Called It Love - 25, 26, 27, 28

6
0
Deskripsi

25. Blinding lights

26. I missed you 

27. Brother

28. Invitation 

25 | blinding lights


"Okay, all good." Samudera tersenyum, menatap Nina yang mengangguk dengan napas lega setelah pekerjaan mendapat acc dari sang creative director. Gadis itu mengambil iPad miliknya, siap untuk beranjak andai saja ia tak menyadari Samudera kini mengulum bibir, memandangnya penuh arti.

Nina membuang napas panjang. Bisa menebak apa yang pria itu pikirkan sekarang. "Kenapa, Mas? Kamu juga mau nanya soal kebenaran aku yang pacaran Mas Dewa atau nggak?" tanya Nina kalem.

Samudera terkekeh sambil menggelengkan kepalanya kecil. "Nope. Aku tahu cepat atau lambat kalian pasti pacaran."

Kening Nina mengerut. Tak menyembunyikan kebingungan dan rasa penasarannya. "Meaning?"

Sepertinya ia cukup berhati-hati selama di kantor. Well, walaupun tetap saja orang-orang langsung curiga ketika melihatnya pulang bersama Dewa. Lebih dari pada itu, kencan mereka di Pasific Place telah menjadi bahan omongan—yang membuat Nina sering sekali dilirik-lirik ketika ia turun untuk makan siang di kantin, atau jajan kopi di TheWall. Tapi Nina mencoba masa bodoh. Kalau pun ada orang yang kepo, Nina hanya menjawabnya dengan senyum paksa.

"Beberapa bulan yang lalu, Dewa nanyain kamu sama aku. Dia minta bantuanku buat bisa dekat sama kamu. He looked so hopeless." Kekeh Samudera ketika mengingat bagaimana gusarnya Dewa. "But, well, aku rasa dia harus usaha sendiri kalau memang mau mengenal kamu. And he did it!"

Nina mengira Dewa hanya menanyakan soal dirinya pada Samudera, tidak sampai meminta bantuan. Pria itu tampak tenang dan santai ketika melakukan pendekatan dengannya—siapa yang menyangka pria itu ... hopeless?

Terdengar agak mustahil sampai Nina sulit mempercayainya. Tapi di saat yang sama, ia tahu Samudera bukan tipe orang yang suka melebih-lebihkan sesuatu.

"He's good man," Samudera berkata, kemudian menambahkan dengan nada tulus. "And I'm really happy for both of you."

Nina tersenyum hangat. "Back at ya, Mas. Kamu juga, semoga lancar pernikahannya sama kak Raline nanti, ya."

Memang belum diumumkan secara resmi—tetapi Nina mendapatkan privilege sehingga mengetahui kabar bahagia itu lebih awal. Meskipun sudah menjadi mantan kekasih, mereka berhubungan dengan sangat baik. Samudera bahkan menjadikan Nina tempat curhat saat ia masih menyimpan perasaan pada Raline hingga akhirnya sekarang merencanakan pernikahan dengan sang kekasih.

Samudera mengangguk kecil. Setelah mengobrol singkat, Nina pun keluar dari ruang meeting yang memang hanya diisi olehnya dan Samudera. Ketika kembali ke kubikel, matanya berhenti pada meja Pedro yang kosong—dimana pria itu mendadak mengambil seluruh jatah cutinya selama setahun untuk sesuatu yang masih menjadi rahasia. Pedro tidak memiliki media sosial. Ketika ditanya pun, seperti biasa, Pedro bukan tipe orang yang suka membalas chat. Tak ada tanggapan dari pria itu.

Jujur saja, banyak yang mengatakan kalau alasan Pedro mengambil cuti karena patah hati. Dan semua orang langsung meliriknya penuh makna. Seolah ialah penyebabnya.

Selama ini Nina menganggap ledekan yang mengatakan Pedro menyukainya hanya candaan semata—tetapi sekarang, perlahan-lahan mata Nina terbuka dan ia menyadari jika itu bukan hanya sekedar candaan. Mungkin Pedro memang pernah menyukainya ... atau masih menyukainya.

Nina menghela napas. Seberkas perasaan bersalah membuatnya jadi tidak enak pada Pedro. Mereka rekan kerja, Nina tak pernah menaruh rasa curiga karena mereka sudah lama saling mengenal.

"Sepi juga nggak ada Mas Ped ya, Teh." celetuk Nalendra sambil menggeser kursi rodanya mendekat ke kubikel Nina. "Padahal kalau pun ada, dia diem doang kayak batu."

Nina duduk di kursi, kemudian menoleh singkat pada Nalendra. "Chat lo belum dibalas juga?"

Nalendra menggeleng. "Coba lo yang nge-chat deh, Teh! Siapa tahu dibalas."

Nina sempat ingin melakukannya. Tetapi jika benar Pedro selama ini menyukainya dan tiba-tiba mengambil cuti karena patah hati. Bukankah sebaiknya Nina tak mengganggu pria itu, dan membuatnya menjadi bingung? "Kalau lo nggak dibalas, gue pasti juga nggak dibalas. Mas Ped mungkin lagi pengin sendiri."

"Iya, soalnya patah hati lo udah pacaran aja sama Mas Arsitek."

Nin menipis bibir mencoba bersabar.

"Sometimes, I really want to kick you ass!" ucap Nina tajam

But Nalendra being Nalendra. Pria itu nyengir. "Bercanda, Teh. Lo kok balik galak lagi gini, sih? Padahal sejak pacaran sama Mas Dewa galaknya udah berkurang. Jadi berseri-seri mulu."

"Nggak ada gue gitu, ya!" bantah Nina.

"Kalau nggak, gimana mungkin gue bisa langsung nebak lo punya pacar kemarin?" Nalendra tersenyum miring. "Orang lagi kesamaran itu mau ditutupin gimana pun, nggak akan bisa."

Nina cemberut. Lantas mendorong kursi Nalendra menjauh darinya. "Pergi lo sana!"

 

***


 

"Sekarang gue ngerti kenapa kalian pada nolak kalau gue ajak keluar," Kemal memandang satu per satu temannya yang membalasnya tatapannya dengan bosan. "Will the end of the world be near? Why everyone is suddenly dating?" desahnya hiperbolis.

"I'm not dating anyone," Peter menyanggah pongoh. "I'm just having fun."

"Yeah, dikatakan orang yang liburan ke Bali ke tiap minggu buat nyamperin ceweknya." Ejek Kemal kemudian meraih cocktail-nya.

"How can I not if after that she offers me a passionate love affair?" sahut Peter sembari mengangkat gelasnya dan menyunggingkan senyum miring.

Dewa membuang napas. Mulai bosan dengan pembicaraan ini. Well, memang ini pembicaraan yang selalu ada setiap kali mereka berkumpul. Hanya saja, Dewa sudah selesai dengan kenakalan dan ingin hidup settle. Sebab itu, jika Peter atau Kemal mulai membahas wanita dan kesenangan yang mereka dapatkan, Dewa tak bisa lagi tertawa karena hal tersebut. Ia sudah muak dan jenuh.

Andai saja Nina sedang tak banyak deadline—dan tidak ingin dikunjungi oleh Dewa. Ia pasti akan menolak ajakan Kemal dengan berbagai alasan. Jelas menghabiskan waktu dengan Nina lebih menyenangkan ketimbang duduk di bar bersama teman-temannya.

Keesokan harinya setelah pengumuman heboh Kemal di grup, Peter muncul di kantor. Seperti yang Kemal katakan, pria itu sering sekali ke Bali karena memang wanita yang sedang dekat dengannya tinggal di sana. Dewa menolak memberitahu soal Nina—tetapi, yeah, hubungan mereka telah menjadi pembicaraan. Tak sulit untuk Peter langsung mengetahui sosok Nina secara nyata.

"Interesting," Peter berkata ketika menangkap sosok Nina di lobi. "She's not your type. Isn't she?"

"I don't care about the type," balas Dewa dingin.

Peter menaikan alisnya. Lalu menyeringai yang membuat Dewa waspada. "Don't you want to introduce me to your cute girlfriend?"

"For what?"

"Ah, man, come on," sebelum Dewa sempat mencegah. Peter sudah lebih dulu mengambil langkah mendekati Nina yang berjalan dengan Sisy. Dewa menggeram kesal, menyusul Peter yang sudah menyapa Nina. Kebingungan di wajah Nina langsung menghilang begitu Dewa muncul, apalagi setelah Dewa memperkenalkan mereka berdua.

Peter memang bersikap ramah dan sopan pada Nina—sampai Nina berkata kalau sepertinya Peter adalah satu-satunya temannya yang tidak genit. Tetapi sebagai orang yang sudah mengenal Peter sepuluh tahun lamanya, Dewa sangat tahu itu hanya lah kedok. Peter sangat pandai dalam hal tersebut.

"Jangan percaya sama dia, Sayang. Di antara kami berempat, dia yang paling bajingan." Ucap Dewa blakblakan. Tidak berniat menyelamatkan reputasi Peter di depan kekasihnya. Tapi Nina menanggapinya dengan tawa kecil, menyangka Dewa tidak serius berkata begitu.

Sejujurnya Dewa tidak peduli pendapat Peter. Ia hanya tidak ingin Peter mengatakan hal-hal tidak penting pada Nina.

"Anyway, let's celebrate celebrate Dewa's relationship with his cute girlfriend." Peter mengangkat gelasnya. "A toast to you and your cute girlfriend, man. Wish you a long-lasting relationship."

Kemal dengan semangat mengangkat gelasnya. Sementara Angga yang menikmati kekeruhan di wajah Dewa ikut mengangkat gelas.

"Come on, man. Tiga tahun lo jomblo, sampai akhirnya punya pacar lagi. Ini perlu kita rayain!" ucap Peter dengan nada yang terdengar begitu menyebalkan. "Dewa akhirnya move on dari Deby!"

Dewa memutar bola matanya, kemudian berkata. "Fuck off."

Peter tertawa puas. Begitu pun Kemal dan Angga yang menyeringai dan menenggak minuman di gelas mereka.

"But, seriously, let's say, lo memang nggak peduli soal tipe. Tapi Nina beda banget sama mantan-mantan lo sebelumnya," ucap Peter. "Iya nggak, Mal?"

Kemal mengangguk menyetujui. "Nina emang cantik, sih. Terus imut, lucu gitu. Cuma memang beda sama tipe lo sebelum-belumnya, man."

"Kalau udah urusan cinta, tipe nggak penting lagi!" Angga menimpali. Sebagai orang yang sudah merasakan jatuh cinta setengah mati, Angga jelas tahu alasan Dewa melabuhkan hati pada Nina.

"Cinta?" Peter mengangkat alisnya. Kemudian berpaling pada Dewa penasaran. "Don't tell me you love her?"

Dewa membuang napas. Kemudian menjawab tanpa ragu. "I do."

"For real, man?!" Bukan hanya Peter yang terkejut mendengar jawaban Dewa. Kemal pun begitu. "Lo udah pacaran berapa lama, sih? Udah cinta-cinta aja mainnya?"

"Apa pentingnya gue udah pacaran lama atau nggak?" Dewa akhirnya meriah gelasnya, mengguncang es batu di dalamnya. "In fact, gue menyadari gue memang jatuh cinta sama Nina."

"Yeah, cuma kaget aja karena kayaknya lo baru deh pacaran sama Nina." Sahut Kemal. "Emang umur Nina berapa, sih? Kayaknya masih muda banget."

"27," Dewa menjawab singkat.

"Mmm ..." Kemal manggut-manggut sembari memegang gelasnya. "Gap tujuh tahun lumayan lah. Again, lo nggak pernah macarin cewek dengan age gap sejauh itu."

"She looks innocent," Peter angkat bicara. Lalu menatap Dewa dengan seringai mesum yang langsung Dewa pahami. "Is it because she still—"

"You gotta be careful what you say, Pet," sergah Dewa dengan tatapan tajam dan nada dingin. "She's my girlfriend."

Seketika atmosfer berubah tak enak. Tetapi Peter berhasil menangani keterkejutan akan sanggahan Dewa yang dingin, lalu membalas. "Someone's being possessive boyfriend. Easy, man. I'm just kidding, okay?"

"Yeah, sebaiknya lo cari candaan yang lebih bagus dari itu." Dewa menyahut. "Cause you are simply annoying now."

"Hey, I am not annoying. Gue cuma ikut bahagia atas hubungan lo sama Nina. " Peter berkata dengan nada netralnya. "Well, gimana kalau akhir bulan ini kita liburan ke Bali? Gue rencana mau bikin cruise party, sih. Kalian bisa ajak pacar kalian. Lo bisa ajak Emila, Ngga. Dan lo bisa bawa Nina. It will be fun!"

"Terus gue bawa siapa?" sela Kemal clueless.

"Terserah. Lo bisa bisa ajak fwb-an kalau dia mau."

Kemal membuang napas. "Apa gue harus cari pacar juga, ya?"

"Jangan, deh," Angga menyela. "Kasian ceweknya."

"Brengsek lo!" decak Kemal.

Sementara Dewa hanya diam. Jelas tak berniat bergabung dalam liburan dan pesta yang diadakan oleh Peter.

Bersambung.


 

26 | i missed you


 

Saat tengah menggarap project besar, kata lembur menjadi makanan sehari-hari. Suasana kerja pun akan menjadi intens, dan penuh tekanan. Sebab itu, banyak yang mengatakan kalau bekerja di agency jangan sambil pacaran. Karena jika pasangan kalian tidak cukup pengertian—hubungan itu akan berujung toxic dan dipenuhi oleh pertengkaran.

Well, peringatan itu semata-mata bukan untuk menakut-nakuti. Nina sudah bertahun-tahun bekerja di agency, dan ia banyak melihat rekan-rekan kerjanya putus dari pacar mereka karena hal tersebut. Makanya, jarang sekali ada anak agency yang bisa menjalin hubungan dalam jangka waktu panjang. Kalaupun ada, pasti karena mereka mampu mengatur waktu dengan baik. Atau memang sudah sangat berkomitmen pada satu sama lain.

Nina tentu tidak bisa berbuat apa-apa jika hari hectic itu tiba. Bukan hanya dia sendiri dituntut untuk bekerja lebih ekstra, tim-nya pun juga kehilangan waktu istirahat sama sepertinya. Lebih daripada itu, ia tetap harus profesional. Tak mencampurkan kehidupan asmaranya dengan pekerjaan.

Nina cukup lega karena Dewa mengerti kesibukannya. Pria itu memahami jika Nina tiba-tiba meng-cancel kencan mereka karena lembur, slow response ketika pria itu mengirimkan chat, atau tak bisa menghabiskan weekend bersama karena Nina harus mengejar deadline yang semakin dekat. Pria itu bahkan beberapa kali mengirimkan makanan untuk Nina dan timnya ketika ia sedang lembur—yang tentu saja mengundang ledekan dari timnya. Membuat Nina mati-matian menahan ekspresinya agar tak kelihatan salah tingkah.

"Teh, pacar lo ngirim makanan lagi, nih!" seru Nalendra sembari menjinjing dua tumpukan kardus pizza yang ia bawa dari depan. Menarik perhatian semua orang yang tengah brainstorming di meja. Ekspresi keruh di wajah mereka seketika digantikan oleh senyum sumringah. Kebetulan, perut mereka memang sudah meronta-ronta minta diisi sejak tadi. "Langgeng-langgeng ya, Teh, sama Mas Arsitek. Mas satu ini kayaknya kalau bucin bakal kasih credit card-nya sama lo, deh."

Nina yang tidak tahu apa-apa soal itu sontak mengerjap terkejut. "Siapa yang nganterin?" tanyanya.

"Laki lo sendiri lah, Teh." Balas Nalendra, kemudian menatap Nina dengan senyum tengilnya. "Dia bilang, kami-kami harus semangat kerjanya biar project-nya cepat kelar, terus doi bisa pacaran sama lo."

Seketika pipi Nina langsung memerah. Belum lagi, ia kini dibanjiri oleh sorakkan menggodanya.

"Waduh, udah kangen berat Mas Arsitek lo nih, Nin!"

"Sumpah! Gue iri gue bilang!"

"Emang boleh kalian segemes ini? Mas Dewa treat you like a princess banget ya, Nin!"

Dewa memang tipe pacar yang royal. Pria itu hampir selalu membelikan Nina sesuatu jika ada dinas ke luar kota, menolak jika Nina mau split bill, dan tentu selalu mengirimkan makanan ketika Nina lembur atau tidak lembur. Nina mengerti selain physical touch, love language Dewa juga receiving gift—hanya saja, Nina tidak enak jika terus diberi. Tapi Dewa selalu punya penjelasan atas sikapnya, membuatnya Nina bingung harus menyahut dengan cara apa.

"Sayang, itu udah bawaan alamiku. Aku senang saat bisa ngasih kamu sesuatu. Tapi kalau itu bikin kamu nggak happy, bakal aku kurangin," balasan itu jelas membuat Nina jadi tidak enak. "Cuma nggak bisa aku hilangin. Nggak apa-apa, kan?"

Dewa memang sudah jarang memberinya hadiah. Tetapi soal mengirimkan makanan, sepertinya itu tak bisa lagi dihentikan.

Hampir semua orang-orang di kantor sudah mengetahui hubungannya dengan Dewa. Mulanya memang atensi tersebut membuat Nina tak nyaman—tetapi kabar pertunangan Samudera dengan Raline berhasil mengalihkan perhatian orang-orang.

Meskipun begitu, Nina tak ingin terlalu kentara saat di kantor. Ia mengurangi interaksi dengan Dewa di jam makan siang. Untungnya, kesempatan mereka berpapasan secara tak sengaja jarang sekali terjadi. Hubungan Sisy dan Risyad yang merenggang pun membuat gadis itu tak lagi dengan sengaja nongkrong di TheWall untuk modus ala-ala.

Lagipula, sepertinya Nina harus belajar menerima Dewa yang begitu. Bagaimanapun, Dewa hanya mengungkapkan rasa sayangnya dengan cara yang membuatnya senang dan nyaman. Rasanya agak berlebihan kalau Nina meminta pria itu tak melakukannya lagi. Terlebih, pria itu banyak mengalah dalam hubungan mereka.

Nina kadang bertanya-tanya ... apakah pria seperti Dewa memang betulan ada?

Jujur saja, perbuatan sang ayah dan perceraian orang tuanya membuat Nina skeptis pada laki-laki dan pernikahan. Apalagi sekarang kasus-kasus perselingkungan sering sekali muncul di media sosial. Membuat keinginan Nina untuk menikah semakin rendah.

Getaran ponselnya di atas meja mengalihkan perhatian Nina dari laptop. Melihat Dewa yang mengirimkan chat, Nina pun meraih ponselnya.

Mas Dewa

Sayang, masih lembur?

Nina

Masih, Mas

Kamu udah sampai apart?

Mas Dewa

Aku masih di kantor, Sayang.

Baru kelar meeting

Pulang bareng aja, ya

Aku tungguin.

Nina

Tapi aku kayaknya masih lama, Mas.

Nggak apa-apa. Kamu duluan aja.

Dewa

It's okay. Bareng aja

Aku juga mau kelarin beberapa kerjaanku di kantor kok.

Nina

Ya udah

Nanti aku kabarin, ya

Mas Dewa

Good

Keep the spirit, Sayang!

Nina mengulum bibirnya menahan senyum. Mengetahui hari ini akan pulang bersama Dewa membuat energinya tiba-tiba bertambah. Ia jadi ingin cepat menyelesaikan pekerjaan dan bertemu Dewa.

 

***

 

"Mas, kapan nih kamu mau bawa Nina ke rumah? Ini jamuran lho mama nunggunya."

Dibalik mejanya, Dewa tersenyum kalem. Meskipun omelan sang ibu cukup membuat kepalanya yang sudah mumet oleh pekerjaan makin menjadi-jadi.

"Masa sampai jamuran sih, Ma?" goda Dewa. "Mama perawatan tiap minggu gitu, nggak mungkin lah."

Kinanti Ayu berdecak di ujung sana. "Bisa aja kalau kamu kasih mama janji-janji palsu mulu!"

"Janji palsu apa, Ma?" Dewa tergelak. "Mana pernah Dewa ngasih janji-janji palsu. Apalagi sama mama."

"Ya, terus kapan bawa Nina ke rumah?"

"Kalau waktunya udah tepat, Ma. Sekarang Nina lagi sibuk. Banyak kerjaan. Aku aja jarang bisa ketemu pacarku," Dewa berkata sambil curhat colongan.

Ia sangat merindukan Nina. Meskipun satu tower—bukan berarti mereka bisa bertemu setiap hari. Proyek di Surabaya memang hampir selesai, tetapi ia juga memiliki proyek di kota lain. Dewa sudah berusaha menyusun schedule-nya agar bisa memiliki waktu luang bersama Nina. Tetapi belum tentu waktu Nina cocok dengannya. Mereka bekerja di perusahaan dimana mereka tidak bisa bersantai.

Kinanti Ayu menghela napas. "Pokoknya, ketika waktu kalian sudah sama-sama cocok. Kamu harus bawa Nina ke rumah, Mas. Udah berbulan-bulan kalian pacaran. Masa belum dikenalin ke mama secara resmi, sih?"

Dewa mengangguk meskipun sang ibu tak dapat melihatnya. "Understood, Mama. Nanti Dewa usahain secepatnya, ya," katanya.

"Yaudah, deh," sungut Kinanti Ayu yang terpaksa menerima.

Dewa membuang napas lega setelah berhasil lolos dari sang ibu, lagi.

Well, bukannya Dewa tak ingin membawa Nina ke rumah dan diperkenalkan pada orang tuanya. Dewa hanya menunggu momen yang tepat—momen dimana Nina tak lagi menyimpan keraguan padanya. Dewa tidak mau ketika ia menunjukkan niatnya yang serius secara terang-terangan, Nina akan terkejut lalu perlahan-lahan mengambil langkah mundur.

Dewa tidak ingin hal itu terjadi. Ia tidak ingin mengambil resiko apapun yang membuatnya kehilangan Nina.

Satu jam kemudian, senyum Dewa terkembang lebar saat ia mendapatkan chat dari Nina yang mengatakan jika gadis itu sudah bersiap-siap pulang. Tanpa berpikir panjang, Dewa langsung membereskan barang-barangnya lalu turun ke bawah. Menunggu Nina di lift basement karena kekasihnya tidak ingin menunjukkan hubungan mereka dengan jelas di kantor.

Bukan masalah besar untuk Dewa karena sekarang mereka tidak perlu sembunyi-sembunyi lagi. Semua orang telah tahu mereka menjalin hubungan. Dewa tahu mereka sempat dibicarakan, tetapi ia tidak ambil pusing maupun peduli. Lebih baik energi dan perhatiannya ia berikan pada hubungan mereka.

Suara denting lift terdengar. Dewa yang tengah bersandar di dinding langsung meluruskan punggungnya. Kemudian tersenyum hangat pada sosok Nina yang terkejut saat melihatnya.

"Hi," Dewa menyapa dengan suara lembut. Senang karena Nina turun sendiri dari lift.

"Mas Dewa," Nina mengerjap, kemudian keluar dari lift. "Aku kira kamu nunggu di mobil."

"Mau cepet ketemu kamu," ucap Dewa seraya memotong jarak di antara mereka, lalu melingkarkan tangannya di sekeliling tubuh mungil Nina. "Udah keburu kangen, Sayang," bisiknya. Mengecup kecil puncak kepala sang kekasih.

Dipeluk mendadak jelas membuat Nina terkejut. Ia mengerjapkan mata. Sedikit ragu-ragi  membalas pelukkan pria itu. Tetapi menimang suasana yang sepi—sepertinya tak ada salahnya melakukannya. Toh, mereka memang sudah lama tidak bertemu.

Nina mengangkat tangannya, lalu menyusupkannya ke pinggang Dewa. Membalas pelukkan pria itu yang terasa kuat, namun lembut. Matanya tanpa sadar terpejam, menikmati momen tersebut dalam diam, Tubuh Dewa yang besar membungkus tubuhnya hingga ia tenggelam. Aroma citrus yang menguar dari tubuh pria itu pun sungguh menenangkan. Bukan hanya dari rasa nyaman yang menghangatkan, melainkan juga kebutuhan yang perlahan-lahan akan menjadi candu.

Nina terlalu takut itu terjadi. Ia tidak ingin bergantung pada siapa pun. Terutama bergantung pada perasaan yang semu. Matanya kembali terbuka, lalu menarik tubuhnya dari Dewa. "Nanti ada yang liat," gumamnya sembari mendongakkan kepala menatap Dewa yang menunduk.

Pria itu mengangguk. Lantas merangkul bahu Nina. Bersama-sama mereka mengambil langkah menuju mobil. "How's your work?"

"Mmm ... pretty well. Semoga ntar malam nggak ada calling-an dadakan aja."

Dewa tersenyum. Terlihat begitu indah walaupun kemeja pria itu agak kusut dan rambut tak lagi rapi dan malah acak-acakan. "Seharusnya nggak. Kamu udah lembur gini."

"I hope so," angguk Nina mengharapkan hal yang sama.

Dewa membukakan pintu untuknya sebelum pria itu akhirnya berputar dan masuk ke sisi kemudi.

"Is is too cold?" tanya Dewa sembari mengatur suhu penyejuk udara.

"No, it' fine," geleng Nina.

Dewa mengangguk kecil lalu mulai menyalakan mesin mobilnya. Memanuvernya keluar dari basementhingga akhirnya tiba di jalan raya. Tangan besar itu kemudian mencari tangan Nina sambil berkata. "Kamu tadi udah makan? Kalau belum, kita bisa mampir buat beli sesuatu."

"Udah, kok." Nina menjawab. "Kamu gimana?"

"Aku meeting sekalian dinner tadi sama klien," Dewa menggeser kepalanya, ketika berhenti di lampu merah. Lantas mengecup buku-buku jari Nina. "I've barely seen you all week," bisiknya dengan suara yang terdengar rapuh.

"I'm sorry,"

"No, I understand," Dewa mengangkat wajahnya dan tersenyum hangat pada Nina. "I just ... missed you."

Ketulusan yang terpancar dari mata Dewa sungguh melelehkan. "I missed you too," bisik Nina tanpa sadar. Namun begitu ia menyadari, ia tampaknya tidak terkejut lagi. Karena harus diakuinya, ia memang merindukkan Dewa.

Dewa tersenyum sampai lesung pipinya muncul. Pria itu kembali mencium tangan Nina. "How about dinner in my place this weekend? Atau kamu mau kita nge-date kemana gitu?"

"No, kamu tahu aku bukan tipe orang yang suka nongkrong." Nina bergumam sejenak lalu menyambung. "Mmm ... sebelum kita dinner, kamu mau nemenin aku ke Periplus dulu nggak? Ada buku yang mau aku beli."

"Sure," Dewa dengan senang hati mengiakan.

"Perfect," Nina tersenyum pada Dewa, yang beberapa detik kemudian kembali mengarahkan pandangan ke depan, dan mulai menekan gas untuk meneruskan perjalanan yang diisi oleh obrolan kecil. Mereka membahas tanaman Nina, series yang tengah mereka tonton, dan hal-hal tidak penting yang mengundang tawa. Keduanya jelas sama-sama lelah akan pekerjaan, tetapi momen ini membuat mereka tak lagi merasakan hal tersebut.

Dua puluh menit kemudian, mobil Dewa sampai di gedung apartemen Nina. Alih-alih menurunkan Nina di lobi, Dewa malah membawa mobilnya ke basement, kemudian memarkirkannya di sana.

"Just a minute," katanya sembari melepaskan seatbelt. Kemudian meraih tangan Nina, memutar tubuhnya menghadap gadis itu. "Aku masih kangen."

"Kalau kamu mau mampir, You can—"

"No," Dewa menggelengkan kepala. Lalu melemparkan senyuman menggoda. "Kalau aku mampir nanti aku nggak mau pulang. Besides, kamu harus istirahat."

"Kamu juga harus istirahat, Mas," tatapan Nina melembut. Ia menatap Dewa yang memang tampak kelelahan. "Kerjaan kamu pasti lebih bikin pusing dari aku. And sometimes, aku amazed gimana kamu bisa ngatur waktu buat tetap nge-gym di tengah-tengah kesibukan kamu."

Mata Dewa berkilat-kilat jahil. "You know, aku harus rajin nge-gym soalnya kamu suka—"

"Stop it!" Nina melotot galak, kemudian melemparkan ancaman. "Kalau nggak aku turun nih."

Dewa tergelak kecil. "Senang banget diperhatiin pacar. Seharusnya aku pacarin kamu dari dulu ya."

"Memang yakin aku dulu bakal mau?"

"Memang kamu yakin nggak bakal mau sama aku?" tanya Dewa dengan senyum miring.

Nina mendengus. Membuang wajahnya ke arah jendela untuk menutupi semburat merah jambu di pipinya. Tetapi sebuah tangan besar dan hangat tiba-tiba menarik dagunya, dan sebelum Nina sempat berkedip, bibirnya sudah menempel dengan bibir penuh Dewa.

Ringan dan lembut.

Sentuhan tangan Dewa yang membelai wajahnya begitu berhati-hati. Seolah-olah ia adalah sesuatu yang paling berharga yang dimiliki oleh pria itu. Dewa menciumnya dengan halus dan tenang, meninggalkan kecupan-kecupan yang menggoda.

Hawa panas lambat-lambat menjalar ke seluruh tubuh Nina. Matanya terpejam dalam kuasa mantra. Tangan kekar itu merengkuh pinggangnya, memotong jarak di antara mereka.

Waktu terasa membeku, dan semua hal menghilang kecuali mereka berdua.

Lumatan Dewa di bibirnya terasa begitu memabukkan. Membuat Nina semakin hanyut. Mulutnya terbuka, dan sebuah lesakkan lidah panas seketika meluncur memasuki rongga mulutnya. Nina mengangkat tangan. Menyapu bahu lebar Dewa saat ciuman itu berubah menjadi lebih intens.

Tubuh mereka semakin dekat merapat. Mulut mereka tmenempel dengan kepala yang bergerak untuk mengeruk rasa satu sama lain lebih banyak. Lidah berlomba-lomba. Mereka berciuman seperti tidak ada hari esok. Mengisi kerinduan yang membuat mereka tidak rela mengakhirinya dengan cepat.

"Mas," Nina akhirnya menarik wajahnya. Merinding ketika mendengar suaranya yang serak. Ia mengatur napasnya yang terembus berantakan. Matanya yang terkatup pelan-pelan terbuka dengan debaran kencang di dadanya. Bertemu pandang dengan sepasang mata Dewa yang menatapnya begitu intens.

Perut Nina terasa melilit, sensasi asing membuat tubuhnya menggelenyar.

"Gosh, I missed you so much," Dewa tersenyum lembut. Mengelus pipi Nina yang memerah.

Perasaan hangat membungkus hati Nina. "I know," lalu Nina membalas dalam bisikan.

Dewa menempelkan keningnya dengan kening Nina sambil terus memegang wajah kekasihnya. "Good night, Kanina."

Nina memejamkan matanya. Berharap waktu berhenti meskipun itu mustahil. "Good night, Mas."

Dewa lantas menarik wajahnya dan mengecup kening Nina lembut. Dengan berat hati melepaskan sang kekasih, dan membiarkannya keluar dari mobilnya—-meskipun yanng Dewa inginkan adalah bersama Nina selamanya.

Bersambung.



 

27 | brother


 

Dewa bukan hanya selalu tepat waktu, pria itu terkadang suka menjemputnya lebih awal sehingga Nina harus bersiap-siap satu jam sebelum waktu janjian mereka.

Bukannya Nina komplain. Sebagai orang yang sangat menghargai waktu, ia justru merasa itu adalah nilai plus dari Dewa. Hanya saja, kalau pria itu menjemputnya lebih awal, artinya Nina juga harus bersiap-siap lebih awal. Sementara setiap kali mereka akan berkencan, Nina pasti bingung mau memakai baju apa.

Padahal baju di lemarinya sedikit sekali. Ia sengaja tak membeli banyak pakaian karena menerapkan hidup minimalis agar memudahkan hidupnya. Sekaligus mempersempit pilihan agar tak membuang banyak waktu ketika berpegian. Tetapi semenjak punya pacar, Nina merasa ia harus membeli pakaian karena tidak memiliki baju bagus untuk berkencan dengan Dewa.

Dan ujung-ujungnya, ia pasti memakai high waist loose jeans. Dipadu dengan kemeja, atau tank top yang dilapisi cardigan.

Selera fashion Nina memang monoton. Ia bahkan tidak pernah mencoba memakai warna-warna terang seperti yang dilakukan Sisy—menampilkan sisi feminimnya dengan menggunakan rok. Ia hanya pernah sekali memakai dress di depan Dewa, itu pun di kencan pertama mereka karena Nina pikir Dewa akan mengajaknya fine dining di restoran. Yeah, kendati makan malam di apartemen pria itu masih disebut fine dining, sih.

Tetapi setelah itu, Nina tak pernah lagi berpenampilan feminim di depan Dewa.

Apalagi mereka sempat backstreet, dimana perkencanan hanya bisa dilakukan di tempat-tempat tertutup. Begitu hubungan mereka akhirnya diketahui pun, mereka berdua terlalu sibuk untuk berkencan di akhir pekan. Hanya bisa memanfaatkan after office hour—yang mana Nina tidak punya waktu untuk mengganti pakaiannya dan berdandan.

Meskipun begitu, Nina tak merasa itu masalah untuk hubungan mereka. Dewa juga tidak pernah berkomentar soal penampilannya. Malah, pria itu selalu melemparkan pujian setiap kali mereka bertemu. Sedikit banyaknya, hal itu membuat Nina percaya diri.

Tetapi mengingat Dewa selalu memberikan effort lebih pada hubungan mereka, Nina pikir ini saatnya untuknya mulai melakukan hal yang sama.

Sebab itu, ia sudah membeli white long skirt di bawah dengkul yang dipadu dengan button knit cardigan berwarna hitam miliknya. Tidak terlalu berlebihan, tetapi cukup manis.

Nina tidak mengharapkan reaksi dimana mulut Dewa akan ternganga ketika melihatnya. Well, Dewa tidak memang tidak lebay itu. Tetapi tatapan pria itu yang berbinar-binar dan matanya yang terus memandanginya cukup mampu membuat Nina salah tingkah dan tersipu malu.

"Stop looking at me!" Nina memperingati, tetapi ia tak berani menoleh dan membalas tatapan Dewa yang terus saja mengambil kesempatan untuk menengok ke arahnya di sela-sela pria itu menyetir. "Kamu lagi nyetir, Mas. It's dangerous!"

"I think your appearance is more dangerous now, Sayang." Dewa membalas dengan nada diseret-seret dan senyum miring. "You look fantastic today, sweet cheeks. Kayaknya aku bakal pelototin semua cowok yang ngeliatin kamu, deh."

"Don't be dramatic," Nina berusaha menyembunyikan senyuman di wajahnya. "Penampilanku hari ini biasa aja. Nothing special."

Well, pujian Dewa baginya memang sedikit berlebihan karna Nina tidak memakai gaun super glamor dan riasan wajah cetar. Ia hanya mengenakan long skirt dan cardingan. Outfit-nya pasaran. Banyak wanita yang berpakaian sepertinya di luar sana.

"Oh, ya?" Dewa menaikan salah satu alisnya dengan gaya playful. "Aku pikir kamu dandan semenawan ini buat aku lho."

Panas merambat ke pipinya. Nina tak menjawab karena tidak ingin membantah hal tersebut.

Dewa terkekeh gemas lantas mengulurkan tangan untuk mengusap rambut Nina yang setengah dikuncir. "You look lovely, Sayang. I like it."

Perlahan-lahan, Nina memutar kepalanya menghadap Dewa, kemudian membalas dengan wajah tersipu. "Thank you. You look ... handsome too."

"Am I?" Dewa mengusap rahangnya yang tidak sekasar kemarin karena ia terlalu sibuk sehingga tidak sempat bercukur. Tetapi di kencannya, ia jelas harus berpenampilan rapi. "But, kita beneran jodoh, ya. Padahal nggak janjian. Tapi outfit kita matching gini."

Nina mengangguk menyetujui. Sembari mengamati penampilan Dewa yang tampak menawan seperti biasanya. Pria itu mengenakan jeans dengan atasan kemeja oversize berwarna putih, senada dengan rok yang Nina kenakan. Wajahnya lebih fresh sejak terakhir kali mereka bertemu. Well, meskipun Dewa dalam keadaan belum bercukur malah membuatnya kelihatan hot overload.

"Cocoklogi banget, ya, Mas," Nina mencibir dengan senyum kecil di bibirnya.

Dewa mengangkat bahu. "Cuma lebih peka sama sinyal-sinyal yang dikasih universe," katanya sok puitis.

Nina tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Sepuluh menit kemudian, mereka sudah sampai di Plaza Senayan. Dewa melingkarkan tangannya di bahu Nina ketika mereka memasuki Periplus. Gadis itu tampak bersemangat sekali mengamati buku-buku yang berjejeran di rak. Ia ingin membelikan Nina Kindle karena hobi membaca kekasihnya—tetapi Nina menolak dan menggodanya melakukan itu karena tidak ingin kalah dari Pedro.

Salah satu alasan Dewa memang karena itu. Ia tahu itu kekanakan. Hanya saja, Dewa merasa tersaingi. Ia mengutuk dirinya yang tidak berpikir sampai ke sana padahal tahu Nina suka membaca. Tapi malah pria itu untuk yang menunjukkan perhatiannya secara jelas.

"Emang kamu mau beli buku apa, Sayang?" tanya Dewa.

"Bukunya Delly Alderton sama Stephanie Garber."

Dewa manggut-manggut. Menemani kemanapun langkah gadis itu berhenti. Memperhatikan dengan cermat setiap ekspresi di wajah kekasihnya. Nina jelas sekali sangat mencintai buku.

"Sorry, bosan, ya?" Nina berkata begitu menyadari jika ia tidak tengah sendiri. Berada di toko buku memang membuatnya seperti tenggelam dalam dunia berbeda. Ia jadi lupa jika Dewa sejak tadi mengikutinya.

"Nggak kok, Sayang?" Dewa tersenyum lembut. "Aku malah senang nemenin kamu."

"Aku kalau di toko buku suka lama. Rencana mau beli dua, tapi tahu-tahu kepincut juga sama buku lain." Nina mengamati barisan-barisan buku lalu membaca sinopsisnya untuk mengetahui apakah buku tersebut cukup menarik untuk masuk ke dalam tas belanjaannya. "Mau beli yang ini juga," katanya lalu menoleh pada Dewa sambil nyengir.

Dewa terkekeh gemas. Menahan keinginan untuk mencium kekasihnya. "Sini biar aku yang bawain tas-nya," kata Dewa sembari mengambil alih tas belanja Nina yang sudah terisi empat buku.

"Nggak usah, Mas. Berat." Nina menolak.

"Karena berat makanya aku yang bawa, Sayang," Dewa berkata. Ia tahu Nina mandiri, tetapi ia ingin melakukan sesuatu untuk kekasihnya. Meskipun hanya sesimpel membawakan belanjaannya.

Nina menghela napas. Akhirnya membiarkan mengambil alih tasnya.

"Kamu suka baca buku apa, Sayang?" tanya Dewa sambil kembali merangkul bahu Nina.

"Mmm ... aku suka baca semua buku. Mau itu fiksi maupun non fiski. Kalau fiksi aku suka fantasy, thriller, sama romance. Tapi sebenarnya aku baca semua genre, sih. Menurutkan nggak ada bacaan yang useless. Mau itu fiksi maupun non fiksi pasti punya manfaat."

"Dari kecil kamu emang udah suka baca?"

Nina mengangguk. "Kata ibu, waktu umurku dua tahun, aku suka banget liatin buku dongeng. Terus, pokoknya kalau ada buku, aku pasti langsung senang. Apalagi ayah—"

Dewa menunduk karena Nina yang tiba-tiba berhenti bicara. Ini kedua kalinya gadis itu menyebut 'ayahnya' dalam obrolan mereka. Dan setiap hal itu terjadi, ekspresi Nina pasti digelayuti oleh mendung. Dewa mengerutkan kening, merasakan keanehan dari sikap Nina.

"Sayang—"

"Kayaknya udah, deh," Nina memotong ucapan Dewa dengan cepat. "Aku mau bayar sekarang."

Dewa menatap kekasihnya. Mencoba sedikit mengorek informasi. Tetapi gesture Nina yang menutup diri membuat Dewa mengangguk. "Okay,"

Nina menutup mulutnya sepanjang mereka berjalan ke kasir. Baru bersuara saat Dewa mendahului Nina untuk membayar. "Mas, kok jadi kamu yang bayar?"

"Memang kenapa kalau aku yang bayar?"

"Tapi ini kan belanjaanku."

"Dan aku pacar kamu," Dewa menyahut tenang, tersenyum pada Nina setelah proses pembayaran berhasil. Dirangkulnya bahu Nina yang masih keberatan dengan tindakan Dewa. "It's not big a deal, Sayang. Kamu nggak perlu ngerasa nggak enak. Kamu tahu aku senang beliin apa yang kamu suka."

"Tapi kamu udah banyak banget ngasih aku hadiah, Mas."

"Dan aku berniat ngasih kamu lebih banyak lagi." Dewa mengusap lengan Nina. "Because I love doing  it." Mulut Dewa terbuka, hendak menyambung ucapannya ketika seseorang memanggil kekasihnya.

"Kak Nina?"

Nina membeku dirangkulan Dewa. Ia mengenal dengan jelas suara itu. Dan ketika tubuhnya perlahan-lahan berbalik ke belakang, jantungnya terasa turun sampai perut.

"Kian," bisiknya.



 

***


 

Nina tak pernah menyangka akan bertemu adiknya di saat ia sedang bersama Dewa. Ia memang belum memberitahu Kian soal dirinya yang sudah memiliki kekasih. Sebenarnya, tidak ada keluarganya yang tahu. Ibunya pun tidak tahu. Hubungan mereka masih hanya diketahui oleh orang-orang di kantor saja karena Nina tidak pernah mempublikasikan hubungannya dengan Dewa di medsos.

Sedangkan Dewa beberapa kali membuat story ketika mereka tengah bersama—tetapi dengan wajah Nina yang tak terekspos.

"Your sister told me a lot about you," Dewa berkata memecah keheningan yang terasa canggung saat mereka berpindah ke restoran karena tidak enak mengobrol di tengah jalan. Ia menatap adik kekasihnya yang sangat mirip dengan Nina. Mengingatkan Dewa pada para pria-pria boyband Korea yang kebanyakan memiliki wajah tipe 'cantik seperti Kian'. "Oh, ya, ini siapa? Pacar, ya?" tanya Dewa dengan nada menggoda. Menatap gadis mungil dengan potongan rambut panjang yang duduk di sebelah Kian malu-malu.

"Shyana, temenku," Kian menjelaskan dengan tenang. Kemudian menatap Dewa dan Nina bergantian. "Kalau Mas? Temanan atau pacaran sama kakakku?" tanyanya blak-blakan.

Mereka hanya sempat berkenalan singkat sebelum akhirnya Dewa berinisiatif mengajak Kian dan Syhana makan siang bersamanya dan Nina.

Dewa mengerjap. Agak terkejut dengan pertanyaan itu karena ia pikir Nina sudah menceritkan hubungan mereka pada keluarganya.

"Kita temanan apa pacaran, nih?" ucap Dewa sambil menatap Nina dengan sudut bibir terangkat.

Nina yang sempat melamun terperanjat kaget. Ia menatap Dewa, kemudian Kian yang menunggu jawaban darinya. Menjadi pusat perhatian jelas membuat Nina gugup. Ia membasahi bibir, kemudian berdeham untuk melegakan tenggorokannya. "Mmm ... Mas Dewa pacarku, Dek," aku Nina lambat-lambat.

Diamati ekspresi Kian yang tak banyak menunjukkan emosi. Sang adik hanya menganggukkan kepalanya mengerti. "I see," lalu berpaling pada Dewa dengan tatapan penuh penilaian. "Kenal kakakku dimana, Mas?"

Jika Nina memberi kesan galak di petemuan pertama, maka Kian memiliki aura yang cukup mengintimidasi. Pria itu tidak perlu melotot seperti kakaknya, karena dia sudah punya aura yang membuat orang segan. Nada suaranya pun terdengar berat dan tegas.

"Kami satu tower," Dewa membalas dengan tenang. Mempertahankan keramahan di suaranya. "Cuma beda lantai, doang."

"Kalau boleh tahu, Mas Dewa kerja apa?" tanya Kian.

"Aku arsitek," Dewa menjawab percaya diri. "Di Batara."

Kian mengangguk. Sama sekali tidak tampak terkesan setelah mengetahui pekerjaan Dewa. Malah Shyana yang berbinar-binar melihat Dewa.

"Mas Dewa kelihatan lebih tua dari Kak Nina." Komentar Kian. Nada suaranya tidak terdengar mengejek, tetapi siapapun yang mendengarnya pasti merasa seperti itu.

Dewa terkekeh. "Umurku 34 tahun. Beda tujuh tahu sama Nina. Emang aku kelihatan banget tuanya, ya?

"Lumayan," angguk Kian tanpa ekspresi. Seolah tak peduli Dewa akan tersinggung atau tidak. Malah Shyana yang menyenggol lengan Kian sambil melotot.

"Udah berapa lama pacaran sama Kak Nina?" tanya Kian lagi.

"Dek, kamu nanya mulu udah kayak orang sensus, deh." tegurNina pada adiknya.

Shyana yang sudah bersahabat lama dengan Kian tertawa. "Kian kalau udah udah kepo emang nanyanya sampai ke akar-akar, Kak."

"Seharusnya dia ambil hukum kayak kamu, Na. Bukan kedokteran." Timpal Nina.

"Aku nggak kepo," Kian berkata sambil cemberut.

"It's okay," Dewa tersenyum. "Kalau aku  punya kakak perempuan, aku pasti juga bakal intograsi dia juga kok."

Obrolan singkat mereka terjeda begitu makananan dan minuman yang sudah dipesan datang lalu dihidangkan satu per satu di meja. Nina mengamati Dewa dan Kian bergantian, entah kenapa merasa gelisah dengan pertemuan ini. Nina menyadari Kian pasti bertanya-tanya kenapa Nina tak menceritakan apa-apa padahal mereka rutin berkomunikasi, dan bertemu saat memiliki waktu luang. Tetapi tak sekali pun Nina membahas hal tersebut.

Dewa yang kelihatan terkejut ketika Kian menanyakan hubungan mereka pun membuat Nina jadi penasaran apa yang pria itu pikirkan.

Untungnya keberadaan Shyana yang memang selalu mampu menceriakan suasana membuat kecangguhan itu mencair. Terlebih Dewa selalu pandai membangun topik.

"Dulu cita-citaku mau jadi Arsitek, Mas. Tapi karena aku nggak bisa gambar jadi masuk hukum aja, deh." Ucap Shyana.

"Sebenarnya nggak harus jago banget, sih. Kalau digeluti dengan tekun pasti nanti bisa," sahut Dewa. "Anyway, kalian temenan udah lama?"

"Udah, Mas. Dari SMA," cengir Shyana. "Kian dulu ketua osis terus aku sekretarisnya."

"Lovely," mata Dewa berubah berkilat-kilat jahil. "Hebat juga ya bisa temenan selama itu tanpa ada perasaan romantis."

Ucapan Dewa berhasil membuat Kian dan Shyana tersedak.

"Mas, jahil banget, sih." Bisik Nina, menyikut perut Dewa.

Dewa terkekeh kecil. Kemudian mendekatnya bibirnya ke telinga Nina. "Bukan jail. Cuma mau kasih sedikit dorongan aja."

"Memangnya Mas Dewa nggak bisa sahabatan sama cewek?" tanya Shyana.

"Kalau sekedar kenal aja bisa. Tapi buat teman deket, no. Aku penganut cewek sama cowok nggak bakal bisa sahabatan."

"Kalau temenan sama mantan?" tanya Shyana penasaran.

"Sama. Aku nggak bisa temenan sama mantan. Kalau hubungannya udah berakhir, ya udah, nggak kontakan lagi. Lagian buat apa temenan sama mantan?"

"Apa salahnya temenan sama mantan?" Nina menanggapi sambil memicing mata pada Dewa. Merasa terpanggil karena ia masih berhubungan baik dengan Samudera meskipun mereka mantan kekasih. "Menurutku walaupun hubungan udah berakhir, bukan berarti nggak bisa jadi temen lagi."

"Nggak bisa, Kak. Temenan sama mantan itu useless. Kayaknya nggak bisa cari temen yang lain aja," Kian tiba-tiba membantah. Tetapi matanya melirik Shyana.

"Lho? Kok useless? Bisa aja nambah relasi, kan?" Shyana pun tak mau kalah. Terang-terangan menyindir Kian.

"Relasi buat apa, Shyana? Memang nggak aneh nanti kalau nongkrong tiba-tiba dia bawa gandengan baru, mesra-mesraan di depan kamu? Padahal biasanya kamu yang ada di posisi itu sama dia." Dewa angkat suara. "Ya, walaupun nggak ada perasaan lagi. Pasti tetap canggung, kan? Belum tentu juga pasangan mantan kamu, nyaman sama kedekatan kamu sama pacarnya."

"Exactly!" Kian mengangguk menyetujui. "Lagian kalau mau cari relasi bisa ikut komunitas, atau seminar. Nggak harus dari mantan?"

"Tapi kesempatan kan bisa darimana aja, Dek." Nina menyela tak mau kalah. "Memang kenapa harus putus komunikasi? Kayak anak kecil aja."

Bantahan dan sanggahan terus terdengar hingga meja mereka menjadi lebih ramai. Yang tanpa sadar juga membuat mereka malah jadi semakin dekat, dan akrab.

Kecangguhan yang sempat terjadi pun mencair. Mereka terus mengobrol sampai akhirnya memutuskan untuk pulang dan berpisah di tempat parkir.

"Adik kamu awalnya kelihatan pendiem, padahal aslinya bawel, ya," kekeh Dewa diperjalanannya mengantar Nina pulang.

Nina tersenyum. Sejujurnya, ia juga sama terkejutnya melihat sang adik yang dengan mudah mencair pada Dewa. Padahal Nina tahu sekali betapa sulitnya untuk Kian akrab dengan orang baru.

"Mmm ... Mas," Nina memulai ragu-ragu.

"Em-hm?" gumam Dewa sambil fokus menyetir.

"Aku belum ngasih tahu Kian karena belum ketemu momennya," jelas Nina sambil menggigit bibir. "Kamu nggak marah, kan?"

Dewa terkekeh. Lalu menoleh singkat. "Kenapa aku harus marah, Sayang?"

"Ekspresi kamu langsung beda waktu tahu Kian nanyain hubungan kita," ungkap Nina.

"Aku cuma kaget," ucap Dewa. Kemudian mengecup punggung tangan Nina yang ia genggam sejak tadi. "Yang penting kan Kian udah tahu, dan kami udah saling kenal. So, apa yang perlu aku permasalahin?"

Nina tak menyembunyikan kelegaan di wajahnya. Ia tersenyum, dan merasa begitu bersyukur akan pengertian Dewa.

Sepertinya pelan-pelan ia akan mencoba lebih terbuka pada Dewa. Meskipun Nina tahu, itu tak mudah untuknya.


Bersambung.


 


 

28 | invitation


Pertemuan tak sengaja Kian dan Dewa telah berlalu sejak seminggu yang lalu. Dan Nina tak menyangka Dewa akan langsung akrab dengan Kian—ditambah lagi, diperdebatan mereka mengenai 'berteman dengan mantan kekasih', keduanya berada di pihak yang sama. Hal itu seperti menjadi jembatan penghubung yang membuat mereka memahami satu sama lain.

"He seems good," Kian berkata ketika Dewa menyingkir sebentar untuk mengangkat telepon. Sementara Shyana permisi ke toilet. "Kenapa nggak cerita kamu udah punya pacar?"

"I don't know how to tell you." Nina menunduk. Menatap gelasnya yang isinya tinggal separo.

"Kak," Kian membasahi bibirnya. Tampak ragu-ragu mengucapkannya. "Mas Dewa kelihatan benaran sayang sama kamu. I can see it the way he looks at you. But, seingatku, kamu dengan tegas ngomong nggak tertarik menjalin hubungan sama cowok mana pun—"

"Feeling can change, Kian," sela Nina defensif.

"But not this fast," Kian menyahut. "Kalau kamu udah berbulan-bulan sama Mas Dewa, artinya nggak terlalu lama dari pertengkaran kita waktu itu. Is it because—"

"No," Nina menggeleng. Tetapi Kian jelas tahu sang kakak tidak sepenuhnya jujur, dan Nina mendesah karena tatapan Kian yang seolah bisa membaca pikiran. "Awalnya iya. Aku implusif. Tapi setelah ngejalinin hubungan ini sama Mas Dewa, he's so kind to me. Dan aku nggak bisa menyangkal aku juga tertarik sama dia. Mas Dewa udah lama dekatin aku, and he didn't give up even though I rejected him. Dia terus buktiin kalau dia serius sama aku. And I can see that now."

"Then you like him?"

Nina mengangguk. "I do."

"Are you happy with him?"

Sekali lagi, Nina mengangguk.

Kian tersenyum. Kemudian mengenggam tangan Nina di atas meja. "Ibu udah tahu?"

Nina menggeleng. "Aku nggak tahu gimana caranya ngasih tahu ibu."

"You should tell her ASAP, Kak. Nanti ibu sedih kalau kamu nyembunyiin soal hubungan kamu terlalu lama dari beliau."

"Aku bakal ngasih tahu ibu secepatnya,"

Ternyata rasanya begitu melegakan setelah memberitahu keluarganya soal hubungan dengan Dewa. Nina memberitahu sang ibu keesokan harinya. Respon beliau jelas sangat senang. Nina bahkan tidak menyangka ibunya akan terlihat sebahagia itu. Wajahnya langsung berseri-seri dan bibirnya melengkung membentuk senyuman, yang membuat Nina merasa agak getir. Sepertinya sudah lama sekali sejak ia melihat ibunya bahagia.

Ibu bertanya banyak mengenai Dewa dan bagaimana mereka bertemu. Sampai mereka mengobrol berjam-jam lamanya hingga perasaan Nina terasa lebih ringan.

Nina pun akhirnya memperkenalkan Dewa sebagai pacarnya melalui panggilan video call karena ibunya yang tak pernah berhenti menanyakan Dewa.

Dewa mulanya tampak terkejut, tetapi bibirnya langsung melukisnya senyum bahagia.

Pria itu dengan sopan dan ramah memperkenalkan dirinya pada ibu. Dan seperti biasa, Dewa selalu mudah akrab dengan siapapun itu. Membuat Nina merasa hangat melihat interaksi ibunya dengan sang kekasih. Ibu pun tampak lebih menyukai Dewa setelah mengobrol. Bahkan ibu berencana mengirimkan Dewa makanan ketika Dewa memuji masakan beliau.

"Kamu mirip banget sama ibu, ya," Dewa berkata setelah panggilan video berakhir. "Tapi ibu versi lebih lembutnya."

"Maksud kamu aku barbar gitu?" mata Nina menyipit.

Dewa tergelak. Kemudian memeluk Nina. "Nggak, Sayang. Kamu lumayan galak kalau marah. Tapi kayaknya ibu walaupun marah juga nggak bakal kelihatan marah."

"Ibu emang nggak bisa marah, sih." Nina mengangguk menyetujui.

"Tapi walaupun kamu galak pas lagi marah, aku tetap sayang, kok," ucap Dewa dengan senyum playful-nya.

Nina berdecak. Mendorong tubuh Dewa darinya. "Basi banget sih, Mas."

"Basi darimana?" Dewa jelas tak bergeming meskipun Nina mendorongnya. Wajahnya malah semakin dekat. Mengecup kecil pipi Nina yang sudah memerah. "Orang benaran sayang, kok. Malah aku makin sayang sama kamu tiap harinya."

Bukan Dewa namanya jika tidak pandai berkata-kata manis. Meskipun begitu, hari-hari bersama Dewa sangat menyenangkan dan membahagiakan. Tekad Nina untuk mengenal Dewa lebih dalam semakin kuat. Sebab itu, ketika ia tak sengaja berpapasan dengan Peter di lobi—kemudian pria itu dengan ramah mengajaknya untuk ikut liburan di akhir bulan bersama teman-teman Dewa yang lainnya, ide itu terdengar cukup menarik di telinga Nina.

"Dewa mungkin lupa ngasih tahu kamu, Nin. You know, kerjaan dia lagi banyak banget belakangan. But, I really hope you can join us. Udah lama banget kami nggak ngumpul bareng. Dan Dewa nggak akan mau ikut kalau kamu nggak ikut. So, join, ya? Please,"

Sepasang mata Peter yang menatapnya penuh harap membuat Nina jadi tidak enak untuk menolak. Lagipula, ia memang ingin mengenal Dewa lebih dalam. Mungkin hal itu bisa dimulai dengan mengenal teman-teman pria itu. Meskipun singkat, Nina sudah pernah bertemu dengan Angga dan Kemal. Emila juga akan ikut serta sehingga Nina tidak akan canggung-canggung amat di sana nanti.

"'Mmm ... gimana ya, Mas." Nina menggigit bibirnya menimang-nimang.

"Kamu nggak usah mikirin apa-apa, Nin. Tinggal datang aja sama Dewa. Acaranya bakal seru, kok. Anggap aja liburan akhir pekan. Gimana?"

Nina menggaruk keningnya, berpikir dengan keras. Sementara Peter tak mengalihkan tatapan darinya menunggu jawaban.

"O ... kay," Nina mengangguk pelan. "Nanti aku coba ngajuin cuti ya, Mas."

"Great!" sahut Peter dengan senyum manis.

Dan sepertinya semesta mendukung rencana tersebut sebab Nina dengan mudah mendapatkan cuti. Ia akhirnya membahasnya dengan Dewa yang memang mengantarkannya pulang di hari itu.

Dewa tidak langsung pulang setelah mengantarnya. Mereka makan malam bersama, kemudian bersantai di sofa sambil menonton Prison Break di Netflix. Lengan Dewa melingkar di tubuh Nina dengan pandangan fokus ke depan. Kagum akan rencana-rencana brilian Micheal yang berusaha mengeluarkan sang kakak dari penjara.

"Mmm ... Mas," Nina berdeham, memulai pembicaaan. "I want to say something."

"Yeah?" Dewa menyahut tanpa menoleh.

"Mas?" Nina mengerutkan kening karena Dewa tak menatapnya.

"Iya, Sayang?" sahut pria itu masih dengan mata fokus ke depan.

"Mas, look at me when I'm talking," tukas Nina dengan suara tegas.

Mendengar itu, Dewa malah terkekeh. Kemudian memutar kepalanya dan menatap kekasihnya lembut. "Kenapa, Sayangnya aku? Kamu mau ngomong apa, hm?"

Nina menghela napas kemudian berkata. "Aku tadi ketemu Mas Peter di lobi." Seketika ekspresi Dewa mengeras, dan Nina tampaknya tak menyadari itu karena masih melanjutkan ucapannya. "Terus dia bahas soal rencana liburan ke Bali akhir bulan ini."

"What?"

Nina mengangguk sambil mengerutkan keningnya. "Kamu belum tahu? Kata Mas Peter kamu udah tahu, dan dia udah ingetin kamu buat ngajak aku."

"Yeah, I know," Dewa memejamkan mata sekilas. Mengutuk Peter di dalam kepalanya. "Aku cuma kaget dia ngajak kamu langsung. Look, aku tahu kamu nggak nyaman sama orang baru. Kamu nggak perlu ngerasa nggak enak buat nolak. Nanti aku kasih tahu Peter kalau kita nggak bisa pergi."

"Tapi aku udah bilang aku bisa,"

"What?!"

"Aku bilang aku bisa," ulang Nina pelan, kemudian menatap Dewa cemas. "Aku salah ngomong, ya?"

"No, no," Dewa menggeleng sembari menyugar rambutnya. Lantas menatap kekasihnya yang tampak khawatir. "Kamu nggak salah ngomong, Sayang. Cuma ... aku bukannya mau jelekin Peter. Tapi liburan yang dia maksud juga bakal ada party. Aku nggak mau bikin kamu nggak nyaman. Besides, dia aslinya ngeselin dan suka ikut campur."

Nina tersenyum. "You don't need to worry, Mas. I can handle that. Aku tahu kok gimana pergaulan temen-temen kamu. But I want you to know you more. Aku juga nggak mau kamu jadi menjauh dari teman-teman kamu karena aku."

"Kamu nggak bikin aku menjauh dari mereka, Kanina."

"Tapi kamu sering nolak ajakan mereka karena mau bareng aku."

"Karena sama kamu lebih menyenangkan daripada sama mereka, Sayang."

"But, still, mereka teman-teman kamu. Kalian udah lama temenan. Kalau sampai terjadi apa-apa sama hubungan kita, you will need them?"

"What do you mean 'kalau terjadi apa-apa sama hubungan kita', Kanina?" ekspresi wajah Dewa menggelap, tatapannya begitu serius menunggu jawaban dari sang kekasih.

"I mean," Nina membasahi bibir. Agak gugup karena Dewa yang tampak serius sekali. "We never know, Mas. Nggak ada yang tahu gimana hubungan kita di masa depan, right? Tapi bukan itu point yang mau aku sampein. What I want trying to say, jangan sampai karena hubungan kita, kamu malah jadi menjauh sama temen kamu. Gimana pun, mungkin mereka yang akan nemenin kamu di masa-masa sulit."

Nina sudah pernah merasakan bagaimana kehilangan hal tersebut karena kesalahannya sendiri. Akibat dari rasa tidak percaya dirinya, Nina malah menjauh dari teman-temannya sampai mereka akhirnya menganggap Nina tidak ingin lagi berteman dengan mereka. Well, bukan salah mereka sampai beranggapan begitu. Dan Nina mewajarkan dirinya perlahan-lahan tak lagi dihubungi jika mereka mengadakan acara.

Dan Nina tidak ingin Dewa sampai begitu karena dirinya.

Dewa memejamkan mata sekilas. "So you want to come?"

"Kalau kamu nggak mau aku pergi, aku nggak akan pergi." Ucap Nina. "Tapi kamu harus pergi, Mas. Kamu butuh refreshing sama teman-teman kamu setelah kerjaan kamu yang hetic kemarin."

"No, kalau aku pergi. Kamu juga harus ikut. Memangnya kamu nggak takut aku digoda bule-bule di sana?" Dewa menyeringai jahil.

"Kalau kamu mau digoda. Aku bisa apa?" Nina mengangkat bahu. "That's your choice, Mas. And that's your loss too."

"Well said," Dewa mengenggam tangan Nina. "Kalau aku nyakitin kamu, kamu nggak perlu ragu buat ninggalin aku. But, I can promise you that I will never hurt you. Never, Kanina."

Nina mengangguk kecil. Di dalam hati berharap Dewa benar-benar tak melakukannya. Karena jika itu terjadi, hatinya yang telah hancur tak akan lagi bisa dikumpulkan. Dan Nina tak akan pernah lagi mempercayai hatinya pada siapapun setelahnya.

Dewa tersenyum, lantas menjatuhkan kecupan di kening Nina. "Don't worry. Aku lebih suka cewek lokal daripada bule. Spesifiknya cewek yang umurnya dua puluh delapan tahun, tinggi 158 cm, rambutnya sebahu, kulitnya putih cerah, matanya indah, hidungnya mancung, bibirnya enak diajak ciuman—"

"Mas Dewa!" Nina menyela dengan pipi memerah.

Dewa tergelak. "Mengakui kamu enak diajak ciuman, ya?"

"Nggak tau!" Nina memutar tubuhnya cemberut. Mendorong bahu Dewa. "Udah sana, kamu nonton aja!"

Tawa Dewa mengudara semakin keras. Alih-alih menjauh, Dewa malah memeluk Nina erat dan mencium pipinya berulang. "Gemesin banget sih, Sayang." Tak peduli hal itu membuat Nina semakin kesal padanya.

Sungguh, menggoda Nina sangat menyenangkan.


 

Bersambung.


 


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Called It Love
Selanjutnya Called It Love- Additional Chapter 29
61
7
Hi, ini additional chapter 29 ya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan