
21. The cutest pair
22. Would you mind
23. Jealousy
24. Private but not secret
21 | the cutest pair
Sabtu pagi, Dewa sudah menjemput Nina demi menagih janji gadis itu yang akan bermain ke apartemennya. Semalam Dewa sudah grocery; membeli beberapa bahan makanan karena ia ingin memasak makanan favorit kekasihnya. Ia juga menyediakan cemilan untuk mereka berdua. Dewa bahkan memanggil helper guna membersihkan apartemennya agar Nina betah. Bahkan kalau bisa menginap sekalian.
Meskipun kemungkinan itu sedikit mustahil, mengingat Nina selalu mengusirnya setiap kali Dewa mencari-cari alasan agar tetap tinggal di apartemen gadis itu.
Well, harus Dewa akui, gaya pacarannya memang agak dewasa. Ini juga pertama kalinya bagi Dewa menjalin hubungan dengan wanita yang jarak umurnya cukup jauh. Terlebih, Nina masih menyimpan kepolosan yang membuat Dewa terkadang merasa seperti laki-laki brengsek yang mengambil kesempatan dari gadis baik-baik.
Tetapi mau bagaimana lagi. Ia laki-laki normal yang sudah cukup lama tak menjalin hubungan. Selama ini Dewa mengalihkan hasrat dalam dirinya dengan bekerja dan berolahraga. Tapi sekarang, bagaimana Dewa bisa menahannya?
Ia memiliki kekasih yang sangat cantik dan manis. Keinginan untuk menyentuh, mencium, dan melakukan hal-hal yang biasa dilakukan pasangan kekasih kasmaran sulit untuk ditahan. Dewa tidak sesuci itu untuk mampu mengenyahkan dorongan tersebut. Namun bukan berarti ia akan memaksa Nina.
Consent adalah hal yang Dewa junjung tinggi.
"Kenapa pagi jemputnya sih, Mas?" omel Nina sambil menahan kuap.
Semalam ia sudah bilang pada Dewa agar menjemputnya siang saja. Tapi tiba-tiba, pria itu membangukannya melalui dering telepon yang terus berdering, mengabari akan menjemputnya setengah jam lagi. Nina langsung gelagapan dan segera bersiap-siap. Ia bahkan tak sempat berdandan. Hanya memakai sunscreen dan lipgloss agar tidak pucat-pucat amat.
Dewa tertawa kecil. Menoleh pada kekasihnya yang bersandar di jok mobil sambil mengucek matanya mengantuk. Sebelah tangan Dewa terulur, mengusap kepala Nina gemas. "Biar kita punya waktu banyak buat pacaran, Sayang. Kamu tidur jam berapa sampai masih ngantuk berat gini? Bukannya semalam katanya mau tidur cepat, ya?"
Nina membuka mata tegang. Lalu membasahi bibir. Mendapati Dewa menatapnya dengan mata menyipit membuat Nina harus menjaga ekspresinya agar tidak kelihatan gugup.
Semalam ia memang mengakhiri panggilan telepon mereka dengan alasan mengantuk. Padahal sebenarnya Nina ingin melanjutkan pekerjaannya. Nina tak yakin ia bisa berkonsentrasi menyelesaikan pekerjaannya saat bersama Dewa. Pria itu mempunyai potensi memecah konsentrasinya. Jadi, daripada deadline-nya menumpuk, lebih baik Nina antisipasi lebih awal.
"Tidur cepat, kok. Tapi kalau weekend aku memang biasanya nggak bangun pagi," balas Nina tak sepenuhnya berbohong. Seperti budak korporat lainnya. Weekend adalah hari untuk bermalas-malasan. Nina biasanya memang bangun agak siang karena malamnya ia pakai untuk menyelesaikan side job-nya.
"Bangun pagi, dong. Katanya mau hidup sehat," ledek Dewa. "Mumpung masih dua puluhan ini."
Nina mengerucutkan bibirnya. "Iya deh yang paling morning person."
Dewa tertawa sambil menurunkan tangannya dan mengusap pipi Nina lembut. "Yaudah, kamu lanjut tidur, ya. Nanti aku bangunin kalau udah sampe."
Nina menggelengkan kepalanya. "Aku udah nggak bisa tidur lagi. Lagian nggak sopan kamu nyetir, aku malah tidur."
"Pengertian banget," Dewa tersenyum kecil. Menarik tangannya dari pipi Nina untuk memutar setir ketika berada di belokkan. Lalu kembali mengulurkan tangan, yang kali ini menyasar ke tangan kekasihnya. "Kalau mau hidupin lagu nggak apa-apa, Sayang. Biar kamu nggak ngantuk."
"Boleh?" Nina menoleh tertarik. Ia memang masih ngantuk. Tapi tidak tega membiarkan Dewa menyetir tanpa ada teman bicara.
Dewa mengangguk.
Nina lantas menarik tangannya dari Dewa untuk mengeluarkan ponselnya. Menyambungkan bluetooth-nya dengan audio mobil. Lagi Bruno Major yang berjudul Easily terputar, suara merdu pria berkebangsaan Inggris tersebut mengalun mengisi setiap sudut mobil Dewa.
Dirasakannya Dewa kembali meraih tangannya. Kali ini mengisi celah-celah jemarinya dengan jemari pria itu hingga tangan mereka merekat seperti potongan puzzle yang pas.
Nina menatap tangan mereka yang berkait, lalu naik ke atas pada Dewa yang tersenyum lembut padanya—membuat Nina membalas senyuman itu dengan perasaan hangat yang sulit diabaikan.
"Nggak apa-apa kan lagu ini? Atau kamu mau lagu ini?" tanya Nina pengertian.
Dewa menggeleng. "No, it's fine. Aku juga suka kok lagu-lagu Bruno Major."
"Lagunya bagus-bagus."
"Yeah," Dewa mengangguk menyetujui. "Jadi kamu suka genre R&B sama Pop, ya?"
Nina mengiakan.
Dewa manggut-manggut. Selera musiknya dengan Nina tidak terlalu beda jauh. Meskipun ia lebih menyukai musik rock. Tapi sebetulnya Dewa hampir menyukai genre musik karena ia memang pernah menjadi anak band semasa sekolah.
Dewa berpaling pada Nina yang menoleh kepala ke arah jendela. Tampak tengah tenggelam dalam lagu yang diputarnya.
Mustahil untuk tidak makin menyukai Nina begitu mengenal gadis itu lebih jauh. Seperti yang sudah Dewa duga, dibalik persona galak dan judesnya, Nina memiliki hati yang lembut. Gadis itu juga sopan, khususnya pada orang-orang yang lebih tua darinya. Kesederhanaan Nina pun membuatnya Dewa merasakan sebuah kenyamanan yang tidak pernah ia dapatkan dari wanita manapun.
Pantas saja, Dewa langsung memikirkan pernikahan ketika memantapkan niat untuk mendekati Nina.
Sebab, wanita seperti Nina, memang sebaiknya segera disahkan sebelum diambil oleh orang lain.
***
Tidak ada yang berubah dari apartemen Dewa. Malah Nina mendapati apartemen pria itu sangat rapi untuk ukuran ditinggali seorang bujangan. Semua barang berada di tempatnya. Aroma lavender pun tercium ketika Nina memasuki living room—sebagai perempuan, Nina merasa agak malu karena apartemennya tidak pernah serapi ini jika Dewa mengunjunginya.
Tapi mau bagaimana lagi, kesibukannya di kantor membuat Nina hanya sempat membersihkan apartemennya sekedar saja. Jika memang ingin bersih-bersih total, Nina baru bisa melakukannya di hari weekend. Tapi weekend-nya kini selalu diisi oleh kehadiran Dewa.
"Aku udah bikinin sarapan buat kamu." Pelukkan tiba-tiba dari belakang sedikit mengejutkan Nina. Ia menoleh pada Dewa yang menyunggingkan senyum manis sampai lesung pipinya kelihatan. "Kamu belum sarapan, kan?"
"Gimana mau sarapan? Kamu aja jemputnya dadakan," cibir Nina.
Dewa tertawa kecil. Mengecup dalam pipi Nina gemas sampai memunculkan suara.
"Sarapannya udah ada di meja makan," Dewa menarik tote bag di bahu Nina. "Biar aku taruh tas kamu di meja kerjaku."
Nina menggeleng. "Aku aja,"
Dewa pun balas menggeleng. "Udah jam sembilan. Kamu pasti lapar."
Bukan tipe orang yang suka berdebat, Nina pun menghela napas dan membiarkan Dewa membawa tote bag-nya ke ruang kerja pria itu. Ia menarik kakinya menuju meja makan. Membuka tudung dan mendapati Dewa membuatkannya nasi goreng dengan dua telur mata sapi yang dikreasikannya membentuk wajah tersenyum.
Nina menggigit bibirnya. Sulit sekali untuk tidak jatuh pada Dewa ketika pria itu bersikap manis seperti ini.
Merasa ini sesuatu yang menarik untuk diabadikan, Nina pun mengeluarkan ponselnya guna mengambil foto nasi goreng tersebut. Lantas menarik kursi dan duduk di sana sambil menunggu Dewa yang keluar dari ruang kerjanya satu menit kemudian.
"Nasi gorengnya mau dipanasin lagi nggak?" tanya Dewa.
Nina menggeleng, balas bertanya ketika Dewa mengambil tempat di sebelahnya. "Kamu nggak sarapan, Mas?"
"Udah," jawab Dewa. "Aku tadi pagi jogging, jadi udah lapar duluan."
Nina manggut-manggut. Kemudian mengambil sendok dan garpu di meja. "Makasih sarapannya, Mas," ucapnya lalu tersenyum tipis. "It's cute."
Dewa mengusap lehernya dengan sebelah tangan. Kelihatan agak salah tingkah seperti anak kecil yang habis dipuji. "Nggak norak, ya?"
"No. Cuma kaget aja kamu punya ide bikin kayak gini."
"I made it while imagining you would smile when you see it."
"Actually, I am."
Dewa membuang napas lega dan senang. "Then, my mission is complete."
***
Nina berusaha menyelesaikan copy-nya di tengah gangguan Dewa—yang terus mengetuk pintu lima belas menit sekali hanya untuk menanyakan apa yang Nina butuhkan.
"Sayang, mau cemilan nggak?"
"Sayang, dingin, ya? Mau dikecilin aja AC-nya?"
"Sayang, aku ada turntable, mau sambil dengerin lagu sekalian nggak?"
Padahal Nina sudah mengatakan ia tak membutuhkan apa-apa, tetapi Dewa terus datang dan bertanya.
Suara ketukkan pintu kembali terdengar. Nina membuang napas, mendongakkan wajahnya saat deritan pintu terdengar, dan sosok Dewa muncul dengan segelas smoothies di tangannya.
"Sayang, aku bikinin kamu smoothies," katanya tersenyum ceria. Mengambil langkah mendekati Nina yang duduk di balik meja kerjanya. "Kursinya ketinggian nggak? Atau mau aku rendahin dikit lagi?" tanya Dewa setelah meletakkan gelas di meja.
"No. It's fine, Mas."
Dewa manggut-manggut. Tetapi tidak langsung beranjak. Pria itu malah bersandar di pinggiran meja, mengintip laptop Nina. "Oh, kamu lagi megang brand Luzira?"
Nina mengangguk. Luzira adalah brand kosmetik lokal yang produk sunscreen-nya viral di media sosial. Membuat brand tersebut makin dikenal dan masuk dalam produk kecantikan lokal paling laris tahun ini.
"Owner-nya pacarnya Angga, Sayang. Emila." Beritahu Dewa terpana dengan kebetulan yang terjadi. "Kamu pasti udah ketemu sama dia. Emila biasanya selalu turun langsung soal marketing."
Jemari Nina yang mengetik di keyboard berhenti. Ia kembali mendongak menatap Dewa yang serius. "Mbak Emila pacarnya Mas Angga ... temen kamu?"
"Em-hm," Dewa mengangguk lalu tersenyum takjub. "What a small world! Dia kemarin ngajakin kita double date. Tapi kalau dipikir-pikir, daripada double date, mending date sendiri-sendiri aja. Aku lebih suka ngabisin waktu berdua aja sama kamu."
"So, that's why, kamu dari tadi ngecek aku lima belas menit sekali?" sindir Nina.
Dewa menggaruk dagunya sambil terkekeh kecil. "Habisnya aku kangen mulu sama kamu."
"Ya, tapi kamu bilang kan mau kasih aku waktu nyelesain kerjaanku?"
"Alright, alright," Dewa membungkuk sambil meraih wajah Nina. Meninggalkan tiga kecupan kecil di bibir gadis itu. "Biar makin semangat," alasannya sambil nyengir.
Nina mendengus. Mendorong Dewa menjauh agar pria itu tak melihatnya yang salah tingkah dan memerah. "Udaaaah! Sanaaaa! Gimana kerjaanku cepat selesai kalau kamu interupsi mulu?!"
"Iya, iya. Duh, galak banget, pacarku." Goda Dewa yang membuat Nina makin melotot.
Damn! Punya pacar menggemaskan seperti ini mana bisa Dewa biarkan cepat pulang.
***
Karena merasa sudah banyak merepotkan Dewa, Nina pun berinisiatif membuat makan siang untuk mereka berdua begitu pekerjaannya selesai. Dewa awalnya melarang. Katanya dia sudah berencana ingin membuat makanan favorit Nina. Lebih dari pada itu, mana ada tamu yang memasak. Cuma kali ini Nina agak bersikeras. Ia paling tidak suka berhutang budi pada orang lain. Sebab itu, Nina ingin membalasnya segera.
Perdebatan itu dimenangkan oleh Nina. Dewa akhirnya mengalah dan duduk di stool memperhatikan kekasihnya memasak. Siapa menduga, kegiataan itu ternyata cukup menyenangkan sampai Dewa menopang dagunya, tidak bisa mengalihkan pandangan. Gambaran Nina yang berada di dapurnya membuat Dewa menjadi membayangkan masa depan mereka.
Well, hubungan mereka memang baru terjalin satu bulan. Tetapi Dewa mendekati Nina dengan intensi yang serius. Meskipun terbilang masih singkat, Dewa sudah sangat yakin pada Nina. Ia tidak sabar untuk menjajaki babak baru dalam hubungan mereka. Sayangnya, ia tahu Nina belum berpikiran sama sepertinya. Dan Dewa harus menahan dirinya agar tidak terlalu menggebu-gebu. Masih banyak tahap yang harus mereka lewati.
"Kamu nggak butuh bantuan aku gitu?" tanya Dewa. "Biasanya aku selalu jadi head chef, tapi buat kamu nggak apa-apa deh jadi asistennya."
Nina menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengulum bibir geli. "Udah mau selesai, kok."
Meskipun memandangi Nina adalah kegiatan yang menyenangkan—sayangnya, Dewa tidak pernah puas hanya dengan melihat. Ia pun turun dari stool. Mendekati Nina yang sedang melakukan plating di tumis daging brokoli buatannya. Ia berdiri di belakang gadis itu, lalu menyelipkan tangannya di pinggang ramping Nina untuk memeluk kekasihnya dari belakang.
Mantan-mantan pacar Dewa rata-rata memiliki tinggi 165 ke atas. Sebenarnya, Dewa tidak pernah mempermasalahkan tinggi badan seorang wanita. Kebetulan saja, sebelumnya ia sering menjalin dengan wanita-wanita yang bertubuh tinggi semampai. Berpacaran dengan Nina menyadarkan Dewa jika memiliki kekasih bertubuh mungil ternyata sangat menyenangkan. Setiap kali memeluk Nina, rasanya Dewa ingin menyimpan Nina di sakunya lalu membawanya pulang.
Well, meskipun sepertinya Dewa bias. Ia tidak peduli dengan tinggi badan Nina selama yang ia pacari adalah gadis itu.
"Mas Dewa, kamu itu kenapa hobi banget sih ganggu orang yang lagi kerja?" keluh Nina pada Dewa yang memeluknya makin erat, dan kini menenggelamkan wajah di lehernya. Menciptakan desir yang membuat Nina merinding.
Dewa tersenyum di kulit Nina. "Gangguin orang yang lagi serius itu seru, Sayang."
Nina berdecak. Berusaha mengabaikan Dewa dan lanjut plating. Tetapi pria itu malah makin bertingkah dengan mengecup leher dan tengkuknya.
"Astaga, Mas Dewa!" Nina mengerang frustasi. Memutar tubuhnya dan menatap pria itu galak. Alih-alih merasa bersalah, Dewa malah senyum-senyum. Oh, sial, Dea benar-benar ingin menggigit Nina sekarang. "Mending kamu nyusun meja aja, deh!"
"Cium dulu," Dewa mengetuk bibirnya sambil mengerling jahil.
Nina menganga. Gemas ingin mencubit dan mencekik pria di hadapannya. "Really?"
Dewa mengangguk. Menahan diri agar tak tertawa karena ekspresi Nina yang lucu. Ia pun membungkukkan badan agar Nina bisa menjangkaunya lebih mudah.
Nina menghela napas berat. Bertanya-tanya apakah benar umur pria di hadapannya ini tiga puluh empat tahun? Karena sekarang, kelakuannya lebih seperti bocah umur lima tahun.
Daripada terus rewel, Nina mengulurkan tangannya menangkup wajah Dewa. Meskipun Dewa sudah membungkuk, ia tetap harus menjijitkan kakinya untuk bisa mencium Dewa. Pria ini bukan hanya memiliki badan besar seperti raksasa, tapi juga tubuh tinggi yang menjulang seperti gapura.
Nina memejamkan matanya begitu bibirnya berhasil menyentuh bibir Dewa yang penuh dan lembut. Berniat hanya memberi satu kecupan singkat. Tapi seharusnya dia tahu—Dewa tidak pernah cukup dengan hal tersebut. Salah satu tangan pria itu cekatan melingkar di pinggangnya, sementara tangannya yang lain menahan tengkuknya saat dia membuka mulut, melumat bibir Nina rakus.
Menggoda gadis itu dengan mulut dan lidahnya sampai akhirnya Nina menyerah, lalu membalas ciumannya.
***
Sebagai penggemar buku—dan dulu aktif sebagai penulis novel. Nina lebih menyukai akhir cerita yang realistis. Kisah dimana hero dan heroine tak berakhir bersama karena keadaan yang tak menyatukan mereka, serta takdir yang tak berpihak pada mereka. Akhir yang seperti itu lebih masuk akal. Meskipun sebagai pembaca, pasti ikut merasakan sakit seperti yang dirasakan oleh sang tokoh utama.
Tetapi seperti itulah kehidupan di dunia nyata. Tidak semua kisah cinta berakhir bersama dan bahagia.
Nina tidak mengharapkan apapun dari hubungannya dengan Dewa. Tidak peduli pria itu sangat baik dan menyenangkan, tidak peduli bersama Dewa sebulan ini membuatnya merasakan lagi kebahagiaan. Nina tahu mereka sulit untuk bersama. Hubungan mereka mustahil untuk berlanjut. Nina memang bukan penulis dari ceritanya. Tetapi ia adalah sang tokoh utama, dan ia punya kendali atas jalan hidupnya.
Nina hanya tidak ingin mengalami patah hati lagi. Jadi, jangan salahkan dia jika tidak berharap apapun pada hubungannya dengan Dewa. Dan menjaga hatinya agar tidak dipatahkan oleh pria itu.
"Kissing you is always like magic," Dewa berbisik setelah menarik wajahnya. Menunggu Nina membuka mata, dan merasakan debaran hebat di dadanya ketika mata mereka bertemu. Ia tersenyum lembut, mengusap pipi kekasihnya. "Breath, Kanina."
Nina mengerjapkan mata. Lalu mengatur napasnya yang sempat berhenti karena ciuman pria itu.
"Ciumanku hot banget ya sampai kamu lupa napas?" goda Dewa dengan kilat-kilat jahil di matanya.
Nina cemberut sambil menarik tangannya dari leher Dewa. Mendorong pria itu menjauh lalu membalikkan badan. Berusaha fokus pada plating-nya yang tertunda karena gangguan Dewa. "Susun piring di meja sana!"
Dewa tertawa kecil. "Yes, Mam," katanya patuh.
Tapi sebelum itu, Dewa mencuri ciuman di pipi Nina dan langsung kabur sebelum gadis itu sempat memarahinya.
Nina menghela napas. Dewa benar-benar jail dan suka sekali menggodanya. Perut Nina bahkan belum pulih dari efek kupu-kupu yang bertebarangan di dalam perut—tetapi dia sudah membuat Nina kembali memerah dengan mencium pipinya.
Nina memejamkan mata sekilas. Mengumpulkan fokusnya dan menyelesaikan plating-nya dengan lebih cepat. Begitu selesai, ia membawa masakannya ke meja makan—dimana Dewa sudah duduk di sana menunggunya.
"Sayang," Dewa mengerjapkan mata takjub ketika mencicipi sup wortel buatan Nina. "Ini enak banget!"
"Nggak keasinan, kan?" tanya Nina khawatir.
"No, it's perfect," Dewa mencicipi lagi kuahnya sambil mendesah puas. "Kalau kayak gini, posisiku jadi head chef bisa tersingkir."
Nina mengulum bibirnya. Menyembunyikan rasa senangnya karena pujian Dewa. "Lebay!"
"Aku nggak pernah lebay masalah makanan, Sayang. Ini memang enak." Lalu Dewa mengangkat wajahnya, menatap Nina tulus. "Makasih ya udah dimasakin."
"Ur welcome, Mas. Kamu tadi juga bikinin aku sarapan."
Sepertinya Dewa tidak melemparkan pujian kosong. Pria itu makan dengan lahap. Bahkan sampai menambah satu piring lagi yang membuatnya terkapar di sofa sambil memegangi perutnya yang penuh begitu mereka selesai memasukkan piring-piring kotor ke dishwasher.
"Kalau disuguhi masakan kamu terus, sixpack-ku bisa-bisa hilang," celetuk Dewa ketika Nina mengambil tempat di sebelahnya. Membawa dua kaleng soda yang ia ambil di kulkas pria itu.
Nina menyeringai. Membuka kunci sodanya. "Kalau gitu kamu makin kayak om-om dengan perut buncit."
Dewa meringis. "Iya, ya. Ntar kamu nggak mau raba-raba perutku lagi pas kita lagi make out."
Ucapan Dewa berhasil membuat Nina tersedak. Dia melotot, mencubit paha Dewa yang sekeras batu. Pria itu bahkan tak merasa kesakitan, malah tertawa puas sambil meraih kaleng soda di meja dan membuka kuncinya.
Nina menyalakan TV agar suasana di antara mereka tidak terlalu canggung. Memilih menonton film romantic-comedy First Daughter di netflix. Lalu pulang setelah film itu selesai.
"Ada cemelin lho di kulkas," ucap Dewa seraya bangkit berdiri, mengayunkan kalinya ke pantry.
"Memang perut kamu masih sanggup?" goda Nina.
"Don't try me, Sayang," kerling Dewa dan kembali dengan makanan-makanan ringan dan buah potong.
Pria itu tersenyum lebar lalu merengkuh pinggang Nina agar duduk lebih dekat dengannya.
Sungguh, untuk Nina yang sudah lama tidak pacaran. Sentuhan Dewa selalu saja mengejutkannya.
"Aku udah nonton film ini," kata Dewa yang meraih buah potong lalu menyuapi Nina.
Nina tidak langsung menjawab, membuka mulutnya dan membiarkan kunyahannya tertelan lebih dulu. "Nggak nyangka cowok suka juga nonton romantic-comedy."
"Aku suka soalnya yang main Katie Holmes."
"Yeeeee,"
Dewa tertawa. "Aku jujur aja, Sayang. Aku dulu emang ngefans sama Katie Holmes."
"Berarti dia tipe ideal kamu dong?"
"Dulu mungkin, iya. Tapi sekarang tipe ideal aku kamu."
"Basiiiiii,"
"Beneran, bocil," Dewa menarik dagu Nina gemas. "Kalau nggak, nggak mungkin aku ngejar-ngejar kamu, kan?"
Nina tak menjawab. Mengalihkannya dengan mengambil buah potong dan mengunyahnya.
"Kalau tipe cowok kamu siapa?" tanya Dewa. "Kayak Samudera, ya?"
Nina tersedak. Buru-buru menenggak air yang diberikan Dewa. "Kok tiba-tiba Mas Sam?"
"Ya, kali aja. Dia kan mantan kamu."
Mata Nina nyaris melompat keluar. "Kamu tau darimana?!" tanyanya panik.
"Kok panik?" Dewa menautkan alis. "Sam sendiri yang ngasih tahu aku."
"Mas Sam?" Nina mengerutkan kening.
Dewa mengangguk. Lalu menyambung masam. "Jadi tipe kamu emang kayak Samudera?"
"Nggak lah!" decak Nina. "Aku sama Mas Sam itu udah lama banget . Sekarang kami temenan aja."
"Iya, dia bilang kalian putus sembilan tahun yang lalu."
"Exactly,"
"Terus habis sama Sam, ada dekat sama cowok lain?" pancing Dewa.
Nina menggeleng. "Mas Sam satu-satunya mantan pacarku."
"What? Jadi, mantan kamu cuma dia?" Dewa mengerjap terkejut. Tidak tahu harus senang atau jengkel akan fakta tersebut. Apa spesialnya seorang Samudera sampai Nina tidak memiliki kekasih lagi setelah bersama pria itu?
Nina mengangguk. Satu kantor pun sudah tahu. Tidak ada gunanya menyembunyikannya dari Dewa.
Dewa membuka mulut. Ingin bertanya lebih banyak andai saja suara bel tak mencegahnya.
"Ada temen kamu yang mau ke sini?" tanya Nina.
"Ngapain aku ngundang temenku ke sini saat lagi sama kamu?" Dewa melepaskan Nina tidak rela. "Aku cek dulu, ya."
Dewa baru bangkit berdiri ketika suara smart lock-nya terdengar, lalu di susul suara feminim yang memanggil namanya. Tak lama, sosok anggun dari wanita yang melahirkan Dewa pun muncul.
"Lho? Mas Dewa ada di rumah? Mama kirain—eh, ada temennya ya, Mas?" pandangan Kinanti Ayu turun pada sosok perempuan yang mengenakan celana denim dipadu kemeja pink di sofa. Tampak sangat terkejutnya melihatnya.
Nina langsung bangkit berdiri dengan bingung. Ia menatap Dewa yang sepertinya juga terkejut akan kemunculan sang ibu.
"Mama kok nggak ngabarin mau ke sini?"
"Mama kira kamu nggak di rumah." Kinanti Ayu mengambil langkah mendekat, melirik teman perempuan Dewa yang berdiri kikuk. "Mama cuma mau nganterin lauk buat kamu."
"Biasanya juga Mama go-send." Dewa meraih paper bag di tangan sang ibu, lalu mencium tangannya.
"Sekalian aja, soalnya mama mau pergi arisan."
Dewa manggut-manggut. Meletakkan paper bag di tangannya di atas meja, lalu memeluk pinggang Nina mesra. "Kenalin, Ma. Pacarku. Kanina." Ucapnya dengan senyum bangga.
Yang diperkenalkan malah menunduk malu.
"Oh," Kinanti Ayu menutup mulutnya kaget. "Jadi, udah pacaran, Mas? Kok nggak bilang Mama, sih?"
Dewa meringis. Jadi, ketahuan deh dia suka curhat pada ibunya.
"Sayang, ini mamaku," Dewa memperkanalan ibunya.
Nina mengangguk, tersenyum ramah. Menyalim tangan wanita paruh baya dengan penampilan elegan tersebut sopan. "Kanina, Tante."
"Kinanti Ayu. Mamanya Dewa." Kinanti Ayu tersenyum. Memperhatikan Nina dari atas sampai bawah. Gadis sederhana. Beda sekali dengan wanita-wanita yang pernah dikencani oleh putranya. "Aduh, akhirnya ketemu juga sama kamu, Kanina. Tan—" ucapan Kinanti Ayu terjeda karena dering ponselnya. Ia melirik sekilas lalu me-reject-nya. Berdecak jengkel. "Tante sebenarnya masih mau ngobrol-ngobrol sama kamu. Tapi Tante udah ditungguin buat arisan. Nanti kita ketemu lagi, ya."
"Eung," Nina bingung harus menjawab apa. Tapi akhirnya dia pun mengangguk ragu. "Iya, Tan."
"Good," Kinanti Ayu menarik bahu Nina untuk bercipika-cipiki. "Senang ketemu kamu, Kanina."
"Saya juga, Tante," balasnya menunduk sopan.
"Aku antar mama ke depan, ya," bisik Dewa.
Nina mengangguk. Tetap berdiri sampai ibu dan anak itu mengambil langkah ke hallway. Begitu sosok mereka tak terlihat, Nina membuang napas lega, menjatuhkan bokongnya di sofa.
Astaga, mimpi apa yang ia semalam hingga bertemu mama Dewa hari ini?
"Biasanya mama ngabarin kalau mau mampir," suara Dewa yang terdengar membuat Nina mendongak. Pria itu kembali duduk di sebelahnya, menatapnya lembut. "Kaget, ya?"
"Dikit."
Dewa tersenyum kecil. "Tenang aja. Mamaku baik, kok. Nggak gigit."
Nina memaksakan senyum. Masih shock dengan pertemuan mendadak tadi. "Mmm ... udah mau sore. Aku pulang ya, Mas?"
"Pulang?" Dewa jelas tak akan membiarkan Nina pulang. "Masih jam tiga lho,"
"Aku kan udah dari pagi di sini."
"Ya, nggak apa-apa. Kamu di sini aja. Lagian, kerjaan kamu kan udah selesai."
"Tapi—"
"I still miss you," Dewa memang wajah memelas sambil menggenggam tangan Nina. "Please."
Nina melirik jam di tangannya, lalu membuang napas. "Okay. Tapi satu jam lagi aku pulang, ya."
Dewa langsung sumringah, mencium punggung tangan Nina senang. "Thank you, Sayang!"
Bersambung.
22 | would you mind
"What?! Lo ngeliat Sasha pulang bareng Faris? Faris bukannya udah punya cewek, ya?" Sisy mengedarkan pandangan ke seisi meja—dimana Nina, Pedro, dan Nalendra duduk bersamanya. Meminta salah satu dari mereka membenarkan ucapannya. Tapi jelas, hanya Nalendra yang menanggapi. Sebab Nina dan Pedro mana update soal gosip terpanas.
"Makanya, Mbak!" Nalendra menanggapi menggebu-gebu. "Sus banget waktu gue ngeliat Sasha masuk ke mobil Faris."
"Sasha nebeng kali," Nina menanggapi netral.
"Apart mereka nggak searah, Nina." Sisy membantah. "Ngapain Sasha nebeng?"
"Yaudah, biarin aja nggak, sih?" Nina mendesah malas. "Bukan urusan kita juga."
"Urusan kita dong, Teh." Sahut Nalendra. Masih sama berapi-apinya. "Sasha kan anak kantor kita. Malu banget kalau sampai jadi selingkuhan."
Nina menghela napas. "Sebahagia kalian, deh."
Selagi Sisy dan Nalendra lanjut bergosip. Nina mengangkat wajahnya, menatap Pedro yang paling banyak diam di antara mereka berempat.
Saat ini mereka berada di salah satu kafe di daerah SCB—menerima traktiran Pedro yang berulang tahun hari ini. Lebih tepatnya traktiran yang terpaksa dilakukan Pedro karena Nalendra maksa minta ditraktir.
"Kamu ngerti yang mereka omongin nggak sih, Mas?" tanya Nina iseng.
Pedro menggeleng. "Mereka ngomongnya cepat banget. Terus lompat-lompat topik mulu."
Nina tertawa kecil. "Lebih enak dengerin klien ya, Mas?" ledeknya.
Sudut bibir Pedro terangkat. Tersenyum sedikit. "Nggak juga. Lebih enakan dengar kamu ngomong," balasnya kalem.
Kalimat tak terduga itu cukup mengejutkan Nina. Gadis itu mengerjapkan mata. Bingung harus merespon apa karena tidak biasanya Pedro bicara seperti ini padanya. Meskipun Nalendra sering meledek mereka berdua, Nina tak pernah menanggapinya serius. Begitu pun dugaan Sisy soal Pedro menyukainya. Pedro hanya nyaman dengannya karena mereka sering satu tim. Lebih dari pada itu, Nina tak merasa perhatian pria itu adalah bentuk rasa suka. Melainkan hanya kepedulian pada rekan kerja saja. Iya, kan?
Ponselnya yang bergetar di atas meja mengalihkan kecanggungan di antaranya dengan Pedro. Nina meraih ponselnya yang memang ia balikan posisinya agar notifikasinya tidak dapat dilihat orang lain.
Sebab belakangan, memang ada hal yang Nina sembunyikan dari orang-orang.
Mas Dewa
Aku baru sampai tempat gym
Kamu masih di sana?
Nina
Iya
Baru selesai makan.
Mas Dewa
Pulangnya gimana?
Mau aku jemput nggak?
Nina
Nanti pulang bareng Sisy kok.
Mas Dewa
Okay
Kabarin kalau mau pulang, ya.
Nina
Iya
Mas Dewa
😘 😘
Nina mendengus. Mengulum bibirnya agar tak tersenyum karena balasan chat Dewa yang menggemaskan.
Barangkali Nina sudah tak lagi menyangkal perasaannya pada Dewa. Tetapi ketakutan itu masih tersimpan di sudut hatinya yang terdalam. Keimpulsifannya memang sempat membuat Nina menyesal dan ingin berkata jujur pada Dewa. Hanya saja, hubungannya dengan Dewa secara mengejutkan berjalan lancar. Pria itu begitu manis, pengertian, dan tentunya memperlakukannya dengan penuh rasa sayang.
She's only human. She's just a girl. Mustahil rasanya ia tidak merasakan apa-apa setelah semua yang Dewa lakukan padanya.
Bahkan, meskipun ia dan adiknya sudah berbaikan—pemikiran untuk mengakhiri hubungannya dengan Dewa sama sekali tak muncul.
Kian menelpon Nina tepat di hari pertemuan tak terduganya dengan Kinanti Ayu—ibu Dewa.
Setelah diantar Dewa pulang—yeah, Nina pulang cukup larut hari itu karena Dewa tak membangunkannya yang ketiduran. Bayangkan bagaimana salah tingkahnya Nina terbangun dalam pelukkan pria itu? Dipandangi dengan tatapan begitu lembut seolah-olah ia adalah wanita paling cantik yang pernah pria itu lihat. Perut Nina seperti terpilin, dan jantungnya berdegup amat kencang sampai ia melompat turun dari sofa. Menjaga jarak amat dengan Dewa. Mengatakan ingin pulang karena sudah malam.
Dewa mencegahnya, tentu saja. Tapi Nina barsikeras. Akhirnya Dewa mengatakan akan mengantar Nina pulang setelah mereka dinner bersama.
Nina menyadari betul ia memacari laki-laki dewasa yang berpengalaman. Ia tidak sepolos itu untuk tidak menyadari apa yang Dewa pikir dan inginkan ketika mereka dalam suasana intim. Hanya saja, Nina sudah lama tak berpacaran. Ia butuh waktu untuk terbiasa lagi dengan kemesraan. Dan Nina lega Dewa selalu bertanya lebih dulu sebelum menyentuhnya. Membuat Nina bisa berpikir sejenak akan tindakan yang akan ia ambil.
Begitu sampai apartemennya, Nina berniat untuk mandi andai saja panggilan telepon sang adik tak menginterupsinya. Kian meminta maaf dan menyesalkan sikapnya yang tak pengertian. Meskipun pembahasan tentang ayah mereka masih menjadi topik sensitif—Nina tak ingin terlalu lama perang dingin dengan adiknya.
Seharusnya, damainya ia dan Kian membuat Nina tak memiliki alasan untuk meneruskan hubungannya dengan Dewa. Tetapi semangatnya memutuskan hubungan mereka pudar seiring dengan segala sikap manis, perhatian, dan sayang Dewa padanya. Nina lelah menyangkal ketertarikannya. Jadi, ia memutuskan untuk menjalani hubungan ini tanpa harapan apapun.
"Makan-makan doang gini mana seru! Clubbing nggak sih, enaknya?" Nalendra memberi usul setelah Pedro melakukan transaksi pembayaran. Sebagai anak gaul, Nalendra jelas tak asing dengan dunia malam. Well, Nina juga pernah ke kelab. Biasanya karena ada acara kantor atau merayakan sesuatu. Tetapi ia tak pernah clubbing atas inisiatifnya sendiri.
Sebagai introvert sejati, kelab malam adalah tempat terakhir yang ingin dia datangi.
"Gue juga udah lama nggak clubbing, sih." Sisy tampak tertarik dengan ide Nalendra. Lantas menatap Nina sambil menaik-turunkan alisnya. "Yuk, Nin! Kapan lagi kita bisa have fun!"
"Besok kita masih ngantor, ya!" Nina mengingatkan, melotot pada Sisy dan Nalendra.
"Elah, Teh. Sans ajaaaa!" Nalendra mengibaskan tangannya. "Bos kita aja liburan ke Bali sama pacarnya. Masa kita anak buahnya nggak boleh senang-senang, sih?"
Hubungan Samudera dan Raline yang sudah go public sempat membuat kehebohan di kantor. Khususnya dari cewek-cewek yang mengidolakan Samudera. Apalagi begitu mereka tahu siapa yang dikencani oleh bos mereka, semuanya langsung tertampar kenyataan akan tingginya kriteria wanita idaman Samudera. Lucunya, mereka merayakan patah hati mereka bersama-sama dengan berkaraoke ria.
"Itu lah bedanya bos sama kacung, Len," tukas Nina.
Nalendra berdecak. "Lo mah nggak asik, Teh. Nggak ngasih tahu kalau Mas Sam pacaran sama Mbak Raline!"
"Gue kan cuma menjaga kepercayaan orang sama gue, ya." Sahut Nina santai sekaligus menyindir.
Mata Nalendra menyipit. Membalas sindiran itu dengan analisisnya yang jarang meleset. "Sebenarnya belakangan gue curiga sama lo, Teh. Jangan bilang lo sama kayak Mas Sam, ya? Diam-diam udah punya cowok?!"
Nina melotot. Sungguh, ia sudah sangat berhati-hati agar tidak ada yang mencurigainya. Nina menghindari sekali chatting dengan Dewa di jam kantor. Namun entah kenapa, Nalendra seolah punya indera keenam. Mengetahui sesuatu yang tidak perlu diberitahu.
"Jadi, clubbing nggak, nih?" Sisy menginterupsi. Sekaligus menyelamatkan Nina dari kecurigaan Nalendra.
"Jadi, dong!" Nalendra langsung menyahut cepat. Berpaling pada Pedro. "Mas, lo ikut nggak? Masa traktir makan doang. Open table juga alah sekalian!" tambahnya sambil nyengir tak tahu malu.
"Kalau Nina ikut, gue ikut." Tukas Pedro.
Nina mengerjap. Melirik Pedro yang menatapnya penuh arti. Perasaannya saja atau memang pria itu agak berbeda hari ini.
"Idiiiih. Teh Nina banget ya patokannya." Ledek Nalendra. "Teh, ikut, ya! Pleaseee."
"Iya, Nin. Vibing aja di sana. Jarang banget lho kita bisa clubbing bareng." Bujuk Sisy, males kalau hanya perempuan sendiri.
Karena semua orang menatapnya penuh harapan, Nina hanya bisa menghela napas pasrah dan menganggukkan kepalanya.
***
Mas Dewa
Sisy beneran bisa nganterin?
Aku jemput aja gimana?
Nina
Iya, Sisy yang nganterin, Mas Dewa
You don't have to worry, kay?
"Sampai kapan sih mau backstreet?" pertanyaan Sisy membuat Nina menoleh—mendapati sahabatnya itu sudah kembali dari dance floor, dan kini duduk di sebelahnya.
Nina menyimpan ponselnya di saku blazer. Suasana kelab yang ramai, penuh, dan berisik sebetulnya bukan tempat yang enak untuk mengobrol. Sejak tadi pun, Nina memilih duduk diam—sementara Sisy dan Nalendra menikmati waktu mereka di dance floor. Meninggalkan Nina dengan Pedro yang dibungkus oleh kecanggungan—atau tepatnya hanya Nina sendiri yang merasa begitu. Sebab Pedro tenang-tenang saja di sebelah.
"Nalen mana?" Nina balik bertanya. Melongokkan kepala mencari rekan kerjanya. Sekaligus menghindari pembahasan soal 'backstreet' dengan Sisy.
"Lagi flirting-in cewek," Sisy berdecak. Meraih mocktail-nya di atas meja lalu menenggaknya sebelum menyambung. "Mas Pedro mana?"
"Ke toilet."
Sisy manggut-manggut.
"So, sampai kapan mau backstreet?" tanyanya, mengulang pertanyaan setelah beberapa menit diam.
"Huh?" Nina menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Agak defensif.
Sisy menghela napas. Menatap Nina serius. "Udah mau tiga bulan lho kalian pacaran. Mau backstreetsampai kapan, Kanina?"
Benar. Hubungannya dengan Dewa sebentar lagi akan menyentuh angka tiga bulan. Nina pun terkejut dengan cepatnya waktu berjalan. Namun, beberapa bulan ini memang terasa seperti mimpi indah yang mustahil terjadi di dunia nyata. Meskipun begitu, Nina mencoba untuk tetap realistis dan tidak terlena. Hubungan mereka sedang berada di fase kasmaran. Semua orang yang menjalin hubungan akan begini di awalnya. Sampai akhirnya sifat asli mereka tampak, dan masalah pun mulai timbul.
Ada yang bilang kebanyakkan pasangan berhenti jatuh cinta setelah enam bulan. Dan Nina sudah bersiap akan fase dimana perasaan yang mereka miliki pudar, dan Dewa mungkin menyadari ia bukan wanita yang tepat untuknya.
Sebab itu, ia masih bersikeras ingin menyembunyikan hubungannya dengan Dewa dari orang-orang.
"Ya, emang apa salahnya sih backstreet?" desah Nina. "Gue cuma nggak mau jadi atensi, kok."
"Dan apa masalahnya go public?" Sisy membalikkan pertanyaan. "Orang-orang paling ngomongin hubungan kalian bentar, doang. Terus nggak peduli lagi. Mas Sam punya alasan backstreet karena mau ngelindungin persahabatan pacarnya sama kakaknya. Nah, elo? Alasan lo backstreet menurut gue nggak kuat, Nina."
Nina meraih orange juice-nya. Ia tidak bisa menelanjangi dirinya pada Sisy. Sebab satu rahasia, akan menyikap rahasia lainnya. Dan Nina tidak ingin melakukannya—lebih tepatnya, ia tidak bisa melakukannya. Nina sudah terbiasa menyimpan semuanya sendiri. Menceritakan pada orang lain tentang semua kerumitan di kepalanya membuatnya terbata-bata dan berakhir tak mengatakan apapun. Lebih dari pada itu, Nina tidak ingin orang-orang tahu betapa kacau hidupnya.
"Besides, kasihan Mas Ped," tambah Sisy yang semakin terdengar serius.
"Mas Pedro?" Nina menautkan alisnya. "Kok jadi Mas Pedro?"
"Kanina, astaga!" Sisy mengapalkan tangan gemas. "Jangan bilang lo masih denial soal perasaan Mas Ped buat lo! He's crushing on you!"
"Oh, come on," Nina menggeleng. "No. He's not."
"Girl, are you being serious?" Sisy memandang Nina tak percaya. "Setelah perkataannya dia mau ikut kalau lo ikut? Setelah dia bilang lebih suka dengar lo ngomong dari pada orang lain—"
"Wait, lo noticed Mad Ped ngomong itu?" sela Nina terkejut.
"Of course. Gue kan duduk di samping lo, nyet!" sentak Sisy sambil mengerutkan keningnya. "Tapi yang paling obvious itu adalah the way he looked at you! Mas Ped natap lo seolah-olah lo itu bintang yang lagi bersinar di tengah kegelapan."
"What?!" Nina tahu Sisy sedang serius. Tetapi kalimat gadis itu sungguh puitis sampai membuat perut Nina geli. "Sisy, sejak kapan lo hobi nulis puisi gini?"
"Gue serius, Kaninong!" tukas Sisy gregetan.
Nina menutup mulutnya, berusaha untuk berhenti tertawa karena Sisy mulai agak bete. "Well, itu kan masih dugaan aja. Lagian, gue sama Mas Ped itu udah jadi rekan kerja bertahun-tahun. Gue nggak mau kegeeran terus malah bikin hubungan kami sebagai rekan kerja jadi canggung. You know what I mean, right?"
Sisy membuang napas. "But, still, sebaiknya lo nggak backstreet kayak gini. Dengan lo go public, status lo akan kelihatan lebih jelas. Dan cowok-cowok yang menyimpan rasa sama lo bisa tahu posisinya dan move on. Plus, your man will be happy." Sisy lantas menambahkan dengan nada playful. "Emang lo nggak ngerasa ya gimana penginnya Mas Dewa teriak ke satu gedung kalau lo pacarnya?"
Nina berdecak. "Sisy, nggak usah lebay!"
"Gue serius, Nin. Setiap kali gue ngeliat Mas Dewa mandangin lo, gue kayak bisa dengar suara dia ngomong; mine! Mine! Mine!"
"Asli, lo kebanyakan baca novel!" Nina tertawa geli.
"Itu karena kisah cinta lo udah kayak novel." Balas Sisy. "In a good way, ya. Lo kelihatan banget bahagia semenjak pacaran sama Mas Dewa. I mean, look at you, girl. Lo harus sering-sering ngaca biar bisa ngelihat gimana ekspresi lo setiap kali kita bahas Mas Dewa. Dan sepengelihatan gue, Mas Dewa kasih dampak yang baik buat lo. Dia juga memperlakukan lo dengan baik."
Sisy benar. Dewa memperlakukannya dengan sangat baik. Terlalu baik malah sampai Nina takut dirinya akan terbiasa.
Gue paling iri setiap kali date gym bareng, sih." Kerling Sisy. "Coba lo go public, pasti bisa bikin insta story gemes, deh!"
Yeah, sebab Dewa tidak mau Nina gym didampingi PT—pria itu kini merangkap juga sebagai personal training pribadinya. Mereka biasanya gym bareng setiap weekend—di tempat gym yang biasa didatangi oleh Dewa. Dimana sudah dipastikan tidak akan ada anak kantor mereka yang terdaftar sebagai member di sana.
Nina pun akhirnya bertemu juga dengan salah satu sahabat Dewa yang bernama Angga—yang secara mengejutkan kekasih dari kliennya. Pria itu bersikap sangat ramah padanya dan sering membocorkan rahasia-rahasia kecil Dewa yang membuat Nina menyadari mereka sudah berteman sangat lama.
"But, well, keputusan masih ada di tangan lo. However, yang menjalaninya lo dan Mas Dewa. So, kalian berdua yang paling tahu mana yang baik untuk hubungan kalian."
Nina tersenyum tulus. Menatap Sisy dengan penuh rasa syukur. Sisy adalah salah satu orang yang paling mengertinya. Sungguh, Nina merasa begitu beruntung memiliki Sisy sebagai sahabatnya. "Thanks, Sy. Dan gue bakal mikirin lagi saran lo."
Sisy balas tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.
"Ke dance floor, yuk!" ajaknya. "Masa lo duduk doang sih di sini?"
Nina menggeleng. "Lo aja. I'm okay, kok."
Sisy manggut-manggut. "Yaudah, gue turun, ya. Sekalian mau cari Nalen. Kemana deh tuh anak?!" gerutunya yang membuat Nina tertawa kecil.
***
Entah kenapa, Nina mendapatkan firasat buruk soal ini.
Well, ini memang bukan pertama kalinya ia diantar pulang Pedro. Sering satu tim membuat mereka biasa lembur bersama, dan Pedro pasti mengantar Nina pulang karena bahaya untuk Nina naik ojek online di hari yang sudah larut malam. Hanya saja, situasinya sekarang sedikit berbeda.
Sebab Sisy mendadak ada urusan keluarga, gadis itu tak bisa mengantar Nina pulang. Nalendra pun tidak bisa diharapkan, dia menolak pulang setelah berkenalan dengan wanita cantik di kelab. Alhasil, tersisa Pedro yang dengan gentleman-nya menawarkan diri untuk mengantar Nina.
"Yaudah, pulang sama aku aja, Nin," katanya dengan gaya santai khasnya. "Kamu mau pulang sekarang, kan?"
Nina mengangguk. "By the way, nggak apa-apa Nalen kita tinggal, Mas?"
"Udah gede ini. Nggak bakal ada juga yang nyulik dia."
Nina menggigit bibir geli. Pedro memang pendiam. Tapi sekali mengeluarkan komentar, pasti lucu.
Nina meyakinkan diri tidak ada salahnya pulang diantar Pedro. Toh, mereka hanya rekan kerja. Selama ini Pedro selalu bersikap baik padanya. Nina tidak ingin membuat hubungan mereka jadi canggung di saat mereka bertemu hampir setiap hari di kantor.
Perjalanan mereka diselimuti oleh keheningan. Nina mengeluarkan ponselnya, hendak memberi kabar pada Dewa. Tetapi ponselnya ternyata mati karena habis daya sedikit membuat panik. Berpacaran dengan Dewa tiga bulan ini, Nina sedikit mengerti betapa pentingnya memberi kabar untuk pria itu. Dewa selalu memastikan Nina tahu dimana ia berada, dan begitu pun sebaliknya. Dewa harus tahu dimana kekasihnya berada, dengan siapa dia, serta bagaimana Nina pulang. Sebab itu, mereka memang berkomunikasi cukup intens.
Nina mendesah kecil. Merutuki dirinya yang hari ini tidak membawa charger.
"Kenapa, Nin?"
"Huh?" Nina mengerjap karena tiba-tiba diajak bicara oleh Pedro. "Kenapa apa, Mas?"
"Muka kamu kayak frustasi gitu."
"Oh," Nina meringis. "Nggak apa-apa, kok."
Pedro manggut-manggut. Lalu keheningan kembali membungkus mereka. Nina menolehkan kepalanya ke jendela mobil, mengisi waktunya dengan pemandangan di luar. Terbiasa semobil dengan Dewa yang ramai membuat Nina agak canggung ketika duduk di samping pria lain. Apalagi Pedro pendiam sekali. Padahal biasanya ia baik-baik saja dengan keheningan ini.
Sungguh, Dewa merubah banyak hal dalam hidup Nina.
"Boleh tolongin buka dashboard-nya nggak, Nin?"
"Hm?" Nina menoleh. Mendapati Pedro meliriknya sekilas sebelum fokus lagi ke jalan. "Dasboard?" tangan Nina terulur, membuka dashboard sesuai permintaan Pedro lalu mengerjap saat melihat ada paper bag kecil barwarna pink di dalamnya
"Ambil coba,"
Nina mengambilnya. Mencoba untuk tidak membuat prasangka apapun.
"Hadiah buat kamu," cetus Pedro.
"Mas, tapi kan yang ulang tahun kamu." Nina mengerjap terkejut. Lalu berusaha tertawa demi membuat situasi ini lucu. "Aneh-aneh aja deh kamu."
"Karena aku yang ulang tahun, aku kasih hadiah," balas Pedro santai. "Coba kamu buka dulu."
"Tapi—"
"Isinya bukan barang mahal, kok." Potong Pedro lembut.
Nina menghela napas, kemudian membukanya.
Kindle.
Mulut Nina menganga, sementara matanya mengerjap terkejut.
"Kamu kan suka baca. So, aku rasa kamu butuh banget Kindle."
"He's crushing on you!"
Ucapan Sisy kembali terngiang di kepala Nina. Gadis itu memejamkan mata berusaha untuk tidak overthinking akan suatu hal yang belum terjadi. Pedro mungkin hanya bersikap baik karena mereka sudah lama menjadi rekan kerja.
"'Mas, sorry, aku nggak bisa nerima. Ini harganya lumayan lho." Tolak Nina halus.
"Aku dapat diskon, kok."
"But, still—"
"Memang ada yang marah kalau aku kasih kamu hadiah?" Pedro bertanya, menatap Nina sekilas yang membuat gadis itu terdiam membeku. "Kanina, aku ngasih kamu hadiah karena selama ini kamu udah sabar dan baik sama aku. Di antara semua orang di kantor, kamu yang nggak pernah protes kalau satu team sama aku. Kamu bisa ngimbangin cara kerjaku. You're my best partner ever. So, I want to give you something, sebagai ucapan terima kasih. Terima, ya?"
Nina menggigit bibirnya gamang. Ucapan Pedro yang tulus membuat Nina tidak enak menolak. Sekali lagi, mereka rekan kerja. Kecanggungan akan menghambat project yang sedang mereka kerjakan bersama.
"... thanks, Mas," ucap Nina masih dengan keraguan yang sama. "Mmm ... actually, aku juga senang bisa kerja bareng sama kamu."
Pedro tersenyum. Sesuatu yang jarang sekali terjadi.
Beberapa menit kemudian, mobil Pedro akhirnya berhenti di depan lobi gedung apartemen Nina. Sambil menyampirkan tas ke bahu, Nina mengucapkan terima kasih pada Pedro.
Pedro mengangguk. Sekali lagi tersenyum pada Nina.
Nina membalasnya dengan senyum kecil.
Lalu memutar tubuhnya hendak membuka pintu mobil. Tetapi tangannya malah meraih udara kosong, sebab indera pengelihatan menangkap sosok Dewa yang baru saja keluar dari pintu lobi dan menatap ke arahnya langsung.
Nina menelan ludah. Karena terlihat jelas, suasana hati pria itu tampak buruk. Dan Nina bisa menebak penyebabnya.
Bersambung.
23 | jealousy
"Ya elah, posesif amat. Nina pergi sama teman kantornya ini, kok." Celetuk Angga yang sudah mulai jenuh dengan tingkah Dewa yang terus memandangi ponselnya—menunggu sang kekasih memberi balasan. Dari tempat fitness sampai akhirnya mereka bersantai di coffee shop terdekat, Dewa tak berhenti gelisah. "Perasaan sama mantan-mantan lo nggak segininya, deh. Lo emang protektif. Tapi, ya, kalau mereka clubbing lo biasa aja."
Dewa berdecak. Meraih gelas americano-nya. Menahan diri agar tak membalas ucapan Angga. Sebab, jika sahabatnya tahu salah satu alasannya gelisah karena ada seorang laki-laki yang ia curigai memiliki perasaan pada kekasihnya ada dalam kelompok itu—pria itu pasti menertawainya habis-habisan.
"But, gue ngerti sih kenapa lo posesif gini. Nina memang atraktif. Tipe cantik innocent gitu. Tipe yang kalau lo ajak ketemu keluarga, pasti langsung disetujui. Tapi pas kenal, ternyata dia asik dan nggak selemah kelihatannya. Padahal badannya kecil gitu, pas di training sama lo, sekali pun nggak pernah ngeluh." Ucap Angga panjang lebar. Mendeskripsikan Nina dari pengamatan singkatnya setiap kali bertemu gadis itu di tempat fitness. "Cewek kayak Nina langka, sih. Pantes lo ngebet. Kalau gue belum ketemu Emila, gue juga pasti bakal naksir."
Kalimat terakhir Angga berhasil mengundang tatapan tajam dari Dewa.
Angga tertawa kecil karena berhasil memancing emosi sahabatnya. "Rileks, man. Walaupun gue belum ketemu Emila juga, gue nggak mungkin lah nikung lo! Sumpah, lo posesif banget sama Nina. Jangan bilang lo udah head over heels sama dia."
Dewa tak membantah, atau pun membenarkan. Ia pun bingung dengan sedalam apa perasaannya pada Nina. Jika memang rasa sukanya telah menjelma menjadi cinta ... bagaimana mungkin bisa secepat ini? Tetapi Nina memang semudah itu untuk disayangi. Dewa bahkan langsung tertarik pada Nina di pandangan pertama. Lalu menyukainya begitu mereka berinteraksi. Jatuh cinta pada Nina setelah mereka berkencan sepertinya bukan hal yang mustahil.
"What was that? Lo beneran udah udah jatuh cinta sama Nina?" mata Angga membelalak oleh keterkejutan. Yang beberapa detik kemudian, digantikan tawa mengejek. "Shit, man! Seorang Sadewa jatuh cinta sama cewek yang baru dia pacarin tiga bulan. Oh, atau mungkin sejak awal lo emang udah jatuh cinta sama Nina. Does she know? You love her?" tambah Dewa Angga dengan seringai menggoda.
Dewa memutar bola matanya, kemudian meraih ponselnya untuk menghubungi Nina. Sudah satu setengah jam pesannya tak mendapat balasan. Dewa tak bisa menunggu lebih lama lagi. Ia bukan hanya gelisah karena pria yang ia curigai menyukai kekasihnya ada di sana—tetapi juga tempat Nina berada. Kelab malam bukan tepat berbahaya. Tetapi juga bukan tempat aman untuk wanita.
Well, Nina memang tidak sendirian. Ada Sisy yang bisa Dewa percaya. Hanya saja, sebagai pacarnya, wajar bukan Dewa tidak tenang? Ia sudah merasa begitu sejak mengetahui Nina akan pergi makan-makan merayakan ulang tahun pria itu. Tetapi Dewa tidak ingin mengutarakan kegelisahannya karena itu akan membuatnya tampak konyol.
Dewa memang protektif pada pasangannya. Namun ia bukan tipe yang suka melarang. Apalagi pria itu teman kantor Nina, sulit untuk mencegah Nina tak berinteraksi dengannya. Dewa mencoba berpikir dewasa sebagaimana umurnya. Tetapi luapan kecemburuan terkadang tak pandang umur.
Jantung Dewa berdegup kencang ketika mendapati nomor Nina tak aktif. Ia berusaha menghubungi kekasihnya sekali lagi untuk mendapatkan tanggapan yang sama.
"What's wrong?" tanya Angga yang menyadari kekelaman di wajah sahabatnya.
"I have to go now," Dewa bangkit berdiri. Meraih kunci mobilnya lalu keluar dari coffee shop tersebut. Mengabaikan kebingungan di wajah Angga yang menatapnya penasaran.
Dewa menyalakan mesin mobil. Menghubungi Nina sekali lagi sambil mengeluarkan mobilnya dari parkiran. Begitu mendapatkan hasil yang sama, ia pun berganti menelpon Sisy.
"Halo? Iya, Mas Dewa?" sahutan itu membuat Dewa sedikit bernapas lega.
"Halo, Sy. Nina sama kamu nggak?" Dewa bertanya to the point.
"Nina?" suara Sisy terdengar kaget dan bingung. "Aku nggak jadi pulang bareng Nina, Mas. Kakakku masuk rumah sakit. Nina jadinya pulang bareng Mas Pedro."
"Oh, gitu," Dewa mengerjap dengan gemuruh asing di dadanya. "Sorry, ya, ganggu. Hape Nina nggak aktif ... so, I thought she was with you."
"Lowbat kali, Mas. Mungkin sekarang Nina udah di jalan mau pulang."
"I see," Dewa menyahut datar.
"Mas Pedro bisa dipercaya kok, Mas." Tambah Sisy seolah bisa membaca pikiran Dewa. "Dia pasti nganterin Nina dengan selamat."
Dewa tertawa hambar. Ia tahu Sisy berusaha menenangkan kekhawatirannya. "Okay, thanks ya, Sy. Get well soon buat kakak kamu." Katanya lalu menutup panggilan begitu mendapatkan balasan terima kasih kembali dari Sisy.
Tangan Dewa memegang setir mobil dengan perasaan campur aduk. Ia lega mengetahui Nina sudah di jalan mau pulang. Tetapi mengetahui siapa yang mengantarnya—Dewa cukup dibuat cemburu. Nina bisa memintanya menjemput. Atau jika memang ponselnya lowbat, dia bisa meminjam charger atau menghubunginya menggunakan ponsel orang lain.
Ah, ya, mereka backstreet. Nina jelas tidak mau mengambil resiko hubungan mereka ketahuan dengan membiarkan Dewa menjemputnya.
Dewa membelokkan setirnya menuju apartemen Nina. Mencoba berpikir dengan emosi yang lebih stabil dan tenang. Bagaimanapun, ia laki-laki dewasa. Jangan sampai kecemburuan membuatnya tampak kekanakan dan tak masuk akal. Hingga detik ini, hubungannya dengan Nina berjalan dengan sangat baik. Nina bukan hanya merasa nyaman dengannya—gadis itu pun kini perlahan-lahan mulai mempercayainya. Dewa tidak ingin merusak itu.
Mungkin ia gelisah seperti ini karena tahu Nina belum menyukainya sebesar ia menyukai gadis itu. Perasaan takut kehilangan itu lah yang membuatnya gelisah. Dewa terbiasa pihak yang paling banyak mendapatkan cinta. Ia tidak pernah takut pasangannya akan berpaling darinya. Hanya pada Nina yang ia setidakpercaya diri ini.
Namun selama hubungan mereka, Dewa dapat merasakan kasih sayang Nina padanya. Ia juga tahu Nina bukan sengaja tidak memberinya kabar. Seperti dugaan Sisy, kemungkinan besar ponsel Nina lowbat. Ini masalah sepele yang bisa mereka bicarakan baik-baik.
Dengan pikiran dan hati yang lebih tenang, Dewa duduk di sofa lobi menunggu kepulangan Nina. Kekasihnya masih tidak ingin memberitahu kode akses apartemennya—meskipun Dewa sudah memberikan Nina keycard unit apartemennya. Awalnya Nina menolak. Tetapi Dewa memaksa dengan alasan kalau ada apa-apa, Nina bisa langsung masuk ke apartemennya.
Dewa melakukannya bukan sebagai rayuan agar Nina melakukan hal yang sama. Ia ingin menunjukkan pada Nina betapa seriusnya ia pada hubungan mereka. Dan betapa besarnya keinginan Dewa untuk Nina terlibat dalam kehidupannya.
Dewa bangkit berdiri sambil melirik jam di tangannya. Ketika ia menengok pintu lobi, kilat cahaya membuatnya mengambil langkah mendekat. Matanya memicing, memperhatikan mobil hitam tersebut yang berhenti. Kaki Dewa yang berjalan pelan berubah lebih cepat tatkala ia menangkap sosok kekasihnya di dalam sana.
Sial! Dewa sudah bertekad untuk tidak cemburu. Tetapi ketika melihat tatapan pria itu pada Nina, dadanya seketika panas oleh ledakkan keposesifan.
***
"Siapa, Nin?"
"Oh," pertanyaan Pedro membuat Nina menoleh, lalu membasahi bibir agak panik. Tetapi ia tidak punya waktu untuk menjawab pertanyaan itu karena merasa perlu turun dari mobil sekarang dan menemui Dewa. "Makasih udah nganterin ya, Mas. Happy birthday. Wish you all the best!" ucapnya terburu-buru.
Nina turun dari mobil dengan jantung berdegup kencang. Ia mengambil langkah mendekat—mendapati Dewa masih menatap lurus pada mobil Pedro yang belum beranjak depan lobi.
"Mas Dewa," Nina memanggil gugup.
Tidak cukup kencang. Tidak juga terlalu pelan karena pria itu langsung berpaling—dan seketika ekspresi keras di wajahnya melembut. "Hi," Dewa memotong di antara mereka. Mengangkat tangannya untuk mengusap sisi kepala Nina. "How was your night?"
Nina mengerjap bingung. Banyak skenario di dalam kepalanya. Dan ini jelas bukan salah satu satunya. Apalagi mengingat ekspresi pria itu sebelumnya.
"Uh ... I am-I'm a bit tired," jawab Nina masih dengan kebingungan yang menghiasi matanya.
"Let's go upstairs," Dewa mengangguk. Lantas merangkul bahu Nina. "Di luar dingin."
Nina mengangguk. Mengikuti Dewa yang membawanya masuk melewati pintu lobi. Ketika ia menoleh ke belakang, mobil Pedro sudah tak ada di sana. Sedikit banyaknya hal itu membuat Nina lega.
Nina berpaling pada Dewa, membuka mulutnya untuk menjelaskan agar pria itu tak salah paham. "Mas—"
"Kita bicarain setelah di atas ya," sela Dewa lembut. Menatap mata Nina bersungguh-sungguh.
Nina mengangguk menyetujui. Merasa itu ide yang lebih baik. Mereka memang sebaiknya bicara di tempat yang tertutup agar mereka bisa mendapatkan privasi.
Well, meskipun Dewa masih bersikap lunak padanya, Nina bisa merasakan aura tak tenang Dewa yang merangkulnya. Ekspresi pria itu pun sulit dibaca, membuat Nina tidak bisa menebak apa yang Dewa pikirkan sekarang. Tetapi Nina bisa merasakan keposesifan pria itu yang tak melepaskannya dari rangkulan. Dewa terus mempertahankan kontak itu setelah mereka masuk lift, keluar lift, lalu menyusuri koridor yang sepi hingga berhenti di depan pintu unit apartemennya.
Nina menekan beberapa digit angka, lalu membuka pintu lebar-lebar agar Dewa bisa masuk ke dalam bersamanya.
"Do you want anything to drink?" tanya Nina sambil meletakkan tas dan paper bag di sofa. Kemudian menoleh pada Dewa yang sedang melepaskan jaketnya—membuat Nina terdiam di tempatnya nyaris tak bisa berkedip.
Di balik jaketnya, Dewa hanya mengenakan singlet gym hitam. Oh, ini memang bukan pertama kalinya Nina melihat pria itu mengenakan pakaian yang memamerkan tubuh berototnya—just, she couldn't deny how hot he was. Dan ia selalu terpesona olehnya.
"Tea, please," Dewa berkata sambil memalingkan wajah menatap Nina yang tampak gugup, lalu mengerjapkan mata dan menghindari kontak mata dengannya.
"Okay," angguk gadis itu yang mengambil langkah ke pantry. Lalu mengambil persediaan teh di kabinet.
Dewa menghela napas pelan dengan pandangan yang jatuh pada sofa. Paper bag berwarna pink itu entah kenapa mengundang rasa penasarannya. Ketika tatapannya bertemu dengan pria itu—Dewa tak mampu menahan dirinya ingin mempertontonkan kemesraannya dengan Nina. Kekanakan? Yeah, Dewa menyadari hal itu dengan jelas. Namun ia harus melakukannya karena Dewa sekarang yakin seratus persen pria itu memang menaruh hati pada kekasihnya.
Gemuruh tak menyenangkan itu datang lagi, menggerogoti hatinya bak wabah. Dewa tak menyukai perasaan itu. Alih-alih duduk di sofa, menunggu Nina selesai membuat teh untuk mereka—Dewa malah mengambil langkah mendekati gadis itu yang tampak melamun sambil mengaduk tehnya. Tak menyadari keberadaannya sampai Dewa melingkarkan tangannya di pinggang Nina, memeluk kekasihnya dari belakang.
Tubuh Nina tersentak oleh keterkejutan. Ia menoleh sekilas ke belakang lalu berbisik. "Mas,"
"A sec. I need this,"
Ucapan Dewa membuat Nina diam. Lalu melepaskan tangannya dari sendok dan memegang pinggiran kitchen island—membiarkan keheningan menyelimuti mereka selama beberapa saat, sebelum Nina akhirnya buka suara.
"Sisy nggak bisa nganterin karena kakaknya masuk rumah sakit," jelasnya. "Mas Ped nawarin pulang, dan waktu aku mau ngabarin kamu, hapeku lowbat. I'm sorry."
"I know," Dewa mengangguk. Lalu menenggelam wajah di lekuk leher Nina. Menghirup aroma menyenangkan dari tubuh gadis itu. "Aku ngehubungin Sisy setelah nomor kamu nggak aktif."
"Oh," Nina mengerjap. Menoleh sedikit ke belakang. "Did you?"
"Em-hm," Dewa mengiakan. "Tapi aku belum lega sebelum mastiin kamu udah pulang dengan selamat."
"Aku dianterin Mas Pedro," Nina mengambil jeda. Pandangan turun ke bawah sambil menggigit bibirnya. "He's my coworker."
"Yeah, I remember him. Dia cowok aku lihat di TheWall sama kamu."
Nina membasahi bibir, menatap uap panas yang mengepul dari gelas. Perasaan masih belum lega. Seperti ada yang menjanggal hatinya. Ditambah lagi, sikap Dewa yang tidak seperti biasanya. Dewa memang suka memeluknya, tetapi pelukkan ini terasa menggelisahkan.
Ingatan demi ingatan pertengkaran orang tuanya terngiang di kepala Nina. Bagaimana ibunya mengkonfrontasi ayahnya, dan bagaimana ayahnya marah karena hal itu. Situasi yang ia hadapi sekarang memang tidak persis sama, tetapi issue-nya cukup mirip. Dan Nina tidak ingin Dewa berpikir aneh-aneh tentang dirinya dan Pedro.
"Mas,"
"Hm?" Dewa mengeratkan pelukannya. Begitu pun dengan wajahnya yang semakin menyuruk ke lehernya. Membuat Nina merasakan sensasi yang menggelitik sekujur tubuhnya karena napas hangat Dewa yang membelai kulitnya, pun bibir pria itu yang menempel di sana.
"There's nothing you need to worry about him." Ucap Nina mencoba mengabaikan dulu desiran yang pria itu timbulkan pada tubuhnya. "Aku cuma nganggep Mas Pedro rekan kerja. Nggak kurang, nggak lebih."
"..."
"And I'm really sorry, karena udah telat ngasih kabar. Lain kali aku bakal selalu bawa powerbank," tambahnya.
Nina bisa merasakan senyum Dewa di kulitnya.
"Promise?" bisik pria itu di dekat telinga Nina.
"Promise," Nina mengangguk bersungguh-sungguh. "Maaf, ya. Aku pulang dianter cowok lain tanpa ngabarin kamu."
"It's okay," Dewa mengangkat kepalanya, mencium lembut sisi kepala Nina.
Nina lantas membalikan badan dengan lengan Dewa yang masih melingkar di pinggangnya. Kepalanya mendongak, menatap pria itu dengan kilat cemas di matanya. "Kamu ... nggak marah lagi, kan?"
"Marah?" Dewa mengerutkan keningnya. "Memangnya aku marah sama kamu?"
"Eung ... kamu memang nggak kelihatan marah, sih." Nina menggigit bibirnya. Menghindari kontak mata dengan yang menatapnya lekat. Membuat pipinya terasa panas.
Dewa mengulum bibirnya gemas. Lalu tersenyum sambil menarik dagu Nina agar tatapan mereka bertemu. Dan di detik itu, Nina merasa tulang-tulangnya meleleh. Senyum Dewa begitu cerah bagai matahari. Lesung pipi hanya menambah pesona pria yang sudah mematikan. Nina tak heran kenapa dulu Dewa begitu diidolakan dan ditunggu-tunggu kehadirannya oleh para wanita single di kantor.
"Aku nggak marah, Sayang," katanya lembut sekali. "Nggak di saat kamu gemesin kayak gini."
"Beneran?"
"Em-hm," Dewa mengangguk.
"Okay," Nina ikut mengangguk. Tidak tahu harus mengatakan apa lagi karena kedekatan mereka dan tatapan intens Dewa membuatnya selalu gugup. "Mmm ... it's 140202."
"... what?"
"Kode apartemenku," Nina tidak tahu berapa lama Dewa menunggunya. Tetapi membayangkan pria itu duduk di sofa lobi sendiri karena dirinya membuat Nina merasa sangat amat bersalah. "It's 140202."
Terjadi keheningan untuk beberapa detik. Tetapi mata Dewa bersinar oleh keterkejutan dan juga ... kelegaan? Entah lah, Nina tidak pintar membaca ekspresi orang lain. Ia hanya ingin ketegangan di antaranya dan Dewa terurai. Karena entah kenapa, ia tidak suka atmosfer yang melingkupi mereka ketika ia turun dari mobil Pedro.
"Kanina," Dewa memanggilnya nyaris seperti bisikan.
"Ya?"
"Can I kiss you?"
Nina mengerjapkan mata. Dewa tidak pernah bertanya lagi bila ingin menciumnya setelah ciuman pertama mereka. "Mmm ... tumben kamu nanya?"
Dewa tersenyum kecil. "Biar muka kamu tambah merah." Godanya.
Nina cemberut. Memalingkan wajahnya yang membuat Dewa tertawa kecil. Lalu kembali meraih dagu Nina agar menatapnya. "So, is it yes?"
"Tehnya udah mau dingin."
"Bisa dihangatin lagi," balas Dewa dengan suara parau dan wajah yang semakin merunduk dekat. Ia berhenti begitu bibirnya dan Nina berjarak semakin tipis. "And I thought we could warm it up with our kiss," tambahnya. Lagi-lagi dengan nada menggoda yang membuat Nina geli dan tersipu.
Tetapi sebelum Nina sempat mengeluarkan reaksi, Dewa sudah lebih dulu menyatukan bibir mereka dalam ciuman lembut. Ciuman yang selalu berhasil meluluhkan Nina sampai ia pun melingkarkan tangan pada leher Dewa. Tubuh mereka seketika merekat rapat. Panas menjalari aliran darahnya. Membuat Nina berpikir Dewa tidak salah ketika mengatakan ciuman mereka mungkin bisa memanaskan kembali teh yang ia buat. Karena sungguh, Nina merasa mulai kepanasan dan gerah.
Mulut Dewa menekan mulutnya meminta lebih. Dengan suka rela, Nina merekahkan bibirnya. Menerima lidah Dewa yang mengeksplorasinya dengan semua cara yang membuat Nina merasakan banyak sensasi dalam tubuhnya. Tangan Dewa di pinggangnya mulai bergerak, membelai setiap bagian yang bisa dijangkau.
She love the way Dewa kissed her. It's soft, slow, and absolutely incredible.
Dan Nina menyadari ia telah kencanduan akan pria itu.
Bersambung.
24 | private but not secret
Nina menggigit bibirnya, berjalan di belakang Pedro ketika mereka keluar dari ruang meeting. Seharusnya sih mood Pedro hari ini baik, mengingat project yang mereka kerjakan telah rampung dan klien menyukai hasil kerja keras mereka. Nina rasa ini adalah momen yang tepat untuk bicara dengan Pedro dan mengembalikan hadiah pria itu.
"Mas," Nina memanggil Pedro saat pria itu hendak duduk di kubikelnya. "Can we talk?" tanyanya begitu Pedro membalikan badan dan menatapnya.
"Sure," Pedro mengangguk. Dengan mimik wajah yang selalu datar sehingga orang tidak bisa menebak suasan hati pria itu.
Nina tersenyum tipis. Lantas mereka pun menyingkir. Kebetulan banyak yang bekerja di luar kantor hari ini sehingga tidak sulit untuk Nina mencari tempat sepi. Ia mengajak Pedro ke pantry yang kosong. Tanpa basa-basi, mengulurkan paper bag pemberian Pedro yang ia sembunyikan di balik punggung.
"Sorry, Mas. Aku nggak bisa nerima hadiah kamu," ucap Nina dengan nada berhati-hati.
Pedro mengerjap. Kedataran di wajahnya terusik. Pria itu hanya menatap hadiah pemberiannya lalu mengangkat wajahnya memandang gadis dihadapannya dengan kekecewaan yang berusaha ia tutupi. "Kamu nggak suka, ya?"
"No, bukan gitu." Nina menggeleng. Kemudian menghela napas. "Aku nggak bisa nerimanya aja."
"Kenapa?" tanya Pedro. Masih enggan mengambil lagi hadiah pemberiannya. Ia memberikan hadiah tersebut tanpa mengharapkan apa-apa. Pedro hanya tak bisa menahannya. Ketika ia tanpa sengaja melihat sebuah video yang me-riview Kindle, Pedro langsung teringat Nina. Dan betapa bergunanya barang tersebut untuk gadis itu.
"It's too much," Nina memakai nada berhati-hati meskipun kata-katanya cukup blak-blakan. "I'm sorry. Aku beneran nggak bisa nerimanya."
"Is it because of him?" pertanyaan itu seharusnya tak mengejutkan lagi untuk Nina. Mengingat semalam Pedro melihat dirinya dirangkul oleh Dewa dan mereka masuk bersama ke dalam gedung apartemennya. Hanya saja, Pedro biasanya tidak peduli dengan hal semacam itu. Siapa yang tengah berkencan dengan siapa. Pria itu tidak menaruh perhatian pada urusan orang lain.
Tetapi pria itu mengajukan pertanyaan itu. Dan Nina menelan ludah karena tahu ia tidak bisa menghindar, atau pun menyangkalnya. Jadi, ia menganggukkan kepalanya pelan, membenarkan.
Ekspresi Pedro menegang seperkian detik. Pria itu cukup mampu mengendalikannya dengan begitu cepat. "You have a boyfriend now," gumamnya lebih ke pernyataan ketimbang pertanyaan. "Does he treat you well?"
Pertanyaan Pedro kembali mengejutkan. Namun Nina menjawabnya dengan anggukkan kepala.
"I get it," Pedro merapatkan bibirnya. Lantas mengambil paper bag di tangan Nina. "Congratulations," ucap pria itu dengan suara yang terdengar pahit.
"... thank you?" Nina menyahut tak yakin.
"So, I think we should go back to work?"
"Oh, ya," Nina mengerjap. "Kamu duluan aja, Mas. Aku mau bikin kopi dulu. Kamu sekalian mau dibikinin nggak?"
"No, I'm fine," Pedro menggeleng. "Kalau gitu aku duluan, ya."
"Sure," Nina mengangguk sambil tersenyum lega.
Tanpa menyadari jika hari itu ia telah mematahkan hati seorang pria.
***
Nina memasuki mobil Dewa dengan napas terengah-engah. Mendelik pada Dewa yang malah nyengir ketika Nina meliriknya dengan jengkel. Bagaimana tidak, Dewa mengabari jika ia sudah kembali ke kantor dan menunggu Nina di parkiran secara tiba-tiba. Seharusnya Dewa mengabari sejak pria itu berangkat biar Nina punya waktu untuk bersiap-siap turun ke bawah.
"Kamu itu kenapa sih suka mendadak gitu ngasih kabar?" omel Nina. "Aku kan jadi buru-buru turunnya."
"Kenapa buru-buru? Aku kan bisa nunggu, Sayang," Dewa membalas ringan sembari mencondongkan tubuh ke arah Nina, memasangkan seatbelt untuk kekasihnya.
Nina menghela napas. Tambah jengkel karena balasan santai Dewa. "Aku nggak mau orang nungguin aku."
"Aku kan bukan orang, tapi pacar kamu."
"Terus aku pacaran sama tumbuhan gitu?"
Bahu Dewa berguncang oleh tawa. Pria itu mengangkat wajahnya begitu seatbelt Nina terpasang. Menatap gadis itu dengan mata berbinar-binar. Ia sebetulnya lelah sekali hari ini. Schedule-nya lumayan padat. Dimulai dari pengecek proses kontruksi, merampungkan konsep rancangannya untuk new project, sampai meeting dengan klien yang baru selesai setengah jam yang lalu.
Dewa kembali ke kantor karena mereka berencana berkencan di luar untuk pertama kalinya. Yeah, setelah berbulan-bulan menjalin hubungan, baru sekarang mereka akhirnya bisa berkencan seperti pasangan pada umumnya.
"Gemes," cetus Dewa lalu memberikan kecupan manis di pipi Nina. Pria itu menarik tubuhnya, melirik Nina yang tampak salah tingkah dan menutupinya dengan dumelan pelan.
Dewa tersenyum tipis sembari menghidupkan mesin mobil. Kedua tangannya memutar setir, keluar dari parkiran gedung.
Selagi Dewa menyedir, Nina mengeluarkan pouch makeup-nya. Ia sengaja tidak berdandan di kantor demi menghindari pertanyaan bernada mencurigakan. Well, setelah pembicaraannya dengan Dewa—dimana pria itu menyarankan mereka untuk private but not secret alih-alih backstreet, Nina pun akhirnya menyetujui saran tersebut.
Nina berpikir cukup lama dan panjang. Perasaannya pada Dewa ternyata cukup mendalam dari apa yang Nina kira. Ia menyadarinya ketika ia begitu cemas akan respon Dewa yang melihatnya diantar pulang Pedro.
Sejujurnya, Nina mengira Dewa akan meledak-ledak. Mereka mungkin bertengkar karena kesalahpahaman. Tetapi pria itu malah menyambutnya dengan senyuman dan pelukkan hangat. Mengajaknya bicara dengan suasana yang lebih tenang. Di detik itu, Nina disentakan oleh kesadaran bahwa mungkin ... Dewa berbeda. Mungkin saja hubungan ini memiliki kesempatan.
Meskipun perasaan takut itu masih ada. Nina mencoba untuk menjalani hubungan ini sambil membuka hatinya perlahan-lahan untuk Dewa.
Ia masih tidak ingin berharap. Tetapi tidak ada ruginya mencobanya dengan pria itu. Jika memang ia kembali terluka, setidaknya Nina sudah berani mengambil langkah yang selama ini selalu ia hindari.
"Kok dandan cantik gini? Mau kencan ya, Mbak?" Dewa mengerling dengan senyum jahil di bibirnya.
"Shut up!" Nina berseru galak. Yang membuat Dewa tertawa kecil lantas mengulurkan tangan untuk mengusap kepala kekasihnya.
Lima belas menit kemudian, mereka sampai Pasific Place. Dewa meraih jemari Nina saat mereka mamasuki lift, mengenggamannya dengan natural sementara tangan yang lain memeriksa ponsel untuk melihat pukul berapa film mereka akan dimulai. "Masih ada tiga puluh menit. Mau langsung ke CGV atau muter-muter dulu, Sayang?"
Sebenarnya saat ini Nina sedikit salah tingkah. Well, bepacaran dengan Dewa membuat Nina akhirnya terbiasa dengan skinship. Hanya saja, mereka belum pernah berkencan di publik sebelumnya. Meskipun bergandengan tangan adalah hal yang biasa untuk dilakukan pasangan. Tetap saja, sensasi kupu-kupu bertebrangan di dalam perut muncul. Padahal banyak yang melakukannya ketika Nina melihat ke sekitar.
"Langsung aja, Mas. Tiga puluh menit nggak lama, kok."
"Okay," Dewa mengangguk kemudian menyimpan ponsel di saku celana.
Berbeda dengan Nina, pria itu tampak sangat santai. Dewa jelas punya banyak pengalaman berkencan meskipun sempat sendiri selama tiga tahun.
Nina semenunggu Dewa yang sedang memesan soda dan popcorn ketika ponselnya berdeting.
Sisy
gue tadi nyariin lo
terus katanya lo udah balik
dan gue baru ingat lo ada date hari ini sama Mas Dewa
enjoy your date, sisttt 😉
Nina tersenyun tipis seraya mengetikkan balasan untuk sahabatnya.
Nina
will do ☺️
Sisy adalah supporter nomor satu yang mendukung hubungannya dengan Dewa. Banyak saran yang Sisy berikan hingga akhirnya Nina perlahan-lahan mulai memperbaiki pandangan tentang hubungan. Sisy sangat baik dan tulus. Dan Nina berharap, sahabatnya akan bertemu denngan pasangan yang dapat menghargai hal tersebut.
Dewa tiba dengan tangan penuh. Nina terkekeh geli. Lantas mengambil soda dan popcorn di tangan pria itu, lalu meletakkan di meja. Mereka menunggu sambil mengobrol ringan. Dewa jelas bukan tipe orang yang mudah kehilangan topik pembicaraan. Ditambah lagi, pria itu memang cerdas. Nina tak mungkin tak kagum ketika terlibat pembicaraan dengan orang yang mempunyai banyak pengetahuan seperti Dewa. Pria itu bahkan cukup paham dunia marketing dalam agency.
Mereka beranjak menuju studio begitu waktunya tiba. Dewa kembali mengenggam tangannya sampai akhirnya mereka duduk di seat. Nina mengatur duduknya dengan nyaman, merasa bersemangat karena sudah cukup lama ia tidak nonton di bioskop. Apalagi ia dan Dewa memiliki selera yang sama, sehingga tak sulit untuk mereka memilih film yang cocok.
"Ini yang main Song Hye Kyo, kan?" bisik Dewa ketika film dimulai.
Nina mengangguk. "Kamu tahu Song Hye Kyo, Mas?"
"Tau dong. Aku juga nonton The Glory."
"Jangan-jangan Song Hye Kyo tipe ideal kamu sekarang, ya?" ledek Nina. "Kayaknya kamu tahu semua aktris-aktris yang cantik, deh."
Dewa terkekeh. Kemudian mendekat untuk berbisik di samping telinga Nina. "Nggak ada yang secantik kamu."
Nina mendengus sambil memutar kepalanya ke depan. Bukan Dewa kalau tidak pintar merayu.
Dewa tersenyum tipis, lantas meraih tangan Nina untuk ia genggam. Sama seperti ketika mereka movie marathon di apartemen, keduanya cenderung diam ketika menonton. Hanya saja, sebagai si paling physical touch, Dewa memang butuh menyentuh Nina. Ia tak melepaskan tangan Nina sepanjang film berlangsung.
Sebenarnya menggenggam tangan adalah sentuhan biasa untuk mereka. Kalau di apartemen, Dewa pasti akan memeluknya sambil memainkan jari di rambutnya. Lalu sekali-kali akan manjatuhkan kecupan di pipi atau bahunya. Hanya saja, sensasinya berbeda ketika mereka saling menggenggam tangan di publik. Rasanya lebih mendebarkan dari apa yang Nina duga.
Begitu film berakhir, Nina tampak sangat puas sampai terus membicarakan film tesebut ketika mereka turun menuju restoran untuk malam malam. Ia memang begitu, jika menamatkan film, series, atau novel yang seru, Nina jadi ingin selalu membahasnya.
"Song Hye Kyo udah 43 lho, Mas. Tapi nggak kelihatan, ya. Kayak masih tiga puluhan," cetus Nina saat mereka memasuki restoran. Dewa tersenyum, senang melihat Nina dalam mode talk active begini. "Terus akting-nya baddas banget!"
"Alur ceritanya juga seru," Dewa mengangguk menyetujui. Kemudian menarik Nina untuk duduk bangku yang sudah ia reservasi. Ia meminta Nina duduk lebih dulu, sebelum akhirnya ia mengambil tempat di sebelah gadis itu. Membuat Nina terpojok antar dinding dan tubuh besar Dewa.
Pembicaraan tentang film terjeda karena mereka sibuk memesan makanan dan minuman. Dewa menyerahkan buku menu setelah pramusaji mencatat pesanan mereka, kemudian berpaling pada Nina dengan salah satu tangan terlentang di kursi. "Padahal tadi aku berharap pas jump scare, kamu bakal takut terus sembunyi di dada aku."
"Maunya," Nina mencibir. "Film-nya serem sih. Awalnya aja udah dikasih scene kusurupan. Tapi malah bikin tambah penasaran nggak, sih? Walaupun durasinya hampir dua jam, aku enjoy banget nontonnya."
Dewa mengangguk. "Alurnya nggak bertele-tele. Straight-forward. Makanya nggak bosan."
Pembicaraan tentang film itu terus berlanjut sampai akhirnya pesanan mereka tiba. Di balik tubuhnya yang langsing dan mungil, Nina tipe yang makan cukup banyak. Dewa senang setiap kali melihat Nina makan.
Gadis itu memperlakukan makanan dengan sangat baik. Ia selalu menghabiskan makanannya tanpa tersisa. Apalagi sejak mereka nge-gym bersama, Dewa menyadari porsi makan Nina bertambah.
Dan sejujurnya, Dewa juga dibuat makin pusing karena pacarnya jadi berisi di tempat-tempat yang tepat. Lekuk tubuhnya mulai terbentuk, membuat Nina jadi makin seksi. Sulit untuknya mengabaikan hal tersebut.
Padahal Nina bukan tipe gadis yang suka memakai pakaian seksi. Untuk sehari-hari, style Nina dalam berpakai cukup chic dan casual. Dia suka memakai kemeja yang dipadu dengan loose pants. Atau tank top yang dilapasi cardigan. Kalau di rumah, Nina tampaknya lebih suka celana pendek dan kaos oblong karena lebih nyaman.
Cuma sepertinya otak Dewa saja yang liar. Mungkin karena ia sudah lama tak melakukannya. Dulu Dewa bisa menahannya karena tak ada wanita yang membuat bergairah. Tetapi sekarang, ia memiliki kekasih yang selalu ia bayangkan dengan berbagai fantasi setiap malamnya.
"Punyaku lumayan pedes," cetus sambil meraih tisu untuk mengusap hidungnya yang berair.
"Bukan lumayan lagi. Kuah ramen kamu sampai merah gitu." Dewa terkekeh sambil mendorong gelas miliknya pada Nina. "Minum punyaku."
Nina meraih gelas Dewa, kemudian menenggak isinya dengan cepat.
"Pelan-pelan, Sayang," ucap Dewa sambil mengusap punggung Nina lembut.
"Tapi enak kok, Mas," kata Nina bersikeras dengan bibir yang sudah memerah.
Dewa mendengus. Kalau tidak sedang tidak tempat ramai, ia pasti sudah mencium Nina habis-habisan. Kekasihnya terlalu mengemaskan. Dewa tidak tahu apakah ini karena Nina lebih mudah darinya, atau memang karena ia saja yang sudah head over heels pada gadis itu.
Ditambah lagi, Nina sudah membuka diri padanya. Tak ada lagi kecanggungan di antara mereka. Nina pun tak ragu bersikap mesra pada Dewa selayaknya seorang kekasih yang menginginkan kasih sayang pasangannya.
"Kayaknya porsiku kebanyakan deh," desah Nina sambil menyandarkan kepala di bahu Dewa.
Dewa menunduk, mengulurkan tangannya ke perut Nina. "Emang agak buncit, Sayang." Katanya memberi elusan kecil.
"Mas Dewa, nyebelin banget sih!" desisnya seraya menyingkirkan tangan Dewa dari perutnya.
"Bercanda, Sayang." Dewa tertawa kecil.
"Bercandanya nyebelin!" tukas Nina seraya menarik kepalanya. Lalu meraih gelas dan menenggak isinya.
Dewa masih tertawa. Merayu Nina dengan mengusap pipi kekasihnya dan mencium bahunya gemas ketika seseorang mendatangi meja mereka dan memanggil Dewa dengan ekspersi shock.
"Man, gue kira, gue tadi salah orang," ucap pria itu masih dengan keterkejutan yang sama saat mendapati sahabatnya duduk berdua dengan seorang wanita, dan tampak begitu mesra.
Dewa yang tak menyangka akan bertemu Kemal jelas sama terkejutnya. Tetapi karena ia tahu cepat atau lambat ini akan terjadi, pria itu mengendalikan diri dengan cepat.
"Sama siapa lo?" tanya Dewa basa-basi.
"Sendiri. Tapi gue mau ketemu klien bentar lagi," jawab Kemal, kemudian melirik Nina tanpa menutupi rasa penasaran. "So ... lo nggak mau kenalin cewek cantik di sebelah lo sama gue?"
Dewa memutar bola matanya. "Nggak usah genit sama cewek gue!" tukas Dewa yang membuat mata Kemal nyaris melompat keluar. Mengabaikan hal tersebut, Dewa pun memperkenalkan mereka bedua.
"Hi, Nina. Nice to meet you," ucap Kemal sambil mengulurkan tangannya. Tersenyum amat manis sama Dewa mengerutkan kening.
Dewa berdecak. "Harus banget jabatan tangan?" komentarnya blak-blakan.
"Nina, Mas Kemal," Nina menyambut uluran tangan itu dengan sopan. "Nice to meet you too."
Tetapi ketika ia hendak menarik lagi tangannya, Kamal malah tak melepaskannya. Membuat Dewa makin jengkel lantas memutuskan jabatan tangan tersebut kesal.
"Bukannya lo mau ketemu klien?" Dewa mengingatkan sambil menatap Kemal penuh arti. Menyuruh pria itu untuk enyah secepatnya.
Ekspresi Kemal berubah masam. Ia manatap Dewa seolah menagih cerita lengkap tentang pria itu yang sudah punya pacar. Jujur saja, Kemal merasa tak dianggap. Tapi mengingat dia memang harus segera beranjak, pria itu tak punya pilihan lain.
"Sampai ketemu lagi, Nina," ujar Kemal sok manis.
Membuat Dewa mendengus dan mengusir pria itu terang-terangan.
"Temen-temen kamu setipe sama kamu ya, Mas," kekeh Nina setelah Kemal keluar dari restoran. "Genit,"
"Enak aja!" Dewa jelas protes. "Mereka genit ke semua cewek. Aku genit ke cewek yang aku suka aja."
Nina mengangkat bahu. Seolah tak mempercayai ucapan Dewa.
Dewa sudah hendak ingin membela dirinya lagi. Tetapi getaran ponselnya di atas meja mengintrupsi. Dan ia tak terkejut saat Kemal membuat pengumaman dirinya punya pacar di grup whatsapp mereka.
Kemal
ANJIRRR
DEWA UDAH PUNYA CEWEK!
Bersambung.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
