Closer Than This - Chapter 7, 8, 9

10
0
Deskripsi

Chapter 7 : Second date

Chapter 8 : Put her in my heart

Chapter 9 : Just you and me now

07 | second date


 

Raline

"Hi, Raline," Reksa tersenyum begitu aku mendekati meja. Laki-laki itu bangkit berdiri seraya menarikkan kursi untukku.

"Thanks, Mas," ucapku sambil membalas senyum Reksa kemudian mengambil tempat duduk di hadapannya.

Jika kalian berpikir aku sudah menyerah soal mencari teman dating yang akan kubawa ke pernikahan Andrew dua minggu lagi—well, maka kalian belum mengenalku. Nggak ada yang nggak bisa Raline dapatkan. Keambisiusan itu tidak akan berakhir sebelum aku menemukan pria yang tepat. Pria yang akan membuat Andrew mati kutu.

Sewaktu dinner dengan Shanala dan Samantha minggu lagi di Moonshine Dine & Lounge—aku secara nggak sengaja dikenalkan dengan Reksa yang merupakan rekan kerja Shanala. Perkenalan itu berlangsung cepat dan singkat karena Reksa tampak terburu-buru. Sebab itu, ketika Shanala tiba-tiba memberitahuku kalau Reksa meminta nomorku dan ingin mengenalku—aku sedikit terkejut.

Malam itu aku sama sekali tak menangkap sinyal-sinyal kertarikan dari Reksa. Malah kupikir Reksa dan Shanala mungkin saja memiliki hubungan spesial mengingat mereka berdua tampak akrab.

Tapi Shanala malah tertawa mendengar dugaanku. "We're just friends, Line. Nggak lebih dan nggak kurang."

So, karena aku memang sedang mencari teman dating—kupikir nggak ada salahnya memberi Reksa kesempatan. Laki-laki itu tampak baik. Selama chating dengannya, dia cukup proaktif. Aku belum menemukan sesuatu yang membuatku ilfeel—malah Reksa mendekati pria idamanku.

First immpression di pertemuan pertama memang tidak terlalu membekas. Namun di pertemuan kedua ini, aku baru menyadari jika Reksa laki-laki yang manis.

Tubuhnya tinggi dan tegap. Sebuah kacamata yang tersangkut di hidung mancungnya membuat Reksa terlihat cerdas dan bijaksana. Dia memang nggak super tampan. Tapi wajahnya yang manis membuat pria itu nggak bosan dipandang. Satu hal lagi, dia seumuran Shanala yang artinya lebih tua tiga tahun dariku.

Overall, Reksa tampak baik.

"Sorry ya, Mas, bikin kamu nunggu lama. Tadi saya sempat kejebak macet di Sudirman."

Reksa menggeleng dengan senyum penuh pengertian. "Don't worry, Line. Saya juga belum lama kok di sini."

Aku manggut-manggut.

"Kamu udah mesen makanan, Mas?" tanyaku sambil menarik buku menu.

"Baru minum aja," Reksa ikut membuka buku menu. "Makannya bareng aja sama kamu. Nggak enak kalau saya makan duluan."

"Lho? Nggak apa-apa," gelengku. "Kalau lapar mah, langsung pesan aja."

"Saya belum lapar, kok."

Aku mengangkat kepala melihat Reksa yang serius menekuri buku menu. Shanala bilang Reksa tipe laki-laki lurus. Hidupnya hanya berfokus pada pekerjaan dan juga keluarganya. Reksa adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Kesamaan latar belakang keluarga memang membuat Shanala dan Reksa jadi berteman dekat. Bedanya, Shanala nggak perlu menjadi tulang punggung keluarga karena keluarganya memang sangat berkecukupan. Berbeda dengan Reksa yang berasal dari keluarga sederhana sehingga ketika ayahnya tiada—otomatis mereka jadi kesulitan finansial.

Hal itu menyebabkan Reksa lebih bekerja keras sampai akhirnya ia bisa mengkuliahi kedua adiknya sampai lulus. Sebab sekarang kedua adiknya sudah mandiri—Reksa akhirnya mulai memberanikan diri untuk memikirkan hubungan serius dengan seorang wanita.

"Apa kabar, Mas?" tanyaku setelah memesan makanan dan menutup buku menu.

"Very well," Reksa tertawa kecil. "Kamu gimana kabarnya, Line?"

"So for so good." Anggukku. "Cuma belakangan emang lagi ada yang urgent di kantor. Sekali lagi, maaf ya, Mas. Saya bukan tipe orang yang ngaret, kok."

Reksa tertawa renyah. "Justru saya yang nggak enak ngajak ketemuan padahal kamu lagi sibuk."

"Nggak sesibuk itu juga," aku meraih gelas jasmine tea yang kupesan. "Tapi namanya juga kerjaan. Selalu ada aja yang masalahnya."

"I know right," Reksa mengangguk mengerti.

Tentu saja, menjadi seorang bankir bukan pekerjaan yang mudah. Apalagi jika sudah disuruh mencapai target yang tidak masuk akal—Shanala nggak pernah curhat tentang pekerjaannya, tapi beberapa temanku yang juga bekerja di bank sering mengeluhkan hal tersebut jika kami hangout.

"If you don't mind, tell me about your job? Saya belum pernah punya teman yang kerja di hotel."

Aku terkekeh. Serius, nih? Di kencan pertama ngomongin soal kerjaan?

"What do you want to know, Mas?" aku melipat tangan di atas meja.

"Hmmm, I don't know," Reksa lagi-lagi tertawa. Kurasa demi menutupi salah tingkahnya karena sejak tadi pria itu belum berani menatapku di mata. "Actually, saya nggak tahu apa-apa soal perhotelan. Tapi kamu kelihatan capek dan saya bisa mendengarkan unek-unek kamu soal kerjaan."

Aku tersenyum. Shanala benar. Reksa laki-laki baik. "Unek-uneknya nggak banyak, sih. Sekarang lagi nanganininfluencer yang rese aja. Kemarin dia bikin postingan viral soal pelayanan hotel kami yang jelek. Padahal kesalahan ada dia."

"Yeah, menghadapi customer memang nggak mudah."

"Indeed."

Sampai saat ini masalah itu masih belum selesai karena influencer itu masih enggan mengakui kesalahannya. Sebenarnya aku sangat nggak suka dengan drama di media sosial seperti ini. Namun jika aku mengikuti apa yang si influencer itu mau, aku merasa mengkhianti para karyawan yang sudah bekerja dengan baik untuk Alaton Hotel.

"Saya dulu pernah ikut seminar yang pengisi materinya Bu Selena," aku mengangkat wajah ketika nama mama disebutkan. "She's amazing woman. Pemikirannya cerdas dan inovatif."

"She is," aku tersenyum sebelum menyeruput minumanku.

Obrolan kami terjada ketika pelayan datang dan mengantarkan makanan yang kami pesan. Begitu mengucapkan terima kasih, Reksa kembali bersuara. "I bet kamu udah sering ketemu Bu Selena."

"Yeah, kelewat sering malah," aku menyimpan senyum. Yakin Reksa belum tahu soal hubunganku dengan Bu Selena, dan mungkin dia juga nggak tahu latar belakang keluargaku mengingat Shanala bukan lah tipe orang yang suka sembarangan menyebar informasi seseorang.

"Tapi ..." Reksa tiba-tiba berhenti mengaduk sup-nya dan malah menatapku lekat. "Kalau dilihat-lihat, kamu mirip banget sama Bu Selena ya."

"Oh, ya?"

Reksa kali ini mengangguk dengan yakin. "Saya bisa aja menyangka kamu putri Bu Selena saking miripnya kalian." Lalu diakhiri dengan kekehan.

"Kenapa? Sama-sama cantik ya, Mas?" godaku.

Kulihat Reksa tersipu sambil mengangguk pelan.

"Lucky me, she's my mom." Raline terkekeh. "Kata orang-orang punya wajah cantik itu mengurangi setengah masalah dalam hidup."

Reksa terdiam sebentar. Lalu beberapa detik kemudian matanya melebar. "What?"

Aku tergelak. "I'm her daugher, Mas. Bu Selena itu mamaku."

"Kalau kamu putrinya Bu Selena ... " Reksa tampak begitu terkejut sampai ekspresi langsung berubah kaku, "artinya kamu cucu Harris Bima Tjandra?!"

"Yup. Terakhir saya cek sih Opa saya masih dia," aku mencoba bercanda. Tapi sepertinya Reksa tak bisa tertawa atas ucapanku. Dan aku sudah menebak bagaimana kencan ini akan berakhir.


***


Terlahir di keluarga konglomerat bisa kubilang adalah sebuah keberuntungan yang tidak akan ingin aku tukar jika memiliki kesempatan. Well, keluargaku memang nggak sempurna dan lengkap. Namun aku menyukai privilegeyang kupunya sebagai bagian dari keluarga Tjandra. Come on, siapa yang tidak akan senang jika terlahir dengan sendok emas dimana kalian diberi banyak kemudahan?

Bukan hanya dari segi fasilitas, melainkan juga akses dan keberadaanku dalam lingkungan akan lebih dihargai. Lebih dari pada itu, aku jadi memiliki sudut pandang dan cara berpikir yang berbeda. Menjadi bagian dari keluarga Tjandra membuatku terbuka akan banyak hal. Entah itu menyadari pentingnya mengelola keuangan, mengatur goals, dan punya asset sejak kecil yang tidak semua keluarga menanamkan hal itu pada setiap generasinya.

Sebab itu, aku sama sekali nggak pernah mencoba menutupi identitasku pada seseorang yang berniat mengenalku lebih dalam. You know, dimana ada kelebihan, di sana pasti juga ada kekurangan. Aku nggak mengelak banyak sekali pria yang mendekatiku karena nama keluargaku. Nggak satu dua kali aku menghadapi laki-laki gold diggerseperti Erka. Atau laki-laki insecure seperti Reksa.

Sejak Reksa mengatahui siapa yang aku sebenarnya, komunikasi kama menjadi sangat sedikit sampai akhirnya benar-benar menghilang. Aku tidak ingin bersama pria yang tidak memiliki rasa percaya diri mendekatiku karena aku adalah bagian dari keluarga Tjandra. I know, buat beberapa orang adanya Tjandra di belakang namaku adalah beban. Namun jika pria itu benar-benar serius ingin bersamaku, seharusnya itu tidak menjadi halangan, bukan?

Memang keluargaku mengharapkan aku bersama dengan pria yang setara. Namun selama pria itu adalah pria yang baik—aku yakin mama tidak akan pernah mempermasalahkan soal ekonomi pasanganku.

"Wajar aja, sih," Samantha berkomentar melalui panggilan telpon yang kami lakukan. "Nyari cowok yang nggakinsecure sama lo itu susaaaah banget. Bukan cuma insecure soal keluarga lo yang konglo. Tapi juga karir lo yang mentereng. Lagian lo sok lowkey banget sih nggak kebaratan sama finansial pasangan lo. Sis, orang kaya macamnya lo nyarinya harus yang setara lah biar nasib lo nggak kayak si Astrid yang diselingkuhi sama suaminya yang mokondo. Pakek nyalahin Astrid lagi!"

"Please, deh, Tha. Gue curhat, lo malah balik curhat soal film romance yang lo tonton," kataku sambil memutar bola mata. Aku menyandarkan badan kursi kerja, kembali melanjutkan ucapanku. "Lagian gue mana tahu si Reksa bakal insecure. Waktu awal nge-chat gue kayak percaya diri banget."

"Percaya diri sebelum tahu lo anaknya siapa!" cetus Samantha. "Lagian ya, mencoba hubungan sama cowok yang nggak setara sama lo pasti bakal jadi masalah suatu saat nanti. Inget nggak sama Dimas? Berapa lama lo pacaran sama dia?Dua bulan, kan? Habis itu lo capek juga karena dia insecure mulu sama lo. Itu juga kan alasan lo bisa pacaran lama sama Andrew. Kalian berdua setara makanya nggak ada insecure sama satu sama lain."

Aku menghela napas. Samantha benar soal betapa pentingnya mencari pasangan yang setara. Selama berpacaran dengan Andrew kami tidak pernah berdebat karena rendahnya rasa percaya diri. Keluarga satu sama lain pun jelas menyetujui. Hanya saja, aku dan Andrew sama sekali tidak cocok bersama meskipun punya banyak kesamaan.

"Lagian nggak ada cowok yang dari kalangan lo yang bisa lo pacarin apa?"

"Kebanyakan dari mereka brengsek semua. Lo tahu sendiri gimana anak orang kaya."

"Eh, nyet, lo juga anak orang kaya kali."

"Tapi gue anak orang kaya yang cerdas."

"Idiiiiih, nggak capek muji diri lo sendiri?" ledek Samantha.

"Gue ngomongin fakta kali!" kekehku. "Lo kenapa sih sinis banget kalau gue udah memuji diri gue sendiri. Adik lo aja mengakui gue beda dari anak orang kaya lainnya yang dia kenal."

"Adik gue udah lo terpedaya aja. Lo juga kalau sama adik gue sok manis banget, njir. Kadang gue jijay banget ngeliatnya."

"Gue itu treat people the way they treat me. Iel kan selalu manis kalau sama gue, ya, masa gue jutekin."

"Tapi lo itu kadang kelewat manis. Adik gue baper gimana?"

"Gilaaaa ya lo!" untungnya saat ini aku sedang diruanganku sehingga mau teriak gimana pun nggak akan ada yang mendengar. "Gue sama Iel kan udah kenal lama."

"Kali aja, nyet!" Samantha tertawa puas oleh reaksiku. "Lo kan emang suka banget baper-baperin anak orang."

"Tapi nggak mungkin gue ngelakuin itu ke Iel." Sungutku. "Dia adik lo. Gila lo!"

"Iya, iya. Gue kan bercanda doang, kok lo serius banget, sih?"

Iya, ya? Kok aku jadi menganggap serius ucapan Samantha yang terkadang memang suka ngawur. Biasanya jika Samantha sudah mengejek kedekatanku dengan Samudera yang melebihi dirinya aku akan tertawa dan bersikap jumawa. "Hahaha. Liat nih, Iel kasih gue semangat hari pertama ngantor. So sweet banget ya adik lo. Lo diucapain semangat nggak?"

Namun belakangan aku merasa ada sesuatu yang berbeda dengan hubunganku dengan Samudera. Tepatnya setelah dia menawarkan diri untuk jadi teman dating ke acara pernikahan Andrew.

"Anyway, daripada lo susah-susah nyari, kenapa nggak ajak Iel aja ke nikahan Andrew? Adik gue high qualitygitu boleh lah buat dipamerin. Gue yakin adik gue nggak akan nolak kalau udah lo yang minta."

"Nggak mungkin Iel lah."

"Kok nggak mungkin? Adik gue banyak ngejar-ngejar tau!"

Aku terkekeh. "That, I knew. Cuma masa gue manfaatin Iel, sih?"

"Kayak lo nggak pernah manfaatin adik gue aja?" cibir Samantha. "Biasanya kalau lo ngedate sama cowok nggak jelas, lo juga bakal minta Iel jemput biar si cowok mati kutu karena kalah ganteng."

Aku terbahak. Memang terkadang aku suka menghubungi Samudera jika teman kencanku nggak menyenangkan. You know, mencari alasan untuk segera pergi dari obrolan membosankan tidak lah mudah. Mending aku minta Samudera menghampiriku sehingga aku adan alasan untuk pergi.

"Udah lah! Tinggal seminggu lagi lo mau cari dimana cowok yang tepat? Lagian Andrew kan dulu pernah cemburu sama Iel. Kalau lo tau-tau malah gandengan sama Iel, apa nggak panas tuh mantan lo?"

Well, sebenarnya membawa Samudera adalah ide yang sempurna. Hanya aja, entah kenapa, aku masih punya keraguan untuk melakukannya. Bukan karaguan Samudera malah akan mengacaukan rencanaku. Melainkan keraguan dalam diriku. Aku merasa jika aku pergi dengan Samudera, akan terjadi sesuatu yang besar antara kami berdua.


Bersambung.


 


 

08 | put her in my heart


 

Samudera

Very good morning, Bali.

Gue rasa Bali adalah tempat healing terbaik bagi para budak korporat di Jakarta apabila membutuhkan hiburan. I mean, Bali bukan hanya menarik karena keindahan alamnya. Melainkan juga bisa dijadikan sebagai tujuan spritual healing. Banyak terapis dan guru yoga terkenal dari seluruh dunia datang ke Bali. Tak heran Bali menjadi tempat ideal apabila ingin liburan sekalian spritual healing.

Well, buat gue pribadi Bali adalah salah satu tempat yang spesial. Karena banyak waktu yang gue habiskan dengan Raline di kota ini. Mungkin setengah distinasi di Bali—baik itu yang viral maupun hidden gem—sudah gue datangi bersama Raline. Jadi, setiap kali berada di Bali, mustahil rasanya bila gue nggak mengingat Raline. Everything that I do in Bali reminds me of her.

Termasuk dengan yoga yang gue lakukan atas ajakkan Jordan. You know, Jordan mungkin seusai gue tapi jiwanya sangat gen Z yang katanya si paling healing. Buat Jordan, healing penting dilakukan at least tiga bulan sekali. Namun buat Jordan yang memang sudah kaya sejak lahir—hal itu bisa ia lakukan bahkan seminggu sekali. Belum lagi penghasilannya bukan hanya dari pekerjaannya sebagai AE—melainkan juga sebagai influencer yang pengikutnya di instagram sudah menjadi angka 1 M.

Yeah, Jordan is very popular. Gue sama sekali nggak heran karena sejak SMA dia memang sudah sering menjadi pusat perhatian. Bukan hanya karena sifatnya yang easy going—melainkan juga latar belakang keluarganya yang nggak main-main. Alasan cowok itu tetap bekerja bukan untuk mencari sesuap nasi. Melainkan hanya sekedar untuk mengisi waktu di tengah kebosanan.

Sudah dua hari ini gue melewati hari di Bali dengan Jordan. Sebenarnya kami berdua ke sini karena urusan pekerjaan. Tapi Jordan akan tetap menjadi Jordan yang nggak akan melewatkan kesempatan bersantai. Setelah semalaman gue babysitting cowok itu yang menggila di sebuah kelab malam—paginya, Jordan mengajak gue yoga.

I know, it's random. Tapi ini adalah Jordan. Jadi gue sama sekali nggak heran.

"Hidup itu harus balance, bro. Bukan cuma kerjaan. Tapi juga mental. Kalau hidup gue damai-damai aja mana seru?"

Ya, ya, terserah lo aja deh, Dan. Gue bertahan di sini juga karena menyenangkan bisa berada di tempat yang mengukir banyak kenangan antara gue dan Raline. Wish you were here, Raline. Tapi gue tahu sekarang dia lagi sibuk sama teman kencannya si Reksa.

Yeah, so fuck my life. Baru sebentar gue senang karena perhatian Raline, beberapa hari kemudian gue mendapatkan kabar kalau Raline sedang dekat dengan teman kerja Shanala. I don't know. Apakah Raline memang tidak menangkap kode yang gue berikan atau dia sadar maksud gue tapi memilih untuk nggak take serious?

Raline memang unpredictable. Tapi bisakah dia memberi gue sedikit harapan. Harapan kalau gue punya kesempatan untuk menjadi salah satu orang yang Raline pertimbangkan. Gue nggak meminta dia membalas perasaan gue—itu sesuatu yang nggak bisa gue minta karena menyukai seseorang berasal dari hati dan butuh proses. Namun, gue hanya ingin masuk dalam daftar pertimbangan. That's it.

"Habis yoga masih asem aja muka lo," Jordan berkomentar saat kami memasuki kafe buat breakfast. Sebenarnya, setelah sesi yoga tadi—gue tahu salah satu alasan Jordan mau yoga bukan demi ketenangan jiwanya. Tapi dia memang mau flirting sama instrukur yoganya. "Semalam gue ajak have fun lo malah duduk aja. Padahal banyak cewek yang minta dikenalin ke elo sama gue."

"Seharusnya lo berterima kasih. Kalau gue ikutan mabuk sama lo, kita berdua mungkin udah berakhir tidur di depan villa."

Jordan terbahak. "Kacau banget ya gue semalam."

"Memang kapan lo nggak kacau kalau mabuk, Dan?" ledek gue lalu meraih buku menu dan membacanya.

"Anyway," gue membuka ponsel ketika selesai memesan. "HM serius nggak bisa di—"

"Oh, come on," Jordan langsung menggelengkan kepala dan mengusap wajahnya. "Please, nggak usah bahasa kerjaan di hari weekend. HM kampret itu emang awalnya suka bikin susah. Ntar gue yang nego lagi, deh."

Gue terkekeh lalu mengangguk-anggukkan kepala. Meskipun terlihat tidak serius dan bersantai-santai dalam bekerja. Jordan sangat lah capable. Klien-klien besar berhasil didapatkan karena kemampuan komunikasi dan negosisasi Jordan.

"Gue liat lo nggak posting apapun selama di Bali," ucap Jordan yang mengeluarkan ponselnya. "Story gue bahkan belum lo repost. Belagu lo sama followers yang 1 M," sambungnya bercanda meskipun nada suara serius.

Yeah, kalau belum mengenal Jordan, pasti banyak yang bilang cowok itu songong. Padahal Jordannya anaknya jangan dibawa serius aja.

"Lagi nggak mood update," balas gue datar.

Jordan berdecak. "Pantesan progress lo dekatin Kak Raline nggak ada kemajuan."

Gue memandang Jordan clueless. Gue rasa gue sudah melakukan yang terbaik sampai sejauh ini. Memang belum ada tindakan yang ekstrem—tapi gue nggak diam aja tanpa melakukan apapun. Gue memberi Raline perhatian khusus. Gue juga sudah mengatakan dengan terbuka dia spesial buat gue. That could be called effort, right?

"Nih, ya, gue ajarin. Kalau mau ngegebet cewek lo harus sering-sering komunikasi sama dia. Apa aja deh, mau seremeh ngucapin selama pagi atau chat random—yang penting ada interaksi yang intens."

"Raline lagi sibuk. Gue nggak mau ganggu."

Jordan memutar bola mata. "Kalau lo nggak pernah ganggu, keburu dia diganggu cowok lain." Jordan meraih air mineral. "Mending lo buru bikin postingan lo lagi di Bali. Ngeliat gimana kak Raline, gue yakin dia pasti langsung DM lo. Ih, iel kamu di Bali, ya? Huhu, mengiriiii."

Gue terbahak ketika Jordan meniru gaya bicara Raline yang terkadang terdengar seperti anak kecil saat bicara dengan gue.

Namun sepertinya tidak ada salahnya mencoba saran Jordan. Mengingat pengalaman dating Jordan lebih banyak dari gue serta sudah banyak cewek yang berhasil ia taklukkan—mungkin gue bisa memakai cara Jordan.

Cause you know, gue mulai agak resah sekarang.


***


Wow. Sepertinya gue harus mulai percaya pada setiap saran-saran yang Jordan berikan. Sebab dua jam setelah gue memposting breakfast di kafe yang gue kunjungi dengan Jordan di daerah Canggu—tempat dimana gue dan Raline juga sering datang ke sana apabila di Bali—Raline mengirimkan gue DM yang isinya begini;


 

@enilar : iel, kamu lagi di bali?

@samudera : hehe iya

@enilar : ngapain??

@enilar : sama siapa?

@samudera : sama jordan

@samudera : lagi ada kerjaan di sini terus jordan ngajak balik senin aja.

@enilar : seru nih kerja bisa sambil liburan

@samudera :yeah, habis itu pusing lagi mikir kerjaan

@enilar : hahaha

Jordan bilang gue harus bisa membuat percakapan gue dan Raline nggak cepat berakhir.

@samudera : kamu dimana?

@enilar : apart

@enilar : *sent picure*

Gue menutup mulut menahan tawa ketika Raline mengirimkan fotonya yang membuat ekspresi sedih di atas tumpukkan dokumennya. Raline tampaknya sibuk sekali sampai hari Minggu begini masih bekerja.

@samudera : udah jam satu

@samudera : kamu belum lunch juga?

@enilar : tadi aku udah minta ami pesenin makanan

@samudera : jangan telat makan

@samudera : nanti kamu sakit

@enilar : iya, iel

@enilar : eh, kayaknya makananku udah datang

@enilar : happy holiday, iel!

@samudera : kak ...

@enilar : iya, kenapa?

@samudera : nggak apa-apa

@samudera : selamat makan ya

Gue membuang napas lantas menyandarkan badan di sofa. Sebenarnya gue ingin menanyakan soal perkembangan pendekatan Raline dengan Reksa—tapi entah kenapa gue nggak punya keberanian melalukannya. Gue takut akan mendengar sesuatu yang nggak ingin gue dengar.

Gue pernah ketemu Reksa saat menjemput Shanala di kantornya. Gue sama sekali nggak menemukan kesan buruk dalam dirinya. Malah bisa dibilang Reksa adalah tipe idaman Raline. Gue tentu tahu soal Raline yang menyukai cowok tinggi, cerdas, pekerja keras, berwibawa, dan paling membuat gue terpukul adalah ... dia menyukai cowok yang lebih tua darinya. Which is, gue sudah nggak memenuhi kriteria tersebut. Jadi, paham kan, kenapa mendekati Raline itu susah?

Bukan hanya kami sudah kelewat akrab. Tapi juga gue nggak memenuhi kriteria yang Raline inginkan—dimana kriteria itu nggak bisa gue ubah apalagi usahakan. Mau memalsukan tahun lahir gue juga nggak mungkin karena Raline sudah mengenal gue sejak lama.

"Gimana liburannya, Mas Iel?"

Gue tersenyum. Mengambil tempat di sebelah Mami kemudian memeluk wanita yang paling gue sayang tersebut. Biasanya setiap weekend gue selalu menyempatkan diri buat pulang ke rumah menengok Mami. Tapi karena weekend kemarin gue di Bali, jadilah sepulang kerja gue ke Tangsel dan memutuskan untuk menginap satu hari.

"Seru. Tapi capek ngasuh Jordan yang bandel,"

Mami ketawa kecil. Melepaskan jarum rajutnya dan berganti mengusap rambut gue. Usapan Mami dan harum tubuhnya selalu menjadi favorit gue. "Jordan apa kabar ya, Mas? Udah lama nggak main ke sini."

"Masih kayak gitu aja, Mi."

"Belum punya pacar dia?"

"Cowok kayak Jordan mana mau pacaran. Katanya kasian cewek-cewek lain yang ngarepin dia kalau dia udah official punya pacar."

"Kalau Mas Iel gimana?"

Gue  membuka mata. "Aku kenapa?" menyahut pura-pura nggak paham.

"Anak Mami kenapa belum punya pacar?"

"Belum ada yang mau, Mi," balas gue dengan kekehan.

"Ah, masa, sih?" Mami menangkup wajah gue dan menariknya menghadapnya. "Anak Mami ganteng, baik, pintar, sopan gini masa nggak ada yang mau?"

Gue tersenyum kecut. Cewek yang kumau belum mau sama aku, Mi.

"Iya, ya, Mi? Kok nggak ada mau, ya? Padahal gantengan aku dari Jordan."

Mami tertawa. Menepuk-nepuk punggung gue. "Mandi dan ganti baju dulu, Mas. Mami mau manggil Bi Sari dulu buat siapain makan malam buat Mas Iel."

"Siap, Nyonya!" gue langsung memberi hormat.

Mami geleng-geleng kepala. "Oh, iya, Mami lupa. Syal buat Raline udah selesai Mami buatin. Nanti kamu kasih ke Nak Raline ya, Mas."

"Siap, Mi," gue mengangguk dengan senang hati. Ada alasan lagi buat ketemu Raline. "Ini Kak Shana sama Kak Atha lama-lama bisa jealous Mami bikinin syal buat kak Raline," kekeh gue.

"Shana kan udah Mami bikinin bulan kemarin. Atha biar jemput sendiri lah. Kakak kamu yang satu itu jarang banget tengokin Mami, Mas," adu Mami sambil bersungut-sunggut.

"Kak Atha setahuku emang lagi sibuk-sibuknya, Mi." Gue mengusap kedua lengan Mami. "Tapi yang penting anak Mami yang paling ganteng ini nggak pernah lupa tengokin Mami lho."

Mami tersenyum. Mengusap pipi gue. "Kamu emang anak baik banget, Mas Iel. Mirip banget sama Papi kamu."

Melihat adanya kesedihan di mata Mami membuat gue menarik Mami ke dalam pelukkan gue. Sepuluh tahun sudah berlalu sejak kepergian Papi. Kami semua telah berdamai dengan rasa kehilangan tersebut. Namun tetap saja, setiap kali mengingat Papi kerinduan itu tetap membuat kami sedih. Apalagi untuk Mami yang kehilangan belahan jiwa dan suaminya. Sebab itu, gue selalu mengusahakan pulang seminggu sekali untuk menemani Mami.

"Mami kangen Papi, ya?" tanya gue agar Mami bisa memvalidasi rasa rindunya.

"Setiap hari Mami kangen Papi, Mas," gumam Mami. "Mana mungkin nggak kangen. Tapi Mami nggak mau belarut-larut dalam kesedihan terus. Papi pasti ikutan sedih kalau Mami sedih, kan?"

Gue mengangguk. Memeluk Mami lebih erat. "Mas Iel juga sedih kalau Mami sedih."

Mami mengelus punggung gue. "Mami nggak sedih lagi karena Mami punya putra yang sayang banget sama Mami kayak Mas Iel." Beberapa detik kemudian, Mami menarik tubuhnya. "Kok jadi sedih-sedih gini? Mas Iel buruan mandi, gih. Udah asem lho baunya."

Gue ketawa. "Bohong nih, Mami. Masa aku bau asem, sih? Wangiiii gini."

"Lho, nggak percaya. Buruan mandi biar ganteng dan wangi. Biar banyak cewek-cewek yang dekatin."

Gue tersenyum lantas mencium pipi Mami sebelum akhirnya bangkit berdiri dan naik ke lantai dua menuju kamar gue berada.


Bersambung.


 


09 | just you and me now


 

Raline

Setelah rangkaian kasus influencer 'nakal'—yeah aku sengaja menyebutnya nakal karena dia masih anak bau kencur yang sok jagoan—akhirnya drama itu terselesaikan setelah kami menggelar press conference dan menjelaskan kronologi sebenarnya beserta bukti CCTV yang membuat influencer itu langsung mati kutu lalu membuat permintaan maaf di media sosialnya.

Right, aku memang sengaja menyimpan senjata itu dan membiarkan si influencer berkoar-koar sesuka hatinya. Saat aku merasa sudah waktunya untuk menyerang ... BOOM! Aku menghancurkan dengan satu kali pukulan.

Well, menjadi General Manager di usia ini bukan lah hal yang mudah. Nggak sedikit yang mencibir karena aku masih muda dan mungkin buat mereka aku belum capable. Apalagi baru satu tahun aku menduduki posisi ini sehingga setiap pergerakkanku akan terus diawasi. Jika aku tak berhasil menangani kasus si influencer—aku yakin diriku akan dipermalukan dalam rapat direksi nanti.

Jangan berharap Bu Selena akan membelaku. Malah beliau akan menjadi orang yang paling semangat mencecarku. Mengomentari kinerjaku dan betapa lambannya aku dalam menangani masalah.

Namun aku tahu Mama melakukan itu karena menurutnya lebih baik dirinya yang melakukannya daripada orang lain. Lebih dari pada itu, terkadang Mama suka melebih-lebihkan cecarannya sehingga dewan direksi lain langsung diam dan nggak tahu harus menimpali apa lagi karena Mama sudah mewakilkan keluhan mereka.

"Kalau begini, bukannya lebih baik kita biarkan Raline yang membujuk manajemen Dextar agar mereka memilih hotel kita daripada G Hotel? Hitung-hitung sebagai bentuk tanggungjawabnya atas kinerja yang menurun?" ucap Bu Selena sehabis mencecarku.

Para dewan direksi yang lain tampak keberatan karena membiarkanku mengurus hal tersebut akan membuat mereka kesulitan mencari kesalahanku. Seharusnya aku bermalasan-malasan dan manja seperti anak konglomerat yang lain. Tapi melihat Mama sama sekali nggak berpihak padaku, mereka terpaksa menganggukkan kepala menyetujui.

Yeah, Mama selalu bilang semakin tinggi pohon maka semakin kencang angin yang menerpa. Maka dari itu, aku nggak boleh takut apalagi bersikap lemah karena tidak hanya satu orang yang berusaha menjatuhkanku.

Jadi, setahun ini aku memang jauh lebih sibuk dan bekerja keras dari sebelum-sebelumnya.

Aku menyandarkan badan ke kursi ketika selesai mengecek laporan dari HRD. Padatnya schedule membuatku tidak punya waktu memikirkan teman kencan. Hanya tinggal beberapa hari lagi sebelum pernikahan Andrew. Samantha sempat menyarankanku mencoba aplikasi dating yang tentu saja kutolak mentah-mentah. Yang benar saja, meskipun aku mulai agak desparate, aku nggak akan pernah mencobanya. Never!

"Lo jangan meng-underestimate aplikasi dating dong! Banyak kok sekarang yang nikah karena ketemu di Tinderatau TanTan!" ucap Samantha.

"Dan gue bukan salah satunya!"

"Lo itu terlalu sering bergaul sama boomer jadi nggak melek sama perkembangan zaman. Sekarang itu orang-orang nyari jodoh mah lewat sosmed juga bisa. Tuh, si Yasmine nikah sama suaminya yang ketemu di instagram. Katanya dia di-DM terus diajak kenalan. Eh, ternyata cocok. Suaminya juga nggak kaleng-kaleng, pengusaha dari Kalimantan."

"Tetap aja gue nggak mau. Umur 33 main aplikasi dating, bisa-bisa gue dikira nggak laku sama orang-orang."

"Peduli apa sama orang-orang. Biasanya juga lo nggak peduli deh."

"Still, gue nggak mau coba aplikasi dating! BIG NO!"

"Sebahagia lo deh. Yang penting gue udah kasih saran ya."

Suara ketukan pintu menghentikan lamunanku dari obrolan dengan Samantha. Ami dengan sikap profesionalnya mendekati meja dan mulai menyebutkan schedule-ku selanjutnya. Dimana hari ini aku ada meeting dengan promotor konser boyband Dextar.

Aku mengangguk seraya mengambil blazer. Ami cekatan langsung membantuku membereskan barang-barang kemudian kami berdua memasuki lift yang mengantar ke lobi. Sambil menunggu lift turun, aku bertanya pada Ami. "Mi, kamu pernah pakai aplikasi dating?"

Dari balik kacamatanya, bulu mata lentik Ami bergerak oleh kerjapannya. "Aplikasi dating, Bu?"

"Hmm," aku bergumam. "Kamu pernah coba?"

"Nggak pernah sih, Bu." Ami menggeleng. "Bu Raline mau coba aplikasi dating?"

"Nggaklah!" decakku. "Ngapain coba saya pakai aplikasi dating kayak gitu?"

Ami terkekeh. "Ya, nggak apa-apa, Bu. Dicoba aja dulu."

Aku menggeleng. "Ngapain, Mi? Saya lebih suka mengenal orang secara real life daripada online gitu."

Ami manggut-manggut menyetujui. "Di real life aja udah banyak yang nipu apalagi online ya, Bu?"

Begitu pintu lift terbuka, obrolan soal aplikasi dating pun berakhir. Di dalam mobil aku membuka iPad untuk mengecek beberapa dokumen. Yeah, masa-masa  kebebasan Raline telah berakhir sejak aku diangkat menjadi General Manager di Alaton Hotel. Well, bukan berarti biasanya aku nggak serius dalam bekerja—hanya saja beban jabatan sekarang begitu besar, ditambah  pekerjaan yang terus menumpuk membuatku nggak punya waktu untuk bersenang-senang sesuka hati seperti dulu.

Melihat postingan Samudera dua hari yang lalu membuatku merindukkan Bali. Biasanya aku dan Samudera bisa dua bulan sekali ke Bali untuk liburan bareng. Kadang bertiga atau berempat dengan Shanala dan Samantha.

Ah, masa-masa itu menyenangkan sekali. Berjemur di pantai, makan di warung murah pinggir jalan sampai kafe-kafe aesthetic, belajar selancar, mendaki gunung Batur, mengunjungi beragami pura suci, bersenang-senang di beach club, bersepeda di jalan antara sawah-sawah di Ubud, dan aku juga pernah menjelahi tempat terpencil di daerah Pamutaran untuk menikmati pemandangan hutan dan gunung berapi.

Sepertinya aku memang butuh liburan demi menghilangan keribetan pekerjaan yang nggak ada habisnya.


***


Jam sembilan malam dan aku masih duduk manis di kursi kerja ruanganku.

Nggak heran Samantha bilang umurku kelihatan bertambah tua tiga tahun belakangan ini. Bukan hanya pekerjan yang menggila, masalah teman dating pun membuatku agak stres. Mana hari ini aku menjalani delapan meetinglagi. Sekarang saja aku masih berusaha memerangi sakit kepala yang menyerangku. Ami sudah memberiku aspirin beberapa menit yang lalu. Namun efeknya belum juga kerasa karena kepalaku masih terasa berat. Akibatnya, aku kesulitan berkonsentrasi menekuri dokumen yang harus aku selesaikan malam ini.

Di tengah itu, ponselku tiba-tiba berdenting. Mulanya aku berniat mengabaikan. Akan tetapi ketika melihat Samudera lah yang mengirimkan chat. Aku meraih ponselnya dan menggerakkan jari untuk membalas.

Samudera

Hi, there?

Raline

Hi, you

Samudera

Masih di kantor?

Raline

Sadly, yes

Kenapa, iel?

Samudera

Kalau aku ke sana ganggu nggak?

Aku belum makan malam

I bet kamu juga belum

Raline

HAHAHA

Kok tau sih?

Samudera

Easy peasy

Story kamu siang tadi bikin aku tau kamu bakal lupa makan

Aku tidak membuat postingan yang begitu jelas. Hanya berbagi keseharianku terkait pekerjaan. Rasanya nggak mudah menebak kondisiku hanya dari satu postingan. Tapi, yeah, Samudera memang laki-laki peka.

Raline

Kalau gitu aku mau chinese food

Samudera

Di restoran langganan kita?

Raline

Sureeeee

Samudera

Okay, aku otw sekarang

Raline

Waiting for you 😊

Aku tersenyum setelah mengirimkan balasan. Suasana hatiku yang tadinya murung kini berubah semangat menanti kedatangan Samudera. Aku melepaskan kacamata, lalu meminta Ami masuk ke ruanganku. Beberapa detik kemudian, sosok tinggi Ami sudah berdiri didepan mejaku.

"Mi, kamu boleh pulang sekarang, ya."

"Ibu juga mau pulang? Biar saya minta Pak Dudung siapin mobil."

Aku menggeleng. "Saya masih di sini. Nanti pulangnya sama Iel."

"Oh," Ami yang sudah mengenal Samudera mengangguk pengerti. "Sama Mas Sam. Baik kalau gitu, Bu."

"Kamu pulang naik apa, Mi? Dijemput pacarmu?"

"Okan lagi dinas di luar kota, Bu. Nanti saya pesan ojol aja."

"Diantar sama Pak Dudung aja, Mi. Sekalian bilang ke Pak Dudung langsung pulang, nggak usah nungguin saya."

Ami mengangguk lantas berpamitan padaku.

Aku kembali melanjutkan pekerjaan sembari menunggu kedatangan Samudera. Sekitar tiga puluh menit kemudian, pintu ruanganku diketuk, aku mengatakan 'masuk' dan nggak lama kemudian sosok tampan Samudera muncul dari balik pintu dengan senyum malaikatnya.

"Hi," sapanya dengan suara lembut yang pastinya berpotensi membuat hati para cewek-cewek meleleh.

"Hi," aku bangkit berdiri lalu mendekati Samudera yang duduk di sofa tanpa perlu kupersilakan. "Antri nggak tadi? Biasanya jam segini restorannya kan ramai banget."

"Antri sebentar doang kok," balas Samudera sambil membuka paper bag dan mengeluarkan semua isinya.

Aku duduk di sebelah Samudera, menopang dagu sambil memperhatikan profil wajah Samudera dari samping yang sempurna. Meskipun rambutnya agak berantakan, hal itu sama sekali tak mengurangi setitik pun ketampanannya. Membuatku nggak bisa menahan diri buat nggak mengangkat tangan lalu menyisir rambutnya dengan jemariku. "Kamu nggak rebutan antri sampai berantem sama ibu-ibu, kan? Rambutnya sampai berantakan gini," candaku.

Samudera mengangkat wajahnya yang membuat pandangan kami bertemu. Biasanya bertatapan dengan Samudera bukan sesuatu yang akan membuatku berdebar. Namun belakangan atmosfer di antara kami entah kenapa terasa berbeda—seberusaha apapun aku mengabaikannya.

Aku menarik tanganku. Tersenyum kecil agar nggak kelihatan canggung. "Eh, kamu pesan Fuyunghai juga?!"

"Nggak mungkin nggak aku pesenin. Kan favorit kamu."

Aku tersenyum lebar. Lantas mulai mencari ikat rambutku agar leluasa menikmati makan malam kami. Kucicipi semua makanan satu per satu dengan ekspresi berbinar yang memuat Samudera tergelak kecil sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ya, ya, ya, terkadang aku memang suka overreaction terhadap makanan enak.

"Kerjaan kamu masih banyak?" tanya Samudera yang melirik tumpukkan dokumen di mejaku.

Sebelum menjawab, aku mengambil dumpling kukus. "Lumayan. Kayaknya mau aku bawa pulang aja,"

Samudera manggut-manggut lalu menatapku lekat-lekat. Sadar diperhatikan, aku mengangkat alis. Nggak mengeluarkan kata-kata, Samudera mengulurkan tangannya ke wajahku. Jemarinya samar-samar membelai telingaku ketika pria itu menyelipkan rambutku ke belakang telinga. Seketika itu juga aku goosebumps.

"Habis ini mau langsung pulang?" tanyanya dengan suara begitu lembut.

Aku mengerjap. Membasahi tenggorokkanku yang mengering. "Hmm," anggukku. Tubuhku baru benar-benar normal setelah Samudera menarik tangannya dan melanjutkan makan.

What happen with me? Really, Raline? Efek kelamaan single apa membuat lo jadi sangat sesintif sama sentuhan cowok? Tapi ini kan Samudera!

"Aku udah bilang ke Pak Dudung pulang duluan lho. Jadi, kamu harus nganterin aku pulang," kataku yang buru-buru mengenyahkan segala pikiran aneh di dalam kepalaku dengan ancaman bernada candaan.

Samudera tertawa. Suaranya terdengar berat yang menyadarkanku dia telah tumbuh menjadi pria dewasa. "Nggak dijemput sama Reksa?"

"Kamu kenal Reksa?" mataku sontak mengerjap.

"Pernah ketemu waktu jemput kak Shana di kantornya," oh, aku tidak salah lihat, kan? Apa efek lembur membuatku berhalusinasi melihat kesedihan dan kekecewaan di mata Samudera. "Katanya kamu lagi dekat sama dia, ya?"

"Nggak, kok." Aku menggeleng. "Kemarin emang sempat kenalan tapi ya nggak lanjut."

"Kenapa?"

Aku tersenyum kecil dengan cepatnya respon Samudera.

"Nggak cocok," aku mengangkat bahu.

Samudera mengangkat alisnya. Tubuhnya bergeser ke arahku yang membuat dengkul kami bersinggungan. Lagi-lagi sensasi ketika kulit kami bertemu membuatku goosebumps. Tatapan Samudera yang lekat seolah menunggu aku menjelaskan lebih lanjut membuatku kembali membuka suara.

"Well," aku mengalihkan pandangan dari tatapan Samudera. Sebenarnya mencurahkan perasaan pada Samudera bukan sesuatu yang sulit. Hanya saja, sudah dua kali gagal dating terasa agak memalukan untuk diakui. Apalagi Samudera sudah sempat menawarkan dirinya. "Reksa baik. But it didn't work out. Dia terintimidasi sama latar belakang keluargaku. Setelah tahu aku putri Bu Selena—reaksinya langsung canggung. Terus dua hari kemudian dia bilang kalau dia tertarik sama aku, tapi dia nggak percaya diri buat lanjut dekeatin karena ngerasa dirinya belum pantas. So, yeah, kami mutusin buat temanan aja."

"Are you sad?" tanya Samudera serius

Aku tergelak. Menggelengkan kepala. "No. Of course not. Kami baru ketemu dua kali. Kamu pikir aku bakal baper cuma dengan dua kali pertemuan?"

"Yeah, it takes a long time to catch you attention,"

Aku tersenyum, "Udahan bahas masalah itu!" lantas mengalihkan pembicaraan. "Gimana liburan kamu kemarin di Bali? Enak ya, aku di sini lembur kamu malah senang-senang sendirian!"

Tawa Samudera yang bernada berat terdengar. Hari ini bisa dibilang hariku yang paling hetic—namun melihat Samudera dengan senyum dan tawanya membuat perasaanku lebih baik. Apalagi ketika tatapannya yang teduh membingkaiku—aku menemukan kenyamanan yang membuat lelah dan sakit kepala yang kuderita hilang.

Kami berdua mengobrol dengan seru—yang diselengi juga dengan tawa, membahas kelakuan Jordan yang mabuk sewaktu di Bali. Bagaimana Samudera harus mengurus pria dewasa dengan tinggi menjulang. Memampahnya masuk mobil dan mendengarkan ocehan random Jordan yang kalau mabuk sangat lah annoying. Samudera juga mengantarkan syal yang dibuatkan oleh Mami untukku.

"Aduuuh, Mami kemarin baru aja ngasih aku scented candle. Sekarang udah dikasih syal aja. Aku kan aja enaaaak, Iel," cengirku.

Samudera tertawa. "Kalau bisa kamu pamerin ke kak Atha biar dia jealous. Mami sebel sama kak Atha. Udah sebulan nggak tengokin mami."

"Anak durhaka emang Samantha!" dumelku. "Tenang aja. Ntar aku pamer sampai Samantha iri."

Bersama Samudera selalu terasa menyenangkan. Sangat menyenangkan hingga kenyamanan ini membuatku takut akan berakhir.

Aku bersandar di sofa, menopang kepala menghadap Samudera yang nggak akan berhenti kusebut tampan. Hari ini dia tampak santai dengan celana jeans dan kaos putih yan melekat pas di tubuhnya. Membuatku sadar jika tumbuh Samudera cukup kekar. Membawa Samudera ke acara manapun jelas adalah kebanggaan.

"Sam,"

Samudera menoleh. Jelas terkejut ketika aku memanggilnya 'Sam'—dimana panggilan itu hanya kuucapkan bila ingin bicara serius atau marah. Ekspresi tegang di wajah Samudera membuatku tak mampu menahan tawa. Aku menutup mulut sementara Samudera mengerjap bingung.

"Kak, kamu bikin aku degdegan. Aku kira aku habis ngelakuin kesalahan," katanya diselengi helaan napas lega melihatku tertawa.

"Kamu nggak ngelakuin kesalahan. Tapi aku mau ngomong serius."

"O ... kay," Samudera mengangguk pelan. Menungguku melanjutkan.

"Soal pernikahan Andrew," aku menatap Samudera lekat lalu bertanya. "Kamu mau nemenin aku ke sana?"

Yeah, Samudera bukan pilihan terakhir karena aku sedang hopeless. Namun dua kali gagal dating membuatku sadar bahwa Samudera adalah satu-satu pria pontensial untuk kubawa ke pernikahan Andrew.


 

Bersambung.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Closer Than This - Love, and Travel (Special Chapter)
14
2
Ini adalah spesial chapter untuk momen Raline dan Samudera saat liburan bareng. Masa-masa Samudera memendam cinta. Enjoy!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan