Closer Than This - Chapter 19, 20

6
0
Deskripsi

Chapter 19 : let's get into it

Chapter 20 : love happen when it wants

19 | let's get into it


Samudera

"Lo itu benar-benar nggak bisa nyembunyiin suasana hati lo ya. Kemarin ekspresi lo kayak cowok yang baru aja diputusin pacarnya. Sekarang ekspresi lo kayak cowok yang baru aja jadian. So, udah baikkan nih sama Kak Raline?"

Gue mengulum bibir. Nggak langsung menjawab dan membiarkan Jordan terus menunggu dan didera oleh rasa penasaran. Kami memasuki coffeshop  untuk membeli kopi karena pagi ini Jordan butuh asupan kafein agar tetap segar. Gue yakin itu disebabkan karena semalam dia party entah dimana. Yeah, Jordan benar-benar definisi anak Jaksel yang social butterfly.

"Yeee, malah senyum-senyum," tegur Jordan. "Kalau benaran baikkan, bukannya itu berkat gue, ya? Gue kan yang ngasih saran lo buat pepet terus Kak Raline."

Kami berhenti untuk mengantri. Pagi hari begini Rise—nama coffeshop tersebut—memang selalu ramai.

"Nggak pamrih, bukan lo ya, Dan?" gue berdecak. Kemudian maju selangkah mengikuti antrian dimana Jordan nyengir. "Well, gue udah ngomong sama Raline. Dia bilang, dia mau mencobanya sama gue."

Raline bilang nggak mau hubungan kami diketahui oleh keluarga, kan? Artinya gue bisa memberitahu Jordan. Apalagi, sepertinya untuk kedepannya, gue masih butuh saran dari Jordan.

Mendengar itu, mata Jordan membulat. Tampak cukup terkejut. "For real? Wah, gue tahu lo ganteng, tapi gue nggak nyangka lo bisa bikin Kak Raline jatuh hati sama lo."

Jatuh hati? Ah, membayangkan Raline jatuh hati pada gue mungkin akan membuat gue salto keliling rumah. Tapi buat sekarang gue cukup puas dengan ketertarikan Raline pada gue. Dan dia mengakuinya dan nggak menyangkal perasaan itu. Gue tahu Raline wanita yang tegas. Dia juga blak-blakkan tentang perasaanya. Sebab itu, gue takut bila gue belum cukup berhasil menggoyahkan hati Raline—gue hanya akan mendapat penolakkan darinya.

Gue mengangkat bahu. Tiba waktunya kami untuk memesan, obrolan tentang Raline terjeda. Gue dan Jordan kompak memesan hot coffe latte. Sambil menunggu, Jordan melanjutkan intrograsinya.

"So, kalian udah official, nih?"

"Not yet," gue menggeleng. "Gue dan Raline sepakat buat mengenal satu sama lain lebih dalam?"

"Mengenal satu sama lain lebih dalam?" Jordan tersenyum miring.

"Dude, put your dirty thoughts away!" peringat gue sambil memutar bola mata.

Jordan terbahak. "Come on, kalian berdua udah mengenal satu sama lain selama belasan tahun. Tapi kalau lebih dalam ... well, mengingat lo dan Kak Raline udah kiss—"

"Stop it!" gue melototi Jordan. "You know what I mean. Gue sama Raline sepakat untuk pendekatan sebelum memutuskan benar-benar official. Kami nggak mau main-main karena menghargai kedekatan kami selama ini."

"O ... kay," Jordan manggut-manggut. Tapi bibirnya masih menorehkan sebuah ledekkan. "Good for you."

Pesanan kami selesai dibuatkan, gue dan Jordan keluar dari Rise. Sambil memeriksa jam di tangan, gue bertanya pada Jordan. "Meeting sama SJ hari ini, kan?"

"Yap," Jordan mengangguk, mengarahkan tatapan ke meja resepsionis. "Makanya gue rencana mau lunch di luar," katanya kemudian menoleh pada gue. "Lo kenal dekat nggak sama Garendra?"

"Garendra?" gue mengikuti arah pandangan Jordan—melihat Garendra yang tengah bicara dengan resepsionis dengan senyum charming-nya. Garendra merupakan junior arsitek di Sanaka Architetects. Rekan kerja Dewa. "Lumayan. Dia kan gabung tim gue di futsal, bareng Dewa."

"Anaknya gimana?"

Gue mengangkat alis. Menatap Jordan curiga. "Dan, jangan bilang lo sekarang be—"

"What? No!" Jordan langsung membantah keras. "Dude, I'm straight!"

"Mengingat selama ini lo nggak mau punya pacar—"

"Oh, come, bro," Jordan mendesah. "Gue nggak punya pacar bukan berarti gue belok."

Gue mengangkat bahu. Tersenyum kecil sambil menyeruput hot coffe latte gue. "Who knows?"

Jordan memutar bola matanya sembari kami melanjutkan langkah menuju lift. "Gue penasaran karena ternyata dia sahabat Liv,"

"Liv?"

"Anak temannya bokap gue. Gue dikenalin sama dia minggu lalu."

"Well, I bet, kali ini lo agak tertarik sama perjodohan yang diatur bokap lo." Bukan satu atau dua kali Jordan dikenalkan dengan anak dari kolega bisnis papanya—dan selama ini, Jordan nggak pernah penasaran satu pun dari mereka.

"No," bantah Jordan padahal hal yang jarang sekali Jordan membahas wanita yang jodohkan dengannya. "But, she's pretty."

"I knew it," gue tersenyum miring. "Anyway, lo tahu sejak kapan Dewa kenal sama Nina?"

"Dewa-Nina?" Jordan langsung tertawa begitu menyebutkan dua orang itu. "Lo nggak tahu, ya. Dewa bikin cewek paling galak di kantor kita marah."

"Huh?" gue mengerjap clueless. "Kok bisa?"

"Makanya jangan Raline mulu dipikirin. Ketinggalan gosip kantor kan lo," Jordan meledek kemudian kami masuk ke dalam lift. Dengan Jordan yang sengaja nggak menceritakan secara detail itu membuat gue panasaran—sebagai balasan sudah mencurigai orientasi seksualnya.

"Daripada penasaran soal asmara mantan lo. Mending lo pikiran kencan kayak gimana yang bakal bikin Kak Raline jatuh hati deh."

Gue terdiam sejenak lalu berdeham. Untung saat ini hanya ada gue dan Jordan dan lift. "Menurut lo mending gue ajak Raline kencan dimana?"

"Kok nanya gue?" Jordan menyeringai meledek. "Kalau gue juga yang mikir soal ini, mending gue ajalah yang kencan sama Kak Raline."

Mata gue memicing memperingati. "Don't you dare."

"Galak amat," Jordan malah tersenyum makin senang. "Belum jadi pacar juga."

"Soon," balas gue tenang dan percaya diri.


***


Gue keluar dari lift selepas memantau proses syuting di studio yang terletak di lantai empat belas. Memainkan ponsel sambil googling ide kencan romantis yang bisa gue terapkan untuk kencan gue dengan Raline.

Well, bukannya gue benar-benar buta soal ini. Cuma selama ini pendekatan gue dengan cewek terbilang ... mainstream. Kalau nggak makan, ya nonton. Apalagi semasa pacaran sama Nina—kami yang waktu itu masih mahasiswa lebih sering berkencan di coffeshop sambil ngerjain tugas atau kalau malam minggu, gue main ke kos Nina sambil bawa nasi goreng buat dimakan bareng. Kalau fee atau freelance gue udah keluar, baru deh gue ngajak Nina nonton atau ke tempat yang dia suka.

Sementara dengan Sierra—mantan terakhir gue, pendekatan kami cukup singkat. Hanya satu bulan. Sierra adalah talent untuk projek yang sedang gue kerjakan. Kami berkenalan dari sana, lalu semakin dekat selama syuting. Satu minggu setelah projek itu selesai, kami nonton bareng dan jadian. So, yeah, gue belum pernah benar-benar menyiapkan sebuah kencan dengan wanita yang sedang gue dekati.

I know, Raline akan setuju dengan semua ide kencan gue. Cuma gue menginginkan yang terbaik dan spesial untuk Raline.

Makan malam di restoran mewah jelas opsi yang aman. Apalagi setahu gue Raline memang sering diajak dinner di tempat mewah. Gue pasti akan melakukannya untuk kencan kami. Tapi bukan di kencan pertama. Gue ingin kencan yang berkesan dan menyenangkan.

Gimana kalau gue ajak Raline ke Ancol? Banyak hal yang bisa kami lakukan di sana.

Sayangnya, Raline pasti sudah cukup lelah dengan pekerjaannya selama weekdays. Gue nggak mau bikin dia kelelahan.

"Serius amat, Mas?" gue mengerjap kemudian mengalihkan perhatian dari layar ponsel pada Nina yang berpapasan dengan gue ketika gue sudah sampai di lantai dua belas.

"Eh, Nin," gue mengusap tengkuk. "Mau kemana?" tanya gue melihat Nina menggendong backpack-nya.

"Kuningan," jawab Nina. "Mau meeting sama klien."

"Sendirian aja?" tanya gue lalu melongo ke dalam ruangan untuk melihat siapa aja yang kelihatan nggak sibuk dan bisa nemenin Nina.

"Nalen lagi nyiapin moodboard. Terus Pedro ... ya ... kelihatan sibuk," katanya lalu mengangkat bahu. "So, Jadi aku aja yang pergi."

"Bentar," gue membuka ponsel mencari kontak Jordan. "Jordan siang ini ada meeting sama SJ—"

"Mas Sam," Nina menurunkan tangan gue. "Mas Dan meeting-nya nggak ngelewatin Kuningan. Aku juga nggak mau ngerepotin. Aku pergi sekarang, ya. Mas bukannya habis ini ada mantau syuting lagi?"

"Beneran, Nin, bisa pergi sendiri? Aku temenin aja, ya? Syuting masih jam tiga kok—"

"Astaga," Nina buru-buru memencet lift. "Kamu jangan keseringan baik kayak gini sama cewek ya, Mas. Ntar cewek pada baper. Untung aku udah kenal kamu dari lama, dan tahu kamu memang anaknya sebaik ini. Coba kalau cewek lain. Aku yakin Kak Raline nggak akan suka kalau pacarnya baik ke semua cewek."

"Eung ... belum jadi pacar, Nin."

"Ya, bentar lagi jadi pacar, kan?" Nina menaikkan turunkan kedua alisnya.

Gue mengulum bibir menahan senyum. "Doain aja ya, Nin."

Nina mendengus kecil kemudian masuk ke dalam lift. "Good luck ya, Mas. Aku berdoa kamu dan Kak Raline cepat jadian terus married."

Gue ketawa. "Makasih, Nin. Hati-hati, ya."

Nina mengangguk lalu menekan tombol hingga lift tertutup.

Gue geleng-geleng kepala. Jadian terus married. Gosh, Samudera, khayalan lo sudah jauh aja padahal official jadian sama Raline aja belum. But, well, sepertinya gue nggak akan membiarkan hubungan kami berlama-lama di zona pacaran. Bukan hanya karena gue sudah di usia yang cukup matang untuk menikah. Melainkan apa lagi yang gue tunggu di saat gue sudah bersama orang yang tepat?

Gue menarik kursi lalu menyalakan laptop untuk kembali googling. Di saat sedang membaca satu artikel—dentingan ponsel mengalihkan perhatian gue.

Raline

Iel, sabtu kamu ada acara?

Samudera

Nggak ada, Raline

Raline

Good

Gimana kalau first date kita ke bogor aja?

Aku mau ngajak mau horsing terus kita barbeque di villaku

Well, that's good. Cuma bukannya seharusnya gue yang mengajak Raline dan merencanakan semuanya ya?

Samudera

Perfect.

Sebenarnya aku lagi googling nyari ide first date kita

Cuma aku kalah cepet dari kamu

Raline

Oh, ya?

HAHAHA

Gemes

It's okay, Iel

Nanti di second date kamu bisa ajak aku kemana aja.

Samudera

Second date kita bakal sama serunya sama first date

Raline

No doubt.


Gue tersenyum.

Raline

Okay

Call you later ya

Aku mau lanjut kerja dulu

Samantha

Sure

Have a nice day, Raline

Raline

You too, Samudera


Gue menyandarkan punggung di sandaran kursi begitu menaruh ponsel di meja. Raline memang selalu punya inisiatif. Gue agak kecewa dengan diri gue sendiri karena malah Raline yang mengajak gue nge-date duluan. Di saat gue lah yang seharusnya melakukan itu. Gue yang ingin membuktikan diri pada Raline. Gue yang berjanji nggak akan membuatnya nggak menyesal memberikan kesempatan apda gue.

Samudera, seharusnya lo memikirkan ini lebih cepat.

Gue menghela napas lantas menutup laptop dan meraih ponsel. Memasukkan ke dalam tas dan bersiap pergi menuju lokasi syuting hari ini.

Meskipun kekecewaan sedikit membuat gue merasa gagal, tapi membayangkan hari kencan kami nanti di Bogor membuat gue excited. Gue dan Raline akan ke Bogor menghabiskan waktu berdua. Raline bilang dia mau kami barbeque di villanya ... apa itu artinya kami akan menginap?

Pemikiran itu seketika membuat sekujur tubuh gue panas. Bayangan yang terjadi di Bali kembali menari-nari di kepala gue. Gue memejamkan mata lalu membuka mata. Apa sih, Samudera! Bukannya lo mau deketin Raline pelan-pelan?

Sebaiknya gue mencari alasan pada Mami apabila beliau bertanya kenapa gue nggak pulang weekend ini. Gue nggak mau berbohong, tapi gue sudah berjanji pada Raline ini merahasiakan hubungan kami. So, sepertinya gue akan bilang ada janji sama Jordan. Mami jelas nggak akan keberatan. Malah beliau sering banget nyuruh gue hangout atau nge-date sama cewek alih-alih nemenin beliau di rumah.

"Mas Iel, kamu itu masih muda. Seharusnya banyakin bergaul. Kalau kamu weekend sama Mami terus, gimana dapat pacarnya?"

Gue tersenyum kecil. Bisa membayangkan reaksi Mami jika atau alasan gue nggak pulang weekend ini karena mau nge-date sama Raline.

She must be happy.

Sejak dulu Mami sudah menganggap Raline seperti putrinya sendiri dan akan sengat bahagia jika bisa menjadi Raline putrinya sungguhan.

Bersambung.



20 | love will happen when it wants


 

Raline

Kapan terakhir kali aku bersemangat karena akan berkencan?

Well, sepertinya aku selalu santai dan tenang menanti kencanku. Buatku polanya pasti akan sama dan mudah diperdiksi. Dinner di restoran fancy, liburan mahal, dan segala kegiatan yang pastinya cukup membuang-buang uang. Untuk yang terakhir lebih sering dilakukan Andrew sih. Pria itu nggak pernah cemas ketika akan menghabur-haburkan uangnya. But you know what, mau semahal atau semewah apapun kencan yang kamu lakukan—jika pria yang berkencan denganmu nggak memberikan dirinya seratus persen pada momen itu, rasa tetap saja flat.

Perasaan itu sering kurasakan ketika berkencan dengan Andrew meskipun dia pernah membawaku berkeliling dengan helikopter sekali pun. Dan aku tahu Samudera nggak akan pernah membuatku merasa begitu. Dia selalu memberikan atensi penuh padaku dan kebersamaan kami. Sebab itu, aku juga selalu bersemangat setiap kali berpergian dengannya.

Sudah satu jam aku membongkar wardrobe guna mencari pakaian yang akan kukenakan untuk kencan kami besok. Namun belum ada satu pun pakaian yang membuatku puas.

Aku mendesah, melemparkan mid-length shirt dress Dior yang menurutku terlalu formal untuk kupakai.

Karena besok kami akan horsing dan barbeque, tentunya aku membutuhkan pakaian yang nyaman. Namun ... setengah hatiku ingin tampail cantik dan feminim di depan Samudera—argh, kenapa aku kayak remaja puber gini sih?

I know, mungkin terdengar memalukan untuk wanita yang sudah berumur tiga puluh tiga tahun bersikap centil karena akan berkencan. But what can I do? Gemuruh di dadaku nggak bisa dikendalikan. Rasa excited membayangkan akan bertemu Samudera besok terkadang membuatku tersenyum-senyum sendiri sampai aku nggak bisa fokus bekerja. Aku terus melihat tanggal berharap waktu akan berjalan cepat.

I wonder ... sebenarnya mulai dari kapan aku memandang Samudera dengan cara berbeda?

Rasanya terlalu cepat untuk merasakan euforia ini hanya karena ciuman, kan?

Lamunanku tersentak ketika ponselku berdering. Aku mengulurkan tangan, meraih benda pipih itu di atas nakas kemudian mengeluarkan kernyitan ketika melihat Samantha lah yang menghubungiku.

"Hiiii, baby, lagi ngapain?" suara Samantha terdengar ceria dan bersemangat.

Aku merengutkan hidung. "Dih, tumben, manis gini. Biasanya ada maunya, nih."

Samantha tergelak. "Tau aja lo, babe. Besok ngapain? Girls time, yuk? Gue punya voucher nyalon nih—well, walaupun gue tahu duit lo udah banyak dan nggak membutuhkan voucher buat nyalon doang. But, come on, kapan lagi kita girls time? Terus habis itu kita ngopi cantik. Di Kemang ada coffeshop yang minggu lalu grand opening. Kata asisten gue, tempatnya aesthetic."

Really? Di antara semua waktu, kenapa Samantha harus mengajakku besok, sih?

Aku menyugar rambut lalu duduk di tempat tidur sambil menggigit bibir. Memutar otak mencari alasan untuk menolak ajakkan Samantha tanpa terdengar mencurigakan.

"Duh, Tha, gue nggak bisa deh kayaknya. Besok gue ada acara keluarga."

"Acara keluarga apa?"

"Emm," aku membasahi bibir. "Family barbeque gitu, sih."

"Ohh, pasti acaranya sore, kan? Yaudah kita start dari pagi aja biar sore lo bisa cabut."

"Masalahnya pagi gue ada acara sama nyokap gue."

"Nyokap lo bukannya lagi di Shanghai?"

Shit!

"Udah balik semalam," padahal aku nggak tahu mama sudah beneran pulang atau belum.

"Yah, beneran nih lo nggak bisa?" Samantha terdengar kecewa.

"So sorry, Tha. Minggu depan gimana?"

"Minggu depan gue ke Paris, babe. Lo lupa PFW minggu depan?"

"Gimana, dong? Gue beneran nggak bisa," kataku dengan suara penuh penyesalan.

"Yaudah, deh. Gue ajak Kak Shana aja."

"Great." Aku tersenyum. "Kak Shana pasti mau."

"Hmm. Yaudah, gue call Kak Shana dulu, ya."

"Okay,"

Begitu panggilanku dan Samantha berakhir, aku langsung menghela napas lega. Saat akan bangkit berdiri untuk kembali memilih pakaian—ponselku berdering oleh chat dari Samudera yang membuatsenyumku mengembang.

Samudera

sent picture

Aku udah belanja buat BBQ besok, biar kita bisa langsung otw bogor 😊

Raline

Penuh inisiatif ya☺️
 

Samudera

Kamu belum tidur?

Udah jam 11 lho

 

Raline

Ini mau tidur

Anyway, tadi Atha nelpon aku ngajakin girls time besok

Bisa-bisanya timing pas banget sama kencan kita 🙃

Yaudah, aku bilang aja ada acara keluarga


Samudera

Serius??

Kak Atha juga chat aku ngajak ke café something yang katanya baru buka,

Terus nanti bareng ke tempat Mami

 

Raline

FOR REAL?

Kamu jawab apa?


Samudera

Aku bilang ada acara sama Jordan.

Sama Mami juga bilangnya gitu


Raline

Nggak enak bohong sama Mami ya?


Samudera

Sedikit


Raline

Sabar ya

Kita nggak akan sembunyiin ini selamanya kok


Samuderap

I know

Don't worry about that

So ... it's late

Time to sleep, Raline


Raline

You too

Good night, Samudera


Samudera

Have a nice dream, Raline.


Aku menggigit bibir menahan senyum membaca balasan Samudera di layar ponsel.

Gosh, apakah berkencan rasanya selalu semembahagiakan ini?


 

***


 

Keesokkan paginya, aku bangun lebih cepat agar bisa bersiap-siap. Kupandangi pantulan tubuhku melalui standing mirror, merapikan lagi penampilkanku yang sebenarnya sudah sangat sempurna. Aku mengenakan cutbay jeanscoklat yang kupadu dengan vest berwarna beige. Simpel. Nggak berlebihan. Tetapi tetap terlihat elegan.

Saat menerima telpon dari Samudera yang mengatakan ia sudah di depan lobi, aku segera turun sambil membawa satu bag yang berisi pakaianku.

Di dalam lift, tiba-tiba detak jantungku berdegup dengan kencang. Kupikir aku nggak akan gugup. Tapi begitu lift sampai di lantai lobi lalu terbuka, kegugupan langsung menderaku. Langkahku jadi melambat dan aku sampai berhenti menyandarkan tubuh di dinding menenangkan diriku.

Inhale. Exhale. Inhale. Exhale.

Setelah merasa cukup tenang. Aku kembali melanjutkan langkah mendatangi Samudera yang bersandar di pintu mobil menungguku. Saat pandangan kami bertemu, aku merasa breathless. Samudera tampan. Nggak ada keraguan soal itu. Akan tetapi hari ini dia sangat memesona. Auranya berbeda. Padahal pakaiannya cukup simpel. Celana jeans serta kaos hitam dilapasi denim jaket coklat yang membuat pakaian kami serasi. Pikiran itu entah kenapa membuatku senang.

Aku tersenyum mendekatinya. Semakin menganggumi ketampanannya saat jarak kami menipis.

Samudera is the very definition of perfect.

He's gorgeous, tall, sweet, smart, and good at everyhting.

Sepertinya aku bisa memuji Samudera seharian ini.

"Hi," Samudera membalas senyumku dengan hangat. Cekatan di mengambil bag-ku kemudian menaruh di jok belakang. Setelah menutup pintu mobil, dia menatapku lembut. "You look pretty,"

Aw, aku rasa kakiku berpotensi jadi jeli jika aku nggak segera masuk ke dalam mobil dan duduk dengan nyaman.

"Thank you," balasku lalu balas memujinya. "You look handsome as always."

 Samudera mengusap tengkuk salah tingkah kemudian membukakan pintu mobil untukku dan menjaga kepalaku agar nggak terbentur.

Aku selesai memasang seatbelt ketika Samudera masuk ke dalam mobil. Tatapan kami bertemu yang diiringi dengan senyum kami merekah. Jujur saja, berpergian dengan Samudera untuk berkencan sama sekali nggak pernah singgah di benakku. But here I am. By his side. Happy.

Meskipun salah satu alasanku mengajak Samudera berkencan ke Bogor demi menghindari kemungkinan Samantha tahu—cause you know, Jakarta nggak seluas itu, teman Samantha menyebar dimana-mana. Aku dan Samudera memang sering jalan berdua. Akan tetapi aura kami saat berkencan pasti berbeda. Aku nggak ingin Samantha mengetahuinya. Dia memang nggak peka. Akan tetapi Samantha gampang curiga. So, lebih aman untuk kami kencan di luar Jakarta. Lagipula horsing kegiatan yang seru.

"Anyway, udah lama aku nggak horsing," Samudera berkata sembari memanuver mobil keluar dari kawasan apartemenku.

"Sama," timpalku. "Terakhir kayaknya dua atau tiga bulan yang lalu, deh."

"Mending," Samudera terkekeh. "Aku mungkin lima tahun yang lalu."

"It's okay," Aku mengulurkan tangan untuk menepuk bahunya. "Nanti kalau udah di sana, kamu juga bakal luwes lagi."

"Yeah, I hope so," Samudera menoleh sambil melempar senyum manisnya padaku. "Aku juga nggak mau malu-maluin di depan kamu."

"Kamu nggak pernah malu-maluin di depan aku, Iel." Aku berdeham. "Mau lagu apa?" tanyaku sembari menyambungkan spotify-ku dengan audio mobil.

"Bruno Major?"

Aku menyimpan senyum. Bruno Major adalah salah satu penyanyai favoritku.

"Okay," aku mengangguk lantas mulai menyalakan lagu sehingga perjalanan kami mulai diisi oleh suara romantis dari Bruno Major. Suasana di antara kami terbangun menyenangkan. Aku dan Samudera membicarakan banyak hal. Mulai dari membahas parfumnya sampai ke influencer yang pernah bermasalah dengan hotelku.

"Reputasi dia emang nggak bagus setahuku. Kami juga udah blacklist udah buat jadi talent."

"I see." Aku membuang napas. Masalah itu memang sempat membuatku pusing dan geram. "Attitude-nya minus. Setelah aku kepoin dia, ternyata dia memang sering viral karena masalah kayak gini."

Samudera menoleh lalu mengulurkan tangannya untuk mengenggam tanganku. Aku tahu Samudera melakukannya untuk menghiburku. Akan tetapi efeknya membuat tubuhku seperti disengat oleh sentruman kecil yang menyenangkan. Apalagi dia sama sekali tak melepaskanya. Genggamannya yang hangat berhasil mententramkan hatiku sehingga aku berharap dia nggak akan pernah melepaskannya.

"I know you can handle it," ucap Samudera dengan suara hangat dan lembut. "You're so cool, Raline."

That's very sweet of him.

Aku rasa semua love language diborong oleh Samudera. Karena begitu kami memasuki kawasan Bogor, Samudera langsung menyadari jika pakaianku agak terbuka. Dia lantas melepaskan denim jaketnya dan memberikanya padaku. "Take my jacket. It's cold."

Sepertinya nggak perlu banyak kencan untuk meyakinkan perasaanku pada Samudera.

Begitu sampai di tempat berkuda, aku dan Samudera mengganti pakaian kami dan memakai peralatan berkuda agar kami bisa menungganginya dengan aman. Aku mengikat rambutku menjadi kuda dan tersenyum pada Samudera yang sedang membelai kepala Amel—kuda kesayanganku.

"Tau aja nih Amel cowok cakep," candaku sambil berdiri di samping Samudera yang tampak gagah dengan rompi, sepatu boot, dan helmet di kepalanya. Dia seperti pangeran yang ingin berburu ke hutan.

"Amel lebih kalem sejak terakhir aku ketemu dia," komentar Samudera.

"Actually, dia selalu kalem setiap kali ada kamu."

Samudera tergelak kemudian menatapku dengan kilat pesona. "You know, kamu selalu kelihatan atraktif tiap kali pakai pakaian berkuda."

"Does that make you like me more?" aku memiringkan kepala sambil menatapnya.

Samudera tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian tanpa kuprediksi dia mendekat. Bibirnya menyapu telingaku. Napas hangatnya membelai. Aku mengerjap terkejut. Agak tegang. Lalu saat dia membisikkan sesuatu ke telingaku. "You always know the answer, Raline."


 


 

***


 

Samudera sama sekali nggak kehilangan skill-nya. Dia tampak begitu menawan ketika menunggangi kudanya. Aku bisa mengira dia adalah Pangeran dari sebuah kerjaan alih-alih budak korporat yang bekerja nine to five.

"Ini yang katanya udah lama nggak horsing," ucapku begitu Samudera turun dari kuda lalu menghampiriku.

Samudera mengulum bibirnya lalu membalas dengan rendah hati. "But you're better than me."

Aku menahan senyum. "Well said, Iel."

Kami lantas memutuskan berjalan-jalan sebentar menikmati pemandangan hijau di luar arena berkuda. Pohon-pohon rindah, udara sejuk, serta jalan setapak yang kami injakki terasa begitu menenangkan.

Terlebih ada Samudera di sampingku.

Aku menoleh. Menaikkan pandanganku padanya yang tampak begitu damai. Tubuh Samudera tinggi dan tegap. Ia memiliki wajah yang jelas di level berbeda. Saat ini dia benar-benar seperti pangeran yang keluar dari sebuah komik dengan perlengkapan berkudanya.

Rambut hitamnya yang lembut bertebrangan. Garis rahangnya yang tegas membuat Samudera jadi begitu menawan. Belum lagi hidung mancungnya yang menarik. Bagaimana bisa aku terlambat jatuh hati pada pria sememesona ini?

Wait ... apakah aku baru saja bilang kalau aku jatuh hati pada Samudera?

"It's so serene here," bisik Samudera.

Aku mengerjap lalu membalas. "It is."

Langkah kaki kami tanpa sadar melangkah dengan serentak. Ketika menyadarinya, aku spontan menoleh pada Samudera—yang ternyata di juga tengah memandangku. Menyadari hal tersebut. Kami berdua tertawa kecil sampai tawaku berhenti ketika merasakan jemari Samduera yang menyusup ke sela-sela jariku.

"I can hold your hand, right?"

"You already did."

"Yeah," Samudera tersenyum sambil mengeratkan genggaman tangannya. Sementara aku berusaha menenangkan lonjakkan detak jantungku yang berdegup dengan kencang.

Wajahku mendongak, memandang langit yang tampak cerah. Membuat kencan pertama kami terasa begitu sempurna.

Sepertinya ini adalah kencan terbaik yang pernah kulakukan. Tidak ada celah untukku merasa nggak puas. Biasanya, selalu saja ada yang kukelahkan dari date-ku. Samantha bahkan pernah mengejekku. "Kayaknya susah banget ya memuaskan hati Bu Raline. Gue penasaran harus cowok se-perfect apa agar bisa bikin lo puas."

Cowok seperti yang seperti Samudera, Tha.

Bersama Samudera ... I have absolutely no complains.



 

***


 

Selesai berkuda, aku dan Samudera mengisi perut di sebuah restoran yang nggak jauh dari tempat kami horshing. Seperti biasa, it's always nice to eat with someone who really understands you. Samudera benar-benar mendengarkanku ketika aku bicara. You know, terkadang nggak semua orang yang mendengar curhatanmu adalah pendengar yang baik. Wujudnya memang nyata, namun perhatian mereka sama sekali nggak terfokus padamu. Namun aku nggak pernah sekali pun merasa Samudera nggak mendengarkan—atau berpura-pura mendengarkanku.

Dari tatapannya serta gesturnya, aku tahu dia benar-benar mendengarkan. Samudera juga bukan tipe orang yang menggurui, dia baru akan memberi saran jika aku memintanya. Cause sometimes, alasan orang curhat hanya ingin didengarkan dan divalidasi. Bukan mengharapkan balasan yang menggurui.

Waktu terasa begitu cepat setiap kali aku menghabiskan waktu dengan Samudera. Germisi mulai berjatuhan menjelang sore. Aku dan Samudera pun memutuskan untuk segera ke villa sebelum hujan deras.

Sudah menyangka Bogor akan dihiasi oleh hujan, Samudera menyiapkan payung di mobil.

"Kamu masuk duluan aja. Aku ambil barang-barang kita dulu," katanya saat kami sudah keluar dari mobil.

"No," aku menggeleng. "I can help you."

"Raline," Samudera menatapku lembut namun suaranya terdengar tegas. "I don't want you to get sick. Please, break into the house, hm?"

Aku nggak pernah mendeskripsikan diriku sebagai orang yang penurut. Bahkan banyak perintah mama yang sering kulanggar. Aku pun nggak pernah mau diatur-atur oleh Andrew semasa kami pacaran. Namun dengan Samudera, nggak ada bisa yang kulakukan selain menganggukkan kepala, "Okay," lalu masuk ke dalam villa sesuai perkataannya.

What happen with me?

Apakah aku sudah benar-benar jatuh hati pada Samudera?

Di kencan pertama kami?!

Aku menunggu Samudera dengan khawatir di teras. Ketika dia belari ke arahku. Pandanganku langsung tertuju pada bagian lengan bajunya yang basah. Memegang payung sambil mengambil barang-barang kami jelas akan membuatnya kebasahan.

"See, kamu kebasahan gini," kataku sambil mengusap bagian yang basah lalu mengulurkan tangan hendak mengambil tasku dari tangannya. Namun Samudera dengan cepat menghindar. "Iel."

"I'll take it," katanya sambil nyengir lalu merangkul bahuku. "Let's go inside. It's cold."

Sebenarnya aku ingin mengomelinya yang keras kepala. Sayangnya, hati lembutku tentu nggak akan akan tega jika Samudera semakin kedinginan. Aku langsung mengambil handuk untuknya begitu kami masuk ke dalam villa.

"You can go to your room," ucap Samudera sambil mengelap tubuhnya. "Aku tahu kamu ngantuk."

Well, sebenarnya udara yang dingin memang membuatku agak mengantuk. Selama di mobil aku bahkan berusaha tetap terjaga. Nggak kusangka Samudera menyadarinya.

"Biar aku bikinin kamu teh—"

"Raline, nanti aku bikin sendiri ya," Samudera menahan tanganku. Lalu memegang kedua bahuku dan mendorongku menuju kamar tidur. "Sekarang kamu tidur. Nanti kalau ujan udah reda dan kita BBQ, aku bangunin."

Aku membalikkan badan. Mulai menyuarakan protes. "Kenapa dari tadi kamu terus yang jaga aku, sih? I also want to take care of you."

"You want take care of me?" Samudera menyeringai menggodaku.

"Of—" aku menutup mulut ketika melihat Samudera tersenyum-senyum. "Fine. Aku bakal ke kamar, tapi kamu juga habis istirahat."

"Fair enough,"

"Good rest, Iel," katamu sambil memutar handle pintu.

"You too, Raline," balas Samudera yang belum beranjak dari tempatnya bahkan setelah aku menutup pintu.
 

Bersambung.


 


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Feel My Heartbreak - Extra Chapter (Bagian 8)
31
1
cuplikan  Mama bilang lo nolak mulu dikenalin sama anak temennya Mama.Memang lo bakal mau dikenalin sama cewek yang nggak lo mau?Memang udah ada cewek yang lo mau?Udah. Emir menyeringai ketika menatap Ethan. Tapi kan udah jadi istri lo.Rahang Ethan mengencang. See, dia selalu mancing-mancing emosi aku! tukasnya pada Kama.Kama menghela napas. Menatap Emir yang justru tampak senang karena berhasil memancing emosi Ethan. Mas Emir, nggak usah jailin Mas Ethan gitu dong!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan