
Chapter 10 : you're eyes where i lost in
Chapter 11 : why i get so nervous when i look into your eyes?
Chapter 12 : like a real date
10 | you're eyes where i lost in
Samudera
Mimpi apa gue semalam?
Setelah kemarin menggalau mengetahui Raline lagi dekat dengan Reksa—suddenly, Raline meminta gue buat menemaninya ke pernikahan Andrew?
Well, begitu tahu hubungan Raline dan Reksa nggak berjalan lancar—gue berusaha keras menyimpan senyum senang. Gue sama sekali nggak expect Reksa akan mundur begitu mengetahui siapa keluarga Raline. I mean, gue mengerti alasan Reksa mengambil keputusan itu. Hanya saja, gue pikir Reksa, at least, akan berjuang dulu.
Sekonyong-konyongnya gue juga nggak langsung sepercaya diri ini menyatakan diri kalau gue memiliki something special buat Raline. Gue sadar betul siapa wanita yang lagi gue taksir. Raline Puteri Tjandra jelas adalah high value woman yang eksistensinya dikagumi banyak orang. Latar belakang keluarga, pendidikan, karir, dan kesempurnaan fisiknya membuat Raline sulit digapai—apalagi untuk cowok-cowok 'sederhana' seperti gue.
Gue nggak menganggap diri gue rendah. Hanya saja, gue harus mengakui kalau Raline out of my league. Dia bagian dari keluarga Tjandra yang mana adalah keluarga konglomerat yang memiliki kerajaan bisnis keluarga.
Gaya hidup Raline memang cukup sederhana meskipun ia tajir melintir sejak lahir. Dibanding anak konglomerat yang lain, Raline bisa dibilang jarang sekali memperlihatkan kehidupan pribadi dan kekayaanya dia media sosial. Media sosialnya Raline ia jadikan sebagai personal branding yang berkaitan dengan pekerjaan. Namun meskipun begitu, aura 'mahal' dalam diri Raline tak mungkin bisa disembunyikan.
Gue terlahir dari keluarga yang berkecukupan. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan Raline—kami jelas berada di level yang berbeda. Baik dari segi latar belakang maupun karir.
Gue bukan pengusaha. Gue hanya lah budak korporat yang bekerja keras untuk membuat boss makin kaya. Mendekati wanita kayak Raline mungkin akan membuat gue mendapat kritikan. "Punya apa lo, Sam? Berani dekatin cewek kayak Raline?"
Well, mungkin terdengar dangdut banget tapi yang gue punya adalah ketulusan untuk menyayangi Raline. Jika gue benar-benar mencintai seseorang—seharusnya perbedaan kami nggak akan membuat gue mundur, kan?
Gue sadar, pada umumnya, cowok memang bisa mengalami inferiority complex apabila pasangannya memiliki karir, pendidikan, atau strata sosial yang lebih tinggi dibanding dirinya. Namun gue dibesarkan ditengah-tengah wanita yang dominan. Dan nggak pernah sekalipun gue merasa kurang atau minder.
Mendiang Papi sejak kecil malah mengajarkan gue untuk selalu mengapresiasi setiap pencapaian yang berhasil dilakukan oleh Mami dan kedua kakak perempuan gue. Merasa bahagia dan bangga atas pencapaian mereka. Bahwa baik perempuan maupun laki-laki punya kesempatan yang sama untuk meraih kesuksesan.
Lebih daripada itu, gue nggak bisa mundur karena perasaan gue pada Raline sudah berkembang kelewat besar. Gue menemukan sebuah kenyamanan yang nggak mau gue lepaskan untuk alasan apapun. Menyerah sebelum berjuang juga bukan sesuatu yang mendiang Papi ajarkan pada gue.
Gue nggak akan pernah tahu hubungan gue dan Raline akan berhasil atau nggak kalau gue nggak pernah mencobanya.
Raline
Iel, kamu hari ini sibuk ga?
Gue mengangkat pandangan dari iPad saat layar ponsel menyala. Melihat nama Raline membuat senyum gue terkembang lebar. Dengan semangat gue meraih ponsel dan mengetikkan balas cepat.
Samudera
Not really
Kenapa, Kak?
Raline
Temenin aku ambil dress mau gak?
Nanti sekalian kita nyari suit yang cocok buat kamu
Samudera
Okay
Jam berapa?
Raline
Jam 7 gimana?
Nanti aku jemput ya
Kamu gak bawa mobil kan hari ini?
Sebenarnya gue bawa mobil karena hari ini ada dua meeting di luar. Tapi demi Raline gue bisa menitipkan mobil gue pada Jordan atau siapapun.
Samudera
Siip
Jam 7 ya
Raline
See you, iel
Samudera
See you, kak
"Chat-an sama siapa sih, Mas? Sampai senyum-senyum sendiri gitu," ledekkan dari Nalendra yang lewat meja gue nggak menyurutkan senyum gue. "Udah kayak orang lagi kasmaran aja. Patah hati nih cewek-cewek se-tower."
"Kecuali gue," celetuk Nina yang di tengah kesibukkan menyiapkan bahan presentasi yang akan berlangsung beberapa menit lagi.
"Iya deh, yang udah move on," Nalendra menyeringai lalu kembali mengalihkan perhatian pada gue. "Jadi siapa nih, Mas? Cewek beruntung itu. Yang berhasil membuat cowok ganteng se-Jabotabek jatuh cinta."
Gue geleng-geleng kepala sambil nyengir kecil.
"Siapa yang jatuh cinta?" Jordan tiba-tiba menimpali. Dia datang sambil memegang corkcicle di tangan kiri serta iPad di tangan kanan karena kami ada meeting sebentar lagi.
"Mas Sam, Bang," Adu Nalendra. "Gue mergokkin Mas Sam senyum-senyum sambil liat hape."
Jordan menatap gue dengan salah satu alis yang naik. "Kayak anak SMP aja lo, bro. Naksir cewek sampai sekantor tau."
"Lah, lo tahu Bang siapa cewek yang ditaksir Mas Sam?" mata Nalendra membelalak. "Spill the teaaa, sisssss," tambahnya dengan suara khas cewek-cewek rumpi.
Gue ketawa lalu bangkit berhenti untuk menghentikan rasa ingin tahu Nalendra. Karena jika Nalendra tahu, nggak butuh waktu lama buat satu kantor tahu. Well, nggak apa-apa kalau gue sama Raline sudah official. Tapi ini kan masih tahap pendekatan—dimana Raline aja belum sadar sedang gue dekatin. Gue nggak mau show off sesuatu yang belum gue miliki.
"Mending lo spill progress kerjaan lo, Len," ucap gue menepuk bahu Nalendra dan mengajaknya ke ruang meeting.
Nalendra tersenyum kecut lalu melimpir ke mejanya untuk mengambil MacBook-nya. Jordan yang bersisihan dengan gue berisul. "Lancar nih sama kak Raline? Saran gue berhasil, kan? Lo sih, udah gue bilang kalau deketin cewek itu yang penting pepetin terus nggak pakai rem."
Gue mendengus. "Dan harus berapa kali gue bilang Raline is different. Gue harus hati-hati biar nggak bikin kacau."
"Ya, ya, ya. Lo ngomong 'hati-hati' udah sejak tiga tahun yang lalu, man. Pas Raline dating sama cowok lain aja baru panik."
Si bangsat.
Kadang gue ingin sekali menimpuk wajah Jordan dengan sepatu gue.
***
Tepat pukul tujuh malam, mobil Raline sudah berhenti di depan lobi utama. Gue tersenyum lantas turun dari undakkan tangga dan membuka pintu Bentley milik Raline.
"Aku on time, kan?" cengirnya saat gue memasang seatbelt.
Gue ketawa. "Kamu kan emang selalu on time, Kak."
Raline mengangguk bangga. "Ajaran Bu Selena. Dia sebel banget kalau aku sampai telat ke acara apapun itu." Sambil terus bicara, Raline menginjak gas dan melajukan mobilnya keluar dari area kantor. "Kamu udah makan?"
Gue menggeleng. "Kamu?"
Raline ikut menggeleng. "Kita makan habis dari butik aja, ya? Tempatnya nggak jauh kok dari sini."
"Okay."
Bertemu dengan Raline hari ini adalah sesuatu yang membuat gue bahagia. Apalagi setelah rangkaian pekerjaan yang terkadang suka bikin sinting—nggak peduli betapa gue sangat menyukainya—tetap aja nggak ada pekerjaan yang nggak bikin stres dan capek. Tapi melihat Raline duduk di samping gue—tersenyum lepas padahal gue tahu pekerjaannya juga pasti nggak kalah sintingnya—membuat semua rasa lelah itu sirna. Karena artinya Raline juga senang ketemu gue.
Aroma parfumnya menari-nari di indera penciuman gue. Rambut panjang indahnya berada dalam satu jepitan. Hari ini Raline mengenakan cropped jacket yang dipadu dengan midi skirt berwarna cream. Raline selalu well dress. Aura lady boss bersinar terang dalam dirinya. Tapi siapa menyangka wanita yang kelihatan tangguh ini kadang bisa bersikap kekanakkan.
"Iel, bukain pintu," rengeknya begitu selesai memarkirkan Bentley-nya di depan butik.
Gue tergelak kecil. Lantas keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Raline. Tentu saja gue akan dengan senang hati memperlakukannya seperti Ratu. Bahkan untuk sepanjang hidup gue sekali pun.
Raline tersenyum. Menyambut uluran tangan gue. "Thank you, Gavariel," ucapnya seperti seorang lady.
"Anytime, My lady," balas gue yang membuat Raline tertawa dengan permainan peran kami.
Kami berdua memasuki butik milik seorang desainer kondang yang sering tampil di TV. Seorang pria berbadan tinggi namun kurus menyambut gue dan Raline gembira. Tampilannya trendy dan unik dengan jeans cutbray dan kemeja ungu yang bagian atas kancingnya di lepas, menunjukkan jelas identitasnya sebagai seseorang yang memahami fashion.
"Lineeee, gue kira bakal asisten lo yang jemput gaun lo!" ucap Givani—nama desainer kondang tersebut.
Raline tersenyum. Mereka bercipika-cipiki akrab. "Mumpung beberapa meeting gue batal jadi gue aja yang ambil sendiri."
Pria itu manggut-manggut kemudian melirik gue yang berdiri setia di sebelah Raline. "Siapa nih? Cowok baru?"
Gue sengaja diam. Menunggu Raline memperkenalkan gue sebagai apa meskipun gue sudah bisa menebak sih. "Bukan," sangkal Raline sambil berdecak. "Adiknya Samantha. Lo nggak lihat kemiripan mereka?" katanya dan gue nggak mampu menahan kegetiran di dalam hati gue.
"Serius?! Kok Samantha nggak pernah bilang punya adik secakep ini?!" Givani mempelajari gue dari atas sampai bawah. "Kan bisa jadi model buat fashion show gue, bok!"
"Iel nggak tertarik jadi model." Raline sekonyong-konyong mengusap rambut gue dengan tatapan lembut. "Maunya jadi pegawai kantoran aja ya, Iel?"
Gue tersenyum. Perlakuan Raline ini benar-benar membuat gue dilema. Gue suka ketika Raline menyentuh gue. Namun gue tahu perlakuan ini dilakukannya karena dia menganggap gue adik kecilnya.
Karena Raline butuh mencoba gaunnya, gue pun duduk di sofa menunggunya. Ketika dia keluar dari fitting room,pandangan gue sontak berpaling dari ponsel pada Raline yang berhasil merenggut semua napas gue.
Bagaimana bisa perempuan tercipta seindah ini?
Di sana, Raline berdiri dengan begitu cantiknya. Sebuah gaun off shoulder berwarna hitam memeluk tubuh rampingnya dengan ketat dari bagian atas sampai lutut. Sementara di bagian bawah lutut melebar ke ujung kaki. Bahunya yang terbuka membuat gue tanpa sadar membasahi bibir. Keindahan garis leher jenjang yang meliuk sampai bahu cukup mengacaukan otak gue.
Damn it, Samudera! Focus!
"Iel, gimana?" tanya Raline yang berkacak pinggang dengan percaya diri. Tentu, dia pantas mendapatkan kepercayaan diri itu karena visualnya sekarang akan sanggup menciptakan kekacauan. "Menurut kamu ada yang kurang?"
Satu-satunya kekurangan kamu, Raline, adalah kamu belum menjadi milik aku.
"You're perfect," ucap gue. Bahkan sebenarnya kata 'perfect' pun belum cukup untuk menggambarkan betapa indahnya Raline.
