
37. the ex
38. open arms
39. all mine
40. two becomes one
37 | the ex
Nina mengerutkan kening, mengamati gerak-gerik Dewa yang tampak agak aneh sejak pria itu tiba di apartemennya.
Seperti yang Nina janjikan, ia bangun pagi-pagi sekali membuatkan sarapan untuk mereka berdua. Dewa tiba pukul 06.30, hanya beberapa menit setelah Nina selesai membuat nasi goreng ayam berdasarkan resep ibunya. Memang tidak seenak buatan sang ibu—tetapi Nina cukup percaya diri dengan rasanya.
Sebab itu, melihat Dewa yang lebih banyak diam—padahal pria itu selalu heboh, khususnya ketika mencicipi masakannya sedikit membuat Nina heran.
Apa pekerjaan pria itu sedang bermasalah?
Nina menggigit bibir. Meletakan sendoknya dan memutuskan untuk bertanya karena merasa aneh dengan keheningan yang membaluti mereka berdua.
"Mas," Nina membuka suara dengan nada berhati-hati.
Dewa mendongak, tersenyum kecil pada kekasihnya. "Kenapa, Sayang?"
"Do you want to talk about something?"
Ekspresi Dewa tampak tenang, seolah pria itu sudah menduga jika Nina akan bertanya padanya. Sebelum menjawab, Dewa meraih minuman di meja lalu menenggaknya pelan. "Yeah," angguk Dewa. "Actually, I want to tell you something."
"Okay," Nina memberi fokus sepenuhnya pada Dewa. Menunggu pria itu bicara.
"Debby ngehubungin aku,"
"Oh," mata Nina mengerjap agak terkejut. Meskipun sewaktu di Bali wanita itu memang kelihatan sekali ingin bicara pada Dewa—Nina tak menyangka jika masih berusaha melakukannya sampai sekarang. "O ... kay."
"Dan aku ngeiyain," sambung Dewa.
Nina tidak tahu apa yang ia rasakan sekarang. Di satu sisi Nina mengerti Dewa membutuhkan penjelasan dari Debby. Namun di sisi lain ada seberkas rasa cemburu yang membuatnya sedikit tidak nyaman.
"Mmm ... rencananya kapan kamu mau ketemu sama dia?" tanya Nina berusaha bersikap netral.
"Malam ini. Habis pulang ngantor."
Nina mengangguk pelan. "Okay. Thanks for letting me know." Katanya. Mencoba untuk mengerti—karena bagaimanapun, Dewa berhak mendapatkan penjelasan.
"Kamu temenin aku, ya?" pinta Dewa seraya meraih tangan Nina di atas meja. "Aku mau ketemu dia kalau kamu juga ikut."
Permintaan Dewa yang mengejutkan jelas membuat Nina mengerjapkan mata. "But ... it's just between you and her. Dia nggak akan nyaman kalau aku ikut, Mas."
Dewa menggeleng. "Nggak ada lagi antara aku sama dia. Sekarang adanya aku sama kamu. Kalau dia keberatan aku bawa kamu—then, aku nggak akan mau mendengarkan apapun yang mau dia jelasin ke aku."
"Tapi, Mas,"
"Kita udah sepakat buat nggak menyembunyikan apa-apa dari satu sama lain, kan?" sela Dewa. "That's why, aku mau kamu juga ikut."
Nina menghela napas. Ia senang Dewa membahas hal ini dengannya—kendati ia sedikit merasakan cemburu karena Dewa akan bertemu dengan mantan kekasihnya. Bukan karena ia ragu pada perasaan Dewa. Sejujurnya, ini juga baru untuk Nina merasakan kecemburuan. Ia tak pernah begini sewaktu menjalin hubungan dengan Samudera. Dan entah kenapa ia merasa begitu pada Dewa. Padahal Dewa selalu membuktikan kesetiaannya pada Nina.
Dan menamani pria itu persoalan berbeda. Masalah tersebut antara Dewa dan Debby. Ia bukan pihak yang terlibat. Namun alasan Dewa masuk akal sehingga Nina tidak mungkin bisa menolak.
"Kanina," genggaman tangan Dewa yang mengerat membuat pandangan Nina kembali terarah pada pria itu. "Please,"
"Okay, aku temenin kamu," Nina menganggukan kepala. Tersenyum pada Dewa. "Sekarang, habisan nasi gorengnya. Nanti kita telat ke kantor lho."
Dewa tersenyum. Mengecup punggung tangan Nina sekilas sebelum melepaskannya dan melanjutkannya. "Nasi goreng buatan kamu enak banget, Sayang. Kayaknya ini bukan resep yang biasa, ya?"
Nina mengangguk, dengan ekspresi agak cemberut. "Baru noticed sekarang? Padahal nasi goreng kamu udah mau habis, tuh."
Dewa terkekeh. "Tadi aku lagi mikir gimana cara jelasin ini ke kamu. Takutnya kamu langsung ngamuk pas tahu aku nerima ajakan ketemuan mantanku."
"Memangnya aku sesumbu pendek itu?" dengus Nina. "Perselingkuhan papa memang bikin aku skeptis sama cowok. Tapi aku nggak mau menjalin hubungan yang toxic. Apalagi kalau toxic karena sikap kekanakanku." Wajah Nina terangkat, menatap Dewa yang ternyata juga tengah memandanginya dalam. "Sebenarnya aku juga nggak nyangka bisa jalin hubungan yang sehat kayak sekarang. Mungkin ... karena cowoknya kamu. So, I want to be a better person."
"You are ," Dewa tersenyum hangat.
Nina balas tersenyum. Kemudian kembali menundukkan pandangannya karena tatapan hangat Dewa membuatnya salah tingkah.
"Kanina," panggil Dewa dengan nada agak serius.
"Hm?"
"Boleh nambah lagi nggak?"
Nina tercengang selama beberapa saat. Sebelum ia mengeluarkan tawa geli sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Punya kamu aja belum habis. Lagian, kita harus ke kantor, Mas. Aku bekalin aja, gimana?"
Dewa mengangguk cepat. Menyunggingkan senyum lebar. "I loved to. Nanti aku pamerin ke Risyad sama Garen."
"Nanti aku lebihin aja. Biar Mas Risyad sama Garen bisa coba."
"Nggak boleh," Dewa menggeleng tegas. "Mereka nggak boleh nyoba masakan kamu. Nanti mereka naksir kamu lagi. Siapa yang nggak akan jatuh cinta sama kamu setelah coba masakan kamu?"
"Dasar," dengus Nina sambil tertawa kecil.
Dewa nyengir. "Bekalin buat aku aja. Mereka bisa mikir sendiri mau sarapan pakai apa."
***
"You know, dengar cerita lo bikin gue makin takjub sama Mas Dewa," Sisy berkata sembari menopang dagunya, menatap Nina sibuk menyelesaikan copy yang harus ia kirimkan ke Samudera sore ini. "Mas Dewa beneran real nggak, sih?"
Nina terkekeh. Menoleh pada Sisy yang masih betah nongkrong di kubikelnya padahal jam makan siang sudah berakhir. "Gue aja kadang masih ngerasa dia too good to be true. But, yeah, he's real," ucap Nina dengan senyum di wajahnya. "Gue aja nggak ngerti gimana bisa ada cowok sesabar, sepengertian, dan selalu ngomong manis kayak Mas Dewa. Ditambah lagi dia selalu effort buat hubungan kami. Gue tahu manusia nggak ada yang sempurna. Just ... he's perfect. You know what I mean, right?"
"I know what you mean," Sisy mengangguk paham. Sejak dulu Dewa memang terkenal ramah. Bukan satu atau dua wanita yang dikabarkan baper karena sweet talk bapak arsitek tersebut. Tetapi jelas sweet talk Dewa tak akan semanis ketika ia bicara pada Nina. Dan Dewa pun tahu cara membuat boundaries begitu statusnya tak lagi single. "Tapi, Nin, I think you are in love with him."
Jemari Nina langsung kaku mendengar ucapan Sisy. Perlahan-lahan kepala Nina berpaling, menatap Sisy yang malah mengangkat bahunya kalem. "Ekspresi lo saat ngomongin Mas Dewa berseri-seri banget. Plus, lo terus muji-muji dia."
"What do you mean?" Nina salah tingkah. "Gue cuma ngomongin fakta kok."
"Right. Tapi pancaran mata lo dan nada bicara lo saat ngomongin Mas Dewa udah beda."
"Oh, ya?"
Sisy mengangguk. "But, lo yang paling tahu perasaan lo sama Mas Dewa. Gue di sini bakal masih jadi supporter setia lo."
Nina terkekeh geli. "I can see that. And thanks, Sy. For everything."
"Makanya, pas nanti ketemu mantannya Mas Dewa, lo nggak boleh insecure. Apalagi menganggap dia yang lebih pantas sama Mas Dewa dibanding lo." Tukas Sisy berkobar-kobar. "Nggak boleh ya, Kanina!"
"Tapi mereka pacaran tiga tahun lho."
"Pacaran lama itu nggak menjamin, Nin," Sisy mengibaskan tangannya. "Zaman sekarang banyak yang pacaran lama ... eh, nikahnya malah sama siapa."
Nina manggut-manggut. Mengakui fenomena itu.
"Janji ya lo nggak boleh insecure sama mantannya Mas Dewa nanti?!" ucap Sisy sambil menyodorkan jari kelingkingnya.
Nina tergelak kecil. "Iya, iya," sambil mengaitkan kelingkingnya dengan Sisy membuat pinky promise.
***
Dewa menggenggam tangan Nina erat begitu mereka memasuki restoran di daerah Kuningan. Sebuah restoran yang tak asing karena tempat ini dulunya menjadi tempat ia dan Debby sering kunjungi. Dewa tidak bisa menebak apa yang tujuan Debby mengajak bertemu di tempat ini. Jika wanita itu berharap hal tersebut akan membangkitkan kenangan mereka dan mempengaruhi perasaannya, Debby jelas tak mengenalnya dengan baik.
Dewa bukan tipe orang yang akan terpengaruh hanya karena hal seperti ini. Tidak ketika gadis yang ia genggam tangannya adalah gadis yang telah mengisi seluruh ruang di hatinya.
"Mas, kamu kok nggak bilang ketemuannya di restoran fancy gini, sih?" bisik Nina. Merasa berada di tempat yang salah karena semua pelanggan restoran memakai pakaian bagus. Sementara Nina hanya mengenakan jeans dan kaos. "Kalau tahu, at least, aku bawa baju ganti tadi."
"You look perfect, Sayang," balas Dewa tenang. Dan tentu dengan senyum manis di wajahnya.
Nina cemberut. "Perfect apaan? Orang aku kucel gini."
"Di mataku kamu perfect." Dewa menyeringai.
"Terserah kamu, deh," decak Nina agak bete.
Dewa terkekeh gemas. "Jangan ngambek, dong. Nanti aku cium di sini, ya."
"Mas Dewa!" pelotot Nina karena jelas pelayan restoran yang mengantarkan mereka bisa mendengar.
Tak peduli, Dewa mengangkat bahunya. Kemudian berhenti ketika pelayan tersebut berhenti di sebuah ruangan dan mempersilahkannya masuk.
"Terima kasih, Mas," ucap Nina mengangguk pendek. Lantas menghela napas saat Dewa membuka pintu ruangan tersebut. Mengumpulkan seluruh kepercayaan dirinya karena ia tidak ingin tampak rendah diri dihadapan mantan Dewa. Walaupun mantan pria itu memang sempurna sekali. Bahkan ketika mereka bertemu lagi untuk kedua kalinya, mata Nina tetap mengerjap terpesona ketika melihat Debby yang berdiri dari tempatnya, dengan senyum cerah yang tersungging di bibirnya.
Wanita itu mengenakan midi dress berwarna putih. Membalut tubuh indahnya dengan cara yang akan membuat wanita manapun akan langsung berniat melakukan program diet. Rambut panjang bergerlombangnya membingkai wajah jelitanya. "Sadewa," sapanya dengan panggilan akrab. Sayangnya, senyum ceria itu perlahan-lahan surut begitu ia menyadari kehadiran Nina yang dirangkul Dewa mesra pinggangnya. "Oh, ada Nina juga, ya."
Nina tersenyum canggung, mengangguk singkat. Kemudian melirik Dewa yang tampak santai-santai saja. "Duduk di sini, Sayang," katanya sambil menarikkan kursi untuk sang kekasih.
"Makasih, Mas," Nina duduk di kursinya. Melihat Debby yang juga ikut duduk dengan ekspresi murung.
"Dewa nggak bilang kamu juga ikut," ucap Debby pada Nina. Nada suaranya agak kering.
"Kenapa gue harus ngasih tahu kalau mau ajak pacar gue sendiri?" Dewa mengangkat alisnya. "Make it fast, what do you want to talk to me about?"
"Eung ... nggak mau makan dulu?" Debby berkata sambil meraih buku menu. "Nina, di sini steak-nya—"
"Gue sama Nina mau dinner di tempat lain," sela Dewa dingin. "Make it fast, Deb. Jangan buang-buang waktu kami."
Nina melirik Dewa. Sedikit tak terbiasa melihat pria itu dalam mode datar dan dingin begini. Ia mengerti kekecewaan Dewa. Hanya saja, melihat Debby yang tampak terluka membuat Nina agak kasihan. Nina mengulurkan tangan ke bawah, menggenggam tangan Dewa yang membuatnya menoleh menatapnya. Seketika, ekspresi pria itu menghangat. Ketegangan di wajahnya pun berkurang. Nina tersenyum lembut. Mencoba mencairkan suasana hati Dewa.
Debby membasahi bibir gugup. Menyatukan tangan di atas meja. "I'm so sorry. Aku tahu kamu masih marah, dan perbuatanku bukan sesuatu yang mudah buat dimaafkan. Tapi aku beneran nyesal, Wa."
"Memang seharusnya begitu," Dewa menanggapi datar.
Sudah menebak tanggapan Dewa, Debby tersenyum getir. Kemudian menyeka ujung matanya yang basah. "Waktu itu semuanya serba mendadak. Aku tahu hubungan kita udah lama. Dan aku juga mau menikah sama kamu. Tapi karirku ... you know, I love my job. How I worked hard to get to where I am.Aku nggak tahu gimana mencerna semuanya. Pernikahan kita sebentar lagi, dan—" tangisan Debby pecah. Nina mengerjapkan mata terkejut saat wanita itu menutup wajahnya dengan telapak tangan. Bahunya bahkan sampai berguncang karena menangis.
"Mas," Nina menoleh, menatap Dewa yang tampak bersimpati—tetapi pria itu menggelengkan kepalanya. Tak ingin memberi penghiburan apapun pada Debby. Membiarkan wanita itu menangis sampai akhirnya tenang.
Debby membuang napas panjang. Mengangkat wajah sambil berusaha terlihat tegar di saat hatinya remuk. "I—" ucapnya tercekat. "I am so sorry. Tapi waktu itu aku belum siap menikah, Wa. Aku belum siap punya anak."
Nina menggenggam tangan Dewa lebih erat.
"Aku takut, Wa. Aku nggak tahu gimana caranya ngasih tahu kamu karena kamu selalu bilang pengen punya momongan. Aku nggak tahu gimana cara ngasih tahu keluargaku, keluarga kamu ... kalau aku belum bisa. Aku—I'm so sorry." Debby berhenti sejenak. Menunjuk kefrustasian. "Aku nggak bermaksud bikin Tante Kinan masuk rumah sakit. Aku nggak bermaksud nyakitin kamu ... nyakitin semua orang. Aku takut bikin kalian kecewa. Aku takut bikin kamu kecewa. Aku takut kamu ninggalin aku. I'm so sorry. Maafin aku, Sadewa."
Nina merasakan matanya berkabut. Merasa terluka atas perasaan Dewa. Ia menoleh, menatap Dewa yang terdiam. Jelas juga terkejut dengan alasan yang Debby ungkapan. Nina mengusap tangan Dewa, kemudian mendekat untuk berbisik. "Mau aku tunggu di luar?" tanya Nina.
Mereka berdua mungkin butuh privasi untuk membicarakan masalah tersebut.
"No," Dewa menggeleng. Menggenggam tangan Nina lebih erat. "Stay here," katanya.
"Okay," Nina mengangguk.
"I forgive you, Deb. You just can tell me actually. Kamu bisa bilang kamu belum siap— " ucap Dewa.
"Aku takut kehilangan kamu," Debby berbisik lirih.
"You've lost me," ucap Dewa, kemudian menarik napas dalam. "Semuanya udah jadi masa lalu. Dan nggak ada yang bisa diubah. Mama juga udah maafin lo. Life must go on. You have to keep moving forward with a better version of yourself."
Debby mengangguk kemudian menarik napas dalam-dalam. Ia tidak bisa mendongak karena jika matanya bertemu dengan sepasang mata Dewa—dadanya pasti terasa sesak. Sebab, pria itu tak memandangnya seperti dulu lagi. Pria itu tak lagi mencintainya seperti dia yang masih mencintainya.
"Yeah, I'm happy for you," ucapnya getir, menoleh pada Nina yang bersimpati padanya. "He's really a good guy, Nin. You're so lucky."
Nina hanya tersenyum kecil. Ia jelas tak mungkin menyombongkan hubungan dengan Dewa di depan wanita yang sedang patah hatinya. Perbuatan Debby memang tidak bisa dibenarkan. Tetapi dengan kondisi Nina yang juga pernah didera oleh kecemasan, Nina bisa membayangkan bagaimana perasaannya jika berada di posisi Debby. Hanya saja, Nina yakin ia pasti akan memberitahu Dewa. Sepahit apapun kenyataannya, ia harus memberitahu pria itu.
Nina menghela napas, menggenggam tangan Dewa lebih erat. Menunjukkan dukungannya dan eksistensi yang tetap ada di samping pria itu—dalam kondisi apapun itu.
Bersambung.
38 | open arms
"How do you feel?"
Dewa mengangkat wajahnya menatap Nina yang tampak sangat khawatir. Alih-alih pergi ke restoran lain yang sudah ia reservasi—Nina malah menyarankan agar mereka pulang saja. Gadis itu sepertinya memahami jika suasana hati Dewa sedikit down setelah mendengar pengakuan Debby. Ia tak pernah menyangka alasan Debby ingin mengakhiri pernikahan mereka karena hal tersebut. Dewa pikir mungkin karena ada pria lain. Atau Debby tak lagi ingin bersamanya. Tetapi ternyata ... Dewa menghela napas berat kemudian merebahkan kepalanya ke pangkuan Nina.
"I just feel bad," gumam Dewa. Memejamkan mata ketika merasakan jemari Nina menyisir rambutnya. Perasaan damai dan tenang perlahan-lahan menyusup ke dalam dadanya.
"Why?"
"She should have told me. I mean, dia kenal aku bertahun-tahun. Seharusnya tahu gimana reaksi aku."
"Memang gimana reaksi kamu?"
Dewa tak langsung menjawab. Malah pria itu mengambil tangan Nina di atas kepalanya. Lalu mengecup berulang kali. "Kaget, of course. Tapi semua hal bisa dicari jalan keluarnya. Bukan dengan tiba-tiba bilang nggak bisa menikah dan nggak datang di hari pernikahan tanpa penjelasan apapun."
"Will you still be with her?" tanya Nina entah mendapat keberanian darimana. Padahal pertanyaan tersebut cukup tricky.
Dewa tersenyum. Merubah posisinya menjadi terlentang sehingga pandangannya bertemu dengan sepasang mata lembut Nina yang menunduk. "Kanina, you can't ask me that."
"I'm just curious." Nina mengangkat bahunya kalem.
"She's my past. Aku nggak berandai-andai soal hubungan kami masih bisa diselamatkan kalau dia kasih tahu aku waktu itu. Aku berandai kalau dia ngasih tahu, mama nggak mungkin sampai masuk rumah sakit."
Nina mengangguk. "Fair enough."
"I want to marry you," aku Dewa. Mengamati ekspresi Nina lekat-lekat. "Itu yang paling penting. Pengakuan Debby hari ini bikin aku pengen lebih baik buat kamu. Pengen kamu bisa percaya sama aku sampai kamu nggak akan ragu buat ngasih tahu semua hal sama aku. Mau itu berita baik, maupun buruk."
"..."
"It's okay kalau kamu belum kepikiran ke sana soal hubungan kita," tambah Dewa. "I just want you to know, kalau aku serius dan berkomitmen sama kamu. I will wait for you because honestly, I don't want anyone else. But you."
Nina menghela napas berat. Kemudian meminta Dewa udah bangkit duduk. Lalu menggeser tubuhnya menghadap pria itu. "Aku juga berkomitmen dan serius sama kamu, Mas. Tapi, jujur aja, menikah masih jadi sesuatu yang bikin aku gelisah. And it's not about you. Bukan karena kamu kurang atau gimana. It's about me. Aku yang nggak percaya diri."
Dewa mengangguk mengerti. "I see," mengambil tangan Nina ketika melihat kegusaran di mata Nina. "You know what, kegagalan pernikahanku bikin aku sulit buat mencoba membangun hubungan baru. Aku takut salah pilih. Aku takut kalau wanita yang aku pilih bakal ninggalin aku gitu aja tanpa penjelasan. Aku takut mengecewakan mama."
Dewa menarik napas panjang, lalu melanjutkan.
"And then I realize, aku nggak bisa kayak gitu terus. Aku nggak bisa terus terfokus pada rasa takut. Akhirnya, mama nyaranin aku ke psikolog. Awalnya aku nggak mau, because I'm still in denial about my feelings. Sampai aku capek sendiri sama perasaanku, dan akhirnya bikin appointment sama psikolog. And ... you can see, here I am. Sama sekali nggak ragu membangun hubungan sama kamu. Sama sekali nggak ragu mencintai kamu."
Nina membasahi bibir ketika merasa matanya memanas. Ia mengalihkan pandangan dari Dewa.
"Sweety," Dewa meraih wajah Nina. Menyapu pipi kekasihnya yang basah. "Take your time. I'm not saying this to make you cry. I'm saying this because I want you to know that you're worth waiting for and fighting for. And I hope you can see the way I see you. You're special to me, Kanina. You're my everything."
Mata Nina mengamati wajah tampan Dewa yang menaunginya dengan tatapan meneduhkan. Sepanjang hubungan mereka, Dewa selalu ada untuknya. Pria itu terus membuktikan diri hingga perasaannya yang sempat padam kembali menyala. Namun bukan rupa Dewa yang membuat Nina luluh, bukan pula latar belakang keluarga serta apa yang dia miliki. Melainkan perasaan tulus pria itu yang memberinya banyak perubahan positif dalam hidupnya. Bagaimana Dewa selalu menghargai keinginannya, dan percaya pada keputusan yang ia ambil.
Dengan senyum yang perlahan-lahan menghiasi wajah manisnya, Nina bergerak mendekat dan mengecup bibir Dewa lembut. Matanya terpejam ketika Dewa membuka mulut, kemudian balas melumat bibirnya dengan ritme yang menghanyutkan. Tangan pria itu di pipinya perlahan-lahan turun. Menyapu lekuk lehernya dengan sentuhan mendebarkan.
Meskipun begitu Nina dapat merasakan bagaimana tubuhnya yang mulai rileks. Kekhawatiran dan semua pikiran yang tak penting di dalam kepalanya sirna. Dadanya mengembang oleh perasaan penuh yang tidak bisa dideskripsikan.
Dewa mendekap pinggangnya. Membawanya lebih dekat ke tubuh pria itu yang lebih hangat. Menyebar getaran yang membuatnya memanas. Dengan sendirinya, tangan Nina bergerak ke pinggang Dewa. Menelusuri otot-otot di tubuh pria itu—bersama dengan pembuluh darahnya yang berdenyut karena adrenalin saat Dewa menyelipkan lidah ke dalam mulutnya.
Waktu terasa berhenti. Nina hanya bisa memikirkan Dewa. Dengan rasa kepemilikan dan penerimaan yang begitu kuat.
Nina terengah-engah ketika ciuman itu berakhir, dengan Dewa yang menarik wajahnya. Jantung Nina masih berdetak kencang ketika ia membuka mata—lalu bertemu dengan sepasang mata hitam Dewa yang menatapnya menggoda. "Kayaknya makanan kita udah sampai," ucap pria itu seraya mengerlingkan mata pada ponselnya berdering di sofa.
"Oh," Nina mengerjap salah tingkah. Mengusap bibir bawahnya yang membengkak dan terasa kebas. "Biar aku ambil ke bawa."
"No, aku aja," Dewa menahan tangan Nina ketika gadis itu bangkit berdiri. "Wait here. I'll be right back."
Nina mengangguk. "Kalau gitu aku siapin minumannya," balasnya berusaha tampak santai meskipun rasa malu menyelubungi wajahnya yang sudah meram padam.
***
"Aku rasa konsepnya udah mantep. All good." Samudera mengangguk puas sembari mengangkat wajahnya untuk mendapati Nina tampak melamun. Pria itu tersenyum kecil, kemudian memanggil dengan suara lembut. "Kanina,"
"Eh, sorry, Mas," Nina mengerjapkan mata. Meringis kecil sambil menunjukkan penyeselan pada atasannya tersebut. "Masih ada yang perlu direvisi, ya?"
"No," Samudera menggeleng. "All good, kok."
Nina manggut-manggut. "Okay,"
"Nin, you know, you can tell me anything, right?" ucap Samudera. "Kamu selama ini selalu mau dengerin curhatan aku mulai dari aku belum jadian sama Raline sampai akhirnya kami nikah. Kamu juga bisa ngelakuin hal yang sama. I'm all ears."
"Everything is fine, Mas. Cuma ..." Nina menghela napas. "Aku ngerasa kurang aja buat Mas Dewa."
"Kurang gimana?"
"He's super sweet, super perhatian, super baik. Dan karena keadaanku, aku nggak bisa ngasih dia yang terbaik juga."
"Kenapa nggak bisa?"
"Karena aku pengecut. Aku pikir aku udah berani. Tapi masih ada sisi pengecut dalam diri aku yang bikin aku ngerasa nggak maksimal buat hubungan kami."
Samudera mengangguk pelan. "Kamu yang paling tahu gimana pengecutnya aku sama Raline. Tiga tahu aku mendem perasaanku karena aku terlalu takut. Tapi kamu selalu bilang kalau aku terus takut, aku nggak akan bergerak. Raline akan terus menganggap aku hanya sekedar adik temannya sampai akhirnya orang lain yang lebih berani deketin Raline. Dan aku tetap bakal diam di tempat. And I want to say the same thing to you now. Be brave, Kanina. If you don't take risks, nothing will change."
Nina terdiam beberapa saat. Kemudian menghela napas panjang. "You're right, Mas."
Samudera tersenyum lembut. "No, YOU are right. Karena kata-kata kamu, here I am. So, don't be afraid. Besides, banyak banget yang sayang sama kamu, yang akan selalu ada buat kamu."
Nina mengangguk, membalas senyum Samudera dengan tulus.
Setelah keluar dari ruang Samudera, Nina mengeluarkan ponselnya. Mengetikkan pesan untuk sang adik.
Kian
dek,
kamu punya kenalan psikolog nggak?
I think I need to see a psychologist.
***
"Wa, I need to talk with you,"
Dewa yang baru keluar dari ruang meeting mengerutkan kening ketika Peter menghampirinya.
"About what?" tanya Dewa dengan salah satu tangan yang terbenam di saku celana.
"Di ruangan lo," ucap Peter yang tampak tegang.
Dewa menghela napas. Mengambil langkah ke ruangannya dengan Peter yang mengikuti di belakang. Begitu pintu tertutup, Dewa membalikan badan. Bersandar di meja keras sambil melipat tangannya. "What?"
"Lo ngasih surat resign ke bokap gue."
"Right," Dewa membenarkan.
"Why?" Peter mengernyitkan kening tak mengerti. "Gue udah nggak ikut campur hubungan lo?!"
"Pet, grown up. Lo nggak bisa terus mengandalkan gue." Ucap Dewa. "Gue juga nggak bakal selama-lamanya di sini. Gue udah mutusin buat gabung ke perusahaan bokap gue."
"But ... " Peter menyugar rambutnya gusar. "You know, bokap gue bukan tipe orang yang gampang puas. Dia nggak pernah puas sama kerja gue."
"Then you need to work harder," Dewa mengangkat bahunya. "Lo nggak bisa terus bergantung sama orang lain, Pet."
"Man, come on,"
Dewa menggelengkan kepala sembari membereskan barang-barangnya. "Gue masih ada meeting di luar," ucap Dewa. "Bokap lo udah setuju. Gue out seminggu lagi."
Peter mendesah lantas keluar dari ruangan Dewa dengan ekspresi keruh di wajahnya.
***
"Hi, Sayang," Dewa mengecup pipi Nina dari belakang. Mengusap bahu kekasihnya sebelum ia menarik kursi di sebelah gadis itu. "Udah pesan?"
Nina mengangguk sambil tersenyum geli melihat keringat yang membasahi pelipis pria itu. Tangannya terulur, menyisir rambut Dewa yang berantakan. Mereka janjian di restoran chinese favorit-nya untuk makan malam setelah pulang kantor. Tetapi karena Dewa sedang ada meeting di luar, Nina menyarankan mereka bertemu di tempat saja, dan ia pun tiba lebih dulu. "Kamu juga udah aku pesenin. Cashew chicken, beef broccoli, kung pao shrimp, right?"
"Right," Dewa tersenyum lebar karena Nina tahu menu favoritnya. Ia lantas mendekat, kembali mencium pipi gadis itu. "How can I live without you, hm?"
"Nggak usah lebay!" Nina mendengus sambil mendorong lengan Dewa.
Dewa terkekeh kecil. Meletakan ponselnya di meja.
"Macet nggak tadi di jalan?" tanya Nina.
"Lumayan," Dewa mengangguk seraya melingkarkan lengannya di sekeliling bahu Nina. "Sorry. Lama ya nunggu aku?"
"Nggak terlalu, kok." Nina menggeleng lantas menyandarkan kepala di bahu Dewa. Seharian berjibaku dengan pekerjaan yang selalu membuat pusing—Nina benar-benar membutuhkan mengisi energi dari pelukan Dewa yang hangat.
Menghabiskan waktu bersama Dewa seperti suntikan vitamin yang membuat Nina lebih semangat. "Aku sambil baca juga tadi."
"Cieee yang udah punya kindle," Dewa meledek Nina yang baru membeli kindle seminggu yang lalu.
Nina tersenyum-senyum. "Ternyata punya kindle bikin lebih praktis ya, Mas. Aku nggak perlu bawa buku kemana-mana. Terus bisa hemat juga. Beli kalau bukunya yang emang aku mau."
"It's nice to see you happy, Sayang," ucap Dewa sambil mengecup sekilas puncak kepala Nina.
Senyum Nina merekah lebih sambil mendongakkan wajahnya. Bertepatan dengan itu, makanan mereka pun tiba dan disusun dengan rapi di atas meja hingga penuh. Nina mengangkat kepalanya dari bahu Dewa, menatap hidangan makanan yang cukup banyak untuk dinikmati dua orang. Dewa memang tipe makan banyak. Satu porsi tak akan pernah cukup untuk pria itu. Tidak heran dia tumbuh setinggi dan sebesar. Nina pun mengerti kenapa Dewa tak pernah melewatkan olahraga. Bukan hanya demi kesehatan, tapi juga tetap menjaga tubuhnya di tengah hobi makannya.
Mereka menyantap makanan dengan lahap. Terutama Dewa yang langsung memasang ekspresi berseri-seri sambil menarik tangan kemejanya sampai siku. Pria itu meraih sumpit, dan mulai mencomot setiap hidangan hingga mulutnya tak berhenti mengunyah.
Nina terkekeh geli. Mengusap pipi pria itu gemas. "Kamu laper banget ya, Mas?" komentarnya.
Dewa mengangguk. Menelan makananya sebelum menyahut. "Aku lunch roti doang tadi siang. Hari ini meeting full, Sayang."
"Ya, tapi pelan-pelan, Mas." Nina berkata lembut seraya menyodorkan teh krisan miliknya. "Minum dulu biar nggak keselek."
Dewa mengangguk. Mengambil gelas teh dan menenggaknya perlahan-lahan. "Thank you, Sayang."
Nina tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala kecil. Melanjutkan menyantap kung pao chicken-nya sambil Sesekali mereka saling menyuapkan makanan untuk mencicipi punya satu sama lain. Memberi komentar kecil dan obrolan tentang mencoba memasaknya sendiri bersama ketika mereka memiliki waktu luang. Well, mengingat sekarang weekend pun mereka tetap sulit bertemu, sepertinya ide tersebut akan terealisasikan cukup lama.
Begitu selesai menghabiskan semua makanan di meja—dimana sebenarnya lebih banyak Dewa yang makan. Bahkan punya Nina pun, pria itu yang menghabiskan—keduanya pun bersandar di sofa dengan lengan Dewa yang kembali merangkul bahu Nina. Pandangan mereka terarah pada ponsel Nina yang memutar video di media sosial.
"Ini kreatif, sih. Soft selling-nya masuk dan bikin orang betah buat nonton sampai habis," komentar Dewa.
"Yeah, tapi video dia memang selalu fyp, sih. Emang jago dia branding dirinya." Nina mematikan layar ponselnya kemudian memeluk pinggang Dewa, menyandarkan kepalanya di dada pria itu.
Sejak kejadian di Bali—dimana ia memberanikan PDA, Nina kini terbiasa melakukannya meskipun tanpa tujuan untuk membuat seseorang cemburu padanya. "Habis makan pasti jadi ngantuk gini, deh."
Dewa tertawa kecil. "Yaudah, tidur aja. Nanti aku gendong ke mobil."
"Habis makan terus tidur nggak sehat, Mas Dewa." Nina bergumam dengan mata terpejam. "Lagian, malu kali digendong kamu sampai mobil."
"Meluk aku gini nggak malu, ya?" goda Dewa.
"Yaudah, nggak usah dipeluk, deh," ucap Nina melonggarkan tangannya.
Tetapi Dewa buru mendekap tubuhnya. "Jangan, dong," cegahnya. Membiarkan Nina bersandar padanya dengan nyaman. Meskipun sebenarnya Dewa ingin mengatakan pada Nina soal keputusannya yang resign dari kantor dan bergabung dengan perusahaan keluarga.
Dewa tak mungkin menunda memberitahu Nina lebih lama. Ia juga tidak mau Nina mengetahuinya dari orang lain.
"Mas," panggil Nina setelah beberapa menit kemudian.
"Kenapa, Sayang?" Dewa yang memainkan jemarinya di rambut Nina menunduk.
"I want to go see a psychologist," ucap Nina. "Kian udah bantu nyariin."
Dewa terdiam selama beberapa saat, sebelum bibirnya bergerak mengecup kening gadis itu. "It's a good thing. Mau aku temenin?"
Nina menggeleng. "Masih di rumah sakit tempat Kian koas, kok. I'll be fine."
Dewa mengangguk. Menghargai keinginan Nina. "Okay. Just tell me if you need something, ya?"
"Alright," Nina tersenyum. Mengeratkan pelukkan di pinggang Dewa dengan perasaan lega.
"Actually, Sayang," Dewa pun buka suara. "Ada sesuatu yang mau aku sampein ke kamu."
Kening Nina mengerut karena nada suara Dewa yang serius. Ia menarik tubuhnya dan menatap Dewa penasaran. "Apa?"
"Aku udah resign," beritahu Dewa.
Mata Nina membelalak terkejut. Mulut terbuka, bertanya pelan. "Kenapa?"
"I think, udah waktunya buat aku bantu papa," jawabnya. "Besides, aku rasa aku udah nggak bisa kerja bareng Peter setelah apa yang dia lakuin di Bali."
Nina merapatkan bibir, kemudian menganggukkan kepalanya. "Apapun keputusan kamu, I will always support you, Mas. Lagipula, kamu yang paling tahu apa yang terbaik buat kamu."
Dewa tersenyum. Mengecup punggung tangan Nina. "Bagian terberatnya sebenarnya karena kita udah nggak satu tower lagi," ucapnya kecewa. "Meskipun sebentar, aku senang bisa ketemu kamu di kantor."
"Apartemen kita kan nggak terlalu jauh," sahut Nina. "Aku bisa mampir ke tempat kamu, begitupun sebaliknya."
"Nginep juga boleh?" tanya Dewa dengan senyum separo yang menghiasi wajahnya.
Nina mendengus. "Maunya,"
"Boleh nggak, Sayang?" meskipun dengan nada bercanda, Dewa sebenarnya sangat mengharapkan Nina mengizinkannya menginap. Atau gadis itu bisa menginap di tempatnya.
"Aku pikir-pikir dulu, deh." balas Nina tak pasti. Sengaja ingin balas menggoda Dewa.
Dewa tak menyembunyikan kekecewaannya. "Memang nanti nggak kangen sama aku? Kita udah nggak satu tower, lho. Biasanya masih bisa ketemu walaupun sebentar di TheWall. Tapi kalau udah nggak se-tower ..."
Nina terkekeh geli melihat ekspresi Dewa yang dibuat sedih. "Yaudah, tapi kalau nginep tempatku nggak boleh satu kamar, ya. Aku udah bilang Kian suma dadakan kalau datang ke tempatku."
"Berarti kamu sering-sering nginep di tempatku aja!" Dewa menyeringai senang.
"Itu sih memang maunya kamu." Nina geleng-geleng kepala.
Dewa tersenyum. Kemudian memeluk Nina lebih erat sambil mencium kepala gadis itu penuh sayang. "Maunya aku sih kita beneran tinggal bareng," bisiknya. "And there's only one way to make it happen," tambah Dewa dengan senyum penuh arti yang melekat di bibirnya.
Bersambung.
39 | all mine
"Aku masih nungguin Sisy kelar meeting. Daripada duduk-duduk, doang. Yaudah lanjut kerja, deh." Nina berkata lewat panggilan video. Ia menopang dagu, menatap Dewa yang saat ini tengah berada di Singapura.
Dewa menjadi jauh lebih sibuk sejak bergabung dengan perusahaan keluarganya. Pria itu jarang sekali di Jakarta dan lebih sering berada di Singapura. Nina cukup bisa mengerti hal tersebut—mengingat tanggung jawab Dewa lebih besar sekarang. Ia pun juga mengisi waktu luangnya dengan hal-hal bermanfaat agar tak terlalu merindukan Dewa. Dan setiap Sabtu, Nina ada konseling dengan Psikolog di rumah sakit tempat Kian koas. Sehingga ia pun juga lebih banyak menghabiskan waktu dengan sang adik belakangan ini.
"Jam istirahat kok dipakek kerja, Sayang? Gimana sih bos kamu? Biar aku marahin nanti dia," ucap Dewa dengan nada galak yang dibuat-buat.
Nina terkekeh kecil. "Bilang aja kamu kamu kangen sama Mas Sam, kan? Nggak ada waktu buat futsal bareng lagi."
"Ngapain kangen sama Samudera? I'd rather miss my girlfriend," sahut Dewa dengan senyum tengil yang menghiasi wajahnya.
Suara batuk Nalendra yang disengaja di belakangnya membuat Nina memejamkan mata jengkel. Karena lupa membawa airpods, Nalendra yang juga masih di kubikelnya dapat dengan bebas mendengarkan pembicaraannya. Dan bukan Nalendra jika tak memanfaatkan hal tersebut untuk meledeknya.
Nina memutar kursi kerja. Lantas memukul punggung pria itu dengan notebook-nya. "Nggak usah rese!" tukasnya galak.
"TEH, MASA GUE BATUK DOANG JUGA NGGAK BOLEH?!" protes Nalendra heboh. Lalu lehernya memanjang, melirik ponsel Nina yang disandarkan di corkcicle—menampilkan wajah Dewa yang tertawa geli. "Mas, pacar lo galak banget dah!"
"Sama cowok lain emang galak. Tapi kalau sama gue sukanya sayang-sayangan," Dewa membalas dengan tengil. "Iya nggak, Sayang?"
"Nggak usah ikut-ikutan," Nina memutar tubuhnya seraya meraih ponselnya. "Aku mau nyusulin Sisy dulu ya, Mas."
Dewa mengangguk. "Okay. I'll call you again later ya, Sayang!"
"Sure thing. Nanti aku kabarin kalau mau pulang ya, Mas."
"Very good," Dewa tersenyum melambaikan tangan pada Nina yang memberinya senyum manis sebelum akhirnya panggilan video call itu pun berakhir.
"Makin mesra aja sama bapak arsitek, Teh," ucap Nalendra sambil cengar-cengir.
"Mau nitip sesuatu nggak?" tanya Nina mengabaikan godaan Nalendra. Jika ditanggapi pria itu hanya akan semakin menjadi.
"Ice Americano aja deh, Teh. Gue butuh kafein banget," ucap Nalendra dengan ekspresi wajah yang dibuat menderita. "Sama boleh kali traktir gue sandwich."
Nina berdecak sambil bangkit dari kursinya. "Udah nebak sih gue!"
Nalendra cengengesan. "Thank you, Teh. Lo yang paling cantik se-tower ini!"
Nina melotot karena ucapan 'paling cantik se-tower' adalah sebuah ledekan karena Dewa yang pernah mengatakannya—membuat Nalendra sering mengulang-ngulang kalimat itu untuk membuatnya kesal.
"Nggak usah rese lagi, ya! Nggak jadi gue traktir, nih!" ancam Nina.
"Ampun, Teh!"
***
"Peter kacau banget setelah lo resign," Angga terkekeh kecil sambil mengambil kopi yang ia pesan, kemudian bersama-sama mengayunkan kakinya dengan Dewa ke salah satu meja kosong. "So, gimana rasanya kerja di perusahaan keluarga sendiri? Masih kurang menantang?" tanya Angga sambil mengangkat sudut bibirnya meledek.
Angga yang tiba di Singapura siang tadi segera menghubungi Dewa dan mengajaknya bertemu. Mereka lantas janjian di Equate coffe setelah Dewa selesai meeting.
Dewa berdecak. Ia bukannya meremehkan perusahaan keluarganya sendiri. Dewa hanya ingin mencari banyak pengalaman di luar sebelum mengambil tanggung jawabnya sebagai putra satu-satunya Rudy Hirawan. "It's not about challenging or not challenging, ya know. I think you know how it feels to be someone who has responsibilities that can't be avoided. Gue cuma mau melakukan apa yang gue suka selagi masih punya kesempatan."
"Yeah, I know what you mean, bro," sebagai anak pertama Angga juga memiliki tanggung jawab yang sama seperti Dewa. Hanya saja, tidak seperti Dewa yang ingin mengeksplor diri di luar, Angga langsung terjun ke perusahaan keluarganya. "Tapi Pak Rudy emang best sih. Dia biarin lo mengeksplor diri sampai selesai dan akhirnya gabung atas keinginan sendiri."
Dewa tersenyum. Mengangguk menyetujui bahwa ayahnya memang ayah yang luar bisa.
"Terus jadi makin jarang dong ketemu Nina?" komentar Angga. "Apalagi udah nggak satu kantor."
"Mau nggak mau," Dewa mendesah berat. "Ini aja gue udah seminggu nggak ketemu Nina."
Angga terkekeh ketika melihat wajah nelangsa Dewa. "Nggak usah sok galau gitu. Jijik banget ngeliatnya!"
"Kayak lo nggak bertingkah menjijikan aja kalau lagi kangen Emila!" balas Dewa.
"Sekarang kami kalau kangen langsung samperin," Angga berkata sambil mengeluarkan ponsel. Kemudian menunjukkan isi chat terakhirnya dengan sang pacar—dimana Emila berkata sudah memesan tiket pesawat sore ini ke Singapura. "Habis ketemu lo, gue mau jemput Emila di bandara."
"Shit," Dewa mengumpat pelan karena seringai jumawa Angga yang menyebalkan.
Angga tertawa puas. Meletakan ponsel di meja. "Pesenin tiket ke SG lah," ucapnya enteng. "Mumpung besok weekend."
"Seandainya emang bisa gitu tanpa lo suruh udah gue lakuin. Tapi Nina nggak akan mau. Besides, dia juga punya kesibukan yang nggak bisa ditinggal." Balas Dewa dengan dengusan. "Kerjaan Nina nggak sefleksibel Emila, anyway."
"Santai dong, Pak," Angga menyeringai. "Bukan soal gue dong kalian sama-sama sibuk?"
"Nggak ada juga yang nyalahin lo, monyet!" Dewa menyeruput espresso-nya. Lantas mengedarkan pandangan ke sekitar kafe yang cukup ramai—terlebih equate cafe memang menyatu dengan mall. Dewa sengaja mengusulkan equate cafe karena ia ingin membeli beberapa buku untuk Nina.
"So, gue dengar lo udah kenalin Nina ke bokap nyokap lo, nih." Angga menaik-turunkan alisnya.
"Gila, ya. Cepat banget informasi sampai ke kuping lo!"
"Gimana nggak cepat kalau nyokap lo udah cerita ke nyokap gue." Angga tertawa. "Nyokap gue sampai bilang kayaknya gue bakal dibalap sama lo. Nyokap lo udah cocok banget sama Nina. Tinggal nunggu lo ngelamar doang!"
Dewa menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum. Memang sejak ia membawa Nina ke rumah, sang ibu terus menanyakan kapan dia akan melamar Nina.
"Kalau sudah cocok, apalagi yang ditunggu, Mas? Nggak baik menunda-nunda lho," tutur Kinanti Ayu.
"Melamar juga butuh persiapan," Dewa menyahut kalem.
"Atau lo yang nggak pede lamaran lo bakal diterima sama Nina?" ledek Angga.
Dewa berdecak. Meskipun ia ingin menyangkal, tetap salah satu pertimbangannya memang karena Dewa belum yakin Nina akan menjawab iya ketika ia melamar.
"Shut up!" tukas Dewa cemberut.
Sementara Angga tertawa bahagia.
***
Sudah enam jam sejak Nina mengirimkan pesan pada Dewa. Belakangan Dewa memang tidak selalu bisa fast response—tetapi pria itu pasti segera membalas begitu melihat pesannya. Dan itu tidak pernah selama ini. Nina bahkan sudah selesai membereskan apartemennya dan makan malam. Mengalihkan pikirannya yang mulai overthinking dengan menonton series terbaru di netflix.
Sayangnya, ia tidak bisa berhenti melirik ponselnya. Berharap benda itu berdenting dengan nama Dewa lah yang tertulis di layar.
Nina membuang napas berat. Bangkit bangun dari sofabed kemudian meraih ponselnya di atas meja. Memutuskan untuk menelpon Dewa karena hatinya akan terus gelisah sampai ia tidak bisa tidur.
Nina melipat kakinya. Sambil menunggu panggilannya diangkat, Nina menggigit kukunya gugup.
"Halo, Sayang,"
"Mas!" Nina spontan berseru. Bingung bercampur lega. Jika Dewa bisa menjawab teleponnya, kenapa pria itu tidak sempat memberi balasan pesannya?
"Iya, Sayang?" Dewa terkekeh. "Kenapa?"
"Kenapa?!" Nina membelalakan mata tak percaya. Ia sama sekali tak berniat bersikap kekanakan dan penuh emosi. Tetapi mendengar suara Dewa yang santai sedikit memancing kemarahannya. "Kamu nggak ada kabar lho, Mas. Aku khawatir tau."
"Nyariin, ya?"
"Mas Dewa," Nina mengepalkan tangan gemas. Sungguh, di saat seperti ini—godaan Dewa terdengar sangat menyebalkan. "Aku lagi nggak bercanda, ya."
Nina mengerutkan kening saat ia tak mendapat sahutan apapun. Nina melihat ponselnya dan mendapati panggilan mereka masih tersambung. "Mas Dewa?" panggilnya. "Are you there? Can you hear me?"
Suara smart lock pintu mengalihkan perhatian Nina. Kerutan kening gadis itu sontak semakin dalam. Sepertinya adiknya tidak bilang ingin menginap di apartemennya malam ini. Nina turun dari sofabed, mengecek pintu depan dengan ponsel yang masih menempel di telinganya. Berusaha bicara pada Dewa yang masih tak mengeluarkan suara apapun. "Mas, kamu dengar aku nggak—"
Alih-alih menyelesaikan kalimatnya, Nina malah membeku di tempat dengan lidah yang terasa kelu. Pasalnya, pria yang membuatnya gelisah dan kesal kini berdiri di hadapannya dengan senyum indah yang terlukis di wajah tampannya—and that dimples ... gosh, Nina sangat merindukan lesung pipi itu hingga mengembang oleh perasaan bahagia.
"Mas Dewa," bisiknya begitu berhasil mengeluarkan suara.
Dewa tersenyum, lantas menurunkan ponselnya dan membentangkan tangan terbuka. "Nggak mau peluk, nih?"
Nina mendengus. Meskipun begitu bibirnya mengulum senyum bahagia dengan kaki yang berayun cepat menuju Dewa. Melemparkan tubuhnya ke dalam pelukkan pria itu. Nina melingkarkan tangan di pinggang Dewa, menghirup aroma tubuh Dewa yang tercium harum dengan wangi yang begitu khas—percampuran antara sandalwood dan sensasi spicy nan melenakan.
Aroma yang selalu membuat Nina merasa tenang dan nyaman.
Dewa mendekap tubuh mungil Nina lebih erat. Mendaratkan ciuman lembut di pelipis gadis itu berulang kali.
"Kamu bilang baru pulang lusa?" tanya Nina sambil mendongakan wajahnya.
"Surprise!" Dewa nyengir. "Harusnya memang lusa. Tapi aku udah keburu kangen. Terus, thankfully, kerjaanku di sana bisa ditinggal. So, sore tadi aku langsung pesan tiket pulang. Dan tiba-tiba ngide buat kasih kejutan buat kamu waktu aku lihat chat kamu. Makanya, aku sengaja nggak balas chat kamu."
"Aku khawatir tahu, Mas." Nina mencebikkan bibirnya. "Kamu kan nggak pernah nggak ngasih kabar gitu. Biasanya kalau siang kamu nggak balas chat-ku, pasti sorenya dibalas. Nggak apa-apa kalau kamu memang sibuk, tapi kabarin aku dulu biar aku tahu kamu baik-baik aja."
Dewa tersenyum lembut. Kepedulian Nina padanya membuat Dewa merasa begitu hangat. "I'm home now," bisik Dewa sembari mengusap pipi Nina dengan jempolnya.
Nina menghela napas, kemudian berkata tak kalah lembutnya. "Glad you're home, Mas," ucapnya. Lantas kembali menyandarkan kepalanya di dada bidang pria itu.
Dewa terkekeh kecil. Mengusap punggung Nina sambil mencium puncak kepala kekasihnya. Mereka terus berpelukan lama dan panjang. Sama sekali tak berniat melepaskan diri sehingga Dewa pun mempertahankan dekapannya sambil membawa tubuh mereka mendekati sofabed.
Nina tergelak karena ia terpaksa jalan mundur. Meskipun Nina percaya Dewa akan menjaga keseimbangannya, tetap saja, yang mereka lakukan terlihat konyol hingga Nina tak berhenti tertawa.
Ketika Dewa mendaratkan bokongnya di sofa, lalu menarik tubuhnya hingga terduduk di pangkuan pria itu dengan mudah. Nina memekik kaget, melotot pada sang kekasih. "Mas Dewa, mentang-mentang badanku kecil, ya!"
Dewa terkekeh lagi. "Ternyata punya pacar mungil enak banget, ya. Gampang mau dibawa kemana-mana."
"Itu pujian atau hinaan, sih?" Nina cemberut.
"Pujian, Sayang," Dewa memeluk pinggang Nina. "Mana mungkin hinaan?"
Nina mengangkat bahu seraya memeluk leher pria itu. "Habisnya pernyataan kamu agak ambigu tau," katanya lalu memperhatikan wajah Dewa yang akhirnya baru ia sadari tampak kuyu. Mata pria itu berkantong, dan garis-garis kelelahan sangat jelas di wajah tampannya. "Udah makan?" tanya Nina sambil menyapu rahang Dewa yang terasa agak kasar.
Dewa mengangguk. "Udah di bandara. Kamu?"
"Aku juga udah," Nina menjawab.
Wajah Dewa bergerak lebih dekat. Bibirnya menorehkan senyum manis yang membuat perut Nina geli. "Kangen, Sayang."
"Iya. Tau, kok," balas Nina sok jual mahal.
Dewa cemberut. "Kamu nggak kangen aku?"
"Mmm ..." Nina berpura-pura berpikir keras. "Gimana, ya?"
"Gimana, ya?" Dewa mengulang dengan ekspresi tak percaya.
Tak berbakat menggoda, Nina terkekeh lalu menarik wajah Dewa dan mengecup bibir pria itu lembut. "Iya, aku juga kangen, Mas Dewa."
"Cium lagi dong kalau kangen," ucap Dewa dengan senyum lebar.
Nina mendengus dengan bibir berkedut menahan senyum. Meskipun begitu, ia menangkup wajah Dewa kemudian menciumnya dengan mulut sedikit terbuka.
Masih dengan senyuman di wajahnya, Dewa membalas ciuman Nina. Matanya terpejam. Sementara salah satu tangannya bergerak ke tengkuk gadis itu ketika ia memperdalam ciumannya. Melumat bibir manis kekasihnya yang begitu ia rindukan. Lidahnya melesak masuk begitu mendapat kesempatan. Menginvasi rongga mulut Nina dengan penuh kerinduan.
Dewa tahu seharusnya ia menjaga ritme ciumannya agar tidak kebablasan. Tetapi ia begitu merindukan Nina sehingga butuh untuk merasakan gadis itu.
Tangan Dewa membelit tubuh Nina semakin erat. Sementara bibirnya bergerak kian dalam hingga darahnya mengalir dengan panas.
Gosh, she is so soft like a marshmallow. Dewa jelas akan kesulitan menghentikan dirinya karena otaknya selalu tak berfungsi jika sudah berhadapan dengan Nina.
Bersambung.
40 | two becomes one
Meskipun sudah banyak orang yang mulai aware dengan mental health—tetap saja, hanya beberapa yang berani untuk datang ke psikolog atau psikiater. Stigma sosial masih belum begitu bagus pada orang-orang yang mengalami mental issue. Lebih daripada itu, kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan mental belum benar-benar tersampaikan pada semua orang.
Sebagai anak pertama, Nina punya naluri untuk menjadi lebih kuat. Sebab itu, ia tumbuh menjadi orang yang tertutup dan lebih suka menyimpan masalahnya sendiri. Rasa malu akan issue keluarganya juga membuat Nina tidak pernah berpikir untuk datang ke psikolog. Meskipun harus ia akui, kejadian tersebut menghambatnya dalam banyak hal.
Bayangan pengalaman buruk itu pun kerap muncul setiap kali sesuatu memicunya. Nina pun sulit mempercayai orang lain karena orang yang paling ia percayai saja bisa mengkhianatinya. Bahkan Nina pernah merasa sangat rendah diri hingga tidak ingin menjalin hubungan sosial dengan siapa pun.
Tetapi hidup terus berjalan. Kesadaran ia tidak bisa terus terpuruk membuat Nina bekerja lebih keras agar bisa mandiri hingga ia tak perlu meminta bantuan siapapun—meskipun kedua orang tuanya masih cukup mampu membiayainya.
Ayahnya memang tidak melepaskan tanggung jawabnya begitu saja. Hanya saja, sejak ayahnya lebih memilih meninggalkannya, Nina tidak ingin menerima apapun dari sang ayah. Ia langsung memutus kontak dan menganggap pria itu sudah tidak ada. Ia bekerja sangat keras karena menyadari pada akhirnya ia akan hidup sendiri. Dan semua orang akan meninggalkannya.
Bertahun-tahun Nina hidup dalam rasa sakit hati itu tanpa pernah mendapatkan pengobatan— ia pikir waktu yang akan menyembuhkannya. Perlahan-lahan semuanya memudar dan ia bisa memulai lembaran baru.
Sayangnya, waktu tidak pernah menyembuhkan luka. Mungkin luka itu terlupakan, tetapi ia tak sembuh.
Nina tidak bisa mengatakan jika tiga minggu ia rutin melakukan konsultasi dengan psikolog membuatnya sembuh. Tetapi ada perasaan lega sehingga ia merasa lebih ringan. Bu Heni adalah pendengar yang baik. Beliau pun tak membuatnya merasa seperti dihakimi ketika ia mengungkapkan kekecewaannya. Sejauh ini, Nina tak lagi merasa khawatir bila waktunya untuk berkonsultasi tiba.
"Hari ini kamu kelihatan lebih happy, lho," Bu Heni tersenyum hangat begitu sesi konsultasi mereka selesai. "Ada apa, nih?"
Nina mengulum bibir malu-malu. "Nggak ada apa-apa sih, Bu. Cuma hari ini semangat aja mau lunchbareng Mas Dewa sama Kian."
"I see," Bu Heni menyunggingkan senyum mengerti. "Have fun, ya."
"Makasih, Bu." Nina berjabat tangan dengan Bu Laras sebelum akhirnya keluar dari ruangan yang memiliki desain cozy tersebut.
Senyum sumringah merekah di bibirnya ketika melihat Dewa masih menunggu di ruang tunggu sambil membaca buku. Visual pria itu membuat Nina memutuskan untuk tidak langsung menghampiri Dewa. Ia malah berdiri sambil memperhatikan Dewa yang tampak begitu tampan dan tenang. Nina merasa seperti berada di adegan film romantis picisan. Dimana sang pemeran tengah diam-diam menatap laki-laki pujaannya.
Menggelengkan kepalanya, Nina pun melangkahkan kakinya mendekati Dewa yang menyadari kehadirannya. Pria itu mendongak, kemudian tersenyum sambil menutup bukunya.
"Hi," Dewa dengan lembut menggenggam tangan Nina. "How do you feel?"
"So good," balas Nina. "Actually really good. Setiap kali habis ngobrol sama Bu Heni, rasanya hatiku lapang banget."
Dewa menatap kekasihnya dengan senyum tulus yang merekah di bibirnya. Sambil mendengarkan Nina menceritakan sesi konsultasinya, Dewa mengusap rambut gadis itu dalam belaian lembut.
"Eh, by the way, lama nggak nunggu aku?" tanya Nina dengan ekspresi khawatir di wajahnya.
"Not at all," Dewa menggeleng kepala. "Nggak kerasa malah. Buku yang kamu rekomendasikan seru. Bikin aku jadi ngerti pemikiran anak-anak umur dua puluhan soal cinta."
Nina terkekeh kecil. Ia meminjamkan Dewa salah satu buku koleksinya yang berjudul Everything I Know about Love karya Dolly Alderton saat pria itu melihat-lihat rak bukunya. Karena kebanyakan buku Nina adalah novel—ia pikir karya Dolly Alderton mungkin cocok untuk Dewa yang lebih banyak membaca buku non fiksi.
"Aku chat Kian dulu dia udah selesai atau belum," Nina berkata sambil mengeluarkan ponselnya dan berjalan bersama Dewa menyusuri koridor panjang rumah sakit—dengan tangan Dewa yang berpindah merangkulnya. "Katanya dia nunggu di parkiran," beritahu Nina begitu mendapat balasan dari sang adik.
Dewa mengangguk. "Yaudah, kita langsung ke sana aja." Mempercepat langkahnya bersama Nina agar tak membuat Kian menunggu mereka terlalu lama.
***
"Kak, kamu makannya dikit banget," komentar Kian seraya mengangkat tangan untuk memesan satu porsi spaghetti lagi untuk sang kakak yang hanya memakan salad. "Lagian tumben banget kamu makan salad. Biasanya juga nggak suka."
Nina mendengus. "Bagus, dong. Salad kan sehat."
"Kakakmu bilang mau diet, Ki," Dewa mengulum bibirnya geli. Mengingat lagi pembicaraan mereka tadi pagi saat Nina mengeluhkan berat badannya yang bertambah. "Nggak ngerti juga kenapa mau diet padahal udah body goals gini?"
"Body goals darimana?" sahut Nina cemberut. Berpacaran dengan pria yang hobi makan seperti Dewa membuat Nina tanpa sadar terbawa arus. Alhasil berat badannya bertambah cukup signifikan. Nina pun sudah jarang pergi gym karena pekerjaannya yang tak pernah berakhir, dan orang yang selalu memotivasinya juga sedang sama sibuknya sehingga mereka tak sempat untuk pergi gym bersama. "Kamu tahu nggak aku naik enam kilo ya, Mas?!"
"Enam kilo nggak bikin kamu overweight, Sayang," Dewa berkata lembut. "Berat badan kamu masih normal dan ideal, kok."
Nina menghela napas. Mengingat sebelumnya berat badannya belum ideal—kenaikan enam kilo memang tidak membuatnya overweight. Hanya saja, keinginan untuk tampil menawan di depan Dewa membuat Nina belakangan lebih peduli pada berat badan dan pakaian. Ia pun dengan malu-malu meminta Sisy menemaninya shopping untuk membeli baju yang sesuai dengan bentuk tubuhnya. Dan ia tak mungkin mengungkapkan alasannya di depan Dewa.
"Iya, nih. Kamu aneh-aneh aja deh, Kak," timpal Kian menyetujui. "Kamu biasanya juga nggak peduli sama berat badan."
Merasa disudutkan, ekspresi wajah Nina makin keruh. Dewa tertawa kecil, mengusap punggung Nina menenangkan gadis itu yang seperti ingin menangis.
"Kamu kok nggak belaian aku sih, Mas?" protes Nina.
"Yang dibilang Kian benar, kok," balas Dewa kemudian mendekatkan wajahnya untuk berbisik di samping telinga kekasihnya. "Lagian, aku harus ngambil hati calon adik iparku dong biar mudah dapat restu."
"Udah direstuin kok, Mas." Sela Kian santai ketika mendengar jelas bisikan Dewa pada kakaknya. "Ibu kayaknya juga ngerestuin. Tinggal kamu yakinin aja Kak Nina."
"Kian, apasih!" pelotot Nina karena ucapan blak-blakan adiknya.
Dewa mengulum bibirnya karena mendapat lampu hijau. "Kayaknya aku harus mulai atur waktu ke Bandung nih buat ketemu ibu."
"That's a good idea, Mas," dukung Kian.
Nina menganga. Lalu memijat kepalanya tak percaya melihat kekompakan adik dan kekasihnya.
***
Dewa mengangkat kepalanya saat Nina keluar dari kamar selepas mengobrol dengan ibunya. Pria itu tersenyum, merentangkan satu tangannya menyambut Nina yang duduk di sebelahnya.
"Ibu, titip salam buat kamu, Mas," beritahu dengan ekspresi berseri-seri. "Beliau juga mau kirimin kamu makanan lagi kalau kamu nggak keberatan."
"Mana mungkin keberatan?" Dewa membalas semangat. Mengelus puncak kepala Nina. "Justru aku berterimakasih banget sama ibu. Nggak enak juga jadi ngerepotin ibu."
"Ibu malah senang banget," Nina terkikik. "Dari dulu aku kagum sama ibu. Dia telaten banget ngurusin kami. Kami sekeluarga itu seleranya beda-beda semua, Mas. Tapi ibu sama sekali nggak keberatan masak beda-beda sesuai selera kami. Ibu bilang, dari dulu cita-cita beliau emang jadi ibu rumah tangga. Momen paling bahagia dalam hidup beliau adalah saat ngeliat keluarganya ngumpul dan makan masakan beliau."
Nina terdiam, lalu termenung dalam sampai Dewa menatap kekasihnya dengan pancaran halus dan teduh. Dirangkulnya bahu Nina sampai kepala gadis itu itu bersandar di dadanya. Dewa mengecup puncak kepala Nina. Berharap pelukannya membuat perasaan Nina lebih baik.
"Ibu deserved better, Mas," ucap Nina sambil menghela napas dalam. "Dulu aku sedih banget karena papa lebih milih wanita itu dibanding kami. Tapi sekarang aku tahu itu lebih baik ketimbang mereka masih bareng. Papa nggak pantas buat ibu."
Dewa mengangguk. Sekali lagi mengecup puncak kepala Nina seraya menarik gadis itu ke dalam pelukannya.
Nina memejamkan mata sambil menyelipkan tangan ke pinggang Dewa. Pria itu terlalu peka sampai Nina tidak tahu lagi bagaimana Dewa bisa tahu ia sangat membutuhkan sebuah pelukan sekarang. Pelukan yang membuatnya merasa tenang dan nyaman. Ia tidak ingin bersikap sentimentil pada Dewa—tidak di saat mereka akhirnya bisa menghabiskan waktu bersama setelah lebih dari seminggu mereka tak bertemu. Tetapi bersama Dewa selalu membuat Nina merasa bebas untuk menjadi dirinya sendiri. Ia pun tak ragu menunjukkan sisi paling vulnerable dalam dirinya pada pria itu.
Dewa memeluk Nina semakin erat. Mengusap punggung kekasihnya dengan lembut.
Nina menghela napas begitu perasaannya lebih baik. Menarik tubuhnya sembari menatap Dewa menyesal. "Sorry ya, Mas. Aku malah ngerusak suasana kayak gini."
"You don't need to feel sorry, Sayang. I'm all ears. Kamu bisa bebas cerita apa aja sama aku. You know that, right?"
"But still, kita udah lama nggak ketemu," tutur Nina. "Aku nggak mau kita malah sedih-sedihan kayak gini."
"Kalau gitu gimana kalau kita makan es krim biar kamu nggak sedih lagi?"
Nina mendengus sambil mengulum bibirnya. "Memangnya aku anak kecil? Ditenangin pakek es krim?"
"Makan es krim-nya sambil dipeluk dan disuapin pacar kamu, lho," Dewa mengangkat alisnya. "Masih nggak tertarik?"
"Hmm ..." Nina mengusap dagunya sambil menahan senyum. "It's not fair. How could I refuse?"
Dewa tersenyum. Kemudian mengecup bibir kekasihnya gemas. "Wait here. I'll be right back."
Nina mengangguk. Menunggu Dewa yang kembali tak sampai semenit kemudian sambil membawa sekotak es krim dan satu sendok. Pria itu benar-benar berniat menyuapinya.
"Aaaa," ucap Dewa sambil menyendok es krim dan mengarahkannya ke mulut Nina.
"Mas," Nina mengerjap. Ia pikir Dewa tak serius ingin menyuapinya. "Kamu beneran mau nyuapin aku?"
"Beneran, dong. Masa bohongan?" kekeh Dewa. "Aaaaa, Sayang."
Nina menatap Dewa selama beberapa detik, sebelum akhirnya membuka mulutnya ragu-ragu. Menerima suapan Dewa yang membuat pria itu tersenyum puas.
Seharusnya Nina tak perlu terkejut lagi. Dewa tak pernah bicara omong kosong, dan dalam menunjukan perasaannya—pria itu selalu total.
"Kamu beneran nggak mau pulang ke rumah orang tua kamu, Mas?" tanya Nina. Ia senang Dewa bersamanya. Tetapi ia tidak ingin egois merenggut semua waktu pria itu. "I mean, mereka pasti kangen sama kamu. Terus kamu juga pasti pengin nongkrong sama temen-teman kamu, kan?"
"Mama Papa rencananya mau ke SG. So, nanti pasti juga ketemu," jawab Dewa. "Kalau buat nongkrong ... not really. Aku lebih suka ngabisin waktu sama kamu dibanding nongkrong."
Nina manggut-manggut. Berusaha untuk tidak tampak terlalu sedih karena Dewa besok sudah harus kembali ke SG—dan belum tahu kapan akan kembali ke Jakarta.
"Kenapa?"
"Hm?"
"Why do you look sad?"
Nina terhenyak. Terkejut Dewa berhasil membaca suasana hatinya yang berusaha ia tutupi.
"Nothing," Nina menggeleng. Lantas menggigit bibirnya ragu-ragu. Dewa sudah cukup sibuk dan banyak pikiran karena penyesuaian diri di perusahaan keluarganya—Nina tentu tidak ingin menambah beban pikiran Dewa karena perasaanya. Tetapi menyembunyikan apa yang ia rasakan juga mustahil. Dewa pria yang peka.
"I just ... I will miss you, Mas." Ungkap Nina sembari menatap Dewa lembut. Menjaga ekspresi tetap tenang agar tak membuat Dewa khawatir. "Jaga kesehatan kamu, ya. Jangan telat makan, tidur yang cukup."
"Sayang," Dewa meletakan kotak es krim di meja, kemudian meraih tangan Nina. "I'll miss you more. Aku janji setelah urusan di SG beres, aku bakal luangin waktu lebih banyak sama kamu."
"I know, Mas." Nina mengangguk, lalu tersenyum tulus. "Don't mind me. Aku cuma pengin kamu tahu kalau aku bakal kangen kamu."
Dewa balas tersenyum, kemudian membawa Nina ke dalam pelukannya lagi dengan perasaan bahagia yang memenuhi dadanya.
Bersambung.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
