Called It Love - 17, 18, 19, 20

9
0
Deskripsi

17. Unexpected moment

18. Officially 

19. A kiss

20. Lost on you

17 | unexpected moment


Pernahkah kamu berada di kondisi memalukan dan rasanya ingin menghilang di detik itu juga?

Kedatangan Dewa bukan hanya mengejutkan. Tetapi juga memalukan buat Nina. The hell, ia berantakan sekali. Dan pria itu lagi-lagi melihatnya di kondisi yang tidak ingin Nina tunjukkan.

Nina terbangun ketika mendengar suara bel yang tak berhenti berbunyi. Pertengkaran kecilnya dengan Kian cukup membuat Nina melankolis. Ia menangis sampai akhirnya ketiduran. Nina memang terlihat tangguh di luar, tetapi jika sudah berurusan dengan orang-orang yang ia sayang—air mata Nina akan mudah mengalir bagaikan rintikkan hujan deras.

Sekarang matanya sembab, rambutnya berantakan, wajahnya pucat tanpa make up. She looks so messy.

Nina kesal karena belakangan ia peduli sekali terhadap penampilan. Well, lebih tepatnya, ia peduli penampilannya ketika berhadapan dengan Dewa.

"Kamu kok nggak ngabarin mau ke sini sih, Mas?" Nina mengembungkan pipinya setelah mengizinkan Dewa masuk ke dalam apartemennya. Mengambil langkah mundur agar pria itu tak dapat melihat wajahnya dalam jarak dekat.

"I did," Dewa menyahut. Pandangan turun pada sosok mungil Nina yang menunduk, menyembunyikan wajah dengan rambutnya sampai kening Dewa mengerut heran. "Tapi kamu nggak angkat telponku." Lanjutnya.

Oh, benar. Nina memang mengubah ponselnya menjadi mode don't disturb.

Dewa mengerutkan kening, lantas mengambil langkah mendekat. Impulsif merangkum wajah Nina agar mendongak menatapnya. "Nina, are you okay? Kenapa nunduk terus? Kepalanya pusing, ya?" tanya Dewa bertubi-tubi dengan nada suara begitu lunak.

Membuat perut Nina berdesir oleh sensasi geli yang membingungkan.

Sungguh menjengkelkan saat ada pria yang mampu mengambil kendali atas perasaannya. Sentuhan Dewa di pipinya bagaikan hawa panas yang membuat kulitnya merona. Jantung Nina berdegup kencang. Ia bergerak-gerak gelisah di bawah tatapan teduh Dewa. Membenci dirinya yang terus saja melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan rencananya.

"I'm fine," Nina membasahi bibir. Menepis tangan Dewa dari wajahnya lalu mengambil langkah mundur untuk membangun jarak aman. "Kamu kenapa ke sini?" tanyanya sembari berusaha mengendalikan diri.

Dewa masih mengamatinya dengan seksama. Seolah tengah berusaha membaca pikirannya. Dan Nina tahu ia tidak bisa membiarkan Dewa menyadari efek yang pria itu timbulkan padanya.

"Mas?" panggil Nina yang kali ini berhasil menyentakkan Dewa dari pemikiran di dalam kepalanya.

"Aku mau ngajak kamu makan," senyum memesona kembali terbit di bibir Dewa. "Kamu belum makan, kan?"

Nina menggeleng. Sebelum ia sempat bicara. Dewa sudah kembali bersuara. "Good. Kita makan di luar, ya. Kamu mau makan apa?"

Nina kembali menggeleng. Kali ini gelengan yang lebih tegas. "I'm not going anywhere with you, Mas.Aku nggak mood keluar."

"Oh," Dewa mengerjap. Tetapi jelas tak kehilangan akal. "Yaudah, kita makan di apart kamu aja."

Mata Nina mengerjap. Seharusnya ia tahu Dewa bukan tipe orang yang akan langsung mundur saat ditolak secara tidak langsung maupun langsung.

Nina ingin sendirian hari ini. Bersembunyi di dalam tempat perlindungannya sebelum menghadapi dunia dengan lebih tegar besok. Emosi Nina sedang campur aduk sekarang. Dan kedatangan Dewa—sial, kedatangan Dewa memang mengejutkan. Tetapi ia tahu ada seberkas rasa senang yang membuat awan kelabu di hatinya menyingkir bagaikan sapuan angin.

Sudah lama sekali ia tidak melihat Dewa. Dua minggu? Tiga minggu? Sebulan? Nina tidak tahu sudah berapa lama—tetapi entah kenapa, rasanya seperti lama sekali. Meskipun mereka sempat video call dua minggu lalu—tetap saja, rasanya berbeda melihat pria itu langsung.

Tubuh tinggi dan tegap itu mengenakan kaos putih yang dilapisi dengan black leather jacket dari Alexander McQueen. Wajah tampannya tampak semakin tampan. Kulitnya yang berubah agak kecoklatan karena sering di lapangan jelas bukan sebuah kekurangan. Malah Nina mendapati Dewa semakin maskulin, jantan, ... gosh, he's hot as hell.

Nina menggelengkan kepalanya. Mengusir segala pesona pria itu di kepalanya.

"Aku nggak lapar, Mas." Nina berusaha menolak. Menampakkan kesungguhan lewat ekspresi wajahnya. Sayangnya, tubuhnya tak bisa diajak berbohong. Karena tepat setelah kalimat itu meluncur di mulutnya. Suara raungan di dalam perutnya membuat bibir Nina merapat, dan wajahnya memerah karena malu.

Semakin malu ketika Dewa mentertawakannya.

Shit, shit, shit.

"Don't laught at me!" pelotot Nina dengan kegalakan khasnya.

Dewa menghentikan tawanya perlahan-lahan lalu menyeringai. Kepalanya bergerak miring melepaskan tatapan playfull yang memesona. "Aku pesen makan di restoran chinese, ya."

 

***


 

Rasa penasaran masih mengusik Dewa meskipun Nina menyantap makanan dengan tenang di sebelahnya. Seharusnya momen ini ia nikmati dengan penuh kegembiraan. Bersama Nina mungkin akan menjadi hal yang ia favoritkan. Ini lah yang ia rindukan selama berminggu-minggu. Menghabiskan waktu bersama Nina sambil menggoda gadis itu hingga tersipu malu.

Dewa senang. Kekosongan di hatinya kembali terisi.

Namun mata sembab gadis itu cukup mengusiknya—meskipun Nina sudah membasuh wajahnya dan mengenakan sedikit make up. Oh, Dewa tak ingin terlalu percaya diri dengan mengatakan Nina tertarik padanya. Tetapi apa lagi alasan wanita mengenakan make up ketika ada pria datang ke apartemennya?

Cuma kembali lagi, perasaan Dewa terusik bukan dalam artian menjengkelkan. Dewa khawatir sesuatu telah terjadi pada Nina. Ia ingin tahu apa itu. Ia ingin tahu apa yang Nina rasakan sekarang. Ia ingin mengetahui semua tentang Nina tanpa terkecuali.

"Enak?" Dewa bertanya dengan salah satu alis terangkat. Memandangi gadis itu lekat-lekat.

Nina menengadahkan kepala. Lalu mengangguk pelan. "Em-hm. Makasih traktirannya, Mas. Padahal aku yang punya janji mau neraktir kamu."

"Kamu bisa traktir aku next time," balas Dewa santai kemudian menuangkan air ke gelas Nina yang kosong ketika gadis itu hendak melakukannya.

"Mas, I can do this myself," ucap Nina sembari menghela napas pelan.

"Botolnya lebih dekat sama aku." Dewa memberi alasan masuk akal lalu tersenyum pada Nina. "How was your day? Pak Eko bilang adik kamu tadi mampir, ya. Coba aku datang lebih cepet. Pasti bisa kenalan."

Nina menenggak minumannya sebelum menjawab. "Speaking of Pak Eko. Kok Pak Eko bisa ngasih akses kamu ke atas?" tanyanya. Mengabaikan pernyataan tentang adiknya. Nina tidak ingin menceritakan terlalu banyak tentang keluarganya pada Dewa.

"Soalnya mukaku udah familiar?" Dewa mengangkat bahu. Lalu menambahkan dengan senyum miring di bibirnya "Terus Pak Eko nyangka kita pacaran lho."

"Huh?" mata Nina mengerjap-ngerjap

Senyum Dewa merekah lebih lebar.

"Kok kamu nggak koreksi?" protes Nina.

"Buat apa? Ucapan adalah doa," Dewa berpaling. Menatap Nina dengan mata berkelap-kelip nakal. "Besides, kita pacaran aja nggak sih? Biar orang-orang nggak salah paham."

Mata Nina makin melebar secara perlahan-lahan, lalu mengerjap dengan ekspresi super menggemaskan. Dewa tertawa kecil. Mengulurkan tangan untuk mengusap kepala Nina lembut.

"Nggak perlu dijawab sekarang, kok," katanya. "Give me the answer when it's yes. Aku nggak sanggup kalau ditolak kamu."

Lalu Dewa kembali melanjutkan makan dengan santai. Seolah perkataan tadi bukan sesuatu yang mampu membuat hati seorang wanita berantakan.


 

***


 

Nina harus mengakui ia senang menghabiskan waktu dengan Dewa. Pria itu bukan hanya bisa membuat orang nyaman saat bersamanya—tetapi juga caranya bicara sangat menyenangkan sampai Nina betah mendengar apapun yang keluar dari mulut pria itu.

Dewa tipe pembicara. Dia membicarakan apa saja yang terlintas di kepalanya. Membuat semua mengalir begitu saja sampai Nina mengetahui kalau Dewa tadi pagi golf bersama ayahnya. Proyeknya di Surabaya sempat mengalami masalah, makanya belakangan dia lebih sering berada di sana. Sampai Nina pun tahu salah satu temannya bernama Angga berencana menikah tahun ini.

Pria itu begitu terbuka. Sesuatu yang tidak bisa Nina lakukan dengan mudah. Dewa punya keberanian mengutarakan perasaan tanpa rasa takut. Ia yakin, Dewa berasal dari keluarga harmonis seperti Samudera. Sebab rasa percaya diri itu biasanya terbangun dari hubungan yang dengan keluarga. Semakin mengenal Dewa, Nina mengerti kenapa banyak yang menyukai pria itu. Dewa memang loveable. Nina bahkan tak bisa menyangkal jika ia ... sedikit menyukai Dewa sekarang.

Pertengkarannya dengan Kian kembali terbayang di kepala Nina. Ia benci dianggap lemah. Ia juga tak menyukai Kian menganggap ada masalah dengan dirinya di saat penyebab semua masalah itu adalah pria yang adiknya diam-diam hubungi. Kian bahkan lebih memilih uang pemberian pria itu dibanding dirinya.

Kian tidak akan tahu bertapa hancur hati Nina karena rasa pengkhianatan. Meskipun ia tahu apa yang Kian lakukan bukan pengkianatan. Kian punya hak untuk menuntut nafkah dari pria itu.

Hanya saja, bagaimana bisa Kian menerimanya setelah apa yang pria itu lakukan pada mereka?

"And how about yours?" Dewa berhenti bercerita dan mulai bertanya pada Nina.

Ia senang Nina mendengarkannya cerita penuh perhatian. Dewa juga menyukai bisa membuat Nina tertawa ketika ia mulai mengeluarkan kejenakaannya. Hanya saja, beberapa kali Dewa mendapati Nina teralihkan oleh pikirannya sendiri. Matanya yang ekspresif berubah menjadi kosong sebelum kembali lagi padanya dengan senyum yang dipaksakan.

"Mmm ... aku?"

Nina membasahi bibir. Bersandar di sofa sambil mendekatkan cangkir ke mulutnya. Mau tak mau, perhatian Dewa mengamati bibir pulm Nina yang menarik.

Duduk santai bersama Nina seperti sungguh ini menyenangkan. Tetapi Dewa harus mengakui otaknya terkadang membayangkan yang tidak-tidak ketika ia mencium aroma lavander dari tubuh Nina. Atau ketika gadis itu memainkan bibirnya dengan cara mengigit atau menjilat. Argh, bahkan kata menjilat membuat darah Dewa berdesir.

"Nggak ada yang menarik dari aku, Mas. Belakangan aku dikejar deadline. Terus sibuk pitching sama klien. Hidupku cuma berputar di kerjaan. My life is boring."

"Biar nggak boring pacaran aja nggak sih sama aku?" Dewa menyeringai sambil menopang kepala dengan telapak tangannya.

Sudah ia bilang. Ia punya hobi baru, yaitu menggoda Nina.

Nina berdecak. Tak mengatakan apapun. Namun sebenarnya kepala mulai menghubungan kejadian hari ini dengan perkataan Dewa.

Jujur saja, meskipun ia memiliki kertarikan pada Dewa, ia tetap tak ada keinginan untuk menjalin hubungan. Baik dengan Dewa, maupun pria mana pun.

Tetapi Kian akan terus menganggap ada yang salah dengan dirinya jika ia tidak segera membuktikan kalau dia bisa menjalin hubungan. Bahwa pria itu tak memiliki pengaruh apapun pada kehidupannya.

Nina menoleh pada Dewa yang masih tersenyum padanya. Menunjukkan lesung pipi yang membuat pria itu tampak manis dan memesona.

Berpacaran dengan Dewa tidak berarti ia akan menikah dengan pria itu. Bahkan masih ada kemungkinan mereka putus di tengah hubungan itu berjalan. Ketidakcocokkan perlahan-lahan akan mulai terungkap yang membuat mereka lebih memilih mengakhiri hubungan tersebut. Bahkan mungkin aja kesibukkan masing akan menjadi alasan mereka putus tak lama lagi.

Tidak mudah menjalin hubungan dengan seorang arsitek. Begitu pun dengan seseorang bekerja di agency. Bahkan ada yang menyarankan untuk tidak berpacaran dengan anak agency karena mereka tidak akan bisa membagi waktu antara pekerjaan dan pasangan.

Well, Samudera kasus berbeda karena pria itu pintar dalam membagi waktu. Posisinya sekarang juga membuatnya lebih longgar. Tidak seperti Nina yang tetap harus stand by meskipun weekend. Dewa juga belakangan sedang banyak proyek. Meskipun mereka berpacaran, mereka pasti akan jarang bertemu. Nina memprdiksi hubungan mereka berjalan paling lama tiga bulan.

"Kamu bilang adik kamu masih koas, ya?" Dewa bertanya memecah keheningan di antara mereka. "Di rumah sakit mana? Siapa tahu nanti nggak sengaja ketemu. Eh, tapi aku boleh kan nyapa adik kamu lagi?"

"Yes," sekonyong-konyongnya Nina mengucapkan tanpa berpikir. Ia menatap Dewa serius dan penuh arti.

Dewa terdiam. Berusaha mencerna ucapan Nina penuh kehati-hatian.

"Yes, Mas." Nina menegaskan sambil meyakinkan hatinya.

Berpacaran dengan Dewa bukan berarti ia akan menikah dengan pria itu.

"Kanina," Dewa mengangkat badannya. Ekspresi jenakanya lenyap diganti keseriusan. "Is the 'yes' you mean the same as what i'm thinking?"

"Yes,"

"..." Dewa tidak tahu harus mengatakan apa.

Sementara Nina menanti dengan jantung yang semakin berdebar kencang. Keterdiaman Dewa jelas membuatnya gugup. Astaga, bagaimana jika Dewa memang tak serius padanya? Bagaimana jika pendekatan Dewa hanya karena rasa penasaran semata? Makanya ketika Nina mengatakan 'iya', adrenalin pria itu tak lagi terpacu. Dan Dewa menyadari ia tak menginginkan Nina sebagai pacarnya. Sungguh, bila memang itu yang terjadi, Nina tidak akan punya muka lagi dihadapan Dewa. Ia mungkin tak pernah mau bertemu dengan Dewa lagi saking malunya.

"Mas, aku—"

"So, we're official now," Dewa memotong sambil menggerakkan bola matanya pada Nina penuh harap. "... mbak Pacar?"

"Huh?"

"Kamu pacarku sekarang,"

"Eung," Nina mengusap pipinya. Begitu salah tingkah karena sudah lama sekali sejak ia memiliki pacar. "I think so,"

Dewa tergelak sampai bahunya berguncang naik turun. Ia berdeham, berusaha mengontrol perasaanya yang kini dipenuhi oleh euforia. "Kamu gemesin banget sih, Sayang."

"... sayang?" suara Nina mencicit dengan bola mata membulat.

"Kamu kan udah jadi pacarku." Dewa menyeringai. "So, sah-sah aja dong aku manggil 'sayang'?"

Memang tidak salah. Tapi bagaimana bisa Dewa memanggilnya dengan panggilan itu di beberapa detik setelah mereka resmi berpacaran? Bahkan pria itu mengucapakan dengan begitu lancar. Seolah-olah mereka sudah berpacaran bertahun-tahun lamanya.

"Besok aku jemput ya, Sayang." Ucap Dewa lagi. Menikmati ekspresi salah tingkah di wajah Nina.

"Mas, kamu bisa pelan-pelan nggak? Kupingku belum kebiasa sama panggilan itu."

"Makanya dibiasin, Sayang."

"Mas Dewaaa!" Nina tanpa sadar merengek.

Dan itu kembali mengundang tawa gemas dari Dewa.

 

Bersambung.



 

18 | officially


 

Pagi ini Dewa terbangun dengan perasaan berbunga-bunga. Semuanya masih terasa seperti mimpi. Kejadian kemarin terus terbayang-bayang di benaknya. Senyum tak surut dari bibir Dewa bahkan setiba ia di apartemennya.

Dewa tidur dengan sangat amat nyenyak semalam setelah mengirimkan pesan 'good night, sayang'pada Nina—yang tentu dibalas Nina dengan ...

Kanina

Stop it 😒

Kemarin Dewa memang sempat diam karena terlalu terkejut. Untuk di detik pertama, ia tidak tahu harus merespon apa. Baru ketika suara Nina kembali terdengar, lalu gadis itu menatapnya dengan wajah memerah—Dewa sadar tidak ada yang salah dengan indera pendengarannya.

Nina memang mengatakan 'iya'.

Gadis itu mau menjadi kekasihnya.

Tentu penerimaan Nina yang tiba-tiba sedikit mencurigakan. Dewa memang merasakan ketertarikan Nina padanya. Hanya saja, ia tidak yakin Nina benar-benar siap menjadi kekasihnya. Keraguan itu terlalu tampak jelas. Dan perubahan suasana hati yang mendadak agak terasa aneh dan mengejutkan. Ia yakin ada sesuatu yang mendorong Nina menerima perasaannya. Sesuatu yang ingin Dewa cari tahu. Sebab itu, Dewa berpura-pura tak menyadarinya.

Well, sebagian dirinya mungkin tidak ingin melewatkan kesempatan. Meskipun ia tahu perasaan Nina masih berupa ketertarikan semata—Dewa pikir ia bisa membuat Nina menyukainya setelah hubungan mereka berjalan. Ini juga menjadi kesempatan Dewa agar bisa lebih dekat dengan Nina.

Cinta bisa memudar seiring berjalannya waktu. Tetapi cinta juga bisa tumbuh seiring berjalannya waktu.

Dengan status yang telah berubah, kesempatan Dewa akan semakin terbuka lebar. Ia dapat menghubungi Nina dengan bebas, ia bisa mengajak Nina berkencan ketika mereka punya waktu luang. Ia bisa berkunjung ke apartemen Nina dengan alasan rindu. Lebih dari pada itu, Dewa tak perlu khawatir akan kemunculan pria lain sebab Nina telah menjadi kekasihnya. Dewa punya hak untuk mengusir pria-pria yang masih mendekati Nina.

Pemikiran itu kembali mengundang senyuman di wajah Dewa. Pria itu menggeliat ke samping. Meraih ponsel di atas meja nakas dan langsung membuka room chat-nya dengan Nina.

Dewa

Morning, Sayang

Dewa bangkit duduk. Mengumpulkan nyawanya sebentar sebelum mengecek email di ponselnya. Begitu mendapat balasan dari Nina, Dewa langsung membukanya dengan cepat.

Kanina

Morning, Mas

Dewa mengulum bibirnya. Merasa agak konyol karena ia jadi begitu bahagia hanya dengan dua kata biasa tersebut. Tapi, well, rasanya berbeda ketika yang mengirimkannya adalah orang yang disukai, kan?

Dewa

Nanti aku jemput ya

Kita ke kantor bareng

Kanina

Aku berangkat sendiri aja, Mas.

Nanti orang-orang kantor ngeliat

Dewa

Lho? Emang kenapa?

Kita kan udah pacaran

Kanina

Ya, tapi aku belum mau orang-orang kantor tahu.

Nggak apa-apa, kan?

Sebetulnya Dewa bukan tipe orang yang suka backstreet. Ia ingin mengekspresikan rasa cintanya dengan bebas. Tetapi mengingat mereka bekerja di tower yang sama, Dewa cukup mengerti perasaan Nina. Mungkin mereka tidak harus langsung seterang-terangan karena baru jadian.

Dewa

o.. kay

Tapi kita tetap ke kantor bareng, ya.

Nanti kita keluar dari mobil kalau udah sepi

Ada jeda sekitar satu menit sampai Dewa akhirnya mendapatkan balasan.

Kanina

Yaudah

Aku siap-siap dulu.

Senyum lebar langsung terbit di bibir Dewa. Pria itu turun dari tempat tidur setelah meletakkan ponsel di atas meja nakas. Segera bersiap-siap sebab tidak ingin membuat Nina menunggu lama. Perjuangannya belum selesai. Ia harus dapat meluluhkan hati Nina dan membuat gadis itu mempercayainya—menghapus keraguan yang Nina rasakan padanya, maupun hubungan mereka.

Dewa sedang tidak mencoba-coba, apalagi bermain-main. Ia menginginkan Nina bukan untuk sementara. Melainkan selamanya. Maka dari itu, Dewa akan memastikan hubungan mereka tak berakhir singkat.

He will make this relationship work.


 

***
 

Suasana awkward langsung terasa begitu Nina memasuki mobil—oh, sepertinya hanya Nina yang merasa begitu sebab dibalik kemudinya, Dewa malah tersenyum lebar dan ceria.

"Hi, Mbak Pacar." Sapa Dewa dengan nada manis. "Seatbelt-nya dipasang, ya."

Nina melirik Dewa sengit, lalu memasang sabuk pengamannya. "Kamu memang selalu senorak ini kalau punya pacar ya, Mas?"

Dewa terkekeh kecil. Menyadari betul bahwa dirinya memang sedikit overreaction akan status barunya. Hanya saja, lonjakkan kebahagiaan itu sulit sekali ditangani. Ditambah, menggoda Nina menjadi hobi barunya sekarang.

"Emang aku norak?"

"Banget."

Bibir Dewa terkulum sebentar. Ia menekan gas lalu melajukan mobilnya keluar dari area gedung apartemen Nina. "Nggak tahu, nih. Aku mendadak berasa abege lagi semenjak kenal kamu."

Nina geleng-geleng kepala seraya memalingkan wajah ke jendela. Sejujurnya, pagi ini Nina terbangun dengan perasaan campur aduk. Ia tidak tahu apa yang merasukinya kemarin. Sikap impulsifnya cukup membahayakan karena rasanya seperti ia memainkan perasaan Dewa. Nina sadar betul ia belum siap menjalin hubungan. Menerima Dewa bukan lah tindakan bijak—apalagi keputusan itu berasal dari emosi sesaat.

Ada seberkas penyesalan yang membuat Nina mempertimbangkan untuk berkata yang sebenarnya pada Dewa. Selama ini Dewa selalu bersikap baik padanya. Tidak adil rasanya menggunakan Dewa hanya untuk membuktikan pada adiknya bila ia bisa menjalin hubungan romantis. Bahwa laki-laki itu tak membuatnya trauma.

Namun, membayangkan kesedihan di wajah Dewa membuat Nina ragu. Nina tak menyangka ia ternyata begitu peduli pada perasaan Dewa.

"How was your sleep?" tanya Dewa yang menyadarkan Nina dari lamunan.

Nina berdeham.

"Good." Jawabnya singkat.

"Sama," Dewa menyahut yang disertai dengan senyum manis di wajahnya. Menciptakan bolongan kecil di pipi kiri pria itu. "Aku juga tidur nyenyak semalam. Nanti kamu pulang kantor jam berapa?"

Nina menoleh. Tahu kemana arah pembicaraan ini. "Belum tahu. Tapi kayaknya aku lembur."

"Oh, yaudah, aku tungguin. Kerjaanku juga lagi banyak di kantor."

Nina menghela napas. Memiringkan sedikit tubuhnya menghadap Dewa.

"Mas, aku beneran belum siap orang-orang di kantor tahu hubungan kita," ucap Nina gusar. Ia tidak tahu berapa lama hubungannya dengan Dewa akan bertahan. Namun yang pasti, hubungan mereka tak akan berlansung lama. "Rasanya nggak nyaman aja."

"Nggak akan ada yang peduli meskipun kita pacaran, Kanina." Balas Dewa lembut. "Di awal mungkin agak sedikit heboh. Tapi lambat laun mereka juga bakal sibuk sama urusan mereka sendiri. Teralihkan kalau udah ada gosip baru yang lebih menarik."

"Still," Nina menggigit bibirnya. Ia tak mungkin mengatakan alasannya tidak ingin hubungan mereka go public karena ia serius dengan hubungan ini. Akan merepotkan menjelaskannya setelah mereka putus nanti. "Kita backstreet dulu, ya? Nggak apa-apa, kan?"

Dewa tak langsung menjawab. Ekspresi pria itu berubah tak terbaca. Membuat Nina agak gugup menanti balasan Dewa yang baru bersuara begitu mobil yang dikendarai pria itu berhenti di lampu merah.

"Fine," Dewa mengangguk pasrah. Ia menoleh, memberikan Nina tatapan penuh pengertian yang meluluhkan. "Tapi aku mau kita cuma backstreet dari orang-orang kantor. Aku nggak mau nyembunyiin hubungan kita dari orang-orang terdekat."

Sebenarnya Nina menginginkan hubungan mereka disembunyikan dari semua orang sehingga tidak ada satu pun yang tahu. Tetapi itu permintaan yang aneh dan mustahil. Nina tidak punya alasan masuk akal untuk menentangnya. "Okay."

Dewa tersenyum. Tanpa aba-aba membawa tangan Nina ke pangkuannya sampai gadis itu mengerjapkan matanya terkejut. "Mas Dewa! Ngapain, sih?!"

"Megang tangan kamu?" Dewa mengangkat salah satu alisnya. "Orang pacaran biasa gini kalau di mobil, Kanina. Kamu terakhir kali pacaran kapan, sih? Perasaan kagetan terus." Kekeh Dewa.

"Gimana nggak kaget kamu langsung nge-gas semuanya!" semprot Nina. "Nggak ada pembukaan maupun basa-basi!"

Dewa tertawa. "Aku udah ketuaan buat basa-basi."

"Bukannya tadi kamu bilang berasa kayak anak abege, ya?" ejek Nina.

Dewa kembali memamerkan senyum memesonanya. "Sama kamu perasaanku jadi nano-nano, Sayang."

Nina mendelik. Ia membuang wajahnya demi menyembunyikan merah di pipinya. Sungguh, setiap kali mendengar Dewa memanggilnya 'sayang', Nina tak dapat menghindari efek yang pria itu timbulkan. Perutnya geli oleh sensasi kupu-kupu bertebrangan di dalam perut. Jantungnya berdebar amat kencang hingga butuh waktu lama untuk Nina bisa menenangkannya.

Ia sangat bersemangat membayangkan akan bertemu Dewa. Namun di saat yang sama juga takut akan perasaannya. Kehadiran Dewa benar-benar memperumit semuanya. Nina sudah bertekad untuk tak lagi percaya pada pria. Tidak lagi bergantung pada harapan semu.

Sebab itu, hubungannya Dewa tak akan kemana-mana.

Nina harus mengakhirinya sebelum sesuatu di antara mereka semakin berkembang. Sebelum pertahanannya runtuh karena demi Tuhan ... ia tak mampu menyangkal ketertarikannya pada pria itu. Dewa terlalu sempurna. Dan pria seperti Dewa pantas mendapatkan wanita yang lebih baik darinya.


 

***



 

"Teh, kantin yuuuk!" suara Nalendra terdengar bersamaan dengan ponsel Nina yang berdenting. Menampilkan chat dari Dewa yang muncul di notifikasi ponselnya—membuat Nina tak langsung menanggapi Nalendra. Ia kembali duduk di kursinya, membuka chat dari Dewa.

Mas Dewa

Aku masih meeting di luar

Nggak bisa lunch bareng kamu, deh ☹️

Nina

Walapun kamu di kantor, kita juga nggak bisa lunch bareng, Mas.

Aneh banget ntat kalau tiba-tiba kita lunch berdua.

Mas Dewa

Kita bisa lunch di luar

Atau kalau kamu di kantor, bisa rame-rame bareng Sisy sama Risyad.

Dewa memang tak pernah kehilangan akal. Nina seharusnya terbiasa dengan hal tersebut.

"Teh, kantin nggak?" Nalendra yang masih menunggu jawaban dari Nina mengerutkan keningnya.

"Iyaaa, bentar," Nina menyahut lalu mengetikkan sesuatu untuk dikirimkan pada Dewa.

Nina

Aku mau kantin dulu ya, Mas.

Mas Dewa

Sama siapa?

Nina mengangkat pandangannya, mendapati Nalendra berdiri dengan tak sabaran. Di sebelahnya ada Pedro yang bangkit berdiri setelah selesai membereskan barang-barangnya.

Nina

Bareng Nalen sama mas Ped

Paling nanti Sisy nyusul

Mas Dewa

Okay

Eat well, ya

Miss you

Nina mendengus ketika membaca chat terakhir dari Dewa. Bagaimana bisa pria itu berkata merindukkannya padahal baru tadi pagi mereka bertemu?

Sungguh, sebagai orang yang tidak ekspresif, ia agak shock dengan keterus-terangan Dewa. Pria itu juga tidak ada basa-basinya sama sekali. Mungkin Nina bisa mengerti jika mereka sudah berkencan lama. Namun ini baru hari pertama. Dan mereka belum mengenal satu sama lain lebih jauh.

Nina

You too

Setelah mengirimkan balasan, Nina pun bangkit berdiri. "Nunggu bentar doang langsung cemberut aja lo," decak Nina ketika mendapati ekspresi keruh di wajah Nalendra.

"Urusan perut emang suka bikin cepet bete, Teh," Nalendra bersungut-sungut sambil berjalan beriringan dengan Nina. Sementara Pedro mengikuti di belakang mereka. "Lagian lo chatan sama siapa, sih? Sampe senyum-senyum gitu?"

Nina mengerjap. Melotot pada Nalendra. "Nggak ada gue senyum-senyum, ya!"

"Orang gue ngeliat."

Masa sih dia senyum-senyum?, Nina merenung.

Nalendra menekan tombol lift sampai pintunya terbuka. Lalu melayangkan pertanyaan pamukas begitu mereka memasuski lift. "Lo udah punya pacar ya, Teh?"

Bukan hanya Nina saja yang membeku, Pedro pun ikut membeku. Ia melirik Nina, menanti jawaban gadis itu dengan perasaan takut dan was-was di balik ekspresi datarnya.

Nina membasahi bibirnya, kemudian berdeham canggung. "Nggak," sangkalnya mencoba tampak meyakinkan. "Nggak lah. Ngaco lo. Mana ada waktu gue buat pacaran!" imbuh Nina sembari menghindar dari tatapan Nalendra.

Shit, shit, shit.

Bagaimana mungkin Nalendra menyadari secepat itu. Lagian, ini baru hari pertama. Kenapa Nalendra bisa tahu?



 

***



 

"It's too obvious, you know. Gelagat orang jatuh cinta itu terlalu kelihatan."

Dewa menoleh sambil mengulum bibirnya. "What?"

Risyad berdecak. Sementara Garendra hanya menyeringai kecil sambil geleng-geleng kepala. Ikut terpana dengan mood sang senior yang tampak sangat bagus sekali sejak pagi tadi. Padahal kemarin saja ia masih dicecar untuk menyelesaikan deadline di hari weekend.

"See, Ren," Risyad menukas sambil meminta dukungan dari Garendra. "Nih

om-om dari tadi nyengir mulu kayak kuda."

Dewa berdecak karena  disamakan dengan kuda dan dipanggil om-om pula. "I'm only thirty four, for goddess's sake!"

"Temen gue yang 34 udah punya anak dua, Mas." Timpal Garendra.

"Tuh, denger!" Risyad tertawa puas sambil mengajak Garendra tos ala cowok. "Lo itu emang udah om-om. Terima kenyataan."

"Lo juga udah mendekati mid-thirty, ya!" delik Dewa pada Risyad.

"Masih tiga tahun lagi, bos!" Risyad menyeringai bangga. Perbedaan umurnya dengan Dewa tiga tahun, jadi usia Risyad masih tiga puluh satu.

Dewa memutar bola matanya. Meraih gelas minumannya sembari mengedarkan ke sepenjuru kafe yang cukup ramai karena sedang jam makan siang.

"Tapi, serius, deh. Perasaan baru kemarin lo galau karena progres hubungan lo sama Nina stagnan. Terus, all of sudden, lo nyengir mulu sepagi tadi. Bahkan lo neraktir gue sama Garen makan. Emang progresnya naik berapa persen, sih?"

Dewa mengusap rahangnya dengan bibir yang kembali menyunggingkan senyum. "Well, Nina nggak mau orang-orang tahu dulu. Tapi gue rasa, nggak apa-apa kalau kalian tahu."

Kening Risyad dan Garendra mengerut. Tubuh mereka secara alami condong pada Dewa tertarik.

"Jangan bilang kalian udah jadian, Mas?" tebak Garendra sambil mengekekeh kecil.

Alih-alih membantahnya, Dewa malah tersenyum penuh arti.

"WAH, BANGSAT!" Risyad berseru heboh. Membuat Dewa melotot sambil meminta maaf pada pengunjung kafe yang langsung menoleh ke meja mereka. "Beneran udah jadian lo? Kok bisa?!"

"Bisa lah. Gue ajak pacaran terus Nina mau," sahut Dewa agak bersungut-sungut.

"Kok Nina mau?"

"Kenapa dia nggak mau?"

"Nina khilaf kali, ya," simpul Risyad asal.

Dewa mengembuskan napas sebal. Membuat Risyad tertawa karena berhasil menyurutkan senyuman norak di wajah Dewa. Karena sungguh, melihat orang kasmaran agak menggelikan. Sejak pria itu sampai di kantor, Dewa bertingkah alay; menyapa setiap karyawan yang berpapasan dengannya, memberikan pujian-pujian berlebihan, dan yang paling bikin Risyad mual adalah senyumnya mesem-mesem ketika menatap layar ponsel.

"But, congratulations, bro," ucap Risyad tulus. "I'm happy for you. And for her too. Effort lo membuaskan hasil lah."

"Selamat, Mas." Garendra menimpali. "Semoga setelah punya pacar nggak tiba-tiba majuin deadline, ya."

Dewa manggut-manggut. "Doain langgeng sampai pelaminan juga, dong!"

Risyad dan Garendra terbahak lalu kompak berkata. "Amiiiin."
 

Bersambung.


 

19 | a kiss


 

Nina hanya memiliki pengalaman pacaran satu kali. Itu pun sudah cukup lama sampai Nina tidak mengingat lagi rasanya memiliki kekasih. Beberapa kali ia sempat dekat dengan seseorang. Namun hubungan itu tak pernah sampai pada kata jadian karena Nina perlahan-lahan akan mundur begitu perasaan cemas, khawatir, dan takut mulai menyerangnya.

Hal itu sebenarnya juga berlaku pada Dewa. Ia tak bisa bersikap santai di hari pertama mereka jadian. Ia terus mengkhawatirkan hal-hal yang belum tentu terjadi. Apalagi kecurigaan Nalendra benar-benar membuatnya panik. Meskipun ia sudah mengelak, Nalendra sepertinya masih menaruh rasa curiga padanya.

Sementara Sisy yang sedang dikejar deadline—tampaknya terlalu pusing memikirkan pekerjaannya hingga tak terlalu menaruh perhatian padanya. Which is, itu sesuatu yang melegakan buat Nina. Jika Sisy sudah bertanya, Nina tidak akan bisa membohongi gadis itu.

Jujur saja, meskipun perubahan status yang mendadak adalah ulahnya, Nina tetap saja terkejut. Setiap kali nama Dewa muncul di layar ponselnya; sensasi jantung berdebar, perut dipilin, dan rasa bahagia bercampur menjadi satu.

Dewa begitu perhatian, manis, dan tampan. Pria itu dengan mudah memahami perasaan Nina hingga semua kecemasan dan kekhawatiran yang ia rasakan memudar setiap kali mereka bertemu.

Yeah, tampaknya perkiraan Nina soal mereka akan sulit bertemu karena pekerjaan yang mencekik tidak terbukti benar. Sebab mau sesibuk apapun, Dewa selalu menyempatkan waktu bertemu Nina—meskipun itu hanya lima belas menit sekali pun.

"Masa baru jadian udah jauh-jauhan?" ucap Dewa di suatu hari ketika ia baru saja pulang dari Surabaya—dan Nina heran Dewa langsung menemuinya alih-alih pulang ke apartemennya sendiri.  "Sibuk itu nggak bisa dijadiin alasan. Kamu sekarang masuk ke dalam prioritasku. Jadi, mau sesibuk apapun aku, aku pasti nyari celah supaya bisa ketemu kamu. Besides, aku orangnya nggak bisa nahan kangen." Tambahnya diiringi dengan senyum memesona khas pria itu.

Terhitung sudah dua minggu mereka menjalin hubungan—dan Dewa hanya tidak menemuinya jika pria itu harus ke Surabaya. Selebihnya, Dewa akan menjemput dan mengantarnya—tidak peduli hal itu membuatnya harus berangkat ke kantor pagi-pagi sekali dan pulang larut karena Nina terlalu khawatir akan ada yang melihat mereka.

Dewa bersikap terlalu baik dan pengertian sampai Nina tidak punya celah untuk mencari kekurangan pria itu. Ia tidak mungkin memutuskan Dewa untuk alasan yang tidak jelas. Dewa tentu tidak akan menerimanya. Namun suatu saat ia pasti menemukannya. Bagaimanapun, tidak ada manusia yang sempurna. Setiap orang pasti punya kekurangan, right?

"Are you okay?" Dewa langsung bertanya ketika mendengar ringisan Nina begitu gadis itu masuk ke dalam mobil.

Ia sudah mengawasi ekspresi Nina yang terus mengernyitkan kening saat mendekati mobil. Jika bukan karena janjinya yang akan berhati-hati selama mereka di kantor, Dewa tak akan berpikir dua kali untuk keluar dari mobil dan menghampiri Nina.

Nina mengangguk pelan. "Nggak apa-apa, Mas. Perutku cuma kram kok."

"Kram kenapa?" Dewa tak menutupi kepanikkannya. "Kita ke rumah sakit sekarang, ya!"

Nina menggelengkan kepalanya. Buru-buru menjelaskan penyebab perutnya kram sebelum Dewa benar-benar melajukan mobilnya ke rumah sakit. "I'm on period."

"Oh, hari pertama, ya?" Dewa menatap Nina prihatin. Setahunya, kram datang bulan cukup menyiksa bagi wanita.

Nina mengangguk lagi sambil memasang seatbelt-nya. Ia berusaha tampak tegar karena tidak ingin membuat Dewa khawatir. Namun begitu ia menoleh, Nina lagi-lagi dibuat heran dengan visual Dewa yang selalu menawan.

Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Para korporat yang baru pulang jam segini akan bernampilan sangat kusut. Nina bahkan malu dengan wajahnya sendiri yang begitu kucel.

Biasanya, sebelum bertemu Dewa, Nina akan sedikit berias agar tidak pucat-pucat amat. Tetapi ia terlalu lelah untuk melakukannya. Hari ini pekerjaannya padat sekali. Ditambah lagi, perutnya yang kram datang di saat yang tidak tepat. Yang Nina inginkan hanya lah pulang ke apartemennya lalu berbaring dengan nyaman di atas tempat tidur.

Kembali lagi pada visual Dewa yang menyilaukan. Hampir setiap hari pulang bersama pria itu, Nina menyadari Dewa memang setting-nya tampan begini. Mau dalam kondisi berantakkan pun, Dewa tetap saja kelihatan tampan. Rambut pria itu mungkin tidak serapi tadi pagi. Tetapi tidak bisa dikatakan berantakkan juga. Hanya agak kusut. Dan berkat bentuk tubuhnya yang tegap, kemeja biru muda tersebut melekat pas di tubuh atletisnya. Membuat pria itu masih tampak begitu menarik.

"Yaudah, kita nggak usah makan di luar aja, deh." Dewa mengusap kepala Nina lembut. "Nanti kita delivery aja di apartemen kamu, ya?"

"Hmmm," Nina mengiakan. Ia tidak ingin membantah ataupun berdebat karena yang ia inginkan adalah pulang secepatnya.

"Mau ke apotik dulu nggak? Persediaan obatnya ada nggak di apart?"

"Ada, kok," balas Nina.

Dewa pun mengangguk, lantas menghidupkan mesin mobilnya. Memanuvernya keluar dari area parkiran. Menyenangkannya pulang jam segini, mereka akan terhindar dari kemacetan. Sehingga perjalanan mereka tak akan panjang. Melihat Nina yang tampak tersiksa dengan perut kramnya membuat Dewa tak tega. Sesekali ia akan mengulurkan tangan, memijat tengkuk Nina lembut.

Seperti Nina biasanya, gadis itu akan berjengit kaget dan menghindar. Namun Dewa dengan tenang berkata. "Biar enakan, Sayang. Aku nggak akan macem-macem tanpa seizin kamu."

Nina membasahi bibirnya gamang. Lalu akhirnya mengizinkan Dewa memijat tengkuknya.

Begitu sampai basement gedung apartemen Nina, Dewa cekatan keluar dari mobil, dan membantu Nina turun dengan memegangi lengan gadis itu.

"Mas, aku bisa sendiri, kok," protes Nina karena perhatian berlebihan Dewa.

"Kamu aja tadi jalannya tersendat-sendat gitu," Dewa melingkarkan tangan di pinggang Nina. Sementara tangan satu lagi menutup pintu mobil. "Pegangan sama aku. Nanti perutnya kram parah, terus kamu oleng gimana?"

Nina membuang napas keras-keras. "Nggak sampai segitunya, Mas. Ini bukan pertama kalinya kok aku kram karena haid."

"Tapi aku nggak mau pacarku kenapa-napa," Dewa membalas tak mau kalah. Malah menarik Nina lebih dekat dengannya. Membuat lengan gadis itu menyentuh dadanya.

Nina menggigit bibir. Kali ini bukan hanya karena kram di perutnya. Tetapi juga sensasi sengatan listrik dari kedekatannya dengan Dewa. Aroma pria itu masih terasa segar meskipun baru pulang bekerja. Membuat jarak tipis ini terasa begitu menyenangkan.

Dua minggu mereka menjalin hubungan, sedikit banyaknya, Nina bisa menembak jika love languageDewa adalah physical touch. Pria itu selalu menyentuhnya jika mereka tengah bersama. Entah itu memegang tangannya, mengusap kepalanya ... Dewa selalu memastikan ada skinskip di antara mereka.

Hal-hal tersebut sudah barang tentu membangkitkan lagi sesuatu dalam diri Nina yang sempat padam. Ia sudah lama sekali tak menjalin hubungan. Sentuhan-sentuhan yang Dewa lakukan menyandarkan Nina juga ia wanita biasa. Ia memiliki hasrat yang selama ini terpendam. Dan setiap kali sensasi-sensasi menggelitik itu muncul, Nina berusaha mengenyahkan.

Terkadang ia sengaja menghindar—menunjukkan ketidaknyaman agar Dewa mundur. Namun, ketika Dewa dengan sopan menarik sentuhannya, Nina merasa kehilangan. Ia berubah kecewa, diam-diam mengharapkan Dewa memberikannya lagi sentuhan hangat tersebut. Sentuhan menenangkan yang selama ia rindukkan tanpa sadar.

"Aku mau mandi dulu ya, Mas." Nina berkata begitu mereka sudah memasuki unit apartemennya.

"Eh, nggak apa-apa sendiri?" Dewa mengerjap. Tangan masih memegang lengan Nina.

"Ya, nggak apa-apa lah, Mas," Nina berdecak. "Masa kamu temenin?!"

Senyum tengil terbit di bibir Dewa. "Kalau kamu mau sih aku nggak nolak."

"Mesum!" Nina melotot galak. Menarik tangannya dari Dewa ngeri.

Dewa tergelak sambil mengeluarkan ponselnya. "Kamu mau makan apa, Sayang?" tanyanya seraya mendaratkan bokongnya di sofa. "Biar aku pesen sekarang."

"Aku ngikut kamu aja, Mas." Nina menyahut sebelum ia masuk ke dalam kamar.

Dewa menoleh ketika mendengar suara debuman pintu yang menutup. Perlahan-lahan senyum kecil terbit di bibirnya ketika ia sempat menangkap bayang-bayang Nina.

Gosh, sudah dua minggu mereka menjadi sepasang kekasih. Tetapi euforia kebahagiaan yang dirasakan Dewa semakin bertambah alih-alih berkurang. Ia menyukai setiap detik yang ia habiskan dengan Nina. Ia menyukai berada di apartemen gadis itu, dan menginginkan Nina juga akan nyaman saat berada di tempatnya. Berbagi banyak hal dan membuat kenangan-kenangan indah bersama.

Tetapi ia tidak boleh terburu-buru. Dewa harus mengatur ritme agar Nina dengan sendirinya menyadari jika Dewa serius dengan hubungan mereka.

Karena sepertinya Nina lebih membutuhkan pembuktian dibanding kata-kata manis.


 


 

***



 

Selepas mandi dan mengganti pakaiannya, Nina mendadak gugup untuk keluar dari kamarnya. Selama dua minggu belakangan, ia mencoba mencegah mereka berada di satu ruangan yang sama hanya berdua saja. Sebab itu, setiap kali Dewa mengantarnya pulang, Nina tak pernah menawarkan pria itu mampir ke apartemennya.

Paling kalau tiba-tiba Dewa ke apartemennya di saat weekend, ia harus mengendalikan diri lebih ekstra agar tetap berpegang pada kewarasan.

Nina menyelipkan rambutnya ke belakang telinga setelah menutup pintu. Keningnya mengerut saat mendapati ruang tengah kosong. Sosok Dewa yang terakhir ia lihat duduk di sofa tidak ada di sana. Nina merogoh ponsel di saku celana, berniat menelpon Dewa andai saja suara bel pintu tak mengintrupsinya.

Nina merajut langkah ke pintu. Mengintip dari peephole dan terkejut mendapati Dewa lah yang berdiri di depan pintu.

"Mas, kok di luar?" Nina bertanya setelah membuka pintu.

Dewa nyengir. Mengangkat paper bag di tangannya. "Aku ke bawah ngambil makanan." Jawabanya lalu melewati tubuh mungil Nina dengan mudah. "Makanya kamu kasih tahu kode apartemen kamu dong!"

"Enak aja!" Tolak Nina. "Privasi tau."

"Sama pacar ini," Dewa pura-pura merajuk. "Aku kasih keycard-ku, kamu juga nolak."

Nina menggeleng-gelengkan kepalanya. Jika ditanggapi, Nina tahu Dewa akan selalu memiliki jawaban yang membuat Nina—-takutnya setuju memberi kode apartemennya pada Dewa. Pria itu punya bakat persuasif yang cukup membahayakan.

"Jadi, kamu pesen apa, Mas?" tanya Nina sambil duduk di sofa. Sementara Dewa mengeluarkan satu per satu makanan—sehingga Nina tahu Dewa ternyata memesan japanese food. Sesuatu di dalam hati Nina kembali meleleh. Sering pulang bersama membuat mereka juga sering makan bersama. Nina tak menyangka jika Dewa langsung paham kalau selain chinese food, Nina juga penggemar japanese food.

"Your favorite," Dewa lagi-lagi memamerkan senyum memesonanya. "I'm so good, right?"

"What?" Nina mengerutkan kening.

"Jadi pacar kamu," ekspresi nakal tampak di sepasang mata indah itu. "Kalau ini probation, aku pasti udah lulus."

Nina mula-mula terperangah. Lalu perlahan-lahan tawa geli meluncur dari bibirnya. "Kok kamu yakin banget  bakal lulus?"

Dewa mengulum bibir. Tawa Nina belakangan menjadi suara yang paling suka ia dengar.

"Emang selama dua minggu ini aku pacar yang buruk?" tanya Dewa penuh percaya diri—dengan kedua alis yang naik turun.

Nina mencibir saat mendengar ucapan Dewa. Ia tak bisa menyangkal hal tesebut. Dewa memang bersikap sangat baik selama mereka berpacaran.

"Awal hubungan emang kaya gitu nggak, sih? Semua yang baik dan manis ditunjukin. Terus lama-lama baru deh aslinya kelihatan." Nina mengangkat bahunya, lalu tersenyum hambar. "Nggak ada yang tahu gimana kamu ke depannya. Kamu juga belum kenal aku banget. Siapa tahu, aku nggak sebaik yang kamu kira."

Dewa mengambil jeda untuk mengamati Nina. Mempelajari emosi di wajah gadis itu. "Fair enough," angguknya. "Tapi aku nggak pernah berpura-pura saat lagi sama kamu. Dan aku juga bisa ngerasain, kamu nggak pernah berpura-pura waktu lagi sama aku."

Senyum Nina lenyap. Ia mengangkat wajanya dan mendapati sepasang mata Dewa menatapnya penuh ketulusan. Nina tak menyukainya. Ia tak menyukai efek tatapan itu padanya. Nina bergerak-gerak gelisah di tempatnya. Lalu berdeham gugup. "Aku mau makan sekarang," katanya mengalihkan pembicaraan. "Biar aku ambil piring sama sendoknya dulu di dapur."

Nina lantas beranjak terburu-buru dari sofa menuju dapur.

Sementara Dewa mengamati gadis itu sambil membantin; kamu nggak berpura-pura saat sama aku, Kanina. Kamu cuma menghindar.


 

***


 

Nina tidak tahu bagaimana caranya hingga ia berakhir di posisi ini. Tetapi selepas mereka mengisi perut, Dewa menyalakan TV lantas mengajak Nina untuk menonton bersamanya sambil menurunkan makanan di dalam perut mereka. Posisi mereka mulanya cukup berjarak. Lalu Dewa menoleh dan bertanya sambil mengusap kepalanya penuh perhatian.

"Perutnya masih kram?" tanya Dewa dengan suara yang begitu lunak.

Nina menggeleng kecil. "Udah mendingan."

"Obatnya emang udah diminum?"

"Udah," Nina mengangguk. "Aku minum sebelum mandi."

Dewa manggut-manggut. Tangannya turun mengenggam tangan Nina di atas pangkuan gadis itu. "Sini, geseran deket aku," pintunya dengan senyum nakal tersungging di bibirnya. "Jauh amat. Kayak lagi musuhan aja."

Nina melirik Dewa ragu. Sebagian hatinya ingin menepis tangan pria itu. Namun sebagian lagi menginginkan sentuhan kenyamanan yang Dewa berikan padanya. Mau diingkari pun, Nina menyadari hati kecilnya menginginkan hal tersebut.

Jadi begitu lah, Nina kini bersandar nyaman di dada bidang Dewa dengan salah satu tangan pria itu yang melingkari pundaknya. Ketegangan Nina di awal perlahan-lahan berubah menjadi rasa nyaman sampai dia tak lagi mengkhawatirkan keberadaan Dewa di apartemennya. Sampai dia mengabaikann peringatan yang berdengung di kepalanya.

"Nama panjang kamu apa sih, Sayang?" tanya Dewa tiba-tiba. Ia menunduk sedikit, mengintip ekspresi serius Nina yang menonton series Friends di TV. "Aneh banget kita udah pacaran tapi aku nggak tahu nama panjang kamu."

"Kanina Salma."

"Kanina Salma," Dewa mengulangnya dengan senyum di wajahnya. "Pretty name. Just like you."

Nina mendengus. Merapatkan bibirnya agak tak tersenyum-senyum.

"Sadewa Chandra Hirawan," Dewa memberitahu nama lengkapnya. "Itu nama panjangku."

"Hmm, I know." Nina mengangguk. "Di bio IG kamu udah ada nama lengkap kamu."

"Wah, aku nggak nyangka kamu ngecek profile IG-ku."

"Ngecek buat follback kamu kali, Mas. Geer banget." Ejek Nina.

Dewa tertawa kecil. "Bikin pacar sendiri seneng kenapa sih, Kanina? Tinggal bilang iya aja langsung berbunga-bunga hati aku."

"Dih, nggak inget umur." Ledek Nina sambil ikut tertawa bersama Dewa.

Dewa menarik Nina lebih dekat dalam pelukkannya. Begitu senang karena gadis itu tak menepisnya. Setiap kemajuan kecil dalam hubungan mereka selalu membuat Dewa bersemangat. Ia menunduk lagi, mengamati wajah Nina dari sisi atas. Menganggumi kelembutan wajah polos tersebut.

Ia mungkin belum mengenal Nina sepenuhnya. Tetapi mendapati hatinya begitu mudah jatuh pada pesona Nina—Dewa yakin ia berjuang untuk wanita yang tepat.

Menyadari Dewa tengah mengamatinya, Nina pun mendongakkan wajahnya. Tidak tahu itu keputusan yang bagus atau tidak—sebab tatapan mereka yang bertemu memunculkan percikkan sensasi yang membuat jantungnya berdegup kencang. Gelombang panas membelai sekujur tubuhnya ketika ia merasakan telapak tangan Dewa menyentuh pipinya.

Alarm bahaya berdengung di kepala Nina. Tatapan Dewa yang begitu lekat membuatnya tahu kemana ini akan berakhir. Terlebih pandangan pria itu turun, mengamati bibirnya lamat-lamat.

Telapak tangan Dewa yang lebar dan hangat menangkup pipinya, mengangkat wajahnya mendongak sambil pria itu menelengkan kepalanya.

Logikanya menyuruhnya untuk menghindar, atau mendorong Dewa. Tetapi hatinya berkata lain. Dan tampaknya, hatinya lebih mendominasi karena Nina tak melakukan apa-apa saat ia merasakan bibir Dewa menekan lembut bibirnya.

Pria itu mendaratkan kecupan-kecupan kecil dengan begitu berhati-hati. Membuat Nina meleleh dalam dekapan Dewa yang kini terasa posesif.

Dewa menarik wajahnya, membalas sepasang mata Nina yang menatapnya sayu. Membuat dorongan liar dalam dirinya memberontak.

Nina memiliki bibir yang bukan hanya indah, tetapi juga manis. Dewa ingin menjelajah bibir itu dengan penuh ketekunan. Merasakan setiap lekuknya, setiap sudutnya ... semuanya.

Oh, sial, ia seperti remaja puber yang baru pertama kali berciuman.

Dewa ingin memastikan Nina juga menginginkan. Sebab itu, ia mencoba untuk bersabar. Menunggu penerimaan Nina.

Dan ketika anggukkan samar itu terlihat, Dewa segera memindahkan telapak tangannya ke tengkuk Nina, memagut bibir bawah Nina dengan mulutnya. Mengulum dan menyesapnya lembut seolah ia sedang menikmati permen paling nikmat di dunia. Lantas melakukan hal yang sama pada bibir atas gadis itu yang terasa sama nikmatnya.

Nina tahu dirinya telah ditaklukkan. Ciuman Dewa seperti mantra yang membuat matanya terpejam. Entah lah, Nina hanya pernah dicium oleh dua pria sepanjang hidupnya. Pertama, kakak kelasnya yang dekat dengannya sewaktu SMA. Kedua, satu-satunya mantan kekasihnya, Samudera. Dan ciuman mereka tidak semenggairahkan ini.

Mungkin karena ciuman itu terjadi ketika ia masih muda. Mereka belum begitu berpengalaman.

Sementara Dewa ... astaga, pria ini begitu pandai berciuman. Dewa bukan hanya berpengalaman. Tetapi ahli. Tidak ada keraguan dalam gerakkan bibirnya. Dewa tahu kapan harus menyesap bibirnya, dan kapan harus menarik sedikit jarak untuk membiarkan Nina mengambil napas.

Cumbuan itu sudah barang pasti membangkit gairah dalam diri Nina hingga ia tak menyadari sudah menggantungkan tangannya di bahu Dewa. Berusaha mengimbangi ciuman pria itu yang nikmat.

Nina membuka sedikit mulutnya, bermaksud untuk memagut bibir Dewa—-tetapi lidah pria itu yang menyelinap ke dalam mulutnya cukup mengejutkannya.

Menyadari itu, Dewa menggerakkan tangannya mengusap punggung Nina naik turun. Memberikan usapan menenangkan yang membuat tubuh Nina kembali rileks.  Dewa kembali menggerakkan lidahnya di dalam mulut Nina, membelai setiap sudut lalu melilitkannya dengan lidah Nina.

Ciuman lembut itu perlahan-lahan berubah menjadi panas dan intens. Kepala mereka bergerak, mengeruk lebih banyak. Menginginkan lebih banyak.

Nina mencengkram pundak Dewa semakin erat ketika merasakan kepalanya berkunang-kunang. Dengan perasaan agak tidak rela, Nina lantas menarik wajahnya dari Dewa. Mengakhiri ciuman mereka dengan napas terengah-engah.

Sepasang matanya perlahan-lahan terbuka, beradu dengan mata hitam Dewa yang gelap oleh hasrat. Membuat panas merambah hingga ke pipinya.

Nina menunduk, mengakhiri kontak mata yang menggetarkan itu, lalu membenamkan wajah di dada Dewa. Menenangkan jantungnya yang berdetum hebat.

Dirasakan kedua tangan Dewa melingkari tubuhnya. Menariknya semakin rapat sambil menjatuhkan kecupan-kecupan kecil di puncak kepalanya.

Ia tak akan pernah bisa melupakan ciuman ini seumur hidupnya.

Ciumannya dengan Dewa akan menjadi memori kekal di dalam kepalanya.

And with one kiss, she was already addicted. Nina tak akan bisa menghindar jika Dewa menciumnya lagi. Tidak setelah ia tahu betapa nikmatnya ciuman pria itu.

 

Bersambung.


 

20 | lost on you


 

Dewa menyisiri area lobi dengan matanya ketika Risyad tengah berkicau di sampingnya. Tak terlalu fokus mendengarkan rekan kerjanya itu bicara—karena otaknya tengah bertanya-tanya kenapa Nina belum juga turun, padahal jam makan siang sudah dimulai.

Dewa menunduk, mengecek Rolex yang melingkar di pergelangan tangannya untuk melihat waktu.

Seharusnya jam segini Nina sudah turun.

Dewa mengangkat pandangannya lagi. Menimang untuk menghubungi Nina—sampai sosok gadis yang ia tunggu-tunggu muncul. Seketika senyum Dewa merekah lebar. Hatinya mengembang begitu matanya menangkap sosok mungil yang mengenakan kulot hitam dipadu dengan kemeja asimetris keluar dari lift bersama sahabatnya, Sisy.

"Elaaah, ternyata ngajak gue makan di kantin bareng ada sebabnya, toh," Risyad berdecak kecil. "Sampai kapan sih mau backstreet?"

Dewa mengangkat bahu. Sebetulnya, ia juga tidak ingin backstreet terlalu lama. Tetapi hubungannya dengan Nina belakangan mengalami peningkatan yang cukup signifikan sejak ciuman mereka. Nina semakin nyaman dengannya. Tak ada lagi ekspresi tegang maupun tubuh kaku bila Dewa melakukan skinship. Bahkan, setiap kali Dewa mencium gadis itu, Nina tak pernah menghindar maupun menolak.

Damn it! Membayangkan ciuman mereka praktis membuat otak Dewa meliar. Darahnya pun berdesir hingga ia buru-buru mengenyahkan bayangan tersebut di dalam kepalanya—dan segera menghampiri Nina yang terkejut ketika melihatnya

"Mas Dewa," Nina mengerjap bingung begitu Dewa berdiri di hadapannya bersama Risyad yang melirik Sisy dengan canggung.

"Hi, Sa—Nin," Dewa segera meralat sebelum panggilan itu selesai. Ia nyengir saat Nina melolotinya galak. "Mau ke kantin, ya? Bareng, yuk!"

Nina mengerutkan kening sambil menatap Dewa dengan pandangan kesal. Gadis itu kemudian melirik Sisy, meminta pendapat sahabatnya. Mengingat hubungan Risyad dan Sisy sedang renggang dan menggantung, Nina bisa membayangkan betapa tidak nyamannya makan siang mereka nanti jika ia menyetujui ajakan Dewa.

Lagian, kenapa Dewa tidak bilang-bilang dulu sih mau makan siang bersamanya?

Sisy mengerling pada Risyad ragu. Lalu berpaling pada Dewa yang menatapnya penuh harap. Jelas hal itu membuat Sisy tidak enak menolak. "Boleh, deh. Seru juga makan rame-rame, kan?" sahut Sisy memaksakan diri agar tampak ceria.

Nina menggandeng Sisy ketika mereka berjalan lebih dulu ke kantin. "Nggak perlu ngerasa nggak enak, Sy." Bisik Nina. "Kalau lo nggak mau, nanti gue yang bilang sama Mas Dewa."

Sisy menggeleng. "Santai aja, Nin. Gue okay, kok. Besides, gue nggak mau merusak pedekatean lo sama Mas Dewa." Sudut bibir Sisy terangkat ketika menangkap ketegangan di wajah Nina—yang ia sangka sebagai pertanda karena tebakannya yang benar. Padahal, Nina tegang karena merasa bersalah belum memberitahu Sisy soal statusnya dengan Dewa yang telah resmi berpacaran. "Mas Dewa makin terang-terangan aja, ya. Terus ekspresinya pas ngeliat lo itu berseri-seri banget. Kayak orang lagi jatuh cinta."

Nina meringis. "Lebay lo."

"Ih, serius!" Sisy bersikeras. "Lo aneh sih kalau sampai sekarang belum ngerasain apa-apa buat Mas Dewa."

Nina merasakannya. Sesungguhnya ia malah telah merasakan banyak hal pada Dewa. Terlalu banyak sampai Nina tak mampu membendungnya.

"Kamu mau pesan apa? Biar aku pesenin?" Dewa bertanya begitu mereka duduk di meja. Pandangan begitu lurus, hanya tertuju pada Nina seorang.

"Nina aja yang ditawarin ya, Mas. Iya, deh. Ngerti gue." Goda Sisy. Sekaligus pengalihan agar ia tidak terus melirik Risyad yang duduk di hadapannya.

Dewa terkekeh. "Minta pesenin Risyad, gih. Gue mah emang cuma nawarin Nina."

Sisy mencibir. Meskipun begitu ia jelas tak akan meminta Risyad yang memesankan makanannya. "Gue sendiri aja deh, Mas."

"Aku aja, Sy." Risyad mencegah. Memaksakan senyum kaku sambil mengusap tengkuk dengan canggung. "Kamu sama Nina duduk aja. Kamu mau pesan apa?"

Sisy melirik Risyad ragu. Kemudian mengangguk dan menyebutkan pesanannya.

"Tuh, kan." Nina berkata setelah Dewa dan Risyad beranjak dari meja untuk memesan. "Lo sama Mas Risyad canggung banget, Sy."

"Ya, mau gimana lagi, Nin. Masa gue menghindar terus?" Sisy menanggapinya dengan santai. Meskipun di dalam hati, ia meraung. "Lagian, ya. Gue sama Mas Risyad itu udah nggak penting. Kami kayaknya emang nggak bisa bareng karena nggak ketemu jalan keluar yang sama-sama menyenangkan. Nah, elo sama Mas Dewa. Astaga, Nin! Pacaran nggak sama Mas Dewa?!" ancamnya bercanda. "Dia udah sebaik itu lhooo! Dimana lagi lo ketemu cowok se-perfect Mas Dewa?"

"Nobody's perfect, Sy."

"Nobody's perfect kecuali Mas Dewa." Sahut Sisy sambil menaik-turunkan alisnya. "Mas Dewa mungkin ada kekurangan. Tapi dia green flag parah! Liat coba, dia fokus ke elo, doang. Semenjak ngedeketin lo, Mas Dewa lumayan membatasi diri, kok. Maksudnya, dulu kan Mas Dewa ramah banget ke semua cewek. Kalau sekarang, ya, ramah aja."

"Nggak pakek banget?" Nina mencibir.

Sisy mengangguk semangat. "Serius. Bahkan Mas Dewa udah nggak pernah nerima hadiah apapun dari cewek-cewek yang caper sama dia. Sofia bilang, semua hadiahnya dibalikin."

Nina memandang Sisy agak tak percaya.

"Gue ngerti lo cuma mau berhati-hati," Sisy menambahkan dengan peduli. "Tapi apa salahnya kasih Mas Dewa kesempatan, Nin?"

Nina tak mungkin merahasiakan hubungan dengan Sisy lama-lama. Niatnya yang ingin mengakhiri hubungan dengan Dewa secepat mungkin—tampaknya tak berjalan sesuai rencana. Dewa begitu tanpa celah. Pria itu juga tak berniat menutupi hubungan mereka—dan membuatnya begitu tampak jelas di hadapan Risyad dan Sisy.

Pria itu memuji penampilannya hari ini, membahas pekerjaan Nina yang sempat mendapat komplain dari klien—which is, membuat Sisy mengernyit heran karena ia saja tidak tahu masalah tersebut.

Seperti Sisy biasanya, gadis itu tak akan menyimpan rasa penasarannya lama-lama.

"Kok gue ngerasa interaksi lo sama Dewa smooth banget, ya?" tanya Sisy ketika mereka kembali naik ke atas. "Kayak ... lebih dari orang pedekate. Lo juga kelihatan nyaman sama Mas Dewa."

Nina membasahi bibirnya. Tatapan Sisy yang penuh selidik mendadak membuat Nina gugup. Ia lantas menarik Sisy ke pantry yang sepi. Mengajak sang sahabat duduk di bangku kosong dan mengambil jeda untuk menarik napas. "Sy, ada yang mau gue kasih tahu sama lo."

Kedua alis Sisy bertaut. Ekspresi wajahnya berubah was-was. "Apa? Lo nggak kenapa-napa kan, Nin?"

Nina menggeleng. "Gue baik-baik aja. Cuma ... gue minta maaf karena terlambat ngasih tahu lo. Dan lo pasti marah sama gue."

"Nina, jangan bikin gue takut, ih!"

"Setelah gue ngasih tahu lo ini, lo boleh marah sama gue. Tapi lo harus tahu, lo adalah sahabat gue, dan gue nggak pernah berniat menyembunyikan apapun dari lo. Dan, please, jangan kasih tahu siapa pun, ya. Gue nggak mau orang-orang tahu."

"Kanina, buruan spill keburu gue takut beneran ini!" sahut Sisy greget dengan pembukaan Nina yang kelewat panjang.

Nina menarik napas panjang, kemudian mengeluarkannya perlahan-lahan lewat mulut. "Sisy, gue udah jadian sama Mas Dewa."

Sisy melebarkan matanya. Tetapi mulutnya terkatup seperti dilem. Sampai beberapa detik kemudian, jeritan lolos dari bibirnya. "APA?! LO SAMA MAS DEWA JADIAN?!"


 


 


 

***


 


 

"Seharusnya kamu bilang dulu kalau mau makan siang bareng," Nina tak menahan diri untuk mengomeli Dewa begitu masuk ke dalam mobil pria itu. Sebagian betulan kesal dengan tindakan impulsif Dewa. Sebagian lagi merasa tidak enak dengan Sisy.

Sisy tidak marah padanya. Tetapi agak kecewa Nina tidak memberitahunya lebih awal. Meskipun begitu, Sisy selalu baik dan mudah memaafkan orang lain. Dia mengaku ikut bahagia dengan kabar tersebut dan meminta Nina menceritakan lebih banyak padanya. Alhasil, Nina pun menceritakan kalau ia mengatakan iya pada Dewa lalu mereka pun jadian.

"That's it?" Sisy mendesah tak puas. "Habis itu kalian nggak ciuman?"

"Nggak lah!" Nina mengerjapkan matanya. "Ya kali baru jadian langsung ciuman."

"Berarti sekarang udah?" Sisy tersenyum miring. Menggoda Nina.

Nina gelagapan. Jelas tidak bisa menyangkal hal itu.

"I see. Muka lo yang merah udah menjawab semua, Kanina." Sisy mengerling jahil. "Aw, akhirnya sahabat gue punya pacar!"

"Kalau aku bilang, kamu pasti nggak mau." Ucapan Dewa menyadarkan Nina dari lamunan singkat. Ia mendapati Dewa tersenyum kecil padanya. "Marah ya, Sayang?" tanyanya lembut. Gemas sekali melihat pipi Nina yang mengembung karena kesal. Ia meraih tangan Nina dan menggenggam dengan kedua tangannya.

Nina menoleh dan membalas tatapan Dewa yang meluluhkan. Sial! Tak mungkin ada wanita yang tidak meleleh ditatap seperti itu oleh laki-laki ini.

Nina memalingkan wajahnya. Menghindari kontak mata dengan Dewa. Ia sudah berusaha mengenyahkan semua perasaan yang ditimbulkan oleh pria itu. Namun, semakin ia berusaha menghindarinya, perasaan itu malah semakin kuat. Ia malah berkhianat dan terus saja berbunga-bunga jika Dewa sudah melimpahkanya dengan banyak perhatian.

Nina bahkan tidak tahu apa yang ia inginkan dari hubungan mereka sekarang.

"I'm sorry," Dewa mengusap punggung tangan Nina dengan jempolnya. Mendekatkan wajahnya agar bisa menatap kekasihnya lebih jelas. "Aku nggak bermaksud bikin kamu bete. I just want to spend more time with you. Belakangan, aku jarang bisa di kantor. Kamu juga nggak mau kalau aku jemput lagi di kantor kalau aku lagi di luar."

"Ya, karena aku nggak mau kamu bolak-balik, Mas." Nina akhirnya kembali berpaling. Belakangan Dewa memang sering meeting di luar—membuat Nina menyarankan Dewa untuk langsung pulang saja alih-alih menjemputnya agar pria itu bisa beristirahat. Dan Nina pun bisa pulang lebih cepat.

Orang-orang kantor mulai heran karena Nina sering sekali pulang larut malam akhir-akhir ini—padahal pekerjaannya bisa diselesaikan di rumah. "Kalau kamu jemput aku juga bakal capek di jalan. Mending kamu gunain waktunya buat istirahat, kan?

Dewa menghela napas. Alasan Nina memang masuk akal. Ia saja yang bersikap tidak masuk akal selama hubungan mereka. Tapi mau bagaimana lagi. Perasaan Dewa pada Nina sedang mekar-mekarnya. Ia selalu ingin bertemu dengan Nina sampai rela memangkas waktu istirahatnya. Dewa juga memundurkan jadwal gym-nya agar bisa menyesuaikannya dengan waktu Nina. Sampai Angga terheran-heran karena tidak pernah bertemu Dewa di tempat gym. Alhasil, karena Angga mulai merasa aneh, Dewa pun mengaku kalau ia dan Nina sudah jadian.

Well, Dewa memang tidak berniat menyembunyikan hubungan mereka, kan?

"O ... kay. Aku nggak bakal kayak gitu lagi." Dewa menatap Nina memelas. "Jangan marah lagi, ya?"

"Aku nggak marah, Mas." Suara Nina melembut. "Aku cuma nggak enak sama Sisy. Kamu kan tahu hubungan Sisy sama Risyad gimana. Mereka canggung banget lho tadi."

"Habisnya yang ada di kantor cuma Risyad. Garen aku utus ke Surabaya biar weekend ini aku bisa sama kamu."

"Gitu ya kalau bos," cibir Nina.

Dewa nyengir. "Kan demi kamu juga, Sayang."

"Aku nggak minta lho," sahut Nina datar. "Lagian, kerjaanku lagi banyak. Weekend ini aku mau nyelesain copy. Terus aku juga mau ngerjain translate-an."

Mengetahui Nina memiliki side job cukup mengejutkan Dewa. Meskipun sebenarnya itu sudah menjadi hal biasa di zaman sekarang. Pekerjaan sampingan malah sesuatu yang sangat disarankan untuk kenyamanan di masa depan. Dewa bertemu banyak orang yang memiliki pekerjaan lain di luar pekerjaan utamanya. Cuma pekerjaan utama Nina sudah cukup menyita waktu, ia tidak ingin Nina kekurangan waktu beristirahat karena terlalu banyak bekerja. Dan tentu, waktu berpacaran dengannya.

"Yaudah, aku temenin." Dewa nyengir. "Kerjanya di apart-ku aja. Nanti aku yang jemput."

Nina menyipitkan matanya.

"Come on, Sayang," bujuk Dewa. "Kamu boleh pakai ruang kerjaku. I promise, aku nggak bakal ganggu."

Nina menghela napas. Dewa selalu pandai membujuk orang. "Fine."

Senyum Dewa merekah lebar. Ia menarik tangan Nina ke bibirnya, mengecup punggung tangan gadis itu berulang kali sebelum menarik tubuhnya mundur dan menyalakan mesin mobil. "Mau makan dimana, Sayang?" tanya Dewa.

Sebab Nina ada meeting di luar hari ini, dan tak ada urusan lagi di kantor—mereka tak perlu menunggu larut malam untuk bisa pulang bersama. Dewa segera menjemput Nina di sebuah restoran di daerah Kuningan begitu gadis itu menyelesaikan meeting-nya.

Nina meraih ponselnya. Mencari tempat makan terdekat. "Kamu lagi kepengin makan apa, Mas?"

"Aku mah bebas."

"Makan batu mau?"

Dewa tergelak. Selalu gemas kalau Nina sudah mengeluarkan celetukkan asalnya. "Jangan batu dong, Sayang. Rontok ntar gigiku."

Nina menahan tawanya ketika terbayang gigi Dewa rontok.

"Eh, ngebayangin ya kamu?" tegur Dewa ketika menoleh. "Durhaka nih sama pacarnya."

Nina mendengus. "Orang aku nggak ngebayangin apa-apa, kok." Sangkalnya.

"Boong."

"Yaudah kalau nggak percaya." Nina mengangkat bahunya.

"Nggak percaya," mata Dewa berkilat-kilat jahil. "Itu hidungnya mancung."

"Hidungku memang mancung, Mas Dewa!"

"Iya, karena sering bohong, kan?" balas Dewa.

Nina menoleh sambil melotot.

Dewa terkekeh sambil menggelitik kecil pinggang Nina. "Ayo, ngaku," godanya.

"Mas Dewa!" tegur Nina, menepis tangan pria itu. "Nyetir aja yang benar, ya!"

Kekehan Dewa berubah menjadi tawa. Sekilas, ia melirik Nina yang juga merapatkan bibirnya menahan senyum di wajahnya.

Sok bersikap galak padahal dalam hati kasmaran.


 


 

***


 


 

"Nggak mau nawarin aku mampir?" Dewa bertanya dengan senyum nakal yang melekat di bibirnya begitu mobilnya memasuki area gedung apartemen Nina. "Masih jam delapan lho, Sayang. Bisa lah kalau kita nonton satu episode Lost bareng."

Nina memutar bola matanya. Meskipun pada kenyataanya pertanyaan Dewa membuat perutnya dipilin oleh sensasi yang belakangan selalu muncul setiap kali mereka bersama. Dewa adalah godaan. Ciuman mereka benar-benar mengubah banyak hal dalam hubungan mereka.

Ketertarikannya pada Dewa berkembang kian pesat. Guess what, Nina bahkan sering melamunkan ciuman-ciumannya dengan Dewa di waktu-waktu tak tepat. Yeah, ciuman-ciuman. Sejak ciuman pertama mereka, ciuman kedua, ketiga, dan seterusnya menjadi sesuatu yang tak terhindarkan lagi.

Awalnya Nina menyangkal dan berkeyakinan jika ciuman pertama terjadi karena perubahan hormon. Ia sedang datang bulan, hormon estrogennya sedang meningkat yang memicu gairah seksual. Namun, ketika ciuman kedua terjadi—tampaknya itu bukan  hanya kerena perubahan hormon. Entah Nina yang kelewat lemah. Atau Dewa memang pandai sekali.

Nina melirik Dewa sekilas, yang tampak masih menunggu jawabannya. Meskipun yang selalu berinsiatif mencium duluan adalah Dewa—Nina harus mengakui ia tidak pernah menolak. Nina bahkan membalasnya dengan kesadaran penuh dan keinginan yang begitu jelas. Ciuman itu tidak sepihak, tetapi keinginan bersamanya.

"Cuma satu episode, ya?" Dewa memang tidak pernah menginap di apartemennya. Tetapi pria itu selalu mengulur waktu untuk berada lebih lama di apartemennya. "Habis itu kamu harus pulang."

"Promise," Dewa mengangguk semangat. Membelokkan mobilnya memasuki basement.

Menghabiskan waktu dengan Nina memang menyenangkan. Dewa tak pernah menyukai ketika ia harus menurunkan Nina di lobi gedung apartemen gadis itu. Makanya, ia terkadang cari-cari kesempatan untuk mampir.

Kendati hal tersebut juga menyiksa. Berduaan dengan Nina di dalam satu ruangan adalah godaan. Dewa tak mampu menahan keinginan untuk mencium Nina ketika gadis itu berada dalam jangkuannya. Nina begitu responsif, lembut, dan penuh kejutan. Membuatnya kecanduan dan nyaris kehilangan akal sehat.

Jika ia tak mewanti-wanti dirinya, dan Nina selalu tahu kapan harus menyudahi ciuman mereka—Dewa pasti sudah kehilangan kontrolnya.

Dewa membuat dua gelas teh chamomile lalu duduk di sofa sembari menunggu Nina keluar dari kamarnya. Ia mengeluarkan ponsel, membalas chat dari Angga yang menanyakan ia pergi gym atau tidak malam ini.

Angga

Nge-gym nggak lo?

Dewa

Iya

Ntar langsung dari tempat Nina

Angga

Widiiih

Pacaran mulu lo, Pak

Ketahuan bos lo ntar

Tentu bos yang Angga maksud adalah Peter. Ide Nina merahasiakan hubungan mereka dari orang kantor cukup membuatnya tak kesulitan menghindari Peter dari Nina. Dewa tahu cepat atau lambat Peter akan mengetahuinya. Hanya saja, tidak sekarang. Peter cenderung suka ikut campur. Ia tidak ingin Nina terpengaruh di saat pondasi di antar mereka belum kuat.

Angga

Tapi dia lagi sibuk sama cewe barunya

Nggak bakal noticed lo udah punya pacar.

Peter memang tengah menjalin hubungan dengan salah satu influencer terkenal. Pria itu sering menghabiskan waktu liburan mewah dengan pacar barunya tersebut sampai jarang berada di kantor belakangan ini.

Dewa

Yeah, tinggal tunggu aja bokapnya ngamuk

Angga

WKWK

Emang nggak berubah teman lo itu

Anyway, double date, yuk.

Gue udah tanya Mila, dan dia mau banget katanya

Dewa baru saja hendak mengetikkan balas ketika sosok Nina keluar dari kamarnya dengan kaos putih oversize dan celana pendek biru setengah paha. Ia tersenyum pada kekasihnya. Menyambut Nina dengan manis, menyodorkan gelas chamomile ia buat pada Nina. "Aku bikinin kamu teh,"

"Thanks," Nina mengambil gelas tersebut lalu duduk di sebelah Dewa. "Kok TV-nya belum dihidupin?"

"Kan nunggu kamu, Sayang. Nggak seru kalau aku duluan nonton."

Nina meraih remote TV, membuka netflix saat Dewa tengah membalas chat.

Dewa

Gue tanya Nina dulu.

Selesai membalasnya, Dewa meletakkan ponselnya di atas meja lalu melingkarkan tangannya di pinggang Nina tanpa canggung. "Aku suka wangi kamu habis mandi,"

Tangan Nina yang memegang remote TV sedikit gemetar saat merasakan deru napas Dewa di lehernya.

Ia berdeham. Menenangkan jantungnya berdegup kencang. "Mas Dewa, duduk yang benar!" tukasnya tegas.

"Ini udah benar, Sayang," Dewa membalas kekanakan. Mempererat pelukkan sembari membenakan wajah di lekuk leher Nina yang lembut. Menghirup aroma vanilla yang menguar dari tubuh gadis itu.

Nina membasahi bibirnya. Meskipun sudah tahu Dewa memang suka sekali melakukan skinship, dan pria itu semakin berani melakukannya sejak ciuman mereka—Nina tetap lah wanita biasa. Ia tak mungkin biasa saja dengan keintiman ini.

Nina menekan tombol play pada episode terakhir yang mereka tonton. Lantas mengedikkan bahunya. "Katanya mau nonton," ucap Nina sambil melirik Dewa yang akhirnya menarik wajahnya.

Tetapi tangan pria itu masih melingkar di pinggang Nina. Malah menarik tubuh Nina merapat dengannya dengan mudah.

Nina terkesiap. Mengendalikan dirinya agar tetap tampak tenang saat setengah tubuhnya bersandar di dada bidang Dewa.

"Kamu chatan sama siapa tadi, Mas?" tanya Nina untuk menutupi kegugupannya.

"Sama Angga," Dewa menjawab jujur. Ujung jarinya mengusap lengan Nina dengan alami. "Dia nanya aku nge-gym nggak hari ini."

"Kamu hari ini nge-gym?"

"Em-hm," Dewa mengangguk. Ketika menunduk, ia mengecup pelipis Nina sekilas. "Aku harus jaga badan karena pacarku suka raba-raba perutku waktu lagi make out," imbuhnya dengan sorot mata nakal.

Nina melotot dengan pipi yang merah padam. "Mana ada!"

Dewa terkekeh. "Kamu nggak sadar aja, Sayang."

"Nggak ya, Mas Dewa!" Nina menyangkanya dengan keras. Tidak mungkin tangannya meraba-raba perut pria itu saat mereka sedang berciuman. "Ngarang kamu!"

"Nggak percaya," tidak terima dituduh mengarang, Dewa pun mendekatkan wajahnya. "Sini, aku kasih bukti."

"Mas Dewa." Nina mengelak sambil mendorong dada Dewa yang bidang. Meskipun itu agak mustahil karena rasanya seperti memindahkan gunung.

Dewa tertawa kecil. Menarik wajahnya sambil memandangi Nina gemas. Dipeluknya gadis itu, lalu mencium puncak kepala Nina dengan sayang.

Nina merengut. Masih memikirkan soal ucapan Dewa tentang dirinya yang meraba perut pria itu sementara Dewa kini memberikan perhatian pada series Lost season 2 yang mereka tonton.

"Kamu lebih suka cowok nakal kayak Sawyer atau bermasa depan cerah kayak Jack?" tanya Dewa.

"Aku nggak suka cowok nakal. Jack juga bukan tipeku."

"Biasanya cewek lebih suka badboy, lho."

"Iya. Kalau umur mereka masih belasan. Di umur dua puluhan, waktu mereka udah memasuki kehidupan dewasa, mereka bakal sadar cowok badboy sama sekali nggak worth it buat waktu mereka."

"Setuju," Dewa manggut-manggut. Lalu mengusap kepala Nina. "Bijak banget pacarku. Sini, aku cium dulu."

"Mas Dewa, kamu mau nonton atau nggak sih!" protes Nina saat Dewa mencium wajahnya.

"Nonton alasan doang, Sayang. Aku mau mesra-mesraan lah sama kamu." Balas Dewa blak-blakan. Lalu menarik wajahnya dan menangkup kedua pipi Nina. "Kamu tau nggak, kamu itu gemesin banget?"

Nina berdecih. "Basiiii."

Dewa tersenyum. "Kan gemesin," jempol nya mengusap bibir bawah Nina. Menghantarkan gelenyar ke sekujur tubuh gadis itu. "Bikin makin sayang aja nih bocil."

"Mas, aku mau nonton, ya." Nina berusaha melepaskan tangan Dewa dari wajahnya.

"Nggak mau!" Dewa masih menahan wajah Nina agar menghadapnya. "Aku mau liatin pacarku yang gemesin."

"Really?" Nina membuang napasnya.

"Em-hm," Dewa mengangguk. Menatap kekasihnya dengan mata berseri-seri. Posisi ini jelas membuat Nina tidak bisa melihat ke arah lain. Ia pun tanpa sadar tenggelam dalam ketampanan Dewa. Memperhatikan setiap detail wajah pria itu yang tanpa cela. Matanya, hidungnya, lalu mulutnya ... geteran itu kembali muncul saat pandangan Nina berhenti di sana.

Jarak yang begitu dekat membuat napasnya bercampur dengan napas pria itu. Sentuhan jempol Dewa di bibirnya terasa semakin menggetarkan. Jantung Nina berdegup semakin kencang tatkala Dewa memotong jarak di antara mereka. Semakin dekat ... lebih dekat. Sampai mata Nina akhirnya terpejam begitu mulut Dewa mencicipi bibirnya dengan lembut. Menyebar kehangatan yang membuat Nina membuka mulutnya sebagai penyambutan tanpa kata.

Tubuh mereka bergerak saling mendekat seperti tarikkan magnet. Nina mengangkat tangannya mengalung di leher Dewa ketika pinggangnya didekap posesif.

Selalu seperti ini, setiap kali Dewa menciumnya, ia langsung kehilangan kewarasannya.


 

Bersambung.


 


 


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Called It Love
Selanjutnya Called It Love - Additional Chapter 21
61
4
Hi, ini additional chapter 21 ya
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan