membikin Saka membuang napas berat. Saka maunya secepatnya. Tapi Claire mengatakan tahun ini schedule-nya sangat padat. Mereka masih berdebat soal ini karena baik Saka maupun Claire bersikeras dengan keinginan masing-masing.
Sudah satu bulan berlalu sejak Claire dan Saka go public. Meskipun begitu, berita soal mereka yang sedang menjalani hubungan serius dan sebentar lagi aku bertunangan masih hangat dibicarakan. Apalagi sudah dua kali Saka dan Claire tampil bersama. Pertama di pernikahan Rama dan Tere. Kedua saat Claire menemani Saka datang ke salah satu pesta kolega bisnisnya. Itupun mereka kesulitan mencari waktu yang cocok. Kesibukan masing-masing membuat keduanya sulit bertemu. Dan sedikit menyebalkan sebab Saka jadi tidak memiliki kesempatan untuk menyelesaikan masalah mereka.
“Masih dirahasiain nih?” tak mendapat jawaban dari Saka bukan masalah besar buat Keelan. Kunci dari awet berteman dengan Saka hanya satu. Jangan baper. “Yaudah, nggak apa-apa. Ntar gue tanya Claire aja. Besok kan gue ada syuting bareng dia.” Keelan menarik stool, duduk di sana lalu menarik kopi kalengan ketika Saka menatapnya.
Pasalnya sudah dua minggu mereka tidak bertemu karena Claire sedang syuting di Yogyakarta. Dan setahu Saka, Claire baru pulang dua hari lagi. “Syuting apa?”
Keelan menyipit. “Masa lo nggak tahu schedule calon tunangan lo sendiri sih? Wah, parah, kalah lo sama Baskara. Doi aja nyamperin Claire ke Jogja kemarin.”
“What do you mean?”
“Masih kurang jelas omongan gue?” Keelan itu suka sekali mengolok Saka. Apalagi kalau sudah ada bahan seperti ini. “Baskara nyusulin Claire ke Jogja. Gue lihat di story IG Bang Johan, sutradara yang kerja bareng Claire. Mereka lagi after party gitu di kelab. Gue ngeliat ada Baskara disana. Duduk di sebelah Claire.”
Saka membisu. Tidak tahu soal itu karena sesuai keinginan Claire, Saka tidak lagi menyuruh orang mengikutinya. Begitupun dengan Papanya. Jelas mereka berdua bukan tipe pasangan yang akan bertelpon setiap jam. Selama Saka tahu kemana Claire pergi, begitu pun sebaliknya. Saka merasa itu sudah cukup.
“Eh, nggak usah overthinking gitu dong. Baskara memang suka nyamperin Claire ke lokasi syuting kok. Waktu gue satu film sama Claire juga gitu.” Keelan tersenyum miring. Menepuk pundak Saka. “Mereka kan rekan kerja. Apalagi Claire artisnya Baskara. Jadi harus di-support.”
Saka melirik Keelan sinis. Lantas menepis tangan Keelan dari pundaknya dan berlalu masuk ke dalam kamarnya. Meninggalkan Keelan yang sudah tertawa keras sambil memegangi perutnya. “Sumpah. Nggak sia-sia gue datang ke sini.” Gelaknya. “Kocak banget si Saka.”
***
“Iya, Bas. Ini aku langsung pulang kok.”
“Beneran langsung pulang? Nggak mampir kemana-mana dulu?”
Claire terkekeh. “Curigaan banget sih. Ini aku lagi nunggu Bagas ambil mobil. Atau kalau nggak percaya suruh Hani ikutin aku sampai masuk apart deh.”
Baskara mengela napas di ujung sana. “No, I believe in you.”
“Kalau percaya suaranya yang semangat dong,” goda Claire.
Suara tawa Baskara membuat Claire tersenyum. “Kabarin kalau udah sampai apart ya.”
“Iya,” Claire mengangguk. Bersamaan dengan mobilnya yang sudah tiba. “Bagas udah datang. Aku tutup ya.”
Baskara mengiakan. Mengakhiri panggilannya dengan Claire. Begitu memasuki mobil, Claire menghela napas panjang. Staminanya akhir-akhir ini gampang loyo. Mungkin karena Claire sudah jarang nge-gym dan pilates. Schedule-nya padat sekali karena Claire sudah mulai syuting untuk film terbarunya.
Kembali dari Jogja, Claire mendapatkan libur selama dua hari sebelum nanti lanjut syuting. Tapi dua hari itu harus dia isi untuk tampil di talk show TV serta podcast yang awalnya tujuannya adalah untuk promosi filmnya yang sudah rilis. Namun orang-orang malah lebih tertarik soal hubungannya dengan Saka alih-alih filmnya.
Claire sudah menduga ini ketika Saka ingin mereka go public di pernikahan Rama dan Tere. Ini bukan waktu yang tepat. Claire tidak ingin orang-orang fokus ke hubungannya dengan Saka, bukan filmnya. Tapi Saka mana mau mendengarkannya. Jika dia sudah memutuskan. Tidak ada yang bisa menghentikannya.
Lihat akibatnya, Claire yang susah harus menjawab pertanyaan orang-orang yang menanyakan hubungan mereka serta pertunangan mereka yang sudah dikonfirmasi.
Bukan hanya itu, hubungannya dengan Saka juga membuat Claire di panggil ke rumah utama. Si kakek tua menanyakan kebenaran dari berita yang tersebar. Walaupun ada ketersinggungan dari wajahnya karena Saka tidak menemuinya, Rudi Salim nampaknya cukup senang ketika Claire mengiakan.
Claire sudah memberitahu Saka. Dan dia mendengar seminggu yang lalu Saka dan kakeknya bermain golf bersama.
Tidak ada masalah dari dua belah pihak keluarga membuat Saka berpikir ingin mempercepat pernikahan mereka. Yang tentu saja Claire tolak sebab dia sudah sangat sibuk tahun ini. Claire tidak punya waktu untuk mengurusi pernikahannya juga.
“Lo aja belum bisa nangkep si Tere!” tukas Claire. “Jangan tahun ini. Schedule gue padat, Saka. Gue nggak ada waktu ngurusin pernikahan.”
Tere tidak mungkin berhasil menipunya kalau cewek itu tidak cerdik. Orang-orang Saka kembali kehilangan jejak Tere di Vietnam. Claire curiga Tere mungkin melakukan cara ekstrem dengan mengoperasi wajahnya dan memakai identitas palsu hingga jejaknya sulit ditemukan.
“Secepatnya dia akan tertangkap.” Saka menatap Claire tegas. “Kalau kamu nggak ada waktu, biar sekretaris saya yang ngurus. Kamu tinggal nunggu beres aja.”
Claire membuang napas. Menyugar rambut ke belakang dan menatap Saka sengit. “Pernikahan kita memang didasari kesepakatan. Tapi gue nggak mau pernikahan gue diurus sembarangan. Kalau sampai acara pernikahan kita noob, yang bakal digunjungin itu gue. Bukan elo.”
Perdebatan mereka tidak menemui solusi. Keeesokan harinya Claire sudah harus berangkat ke Yogjakarta buat syuting. Dan selama itu, Saka sama sekali tidak menghubunginya.
Bukan Claire berharap. Cuma Saka itu angin-anginan. Selepas ciuman yang mereka lakukan di dalam mobil. Cowok itu kembali ke mode awal. Saka si kaku. Pertemua mereka pun hanya untuk kepentingan tampil di depan publik dan biasanya sangat singkat.
Claire membuang napas berat. Dia butuh pelampiasan. Bersenang-senang di kelab malam nampaknya menyenangkan jika saja tubuhnya bisa diajak kerjasama. Apalagi Baskara sedang dalam mode protektif karena Claire sempat demam waktu di Yogyakarta. Hal itulah yang membikin Baskara menyusulnya. Cowok itu tahu Claire tidak akan berhenti syuting walaupun sedang sakit.
Ah … Baskara. Claire benar-benar tidak tahu harus bagaimana pada cowok itu. Dia tidak mungkin menyuruh Baskara pergi dari hidupnya. Apalagi mereka rekan kerja. Claire juga tidak mau sampai sebegitunya pada Baskara. Cuma dia sedikit khawatir Saka akan benar-benar mengusik Baskara.
Claire membuang pandangannya ke jendela mobil. Memejamkan mata ketika kantuk mulai menyerangnya secara perlahan-lahan hingga dia sudah terlelap dalam tidur nyenyaknya.
***
Claire mengernyitkan keningnya ketika orang-orang mendadak mengucapkan terima kasih padanya. Begitu Claire mencari tahu, dia membelalak kaget saat mendapati lima food truck terparkir di halaman lokasi tempatnya syuting.
“Wah, gue nggak tahu pewaris Winata Group orangnya romantis.” Prisa berkomentar di samping Claire. Di tangannya sudah ada kopi starbuck dan juga sandwich buah yang tentu ia dapatkan dari food truck yang terparkir “Padahal desas-desusnya dia kaku banget.”
Emang kaku kayak kenebo kering. “Gue juga kaget dia mendadak begini,” ucap Claire.
“Mau kasih surprised kali buat buat lo,” goda Prisa sambil menyenggol lengan Claire. “Beruntung banget lo, Claire!”
Claire hanya tersenyum masam lantas berpamitan pada Prisa karena ingin menelpon Saka. Tidak butuh waktu lama, Saka menjawab panggilannya.
“Kenapa? Sepuluh menit menit lagi saya ada meeting.”
“Lo yang ngirim food truck ke lokasi syuting gue?” tanya Claire tanpa basa-basi.
“Oh, udah sampai?” Cowok itu menyahut tenang. “Semoga kru-kru di sana suka.”
“Ngapain sih?” Claire berdecak. Sama sekali tidak merasa tersanjung.
“Sama-sama, Claire.” Sindir Saka dengan nada datar.
“Gue nggak minta. Jadi ngapain makasih?” balas Claire jutek. Dia kesal saja karena Saka selalu bersikap tidak jelas seperti ini. Setelah dua minggu tidak menghubunginya lalu tiba-tiba cowok itu sok romantis mengirimkan food truck ke lokasi syutingnya? Maksudnya apa coba?
“Saya juga nggak berharap kamu berterima kasih.”
“Fine!” Claire menukas. “Lain kali lo nggak perlu ngirim-ngirim food truck segala.”
“Kamu nggak berhak mengatur saya.”
“Terus lo berhak mengatur gue?”
“Kamu memang perlu diatur.”
Claire menggeram kesal. “Salah banget gue nelpon lo.”
Di luar dugaan, Claire mendengar Saka tertawa. “Kenapa nggak bilang kamu pulang sejak kemarin?”
“Lo nggak nanya.” Jawab Claire, lalu mengerutkan kening. “Dari mana lo tahu?”
“Keelan bilang kemarin kamu ada syuting bareng dia.”
“Syuting apaan? Mau aja lo dibohongin sama dia.” Claire membuang napas. Bergumam penuh dendam. “Awas aja si Keelan. Gue bakal bikin perhitungan sama dia. Dari kemarin nyebelin banget.”
“Nggak perlu.”
“Nggak perlu gimana? Lo nggak tahu dia ngeledikin gue mulu setiap ketemu?” ucap Claire jengkel.
“Keelan semakin ditanggepin semakin senang.” Saka menjeda, sebelum menambahkan dengan pertanyaan. “Malam ini kamu punya waktu?”
“Jangan bilang lo mau ngajak gue ke pesta kolega bisnis lo lagi?” Claire mendesah lelah. “Not tonight, Saka. Sejak balik dari Jogja gue belum dapat libur tau.”
“Bukan buat itu.”
“Then?”
“I want to see you.”
“Buat?”
“Memang harus punya alasan buat ketemu calon istri saya sendiri?” Saka bertanya balik.
“If you want to talk about our marriage. Sorry, gue beneran nggak punya tenaga buat debat sama lo.”
Di ujung sana Saka menggigit bibirnya gemas. “Kita nggak akan berdebat kalau kamu nggak keras kepala.”
“Look, who’s talking?” delik Claire.
“Nanti saya jemput.” Saka memutuskan secara sepihak sebab ia sudah diburu oleh waktu. Menambahkan dengan cepat sebelum Claire sempat menolak. “Nggak ada penolakkan, Claire.”
Seharusnya Claire tidak perlu kaget lagi melihat Saka sudah berada di lokasi syutingnya dan menarik perhatian semua orang. Penampilannya sangat mencolok di antara para kru-kru dan pemain yang sudah lusuh sebab beraktivitas di luar ruangan seharian. Claire hanya mengeluarkan senyum kecut ketika orang-orang meledeknya. Lantas segara berpamitan pulang dan menyeret Saka segara masuk ke dalam mobilnya.
Bagas dan Hani mungkin akan melaporkan hal ini pada Baskara. Membayangkan Baskara mendengarnya membuat Claire berdecak sebal.
“Begini ekspresi kamu dijemput calon suami kamu sendiri?”
Claire menoleh, lalu langsung memasang ekspresi ceria dan imut. “Unch, Sayang. Makasih ya udah jemput aku. Padahal kamu pasti sibuk banget,” Dalam satu detik, berubah menjadi datar. “Puas?”
Saka hanya melirik sekilas, membuang napas, lalu menjalankan mobilnya. Dia sama sekali tidak mengerti kenapa Claire selalu saja memancing keributan di antara mereka. Tidak bisakah mereka tenang seperti dulu? Well, memang tidak setiap momen mereka akur. Ada kalanya mereka berdua bertengkar kecil karena masalah sepele. Tapi tidak setiap saat seperti hubungan mereka yang sekarang.
Claire melenggang cuek memasuki kamar begitu mereka sampai apartemen. Mengabaikan Saka yang mengekori dalam diam di belakang. Saka tak terlalu mempermasalahkannya. Dia sudah paham mood Claire memang gampang berubah jika sudah lelah bekerja.
Melepaskan jas miliknya, Saka lantas menarik lengan kemejanya sampai siku. Langkahnya tanpa canggung memasuki area dapur milik Claire. Saat membuka kulkas, Saka hanya menemukan susu vanilla yang tersisa lima kotak.
Bibirnya menyunggingkan senyum geli. Kepalanya mengeleng-geleng sambil menutup pintu kulkas. Claire memang nggak banyak berubah.
Saka kemudian mengeluarkan ponselnya, memasan makanan lewat aplikasi online.
Makanan sudah tiba, dan Saka pun telah menghidangnya di meja ruang tamu. Namun Claire belum juga keluar dari kamarnya. Ketika Saka hendak memanggil, suara deritan yang disusul dengan pintu terbuka menghentikan langkah Saka.
“Lo pesan makan?” Claire mengernyitkan kening sembari mengampiri Saka.
Rambutnya yang masih belum kering menarik perhatian Saka. “Kamu belum hairdryer?”
“Cuma sebentar. Tangan gue pegel megang,” Claire menjawab tanpa menoleh. Perhatiannya tertuju pada makanan yang dipesan oleh Saka sesuai dengan seleranya.
Harus diakui, dia agak tersentuh sebab Saka ternyata masih mengingat hal-hal yang ia suka.
Saat Claire meraih sup jamur yang menggugah seleranya, Saka bangkit berdiri, memasuki kamarnya tanpa canggung. Kembali lagi membawa hairdryer.
“Kamu bisa flu kalau biarin rambut kamu basah begini,” ucap cowok itu sembari menarik lengan Claire agar mendekat dan membelakanginya.
Claire yang mendapatkan perhatian ini dari Saka bersuara. “Lo habis ngelakuin kesalahan apa sampai baik gini sama gue?”
“Bukannya kamu yang ngelakuin kesalahan sama saya?” sahut Saka sambil mengeringkan rambut Claire.
“Gue salah apa?” tanya Claire menoleh ke belakang. Menatap Saka penasaran.
Saka tidak langsung menjawab. Dia memutar kepala Claire ke depan. Lalu melanjutkan mengeringkan rambut cewek itu. “Kamu nggak bilang Baskara nyamperin kamu ke Jogja.”
“Really? Hanya karena Baskara nyamperin gue, gue ngelakuin kesalahan?”
“You know right know we’re getting people’s attention.”
“Tapi Baskara itu CEO di kantor gue. Wajar dia datang nyamperin gue.” Claire kembali menoleh ke belakang. “See, nggak ada berita aneh-aneh soal gue, kan?”
“You still have to be carefull, Claire.” Saka untuk kedua kalinya memutar kepala Claire ke depan. “I’m not the only one watching over you. But my family too.”
Claire terdiam. Mengerti maksud Saka. Inilah alasan terbesarnya tidak ingin menikah, terlebih dengan keluarga Saka yang ketat akan aturan. Namun nasi telah jadi bubur. Claire tidak bisa mundur lagi.
“Selama kamu bisa kerjasama dengan saya. Saya pastikan nggak akan ada yang mengusik kamu. Termasuk keluarga saya,” ucapan Saka membuat Claire memutar tubuhnya menghadap cowok itu.
“Jadi lo bakal kasih gue perlindungan?”
Saka menaruh hairdyer di atas meja, menatap Claire serius. “Sure. Setelah kamu jadi istri saya. Artinya kamu tanggungjawab saya.”
Claire tahu Saka bukan tipe cowok brengsek yang suka menebar janji kosong. Mungkin satu-satunya kenakalan yang Saka lakukan adalah menjadi friend with benafits-nya. Hidup Claire bukan hanya tercukupi menikah dengan Saka. Cowok itu juga memberinya keamanan dari segala bahaya yang mengintai. Sempurna sekali, kan?
Namun kekhawatiran Claire bukan hanya soal itu. Membayangkan akan menjadi istri Saka sampai akhir hidupnya sulit ia terima. Sampai detik ini, diam-diam, Claire masih merencanakan perceraian dengan Saka saat dia punya celah untuk melakukannya.
“If being a couple feels weird to you. Let’s do friends with benefits again.” Tutur Saka.
“Versi sahnya maksud lo?” Claire tersenyum miring.
“Indeed,” Saka kemudian menambahkan. “Bedanya kita nggak perlu sembunyi-sembunyi lagi. And we live together.”
“Padahal sembunyi-sembunyi itu seru.” Claire mencebikkan bibir kecewa. “But, well, fwb versi sah kayaknya nggak terlalu buruk.”
“So … kamu bisa diajak kerjasama, kan?”
“Memangnya gue ngelakuin apa sih?” protes Claire tidak terima. Seolah-olah dia bikin masalah terus. Padahal Claire benar-benar sibuk kerja belakangan ini. “Gue sama Baskara udah sepakat buat jadi teman. Lo mau apa lagi?”
“Teman?” Saka begumam skeptis. “Kamu percaya cewek dan cowok bisa berteman?”
“Percaya.” Angguk Claire mantap. “Gue bahkan bisa fwb sama lo tanpa baper. Apa susahnya berteman sama cowok tanpa baper?”
“Kamu nggak baper. Dia gimana?”
“Perasaan Baskara di luar kuasa gue.” Cetus Claire. “Lo nggak perlu khawatir soal itu. Baskara nggak kan melewati batas. Dia cowok gentleman.”
Saka mendengus. Membuang pandangan ke arah Claire tidak suka.
“Dari tadi lo ngececar gue mulu.” Claire melipat tangan. Mengangkat dagunya. “Gimana kalau ternyata lo yang bikin masalah?”
“Saya?” Saka menunjuk dirinya sendiri tidak percaya. “Saya nggak pernah salah, Claire.”
“Fine, Tuan Saka yang nggak pernah salah. Kalau sampai lo kedapatan digosipin sama cewek lain. Lo bakal apa?”
“Kamu percaya gosip?”
“Gosip itu fakta yang tertunda.”
Saka menghela napas. Bertanya pada Claire. “Apa selama kita fwb seperti kata kamu itu, saya pernah sama cewek lain?”
Claire diam. Sementara Saka menarik sudut bibirnya. “See. Malah kamu yang diam-diam jalan sama cowok lain.”
“Lo kan cuma bilang gue nggak boleh tidur sama cowok lain selain elo. Artinya boleh dong gue have fun sama teman-teman cowok gue?”
Saka menipiskan bibirnya. Jika pembicaraan soal masa lalu ini terus dilanjutkan dapat dipastikan mereka tidak akan berhenti berdebat dan saling menyalahkan dengan mencari kekurangan satu sama lain.
“That’s not the rule anymore,”
Claire memutar bola matanya. “Iya, tuan Saka. Gue cuma bakal tidur sama lo dan nggak akan main-main nggak jelas sama cowok lain. Puas?”
Saka tidak menjawab. Tapi Claire tahu itulah yang ingin Saka dengar.
“Ini gue udah boleh makan, kan?” tanyanya seraya memutar badan menghadap meja. Berdebat dengan Saka membuatnya makin kelaparan.
“Memang dari tadi saya ngelarang?”
Claire menghela napas. “Saka, lo pernah disiram pakai kuah sup panas nggak?”
“Nggak.”
“Good.” Claire tersenyum manis sambil mengancam. “Jangan sampai gue jadi orang pertama yang ngelakuinya ke elo ya.”
Dalam diam, Saka memperhatikan Claire yang makan dengan lahap. Walaupun dia tahu menikah dengan Claire memiliki risiko, Saka sama sekali tidak menyesali keputusannya. Sebab, detik ini Saka menyadari, empat tahun kehidupannya tanpa Claire ternyata sangatlah membosankan.
Bersambung.
Chapter 10
Mabuk
Claire mengangkat kepala, melirik jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Walaupun begitu, tidak ada tanda-tanda Saka akan pulang dari apartemennya. Cowok itu masih serius memeriksa dokumen demi dokumen yang ia bawa serta mengecek iPad saat benda itu berdering.
Dedikasi Saka pada pekerjaannya memang patut untuk di apresiasi. Jika ada orang-orang yang mengolok kesuksesan Saka karena dia punya privilege sebagai cucu dari Abrian Winata—maka mereka harus mencoba mengikuti Saka sehari saja. Apa yang Saka peroleh sekarang berkat kerja kerasnya. Saka mungkin hanya memiliki sedikit waktu tidur. Terbang ke tiga negara dalam satu hari untuk urusan bisnis sudah sering Saka lakukan. Dengan ritme kerja yang gila-gilaan, Claire heran kenapa tubuh Saka masih sebagus ini?
Like, why does the world seem to be on his side?
Claire tidak akan menyangkal pemandangan Saka yang menggunakan kemeja biru laut slim fit dengan bagian tangan yang digulung sampai siku cukup membuatnya bingung harus menikmati tayangan TV atau tubuh Saka yang menggoda. Matanya sejak tadi memindai otot-otot lengan Saka yang tertutup, urat-urat tangannya yang menyembul, serta dada bidangnya yang agak terbuka karena Saka melepas dua kancing kemejanya.
Rambut cowok itu mungkin tidak lagi rapi. Namun berantakan dengan cara memikat. Membikin Claire ingin melarikan jarinya di sana. Menyisir atau mungkin menjambak keras.
Sial! Pikiran Claire mulai meliar.
Digelengkannya kepala lalu bersuara sehingga menarik perhatian Saka. “Lo nggak mau pulang? Udah jam sebelas tuh,” beritahu Claire acuh tak acuh. Siapa tahu saking fokusnya bekerja Saka sampai lupa waktu.
Saka mengikuti arah pandang Claire. “Oh,” begitu saja responnya. Lantas kembali melanjutkan pekerjaannya.
Claire melotot. Menarik tubuhnya yang semula bersandar pada sofa. “Jangan bilang lo mau nginep?” tanyanya dengan mata memicing curiga.
“Why not?” Saka mengangkat bahu. Menyisir rambutnya yang memang sudah agak memanjang ke belakang, yang mana kembali membuat Claire terpesona sebab dimatanya gerakkan itu seperti slow motion. “Saya juga udah kelewat capek kalau harus nyetir pulang.”
Claire mengerjap. Tersadar dari lamunan. “Telpon driver lo lah!”
“Udah malam,” Saka menjawab singkat. Lalu mengambil satu dokumen dan bangkit berdiri. Jarinya menekan-nekan layar ponsel, menyingkir ketika melakukan panggilan.
Sayup-sayup Claire mendengar suara Saka yang pasti bicara dengan karyawaannya. Gaya aja bilang udah malam, bos macam apa yang malam-malam begini masih ngehubungin karyawannya? Claire mencibir di dalam hati.
Begitu Saka kembali, Claire mengikuti gerakkan cowok itu yang membereskan dokumen-dokumennya lalu memasukkannya ke dalam tas kerja.
“Kamu udah ngantuk?” tanyanya.
“Belum,”
“Good,” Saka menyunggingkan senyum tipis. “Saya ambil baju ganti dulu di mobil.”
Kening Claire mengerut. “Lo benaran mau nginep?” tanyanya memastikan.
“Hmm,” Saka bergumam. Lalu tanpa banyak bicara melangkahkan kakinya menuju pintu. Tidak lama kembali lagi dengan paper bag di tangannya.
Claire hanya bisa terbengong-bengong melihat Saka yang tidak ada canggung berkeliaran di apartemennya seolah tempatnya sendiri. Cowok itu memakai kamar mandinya, keluar menggunakan pakaian santai berupa white t-shirt dipadu dengan track pants bergaya beige wool twill dari Dior. Memilih wine di lemari wine lalu mengambil gelas di kabinet, dan membawanya ke sofa, duduk di sebelah Claire.
“Empat tahun nggak bikin lo ngerasa canggung di berkeliaran di apartemen gue ya,” sindir Claire. Meraih leher gelas wine yang panjang lalu mendekatkan tepian gelas tersebut ke bibirnya.
“Are you awkward with me?” Saka membalas santai. Wajah segarnya menyunggingkan senyum sedikit dengan mata menatap Claire saat dia juga meraih leher gelas. Lalu menenggaknya hingga tertelan ke dalam kerongkongannya.
Claire mendengus. Meletakkan gelasnya di atas meja. “ Lo terlalu percaya diri, Saka.”
“We have to, Claire.” Saka mengedikkan bahu. ”You know how important it is to be confident.”
“Confident sama overconfidence dual hal yang berbeda, Saka.” Claire menjelaskan seolah Saka bocah lima tahun. “Overconfidence bikin seseorang jadi arogan, tidak pedulian, dan suka ngeremehin orang lain.”
“Are you talking about yourself?”
“Gue rasa gue harus pikir ulang soal kerjasama,” ucap Claire sebal yang malah memancing senyum di wajah Saka yang biasanya datar. Dia tahu membalas Claire hanya akan memicu petengkaran. Tetapi kadang pertengkaran mereka sesuatu yang menghibur untuknya. “Did you notice? Lo makin nyebelin tau nggak!”
“You started it, Claire.” Saka meraih botol wine lalu menuangkannya ke gelas Claire. “Saya juga terlalu capek buat debat sama kamu.”
“So?” salah satu alis Claire meninggi. “Lo berharap apa dengan menginap di sini, Saka?”
“Talking?”
“Talking?” Claire mengulang dengan nada tak percaya. Tertawa mencemooh. “Saka menginap dia tempat gue buat talking?”
“Apa ada hal lain yang harus kita lakuin, Claire?” Saka memiringkan kepalanya. Menatap Claire dengan sorot mata menantang.
“Well, we will see.” Claire meraih gelasnya. Menyingkirkan bantal sofa dari pangkuannya sehingga pemandangan pahanya mulusnya berhasil membuat Saka menelan air ludahnya. Sejak tadi Saka sudah berusaha bersikap biasa saja melihat pemandangan kulit Claire yang terbuka. Namun ketika cewek itu dengan sengaja menunjukkan sambil menatapnya nakal. Saka tahu itu sangat berdampak untuk tubuhnya.
Sudut bibir Claire terangkat. Menenggak minumannya tanpa memutus kontak mata dengan Saka. Soal flirting, seharusnya Saka tidak meragukannya. Claire terlahir dengan aura yang mampu menyedot perhatian kaum adam. Saat dia tidak berminat melakukannya saja, cowok-cowok sudah tertarik padanya. Apalagi kalau Claire sedikit membuat usaha.
“Pernikahan kita tetap akan diadakan tiga bulan setelah pertunangan,” Saka berdeham. Mencoba mengendalikan dirinya dari godaan yang Claire berikan. Dia harus membahas soal pernikahan mereka sekarang—sebab Saka tidak tahu kapan mereka sama-sama punya waktu untuk membicarakannya. Saat Claire hendak membuka mulutnya, Saka sudah lebih dulu memotong. “Pernikahan kita tidak bisa saya tunda. Tapi pekerjaan kamu, saya bisa bisa melakukannya.”
“Are you being serious?” Claire mengerjapkan mata terkejut. “Jangan bilang lo bikin produser nunda film gue?”
“Kamu bakal dapat kabarnya besok,”
Claire tertawa sinis. “Saka dan kekuasaanya. Seharusnya gue sudah menduga ini, kan?”
“Saya cuma nunda film kamu. Bukan membatalkannya,”
“Ya, ya, ya,” Claire mengangguk sekenakanya. Menenggak wine-nya lalu berkata sinis. “Do I have to thank you for that?”
“Kita nggak bisa nunda pernikahan kita lebih lama, Claire.” Saka sengaja menurunkan nada suaranya agar tak lebih memancing emosi Claire. “You know that, right?”
“Tapi kenapa lo harus ikut campur urusan kerjaan gue sih? Ini pekerjaan gue, Saka.”
“Fine, I’m sorry.” Saka memutuskan untuk mengalah. “Cuma itu solusi satu-satunya. I hope you can understand.”
Claire bergeming. Gurat-gurat kesal di wajahnya masih terlihat.
“Saya harus menikah lebih dulu dari Yasa untuk membuktikan kepada Opa kalau saya mampu jadi kepala keluarga, Claire. Saya sudah menjelaskannya pada kamu sejak awal, kan?” Claire membuang napas. Tidak punya bantahan karena memang saat dia menyetujui menikah dengan Saka. Dia tahu Saka dalam kondisi yang terburu-buru. “Pernikahan kita nggak akan berjalan menyenangkan kalau kita terus mendebatkan hal-hal nggak penting. Even though we marry without love, it doesn’t mean our marriage has to end in misery.”
“Okay.” Claire mengangguk. Ikut menurunkan nada suaranya. “Kali ini gue bakal berusaha mengerti posisi lo. Lain kali, gue nggak mau lo ikut campur pekerjaan gue.”
Saka sengaja tidak menjawab karena dia tahu, dia tidak akan bisa menjanjikan hal itu pada Claire.
***
Meskipun bukan peminum. Toleransi Saka terhadap alkohol cukup tinggi. Jadi tidak heran dia masih sober meskipun sudah menghabiskan satu botol wine. Berbeda dengan Claire yang hampir mabuk, namun tetap nekat mengambil dua kaleng beer dan meminumnya sendirian
“You’ll get drunk. Memang besok nggak ada syuting?” Saka mengingatkan.
“Beer nggak akan bikin gue mabuk.” Claire berdecak malas. “Kalau nggak mau, yaudah gue aja minum dua-duanya.”
Saka menenggapinya dengan gedikkan bahu. Tidak ingin berkomentar lebih demi menghindari perdebatan.
Seperti yang ia duga, tidak lama kemudian, Claire mulai menunjukkan gejala-gejala orang mabuk. Pipinya memerah. Matanya pun sayu. Seolah tidak memiliki tenaga, Claire bersandar di sofa dengan tangan yang masih memegang kaleng beer.
Saat Saka hendak meraih kaleng beer dari tangannya karena menyangka Claire ketiduran. Cewek itu langsung berjengit. “Ini punya gue! Jangan diambil!” tukasnya. Memeluk beer miliknya seakan-akan itu barang yang sangat berharga.
Saka menghela napas. “See, you’re drunk.”
“I’m not drunk!” Claire membantah keras. Mentandaskan sisa beer. “Gue mau nambah satu lagi!” katanya yang membuat Saka sigap menahan lengan cewek itu hingga bokongnya kembali duduk di sofa.
“No. It’s enough, Claire.” Saka menggeleng tegas.
Claire mencebikkan bibirnya. “Mau satu lagi, Saka!” sungutnya dengan nada manja.
Jelas Claire mabuk. Dalam kesadarannya, cewek itu tidak akan menampilkan ekspresi menggemaskan ditambah dengan suara yang disengau-sengauhkan seperti ini padanya.
“No.” Saka tetap menolak.
Claire mebuang napas keras. Melipat tangannya di depan ada seperti gadis kecil yang merajuk pada ayahnya.
“It’s late. You better sleep,” Usul Saka kemudian. Hendak membantu Claire berdiri tapi tangannya kembali ditepis.
“Gue nggak ngantuk dan belum mau tidur!” tolaknya lantas menyugar rambut ke belakang. Menatap Saka sengit. “Lagian gue ada di apartemen gue sendiri. Gue mau mabuk atau nggak bukan masalah.”
“Fine.” Saka tidak memaksa. Sebuah kesia-siaan melawan orang mabuk. Dia kembali duduk dengan tenang. Menatap Claire yang sekarang memejamkan mata sambil memijat-mijat kepalanya.
“Lo tidur duluan aja kalau ngantuk,” gumam Claire. Meraih bantal sofa lantas menjatuhkan kepala di sana dalam posisi miring. “Syuting gue mulainya siang. Besok gue nggak perlu bangun pagi kayak lo.”
“You don’t have to worry about me. I’m not sleepy yet.”
Claire kembali membuka mata. Menemukan Saka tengah memandanginya. Dalam keheningan, keduanya saling menatap. Menyelam pada kedua bola mata masing-masing yang menyimpan banyak tanya dan rahasia.
“Nggak nyangka bakal ngeliat lo di apartemen gue lagi,” tutur Claire.
Sejenak Saka terdiam. Tidak tahu harus membalas apa untuk ucapan Claire yang pasti mengarah pada masa lalu. “Apartemen kamu nggak banyak berubah,” balasnya berusaha untuk terlihat tenang—padahal di kondisi Claire yang mabuk tak akan membuat cewek itu sadar kegugupannya.
“Lo juga.” Claire menarik napas lalu tersenyum sedikit. “Sofa lo bahkan nggak diganti.”
“Kenapa harus diganti?”
“Karena kita sering ngelakuinnya di sana?” Claire mengedikkan bahu. “Mungkin lo gerasa terganggu.”
“I’m not.” Saka menggeleng. Memberi tatapan menyelidik. “Jadi. itu alasan kamu ganti sofa?”
Efek alkohol membuatnya tak perlu berpikir sebelum bicara. “Yap. Kita kadang terlalu malas buat ke kamar terus malah ketiduran ketiduran di sofa. Gue nggak bisa buat nggak ingat percintaan kita setiap kali duduk di sana.” Claire mengekeh seolah ia menceritakan sesuatu yang biasa. “But, actually, it was fun. The time I spent with you. It used to be so much fun.”
Saka membuka mulutnya. Ingin menanyakan sesuatu yang sudah sangat lama menjadi rasa penasaran yang tak tertuntaskan. Namun melihat kondisi Claire yang mabuk dan jawaban Claire akan sama seperti yang sudah ia duga—Saka mengurungkan niatnya.
“We can start over,” Saka menatap Claire. Dengan tatapannya yang serius. “In a better way.”
“Start over,” Claire bergumam. Menarik tubuhnya bangun lalu bergeser lebih dekat dengan Saka.
Tatapan Claire sayu saat menatapnya. Namun Saka masih menunggu untuk tahu apa yang ingin cewek dihadapannya ini lakukan, karena Claire sama sekali tak berhenti menatapinya. “Then we should start from this, right?” sebelum Saka sempat mengedipkan mata. Bibir Claire sudah lebih dulu menyentuh bibirnya.
Hanya sekejap. Tapi cukup berhasil membuat Saka terkejut.
Sementara Claire menyungging senyum manis di depan wajahnya. “Did I do the right thing, Daddy?” tanyanya dengan nada suara yang kembali manja.
“Daddy?”
“Cowok ganteng dan mampan harus dipanggil ‘Daddy,” katanya lalu berpindah duduk ke atas pangkuan Saka. Claire mengalungkan kedua tangannya di leher Saka, membuka kakinya lalu menjepit pinggang Saka dengan dengkulnya. Wajahnya mendekat, mengendus leher Saka dengan hidungnya. “Mmm … Daddy. You smell so good.”
Saka tahu Claire berada di fase tidak sadar dengan apa yang ia lakukan. Bila Saka cowok brengsek, pastilah ini menjadi kesempatannya untuk berbuat yang macam-macam pada Claire. Namun tentu dia tidak akan pernah melakuakannya di saat Claire mabuk.
“Claire, you’re drunk,” Saka menarik napas yang terasa berat ketika bibir Claire mulai menggerayangi lehernya. Meremas pinggang Claire yang entah sejak kapan tangannya berada di sana. “Stop smelling me.”
“Kenapa sih?” Claire mengeluarkan lagi suara manjanya. Bibirnya mencebik ke bawah ketika menatap Saka. “Katanya mau start over.”
“Iya—”
“Ssstt … “ Claire menutup bibir Saka dengan telunjuknya. Dengan mata yang sayu nan menggodanya, cewek itu membuat Saka tak berkutik dan meleleh saat Claire menyungging senyum yang begitu manis. “Enough, don’t say anything more.”
Saka menelan ludah. Matanya naik mengamati bibir merah muda Claire yang bawarna alami. Hanya bisa diam ketika Claire mengusap tangan ke dadanya, lalu perlahan-lahan naik, dan menggapai tengkuknya.
Sungguh. Claire benar-benar godaan terbesar dalam hidupnya.
“Did you miss me, Saka?” bisik Claire seraya menangkup rahangnya, menatap bibir cowok itu lekat.
“How about you, Claire?” Saka membalas. Tangannya yang tadi meremas pinggul cewek itu kini berganti mengusapnya lembut. “Have you ever missed me?”
Claire tersenyum miring. Alih-alih menjawab, Claire malah menarik tengkuk Saka sehingga napas keduanya beradu. Berbisik di depan bibir cowok itu. “You will know after kissing me,”
“Saya nggak mencium cewek mabuk,” Saka balas berbisik. Menantangnya sekaligus mencoba untuk tetap bertahan dalam tipu daya yang dilakukan oleh Claire.
“Then let me kiss you,” Claire tidak membuang waktu dan langsung mencium bibir Saka dalam gerakkan liar. Matanya terpejam seraya menekan tengkuk Saka lebih dekat. Melumat bibir Saka yang terbuka tapi tak membalas ciumannya.
Tidak kehilangan akal, Claire lantas menggoda dengan lidahnya sehingga Saka tak kuasa menolak. “Damn it!” umpatnya dan berakhir membalas ciuman Claire menggebu-gebu.
Dipeluknya pinggang ramping Claire dengan satu tangan. Sementara satu tangannya yang lain berada di rahang cewek itu agar dia bisa merasakannya lebih dalam. Kewarasan Saka semakin mengabur seriring dengan ciuman mereka yang makin menuntut dan penuh hasrat. Lidahnya yang berdansa dengan lidah Claire membuat dadanya berdebar dan tubuhnya berdesir.
Claire memeluknya lebih erat. Menekan dadanya di dada Saka. Menuntun tangan cowok itu menjajahi tubuhnya. Dari pinggang, Saka bergerak menuju punggung Claire. Mengusapnya dengan gerakkan konstan sebelum turun mencapai bokong Claire lalu meremasnya kuat.
Suara lenguhan Claire memisahkan bibir mereka. Saka menenggelamkan wajahnya di lekuk leher Claire dengan tangannya yang tidak bisa berhenti menyentuh tubuh cewek itu—yang begitu mudah ia jangkau. Jemarinya kemudian menyelip memasuki tank top ketat yang dipakai oleh Claire. Melepaskan pengait bra-nya dengan begitu mudah.
“Stop me, Claire,” pinta Saka di samping telinga cewek itu. Dia tidak yakin bisa berhenti saat Claire tidak menolak dan menyambut sentuhan dengan hasrat yang sama.
“Don’t’ stop,” Claire bicara di antara napasnya yang berat. Diambil tangan Saka lalu mengarahkannnya ke payudaranya. “Touch me,” bisiknya di depan bibir Saka. Menatap cowok itu dengan kilat mata sensual dan menantang. “Feel me. And you will know if I miss you or not.”
Rahang Saka mengeras. Gairah dan akal sehatnya berdebat. Sementara Claire tidak menyerah dan kembali menggodanya dengan menggesek lembut puncak hidung mereka.
Saka mengangkat tangannya, membelai pipi Claire dengan begitu lembut. Lalu jempolnya mengarah ke bibir cewek itu yang terbuka, memberi tekanan di bibir bawah Claire. “Du machst mich verrückt, Claire.“ Tuturnya dengan bahasa Jerman yang fasih sebelum menutupnya dengan ciuman dalam dan panas.
Tidak ada lagi keraguan membuat Saka memeluk tubuh Claire lalu mengangkatnya dan membawanya menuju kamar dengan bibir mereka yang saling melumat dan merasakan rasa satu sama lain.
Saka membaringkan Claire di atas permukaan tempa tidur yang lembut. Mengambil kedua tangan cewek itu, lalu menahan di sisi kepala. Dia terus mencium bibir Claire seperti kehausan. Seolah-olah sudah sangat lama dia terdampar di padang pasir dan akhirnya mendapatkan asupan air. Lidahnya pun belum puas menjelajahi rongga mulut Claire, menyapa setiap sudutnya tanpa terkecuali.
Sampai bibirnya kemudian berpindah. Mencium rahang Claire sembari menghirup aroma mawar dari tubuhnya. Hidung Saka yang menggesek kulit Claire, membuat cewek itu terkekeh geli.
Saka tersenyum. “Kamu sekarang mudah geli, Claire.“
Claire tidak menjawab. Hanya kekehannya memelan dan tangannya memainkan rambut Saka—saat Saka melabuhkan kecupan dari leher sampai bahunya. Saka melakuannya dengan penuh perasaan serta pemujaan pada tubuh dan aroma Claire yang masih mampu membuatnya kehilangan arah. Mendapati Claire tak berdaya di bawahnya membuat Saka kembali teringat masa-masa kebersamaan mereka. Gelak tawa Claire terngiang-ngiang di dalam kepalanya. Membuat Saka tak sabar lalu menggigit bahu Claire gemas.
Namun menyadari tangan Claire tak lagi di kepalanya serta suara napas Claire mulai terdengar teratur, Saka menghentikan cumbuannya. “Claire,“ panggilnya.
Tak ada adanya jawaban membuat Saka menarik wajahnya. Mendapati Claire sudah terlelap dalam tidurnya.
Sebentar mulut Saka terbuka tak percaya. Namun beberapa detik kemudian, dia hanya tertawa kecil, menaruh wajahnya di bahu Claire yang sempit sebelum akhirnya menjatuhkan tubuhnya di sebelah cewek.
Saka menoleh. Menatap Claire yang tidur dengan nyenyak setelah apa yang ia lakukan padanya. Benar-benar tak menyangka Claire akan tertidur setelah berhasil meruntuhkan pertahanan dirinya.
Setelah beberapa saat memandangi Claire yang tertidur, Saka lantas turun dari ranjang. Menyelimuti tubuh Claire sampai dadanya. “Have a nice dream, Claire.“ Bisiknya, melarikan tangannya di pipi Claire, mengusapnya begitu halus tanpa niat mengusik tidur cewek itu.
Melihat dirinya yang mudah sekali jatuh pada perangkap Claire. Ini akan menjadi tantangan terbesar untuk dirinya sendiri. Claire sangat berbahaya. Saka mengetahuinya. Menarik cewek itu kembali ke kehidupannya bisa jadi keputusan yang salah. Namun keinginannya memiliki Claire begitu kuat. Sementara Claire tidak ingin dimiliki oleh siapa-siapa membuat semuanya jadi sulit.
Jadi ketika dia memiliki kesempatan, Saka tak mungkin melepaskannya begitu saja.
Sesudah pernikahan mereka, Saka akan membuat Claire sadar siapa pemiliknya yang sebenarnya. Dan tidak akan ada cara untuk cewek itu lari lagi darinya.
Bersambung.
Chapter 11
Patah Hati
Mendatangi rumah tempatnya tumbuh dan menghabiskan masih kecilnya adalah hal yang paling tidak ingin Claire lakukan.
Di saat orang-orang terkagum-kagum dengan tempat tinggalnya yang terkenal dengan kemewahan serta keluasannya, Claire malah lebih suka tinggal di flat sempitnya di New York. Setidaknya di sana Claire tidak tercekik oleh bayang-bayang buruk soal kehidupannya di masa lalu. Begitu pun rasa muak karena harus melihat wajah wanita yang dinikahkan oleh Papanya sebulan setelah kepergian Mamanya.
Baswara Salim adalah anak yang paling sering berbuat ulah dan terlibat skandal dalam keluarga Salim. Sebagai anak bungsu, dia cukup dimanjakan oleh Anggun—ibunya. Semua yang diinginkannya selalu ia dapatkan. Sebab itu, ketika Baswara tergila-gila dengan seorang wanita cantik berdarah Spanyol—Baswara menjadi terobsesi sebab wanita itu tak pernah memiliki perasaan yang sama sepertinya.
Tak terima, Baswara pun melakukan segala cara agar wanita itu—Katherine—mau menikah dengannya. Pernikahan yang didasari oleh keterpaksaan itu berujung pada tragedi. Keduanya tidak pernah libur bertengkar—mengabaikan seorang gadis kecil polos yang tidak tahu apa-apa.
Sejak awal Katherine tidak ingin melahirkan anak Baswara. Disentuh oleh Baswara pun dia tidak mau. Kebencian Katherine pada Baswara mendarah daging sebab karenanya, Katherine tidak bisa bersama orang yang ia cintai. Penolakkan dan kecemburuan membuat Baswara gelap mata. Ia memaksa Katherine melayaninya.
Bukan satu dua kali Katherine mencoba menggugurkan kandungannya. Namun cara apapun ternyata tidak membuat bayi di dalam perutnya menyerah. Dia tetap bertahan sampai Baswara tahu dan akhirnya mengurung Katherine di rumah dengan penjagaan ketat agar dia tidak lagi mencoba membunuh anaknya sendiri.
Rumah bergaya Mediterania ini dibangun adalah oleh Baswara sebagai bentuk keseriusannya pada Katherine. Sebagai wanita keturunan Spanyol, Katherine terkadang merindukkan kampung halamannya dan bermimpi memiliki rumah yang dapat membuatnya merasa benar-benar seperti berada di rumah.
Namun Baswara melewatkan satu hal, jika rumah yang sesungguhnya itu tidak hanya berbentuk bangunan—melainkan juga seseorang.
Rumah yang Katherine impi-impikan malah menjadi mimpi buruknya untuknya. Katherine merasa seperti dikurung dalam sangkar emas. Ia depresi. Tidak ada lagi keceriaan di matanya. Setiap kali otaknya mulai kalut, Katherine melampiaskannya dengan minuman keras. Tiada hari tanpanya menenggak alkohol. Jangankan memperhatikan putrinya, diirnya saja tak mampu dia perhatikan.
Claire tumbuh di tengah-tengah orang yang gila karena cinta. Papanya yang terlalu mencintai Mamanya hingga berakhir terobsesi. Mamanya yang terlalu mencintai kekasihnya merasa dunianya runtuh saat dia tak bisa bersama orang yang ia cintai.
Jadi, bagaimana bisa Claire percaya pada cinta jika nyatanya cinta hanya menimbulkan kegilaan?
Claire memejamkan mata. Meskipun mobilnya sudah berhenti di undakan, Claire masih enggan turun dan memasuki rumah berpilar-pilar besar yang nampak kuat dan mencolok itu. Pintu ganda besar bermaterial kaca dengan bentuk sedikit melengkung di bagian atas dipandanginya lama. Dadanya tiba-tiba terasa sesak, membuat Claire mencengkram erat kemudi stir sampai suara ketukkan di jendala mobilnya mengerjapkan matanya.
Sudah ada pria paruh baya dengan rambutnya yang hampir memutih di luar sana. Yang Claire sebut sebagai Pak Sholeh. Tukang kebun di rumah ini.
“Iya, Pak Sholeh?” Claire tersenyum saat kaca mobilnya ia turunkan.
“Beneran Non Claire ternyata,” Pak Sholeh membalas senyum nonanya dengan lembut. “Saya kira siapa, nggak keluar-keluar dari mobil. Soalnya tahun kemarin Non Claire nggak pakai mobil ini.”
“Mobil baru Pak Sholeh,” Claire tertawa renyah. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa dengannya. “Baru dibeliin.”
“Sama pacar Non Claire?” Pak Sholeh menebak dengan tetap sasaran.
Claire mengangguk. Sebagai permintaan maaf, Saka menawarkan hadiah padanya. Tentu saja saja Claire tidak menolak dan minta dibelikan Bentley yang sudah menjadi incarannya sejak lama.
“Saya sudah lihat beritanya, pacar Non Claire ganteng.”
“Kalau nggak ganteng saya nggak bakal mau,” sahut Claire yang memancing tawa Pak Sholeh.
“Bapak udah nungguin Non Claire,” Padahal Claire sengaja berlama-lama mengobrol dengan Pak Sholeh agar memiliki alasan tak segera masuk ke dalam. “Sini, biar saya parkirkan mobilnya.”
Dengan berat hati Claire keluar dari mobil. “Papa dimana, Pak?”
“Di taman belakang, Non. Sama nyonya, non Salvia, dan den Samuel.”
Claire manggut-manggut. Membayangkan harus menghadapi mereka membuat Claire mendesah malas. Dia membuka ponselnya, menelpon Saka dan yang menjawab panggilannya malah sekretarisnya.
“Selama sore, Nona Claire,” suara Christian yang kaku terdengar.
“Saka mana?”
“Bapak sedang bersiap-siap.”
Clair berdecak. “Bilang buruan datang. Kalau nggak gue ngambek setahun.”
“Baik, Nona Claire. Ada lagi yang harus saya sampaikan pada Bapak?”
“Nggak.”
“Kalau gitu, saya akan sampaikan pada Bapak.”
“Hm,” gumam Claire lantas mematikan sambungan telepon dan membuang napasnya.
Seperti interior rumah Mediterinia kebanyakkan, perabotan rumah mengusung desain klasik dan elegan. Warna-warna yang diaplikasikan dominan dengan warna gold dan silver. Cuma Claire bisa melihat perubahan dari tata letak serta ada beberapa barang yang hilang lalu digantikan dengan yang baru.
Mungkin ibu tirinya ingin perlahan-lahan melenyapkan bayang-bayang mendiang istri suaminya di rumah ini sebab Baswara melarang siapapun menyentuh barang-barang peninggalan Katherine di rumah ini. So, It seems his fasther has moved on.
Langkah Claire berhenti di taman belakang. Dimana-mana sosok Papanya tengah becengkrama dengan ibu tirinya, menanggapi ucapan anak-anaknya dengan tawa. Jika ditanya apa yang Claire rasakan melihat pemandangan itu? Tidak ada. Claire tidak merasakan apa-apa. Dia bahkan tidak iri sama sekali karena sudah lama Claire mati rasa pada kedua orang tuanya.
Gista—ibu tirinya yang pertama kali menyadari keberadaan Claire, tersenyum padanya, bangkit berdiri menyambut Claire dengan pelukkan. “Claire, akhirnya kamu datang. Ibu sama Papa udah nungguin dari tadi,”
Claire tersenyum masam. “Tapi kayaknya kalian udah bersenang-senang tanpa aku,”
“Oh,” Gista terperanjat lalu melanjutkan hati-hati agar anak tirinya salah paham. “Samuel punya cerita lucu di sekolah. Kamu harus dengar—”
“Nope,” Claire menggeleng. Memotong ucapan ibu tirinya hingga senyum di wajah Gista surut. “Kalau mau ketawa mending aku nonton stand up comedy aja.”
“Claire,” Baswara menyela. Menegur sekaligus mengalihkan pembicaraan. “Kamu nggak datang sama Saka?”
“Dia nyusul. Tadi ada rapat penting katanya,” jawab Claire malas. Lalu menarik kursi dan duduk di sebelah Salvia—saudari tirinya yang tidak menyambutnya dan malah duduk tenang menikmati singabera tehnya. “Kayaknya adik tiriku nggak senang aku ada di sini ya?”
“Jangan salah paham, Claire,” Gista buru-buru membantah. “Salvia,” tegurnya.
Salvia membuang napas kecil. Kemudian menoleh menatap Claire dengan senyum pura-puranya. “Kamu kelihatan sehat. Selamat atas pertunangan kamu.”
“Masih satu minggu lagi, Dik.” Jawab Claire memandang adik tirinya ini geli. “Kamu bisa kasih selamat di hari pertunanganku.”
“Oh, aku kira kamu nggak bakal suka aku datang.”
“Mana mungkin aku nggak senang,” Claire manaruh tangan di dadanya. “Kehadiran kamu justru yang paling aku tunggu-tunggu.”
Keduanya saling saling mengulas senyum. Jika orang lain tak tahu, mungkin mengira mereka adalah kakak adik yang akur dan akrab.
Salvia adalah anak dari ibu tirinya dengan suami pertamanya. Sejak bertemu, Claire sudah tidak menyukainya meskipun cewek itu berusaha dekat dengannya. Lama-lama Salvia lelah, apalagi sikap Claire pada ibunya yang tidak sopan membuat Salvia kesal.
Dia berhenti bersikap baik pada Claire karena menurutnya Claire tidak pantas mendapatkan kebaikan darinya. Claire terlalu egois. Hanya mementingkan dirinya sendiri. Sangat tipikal anak kaya raya yang manja. Yang paling membuat Salvia tidak menyukai Claire adalah bagaimana dia memainkan perasaan Baskara.
Baskara adalah seniornya di kampus. Takdir terkadang terlalu lucu sampai-sampai cowok yang ia kagumi dan cintai secara diam-diam ternyata mencintai kakak tirinya sendiri.
Sementara Samuel adalah anak Papanya bersama ibu tirinya. Claire menyadari kehadiran Samuel lah yang membuat perubahan pada Papanya. Baswara sangat senang mendapatkan anak laki-laki yang dapat melanjutkan perusahaannya. Jelas Claire tidak bisa diharapkan. Salvia pun sepertinya akan menolak.
“Ibu bikinin cheese cake buat kamu,” Gista mengambil pisau kue, memotongnya untuk Claire perhatian. “Semoga kamu suka ya, Claire.”
“Aku lagi diet, Tante,” Claire menolak. Mempertahankan panggilan ‘tante’ meskipun Gista terus menyebutkan dirinya sebagai ‘ibu’.
“Biar aku yang makan, Bu,” timpal Salvia yang tidak tega melihat usaha ibunya selalu saja tak dianggap oleh Claire. “Sam, kamu mau juga?” tanyanya pada adiknya yang sejak tadi diam.
“Mau, Kak.”
Claire mendengus. Melirik ponsel menunggu kabar dari Saka. Kalau bukan karena paksaan Saka, Claire juga tidak mau berada di sini.
“Kakek senang kamu dan Saka akan menikah.” Ucap Baswara dengan senyum bangganya. Mengisi obrolan agar tidak terlalu canggung. “Kenapa kalian tidak langsung menikah saja? Toh jarak pertunangan dan pernikahan nggak jauh-jauh banget.”
“Kami nggak mau buru-buru, Pa.”
“Pernikahan memang nggak boleh diburu-buruin,” timpal Gista. “Memangnya lomba lari, Pa?”
Baswara tertawa. “Benar juga, ya, Bu. Saka juga orangnya well planned bukan implusif.”
“Ibu beberapa kali ketemu Mamanya Saka. Orangnya ternyata ramah. Ibu udah minder duluan, soalnya penampilan Mama Saka glamor dan mewah banget.”
“Ibu kan udah Papa bilang jangan ragu buat belanja.”
“Nggak lah, Pa. Buat apa juga sama ibu. Mending uangnya buat pendidikan anak-anak.”
“Buat beli mainin aku juga ya, Bu?” sahut Samuel semangat.
Gista tertawa. “Iya, buat beli mainan Sam juga. Tapi kalau udah dibeliin mainan harus rajin belajar ya, Nak.”
Sumpah. Claire ingin muntah mendengar percakapan mereka. Tangan Claire terkepal di bawah meja, menahan mual di perutnya. Ketika dia membuang pandangannya, sosok Saka yang berjalan di belakang Bu Tika—kepala pelayan di rumah membuat Claire langsung mendesah lega.
“Maaf Om, Tante. Saya terlambat,” ucap Saka sopan.
“Saka,” Baswara bangkit berdiri. Menyambut kedatangan Saka dengan senyum lebar. “Tidak apa-apa. Saya tahu kamu sibuk. Malah saya berterima kasih kamu menerima undangan saya buat berjamu ke rumah.”
“Sudah seharusnya, Om.” Saka duduk di sebelah Claire. Melirik cewek itu yang memasang ekspresi masam. “Malah saya yang minta maaf karena belum bisa berinsiatif datang.”
“Don’t mind,” Baswara mengibaskan tangan. “Gimana kabar kamu? Sudah lama kita nggak ketemu ya.”
“Saya baik, Om. Om apa kabar?” tanya Saka yang membuat obrolan kini didominasi oleh Baswara dan Saka. Keberadaan Saka sedikit banyaknya membuat Claire sedikit lebih tenang. Mungkin dia memang memiliki hati yan jahat. Tapi melihat betapa bahagia Papanya sekarang membuat Claire merasa tidak adil.
Mamanya memang salah. Tapi awal semua tragedi ini adalah Papanya. Andai saja Baswara tidak memiliki obsesi gila. Claire tidak perlu lahir ke dunia dan mengalami semua hal-hal menyakitkan dan memuakan dalam hidupnya.
Lihat, Baswara kini hidup bahagia dengan istrinya yang baik hati serta dua anak yang tidak pernah berbuat masalah—mungkin dirinya yang menjadi kekurangan pria itu.
“Kalau butuh apa-apa, kamu bisa telpon ibu, Claire,” ucap Gista ketika mendengar rencana pernikahan Claire yang akan diadakan tiga bulan setelah pertunangan. “Ibu senang bisa bantu mempersiapkan pernikahan kamu.”
“Terima kasih, Tante. Tapi Mama Saka dan Mami sudah cukup membantu,” Sudut bibir Claire kemudian terangkat. “Lagian aku nggak yakin Tante bakal mengerti selera kami.” Lanjutnya dengan nada meremehkan.
Gista terperanjat. Paham maksud dari anak tirinya. Ekspresi di wajahnya seketika mendung dengan kepala tertunduk.
“Kamu kasar banget, Claire,” sela Salvia yang tak tahan lagi. “Ibu cuma berniat baik.”
“Salvia,” Gista menggeleng. Mencegah anaknya membuat keributan di saat sedang ada Saka di tengah-tengha mereka. “Claire benar, ibu belum tentu paham selera Claire.” Perempuan itu lantas tersenyum pada anak tirinya. “Tapi selera ibu soal makanan nggak perlu diragukan kok. Kalau kamu butuh food tester, ibu bisa bantu.”
Claire hanya membalasnya dengan senyum kecut.
“Kalau bulan depan Tante nggak sibuk, Tante bisa ikut Mama saya dan Claire ke Paris buat fitting baju.”
Mendengar itu Claire sontak melotot pada Saka.
“Memang boleh, Nak Saka?” mata Gista mengerjap.
“Tentu,” Saka mengangguk. “Tante pasti butuh gaun yang indah di hari pernikahan saya dan Claire.”
Senyum Gista merekah lebar. Melihat itu Baswara ikut tersenyum. Dia sudah pasrah akan kebencian Claire padanya. Setiap kali Claire bersikap begini, Baswara tidak tahu bagaimana cara menegurnya sebab dia menyadari kalau ini akibat perbuatannya. Gista pun selalu mengatakan padanya untuk tidak membelanya di depan Claire karena hal itu akan membuat Claire semakin membencinya.
Claire membuang napas kasar. Meraih minum dan menenggak cepat. Jelas tidak senang dengan sikap Saka.
***
“Sikap kamu yang seperti itu nggak akan menguntung kamu, Claire.” Saka bicara setelah Claire mendiamkannya selama setengah jam di dalam mobil. Saat ini mereka dalam perjalanan menunju apartemen Claire. Saka memaksa mengantar Claire dengan supirnya. Sementara mobil Claire dibawa oleh Christian. “Orang-orang hanya akan makin menganggap kamu tidak sopan kalau begitu sikap kamu pada ibu tiri kamu.”
Claire mendengus. “Pelan-pelan lo mulai bersikap kayak suami yang menasehati istri ya?” sindirnya.
“You’re too emotional.” Saka berkata tenang. “Bukannya kamu ikut kelas Yoga?”
“Udah lama nggak,” Claire menoleh sambil mendelik. “Apa hubungannya sih?”
“Yoga bagus dalam penenangan jiwa.”
“Maksud lo jiwa gue nggak tenang?” Claire tidak terima.
Saka mengangguk. “Makanya kamu selalu dikontrol oleh emosi.”
“Iya deh. Yang paling tidak emosian.” Bola mata Claire memutar. “Lagian lo kenapa sok baik gitu sama ibu tiri gue?”
“So your father is happy.”
“Huh?”
“Biar Papa kamu semakin percaya sama saya.”
Salah satu alis Claire naik tak paham. Bukannya sang Papa sudah memberi restu karena kerjasama yang mereka jalin?
“Jadi, kapan ke Paris sama Mama?” tanya Saka yang memecah gelembung dalam pikiran Claire.
“Tiga hari setelah pertunangan,” Claire menjawab. Melirik Saka sebentar. “Thanks, berkat lo gue jobless sampai hari pernikahan.”
Saka tersenyum tanpa rasa bersalah. “Anytime. Kamu jadi bisa fokus mempersiapkan pernikahan kita.”
Setelah mereka berdua sama-sama setuju menganggap pernikahan mereka seperti hubungan friends with benafits yang pernah mereka jalani—namun versi sah. Saka dan Claire sudah jarang bertengkar. Kadang mereka berdebat, tapi hal itu tidak sampai membuat mereka ribut parah.
Keesokkan paginya di malam Claire mabuk, dia terbangun dengan Saka yang memeluk tubuhnya dari belakang. Pakaian mereka yang masih lengkap membuat Claire tahu mereka tidak melakukannya hari itu. Hanya saja mendapati Saka masih berada di tempat tidurnya sambil memeluknya—lebih mengejutkan daripada fakta mereka tidak berbuat apa-apa semalam. Terlebih Saka baru pergi ke kantor setelah membantu Claire meredakan hangover-nya.
Sudah Claire bilang, Saka adalah satu-satunya orang yang tidak bisa Claire tebak isi pikirannya. Alih-alih tersanjung karena Saka jelas menunjukan perhatian seolah cowok itu memiliki perasaannya padanya—Claire malah curiga. Apa rencana Saka sebenarnya? Seorang Arsaka Alexander Winata yang memiliki ketenangan tingkat zen tidak mungkin melakukan sesuatu tanpa ada tujuan di baliknya.
Dan Claire perlu tahu apa itu. Karena yang paling penting sebelum berperang adalah, mengetahui tujuan lawan. Menikah dengan Saka, bagi Claire sama seperti terjun ke medan perang. Dia tidak boleh lengah sedikit pun. Sedikit saja dia terkecoh, maka game over buatnya.
Saat ini yang harus Claire lakukan adalah mengikuti permainan Saka. Buat cowok itu yakin jika Claire sudah menurut padanya. Dengan begitu, Claire akan memiliki celah untuk mencari kelemahan Saka yang akan dia gunakan untuk mengancam cowok itu balik.
An eye for an eye.
Ancaman akan Claire balas dengan ancaman.
***
Mendatangi kelab malam adalah sesuatu yang selalu Baskara berusaha hindari.
Namun dia tidak tahu bagaimana cara mengusir rasa sesak di dalam dadanya. Seberusaha apapun ia mengabaikan perasaanya dengan menyibukkan diri pada pekerjaan—tetap saja, bayang-bayang Claire selalu menari dalam pikirannya.
Baskara tidak bisa berhenti memikirkan cewek itu dan mengkhawatirkannya setiap saat.
Jadi jangan beranggapan Baskara tidak berusaha menjauhkan diri dari Claire. Dia berusaha, tapi selalu berakhir gagal.
Besok adalah hari pertunangan Claire. Seperti cowok menyedihkan pada umumnya Baskara hanya bisa duduk seorang diri dengan segelas tequilla di tangannya. Ucapan Claire kemarin sore kembali tergiang di dalam kepalanya. Menciptakan kembali gores tak kasat mata di hati Baskara.
“Aku nggak mau kamu kenapa-napa, Bas,” Claire menatapnya nanar. “Ini demi keselamatan kamu.”
“Keselamatanku bukan tanggungjawab kamu, Claire.” Baskara mengenggam tangan Claire. “Bukannya kita udah sepakat buat berteman?”
Tatapan Baskara yang sedih membuat ulu hati Claire seperti ditonjok. “But we have to keep our distance, Bas. Yang kamu hadapi bukan cuma Saka dan keluarganya. Tapi juga keluargaku. Kamu tahu keluargaku bisa nekat banget. It’s too dangerous for you.”
Mata Baskara terpejam. Dia mengerti kekhawatiran Claire. Berurusan dengan keluarga Salim saja sudah cukup berbahaya, apalagi ditambah dengan keluarga Winata. Baskara cari mati jika berani mengusik dua keluarga besar itu. Mereka bisa melakukan apa saja bila ada yang merusak rencana mereka. Pertaruhan ini juga bukan menyangkut dirinya, tapi juga anak-anak panti. Baskara mungkin tidak akan gentar jika hanya dirinya saja dikorbankan. Tapi bagaimana dengan adik-adiknya yang tidak tahu apa-apa?
“Kita masih bisa ketemu,” Baskara kembali membuka matanya ketika Claire balas mengenggam tangannya. “Tapi nggak bisa sesering biasanya. Kalau aku ketahuan sering ketemu kamu. Orang-orang bakal nunduh kamu yang nggak-nggak. I don’t want to get you into this mess, Bas.”
“But, please, just promise one thing, Claire,” Baskara menatap Claire lekat-lekat. “Kalau sesuatu terjadi sama kamu, dan kamu butuh seseorang buat dengerin dan nolong kamu. Jangan ragu buat datangin aku. I will always be there for you.”
Claire tersenyum lembut. “I know,” lalu menganggukkan kepalanya. “Thank you, Bas.”
Rasanya aneh. Baskara sudah tahu jika dia dan Claire tidak mungkin bersama. Sebab cinta saja tidak cukup untuk menyatukan dua orang. Namun entah kenapa, Baskara merasa begitu patah hati. Dunianya terasa gelap belakangan ini. Dan Baskara tidak bisa merasakan apa-apa kecuali rasa sakit yang membuatnya meringis setiap hari.
But you know what, Claire. Even you broke my heart. I still love you with all the little pieces.
Bersambung.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