Raline tersenyum. Memutar badan menghadap kaca sehingga kini mata gue dimanjakan oleh keindahan punggung Raline. Sepertinya gue harus mengalihkan pandangan agar otak nggak makin pervert. Pikiran gue jadi berkelana liar dan semakin jauh hanya karena melihat sedikit keindahan kulit Raline. Well, gue bukannya mesum tapi sulit untuk nggak berpikir ke arah sana ketika melihat wanita yang lo taksir memakai pakaian yang indah dan seksi.
"Iel," namun panggilan Raline membuat gue nggak punya pilihan selain melihat ke arahnya. Desainer yang tadi berdiri bersama Raline sudah pergi entah kemana. Meninggalkan Raline seoarang diri sehingga gue langsung mendekat ketika dia meminta. "Sini deh,"
Gue melangkahkan kaki menghampiri Raline. Semakin dekat semakin gugup gue dibuatnya. Come on, Samudera, ini bukan pertama kalinya lo melihat Raline tampil seksi begini. Bahkan lo sudah pernah melihat dia pakai bikini.
Yeah, ada beberapa momen menyiksa saat gue liburan bersama Raline—dimana gue melihatnya memakai bikin dan berkeliaran di mata gue tanpa rasa bersalah. You can imagine how strong I was holding myself back. Apalagi ketika kami berenang bersama lalu Raline tanpa canggung melingkarkan tangannya di leher gue dari belakang sambil berkata. "Iel, take me thereee,"
"Dress-nya cantik, tapi aku udah kebayang gimana ribetnya nanti," ucap Raline yang memeriksa gaunnya dengan teliti. Ia mengusap garis bagian dadanya. Potongan yang rendah sedikit menunjukkan gundukkan payudaranya.
Gue berdeham. Mengusap hidung sambil melihat ke rambut Raline. Kemana pun asal bukan dadanya. "I think so. Apalagi kamu nanti juga bakal pakai higheels."
Satu hal yang perlu ditegaskan bahwa gue bukan tipe cowok yang akan melarang pasangan gue memakai pakaian yang ia suka. Namun harus gue akui rasa posesif membuat gue agak berat melihat Raline memakai gaun ini di depan orang banyak dan berpotensi meliarkan pikiran laki-laki sehingga membayangkan sesuatu yang tidak senonoh tentang Raline. I know, gue nggak bisa mengontrol pikiran orang lain bahkan sekarang pun gue sudah membayangkan yang nggak-nggak. Cuma—yeah, this is my possessiveness for the woman I love.
"Iya, kan?" Raline pun menyetujuinya sambil menganggukkan kepala. "Ini aja udah kerasa rempongnya padahal aku pakai flat shoes," katanya sembari mengangkat gaunnya memperlihat flat shoes-nya yang berwarna emas. Gimana nanti aku pakai heels, ya?" Raline menjijitkan kaki seolah-olah tengah membayangkan ia memakai heels.
Melihat Raline yang berusaha menyimbangkan tubuhnya gue sontak memegang lengannya. "Hati-hati,"
Sudah gue bilang, Raline itu penuh kejutan. Casing-nya memang anggun. Tapi terkadang dia bisa bertingkah konyol dan hal itu membuatnya makin memesona.
"Mana heels-ku nanti bakal 10 cm lagi," Raline menjijitkan kaki lebih tinggi, mendongak menatap gue. "Kalau cuma 5 cm aku masih kelihatan kecil di samping kamu," cengirnya yang beberapa detik kemudian berganti menjadi ekspresi terkejut karena ia kehilangan kendali tubuhnya dan hampir terjatuh kalau gue nggak buru-buru memeluk pinggangnya.
Semuanya berlangsung sangat cepat. Tatapan gue dan Raline bertemu. Kedua tangan gue melingkar di pinggangnya sementara satu tangan Raline berada di bahu gue dan satunya lagi di lengan gue. Jarak di antara kami begitu dekat. Sangat dekat sampai gue bisa mendengar suara debaran keras entah milik siapa itu. Mungkin milik gue karena saat ini gue nggak mampu mengalihkan pandangan.
Kedekatan ini sangat menghipnotis. Raline begitu mungil, indah, dan memesona. Cahaya lampu yang menerpa wajahnya membuat gue bisa melihat dengan jelas detail wajah Raline. Kening, alis, bula mata lentik, mata, hidung, lalu saat tatapan gue berhenti pada lekuk bibirnya yang menarik—gue merasakan dorongan kuat untuk mendekat dan menyatukan mulut kami. Mencumbui bibir yang selama ini menjadi mimpi nakal gue di malam hari. Apalagi tubuh kami yang menempel membuat tubuh gue memanas.
Apakah gue harus menjadikan mimpi itu kenyataan sekarang?
Hanya butuh satu kali tarikan, gue bisa mencium bibir Raline dan menyatakan dengan jelas bahwa gue nggak pernah menganggapnya sebagai seorang kakak.
Hanya butuh satu kali tarikan, Samudera. Maka ...
"Opssss, sorry. Am I interrupting something?"
Suara itu langsung membuat Raline mengerjap lalu menarik diri. Membentang jarak yang membuat gue merasa begitu kehilangan. Maybe the lighting was playing trick on me, tapi gue melihat semburat merah jambu yang mewarnai pipi Raline.
Raline berdeham seraya tersenyum tenang. "Kayaknya gue mau dress yang kedua aja deh, Van. Yang ini bikin gue susah gerak dan hampir jatuh," katanya lalu mendongak menatap gue. "Untung ada Iel yang nyelamatin," Raline tersenyum seolah yang barusan bukan apa-apa. Bahwa ketika tatapan kami bertemu, nggak ada percikkan yang tak biasa di antara kami. "Bentar ya, Iel. Aku cobain dress yang kedua dulu."
Raline kemudian berlalu, memasuki fitting room bersama Givani yang melemparkan seringai menggoda pada gue—seolah dia mengetahui isi kepala gue sekarang.
Orang lain aja bisa merasakan, Raline. How can you still no realize it?
Bersambung.
11 | why i get so nervous when i look into your eyes?
Raline
You know, aku bukan tipe perempuan yang mudah baper. It takes time and effort for a man to win my heart. Bahkan butuh waktu setahun sampai aku dan Andrew official pacaran. Itu pun aku nggak segera berdebar. Well, I mean, sesuatu yang terjadi antaraku dan Samudera barusan ... so unexpected. Bukan gerak refleks dan cepat Samudera yang sigap menahan pinggangku agar aku nggak terjatuh, melainkan atmosfer di antara kami ketika matanya dan mataku bertemu.
Also ... how my heart beats fast because of it.
Reaksi ini mungkin nggak akan membuatku seterkejut ini jika aku merasakannya pada teman kencanku atau pria lain. Namun aku merasakan pada Samudera. Aku ulangi, pada Samudera yang sudah kukenal belasan tahun! Raline, what happened to you?
"Kita makan di Sushi Tei aja gimana? Aku lagi pengin sushi, nih," ucapku dengan tawa santai sambil memanuver mobil memasuki basement mencari tempat parkir.
Aku nggak akan membiarkan kejadian tadi membuat kami menjadi canggung. Yang terjadi sebelumnya tidak nyata. Bukan sesuatu yang serius.
Samudera menganggukkan kepalanya. Ia melepas seatbelt lalu keluar dari mobil lebih dulu. Melihat gelagatnya yang ingin membukakan pintu untukku—aku buru-buru mengambil tas dan membuka pintu sendiri. "Cari suit buat kamu habis itu Sushi Tei, ya?" kataku berjalan lebih dulu menuju pintu masuk yang membuat Samudera menyusulku. "Biar makannya bisa santai."
"Okay," Samudera mengiakan dengan eskpresi agak ganjil.
Aku tahu yang terjadi di butik nggak hanya dirasakan olehku, tetapi juga Samudera. Aku bisa melihat tatapan nggak biasa pria itu ketika menatapku. Aku pun menyadari Samudera memandangi bibirku cukup lama dan intens. Namun apapun yang kami rasakan itu harus dienyahkan agar kami bisa kembali pada kondisi familier dan normal.
Aku menyeret Samudera memasuki store. Tidak sulit memilihkan suit untuk Samudera karena apapun yang ia kenakan akan membuatnya terlihat tampan dan menawan.
Mendengar tawaran Givani pada Samudera bukan sesuatu mengejutkan. Samantha bahkan pernah memanfaatkan ketampanan adiknya di situasi urgent. Menjadikan Samudera model pengganti dalam sebuah pemotretan majalahnya.
Hal itu sontak membuat makin banyak lagi yang menginginkan Samudera. Namun seperti yang sudah pernah kubilang, Samudera nggak tertarik. Dia lebih menyukai pekerjaannya sekarang.
"Ngaku deh, lo. Dia bukan sekedar adik Samantha, kan?" aku teringat lagi tuduhan Gavani di fitting room setelah dia melihat kajadian itu.
Aku berdecak. "It was nothing, Van. Gue jatuh dan Iel refleks nolong gue," jelasku.
Salah satu alis Givani naik sementara bibirnya menorehkan senyum mengejek. "Are you sure, honey? Tapi kok gue merasa ada something antara kalian, ya. Chemistry between you and him ... are very strong, you know."
"Gue udah kenal Iel belasan tahun, of course, kami punya chemistry. Lo itu desainer bukan penulis novel!" tukasku. "Udah deh, mana gaun gue yang satunya?"
Aku dan Samudera telah mengenal satu sama lain sangat lama sehingga terkadang kami punya koneski untuk memahami perasaan satu sama lain. Rasa kasih sayang dan ingin melindungi. Apa yang terjadi tadi hanya lah sebuah keterkejutan semata. Aku sepertinya harus sadar jika Samudera bukan lagi bocah yang kulihat lima belas tahun yang lalu. Aku harus membatasi kontak fisik di antara kami berdua.
Namun Samudera sepertinya nggak berpikiran sama karena ketika kami keluar dari store, pria itu tiba-tiba merangkulku dan menarikku menempel dengan tubuhnya. Aku terperanjat kaget. Lalu baru menyadari ia melakukannya karena ada laki-laki yang berjalan terburu-buru dan hampir menabrakku.
I tell you, dalam situasi normal, aku mungkin aku tersenyum dan berkata. "Aw, so gentleman. Jalan sama kamu bikin aku ngerasa aman deh, Iel."
Masalahnya, situasi kami saat ini sedang tidak normal.
"Sorry," Samudera yang melihat ekspresiku langsung salah tingkah dan melepaskan tangannya yang mengelilingi bahuku. "Tadi kamu hampir tabrakkan sama bapak itu."
"Oh, ya?" aku pura-pura tak menyadarinya. Lalu tertawa berusaha membuat suasana lebih ringan. "Kayaknya saking lapernya aku jadi nggak fokus. Yuk, semoga Sushi Tei nggak rame, deh."
Kami melangkahkan kaki menuju Sushi Tei yang cukup ramai. Duduk di sebuah meja dengan posisi berhadapan. Aku nggak perlu mengeluarkan suara karena Samudera menyebutkan pesananku dengan lancarnya. Dia hapal. Tentu saja, Samudera tahu makanan, warna, dan film favoritku. Pengetahuannya tentangku bisa dibilang melebih semua pria yang pernah kukencani. Bukan sesuatu yang mengherankan, aku memang sering menghabiskan waktu dengannya.
Bertahun-tahun hubungan platonik ini berjalan dengan baik. Aku tidak ingin hanya karena satu getaran mengacaukan sesuatu yang sudah sempurna.
It was nothing.
It was nothing, Raline.
***
Mendekati hari pernikahan Andrew, aku semakin gelisah. Bukan karena Andrew, of course. Melainkan ... Samudera.
Aku terus mengulang kalimat 'it was nothing' di dalam kepala. Mengenyahkan debaran asing serta getaran yang kurasakan pada adik Samantha tersebut. Tapi kamu tahu kalimat yang mengatakan; the more you want to forget something, the more you seem to remember it. Yeah, itu lah yang kurasakan beberapa hari ini sampai aku sulit fokus pada pekerjaan.
Ami bahkan menyadarinya dan sering menegurku bila aku kedapatan melamun. "Bu, ibu baik-baik aja?"
Nggak, Mi. Saya nggak baik-baik aja. Kayaknya ada yang salah sama diri saya karena saya tiba-tiba aja berdebar oleh cowok yang sudah saya anggap seperti adik saya sendiri. Catat, Mi. Saya anggap seperti adik saya sendiri!
Well, tentu itu hanya teriakkan frustasi di dalam kepalaku. Karena pada kenyataannya, aku menggeleng dan berkata, "saya baik-baik aja, Mi."
Perasaan ini agak memalukan untuk diakui sehingga aku menyimpan kegelisahan ini seorang diri. Nggak mungkin juga aku mengatakannya pada Samantha.
Meskipun kami sempat bertemu buat tennis bareng di malam hari setelah pekerjaan yang sibuk.
Dan bagaimana dia menyinggung soal Samudera membuat tubuhku membeku seperkian detik.
"Gue dengar lo jadinya ajak adik gue ya, ke nikahan Andrew?" tanya Samantha sembari mengelap keringatnya lalu meraih botol isotonik dan menenggak cepat.
Aku meletakkan raket tennis. Tidak langsung menjawab pertanyaan Samantha. Ikut meraih botol minum karena aku butuh menyegarkan tenggorokkan dan pikiranku lebih dulu.
"Nggak ada yang lebih potensial daripada Iel buat dibawa," balasku akhirnya. Duduk di bangku panjang sambil memijat lenganku yang pegal. "Lagian gue udah kehabisan waktu buat cari teman kencan."
Samantha tertawa puas yang diselingi rasa bangga. "Told you."
Aku mendongak kemudian berdecak. "Lo sih!"
Ini semua salah Samantha. Andai saja dia memperkenalkanku dengan pria yang benar, aku mungkin nggak perlu mengajak Samudera yang menyebabkan situasi aneh ini tercipta.
"Gue kenapa?" Samantha mengerutkan kening sambil menunjuk dirinya sendiri bingung.
"Seharusnya lo kenalin gue ke cowok yang nggak kayak Erka!"
"Itu juga masih lo bahas," Samantha memutar bola mata bosan. "Gue kan udah neraktir lo sebagai permintaan maaf. Lagian, gue yang nyaranin lo bawa Iel, ya. Adik gue tuh! Gue relain adik gue dibawa sama lo padahal ada kemungkinan mantan lo bakal senewen kalau ngeliat dia."
"Nggak usah drama deh lo," kataku.
"Gue nggak drama. Masa lo lupa gimana tatapan Andrew dulu waktu ngeliat Iel, sih?"
Tentu saja aku mengingat kecemburuan Andrew yang tidak senang melihatku berpelukkan dengan Samudera sewaktu pria itu menjemputku dari pesta ulang tahun Samudera ke-23. Kami bertengkar hebat di dalam mobil sampai aku meminta Andrew berhenti dan pulang sendiri naik taksi.
"Sekarang dia udah nggak punya hak dan alasan buat cemburu. Kami udah putus, dan gue yakin Andrew nggak punya perasaan apa-apa lagi sama gue."
"Yeah, you right," Samantha mengangguk lalu duduk di sampingku. "But still, jagain adik gue di sana. Walaupun dia nggak punya perasaan sama lo. Ego dan harga diri Andrew sebagai laki-laki pasti tersentil ngeliat lo sama Iel."
Aku memandang Samantha yang tampak sangat serius.
Samantha memang terlihat cuek di luar tapi diam-diam sangat perhatian. Lihat saja betapa seringnya dia mengeluarkan peringatan dan ancaman tentang keselamatan Samudera padaku. Meskipun terdengar seperti candaan, tetapi Samantha nggak main-main dengan ucapannya. Samantha cukup protektif pada adiknya. Tell me, bagaimana bisa aku menceritakan soal keanehan perasaanku pada Samantha?
"Tha, lo tau nggak, gue tiba-tiba aja berdebar karena adik lo. Ketika tangannya yang ternyata sangat kekar itu memeluk pinggang gue, tubuh gue kayak tersengat listrik. Sensasi tubuh kami yang menempel bahaya banget, Tha. Lo tahu Iel yang selalu kita bilang punya tatapan meneduhkan ternyata bisa menatap seorang wanita intens, dalam, dan dengan keliaran yang meresahkan. Jantung gue berdebar, Tha. Lo tahu betapa susahnya untuk Raline berdebar karena laki-laki. Dan entah gue berhalusinasi atau nggak, gue merasa Iel mendekatkan wajahnya pada gue. Seolah dia ingin mencium gue! You know what's crazier?! Gue nggak mencegahnya! Mungkin kalau Givan nggak datang ... gue dan Iel—mungkin—kami—berakhir ... berciuman."
"Eh, ngelamun lo!" Samantha menjentikkan jarinya di dapan wajahku. Membuatku tersadar dari gelembung pikiranku sendiri. "Udah tengah malam, nih. Nggak lucu banget lo kesambet. Gue nggak punya kenalan ustadz, bok."
Aku mengerjapkan mata. Berdecak kecil kemudian bangkit berdiri dan membereskan barang-barangku. Mengajak Samantha pulang karena waktu sudah menujukkan tengah malam dan kami harus segera istirahat karena besok masih ke kantor.
Yeah, aku sengaja mengajak Samantha olahraga malam-malam, agar begitu sampai rumah, aku langsung ketiduran dan nggak mengulang bayang-bayang yang terjadi di butik.
I don't really know how I feel about this. Aku wanita yang cukup berpengalaman mengenai asmara. Aku pernah menjalani hubungan yang serius sampai yang hanya sekedar untuk bermain-main. Mengencani berbagai macam karakter pria demi memenuhi rasa penasaran dan riset kecilku tentang pola pikir laki-laki. Namun nggak pernah sekalipun terlintas di dalam kepalaku akan merasakan sesuatu yang seperti ini pada Samudera. Atau berpikir untuk mengencani Samudera.
Astaga, berapa kali aku harus menjelaskan sejarah hubungan kami dan menghitung lamanya kami saling mengenal. Samudera off limit. Dia bukan pria yang bisa kukencani sesuka hati.
Sepertinya dua tahun menjadi wanita single membuat tubuhku sensitif pada sentuhan laki-laki. Ya ... ini pasti karena itu. Sudah lama aku nggak memiliki hubungan romantis yang melibatkan fisik. Mungkin tubuhku sudah mendambakan hal tersebut sehingga bersentuhan dengan Samudera membuatku jadi bereaksi berlebihan.
Namun pada intinya, aku nggak boleh menyeriusi apa yang terjadi. Aku juga nggak boleh memikirkannya lagi dan mengingatkan dalam kepala jika pria itu Samudera.
Adik sahabatku.
Pria terlarang.
Tidak boleh ada perasaan romantis terlibat antara kami.
Aku yakin Samudera pun berpikiran begitu.
Mataku terpejam sekilas. Kemudian menganggukkan kepala dan mengirimkan pesan pada Samudera untuk memberitahunya jika pesawat kami akan take off pukul delapan pagi.
Raline
Iel, besok kita take off jam delapan ya!
Pernikahan Andrew memang tidak dilaksanakan di Jakarta. Melainkan di Bali. Sehingga aku bisa membayangkan betapa banyak interaksiku dengan Samudera nanti. Terlebih kami akan menginap di villa keluargaku berdua saja.
Sebab itu, aku tidak boleh membiarkan kejadian seperti kemarin terulang lagi.
Yang kemarin ... tidak boleh terulang lagi.
Samudera
Sure
Aku sudah siap menaruh ponselku ketika benda itu kembali berdenting dan nama Samudera lah yang tertara di sana.
Samudera
Anyway, makasih ya udah ngajak aku
Aku senang bisa jadi teman kencan kamu : )
Well, Raline, mari ulangi lagi mantramu.
Yang kemarin tidak boleh terulang lagi.
Bersambung.
12 | like a real date
Samudera
Bali hampir menjadi wedding destination semua orang. Banyak kalangan artis maupun para elite yang menyelenggarakan pernikahan mereka di Bali karena keindahan dan keromantisan pulau tersebut. Membuat gue jadi tergelitik oleh rasa penasaran; pernikahan seperti apa yang Raline impikan?
One of the mysterious sides of Raline is that she never shares her perspectives on marriage. Bahkan saat dia menjalani hubungan yang cukup serius dengan Andrew—gue nggak pernah mendengar kata 'menikah' atau 'pernikahan' dari bibir Raline. Padahal mereka berpacaran cukup lama dan kedua belah pihak keluarga sudah sangat merestui. Entah dia memang belum seyakin itu tentang idea menikah dengan Andrew, atau memang Raline nggak pernah berpikir untuk ... menikah?
Jika ditanya apakah gue ada pemikiran untuk menikah? Absolutely. Gue bahkan berencana untuk menikah muda. Namun, yeah, menikah nggak segampang itu. Banyak yang harus dipertimbangkan serta keyakinan pun harus matang. Sementara ketika menjalin hubungan dengan mantan terakhir gue—kami belum memiliki hal tersebut.
Mungkin terdengar konyol, tapi gue sudah memiliki kayakinan itu pada Raline. Kalian pasti berpikir gue cuma terbawa perasaan karena cinta gue belum dibalas. Seperti kebanyakkan laki-laki yang menggebu-gebu soal perasaannya sampai menyatakan dan menjanjikan sesuatu yang belum tentu bisa mereka tepati demi mendapatkan hati sang pujaan.
Sometimes, laki-laki memang begitu. Jordan sering kali overreaction setiap kali berkenalan dengan cewek baru dan mengucapkan banyak puisi cinta buat mendeskripsikan cewek tersebut di depan gue. Beberapa bulan kemudian, perasaan excited itu berkurang dan menghilang perlahan-lahan lalu Jordan akan bilang dia lost feeling sama cewek itu.
Tapi perasaan gue sama Raline bukan sesuatu yang terburu-buru. Tiga tahun gue memelihara dan menjaga perasaan ini. Gue memperlakukannya dengan begitu hati-hati. Nggak ada yang terburu-buru atau menggebu-gebu. Kami telah berbaur cukup lama untuk menyadari kami punya banyak kecocokkan. Gue pun telah menelaah perasaan gue buat yakin gue memang menyayangi Raline lebih dari seorang kakak perempuan.
Gue mencintainya.
Gue nggak bisa menjanjikan akan selalu membahagiakan Raline setelah menikah dengan gue. Namun gue berjanji akan mencintainya dengan sepenuh hati, memperlakukannya sebaik mungkin, dan penuh perasaan kasih sayang yang selama ini belum pernah gue lakukan pada siapa pun.
Ah, elo, Sam. Pagi-pagi udah sok janji-janji manis aja kayak Raline bakal mau menikah sama lo. Padahal diterima jadi pacarnya aja belum tentu. But I can't help it. Mengingat tujuan kami ke Bali membuat gue jadi memikirkan hal-hal berbau pernikahan. Apalagi seseorang yang ingin gue nikahi itu berada di samping gue.
"Kamu lapar nggak, Iel?" Raline memasang kacamatanya begitu kami memasuki mobil yang sudah terparkir di halaman vilanya. "Aku lupa minta Mbak Tin masak buat kita. Enaknya makan dimana, ya?"
"Warung Bu Mi gimana?" gue meletakkan ponsel di holder lalu menyalakan mobil di saat Raline memasang seatbelt-nya. "Nggak terlalu jauh dari sini."
Raline manggut-manggut. "Boleh deh," dia menaikkan kacamatanya yang melorot kemudian tersenyum lebar pada gue. "Yuk, berangkaaaaaat!"
Kami nggak datang ke pemberkatan pernikahan Andrew dan hanya menghadiri resepsinya yang akan diadakan malam nanti pukul tujuh. Sehingga gue dan Raline masih sempat buat mem-Bali sebentar berdua aja. Ya, berdua aja. Oh, jangan tertawakan senyum silly yang tersungging di bibir gue sekarang. Mohon maklumkan kebahagiaan gue yang bisa menghabiskan waktu bersama Raline. Dan betapa banyaknya peluang buat gue menarik perhatiannya.
Raline tampak cantik hari ini. Ya, ya, ya, dia tampak cantik setiap harinya. Namun melihatnya yang mengenakan hotpants membuat gue sempat membasahi bibir ketika memperhatikan paha mulusnya—I know, gue harus berhenti berpikiran nakal—but how can I when she looks hotter than ever. Ditambah lagi crop top hitam yang melekat pas di tubuhnya—okay, stop it, Samudera. Lo harus menyetir dengan tenang dan fokus. Keselamatan Raline sangat penting dan harus lo utamakan.
Warung Bu Mi masih berada di daerah Canggu sehingga hanya membutuhkan waktu kurang lebih tujuh menit untuk kami tiba di sana. Karena sudah melewati jam sarapan dan belum mendekati jam makan siang, kondisi warung nggak seramai biasanya. Warung Bu Mi bisa dikatakan adalah warung langganan yang nggak mungkin kami lewatkan bila datang ke Bali.
Gue dan Raline duduk di salah satu bangku kosong lalu langsung memesan dengan cepat karena sudah tahu mau makan apa di sini. Raline dengan sate tunanya dan gue dengan nasi campur. Untuk minuman kami sama-sama memesan air putih.
"Aku harus siap-siap berat badanku nambah, nih." Raline berkata begitu makanan kami tiba. Dia mengumpulkan rambutnya dalam satu genggaman lalu mengikatnya cepat. Pemandangan yang menarik untuk dilihat. "Di Bali kalau nggak kulineran kurang banget nggak, sih?"
Gue tersenyum sambil mengangguk menyetujui.
Raline sangat suka kulineran. Jika berlibur bersamanya maka kalian harus siap diajak Raline mencoba makanan-makanan khas daerah tersebut. Raline punya keingintahuan yang besar. Dia juga suka mencoba hal-hal baru. Menurutnya, makanan bukan cuma tentang enak dan bikin kenyang—makanan punya cerita unik bahkan ilmu dari tradisi daerah setempat. Dan kalian harus tahu Raline itu jago masak.
Well, mungkin bukan sesuatu yang wow karena banyak wanita yang bisa masak. Tapi mengingat siapa Raline, fakta tersebut seharusnya cukup mengejutkan. Gue ingatkan Raline bukan sekedar bisa, tapi beneran jago sampai gue pernah bilang dia harus coba ikut Master Chef. Dari makanan western sampai tradisional nggak ada yang nggak enak kalau sudah di tangan cantik dan indah Raline.
Sebelum Raline sesibuk sekarang. Dia cukup sering menelpon gue di hari weekend buat datang ke apartemennya dan mencoba makanan yang dia buat. "Iel, kamu lagi apa? Udah makan belum? Mau makan gratis nggak? Hehe."
Yeah, setelah gue mengingat-ingat lagi bagaimana Raline memperlakukan gue—Nina ada benarnya, aneh banget kalau sampai gue nggak baper sama Raline. Dia bukan cuma menghujani gue dengan perhatian dan kasih sayang. Tapi juga kualitas dalam dirinya pasti bikin semua cowok berlomba-lomba ingin mendapatkan hatinya. Mungkin kalau gue nggak jatuh cinta karena perhatian Raline, mungkin gue akan jatuh cinta karena masakannya.
"God! Aku nggak tahu bakal sekangen ini sampai pengin nangis bisa makan sate tuna lagi," Raline menutup mulutnya terharu. "Enak banget, Iel!"
Gue terkekeh gemas. Menyendok makanan gue lalu berkata sebelum mendekatkannya ke mulut. "Then, kamu harus benar-benar nikamatin liburan kamu selama di sini."
"Oh, I will," Raline mengangguk penuh tekad. "Aku udah ngelarang Ami buat nelpon aku sampai besok pagi. Today will be a good day, Iel." Sambungnya dengan senyum excited.
Oh, so sure, Raline. Hari ini nggak hanya akan menjadi hari yang baik, melainkan juga hari yang indah dan mungkin hari yang nggak akan bisa kita lupain berdua.
***
Selesai makan di Warung Bu Mi, gue dan Raline mengunjungi sebuah kafe aesthetic di daerah yang sama. Kalau dipikir-pikir, sudah cukup lama gue dan Raline nggak liburan bareng. Terakhir tahun lalu di Bangkok—itu pun berlima sama Shanala, Samantha, dan Jordan. Kami merayakan tahun baru di sana sekaligus ulang tahun Jordan yang memang jatuh di tanggal 1 Januari.
And here's the thing about Raline, dia selalu menikmati apapun yang ia lakukan. Sesuatu yang membuat gue terkagum-kagum karena itu menunjukkan Raline memiliki kedewasaan yang di level berbeda. Mau itu pekerjaan yang hetic—maupun liburan yang menyenangkan seperti sekarang, dia bisa menikmatinya dengan sepenuh hati.
Saat waktunya kerja, dia kerja dengan penuh ketekunan dan fokus. Saat waktunya bersenang-senang, dia nggak akan mengingat pekerjaanya. Sehingga kalau quality time sama Raline, itu benar-benar ber-quality karena eksistensi dia jelas dan nyata.
"It feels good," gumam Raline yang memejamkan mata. Menikmati sapuan angin yang membelai dan menerbangkan rambutnya. Sesuatu yang membuat gue sedikit iri karena gue juga ingin membelai Raline. Tapi di sini gue, duduk berhadapan dengannya, memperhatikannya ekspresi damainya lamat-lamat. "Aku lupa kapan terakhir kali aku bisa duduk tenang tanpa mikirin kerjaan gini."
Gue tersenyum. Mengeluarkan ponsel lalu mengarahkannya pada Raline untuk mengambil fotonya. Bisa dibilang gue memang suka memfoto Raline saat merasa momen itu layak untuk diabadikan. Raline nggak protes malah ketawa dan bilang. "Ntar airdrops ya, Iel. Hasil foto creative director pasti nggak mengecewakan."
Dan tentu, hasil foto gue nggak pernah mengecewakan Raline.
Mata Raline perlahan-lahan terbuka, melihat gue tengah memfotonya—dia ketawa cantik lalu menyugar rambut ke belakang. Rambut Raline pasti halus banget, jarinya menyisir dengan mudah sampai helaian indah itu jatuh dramatis di atas bahunya.
"Kamu tau nggak, kamu itu boyfriend material banget, Iel," cetus Raline. "Cewek-cewek zaman sekarang menambah kriteria cowok idaman mereka adalah cowok yang bisa ngefoto lho."
"Oh, ya?" gue menanggapi tertarik.
Raline mengangguk lalu menopang dagunya sambil menatap gue intens. Bikin gue yang tadi percaya diri memandang dia mendadak berubah salting lalu berpura-pura sibuk melihat hasil fotonya. Namun beberapa saat kemudian gue tersadar hal ini bisa gue jadikan kesempatan untuk sedikit memberi Raline kode kalau intensi gue padanya sudah berubah.
"Gimana sama kamu, Kak?" tanya gue sambil mengangkat wajah dan balas menatap Raline.
"Gimana sama aku?"
"Em-hm," gue mengiakan. Kali ini mecondongkan tubuh ke depan—ke arahnya tanpa memutuskan mata kami yang berkaitan. "Apa kamu juga nambah cowok yang bisa ngefoto ke kriteria cowok idaman kamu?"
Raline tampak terkejut. Namun katerkejutan itu nggak berlangsung lama sebab setelahnya ekspresi Raline setenang biasanya.
"Setelah ngeliat hasil foto-foto kamu sih ... kayaknya aku bakal bete kalau pacarku nggak bisa ngefotoin aku," kekehnya. "Iel, kamu bikin standar cowok idamanku semakin tinggi." Tangannya kemudian terulur. "Mau liat hasil fotoku, dong. Semoga nggak ada fotoku yang mangap, ya."
Gue ketawa. Agak masam karena kecewa dengan balasan Raline yang masih sesantai biasanya. "Mana ada." Menyerahkan ponsel gue pada Raline.
Dia melihat hasil foto-fotonya dengan senyum puas. Membuat kekecewaan gue langsung berganti dengan rasa bangga seolah baru aja mendapatkan pujian dari klien setelah menyelesaikan big project.
Raline lantas mengambil ponselnya di saku celana dan mengirimkan foto-foto tersebut ke ponselnya sebelum dikembalikan lagi pada gue.
"Kita masih sempat nggak ya ke Double Six?" tutur Raline. "Udah lama nih nggak sunset-an."
"Seharusnya sih sempet. Mau pergi sekarang?"
Raline mengangguk. "Tapi kita ngadem dulu di sini, ya. Di luar masih panas."
"Okay," jawab gue.
***
Mem-Bali dengan Raline selalu menyenangkan. Mungkin karena dia tipe orang yang excited dengan banyak hal membuat energinya ikut tertular pada orang yang menemaninya. Sewaktu di perjalanan menuju Seminyak. Kami sempat berhenti karena ada arak-arakkan untuk upacara ngaben.
Bunyi gamelan Bali mengiringi rombongan yang menuju lokasi ngaben.
Arak-arakkan itu cukup menarik perhatian dan banyak orang yang ingin menonton. Sehingga sikap protektif gue keluar. Gue berusaha melindungi Raline dari desak-desakkan orang-orang yang mau melihat. Berdiri di belakang Raline yang menjijitkan kaki sambil memanjangkan lehernya. Namun sama seperti kejadian butik, sulit menyeimbangkan badan sambil berjinjit kalau nggak punya keahlian balet. Dan gue tahu Raline nggak pernah mempelajari balet sebelumnya.
Seperti dugaan gue, Raline kehilangan kendali dan gue sigap memegang pinggang rampingnya. Punggung Raline membentur dada gue. Lalu ketika dia menoleh ke belakang karena terkejut—gue pun ikut menunduk sehingga tatapan kami bertemu. "Sorry," bisiknya.
"It's okay," gue menggeleng tanpa melepaskan tangan gue di pinggangnya. "Aku pegangin ya, biar kamu nggak jatuh lagi."
Gue bisa melihat keraguan di mata Raline. Namun dia akhirnya mengangguk yang membuat hati gue bersorak gembira. Kedekatan jarak antara kami serta bagimana tangan gue berada di pinggangnya terasa sangat alami seolah-olah ini adalah sesuaatu yang tepat.
Sejak kejadian di butik dan melihat kehati-hatian Raline pada gue membuat gue semakin yakin jika kertarikan itu mungkin saja ... ada. Kalau nggak, Raline nggak akan berubah berhati-hati pada gue. Padahal biasanya dia malah menganggap itu bukan apa-apa. Tapi gue menyadari denail yang Raline lakukan adalah sikap yang wajar. Gue sempat berada di tahap itu begitu menyadari punya something special buat Raline.
Tapi yang jelas perlahan-lahan gue akan membuat Raline sadar bahwa dia nggak perlu merasa khawatir dengan ketertarikan dan percikkan itu. Perasaan itu nggak salah. Nggak di saat dia terasa begitu tepat buat gue. Sama seperti bagaimana Raline entah sadar atau nggak kembali menyadarkan punggungnya di dada gue.
She's so small. So fragile. So breakable. Sangat berbeda dengan persona yang ia berusaha ia perlihatkan. Saking mungilnya, gue gemas dan ingin memeluknya sepanjang hari. Melindungi Raline dari segala hal yang jahat di luar sana.
Dia wangi. Kedekatan di antara kami membuat gue bisa menghirup aromanya. Aroma rose yang menggoda.
Ketika gue menunduk, hidung gue bergesekkan dengan rambut Raline sehingga gue juga bisa mencium aroma shampoo-nya.
It feels so right.
So right.
Sampai ketika momen itu harus berakhir, gue mendesah dengan kecewa. Kembali merindukkan sensasi saat berada di jarak yang begitu dekat dengan Raline. Jarak dimana gue bisa bisa menyentuh dan menghirup aromanya.
Gue bahkan nggak bisa tenang. Setiap melihat Raline membuat gue ingin mendekat dan menariknya ke dalam pelukkan gue.
Selama di Double Six, di saat Raline berjalan-jalan di tepi pantai, tertawa dengan bahagia—gue justru gelisah oleh desakkan keinginan menyentuh Raline. Gue ingin melakukannya lagi tanpa harus membuat kami menjadi canggung, dan buruknya Raline manjauhi gue. Tapi bagaimana cara—right, tentu selalu ada cara.
Gue tersenyum sambil mendekati Raline percaya diri. Wanita itu tampak senang sekali bermain-main dengan ombak yang mendekatinya.
"Iel," ketika melihat gue. Dia menarik lengan gue semangat. "Kamu ngapain berdiri di sana aja?"
"Kak," panggil gue dengan nada serius.
Menghilangkan senyum lebar Raline dan digantikan kernyitan heran. Wajah Raline disinari cahaya sore yang kemerahan bercampur orange, membuat visual Raline jadi breath-taking. Gue pun sampai lupa ingin berkata apa kalau Raline nggak bersuara. "Kenapa?"
Gue berdeham. Membasahi tenggorokkan. "Kalau aku datang ke nikahan Andrew sebagai teman kencan kamu ... artinya aku harus memperlakukan kamu seperti teman kencanku, kan?"
Raline mengerjap. Tampak tak menyangka gue akan mengajukan pertanyaan itu padanya.
"Then, we should have more skinship, right?" gue maju satu langkah lebih dekat. "Like a real date."
Bersambung.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
