Called It Love - 29, 30, 31, 32

8
0
Deskripsi

29. Villa

30. Unwanted

31. Toxic 

32. Clingy 

 

29 | villa


Dewa masih berpendapat adalah keputusan yang buruk dengan membiarkan Nina bergabung dalam liburan singkat yang diadakan Peter. Tetapi ketimbang memusatkan fokus pada kekhawatirannya, Dewa mencoba melihat dari sisi menguntungkannya. Ia bisa liburan bersama Nina. Menjauh dari hiruk-pikuk jalanan Jakarta yang padat serta tumpukkan pekerjaan yang tak pernah berakhir. Menikmati keindahan Bali nan memukau.

Selain itu, Dewa tak ingin menyurutkan semangat Nina yang sudah memberanikan diri menyatakan ingin mengenalnya lebih dalam. Ia tahu, Nina bukan tipe orang yang mudah mengekspresikan perasaannya. Berbulan-bulan bersama, sedikit banyaknya, Dewa dengan percaya diri mengatakan ia sudah lebih memahami gadis itu. Hubungan mereka berjalan dengan baik dan semakin serius. Setelah liburan ini, Dewa tak akan membuang waktu lagi dan segera membawa Nina untuk diperkenalkan ke keluarganya.

"I'm so happy kita bisa liburan bareng. But, I still have suspicions about Peter," Emila berkata di sebelah Angga yang sedang menyetir. Sementara Dewa dan Nina duduk di belakang dengan tangan pria itu yang merangkul bahu kekasihnya. "He's a sleaze bag!"

"Just ignore him, babe." Angga menanggapi. "He's like a drama. Semakin kamu tanggepin, dia bakal semakin berulah."

Emila menghela napas. "Yeah, I wish I could. Mood-ku lagi bagus hari ini. So, mungkin aku bisa bersikap lebih sabar sama teman kamu itu."

Nina yang mendengarkan percakapan itu menoleh pada Dewa. Ia pikir perkataan Dewa yang mengatakan kalau Peter bukan lah laki-laki yang seperti ia kira hanya candaan semata. Tetapi sejak bertemu Emila di bandara, dan mereka terbang dengan pesawat yang sama ke Bali—Emila mengatakan ia harus berhati-hati pada Peter. Cukup abaikan saja pria itu jika dia sudah mulai bersikap brengsek.

"Is he that bad?" bisik Nina ketika Dewa yang menunduk dan mendekatkan telinganya ke bibir kekasihnya.

"He has no filter. Say whatever is on his mind. So, yeah ... " Dewa mengangguk. "Sometimes he can be an asshole."

"Mas, language!" tegur Nina.

Dewa tersenyum. Mengecup pipi Nina. "Sorry,"

Mata Nina melotot karena ciuman tiba-tiba Dewa. Meskipun di pipi—tetap saja ia malu karena di depan mereka ada Angga dan Emila yang jelas menyadari perbuatan Dewa.

Dewa malah tersenyum semakin lebar. Mengeratkan rangkulannya di bahu Nina. Salah satu pertimbangan hingga akhirnya ia mau bergabung dalam liburan yang Peter adakan karena Emila memutuskan untuk ikut setelah tahu Nina mengiakan ajakan Peter. Dengan keberadaan Emila, Nina tak akan begitu canggung. Ia juga punya teman perempuan yang membuatnya akan lebih nyaman.

Mobil yang dikendarai Angga melewati gerbang besar, mengikuti jalan satu arah yang cukup panjang hingga akhirnya mereka berhenti di halaman villa yang berlokasi di Desa Payangan, lima belas menit dari pusat Ubud. Villa tersebut sangat besar, dan jelas cukup private. Dikelilingi oleh pohon-pohon hijau dengan pemandangan sawah dan pegunungan.

Tempat yang akan membuat siapa saja merasa rileks dan tenang.

Nina mencoba untuk tidak bersikap norak meskipun dagunya hampir jatuh ke bawah. Ia menyadari jelas Dewa berasal dari keluarga berada. Begitu pun dengan teman-teman pria itu yang memiliki latar belakang keluarga yang sama. Tetapi melihat langsung kemewahan yang dimiliki oleh circle Dewa sedikit membuat Nina ... insecure—dan ia berusaha keras tak merasa begitu.

Mereka turun dari mobil dengan udara segar yang langsung menyambut. Emila menghampiri Nina, mengalungkan lengannya di tangan gadis itu—di saat pacar mereka menurunkan koper dan tas. "Aku nggak tahu siapa yang cewek yang lagi deket sama Peter, dan dibawa sama Kemal. Tapi semoga nggak nyebelin kayak dua bitches tahun lalu."

Nina terkekeh kecil. "I hope so."

Mengingat dirinya bukan tipe orang yang pandai bergaul, Nina cukup khawatir dirinya tidak akan mampu berbaur cukup baik dengan circle Dewa.

Emila menunduk. "But, who cares? Kalau mereka nanti nyebelin, I have you. Aku juga nggak berminat chit-chat sama mereka kalau mereka nyebelin."

"That's what I'm gonna say, Mbak. Aku bersyukur banget ada kamu di sini."

"Nina, I've told you. Just call me 'Em'. Kita cuma beda tiga tahun."

Nina tersenyum. "Okay, Em."

"Let's go inside, girls!" ajak Angga sembari menyeret kopernya dan Emila. Sementara Dewa hanya perlu menjinjing dua tas. Sebab sama sepertinya, Nina tidak membawa banyak pakaian.

Peter dan Kemal menyambut mereka di pintu masuk. Tampak santai meskipun bertelanjang dada. Menyapa Dewa dan Angga dengan tos ala cowok sebelum memberi sapaan hangat padanya dan Emila—yang membuat Nina masih belum menemukan dimana red flag pria itu.

"Hi, Nin, Em. Looks like you two are close like sisters."

"Yeah, Nina is my sister now," angguk Emila sedikit sombong.

Dua orang wanita keluar dari kolam renang dengan swimsuit yang menonjolkan kemolekan tubuh mereka. Keduanya meraih handuk dan mengambil langkah mendekat dengan penuh percaya diri. Nina tidak merasa terintimidasi meskipun mereka menjulang layaknya supermodel. Hanya saja, ia tak dapat menahan diri untuk tidak melirik Dewa demi mengetahui reaksi pria itu.

Dan melihat Dewa tampak tak tertarik dan bosan. Nina tidak mampu menahan kegembiraan di hatinya.

"It's Savana and Vina," Peter memperkenalkan. "I hope you can also be close to them like sisters."

"Hi, girls," Savana dan Vina menyapa dengan senyum miring di wajah mereka. Dan Nina langsung meragukan ia bisa akrab dengan wanita-wanita tersebut.

"Hi, you guys look amazing," ucap Emila berbasa-basi. Dan berharap ia bisa melakukannya—alih-alih hanya memberikan senyum kecil dan anggukkan kepala.

"Okay, kayaknya kalian lumayan capek, ya," ucap Peter sembari menepuk tangannya. "Di sini ada empat kamar. Lo sama Nina bisa nempatin kamar di sayap kiri, terus lo sama Emila bisa nempatin kamar di dekat kolam renang."

Nina mengerjap mendengar pembagian tersebut. Well, Dewa memang pernah menginap di apartemennya. Tetapi jelas mereka tidak tidur satu kamar.

Dewa memejamkan mata. Tahu Peter akan melakukan ini. "Lo bilang villa lo punya lebih dari empat kamar?"

"Oh, did I say that?" Peter mengangkat tangannya pura-pura menyesal. "Sorry, man. Kayaknya gue lupa."

Dewa menghela napas. "Em, is it okay kalau lo sekamar sama Nina dan gue sama Angga?" tanya Dewa pada Emila.

"Oh, sure." Emila langsung mengangguk tanpa keberatan. "I loved to," katanya dan tersenyum bersahabat pada Nina.

"Babe," tetapi Angga tak dapat menyembunyikan keberatannya.

"Nggak usah manja!" Dewa berdecak. "Lo tidur sama gue."

Angga cemberut. Membuat Nina merasa tak enak karena memisahkan pria itu dari kekasihnya. Ia membasahi bibirnya. Kemudian bersuara ragu-ragu. "Nggak apa-apa kok, Mas. I don't mind."

Dewa berpaling, menatap kekasihnya lekat.

"Are you sure, Sayang?" tanya Dewa memastikan. Meskipun ia sendiri pun tidak yakin bisa mengendalikan diri jika sekamar dengan Nina.

"Iya," Nina mengangguk. Tersenyum pada pria itu. "Nggak apa-apa, kok."

"Okay," Peter tersenyum puas. "All good then."

Dewa memberikan lirikan tajam pada Peter. Memperingati pria itu agar tidak banyak berulah dengan tatapan matanya.

 


 

***


 

 

Kamar yang mereka tempati memiliki teras yang menghadap pada pemandangan persawahan. Udara sejuk memasuki ruangan ketika Nina membuka pintu teras. Ia memejamkan matanya, menikmati semilir angin yang membelai wajahnya.

Rasanya menyenangkan berada di alam setelah selama ini Nina dikelilingi oleh gedung-gedung tinggi.

Dewa meletakkan tas mereka di samping meja rias, kemudian mendekati Nina dan memeluk sang kekasih dari belakang. "How do you feel?" tanyanya sembari menghirup aroma stroberi dari rambut Nina.

Nina membuka matanya ketika merasakan pelukkan Dewa yang hangat. Lalu menjawab. "Nervous? Aku khawatir nggak bisa fit in sama teman-teman kamu."

"Don't think about it. Pendapat mereka tentang kamu nggak penting buatku." Gumam Dewa lembut, kemudian meletakkan dagunya di puncak kepala Nina. "Besides, aku juga nggak pengen kamu terlalu akrab sama mereka. I'm jealous man, Kanina."

Nina terkekeh kecil. Ia mengetahui itu dengan jelas sejak reaksi Dewa ketika melihatnya diantar pulang oleh Pedro. Pria itu juga pernah mengatakan ia memang tipe pencemburu sebelumnya. Tetapi Dewa tidak cemburu dengan cara menyebalkan. Ia mengkomunikasi perasaannya dengan baik sehingga Nina tidak menganggap hal itu mengganggu.

"Why? Teman-teman udah punya pasangan yang cantik, tinggi, body goals ... aku jelas bukan tipe mereka. I'm not insecure. But fyi, aku yang paling pendek di sini."

"You're cute, baby." Dewa tersenyum. Mencium rambut Nina gemas. "And you're the most beautiful in this villa, or anywhere."

"Very well said, Mas," Nina menggeleng-gelengkan kepalanya. Sungguh heran kenapa Dewa bisa sesempurna ini. Pria itu benar-benar tanpa celah.

He's not just a green flag, he's a whole green forest.

"And don't worry," imbuh Dewa lagi. "Nanti aku tidur di sofa."

"I'm not worried." Meskipun satu kamar dengan Dewa agak mengejutkan, Nina tidak merasa khawatir pada pria itu. "I trust you."

"Oh, sweet cheeks. Don't trust me too much," Dewa tidak tahu harus merasa lega atau tidak atas kepercayaan Nina padanya. Tetapi jika ditanya ia senang atau tidak ... well, absolutely.  "I'm still a man. And sometimes, men can lose control when faced with a woman as hot as you."

"Do you?" Nina memutar tubuhnya. Mendongakkan wajah menatap Dewa yang memeluk pinggangnya.

"No," Dewa tersenyum lembut. "I will never do anything without your consent."

"I know."

Dewa merunduk, mengecup bibir Nina singkat. "Take a rest. Aku keluar bentar. I have to talk with Peter."

"Okay," Nina mengangguk.

Dewa mengecup bibir Nina satu kali lagi sebelum akhirnya menarik tangan dari pinggang gadis itu lalu mengambil langkah mundur, dan keluar dari kamar. Menemukan Peter yang duduk bersama Kemal di kursi santai dekat kolam renang, sementara wanita-wanita mereka kembali berenang.

"Hi, man," Kemal menyapa seraya menawarkan sekaleng bir pada Dewa. "Where's Nina?"

"Istirahat," Dewa menjawab singkat. Mengambil kaleng bir di tangan Kemal kemudian duduk di kursi santai yang kosong. "What the hell, Pet? Gue udah ngomong dengan jelas kalau gue dan Nina nggak satu kamar." tembak Dewa tanpa basa-basi.

Peter yang sedang berbaring mengangkat kacamatanya.

"I forgot. Lagian Nina nggak masalah tuh satu kamar sama lo. You need to relax, Wa." Balas Peter, kemudian menyunggingkan senyum miring. "Atau lo yang gugup satu kamar sama Nina?" godanya.

"Shut the fvck up." Dewa menatap Peter tajam. "Gue mau Nina nyaman, okay? Gue nggak menjalin hubungan sama Nina buat main-main. Dan Nina bilang dia nerima ajakan lo karena dia mau mengenal gue lebih dalam. Dia mau mengenal teman-teman gue. So, kalau lo memang peduli sama gue sebagai sahabat, don't do something stupid. She's a nice girl. She's kind. Gue nggak akan tinggal diam kalau sampai sedikit aja longomong asal dan bikin hubungan gue sama Nina rusak."

"You're too tense, man," Peter berdecak. "Memang gue ada ngerusak hubungan lo sama Nina? Gue rasa kalian harus berhenti berpikiran buruk tentang gue."

"Can't, man." Kemal yang sejak tadi mendengarkan menanggapi. "Mengingat riwayat lo, kegelisahan Dewa wajar, sih."

Peter memutar bola matanya. "Gue nggak pernah ngerusak hubungan dia sama mantan-mantannya, tuh. Gue malah dukung banget hubungan dia sama Debby."

"And don't mention her name." Peringat Dewa serius. "Apalagi di depan Nina."

Peter menghela napas. Mengangkat tangannya. "Fine!"


 

 

***


 

"Nina, you look lovely!"

Nina merapatkan bibirnya tersipu atas pujian Emila yang bahkan lebih cantik dibandingnya. Ia hanya mengenakan jeans, kaos putih yang dilapisi dengan cardigan biru. Tidak ada yang spesial. Dibanding dengan Emila yang tampak anggun dengan dress hijau di bawah lututnya. Begitu pun dengan Savana dan Vina yang sama sekali tidak tampak kedinginan memakai top off shoulder dan skirt ketat di atas lutut.

"You look gorgeous, Em." Nina membalas pujian tersebut dengan tulus.

Emila tersenyum. Merangkul Nina seraya mereka bersama-sama mengambil langkah menuju area kolam renang yang sudah didekorasi dengan sedemikian rupa. Di kolam telah mengapung bola lampu air dan rangkaian bunga-bunga. Lilin-lilin diletakkan di meja sehingga suasana menjadi hangat. Berbagai jenis dessert telah tersaji di meja, lengkap dengan cocktail dan bir tak akan pernah habis.

Suara heboh dari para laki-laki yang sedang bermain Beer Pong terdengar ketika Emila dan Nina melewati sliding door—membuat perhatian kekasihnya mereka langsung teralih.

Nina tersenyum pada Dewa yang merangkulnya di saat Emila dan Angga berpelukan dengan mesra sembari menukar kecupan di bibir. Jelas sekali  seluruh pasangan di sini—kecuali ia dan Dewa—sangat PDA.

Well, mungkin Dewa juga seperti itu. Tetapi karena tahu Nina bukan tipe orang yang suka skinship di depan orang-orang, pria itu tidak bersikap agresif seperti saat mereka hanya sedang berdua saja.

"Nina, you should join us!" Kemal menawarkan dengan senyum lebar. "You and your boyfie can be a team."

"Nah, I will be standing here and watching." Nina menolak dengan sopan. "Besides, aku nggak mau bikin Mas Dewa kalah karena satu tim sama aku."

"Aw, sweet." Vina yang bergantung di lengan Kemal menanggapi. "Would you like me if I was as cute as her?"

"No, babe. I like you just the way you are," balas Kemal dengan nada merayu yang membuat semua orang bersorak sambil pura-pura ingin muntah.

Nina terkekeh kecil. Cukup menikmati ledekan-ledekan yang saling dilemparkan oleh para laki-laki ke satu sama lain. Teman kencan Peter dan Kemal pun tidak terlalu menyebalkan, tetapi juga tidak terlihat ingin mengajaknya mengobrol. Sejauh ini, Nina merasa cukup nyaman dan menikmati suasana. Meskipun ia harus bisa mengatur ekspresinya bila melihat para pasangan tak malu-malu bercumbu di depan matanya ketika pacar mereka berhasil mendapatkan poin. Menghadiah ciuman bibir yang panjang dan liar.

Sementara Nina hanya memberikan Dewa tepuk tangan penuh semangat dan ucapan selamat. Terkadang Dewa menciumnya, tetapi itu ciuman manis di puncak kepala yang jelas tidak ada apa-apanya dibanding ciuman bibir.

Ia baru kali ini melihat keambisiusan Dewa yang menolak posisinya sebagai penerima banyak poin tersingkir. Membuat Nina mensyukuri keputusan untuk tidak satu tim dengan Dewa. Ia jelas akan membuat pria itu berada di posisi akhir.

"Aku yakin kamu yang bakal menang," bisik Nina ketika semua mata tengah tertuju pada Angga yang mendapat giliran untuk melempar bola.

"Aku juga yakin aku bakal menang," Dewa menyahut sambil melingkarkan satu tangannya di sekeliling bahu Nina dari belakang.

"How confident," Nina tersenyum-senyum dengan kepala yang masih menghadap ke depan.

"Kalau aku menang," Dewa mendekatkan bibirnya di telinga Nina. "Can you give me a kiss?"

"I can't kiss you in front of people, Mas." Geleng Nina.

"Then kiss me when it's just the two of us."

Nina diam. Menggigit bibirnya menimang. Meskipun ia tahu dirinya tak mungkin menolak permintaan Dewa.

"Kanina?"

"O ... kay,"

Dewa tersenyum. "Can't wait," katanya lalu mengambil gilirannya melempar bola dengan semangat untuk menang.


 


 

***


 


 

Tiga puluh empat tahun adalah waktu yang cukup panjang. Ia telah melewati banyak hal dan sudah mengalami pengalaman-pengalaman yang menarik. Hanya saja, berdebar karena tidur sekamar dengan Nina adalah hal yang konyol.

Mereka bahkan tidak satu ranjang, tetapi Dewa berdebar dan semangat dalam waktu bersamaan. Ia akan ditertawakan habis-habisan oleh teman-temannya jika mereka mengetahuinya.

Peter tak berulah hari ini. Nina pun tampak nyaman meskipun tak banyak bicara selama Beer Pong. Well, mungkin gadis itu sedikit shock dengan bagaimana terbukanya para pasangan di villa ini dalam bermesraan—dan sejujurnya Dewa menganggap itu menggemaskan. Walaupun Nina mampu mengendalikan keterkejutan dengan cukup baik.

Dewa menyusun bantal dan selimut di sofa sebelum akhirnya berbaring di sana sembari memainkan ponselnya. Menunggu Nina yang masih berada di dalam kamar mandi. Dan begitu air keran mati, kemudian deritan pintu pun terdengar—Dewa menyimpan ponselnya di bawah bantal, kemudian tersenyum pada Nina yang mengganti bajunya dengan short pajamas berwarna pink. Very cute. Wajah gadis itu pun telah bersih dari sapuan make up, dan membuatnya tampak sangat muda.

"Hi," Dewa menatap Nina lembut.

"Hi," Nina tersenyum kecil sembari merajut langkah dan naik ke atas tempat tidur. Ia bersandar di kepala ranjang, menatap Dewa yang tak mengalihkan pandangan darinya. "Kamu beneran apa-apa tidur di sofa?"

"Mmm, it's comfortable" Dewa mengangguk kecil. "How was your feeling today?"

"Super great." Nina menarik selimut menutupi kakinya. Cukup bagus karena mata Dewa tak bisa berhenti melirik kaki jenjang Nina yang mulus sejak tadi. "Teman-teman kamu seru. Ada Emila juga yang bikin aku punya teman cewek. Dan pasangannya Mas Peter dan Mas Kemal ... cukup baik sama aku."

"Yeah, glad to hear that."

"Mas Kemal orangnya lucu banget." Kekeh Nina. Perut terasa digelitik mengingat lagi tingkah konyol dan lawakan-lawakan Kemal. "Kayaknya aku selalu ketawa setiap kali dia buka mulut, deh."

"He's indeed the comedian in the group." Dewa menanggapi malas. "But don't pay too much attention to him."

"Because you're a jealous man," goda Nina.

"Because I am a jealous man," angguk Dewa.

Nina membasahi bibir. Bersandar di kepala tempat tidur sambil membalas tatapan panjang Dewa yang terus memandangnya. Biasanya ia tak akan tahan berlama-lama beradu tatap dengan Dewa. Jantungnya akan berdebar kencang, dan panas langsung merambat ke pipinya. Tetapi entah mendapat keberanian darimana, Nina kini seakan menantang pria itu. Membiarkan hening menyelimuti mereka sementara suasana terasa kian intens karena tidak ada dari mereka yang menyerah.

"You can sleep here. The bed is big. Fit for two." Nina berkata tiba-tiba. Sangat tiba-tiba karena ia pun terkejut di detik pertama setelah mengatakannya. Lebih terkejut lagi karena ia tak menyesali tawarannya.

"I'm sure about that," Dewa ingin menjadi pria baik dan gentleman. Hanya saja, tawaran Nina sungguh menggoda, dan ia merasa bodoh jika menolak. "Tapi kamu yakin bakal nyaman? I'm okay. Tidur di sofa nggak masalah kok."

"Kaki kamu ngegantung, Mas." Tubuh Dewa terlalu besar tinggi untuk tidur di sofa. "Don't say you're comfortable, padahal ekspresi kamu nunjukin sebaliknya."

Dewa terkekeh. "Kelihatan, ya?"

"Kamu itu bukan tipe orang yang bisa menyembunyikan perasaan kamu. Pasti langsung kelihatan di wajah kamu."

"Are you sure, Kanina? Aku lebih baik tidur di sofa daripada bikin kamu nggak nyaman."

"Aku lebih nggak nyaman kalau biarin kamu tidur sofa dengan kaki ngegantung."

"Okay then." Dewa bangkit berdiri, kemudian mematikan lampu sehingga cahaya hanya bersumber di lampu meja nakas. "Pacarku kayaknya mau dikelonin," katanya mengeluarkan candaan untuk menghindari kecanggungan ketika ia berpindah dan mendaratkan bokongnya di sebelah Nina yang sudah bergeser, memberi ruang untuknya.

Nina mendengus. "Shut up."

Dewa terkekeh. Menarik selimut seraya berbaring dengan tubuh yang menghadap Nina yang juga melakukan hal yang sama. Ada sedikit jarak yang membuat tubuh mereka tak bersentuhan. Meskipun begitu, intensi di antara mereka cukup menegangkan dan intens.

"Gimana reaksi ibu sama Kian kalau tahu anak gadis dan kakak tersayangnya tidur satu ranjang sama cowok, ya?" tanya Dewa jahil.

"Ibu pasti nasehatin aku dan langsung berubah pandangan tentang kamu. Sementara Kian ... pasti musuhin kamu, sih."

"Kalau gitu mereka nggak boleh tahu."

Nina tertawa.

"Kamu makin cantik kalau ketawa," bisik Dewa yang memandangi Nina kagum. "Sebel banget karena Kemal pasti sengaja ngelawak mulu di depan kamu karena dia juga noticed kamu cantik kalau ketawa."

"Stop it. Kalau kamu muji aku terus aku bisa terbang nih."

"I will catch you."

Nina merasa pipinya pegal karena banyak tersenyum-senyum.

"Kamu ambisius banget," Nina berkata mengalihkan pembicaraan. "Tatapan kamu langsung beda waktu Mas Peter nyusul skor kamu."

"Aku nggak suka kalah."

"I can see that."

"Anyway, where's my kiss?" tanya Dewa sambil menaik-turunkan alisnya.

"I know you will say that."

Dewa mengangkat bahu. "Kamu udah janji, Sayang."

Nina mendengus. "Close your eyes, then."

"Okay," Dewa memejamkan matanya dengan patuh.

Nina membasahi bibirnya. Kemudian perlahan-lahan merangsek mendekat dengan jantung berdebar kencang. Semakin dekat sampai wajahnya dengan Dewa berjarak semakin tipis. Kemudian wajahnya bergerak ke atas, menempelkan bibirnya di kening pria itu dengan lembut.

"Congratulations, Mas," bisiknya sembari menarik kepalanya mundur dan Dewa perlahan-lahan membuka mata.

"Aw, that's sweet, Sayang," gumam Dewa dengan mata yang berpusat pada bibir Nina.

"But I know you want another kiss, right?"

Dewa terkekeh. Ia jelas sudah seperti buku terbuka di mata Nina. "You really read my mind, sweet cheeks."

"Like an open book," sahut Nina.

Dan entah siapa yang memulai, bibir mereka kini sudah menempel dalam ciuman pelan, lembut, dan panjang.


 

Bersambung.


 

30 | unwanted


 

Dewa terbangun, dan merasakan deru napas hangat membelai lehernya.

Senyumnya merekah tanpa sadar. Mengusap tangan mungil yang melingkari pinggangnya. Begitu lembut dan feminin. Dengan tekanan lunak dan empuk yang menimpa dadanya. Rasanya menyenangkan, tetapi meresahkan di waktu bersamaan. Kesadaran akan lekuk indah tubuh Nina menempel dengannya membuat bagian yang mengeras di tubuhnya makin bereaksi.

Dewa mengenyahkan bayangan kotor yang tak seharusnya ia pikirkan di pagi hari. Ia ingin menikmati momen ini dengan cara yang lebih murni. Sebab, terbangun dengan Nina di dalam pelukkannya seperti ia berada surga. Dewa sungguh enggan beranjak. Ia menunduk, membenamkan hidungnya di rambut Nina yang harum.

Mengabaikan memorinya yang mengingatkannya agar segera bangun untuk berangkat gym. Sayangnya, ia punya kebiasaan yang harus ia jaga agar tak merusak sistem.

Dewa memang cukup disiplin jika sudah menyangkut kesehatan.

Dilema di dalam pikirannya akhirnya membuat Dewa membuka mata. Penglihatannya seketika disambut oleh wajah jelita Nina yang tertidur nyenyak. Senyum Dewa terkembang.

Paginya tak mungkin bisa seindah ini.

Sial, ini benar-benar ingin terbangun dalam kondisi seperti ini sepanjang hidupnya.

Wajah Dewa bergerak lebih dekat. Mengamati Nina dengan mata berbinar-binar dan senyum simpul. Pertama kali ia bertemu Nina, gadis itu memiliki wajah yang tirus. Namun belakangan, pipi Nina agak lebih berisi hingga terlihat chubby. Dan sejujurnya, itu membuat Nina kelihatan  fresh.

Bukan berarti, penampilan Nina kemarin tidak menarik. Di mata Dewa, Nina selalu tampak menarik. Cuma ia senang hubungan mereka memberi dampak positif untuk Nina. Sebab, ia pun merasa begitu semenjak mereka berpacaran.

Dewa sering memimpikan hal ini sebelumnya. Membayangkan akan seperti apa rasanya terbangun dengan Nina di sampingnya. Dan rasanya lebih luar biasa dari apa yang ia bayangkan. Meskipun harus ia akui, ada waktu dimana otaknya membuat tubuhnya tersiksa. Seperti saat ini, ia tak mampu mencegah reaksi morning wood-nya. Dewa bukan pertapa yang memiliki kendali diri yang tinggi. Tetapi ia berusaha menjadi gentleman.

Nina mempercayainya. Dan ia tak akan pernah menyia-nyiakan kepercayaan yang gadis itu berikan padanya.

Tidak setelah semalam Nina memberanikan membuka diri padanya.

Dewa selalu bertanya-tanya penyebab kenapa Nina begitu menutup diri—terutama dari laki-laki. Dan cerita Nina semalam membuat semuanya menjadi masuk akal. Perceraian orang tuanya jelas meninggalkan luka yang cukup mendalam. Terlebih penyebabnya karena pengkhianatan sang ayah. Dewa tak ingin mengatakan ia memahami perasaan Nina—di saat ia tahu, ia tak pernah ada di posisi gadis itu, Dewa tak akan bisa paham seratus persen. Namun yang pasti, Dewa tak akan pernah melakukan hal yang sama pada Nina. Ia tak akan pernah melakukan sesuatu yang berpotensi menyakiti gadis itu.

Dewa mengangkat tangannya. Menyelipkan rambut Nina ke belakang telinga dengan perasaan protektif yang mendominasi.

Dewa ingin melindungi Nina. Meskipun ia tahu Nina bisa melindunginya dirinya sendiri.

Tubuh Nina yang bergerak dengan bulu mata bergetar lambat membuat Dewa menarik tangannya dari wajah gadis itu. Dewa tersenyum kecil ketika Nina memutar tubuh membelakanginya. Meringkuk sembari memeluk selimut.

Dewa beringsut mendekat. Memeluk Nina dari belakang sambil mencium rambut gadis itu lembut. "Sayang," panggilnya pelan. "Aku nge-gym dulu, ya."

"Hm?" Nina bergumam, belum sadar sepenuhnya. Tetapi ia menyadari jika Dewa telah bangun dan memeluknya.

"Aku nge-gym dulu," Dewa mengulang. Mengusap lengan Nina naik turun lalu mencium bahu kekasihnya lembut.

"Nge-gym?" Nina mengeluarkan suara serak khas orang baru bangun tidur. Kemudian memutar tubuhnya hingga terlentang. Matanya perlahan-lahan terbuka. Menatap Dewa yang menopang tubuh dengan lengan. Menatapnya sambil menyunggingkan senyuman manis. "Kamu liburan gini masih nge-gym?"

"Em-hm," Dewa mengangguk. Mengusap pipi halus Nina dengan jempolnya. "Villa Peter ada tempat fitness, kok. Kamu mau ikut?"

Nina menggeleng, mengucek matanya. "Aku masih ngantuk."

"Just back to sleep, kalau kamu masih ngantuk," ucap Dewa yang menyadari mereka tidur cukup larut semalam. Wajar Nina kesulitan bangun. Apalagi waktu masih menunjukkan pukul tujuh pagi.

"Okay," Nina mengangguk. Mengusap bicep Dewa tanpa sadar.

Dewa tersenyum. Kemudian menunduk untuk mengecup pipi kekasihnya. "Aku nggak bakal lama."

Nina tersenyum sambil kembali menganggukkan kepalanya. Menatap Dewa yang turun dari tempat tidur kemudian mengganti bajunya di dalam kamar mandi. Sebab memang masih mengantuk, Nina pun menaikan selimut sampai kepalanya dan melanjutkan tidurnya yang terinterupsi.


 


 

***


 


 

"Nina mana?"

Dewa memutar bola matanya. Tak menutupi ekspresi tak sukanya ketika Kemal melemparkan pertanyaan tersebut begitu ia  meletakan botol air minumnya di kursi. "Why do you care so much about my girl?"

Kemal mengerjapkan mata. Lalu tertawa sambil meletakan dumbel yang selesai ia pakai di tempatnya. "Why not?" sahutnya dengan ekspresi kekanakan yang membuat Dewa tergoda untuk melayangkan tinju di pipi temannya tersebut.

"Don't try me, Mal. Masih terlalu pagi buat bikin gue emosi."

Kemal terbahak-bahak sambil memegang perutnya. Sungguh senang dan terkejut dengan reaksi Dewa yang posesif sekali terhadap Nina.

"Lo ngapain Mal sampai Dewa pagi-pagi udah grumpy gitu?" suara lain tiba-tiba menimpali.

Adalah Angga yang baru bergabung gym bersama mereka. Memandang Dewa dan Kemal dengan sudut bibir terangkat.

Kemal mengangkat bahunya. "Tau, tuh! Teman lo sensitif amat gua tanyain Nina dimana doang?"

"Dan kenapa lo pengen tahu dimana cewek gue?" tanya Dewa sambil melipat tangan di depan dada.

"Dude, gue cuma basa-basi, doang. Elah! Nggak bakal gue embat kok Ninanya." Tukas Kemal. "Meskipun dia emang menarik, sih."

Dewa melotot dengan mata menyorot penuh ancaman.

"Udah tahu teman ini lo bucin banget sama ceweknya!" Angga menggeleng-gelengkan kepalanya sembari melakukan warm up singkat. "Masih aja lo pancing."

"Kapan lagi ngeliat Dewa grumpy karena jealous nggak, sih?"

Dewa mendenguskan tawa sinis. "Gue nggak jealous sama lo."

"Really?" Kemal memiringkan kepalanya. "Padahal semalam lo nggak berhenti pelototin gue setiap kali gue ngajak Nina ngomong."

"Itu karena lo ganjen sama cewek gue." Cetus Dewa kesal.

"Dude, I'm just being nice." Kemal membela diri. "Kalau gue ketus lo juga bakal marah, kan?"

"Oh, you two, stop being childish!" Angga memutar bola matanya. Melerai perdebatan mereka yang berpotensi menjadi pertengkaran anak-anak. Angga menepuk bahu Dewa agar tak menanggapi Kemal yang hanya akan semakin ingin menggodanya jika terus bereaksi.

Kemal tersenyum miring. Berpindah ke mesin eliptis dengan perasaan puas karena berhasil mengusik ketenangan Dewa.

"Lo emang kelihatan banget sih nggak suka Kemal ngobrol sama Nina semalam," ucap Angga seraya mengambil barbel.

"Yeah," Dewa mengangguk sinis. "Memang lo bakal suka kalau Kemal godain Emila?"

Angga tersenyum. "Emang nyebelin, sih. Tapi Kemal dari dulu emang gitu. And you know, bukan pertama kalinya dia godain cewek yang lo kenalin ke kami, kan?"

Tentu saja Dewa sudah mengetahui itu. Sekali lagi, Kemal menggoda setiap wanita. Dan ia melakukannya  karena memang tabiatnya sebagai perayu ulung. Tetapi mereka tahu Kemal bukan laki-laki yang akan merebut kekasihnya temannya sendiri. Sejujurnya, Dewa pun tak mengerti kenapa ia memberikan reaksi berbeda ketika wanita itu Nina. Apa dulu ia tidak cukup menyayangi pasangannya sampai tak merasa terganggu ketika Kemal menggoda mereka?

"But, gimana Nina? Ngerasa nyaman sama kita-kita?"

Dewa mengangguk. "Untungnya Peter nggak ada bikin ulah."

"Yeah, tumben tuh anak anteng," komentar Angga.

Sebetulnya, Dewa belum benar-benar yakin Peter tak akan berulah. Ia bertahun-tahun mengenal Peter dan tahu sekali pria itu bukan tipe orang yang mendengarkan orang lain. Rasanya aneh sekali karena semuanya berjalan dengan mudah. Sebab itu, ia tetap waspada pada Peter.

Satu jam setelahnya, mereka keluar dari tempat fitness—yang masih berada di area villa. Dewa berniat membuatkan kopi untuk Nina di pantry ketika Angga menyikut lengannya sambil mengedikkan bahu ke area kolam.

"Udah bangun dia. Pasti Em yang ngajakin berenang," ucap Angga sambil mengambil langkah ke area kolam renang yang hanya dibatasi oleh sliding door.

Dewa mengikuti Angga di belakang. Samar-samar mendengar gelak tawa manis yang membuat perasaannya menghangat. Tetapi kehangatan di hatinya seketika berubah menjadi debaran kencang ketika sosok Nina menjadi semakin jelas ketika ia melewati pintu.

Sungguh. Butuh pengendalian yang besar untuk Dewa bisa tidur di sebelah Nina dengan tenang. Ia bahkan mengapresiasi pertahanan dirinya. Tetapi bagaimana mungkin ia bisa imun ketika melihat kekasihnya yang menyembulkan kepala ke permukaan dengan senyum cerah di wajahnya?

Air kolam yang jernih membuat Dewa bisa melihat pakaian renang yang Nina kenakan. Bukan sesuatu yang mengejutkan karena Nina tidak mungkin memakai celana panjang dan kaos untuk berenang—hanya saja, one-piece swimsuit merah muda tersebut memancarkan pesona yang begitu kuat. Memamerkan kaki jenjangnya, pinggangnya yang ramping, bahu indahnya, dan bahkan bagian belakangnya cukup terbuka hingga sebagian punggung Nina terekspos.

Perasaan posesif mengaliri darah Dewa. Sekali lagi membuatnya sedikit kebingungan kenapa ia bersikap seperti itu pada Nina—di saat para wanita yang pernah menjalin hubungan dengannya cukup sering berpakaian terbuka. Dan ia tak pernah bereaksi seperti ini—dimana ia berkeinginan untuk menarik Nina menjauh agar tak satupun laki-laki menikmati pemandangan itu.

Dewa hanya menginginkan pemandangan itu untuk dirinya sendiri.

"Easy, sucker." Angga menyeringai di sampingnya. "Lo ngeliat Nina kayak mau nyeret dia ke kamar."

Dewa melotot. "Shut up!" katanya lantas segara mengambil handuk ketika Nina keluar dari kolam bersama Emila.

"Thanks, Mas." Nina tersenyum sambil menyelimuti tubuhnya dengan handuk. Merapatkan ke tubuhnya dengan pipi yang terasa panas. Tidak peduli ia baru saja keluar dari dalam air, tatapan Dewa yang intens seperti membakarnya.

"Aku kira kamu masih tidur," ucap Dewa. Mengulurkan tangannya untuk merangkul Nina.

"Mbak Emila ngajakin aku berenang. Awalnya aku nolak karena nggak bawa baju renang. Terus dia pinjemin aku baju renangnya." Dewa melihat pipi Nina memerah, entah karena dingin atau karena malu padanya. "So, yaudah." Lanjutnya sambil mengangkat bahu.

Dewa manggut-manggut ketika mereka duduk di kursi santai. Di sebelah mereka, Angga dan Emilia sudah bermesraan.

"Baju renangnya nggak terlalu kebuka, kan?" tanya Nina khawatir, menggigit bibirnya bawahnya tanpa menyadari hal tersebut membuat pria di sampingnya kesulitan menahan gairah. "Soalnya cuma ini yang paling tertutup dari semua baju renang yang Mbak Emila bawa."

"Cantik, kok," Dewa tersenyum kecil. Mengusap lembut lengan Nina. "Cantik banget malah."

Nina mengangguk sambil merapatkan handuk ke tubuhnya. Menjilat bibir bawahnya, lalu mengalihkan pandangan dari Dewa.

"Dingin, ya?" tanya Dewa. " Mau ganti baju?"

Nina mengiakan dengan cepat. Sejujurnya, memakai swimsuit di depan Dewa cukup membuatnya sangat salah tingkah. "Aku ganti baju dulu ya, Mas."

"Okay," Dewa mengangguk. Tersenyum pada Nina yang bangkit berdiri, kemudian berpamitan pada Emila dan Angga yang asik suap-suapan.

"Gemesin banget pacar kamu sih, Wa!" celetuk Emila setelah kepergian Nina. "Waktu aku kasih pinjem baju renangku, dianya nolak keras banget. Malu katanya kalau dilihat kamu."

Dewa menoleh lantas menyandarkan tubuhnya di kursi santai sambil menyeringai. "Oh, ya?"

Emila mengangguk. "Em-hm. Makanya kalau natap Nina biasa aja dong, Wa. Jangan kayak serigala yang mau nerkam mangsa. Kasihan anaknya masih polos."

Angga tertawa atas komentar sang kekasih. "Maklum, Sayang. Dewa kan udah lama selibat."

Emila terkekeh ringan. "Makanya langsung ajakin nikah dong, Wa."

"Ngajak nikah juga harus benar-benar yakin pasangannya mau dong, Em." Sahut Dewa.

"Oh, jadi sekarang kuncinya ada Nina aja, ya. Kalau dia mau. Besok lo langsung mau cari gedung gitu?" goda Emila.

Dewa mengangkat bahunya. "Langsung gue ajak ke KUA malah."

Emila dan Angga terbahak keras. Meledek kebucinan Dewa pada Nina.


 


 

***


 


 

Sorenya harinya, mereka berkemas untuk ke dermaga. Sebab Nina dan Dewa tidak mengikuti rancangan acara Peter, keduanya tiba paling terakhir. Mereka menyempatkan diri untuk berjalan-jalan di Pasar Seni Ubud dan mampir ke cafe aesthetic di sekitar sana. Mumpung di Bali, Dewa jelas ingin menghabiskan waktu dengan kekasihnya tanpa orang lain yang menyertai.

"Aku jadi nggak enak sama Mas Peter kita telat gini, Mas," bisik Nina ketika mereka turun dari mobil.

"Biasa aja, Sayang. Peter bakal biasa aja, kok," ucap Dewa seraya mengambil tasnya dengan Nina di bagasi.

Nina cemberut. Sebenarnya ingin mengomeli Dewa yang kelewat santai. Tetapi setiap kali ia menoleh, dan menatap pria itu—Nina hanya dibuat berdebar karena visual Dewa yang begitu tampan dan memesona.

Ia tidak ingin bersikap norak seperti orang yang tidak pernah melihat laki-laki rupawan sebelumnya. Tetapi pesona Dewa memang menggelisahkan. Dengan celana pendek dan kaos putih pas badan—yang mana memeluk tubuh atletisnya. Dewa tampak seperti model. Ditambah dengan kacamata hitam yang melekat di hidung mancungnya.

Belum lagi bisepnya yang menonjol ketika pria itu menjinjing tas mereka menuju boat, membuat pria itu tampak maskulin dan kuat. Sungguh, Nina mencoba untuk tidak meliriknya, tetapi sulit sekali karena Dewa bagai magnet yang membuat wanita akan menengok ke arahnya setidaknya satu kali.

Berbeda dengan Dewa, Nina tampak begitu biasa ketika berdiri di sebelah pria itu. Ia hanya mengenakan chino short yang dipadu dengan sleeveless sweater tank berwarna biru. Sneaker di kakinya juga membuatnya jadi kelihatan sangat kecil di samping Dewa yang tinggi dan besar.

"Hati-hati, Sayang," Dewa berkata protektif. Berdiri di belakang Nina sembari mengawasi langkah gadis itu dengan cermat ketika mereka menaiki boat.

"Mas, I'm fine," Nina terkekeh kecil, kemudian mengulurkan tangannya. "Sini, biar aku yang bawa tasku."

"No, aku aja," Dewa menggeleng kemudian melompat ke boat. "Tuh, bisa, kan?" katanya sambil menyeringai bangga.

Nina mendengus. "Kenapa, sih? Tasku kan ringan. Nggak perlu dibawain sebenarnya."

"Perlu, dong. Aku kan pacar kamu."

"Tapi kan—"

"Sstt ..." Dewa menyela sambil mendekatkan wajahnya. "Let me take care of you, okay?"

Nina merapatkan bibirnya, kemudian membuang pandangan. Merasakan perutnya melilit karena tatapan Dewa.

Nina sudah terbiasa sendiri dan mengurus dirinya sendiri. Perhatian yang Dewa berikan membuat Nina mulanya merasa asing hingga akhirnya kini ia terbiasa. Tetapi kesadaran ia tidak boleh terlena membuatnya terus mempertahankan kemandiriannya. Sayangnya, Dewa lebih dominan dari yang ia duga.

Boat yang mereka naiki akhirnya mendekati kapal persiar. Dewa berpindah lebih dulu sebelum akhirnya mengulurkan tangannya dan memeluk pinggang Nina begitu gadis itu berhasil melompat. Benar-benar tak membiarkan ada pria lain yang menyentuh kekasihnya.

Nina tersenyum, mengucapkan terima kasih pada Dewa sebelum akhirnya mengambil langkah mundur.

Dua orang crew kapal menyambut mereka dengan welcome drink. Lalu disusul kemunculan teman-teman Dewa yang juga menyambut mereka. Mata Nina bertemu dengan Emila yang melambaikan tangan padanya, tetapi ia bisa melihat ada gurat cemas yang tidak Nina mengerti.

Peter tersenyum lebar dengan Vina di rangkulannya, menyapa semangat. "Welcome guys!"

Nina membalas senyum Peter ramah. "Sorry ya, Mas, kami telat."

"No, it's okay, Nin." Peter mengibaskan tangannya. "Dewa udah ngabarin kok kalau bakal telat."

"Gue sama Nina mau ke kabin dulu, narok barang," sela Dewa.

"Sure." Peter mengangguk. "Tapi ada seseorang yang mau gue kenalin ke Nina."

Mata Dewa menyipit waspada. Dan sebelum ia mencerna maksud ucapan Peter, seseorang yang tidak Dewa inginkan muncul. Menatap langsung ke arahnya dengan tatapan mata yang tidak pria itu sukai.

"Hi, Wa," adalah Debby—sang mantan kekasihnya. "It's nice to see you again."

Tangan Dewa mengepal kencang dengan rahang mengeras. Jika ada dosa yang ingin Dewa lakukan sekarang, itu adalah melenyapkan Peter.
 

Bersambung.



 

31 | toxic


 

Dia Debby Wisnatari Djati.

Mantan kekasih Dewa.

Nina tentu mengenali wanita itu karena ia sempat tenggelam dalam aksi stalking-nya di media sosial sewaktu Dewa dengan intens mendekatinya. Dan Nina tak pernah menyangka akan ada hari dimana ia bertemu dengan Debby. Wanita dengan segudang kelebihan yang akan membuat semua perempuan iri.

Debby lebih cantik dari apa yang terlihat di media sosial. Tubuhnya tinggi dengan lekuk sempurna. Neck ruffle dress berwarna merah muda tersebut melekat dengan elegan dan anggun di tubuh wanita itu. Rambut hitam panjangnya jatuh bergelombang di bahunya, berterbarangan indah karena tiupan angin. Nina bisa membayangkan betapa serasinya wanita itu ketika berdiri di sebelah Dewa. Mereka akan menjadi pasangan ideal yang tak akan membuat orang-orang heran kenapa mereka bisa bersama.

Nina tidak menyukai perasaan rendah diri yang melingkupi hatinya. Ia tambah tidak suka ketika dirinya sendirinya lah yang melakukan itu.

Nina menggelengkan kepalanya pelan, kemudian menoleh ke arah Dewa yang tampak gelap. Mata pria itu menatap tajam Debby. Dengan emosi yang tak pernah Nina lihat sebelumnya. Nina tahu Dewa masih menyimpan amarah pada mantan calon istrinya tersebut. Dan entah kenapa, Nina tak menyukainya.

Bukankah perasaan marah menunjukkan ada yang belum selesai di antara mereka?

Membayangkan masih ada sesuatu yang tersisa antara Dewa dengan sang mantan kekasih membuat dada Nina bergemuruh oleh perasaan cemburu. Selama ini Dewa selalu memberinya perhatian yang berlimpah. Pria itu menjadikan Nina pusat dunianya. Dan mengetahui ada seorang wanita yang lebih dulu merasakan itu ... perut Nina terasa melilit. Terlebih tatapan Dewa terpaku pada wanita itu cukup lama. Sementara ia di sini, menatap pria itu dengan harapan Dewa akan berpaling padanya.

Nina menarik napas sembari memejamkan mata sekilas ketika gumpalan keras tersangkut di tenggorokannya. Rasanya ia ingin pergi seperti pengecut. Melarikan diri dari rasa tidak nyaman yang menggerogoti hatinya—seperti biasa yang ia lakuakan.

Tetapi ketika perasaan itu datang, Dewa menoleh. Seakan ada koneksi di antara mereka yang membuat pria itu tahu apa yang ia rasakan—karena dalam langkah cepat, Dewa meraih bahunya. Menatapnya lekat-lekat. "Are you okay?" tanyanya.

Nina menggeleng dengan perasaan lega yang meluap.

"Kita pergi, ya." Dewa berkata dengan cepat. "Kita nggak perlu ada di sini."

"Man, lo nggak bisa pergi sekarang. Kapal udah jalan, dan boat udah pergi." Sela Peter yang membuat Nina kembali melihat kegelapan di bola mata Dewa. Terlebih suara feminim lain pun ikut menimpali, yang membuat Dewa memegang bahunya lebih erat.

"Sadewa, please."

Suasana terasa begitu tegang di tengah matahari yang bersinar terik. Sedikit saja senggolan pasti membuat orang tersulut emosi.

Nina ingin menenangkan Dewa. Namun hantaman pening yang memukul kepalanya membuatnya mengerutkan kening.

"Sayang," Dewa menunduk khawatir. Mencari mata Nina agar membalas tatapan. "Kamu kenapa?"

"Cuma pusing," Nina berbisik pelan. Kemudian mendongakkan wajahnya sambil memberi senyum untuk meyakinkan pria itu. "Aku nggak apa-apa kok, Mas."

Dewa merangkul kekasihnya. Bimbang antara mengikuti egonya yang ingin meledak karena perbuatan Peter atau mengurus Nina yang tampak tidak enak badan. Dan ia jelas mengutamakan Nina di atas segalanya. Melemparkan tatapan tajam pada Peter, Dewa akhirnya meminta crew kapal mengantarkan mereka ke kabin.

Ia akan mengurus Peter setelahnya.


 


 


 

***


 


 


 

"Mas, what are you thinking?" Nina bertanya ketika Dewa diam setelah Nina menelan obat untuk meredakan pusing di kepalanya.

Mereka sudah berada di kabin. Dengan Nina bersandar di ranjang kecil sembari menatap Dewa yang duduk di sebelahnya gelisah.

Dewa berpaling, menggenggam tangan Nina dengan lembut. "Udah mendingan?"

Nina menggelengkan kepala tak puas. "You didn't answer my question."

Dewa merapatkan bibir dengan kecemasan yang berputar di dadanya. Nina tidak seharusnya terjebak dalam situasi ini. Peter sudah sangat keterlaluan dengan melibatkan seseorang dari masa lalunya untuk membuat Nina tidak nyaman—dan tentu ia pun tidak nyaman.

Bukan karena Dewa masih memiliki perasaan pada wanita itu. Tak ada lagi yang tersisa untuknya. Kemarahan Dewa bangkit karena ia kembali diingatkan bagaimana ia hampir kehilangan sang ibu. Ia tidak bisa memaafkan Debby untuk hal tersebut.

"Aku cuma pengen bawa kamu pergi dari sini." Tutur Dewa kemudian mengusap wajahnya. "Gosh, I really want to punch Peter in the face."

Nina hanya diam, menatap Dewa yang kelihatan kesal sekali.

Pria itu akhirnya menarik napas panjang setelah menenangkan diri. Kemudian mengangkat wajah dengan eskpresi serius. "Dia ... cewek tadi ... Debby. The ex."

"Okay," Nina mengangguk tenang. Mencoba untuk tidak kelihatan ia sudah mengetahuinya. "Mantan yang batalin pernikahan kalian?"

Dewa mengiakan gelisah. "And I swear to God, aku nggak tahu kenapa dia bisa di sini. Peter nggak bilang apa-apa sama aku. Kalau pun dia bilang, aku nggak akan mungkin mau datang. Buat apa juga?"

"I know," Nina mengusap lengan Dewa lembut. "And he's not worthy, Mas. Besides, kalau Mas Peter memang sengaja ngelakuin ini, artinya kemarahan kamu cuma bakal bikin dia merasa menang."

Nina tidak salah. Dewa tahu, memang itu lah yang diinginkan Peter. Pria itu memang suka membuat drama yang membuat hal-hal menjadi menarik di matanya. Tetapi jelas ini tidak menarik di mata Dewa.

"I'm sorry," Dewa menatap Nina penuh penyesalan.

"No, it's not your fault," ucap Nina.

Dewa tersenyum lembut. Tubuh berdenyut perih karena rasa pengertian Nina padanya. Ia mengangkat tangan gadis itu, dan mengecup buku-buku jarinya.

"Mas, can I ask you something?" tanya Nina yang membuat Dewa mendongakkan wajahnya, agak tegang.

"Sure thing, baby."

Nina membasahi bibirnya. Kemudian dengan penuh keyakinan bertanya. "Kamu udah tahu alasan Mbak Debby batalin pernikahan kalian? Kalau kamu udah tahu, dan nggak mau ngasih tahu ... it's okay. I'm just asking."

Dewa memejamkan matanya kemudian menarik napas panjang. "Aku nggak tahu dan nggak peduli lagi. Apapun alasannya, semuanya udah nggak penting. Yang penting sekarang adalah masa depanku sama kamu."

"Memang kamu nggak penasaran?" tanya Nina berhati-hati.

Dewa menggeleng. "Nope. Aku cuma mau dia berhenti muncul di hidup aku."

Nina mengangguk. Tak lagi bertanya sebab ia bisa melihat Dewa tak terlalu suka membicarakan mantan kekasihnya.

"Jangan mikir yang aneh-aneh, ya."

Nina mengerutkan kening. "Mikir aneh-aneh?"

"Em-hm." Dewa mengangguk. Menggenggam tangan Nina lebih erat untuk meyakinkan gadis itu. "Aku nggak mau kamu mikir, aku masih punya perasaan buat dia atau hal-hal semacam itu. There's nothing left for her. Or for any woman. My heart is yours. I am yours. Don't doubt that."

Nina tak akan punya waktu untuk overthinking pada Dewa karena pria itu akan selalu dengan cepat meyakinkan dirinya. Tubuh Nina terasa ringan hanya kata-kata pria itu. Ia menunduk, menatap tangannya yang digenggam Dewa erat. Kemudian mendongak untuk membalas tatapan pria itu. "Aku tahu perbuatan dia untuk sangat menyakiti kamu. Tapi waktu ngeliat kamu natap dia, I-I feel scared ..."

Dewa mengerutkan kening tak mengerti. "What are you scared of, Sayang?"

Nina mengangkat bahunya. Berusaha menguraikan perasannya lewat kata-kata karena ia sudah bertekad ingin lebih terbuka pada Dewa. Ia sudah berhasil melakukannya semalam, memberitahu pria itu tentang keluarganya, tentang perceraian orang tuanya yang disebabkan perselingkuhan ayahnya dengan sang mantan kekasih sewaktu kuliah. Tetapi tentu tidak mudah untuknya melakukannya lagi.

"I don't know," Nina menggeleng kemudian menghela napas panjang. "Tapi perasaan itu bikin aku pengen kabur."

"Don't," Dewa berkata tegas. "Don't give up on me. Don't give up on us. Jangan kabur karena sesuatu yang nggak terjadi. Karena sesuatu yang nggak benar. You just need to trust me, okay?"

Nina menganggukan kepala. Kemudian melingkarkan tangannya di pinggang Dewa ketika pria itu bergerak untuk memeluknya. Bersandar di bahu Dewa sembari memejamkan matanya. Menghirup aroma sandalwood dari tubuh Dewa yang menenangkan. Lalu merasakan pria itu naik ke atas tidur bersamanya. Menyimpan posisi itu untuk waktu yang lama. Sampai kantuk menyerangnya, dan Nina pun tertidur di dalam pelukkan Dewa.


 


 

***


 


 

Dewa mengecup kening Nina begitu merasakan deru napas gadis itu yang teratur. Berhati-hati, Dewa turun dari tempat tidur agar tak membangunkan Nina yang tertidur pulas.

Seharusnya ia lebih peka dengan tak mengajak Nina berjalan-jalan sampai sore hanya karena ingin menghabiskan waktu bersamanya berdua saja. Demi mendapatkan cuti, Nina lembur sampai pagi agar pekerjaannya cepat selesai. Semalam pun mereka berada di luar ruangan cukup lama. Angin malam jelas membuat tubuh Nina lebih rentan terhadap penyakit. Ditambah tadi pagi Nina yang tak enak menolak ajakan Emila, terpaksa ikut berenang. Dewa mengutuk keegoisannya yang malah mementingkan dirinya sendiri.

Dewa mendesah pelan sambil mengusap wajahnya kasar ketika keluar dari kabin. Kemudian  menyusuri dek yang kosong. Ia menaiki tangga sampai akhirnya tiba di flying bridge—di sana, semua orang tengah berkumpul sambil bercengkrama dengan musik yang dihidupkan keras. Termasuk Debby yang menjadi orang pertama yang menyadari kehadirannya. Tetapi Dewa tak peduli, bahkan mengabaikan ketika suasana langsung berubah sunyi begitu semua orang berpaling padanya.

"Wa," Emila memecah suasana dengan bertanya. "Nina gima—"

Tetapi Dewa tak mendengarkan wanita itu dan malah mengambil langkah cepat dan tajam menuju Peter. Meraup kerah baju pria itu kemudian membenturkannya ke dinding kapal.

Suara gedebuk yang keras membuat semua orang terkesiap dan menahan napas mereka.

"What the heck, man?!" Peter melebarkan matanya. Menatap Dewa kesal.

"Whatever you're planning, you better stop now." Peringat Dewa. "My patience also has limits."

Peter membuka mulutnya tak percaya, kemudian mendengus. "You're overreacting, man. Debby juga teman gue. Memang apa salahnya gue ngundang dia juga ke party gue?"

"Gue nggak peduli lo mau ngundang dia atau nggak. Tapi nggak di saat ada gue dan Nina."

"Ah, your lovely girlfriend, huh." Peter tersenyum miring.

Dewa mengeratkan cengkramannya. Menekan tangannya hingga Peter berusaha meloloskan diri karena lehernya yang tercekik. Ia sudah berjanji pada Nina tak akan pernah berkelahi lagi. Tetapi cara Peter meremehkan Nina sungguh membuatnya meledak. Amarah menyambar ke seluruh pembuluh darahnya bagaikan guntur. Pria ini benar-benar pandai bermuka dua. Di depan Nina dia bersikap ramah, tetapi di belakang dia meremehkan kekasihnya.

"Wa, calm down," Kemal mendekat panik, berusaha untuk menengahi ketika Peter terlihat kesulitan bernapas.

Dewa tak mengindahkan. Menambahkan tekanannya di leher Peter. "I warned you, be careful what you say about my girlfriend."

"What did I say?" Peter menyahut dengan cara menyebalkan. Menolak kalah atau pun melunak. "Gue selalu bersikap baik sama pacar lo. Even, gue nggak ngerti kenapa lo sebegini sama dia. Lo nggak mungkin mau married sama dia, kan? Dia nggak selevel sama lo, Wa. Masih ada Debby—"

Rahang Dewa mengeras. "I'll marry her," selanya tegas. "Dan dia jauh lebih baik dari gue. Lebih dari semua cewek yang pernah sama gue. Don't act like you know everything about me."

"You must be kidding me," mata Peter membelalak tak percaya.

"And just so you know," Dewa mendekat wajahnya. Memberi ultimatum pada Peter. "Gue nggak akan berpikir dua kali buat milih dia daripada pertemanan gue sama lo. Lo masih butuh gue di perusahaan keluarga lo. Tapi gue nggak butuh lo dalam hal apapun. So, you better shut the fvck up! Or I'll kill you!"

Peter menegang ketika Dewa menyentaknya, mengambil langkah mundur dan meninggalkan tempat itu penuh keyakinan.

"Sadewa," Debby memanggil ketika berhasil menyusul Dewa di dek.

Dewa berhenti, membuang napas kasar ketika membalikan badannya. Tak ada kasih sayang di sana. Hanya ada kebencian yang membuat siapa pun yang ditatap seperti akan menggigil ketakutan "Go away, Deb," ucapnya dingin. "There's nothing I want to talk to you."

"But I have," lirih Debby yang tampak terluka.

Dewa tertawa getir. Menggelengkan kepalanya. "Don't care," ucapnya sebelum akhirnya membalikan badan dan meninggalkan wanita itu yang terdiam lemas.


 


 


 

***


 


 


 

"Peter such a dickhead," Emila mengumpat jengkel di samping Nina. "Aku udah curiga dia bakal ngerencanain sesuatu—cuma aku nggak nyangka dia bakal ngundang Debby ke sini buat bikin kamu kesal."

Nina menunduk menatap orange juice di tangannya. Menikmati semilir angin sore dengan pemandangan laut yang menakjubkan. Yeah, ia tak ingin mendekap di dalam kabin dan menyembunyikan dirinya seperti pengecut. Dewa telah meyakinkannya. Dan Nina bertekad keluar dari cangkangnya.

Mereka kini tengah duduk di sun deck dengan pemandangan indah matahari yang setengah terbenam. Sedikit banyaknya hal itu membuat perasaan Nina lebih baik. Ia terbangun dengan Dewa yang memandanginya. Pria itu begitu manis sampai sekujur tubuhnya terasa geli. Di tengah itu, Emila dan Angga mengetuk pintu kabin mereka. Mengajaknya duduk di sun deck untuk menikmati sunset.

Dewa menolak. Nina mengiakan. Dan sudah jelas keinginan siapa yang terkabul.

"Aku nggak kesal," Nina menggelengkan kepalanya tenang, kemudian berpaling pada Dewa yang tengah bicara dengan Angga di pagar pembatas. "Cuma Mas Dewa pasti nggak nyaman."

"Yeah, siapa yang bakal nyaman ketemu mantan yang batalin pernikahan seenak dengkul?" cetus Emila masam. "Tapi beneran kamu nggak kesal? I mean, kalau aku sih bakal marah banget. Terus maksa balik sama Angga walaupun kami harus berenang di laut. Nggak sudi aku menghirup udara yang sama dengan mantannya Angga."

Nina terkekeh kecil. "Mas Peter punya hak buat ngundang siapa aja. Cuma dia egois nggak mempertimbangkan perasaan Mas Dewa. Soal mantannya ..." Nina membasahi bibir. "Aku nggak tau harus merasa gimana sama dia. Iya, awalnya aku kaget dan agak insecure karena dia sempurna banget. Tapi nggak ada yang bisa aku lakuin soal masa lalu dia sama Mas Dewa, right?"

"Nina," Emila terpengerangah sembari menatap Nina lekat-lekat. "Kamu dewasa banget, ya."

Nina menggeleng. Tersenyum sedikit. "I'm not. Aku cuma nggak mau overthinking sama sesuatu yang nggak bisa aku kendaliin."

"You're right," Emila manggut-manggut. "Dan kamu nggak perlu insecure sama Debby. Well, aku harus akuin dia memang perfect dalam semua hal. Tapi bukan dia yang terbaik buat Dewa. Aku udah kenal Dewa lama, bahkan semenjak dia pacaran sama Debby. Dan aku bisa pastiin kalau dia lebih baik, dan bahagia sama kamu. Kamu kasih Dewa perubahan yang positif, dan menurutku pasangan yang tepat ... yaaa, kayak gitu. Kasih dampak positif ke pasangannya."

Nina membasahi bibir. Ia dengan yakin mengatakan Dewa adalah pasangan yang luar biasa. Dan sejujurnya, Dewa pun memberikan perubahan yang baik untuknya. Tetapi ia tak pernah tahu jika ia adalah wanita yang tepat untuk Dewa.

"You know, sepanjang aku mengenal Debby, dia bukan tipe cewek nyebelin. But still, I'm on your side. Apalagi sikap dia sekarang itu nggak banget. Dia dengan sadar nerima undangan Peter padahal dia tahu Dewa bakal sama pasangannya? Like, woman, what the hell? Apalagi dia terus-terusan berusaha buat minta Dewa ngomong sama dia—" Emila memutar bola matanya. Bercerita dengan menggebu-gebu. "Padahal Dewa udah tegas nolak. Kayak ... hellooo ... mbak? Pacar gue nggak mau! Kenapa maksa, sih?!"

Nina tersenyum karena keekspresifan Emila—yang sedikit mengingatkannya pada Sisy.

"Mungkin mereka memang butuh ngobrol?" Nina mengangkat bahunya. Ia sebenarnya tak yakin dengan pendapatnya. Tetapi ia berharap dengan begitu wanita itu akan berhenti berusaha mengajaknya Dewa bicara. Astaga, apakah ia bersikap posesif sekarang?

"What?!" Emila membelalakan matanya tak percaya. "Kamu serius biarin Dewa berduaan sama mantannya?"

"Aku percaya sama Mas Dewa," angguk Nina yakin.

"Ya ... iya, sih. Dewa nggak bakal aneh-aneh. Tapi tetap saja," ringis Emila. Kemudian menyugar rambut ke belakang karena tiupan angin. "Jaga-jaga gitu."

Setelah diam beberapa saat, Emila kembali menatap Nina. Kali ini dengan ekspresi berbinar-binar di matanya. "Malam ini kamu nggak mungkin ngurung diri di kamar, kan? You should join the party."

Nina merapatkan bibirnya, menoleh pada Dewa yang beberapa detik kemudian menyadari tatapannya, lalu ersenyum padanya.

"Aku nggak yakin Mas Dewa mau," katanya dan kembali menatap Emila.

"Yeah, tapi masa kalian berdua mau sembunyi? That dickhead will feel like he won! Plus, masa kamu nggak mau pamerin kemesraan kamu di depan Debby, sih?" Emila tersenyum penuh arti sambil menaik-turunkan alisnya.

Nina tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Come on, Kanina," bujuk Emila. "Show the world that he's your man. And nothing can separate you two."

Nina menggigit bibir. Menimang-nimang saran Emila yang sepertinya tidak ada salahnya untuk dilakukan.

Bersambung.

 

32 | clingy


Dewa memeluk pinggang Nina posesif begitu mereka tiba di flying bridge. Meja telah terisi dengan minuman-minuman beralkohol serta beberapa pencuci mulut. Musik yang berdentum keras membuat kehadiran mereka tak begitu disadari. Dewa menunduk, memandangi Nina yang menggigit bibirnya cemas. Sesuatu yang membuat hati Dewa meleleh bagaikan mentega yang dipanaskan.

Ia sudah benar-benar jatuh cinta pada gadis itu. Tak ada keraguan lagi.

Ketika Nina memberi tatapan memohon agar mereka bergabung dalam pesta yang diadakan Peter—Dewa tak kuasa menolak. Padahal tak seorang pun yang bisa membujuknya hadir di acara dimana juga ada Debby di sana. Tetapi Dewa tak bisa menolak Nina. Meskipun permintaan gadis itu adalah hal yang paling tak ia sukai sekali pun.

"I know she has hurt you very much. And I wish I could take that pain away from you. But we need to face it, Mas. Kayak kamu yang bikin aku akhirnya memberanikan diri buat keluar dari cangkangku, dan menyambut kamu tanpa keraguan. Aku pengen kamu juga lepasin rasa sakit itu. Because I'm here,"Nina tersenyum lembut menatap Dewa dengan cara yang membuat perut Dewa melilit. "With you."

Debby adalah masa lalu yang sudah tak berarti apa-apa lagi untuk Dewa. Tetapi ia harus mengakui, jika kekecewaannya yang begitu mendalam membuatnya menyimpan rasa sakit itu tanpa sadar. Rasa bersalah pada sang ibu yang begitu besar terus mencekiknya. Dewa bisa memaafkan dirinya sendiri dan Debby jika hal itu hanya berimbas pada dirinya. Sayangnya, kebodohannya juga berimbas pada keluarganya ... ibunya ... wanita yang sudah melahirkannya.

Dewa tak mungkin bisa melupakan itu.

Sampai genggaman tangan Nina melembutkannya. Sampai gadis itu menatapnya dengan penuh kasih sayang.

Ia tahu Nina memiliki perasaan padanya. Tetapi mendengar langsung dari mulut gadis itu, Dewa tak mampu membendung kebahagiaannya. Ia sudah menunggu momen ini penuh kesabaran, dan itu semua setimpal dengan betapa kuatnya pondasi antara mereka sekarang.

"I won't take my eyes off you,"

Nina menoleh sembari mendongakkan kepalanya. Bibirnya menyunggingkan senyum kecil lalu berkata."You'll fall if you don't take your eyes off me, Mas."

"I don't mind." Dewa menaikkan sudut bibir yang ditambah dengan sorot mata playful. "Besides, I've already fallen for you."

Bahu Nina bergetar oleh tawa, dan tidak ada yang lebih indah dari apa yang Dewa lihat sekarang. "Nice shoot, Mas," katanya lalu mengalihkan pandangan dari Dewa dengan pipi memerah.

Dewa mengulum bibirnya. Selalu gemas ketika Nina tersipu oleh perkataannya. Dan selalu ada kebanggaan akan hal itu.

Mereka mengambil langkah ketika Emila mengangkat tangan dan meminta mereka untuk bergabung. Dewa memeluk pinggang Nina hingga mereka semakin merapat. Tak repot-repot menunjukkan keramahan pada Peter yang duduk tak jauh dari mereka—bersama Kemal dan kedua pasangan mereka. Oh, tentu saja juga ada Debby yang terus menatapnya.

"Nina, you look so pretty," Emila tersenyum ceria. Bercipika-cipiki dengan Nina memang tampang sangat cantik malam ini.

Dewa tak berdusta ketika mengatakan ia tak akan mengalihkan pandangan dari Nina. Kekasihnya sungguh tampak memesona dengan midi dress hitam di bawah lutut. Potongannya yang feminim membentuk lekuk tubuh Nina yang indah. Memberi kesan anggun dan chic secara bersamaan.

"You're prettier, Em." Balas Nina merendah.

"Hi, guys," sebuah suara yang menginterupsi membuat Dewa menghela napas. Berpaling bersama Nina yang juga menoleh pada sumber suara. Ia memperhatikan senyum ramah yang tercetak di bibir kekasihnya. Tampak begitu tenang dan anggun. Membuat Dewa tersenyum bangga dan mengusap pinggang Nina dengan mesra.

"Oh, hi, Deb," Emila mengerjap. Terlihat canggung dengan kemunculan Debby yang berani.

Debby tersenyum. "You look good, Em."

"Thank you. You too," balas Emila seadanya.

Kemudian perhatian Debby berpindah pada Nina. Sambil mempertahankan senyum di wajahnya, Debby mengulurkan tangan. "You must be Nina. Hi, I'm Debby," ucap memperkenalkan diri yang kemudian melirik Dewa yang tampak tak suka dengan kehadirannya. "Peter's friend."

Nina menyambut uluran tangan itu dengan senyum ramahnya. "Nina. Pacarnya Mas Dewa."

Dewa menahan diri agar tak tersenyum konyol. Sementara Emila dan Angga saling pandang penuh arti.

"I see," Debby mengangguk getir. Kembali melirik Dewa yang enggan menatapnya. "You're lucky girl, Nina."

Nina tersenyum. "Yes, I am."

Dewa merasa dadanya bisa meledak mendengar ucapan Nina. Ia menatap gadis itu dengan perasaan yang membuncah karena keekspresifan Nina.

Nina bisa melihat kesedihan dan penyesalan di mata Debby. Seperti yang sudah ia duga sejak melihat feed instagram wanita itu yang masih dipenuhi dengan foto-foto kebersamaannya dengan Dewa—jelas sekali Debby belum melupakan Dewa. Ia hanya tak mengerti kenapa dia membatalkan pernikahan begitu saja jika perasaannya pada Dewa masih ada.

"Let's get a drink, sayang," Dewa menarik perhatian Nina. Membawa kekasihnya menjauh tanpa peduli dengan keberadaan Debby.

Nina mengangguk. Mengambil mocktail yang Dewa berikan padanya "Ini non-alkohol. You can drink it."

"Thanks," Nina menyesap minuman pelan ketika melihat Kemal mendekati mereka.

Nina melirik Dewa yang membuang napas keras. Membuatnya menggerakkan tangan mengusap lengan pria itu hingga perhatian Dewa teralih padanya—dan seketika kejengkelannya digantikan dengan kelembutan yang menggeliat masuk ke hati Nina.

"Looking good, Nin," Kemal menyapa dengan gaya kekanak-kanakannya.

Dewa memutar bola matanya. Kemal jelas tak peduli dengan ancamannya. Dan akan selalu menggoda Nina di depan matanya untuk membuatnya kesal.

"Thanks you, Mas," Nina tersenyum geli. Menggeleng-gelengkan kepalanya melihat ekspresi jengkel di wajah Dewa karena kejahilan Kemal.

"Kenapa tuh pacar kamu. Butek amat mukanya," ledek Kemal.

"Shut up!" ketus Dewa.

Nina terkekeh. "Mas Dewa emang lagi sensitif, Mas."

"Oh, pantes, Nin. Betah kamu, Nin, sama cowok grumpy kayak Dewa?"

"Gue nggak grumpy!" Dewa mendelik. "Mending lo pergi deh, Mal. Daripada gangguin gue sama Nina!"

"Siapa juga yang ganggu?" sahut Kemal cemberut. Kemudian berpaling pada Nina dengan senyum manis. "Aku nggak ganggu kok, Nin. Aku mau ngajak kamu join games! Sama Dewa mulu mah nggak seru. Mending sama aku, seruuu."

"Nggak, Mal. Nina nggak mau—"

"Sure, Mas," angguk Nina.

"Sayang," Dewa protes. Menatap Nina terkhianati. "Kamu lebih pilih dia dibanding aku?"

Nina tertawa kecil. "Kamu juga ikut, Mas." Menggandeng tangan Dewa mesra. "Katanya malam ini mau jadi bodyguard-ku, kan?"


 


 

***


 


 

Entah siapa yang menjaga siapa sekarang.

Alasan Nina menerima ajakan Kemal adalah karena ia tidak ingin membuat suasana menjadi dingin antara Dewa dan teman-temannya. Meskipun Peter sendiri yang malah menjaga jarak—duduk bersama Debby yang terus menatap Dewa penuh harap.

Nina sudah bertekad untuk tidak terpengaruh. Tetapi sulit sekali untuknya mengenyahkan rasa cemburu dan posesifnya. Membuatnya dengan sadar bersikap lebih mesra pada Dewa. Melingkarkan tangan pria itu di perutnya, sementara ia bersandar di dada Dewa dengan  sikap nyaman.

Emila yang melihat itu langsung tersenyum penuh arti. Menganggukkan kepalanya mendukung Nina. Go girl!

Dewa yang mulanya terkejut pun akhirnya malah menyeringai senang. Menyambut kemesraan Nina dengan terbuka. Pria itu menyandarkan dagunya di puncak kepala Nina. Tak ragu mencium tengkuk dan leher Nina di depan orang-orang. Atau menarik gadis itu agar duduk di pangkuannya, saat menunggu giliran mereka untuk bermain.

Perhatian sepenuhnya tertuju pada Nina. Tak sekalipun Nina merasa Dewa peduli dengan eksistensi wanita lain—terutama mantan kekasihnya yang memperhatikan mereka.

Nina memang risih karena tidak terbiasa awalnya. Tetapi lama-lama ia merasa nyaman dan malah terus menempel dengan Dewa seperti perangko. Terutama ketika ia terus saja kalah sehingga selalu berada di posisi bawah.

"Kayaknya aku bakal kalah lagi," ringis Nina ketika Dewa menarik pinggangnya dan memeluknya dari belakang. Bibir pria itu turun, mengecup bahunya lembut. "Padahal biasanya aku selalu menang ngelawan Kian."

Dewa tergelak. "Sekarang kamu harus curiga. Jangan-jangan Kian sengaja ngalah buat kamu."

Nina terdiam sebentar. "Iya juga, ya."

Permainannya sangat familiar dan sebetulnya mudah. Mereka bermain kartu UNO, ular tangga, jenga—tetapi sepertinya ini bukan hari keberuntungan Nina karena ia selalu kalah dalam permainan. Tidak ingin sang kekasih menerima hukuman, Dewa pun dengan gentleman menggantikan Nina dengan meminum semua vodka yang seharusnya diminum oleh kekasihnya.

Akibatnya, Dewa mabuk.

Wajah pria itu sudah memerah dan dia mulai melantur.

"Gue nggak suka sama lo ya, Mal," racau Dewa sembari menunjuk Kemal sebal. Pria itu terhuyung-huyung, tak mampu berdiri tegak. "Berani-beraninya lo godain Dewa Nina depan gue! Dia punya gue! Pacar gue!"

"Mas," Nina memeluk Dewa, berusaha menurunkan tangan pria itu. "Stop it!"

"Sayang, kamu nggak mungkin tertarik sama Kemal, kan?" Dewa berpaling padanya dengan mata sedih. "Dia itu playboy, Sayang. Dan aku tahu kamu nggak suka cowok playboy. But still, dia godain kamu terus."

"Habisnya pacar lo cantik, sih!" Kemal menyahut jahil.

Dewa menggeram marah. Siap mengamuk lagi andai saja Nina tidak buru-buru memeluk pria itu agar dan tak menghampiri Kemal. "Mas, aku nggak tertarik sama Mas Kemal. Sama sekali nggak."

"Serius?" mata Dewa mengerjap penuh harap.

"Silly you." Nina terkekeh. Kemudian mengangkat lengan Dewa agar melingkar di lehernya. "Kamu kayaknya harus tidur."

Dewa mengangguk sambil menyusupkan wajahnya di ceruk leher Nina. Menghidu aroma Nina dengan candu. "Mmmm ... tidurnya sambil dikelonin kamu."

Nina merasakan pipinya memanas. Beruntung Dewa mengatakan dalam bisikan sehingga orang-orang tak mendengarnya.

"Nin, udah biar kita aja yang bawa Dewa ke kabin," Angga menginterupsi bersama Kemal yang masih cengar-cengir. "Badan segede gini masa kamu yang bawa?"

Nina mengangguk. Sebetulnya juga tidak yakin bisa membawa Dewa sendiri. Dewa yang kehilangan kontak fisik dengan Nina langsung tantrum. Membuat Angga memutar bola matanya sementara Kemal tertawa terpingkal-pingkal. Tampak sangat terhibur melihat kekonyolan temannya.

Alhasil, Nina harus turun tangan dan menenangkan Dewa yang sudah berantakan. Rambut pria itu acak-acakan. Dan tiga kancing kemejanya terlepas. Nina harus menahan tangannya agar tak memasangkannya kembali karena penampilan Dewa sekarang sungguh seksi dan menggoda.

Nina membuka pintu kabin, membiarkan Angga dan Kemal masuk dan melemparkan Dewa ke atas tempat tidur tanpa kelembutan. Nina ingin protes. Tetapi ia hanya mampu menggigit bibirnya, menahan diri untuk tak melakukannya.

"Kalau dia kurang ajar, kamu pukul aja kepalanya." Canda Angga. "Dewa mode tipsi suka rese emang."

Nina mengangguk sambil tersenyum kecil. "Thanks, Mas," katanya pada Angga dan Kemal.

Nina menutup pintu begitu kedua pria itu keluar. Kemudian memutar tubuhnya dan mendekati Dewa yang mengerang di bantal. Nina berlutut. Tersenyum kecil sambil mengusap rambut Dewa lembut. "Makasih ya, Mas. Gara-gara aku kamu jadi mabuk berat gini."

Dewa menggeleng dengan mata terpejam. Meraih tangan Nina di rambutnya. "Kamu nggak suka minum," gumamnya dengan suara teredam di bantal.

"Ya," Nina mengangguk. "That's why, aku berterima kasih banget sama kamu."

"No worries. I'll do anything for you."

"I know," Nina diam sejenak. Merasakan usapan lembut jempol Dewa yang menyapu punggung tangannya. Membiarkan pria itu tenang. Begitu genggaman tangan Dewa mengendur, Nina pun bangkit berdiri. Dengan lembut menarik tangannya dari Dewa.

Setelah yakin pria itu tertidur pulas. Nina membalikkan badan, berniat untuk mengganti pakaian di dalam kamar mandi andai saja tangannya tidak tiba-tiba ditarik hingga tubuhnya terhuyung dan jatuh ke pangkuan Dewa yang sudah bangkit berdiri.

"Mas," Nina mengerjapkan mata. Salah satu tangannya sudah berada di bahu pria itu. "Aku pikir kamu tidur."

Dewa menggeleng. Kepalanya memang terasa berat. Tetapi kehadiran Nina terlalu mendominasi jiwa dan pikirannya. "I'm not."

Nina memiringkan kepalanya. Menatap Dewa yang kini tampak normal dan tenang. Meskipun wajahnya masih memerah dengan mata sayu.  "Udah sadar?"

Dewa terkekeh kecil. Melingkarkan tangannya di sekeliling tubuh Nina hingga jarak di antara mereka pupus. Nina terasa begitu mungil dan feminim di dalam pelukannya. "Cukup sadar buat notice kamu mau pergi," gumamnya dengan suara parau. Terdengar seksi di telinga Nina. "Mau kemana, hm?"

"Ganti baju," jawab Nina sembari menatap mata gelap Dewa yang memesona. "Aku nggak mungkin tidur pakai baju ini, kan?"

Pandangan Dewa bergerak ke bawah. Pada midi dress yang dipakai Nina dengan darah yang tiba-tiba berdesir. "Right," angguknya berat. Tetapi ia tak melepaskan Nina. Malah tangannya bergerak di punggung Nina. Memberi usapan naik turun yang sensual.

Nina membasahi bibir gugup. Tak mampu berpaling dari wajah Dewa yang tampan. Jarak mereka yang begitu dekat membuat Nina bisa mencium aroma maskulin dari tubuh Dewa. Sangat menggoda, dan panas. Malam ini mereka melakukan banyak kontak fisik—dimana hal itu menyebar sensasi menggetarkan di sekujur tubuh Nina. Ia mencoba untuk mengenyahkan bayangan nakal di dalam kepalanya. Tetapi cukup sulit.

Terlebih Dewa mendekapnya sekarang. Pelukkan pria itu begitu lembut dan hangat. Nina merasa aman kendati posisi mereka saat ini cukup berbahaya. Jantungnya berdegup kencang di tengah keheningan yang menggetarkan di antara mereka berdua.

Dewa terus menatapnya lekat-lekat, dan Nina makin kesulitan bernapas karena pria itu tak melakukan apa-apa.

Oh, bukannya Nina mengharapkan apa-apa. Tapi ... jika Dewa terus menatapnya begitu, Nina bisa meleleh.

"Mmm ..." Nina begumam. Mencoba untuk bersuara meskipun otaknya tak bisa menemukan sepatah kata pun.

"Mmm ...?" Dewa mengikuti dengan sudut bibir terangkat. Melemparkan tatapan playful yang membuat wajah Nina memerah.

"Mas," tegur Nina cemberut.

Dewa tertawa kecil. Mengangkat salah satunya tangannya untuk membelai pipi Nina yang memerah.

Itulah kenapa dia selalu memanggil Nina 'sweet cheeks'. Gadis itu begitu menggemaskan saat salah tingkah. "I want to kiss you," bisik Dewa. "But I must smell of alcohol."

Perut Nina melilit karena perhatian kecil yang Dewa. "I don't mind," cicitnya pelan.

"Hmm?"

Nina menggigit bibir, kemudian menundukkan wajahnya karena tidak bisa menatap Dewa ketika mengatakannya. "You can kiss me," lirih. "I don't mind."

Bibir Dewa berkedut menahan senyum karena sikap Nina yang begitu menggemaskan.

"Then look at me," Dewa menarik dagu Nina, mempertemukan tatapan mereka. "You have to look at me so I can kiss you."

Dengan begitu, wajah Dewa bergerak maju dan mencium lembut bibir Nina yang terkatup. Dikecupnya bibir ranum itu berulang kali, menggodanya hingga akhirnya terbuka. Dewa tersenyum. Kemudian memiringkan kepalanya ketika ia melumat bibir atas Nina. Melepaskannya, lantas pindah ke bibir bawah gadis itu.

Hening yang membungkus membuat suara kecap bibir itu terasa jelas. Mengirim sensasi medan listrik ke sekujur tubuh mereka berdua.

Malam terasa dingin, tetap tubuh mereka malah menghangat.

Nina mengalungkan lengannya di seputar leher Dewa. Terhanyut dalam belaian lembut bibir pria itu yang mencicipinya. Menghapus rasa malu yang ia rasakan dan membiarkan gairah mendorongnya maju.

Dengan bibir terbuka, Nina menyambut lidah panas Dewa yang menjalahinya rongga mulutnya. Merubah kenikmatan lugu itu menjadi liar. Dewa kian membakarnya di setiap pagutannya. Napas panas mereka beradu. Lidah saling membelai. Dan tubuh mereka kini melekat dalam gerakkan menggoda.

Nina mengeratkan dekapannya di tubuh Dewa sementara salah satu tangannya memanjat ke atas, tenggelam dalam helai rambut gelap Dewa yang halus. Beputar dalam cumbuan yang mereka yang kian panas. Dan tak ada yang tahu, sampai batas mana mereka bisa menghentikannya.


 

Bersambung.


 


 


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Called It Love
Selanjutnya (Don't) Play With Fire - Extra Chapter (Bagian 5)
16
1
CuplikanPria itu menatap sang istri lembut, penuh cinta, dan hangat. Hati Kylandra terasa penuh karena Keelan terus mengisinya dengan kasih sayang yang tak pernah usai. Kylandra mengambil langkah mendekat. Menjijitkan kaki untuk mengecup pipi Keelan. “Morning,”“Morning, my love.”Kylandra kemudian merunduk, mencium Kashira. “Morning, baby K.”“Mama! Mama,” Kashira berseru semangat. Tangan mungil terkepal di udara. Menggeliat di dalam gendongan Keelan.“Aduh, aduh, aduh, mau sama mama ya, Sayang,” Kylandra terkekeh kecil. Kemudian mengulurkan tangan untuk mengambil Kashira dari gendongan sang suami. “Sama mama, ya. Sama mama.”
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan