Closer Than This - Chapter 17, 18

7
0
Deskripsi

Chapter 17 : confindence in me

Chapter 18 : make it right


17 | confindence in me


Samudera

Gue meraih ponsel, menatap layarnya yang menampilkan room chat gue dengan Raline. Sudah banyak chat yang gue kirimkan sejak tiga hari yang lalu—tapi Raline hanya membalasnya satu kali.

Iel, I think we need time to think things through.

Gosh, Raline, kamu tahu banget cara bikin aku gelisah nggak keruan.

Gue menghempakan tubuh di atas tempat tidur. Memijat kepala yang berdenyut pusing karena kurang istirahat. Pekerjaan menggunung ditambah dengan Raline yang masih belum mau bertemu cukup membuat gue kesulitan tidur. Saat malam itu terjadi, gue sudah membayangkan beberapa reaksi Raline keesokan paginya. Pertama, Raline yang akan bersikap santai seolah malam itu nggak pernah terjadi. Kedua, Raline menghindar dan nggak mau bertemu gue.

Well, gue condong pada dugaan pertama karena begitu lah biasanya Raline jika berada di situasi yang nggak nyaman. Gue pikir gue bisa mengajaknya bicara membahas malam itu dan perasaan kami besok paginya. But, I was wrong. Begitu gue terbangun setelah tidur dengan begitu nyenyak, Raline sudah nggak ada. Dia hanya meninggalkan secarik kertas yang berisi penjelasan kenapa dia harus pergi.

Ada pekerjaan mendadak.

Well, gue tahu itu hanya alasan. Nggak ada pekerjaan mendadak karena ketika Ami menelpon gue siang harinya untuk menanyakan kapan gue mau dipesankan tiket pesawat—gue bertanya pekerjaan apa yang sedang Raline lakukan sampai di tiba-tiba balik ke Jakarta. Ami menjawab;

"Kerjaan? Ibu udah minta saya mengkosongkan jadwalnya selama weekend ini, Mas."

Gue bukan tipe laki-laki demanding. Jika Raline memang ingin mengambil waktu untuk memikirkan yang kami lakukan malam itu dan menelaah perasaanya—gue dengan senang memberikannya. Hanya saja, dia bukan meminta waktu, melainkan menghindar dari gue. Dan gue nggak bisa membiarkannya. At least, kami bicara secara face to face dulu saat memutuskan hal itu, right?

Gue mengusap wajah kemudian meraih ponsel untuk menatap kontak Raline. Jika gue menghubunginya lagi, Raline mungkin akan risih. Gue nggak mau dia merasa gue terlalu menuntutnya. Tapi hati gue nggak nyaman dengan situasi kami sekarang.

Ponsel gue yang tiba-tiba berdering dengan layarnya yang menampilkan nama seseorang sempat membikin jantung gue berdegup kencang. Tapi saat melihat siapa yang menelpon, kekecewaan menyerbu perasaan gue.

Jordan is calling ...

Gue mendesah. Sebenarnya malas mengangkat telpon Jordan. Tapi gue tahu dia nggak akan berhenti menghubungi gue sebelum gue mengangkatnya.

"Hm," gue menyahut dengan gumaman sambil menatap langit-langit kamar.

"Hi, bro," suara Jordan terdengar ceria. "Buka pintu, dong. Gue udah di depan apart lo, nih."

"What?"

"Come on, baby. Lumutan nih aku nunggu kamu," ucap Jordan dengan suara manja yang bikin perut gue mulas.

"Stop it!" tukas gue seraya bangkit bangun dan keluar dari kamar. Mematikan panggilan Jordan kemudian mengayunkan kaki ke pintu dan membukanya.

Jordan berdiri di depan gue sambil nyengir. Menggunakan celana olahraga dan hoddie hitam. Satu tangannya menenteng kantong putih yang isinya penuh.

"Ngapain lo ke sini?" tanya gue membuka pintu lebih lebar. Membiarkan Jordan masuk dan melewati gue.

"Ngehibur lo," balasnya. Meletakkan kantong itu di atas meja bar lalu memutar badan menghadap gue. "Gue udah beli bahan-bahan buat bikin beef steak."

"Terus?" gue bertanya meskipun sudah tahu ujungnya.

"Come on, bro," Jordan mengangkat bahunya. "Lo tentu nggak mau dapur lo kebakaran gara-gara gue, kan?"

Tentu aja membiarkan Jordan memasak bukan hanya berpotensi bikin gue keracunan. Tapi juga membuat kegemparan di dapur gue. Dia sangat buruk dalam memasak.

"Itu namanya lo sama sekali nggak ngehibur," gue memutar bola mata. Menyusul Jordan ke dapur lalu membongkar belanjaannya. "Tapi nyusahin."

Jordan terkekeh tanpa sungkan. Menarik stool dan duduk di sana. "Selagi lo masak, gue bisa mendengarkan curhatan lo. So, tell me. I'm all ears."

Gue mendengkus. Membuka plastik daging. Tidak mengatakan apa-apa sampai suara Jordan kembali terdengar.

"Kak Raline, right?" mendengar nama Raline cukup mampu membuat gerakkan gue terjeda sebentar. "I knew it!Semenjak pulang dari Bali lo suram banget kayak waktu Kak Raline punya pacar baru."

"..."

"Kenapa? Lo ditolak?"

Jordan emang bangsat.

Gue membuang napas. Memegang pinggiran kitchen island sembari menatap Jordan sebal. "Lo mau dengerin curhatan gue atau ngeledek gue?"

"Dengerin lo, Sayang," Jordan menjawab centil lalu tersenyum bak malaikat. "Makanya spill the tea, biar gue bisa kasih saran. Gue tahu kalau udah berhubungan sama cewek, lo itu cupu banget. Apalagi ceweknya Kak Raline."

Gue menghela napas. Mengingat saran Jordan pernah berhasil. Mungkin dia bisa memberi gue sedikit pencerahan tentang apa yang harus gue lakukan agar Raline mau ketemu dan bicara dengan gue.

"Raline menghindar dari gue,"

"Udah Raline aja, nih?" Jordan menyeringai menggoda. Tapi sedetik kemudian dia merubah ekspresi menjadi serius karena gue memandangnya datar. "Well, kenapa Kak Raline mengindar? Something happened in Bali?"

"Yeah," gue menjeda. Ragu-ragu memberitahu Jordan soal ini. But—I really need his advice. "We kissed."

"What the fu—" Jordan memekik terkejut. Matanya melotot menatap gue. "Are you being serious, bro?"

Gue mengangguk.

"Unbelievable!" Jordan menggeleng-gelengkan kepala tak percaya. "Lo nggak pernah ciuman sama cewek yang bukan pacar lo."

Gue melipat tangan. Nggak ambil pusing soal reaksi Jordan. Walaupun yang dia katakan memang benar. Gue nggak pernah ciuman sama wanita yang bukan pacar gue. Saat pendekatan, gue mencegah kotak fisik yang intim karena gue merasa nggak benar aja melakukannya pada wanita yang belum resmi memiliki hubungan khusus dengan gue. Jordan sering kali meledek gue karena itu. "Elah, bro, cium tipis mah sah-sah aja. Nggak usah lurus banget gitu lah."

Tapi Raline adalah godaan yang nggak bisa gue hindari. She was born to be a conqueror. Dia terlalu memesona sampai gue ingin segara memilikinya dengan cara apapun. Dia membangkitkan sesuatu yang selama ini selalu berhasil gue redam.

"Paginya Raline tiba-tiba balik ke Jakarta tanpa gue. Cuma ninggalin pesan di notes yang bilang alasan dia pergi karena ada kerjaan mendadak. Terus dia balas chat gue sekali, bilang kami butuh waktu untuk mencerna malam itu. Tapi gue ngerasa dia menghindar karena sampai sekarang dia nggak balas chat gue lagi, angkat telpon gue, atau mau ketemu gue saat gue datang ke hotelnya." Ucap gue terselip kefrustasian.

"Ciuman lo mengecewakan kali," celetuk Jordan asal yang membuat gue ingin sekali menendang bokongnya keluar dari apartemen gue sekarang juga.

Nggak mungkin ciuman gue mengecewakan. Raline menyukainya. Gue rasa malah sangat menyukainya karena dia pun memuja gue sama seperti gue memujanya. Lebih dari pada itu, yang kami lakukan lebih dari berciuman. Gue telah—ah, stop it, Samudera. Ini bukan waktunya untuk berkhayal nakal.

"Keberadaan lo di sini sama sekali nggak membantu." Tukas gue benar-benar kesal. "Pulang deh lo!"

Jordan tertawa bahagia. "Dude, easy, gue bercanda. Serius, dicuekin Kak Raline bikin lo jadi super grumpy."

"Gue grumpy karena lo memang menyebalkan."

Jordan mengangkat tangan seolah menyerah. "Fine. Let's talk. So, intinya ciuman itu yang menyebabkan Kak Raline menghindar dari lo. Hmm, respon yang masuk akal karena mungkin Kak Raline masih butuh waktu buat mencernanya."

"But it's been three days!" sela gue.

"I know. But, yeah, mungkin Kak Raline masih butuh waktu." Jordan mengangkat bahu. "Despite all that, lo tetap nggak boleh diam aja. Come on, selama ini lo terlalu memikirkan semua hal. Just do what you want to do. Toh, ibaratnya lo udah kecemplung. Kenapa nggak beranang aja sekalian? Tunjukkan perasaan lo dengan sejelas-jelasnya sampai nggak ada celah buat Kak Raline menyangkal dan menghindar lagi."

Gue terdiam. Memikirkan kata-kata Jordan.

"This is the time, bro." Tukas Jordan serius. "Sekaligus penentuan. Kalau lo tetap mau menjaga hubungan kakak-adek zone dengan Kak Raline, then, lo akan kehilangan dia untuk selamanya. It's your choice."


 

***


Samudera

Raline

I really need to talk to you

Please reply, whatever you answer is


Gue mengirimkan chat itu lalu menyimpan ponsel ke dalam saku denim. Mengulurkan tangan menekan pintu lift kemudian masuk ke dalamnya. Saat pintu akan tertutup, gue menangkap sosok Nina yang berlari ke arah gue—gue terkekeh kecil lalu menahan pintu agar Nina bisa masuk.

"Makasih, Mas," cengir Nina sambil mengatur napasnya yang ngos-ngosan.

"Buru-buru amat, Nin," gue menunduk. Menyadari jika Nina hari ini berdandan. Biasanya dia lumayan cuek sama penampilannya. Apalagi kalau sudah after office hours begini. Nina nggak akan mau repot-repot touch up makeup-nya. Tapi gue bisa melihat pipinya diberi blush on serta bibirnya diolesi lipstik berwarna nude. "Mau ketemu siapa, sih?"

Nina tersenyum. Menyugar rambut pendeknya ke belakang salah tingkah. "Nggak ketemu siapa-siapa, Mas. Cuma mau dinner aja sama Kian."

"Sama Kian apa sama Kian?"

Nina menyipitkan mata lalu mendorong lengan gue. "Nggak usah rese ya, Mas."

Gue terkekeh. Pintu lift terbuka. Kami keluar lift berbarengan. Saat gue merogoh ponsel buat mengecek apakah chat gue sudah dibalas sama Raline atau belum—Nina memegang lengan gue. Membikin gue menunduk dan mengernyitkan kening menatapnya. "Kenapa, Nin?"

"Mas, aku boleh nebeng sampai halte nggak?"

Sebenarnya gue berencana untuk ke apartemen Raline. Tapi mengantar Nina sampai halte sepertinya nggak akan memakan waktu banyak. "Sure,"

Nina tersenyum lega. Namun senyum itu nggak bertahan lama ketika ada seseorang yang memanggil gue.

"Sam,"

Gue menoleh. Mendapati Dewa berjalan ke arah gue dengan senyum tipisnya. Dewa bekerja di tower yang sama dengan gue. Tepatnya di lantai 26. Mas Arsitek satu ini lumayan sibuk belakangan. Bahkan dia udah beberapa kali absen futsal. Yeah, gue mengenal Dewa karena kami satu tim futsal. Makanya, gue agak kaget bisa ketemu Dewa tanpa sengaja kayak gini.

"Hi, Wa," sapa gue lalu tosan ala cowok dengannya. "Tumben sore gini udah keluar aja dari goa?" ledek gue. Meskipun pekerjaan kami bisa dibilang sama-sama menguras waktu. Dewa terkadang bisa jauh lebih sibuk dari gue. Makanya kami jarang papasan walaupun satu tower.

Dewa tertawa dengan suara bass-nya. Lesung pipinya menyembul sambil dia mengusap tengkuk. "Iya. Gue tadinya mau nunggu orang. Tapi kayaknya orangnya nggak suka ketemu gue."

"Wah," gue mengerjap. "Ternyata ada ya cewek yang kebal sama rayuan lo."

"Rayuan? Bro, gue nggak ngerayu semua cewek," protes Dewa. Kemudian sekilas gue melihat dia melirik Nina sambil berkata. "Cuma cewek yang gue suka."

Gue mengernyitkan kening. Semakin menyadari jika Dewa terus melirik perempuan di samping gue dengan binar ketertarikan. Gue mendengus sambil geleng-geleng kepala. Naksir mantan gue kayaknya nih cowok.

"Kenalin," sebagai teman yang baik. Dan tentu mantan yang baik. Gue pun mengenalkan Dewa dengan Nina. Lagipula, gue mengenal keduanya dengan baik. Dewa meskipun kelihatan playboy karena 'keramahannya'—dia selalu monogami dan nggak punya catatan pernah cheating. Sedangkan Nina, gue tahu batapa baiknya dia kendati sekarang orang-orang bilang dia galak. "Kanina, Dewa. Dewa, Kanina."

Dewa tersenyum berseri-seri. "Hi, Nina."

Wait ... mereka tampak nggak baru kenal. Terlebih Dewa memanggil Kanina dengan nama panggilannya. "What was that? Kalian udah saling kenal?" tanya gue agak bingung.

Dewa mengangguk. "Ketemu di kantin."

Nina membuang napasnya tampak sebal. "Mas, yuk, aku buru-buru, nih."

Gue menoleh lalu mengangguk. "Oh, okay." Lalu menepuk bahu Dewa untuk berpamitan. "Duluan, Wa."

Dewa mengangguk. "Hati-hati nyetirnya, Sam," pesannya yang menurut gue seolah dia ingin mengatakan; jagain cewek disamping lo baik-baik ya, Sam. Gebetan gue tuh.

Hmm. I smell something fishy. Sejak kapan Dewa dan Nina saling mengenal?


 

***


 

Seperti saran Jordan, gue harus mengambil kesempatan ini buat memperjelas lagi perasaan gue. Sewaktu di Bali, tepatnya pada malam itu, Raline sama sekali nggak memberikan gue kesempatan untuk mengungkapkan perasaan gue. Memberitahunya jika gue sudah mencintai selama tiga tahun. Di mata gue, dia bukan lagi sahabat kakak kandung gue—melainkan perempuan yang gue cintai dan ingin miliki.

So here I am. Duduk sofa lobi gedung apartemen Raline menunggunya pulang. Walaupun sebenarnya bisa aja gue langsung naik ke atas dan menunggu Raline di dalam apartemennya—gue merasa itu bukan tindakan yang sopan. Besides, Raline belum pulang jadi gue rasa lebih baik gue menunggu di sini.

Gue kembali mengirimkan Raline chat yang kali ini lebih terus terang.

Samudera

I know your confusion

Even so, I don't have any regret about what happened that night.


Right. Gue sama sekali nggak menyesali apa yang terjadi di malam itu. Meskipun akibatnya Raline jadi menghindar dari gue—namun malam itu akan menjadi kenangan indah yang nggak akan bisa gue lupakan. Sekaligus membuat gue semakin yakin jika koneksi di antara gue dengan Raline bukan lah koneski biasa. Kami punya ketertarikan yang dalam—yang mungkin aja selama ini terpendam karena kami menyadari ada garis tipis yang memisahkan kami. Hanya menunggu waktu sampai itu kembali muncul.

Raline nggak akan membiarkan seorang laki-laki menciumnya jika dia nggak punya ketertarikan pada laki-laki tersebut. Gue mengenal Raline. Meskipun gue nggak tahu Raline ternyata cukup ... agresif dan berani.

Gue berdeham. Mengusap tengkuk ketika bayangan malam itu kembali datang. Di saat yang sama, gue melihat pintu lobi terbuka. Sosok cantik Raline yang mengenakan midi dress putih di bawah lutut langsung membuat gue bangkit berdiri.

Raline semakin mendekat. Ketika pandangan kami bertemu, ekspresinya langsung berubah kaku. Matanya mengerjap terkejut dan bibirnya mengucapkan nama gue dengan suara gugup. "I-Iel,"

Yeah, it's me, Raline.

Bersambung.


18 | make it right


Raline

"Anyway, lo kelihatan kusut banget, deh. Biasanya mau kerjaan lo bikin muntah sekali pun, hal itu nggak akan sampai bikin lo ... kayak gini." Samantha memandangiku dari atas sampai bawah dengan miris. "Tell me, something happened in Bali, right?"

Mataku mengerjap. Tenggorokkan yang mendadak kering membuatku menelan ludah. "M-maksud lo?"

"Yeah," Samantha mengangkat bahu. "Mungkin aja di sana lo berantem sama Andrew dan itu bikin lo bete sampai sekarang?"

"Andrew?"

"Wait," Samantha mengerutkan kening. "Jadi bukan karena Andrew."

"'No—I mean, yes! Andrew emang bikin gue bete."

Itu adalah pembicaraan terakhirku dengan Samantha kemarin. Namun aku memikirkannya sampai hari ini.

What would Samantha say if she knew I'd kissed with her brother? Mungkin dia akan kaget, tapi setelah itu ... I can't predict it at all. Samantha jelas nggak mengharapkanku berakhir dengan Samudera. Dia bahkan lega dengan dugaannya soal Samudera yang nggak menyukaiku selama ini. Terlebih, Samantha cukup protektif pada adiknya.

Well, aku bisa mengerti. Membayangkan adikku menjalin hubungan dengan sahabatku bukan sesuatu yang ingin kubayangkan. Namun hal itu membuatku semakin ragu untuk menceritakan yang terjadi di Bali pada Samantha.

Satu minggu telah berlalu. Malam di Bali terasa seperti mimpi indah. Setiap kali mengingat malam itu, perutku tegang, sensasinya menggelitik terasa sekujur tubuhku. Hari-hariku dipenuhi oleh ingatan menyenangkan tersebut—yang kadang sungguh menyiksa karena hal itu membuatku ingin segera bertemu Samudera. Sementara jika aku melakukannya, di kondisi diriku yang masih mendambakannya—aku tahu apa yang akan terjadi setelahnya.

Mataku terpejam. Kembali terbuka ketika Pak Dadang—supir kantor—menghentikan mobil begitu sampai di depan lobi gedung apartemenku. Banyaknya meeting hari ini membuatku pulang agak terlambat. Aku terlalu lelah untuk menyetir sehingga meminta Pak Dadang langsung mengantarku pulang alih-alih kembali ke hotel.

Aku menyugar rambut ke belakang. Membayangkan kasur yang empuk dan nyaman. Aku harus segera tidur supaya nggak berakhir melamunkan Samudera. Sejujurnya, aku sangat merindukannya. Begitu merindukannya hingga rasanya hatiku berdenyut perih setiap kali membaca chat dari Samudera.

Samudera

I know your confusion

Even so, I don't have any regret about what happened that night.

Oh, trust me, Iel. Deep inside, aku pun nggak menyesali apa yang terjadi malam itu. Bagaimana mungkin di saat aku masih menginginkannya. Hanya saja, situasi di antara kami nggak begitu bagus. Terlebih dia adalah Samudera—aku nggak mau mengambil langkah gegabah yang malah semakin merusak hubungan kami.

Aku mendorong pintu lalu melangkahkan kaki memasuki lobi apartemen. Ketika langkahku semakin dekat dengan lift. Mataku menangkap sosok mencolok yang bangkit dari sofa. Pandangannya yang mengarah padaku membuat tatapan kami bertemu.

Aku mengerjap. Memastikan sosok itu bukan khayalan semata karena aku terlalu merindukkannya. Namun dia berdiri di sana. Begitu jelas. Begitu nyata.

Jantungku sontak berdegup kencang. Bibirku yang gemetar berbisik. "I-Iel,"

Samudera berjalan menghampiriku. Tatapannya begitu intens dan serius. Kakiku mendadak kaku. Tidak bisa digerakkan. Lalu ketika jarak kami semakin dekat, sosok itu akhirnya berdiri dihadapanku. Menjulang tinggi yang membuatku harus mendongak untuk menatapnya.

Aku bisa melihat kantung mata Samudera. Gurat lelah di wajahnya serta pancaran kalut bercampur frustasi di matanya membuat hatiku sedih.

Oh, what have you done to him, Raline?

Rasa bersalah menggulung hatiku. Menyadarkanku jika sikapku pada Samudera sudah keterlaluan. Padahal aku lebih tua darinya. Seharusnya aku bersikap lebih dewasa dan membicarakan masalah ini dengan kebijaksanaan. Bukannya terus menghindar yang menyebabkan Samudera bingung dan resah.

"Raline," nada suara Samudera rendah namun tegas. "We need to talk."

Well, Raline, nggak ada alasan untukmu menghindar lagi. Selesaikan masalah ini seperti orang dewasa.


***

 

"Raline," Samudera memanggilku begitu kami memasuki apartemen. Aku berdiri membelakanginya, hendak masuk ke dalam kamar untuk mengganti baju dan mempersiapkan diri. Namun panggilan Samudera menghentikanku.

Kubalikkan badan. Menatap Samudera yang matanya menyorotkan keresahan. Seakan-akan ia takut aku akan kabur darinya.

Oh, Raline, lihat apa yang sudah kamu lakukan pada Samudera yang lembut dan baik hati. Mengabaikannya hanya untuk membuatnya resah?

Aku tersenyum lembut. "Aku mau ganti baju, Iel. Setelah itu, we can talk."

Keresahan di mata Samudera berkurang. Dia mengangguk. "Okay," katanya kemudian duduk sofabed. "Aku tunggu di sini."

Aku mengangguk lantas masuk ke dalam kamar. Menenangkan gemuruh di dadaku lalu bergegas mengganti baju dengan yang lebih nyaman agar Samudera nggak semakin lama menungguku. Aku sudah membuatnya menunggu selama satu minggu. Kali ini, aku nggak akan membuat Samudera menunggu lebih lama.

Aku keluar dari kamar dan melihat Samudera duduk dengan tegang.

"Mau minum apa?" aku menawari demi mengurangi kecanggungan di antara kami.

Kepala Samudera terangkat. Dia manatapku dalam lalu membalas. "Apa aja,"

Aku melangkahkan kaki menuju pantry lalu membuka kulkas. Mengambil dua kaleng soda dan membawa ke sofa. "Here," kataku memberikan salah satunya pada Samudera kemudian duduk di sampingnya.

Kami berdua terdiam untuk beberapa saat. Aku menenggak minumanku. Berusaha untuk menatap Samudera. Tapi setiap kali melakukannya, tiba-tiba perasaan gugup menderaku. Aku bukan tipe orang yang mudah dibuat gugup. Hanya saja, aku nggak tahu harus memulainya darimana.

Meminta maaf karena mengabaikanya lima hari ini?

Atau sebelum itu aku harus meminta maaf dulu karena sudah menggodanya sehingga malam tak terkontrol itu terjadi?

"Raline,"

"Huh!" aku mengerjap terkejut oleh panggilan tiba-tiba Samudera di tengah sibuknya pikiranku. "... ya?"

Sedetik kemudian mengutuk reaksiku yang sama sekali nggak ada anggun-anggunnya.

Namun Samudera tampaknya nggak terlalu mempedulikanya karena dia masih menatapku dengan serius. "I'm sorry," katanya sedih.

Jantungku seperti diremas kuat. Sebongkah rasa kecewa membuatku menunduk agar Samudera ngga melihatnya. Samudera ... menyesali malam itu?

"Raline, look at me," ucap Samudera lembut.

Aku mendongak. Lalu tersenyum agak pahit padanya. "Nggak, Iel. Yang harus minta maaf itu aku. I'm sorry. Seharusnya aku lebih bisa mengontrol diri dan nggak memaksa kamu. Merayu kamu padahal—"

"Kamu nggak ngerayu aku, Raline." Sergah Samudera cepat. "Malah—I kissed you first. Dan aku sama sekali nggak merasa dipaksa."

Samudera diam sejenak, menatapku lekat. "I want that too," dia membasahi bibirnya lalu melanjutkan. "... intensely. Aku minta maaf karena situasi kita jadi kayak gini. Bikin kamu bingung dan mungkin bertanya-tanya kanapa aku ngelakuin itu. But you know what, aku sama sekali nggak menyesal. That night was the most beautiful night to me."

Bibirku berkedut ingin bicara. Namun nggak ada satu kata pun yang keluar dari mulutku. Pengakuan Samudera membuatku kembali merasakan debaran itu. Di saat yang sama ... muncul ketakutan yang menyentakkanku pada kenyataan jika ini nggak akan mudah buat kami berdua.

"I like you, Raline," Samudera mengakui terang-terangan. Matanya mengunciku, menegaskan kesungguhannya. Aku sudah menduga Samudera memiliki perasaan padaku ... cuma ... mendengarnya secara langsung terasa berbeda. "Bukan sebagai saudara, atau pun sahabat. But as a man to a woman. Aku udah menyukai kamu sejak tiga tahun yang lalu, terus akan menyukai kamu sampai sekarang dan seterusnya."

"Ie—Samudera," aku menatapnya agak panik. Samudera menyukaiku sejak tiga tahun yang lalu? Bagaimana mungkin—maksudku, kenapa aku nggak menyadarinya?

"Kamu nggak serius, kan?" tanyaku masih sulit percaya akan pengakuannya.

Padahal keseriusan Samudera tampak melebihi saat dia belajar keras untuk masuk kampus impiannya.

"Apa aku kelihatan bercanda sekarang?" balasnya tanpa memutus tatapan kami. Samudera menggeser duduknya lebih dekat denganku lalu menganggam tanganku tegas namun lembut. "Aku serius, Raline. Aku nggak akan bercanda soal perasaanku sama kamu. I like you. A lot."

Samudera bukan laki-laki pertama yang menyatakan perasaan padaku. Namun, hanya Samudera yang mampu memunculkan reaksi seperti ini. Jantung berdebar. Pikiran berantakkan. Aku ingin menyangkal. Akan tetapi kesungguhan Samudera membuatku bingung harus berkata apa. Lebih dari itu, aku tahu Samudera tak akan pernah berbohong padaku.

"Tapi—"

"Dan aku tahu kamu juga ngerasin sesuatu sama aku, right?"

Yeah, aku tentu nggak bisa mengelak soal ini. Karena nggak mungkin aku membiarkan Samudera menciumku jika aku nggak punya perasaan padanya.

"Iel," aku membasahi bibir. Menatapnya yang tampak begitu tulus hingga nyaris membuatku bertekuk lutut dan ingin menciumnya. "Kamu tahu kita udah mengenal satu sama lain sangat lama. Aku sayang sama kamu, dan sejujurnya aku juga kaget kenapa aku bisa—" Aku berhenti karena merasa panas di pipiku ketika akan mengatakannya. "... mencium kamu dengan cara kayak gitu. Dan ... menikmati apa yang kita lakuin. Karena selama ini, aku pikir aku menganggap kamu kayak adikku sendiri."

"But you're not," bisiknya.

"Right," aku mengangguk, berkata pelan. "Apparently not."

Keheningan terjadi selama beberapa saat di antara kami.

Aku menghela napas lalu menatap Samudera. "I don't know how I feel now. What I want—what happened to us that night was something I never expected. Tapi yang jelas, aku nggak lagi menganggap kamu kayak adikku."

"You don't want to be with me?"

"No—" Aku memejamkan mata sekilas menyadari aku harus meralatnya. "I mean, yes! I want you to always be by my side. You're also my special person, Iel. But, you know, hubungan kita berdua adalah hubungan yang berharga. Aku sahabat kakak kamu, aku kenal keluarga kamu dengan baik. Dan selama belasan tahun tahun hubungan kita akrab layaknya keluarga. Merubah itu semua dalam satu kedipan mata bukan sesuatu yang mudah."

"I get the gist of what you're saying." Samudera mengangguk memahami perasaanku. "Menurut kamu kenapa baru sekarang aku berani mengutarakan perasaanku sama kamu, Raline?"

Dia mengambil jeda untuk menarik napas dan melanjutkan.

"Aku takut kehilangan kamu. Aku takut perasaanku akan bikin hubungan kita memburuk. I tried to hide it, tapi perasaanku buat kamu terus berkembang dan semakin banyak setiap harinya. Sampai di titik rasanya sakit banget kalau kamu bersama orang lain yang bukan aku."

Kalimat terakhir Samudera yang terdengar begitu pedih membuatnya tampak begitu rapuh. Aku menyayangi Samudera. Sangat menyayangi sampai jika ada yang berani melukainya akan berhadapan denganku. Tapi ketika tahu akulah yang penyebab dari rasa sakitnya ... that hurt me more.

"I told myself  buat nggak mengacau. Nggak membuat kamu kebingungan dan terjebak dalam situasi sulit. But, I like you so much. Aku ingin jadi orang yang bikin kamu bahagia, aku ingin jadi orang yang ada di samping kamu di momen bahagia maupun sedih kamu, aku ingin jadi orang yang bisa kamu andalkan, dan aku ingin menjadi orang yang ... kamu sukai." Genggaman Samudera ditanganku menguat. Dia menatapku di bawah kelembutan dan juga keresahannya. "So, please, let me fight for you ..."

Aku membuka mulut hendak bicara, tapi Samudera nggak membiarkanku.

"Aku tahu aku bukan tipe cowok yang ingin kamu jadiin pasangan. But I will treat you better than any man in your life. Aku akan berusaha menjadi cowok yang kamu inginin."

Aku nggak menginginkan Samudera menjadi pria yang seperti yang aku inginkan. Aku ingin dia menjadi dirinya sendiri karena aku menyukainya yang begitu.

"Keadaan kita memang nggak ideal dan aku ngerti keraguan kamu karena hubungan kita yang udah akrab selama ini. Tapi kamu harus tahu, meskipun ternyata aku nggak bisa meyakinkan kamu untuk bersama aku—aku janji nggak akan ada yang berubah dari hubungan kita. Aku akan tetap datang saat kamu butuh orang untuk mengusir teman kencan kamu yang freak, aku akan nemenin kamu pergi kemana pun kamu mau pergi. Nggak ada yang berubah, Raline. I promise that."

Sebelum aku bisa menyela, Samudera kembali melanjutkan.

You know, aku menyadari dia terus bicara karena terlalu gugup dan resah.

"Yang terjadi di Bali juga di luar rencanaku. Aku ingin mendekati kamu pelan-pelan. Tapi—yeah, yang terjadi di Bali kayak mimpi. Mimpi indah yang nggak bisa aku lupain."

Oh, Samudera tersipu! Pipinya memerah.

Samudera berdeham. "So, aku ingin membantu kamu mencari tahu gimana perasaan kamu sama aku. May I?"

Aku langsung bersuara sebelum Samudera kembali membungkamku dengan kalimat lanjutannya.

"Iel, kamu ngomong terus kapan aku bisa kasih jawaban?"

Samudera mengerjap lalu menunduk malu. "Sorry, aku takut kamu nolak aku."

Aku tak kuasa untuk nggak tersenyum. Memandangnya dengan rasa kasih sayang yang selama ini selalu kurasakan padanya. Hanya saja, kali ini bukan rasa kasih sayang kakak pada adiknya.

"Sebenarnya mencoba sama kamu masih bikin aku gamang dan takut. Aku nggak mau mempetaruhkan yang kita punya selama ini. But, I'm interested in you. Clearly." Mau menyangkal gimana pun, aku memang tertarik pada Samudera. Rasa tertarik seorang perempuan pada laki-laki. "Seminggu ini terasa berat banget, aku nggak bisa berhenti mikiran kamu, mengkhawatirkan kamu. Besides, malam itu juga bukan kesalahan buat aku."

Samudera menatapku penuh harap.

"So, let's try, Iel."

Samudera menutup matanya, dan ketika terbuka. Dia menghembuskan napas lega seolah beban dunia telah terlepas dari pundaknya. "I thought you would reject me," ucapnya sambil menjatuhkan keningnya di bahuku.

Aku tersenyum kecil. Mengusap kepalanya. "No. I'm not."

"Thank you,"

"For?"

"Give me an chance. I promise I will never disappoint you."

"I know you wouldn't," sahutku. "Tapi, Iel, aku punya satu permintaan."

Kepala Samudera sontak terangkat. Menatapku tegang.

Aku tertawa. "Bukan permintaan yang berat. Well—mungkin cukup berat. Aku mau kita rahasaiin ini dulu... khususnya dari Samantha."

"Oh," Samudera mengerjap. Lalu mengangguk pelan. "Okay."

"Good,"

Samudera mengelus punggung tanganku. Matanuya kembali menemukan binar terang. "So, aku udah boleh ngajak kamu kencan, kan?"

Aku tergelak. Memiringkan kepalaku. "Memang kencan Samudera biasa kemana, sih?" sahutku yang membuatku kami berdua tertawa.

Bersambung.


 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Closer Than This - Chapter 19, 20
7
0
Chapter 19 : let's get into itChapter 20 : love happen when it wants
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan