
13. Losing hope
14. Pull on the side
15. Somewhere between
16. Down for you
13 | losing hope
Dewa mengawasi Nina sembari menyantap steak-nya dalam keheningan. Sejak duduk di meja, Nina berubah menjadi begitu pendiam. Dewa tidak mengerti dengan perubahan suasana hati yang mendadak ini—karena sepertinya, semua tampak baik-baik saja sejak mereka turun dari mobil. Oh, Nina memang agak jengkel karena ia membawanya ke apartemennya tanpa pemberitahuan—tapi masalah itu sudah diatasi.
Dewa yakin bukan hal tersebut yang menyebabkan Nina jadi tak bersuara. Sedikit, hal itu membuatnya khawatir. Jelas bukan ini yang Dewa harapkan saat membawa Nina ke apartemennya.
"How's everything?" tanya Dewa pada akhirnya. "Do you like it?"
Nina yang menunduk sontak menengadahkan kepala—mendapati Dewa tengah menatapnya.
"I like it," Nina tersenyum tipis. "Kamu nggak bohong kalau kamu pintar masak."
Dewa membalas senyum itu sambil melepaskan garpu dan steak knife. Satu tangannya menopang dagu, menatap Nina lekat-lekat. "What's your favorite food?"
"What?"
"I am asking you." Dewa berkata. Ia tak akan membiarkan mereka terjebak dalam keheningan yang canggung lama-lama. "Kita mau kenal satu sama lain, right? Kita bisa ganti-gantiaan nanya, to know each other more. So, Kanina, what's your favorite food?"
Nina menatap Dewa selama sesaat, kemudian menipiskan bibir sembari ikut melepaskan garpu dan steak knife-nya—tertarik dengan permainan pria itu. "Spicy food. Aku suka apapun yang pedas."
"I had expected it," Dewa mengangkat sudut bibirnya.
"What?" Nina mengerutkan kening tak mengerti.
"Waktu kita makan bareng di hari pindahan kamu—aku noticed kamu selalu milih makanan yang pedes." Dewa menerangkan sambil mengangkat bahunya. Lalu menambkan dengan senyum penuh arti. "I always pay attention to you, Kanina."
Nina mengerjap agak terkejut. Ia menatap Dewa yang juga menatapnya. Desir halus itu kembali datang—yang membuatnya berdeham dan mengakhiri adu tatap tersebut. "Why are you interested in me?"
"You're pretty,"
Nina memutar bola matanya. "Come on, Mas. Give me a better reason."
Dewa terkekeh pelan. "Isn't that the best reason?"
Nina menggeleng. "No."
"Okay," Dewa mengusap rahangnya. Ia diam seolah tengah membayangkan sesuatu sambil menatap Nina. Pandangan yang begitu dalam kembali menggetarkan hati Nina. Gadis itu mulai merasakan ketidaknyaman—bukan dalam artian tatapan Dewa mengindikasikan hal buruk. Justru kebalikannya, tatapan itu terlalu tulus sambil perut Nina serasa diputir.
"Honestly, I don't know," gumam Dewa sambil menggelengkan kepalanya. "It's just ... I can't stop looking at you. When you're around me, my heart knows and my eyes immediately go to you. Then I kept watching you, again, and again, and again."
Nina membasahi bibir. Mencoba bersikap normal seolah darahnya tak berdesir, dan pria itu tak berhasil membuat jantungnya berdebar amat kencang.
"What's your favorite book?" tanya Dewa memotong jeda singkat yang tercipta di antara mereka.
"Normal People," Nina menjawab. "Sally Ronney."
"I'll read that book later," Dewa mengangguk-angguk kepalanya. "You're turn,"
"How many ex do you have?"
"The game is getting more interesting, huh." Dewa menyeringai lalu menjawab dengan santai. "Well, five."
"Five?" Nina mendesah kecewa. "I think more than ten."
Dewa nyaris tertawa keras karena ucapan Nina yang menggelitik perutnya. "Just five, Kanina. Sorry for disappointing you."
Nina meraih gelas wine-nya menunggu pertanyaan yang akan Dewa layangkan padanya.
"Do you have any siblings?"
"Yeah," Nina mengangguk. Bibirnya melengkung membentuk senyum lembut ketika mengingat Kian. Sang adik mungkin mulai merasakan keanehan sikapnya belakangan ini. Sepertinya Nina harus segera menghubungi Kian. Ia akan menutup mata soal dua minggu yang lalu dan bersikap tak tejadi apapun padanya. "Adik cowok. Dia lagi koas sekarang."
"Lucky you," Dewa memandang Nina sambil bertanya-tanya apakah gadis itu menyadari betapa cantiknya dia saat tersenyum. Adik laki-laki Nina sangat beruntung karena sang kakak tampak sangat menyayanginya. "Aku anak tunggal."
"Gimana rasanya jadi anak tunggal?"
"Is that your question?" mata Dewa berkilat-kilat jahil.
Tanpa sadar Nina terkekeh. "Em-hm,"
"Mmm ... rasanya biasa aja karena aku juga nggak pernah ngerasain punya saudara kandung. But sometimes it feels a bit lonely. Apalagi waktu aku masih kecil dan Mama juga kerja." Ungkap Dewa. "Mungkin itu yang bikin aku senang berteman dengan banyak orang."
"Kamu memang kelihatan social butterfly banget sih, Mas." Nina mengangguk menyetujui.
Senyum kecil menghiasi bibir Nina yang manis. Dewa terpaku pada bibir itu cukup lama sebelum akhirnya pandangannya berubah lebih luas. Pada wajah Nina yang bersinar karena nyala lilin di atas meja.
Semua ini—dinner romantis yang ia buat di apartemennya sebenarnya adalah sesuatu yang tidak pernah Dewa lakukan pada wanita manapun. Ia ingin membuat Nina terkesan. Ia ingin membuat Nina melihat keseriusannya. Bisa saja Dewa mengajak Nina restoran mewah dengan pelayanan terbaik. Tetapi apa yang spesial dari hal itu?
"I'm glad you want to go out with me," tutur Dewa.
Nina mengamati gelas wine-nya, kemudian membalas datar. "Aku udah janji sama kamu."
Dewa tidak ingin Nina mau berkencan dengannya karena sebuah janji. Ia ingin Nina mau berkencan dengannya karena juga merasakan ketertarikan terhadapnya. Namun, Dewa harus berpuas diri dengan alasan itu untuk sementara waktu.
"Yeah," Dewa mengangguk sambil mengukir senyum yang anggak masam. "I'm lucky you kept your promise."
***
Nina tiba-tiba merasa takut. Semakin lama ia di sini, Dewa semakin menyerangnya dengan segala bentuk perhatian, kerterbukaan, dan kalimat-kalimat manis yang mencairkan kebekuan di dalam hatinya.
Tidak bisa dipungkiri, menghabiskan waktu dengan Dewa sangat lah menyenangkan. Dewa tahu cara membuat orang nyaman dengannya. Pria itu juga memiliki sisi jenaka yang tidak membosankan. Setiap kali Nina mulai ragu dan ingin menutup diri—maka pria itu akan kembali menariknya lagi dalam ketegangan dan membawanya pada kegembiraan dengan kalimat-kalimat konyol namun menghibur.
Dewa tidak mengajaknya ke sini untuk memamerkan kemewahan yang pria itu miliki. Nina menyadari itu karena tak sekalipun Dewa membicarakan apartemen mewahnya. Dia justru mengenalkan Nina pada hobinya—yang mana salah satunya membuat Nina sungguh terpukau dengan banyaknya skill yang pria itu miliki.
Dewa bilang dia suka bermusik. Ia pernah punya band semasa muda. Pria itu hampir bisa menggunakan semua alat musik. Tetapi hanya ada gitar dan piano di apartemennya. Dan Dewa memainkan salah satunya. Jemari pria itu dengan terampil menekan tuts piano hingga terdengar instrumen Love Story dari Richard Clayderaman yang membuat tubuh Nina membeku.
Ia berusaha mengenyahkan bayangan orang itu dan tidak menyamakan Dewa dengan dia. Meskipun harus Nina akui, semakin mengenal Dewa, pria itu terkadang mengingatkannya dengan ayahnya.
"Kamu mungkin pernah papasan sama salah satu temenku—Peter. He's principal architect in Batara," beritahu Dewa yang duduk di sebelahnya dengan jarak hanya satu jengkal tangan di sofa. Oh, bohong sekali kedekatan itu tak memberi efek apa-apa padanya. Meskipun Nina menampilkan ekspresi tenang, kesadaran akan paha mereka bisa saja bersinggungan jika ia bergerak membuatnya gelisah.
"Mungkin aku bakal tahu setelah ngeliat orangnya."
Dewa tak mengatakan apa-apa dan hanya menenggak sodanya. "Tell me about your friend."
"Aku nggak punya banyak temen." Setelah apa yang menimpanya, Nina benar-benar menutup diri. Ia menjauh dari semua orang dan mengunci dirinya di dalam kegelapan. "Sisy temenku yang paling dekat."
"She really cares about you," gumam Dewa.
"I know," Nina mengangguk sembari menyunggikan senyum tipis. Ia berharap suatu saat dia mempunyai keberanian untuk lebih terbuka pada Sisy. "She's so kind-hearted. I hope she will meet someone right for her. Cause she deserve that."
"How about you?"
Pandangan Nina berpaling pada Dewa yang menatapnya dalam.
"Don't you hope to meet someone who is right for you?" lanjut Dewa masih sambil menatap Nina lekat-lekat.
Dewa merasakan lagi ketegangan pada wajah Nina. Ia bahkan menangkap tatapan murung di mata gadis itu. Dewa bukan Psikolog—tetapi jika observasinya tidak salah, Nina seperti memiliki pengalaman buruk tentang sebuah hubungan. Dewa sengaja tak membahas mantan pacar Nina karena tidak ingin gadis it menutup diri padanya. Tetapi lambat-lambat potongan puzzle itu bermunculan dan Dewa bisa sedikit mengintip gambarannya.
"Are you hoping to meet the right person for you, Mas?" Nina balik bertanya.
"I think everyone look for that."
"Not everyone," Nina menggelengkan kepalanya. Ia menelan ludah dengan susah payah sebelum melanjutkan. "I'm not."
"Why?" Dewa tak mampu menahan pertanyaan itu meluncur dalam mulutnya.
"Because I've stopped hoping for anything."
Terjadi kebisuan yang dalam dan panjang. Sesuatu yang tajam serasa menusuk-nusuk jantung Dewa ketika melihat gurat kesedihan di wajah Nina—tidak peduli gadis itu justru menatapnya penuh ketegaran. Kehampaan di mata Nina membuat Dewa tiba-tiba merasakan kemarahan yang pekat. Tangannya terkepal ingin menghajar orang yang telah membuat Nina seperti ini—gosh, apa yang sudah Nina alami sampai dia kehilangan harapan?
"Empat tahun yang lalu ..." Dewa bersuara sambil menatap Nina. " ... pernikahanku batal."
Nina terkesiap. Matanya mengerjap terkejut dengan pengakuan Dewa yang tak pernah ia sangka. Bibirnya berkedut setengah mati menahan diri untuk tidak bertanya. Tetapi hatinya berteriak ingin tahu. Dia tahu beberapa mantan kekasih Dewa dari jejak media sosial pria itu. Jika kejadian itu empat tahun yang lalu ... artinya perempuan itu pasti Debby Wisnatari Djati?
Sang putri Indonesia yang kini bekerja di ICBC sebagai finance analyst. Melihat dari beberapa foto mereka yang masih ada di akun media sosial sang perempuan—Nina menduga Debby mungkin saja masih memiliki perasaann pada Dewa. Jika tidak, bagaimana mungkin foto tersebut belum dihapus? Perempuan biasanya lebih sensitif. Ia tidak akan terus memajang foto mantan kekasih di media sosialnya jika bukan karena masih ingin kembali.
"What happened?" tanya Nina yang akhirnya menyerah. "If you don't mind me asking."
Dewa menggeleng. Pria itu terdiam dan melamun sebelum akhirnya kembali bersuara. "I don't know. She just left."
She left?
Nina membasahi bibirnya. Dewa mengatakannya dengan nada tenang. Tetapi luka itu jelas masih ada sampai Nina mengerutkan kening. Nina yakin mantan kekasih Dewa masih memiliki perasaan padanya, ia tak menngerti kenapa dia malah meninggalkan Dewa.
"Without explanation?" Nina kembali bertanya kali ini dengan agak berhati-hati.
Dewa tertawa getir.
"She just said she couldn't marry me. Do you think that can be used as an excuse?" Dewa menjeda sebentar untuk menarik napas. "Dia pergi setelah bilang nggak bisa nikah sama aku. Pergi gitu aja ... after stabbing me in the heart with the knife in her hand."
***
Dewa mengenal Debby sebagai sosok wanita ambisius dan tahu apa yang dia inginkan. Berada dalam circle yang sama membuat mereka jadi sering bertemu. Dari obrolan singkat berubah menjadi obrolan panjang. Dari sentuhan ringan berubah menjadi sentuhan panas. Mereka memiliki banyak kesamaan, tetapi juga memiliki banyak perbedaan. Meskipun begitu, kecocokan di antara mereka terasa begitu nyata hingga hubungan mereka terjalin sampai tiga tahun lamanya.
Debby wanita terlama yang menjalin hubungan dengan Dewa. Tiga tahun bersama menurut Dewa adalah waktu yang cukup untuk mengubah hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius. Dewa melamar Debby, dan Debby menerima lamarannya dengan air mata bahagia.
Semua berjalan sangat sempurna dan lancar. Memang ada pertengkaran kecil menjelang pernikahan. Tetapi itu hanya masalah-masalah remeh. Mereka jarang sekali bertengkar—kalau pun perselisihan pendapat terjadi, mereka hanya butuh diberi waktu sendiri sebelum akhirnya membicarakan lagi masalah yang terjadi.
Sebab itu, saat Debby tiba-tiba mendatanginya dan mengatakan tidak bisa menikah dengannya, Dewa memberi waktu untuk Debby sendiri. Mungkin saja Debby hanya terlalu gugup menjelang hari pernikahan. Sayangnya, wanita itu menghilang sampai hari pernikahan mereka. Meninggalkan kekacauan yang sampai hari ini masih disesali oleh Dewa.
Dewa tak pernah memberitahu keluarganya soal keengganan Debby yang tiba-tiba tidak ingin menikah dengannya. Dia bersikukuh tetap melanjutkan pernikahannya karena percaya Debby tidak mungkin meninggalkannya. Bahwa Debby akan datang. Hubungan mereka sudah terjalin selama tiga tahun. Mustahil Debby menyia-nyiakan tidak tahun yang mereka lalui bersama.
Namun Dewa salah, Debby mampu meninggalannya. Tiga tahun hubungan mereka bisa dibuang dengan mudah.
Akibat dari semua itu, mamanya mengalami serangan jantung dan jatuh ke dalam pelukannya. Dewa masih mengingat bagaimana tangannya gemetar dan dadanya bergemuruh oleh rasa takut dan sesak melihat sang ibu tak sadarkan diri di pangkuannya. Jika bukan karena Om Krisna—adik mama yang merupakan seorang dokkter—memberi pertolongan pertama sebelum mama akhirnya dibawa ke rumah sakit. Dewa pasti tidak akan duduk di hadapan Nina dengan sosok yang ia kenal sebagai pria ramah.
Ia pasti sudah berubah menjadi pria murung.
Nina menunduk dengan rasa sesak membungkus hatinya setelah mendengar cerita Dewa. Ia tak menyangka pria yang ia pikir memiliki hidup sempurna—ternyata pernah mengalami pengalaman yang traumatis.
"That's not your fault, Mas," Nina berbisik pelan.
Dewa tersenyum tipis. Menolehkan kepala untuk menatap Nina. "I know. Tapi andaikan aku lebih bijak. Mama nggak mungkin sampai serangan jantung—seharusnya aku ngasih tahu beliau lebih awal, bukan terus menunggu sesuatu yang nggak pasti. Menunggu orang yang jelas-jelas udah ninggalin aku. Andai aku bilang ke mama, mama pasti nggak sekaget saat dia tahu di hari pernikahanku, kan?"
Nina merasakan matanya memanas. Ia tahu sekali bagaimana rasanya menunggu sesuatu yang tidak pasti. Ditinggalkan oleh orang yang paling ia sayangi.
"But you know what, Nin," Dewa memajukan tubuhnya. Menatap Nina lekat-lekat. "Meskipun dia ninggalin aku, dia nggak akan bisa bikin aku hancur. Dia nggak akan bisa bikin aku kehilangan harapan."
Mata Nina mengerjap ketika Dewa mengenggam tangannya, Meskipun begitu, ia tak menepisnya. Nina membiarkan tangan hangat dan besar itu mengenggamnya—karena entah bagaimana, tangan itu seperti menawarkan perlindungan yang membuatnya merasa begitu aman.
"Kanina," Dewa memanggilnya lembut. Menggetarkan sesuatu dalam hatinya yang sudah lama hampa. "Don't lose hope for someone who doesn't deserve you."
Nina menggigit bibir. Jantungnya berdegup amat kencang. Tatapan Dewa yang amat sangat lembut dan manis seketika menyentakkan Nina pada sesuatu yang tidak ingin ia akui. Selama bertahun-tahun, Nina mengubur perasaan semacam itu. Membentengi dirinya dari segala hal yang berpotensi membuatnya mengalami kepedihan.
Tetapi siapa yang berusaha ia bodohi? Perasaan itu jelas belum padam. Dia hanya butuh seseorang untuk menyalakannya kembali.
Pemikiran seseorang berhasil melakukannya membuat Nina takut. Sangat amat takut sampai ia dengan agresif menarik tangannya dari genggaman Dewa.
"Aku mau pulang, Mas," ucapnya seraya bangkit berdiri dan mengambil sling bag-nya cepat.
Ia harus pergi dan bersembunyi.
Menyalamatkan hatinya yang mungkin akan kembali hancur suatu saat nanti.
Bersambung.
14 | pull to one side
Suasana tegang yang mewarnai ruang meeting membuat tak ada yang berani mengeluarkan suara. Samudera—sang creative director—yang selalu diidolakan saat ini dalam mode bos galak. Meskipun begitu, tetap saja—ketampanannya sama sekali tak pudar. Malah dengan rahang mengeras, kening mengerut, dan tatapan mata tajam, pria itu tampak masih sangat menarik dan memesona.
"Buset, marah aja Mas Sam kelihatan seksi banget," Nalendra berbisik di samping telinga Nina. "Lo nyesel nggak sih, Teh, putus dari doi?"
Nina melirik Nalendra sengit. Bibirnya merapat menahan makian. Meskipun begitu, pelototannya berhasil membikin Nalendra menarik tubuhnya sambil tersenyum meminta perdamaian.
"Gue ngasih kelonggaran nggak berarti kalian jadi bisa males-malesan." Samudera berkata dengan dingin. Membuat semua orang semakin membeku. "Kalau males, nggak usah kerja, tidur aja di rumah. Tempat ini bukan buat orang males."
Ketegangan semakin mewarnai ekspresi orang-orang yang menjadi sasaran evaluasi rutin di weekly meeting kali ini. Ketika Nina berkata bekerja di agency itu keras, sungguh, dia tidak berbohong. Bukan hanya waktu yang dirampas, tetapi juga pikiran. Sebagai karyawan biasa, dia mengerti posisi tim Giyas yang saat ini tengah memegang campaign besar, tetapi dalam satu waktu, mereka juga hakus menghandle brand lain. Jujur saja, itu bukan hal yang mudah.
Sementara jika dilihat dari kacamata Samudera, dia sudah memberi kelonggaran waktu. Tetapi hal itu sama sekali tak dimanfaatkan cukup baik.
"Udah gue bilang datanya harus up-to-date." Samudera berkata lagi sambil memijat keningnya. "Data itu benchmark valid sebelum kalian ngambil keputusan." Pria itu akhirnya mendesah. "Gue mau datanya dikirim ke gue jam satu." Katanya final tidak ingin dibantah.
Weekly meeting pun berakhir setelah dua jam mereka berada di ruangan dingin tersebut. Samudera meninggalkan ruang rapat dengan ekspresi keruh di wajahnya.
Nalendra menghela napas lega sambil merentangkan tangan ke atas. Melemaskan otot-ototnya yang kaku—lantas melirik ke samping, pada Nina yang sedang mengobrol dengan Pedro. Pria itu lantas mendekatkan telinganya untuk mencuri dengar.
"Kamu ikut aku ya, Nin, ketemu klien," ajak Pedro. "Nanti kita lunch di luar aja sekalian."
"Okay," Nina mengangguk.
"Kamu mau makan dimana?" tanya Pedro.
Nina berpikir sebentar lalu menjawab. "Aku bebas aja sih, Mas."
"Mmm ... yaudah, liat nanti aja berarti, ya."
"Kok gue nggak diajak?" Nalendra menyerobot menyerukan protes. "Kenapa nggak gue aja sih, Mas? Kenapa Teh Nina?"
Pedro menatap Nalendra penuh arti. Memberi kode agar pria itu tidak usah protes. Memahami kode tersebut, Nalendra mengangkat alisnya. Alhasil mereka berdua saling melempar kode dengan Nina yang duduk di tengah mereka. Nina menatap kedua pria itu bergantian dengan salah satu alis yang meninggi bingung.
Sumpah, Terkadang Nina merasa diasingkan kalau mereka sudah main kode-kodean seperti ini.
"Fine. Gue nggak ikut!" Nalendra akhirnya menukas sambil tersenyum lebar. Menutup iPad-nya lalu cengar-cengir sambil bangkit berdiri. "Have fun ya, Ayah Bunda," ucap Nalendra iseng lalu keluar dari ruang meeting. Meninggalkan Nina dan Pedro yang masih duduk di sana.
Nina menoleh, menatap Pedro bertanya. "Kalian kode-kodean apa, sih?"
Telinga Pedro memerah. "Nggak kode-kodean, kok." Bantahnya kemudian bangkit berdiri. "Yuk, Nin. Siap-siap sekarang."
***
Dorongan pertama yang dilakukan Nina begitu melihat Dewa keluar dari TheWall adalah memutar badannya. Mencegah dirinya tampak oleh penglihatan pria itu.
Pedro yang bersama Nina sontak menautkan alis kebingungan. "Mau kemana, Nin?"
Nina mengerjap. Melirik ke belakang kemudian buru-buru menarik tangan Pedro untuk mengajak pria itu menyembunyikan diri bersamanya di balik pilar. "Mas Ped, kamu duluan aja, ya. Aku mau ke toilet bentar."
Pedro mengejrap. "Oh, okay." Meskipun ia bingung kenapa mereka harus bersembunyi jika Nina ingin ke toilet. "Aku tunggu di sini aja, ya."
Nina mengiakan. Tersenyum canggung pada Pedro lalu memutar tubuhnya dan berlari menuju toilet sambil menyembunyikan wajahnya dengan rambut.
Well, Nina memang sengaja menghindari Dewa, karena sejak kencan mereka malam itu—Nina menyadari, ia tidak bisa melanjutkan pendekatan mereka. Dewa terlalu berbahaya. Sebut ia pengecut, tetapi Nina lebih memilih melindungi hatinya ketimbang mencoba sesuatu yang berpotensi menyeretnya pada kekecewaan dan rasa sakit.
Dewa masih sering mengirimkan makanan untuknya. Terkadang di malam hari saat Nina sedang lembur. Atau di hari weekend di jam makan siang. Hanya saja, kali ini diantarkan ke alamat apartemennya, bukan kantor lagi. Dewa terlalu peka dan pengertian sampai Nina jadi serba salah dan tidak enak terus menolak.
Sungguh, Nina pikir Dewa akan menyerah karena Nina tidak lagi menanggapi chat-chat pria itu. Hanya sesekali saat dia meminta Dewa tak lagi mengirimkannya makanan. Atau hadiah-hadiah—yang entah bagaimana pria itu tahu, Nina sukai. Kemarin saja, Dewa memberinya buku terbaru Sally Rooney yang berjudul Intermezzo sewaktu pria itu sedang berada di Singapura.
Dewa
Aku keinget kamu waktu ke kinokuniya.
Terus noticed kamu belum punya intermezzo.
Gimana? Suka nggak?
Tentu saja Nina suka. Intermezzo sudah ada di wishlist-nya. Karena wishlist bukunya banyak sekali, Intermezzo harus mengantri meskipun Nina sudah penasaran. Diberi sesuatu yang ia inginkan jelas membuat Nina senang. Hanya saja, kenapa harus Dewa? Kenapa pria itu gigih sekali dan belum menyerah juga?
Nina membuang napas begitu masuk ke dalam kamar mandi. Menatap pantulan wajahnya yang tampak sedikit pucat karena Nina tak sempat makeup belakangan ini. Pekerjaannya cukup hectic. Terlebih ia sedang masa pitching guna meyakinkan klien. Yang mana, Nina juga menggunakan alasan tersebut untuk menghindar dari Dewa.
Sudah dua minggu lebih mereka tak bertemu. Dewa belakangan juga jarang ada di kantor. Pria itu sering ke Surabaya mengurus proyeknya di sana. Dan weekend kemarin ke Singapura karena ada urusan. Pria itu memang tak pernah absen memberinya kabar. Memberitahu aktivitasnya meskipun Nina tak pernah bertanya.
Melihat Dewa hari ini—setelah kencan mereka, membuat Nina resah. Pasalnya, Dewa semakin tampan saja. Oh, Nina memang menutup pintu hatinya. Tetapi dia tidak buta. Dewa mengenakan kemeja berwarna hitam yang dipadu celana bahan berwarna senada. Pria itu selalu tampak rapi dan wangi selayaknya eksekutif muda. Auranya yang matang dan profesional jelas membuat hampir semua wanita setidaknya mencuri lirik dua kali ke arahnya.
Nina berharap ia bisa memandang Dewa seperti pertama kali ia bertemu pria itu. Dimana dia tak mengetahui betapa perhatiannya Dewa, betapa pengertiannya dia, dan betapa menyenangkan pria itu sehingga Nina nyaman ketika bersamanya.
Nina mendesah. Menggelengkan kepalanya sambil menghidupkan keran air. Ia membasuh wajahnya. Menyegarkan otaknya akan bisa berpikir lurus dan realistis.
Dewa bukan laki-laki yang tepat untuknya.
***
Secara kedudukan di ekonomi maupun sosial, profesi arsitek berada di tingkat yang cukup tinggi. Profesi ini juga menjanjikan masa depan yang cerah dengan prospek kerja yang besar. Namun, bukan itu yang membuat Dewa memilih jurusan arsitektur—yeah, terlahir dari keluarga berada memang membuat Dewa tak pernah mengkhawatirkan soal uang. Bahkan sampai sekarang pun, alasannya bekerja bukan uang.
Jika memang begitu, Dewa pasti sudah resign dari kantornya dan bekerja di perusahaan ayahnya. Ia akan mendapat lebih banyak uang di sana dibanding bekerja di firma arsitek keluarga Peter.
Namun sejak dulu Dewa selalu ambisius jika sudah menyangkut passion-nya. Pertama kali Dewa menyadari ia menyukai bangunan adalah ketika ia liburan ke Itali. Bukan rahasia lagi jika negara tersebut dipenuhi oleh arsitektur menarik. Rasa penasarannya membuatnya belajar tentang banyak hal. Untungnya, Dewa memang sudah bisa menggambar sehingga ia tak kesulitan mengembangkan skill-nya tersebut.
Dewa ingin menjadi yang terbaik di bidangnya. Sebab itu, pengalaman sangat penting untuknya. Dan ia tak akan mendapatkan hal tersebut jika hanya fokus bekerja di perusahaan keluarga. Dewa ingin mencari banyak pengatahuan serta pengalaman di luar, alih-alih hanya menatap di satu tempat.
"Apa nggak makin kesenangan itu si Alex kamu berhasil menangin tender lagi," Ruddy Hirawan mendengus jengkel. Memandang putra satu-satunya yang malah tersenyum bangga.
"Hebat aku kan, Pa?"
"Hebatnya seharusnya digunain di perusahaan keluarga," Ruddy menukas. "Sampai kapan kamu mau kerja di perusahaan orang mulu?"
"Nggak apa-apa," Dewa membalas santai. "Kapan lagi mereka punya pegawai sehebat aku?"
Ruddy berdecak. Menggeleng-gelengkan kepalanya. Sudah tidak tahu lagi bagaimana cara membujuk Dewa agar segera bergabung dengan perusahaan keluarga yang pastinya akan diturunkan padanya suatu saat nanti. Lebih cepat lebih baik agar Dewa punya waktu untuk belajar lebih banyak. Namun, dia tahu betapa susah diaturnya Dewa. Jika sudah menginginkan sesuatu, dia pasti fokus dan mengusahakannya sampai dapat.
"Nanti kalau mau nikah dia juga berubah pikiran, Pa," Kinanti Ayu menimpali sambil meletakkan baki berisi teh tradisional di meja di ruang keluarga. Lalu membagikannya dengan telaten dan anggun "Baru sadar kalau membangun keluarga itu butuh biaya besar," lanjut sang ibu.
"Masalahnya nikahnya kapan, Ma?" Ruddy berkata masam. "Pacar aja nggak punya. Papa jadi bingung, lebih suka ngeliat kamu gonta-ganti pacar kayak dulu, atau sibuk kerja sampai nggak sempat nyari cewek kayak sekarang?"
Semasa muda Dewa cukup membuatnya pusing dengan segala masalah yang putranya buat. Memang bukan masalah berat yang menyangkut kriminalitas. Melainkan hal-hal konyol seperti seorang ada wanita menangis yang mendatangi rumah mereka karena diputusi oleh Dewa.
Dewa terbahak mendengar penuturan sang ayah.
"Lho, Mama kan udah pernah cerita Dewa lagi deketin cewek, Pa." Kinanti Ayu meraih cangkir teh lalu berpaling pada putranya. "Kanina kan namanya, Mas? Gimana udah jadian belum?"
Ditanya progres hubungannya membuat Dewa saling tingkah. Bukan karena dia malu. Masalahnya, progres-nya stuck karena Nina tiba-tiba kembali cuek padanya. Dewa juga tak mengerti apa yang salah dari kencan mereka malam itu. Menurut Dewa ia berhasil membangun suasana yang sempurna. Mereka juga mengobrol dengan menyenangkan. Dewa bahkan menceritakan pengalaman traumatisnya untuk mendorong Nina lebih terbuka padanya.
Biasanya, seseorang mau cerita jika lawan bicaranya punya pengalaman yang serupa, kan?
Apa karena itu? Nina tak nyaman dengan keterbukaan Dewa?
"Eh, ditanya kok malah nggelamun?" tegur Kinanti Ayu yang membuat Dewa mengerjap lalu menoleh.
"Emm ..." Dewa berdeham. Mengusap tengkuknya. "Progresnya stagnan, Ma. Kemarin udah first date. Tapi, yeah, belum ada kemajuan."
"Kok gitu?" Kinanti Ayu mengerutkan kening.
Dewa menghela napas lalu menggeleng. "Karena sama-sama sibuk kali, ya? Nina kan kerja di agency. Aku juga kemarin sering bolak-baik Jakarta-Surabaya."
"Ya, disempatkan juga buat Nina dong, Mas." Tukas Kinanti Ayu gemas. "Udah beberapa bulan nih masa belum pacaran juga?"
"Tumben banget, Wa." Sang ayah ikut berkomentar. "Biasanya juga seminggu langsung dapat kamu."
"Yang ini spesial, Pa." Dewa membalas sambil tersenyum kecil.
Rudi Hirawan tertawa. Menepuk-nepuk punggung putranya. "Bikin tambah menarik ya. Semakin menantang."
Kinanti Ayu memutar bola mata. "Modus dikit dong, Mas. Masa harus mama ajarin, sih?"
"Gimana mau ngajarin orang mantan mama cuma papa?" ledek Ruddy sehingga ia langsung dihadiahi pelototan oleh sang istri.
Dewa tergelak kecil. Ia selalu bersyukur memiliki keluarga harmonis dengan orang tua yang saling mencintai. Di saat, hal tesebut jarang sekali terjadi di lingkungannya. Banyak teman-temannya yang memiliki orang tua dengan pernikahan dingin. Dimana pernikahan itu hanya berdasar kesepakatan bisnis. Hal tersebut akhirnya diturunkan kepada anak-anaknya. Di usianya sekarang, teman-teman Dewa sudah banyak yang menikah. Tetapi sedikit sekali yang menikah karena cinta.
"Mama sabar aja, ya." Kata Dewa menenangkan sang ibu. "Aku emang nggak mau buru-buru biar Nina-nya nggak risih. Tapi aku belum nyerah, kok. Nggak bakal nyerah sebelum Nina nerima aku."
Dewa adalah pria ambisius. Ia tak pernah menyerah untuk hal apapun yang ia lakukan. Termasuk dalam percintaan. Ditambah lagi, ini bukan soal soal ego semata—dimana Dewa ingin membuktikan dirinya—tetapi juga rasa peduli, keinginan untuk melindungi, dan kasih sayang yang Dewa rasakan di malam mereka berkencan.
Saat mengantar Nina kembali ke apartemennya malam itu. Dewa dengan jelas melihat kerapuhan gadis itu sampai ia ingin bersikap implusif memeluk Nina. Mengatakan semua akan baik-baik saja dan ia tak akan pernah meninggalkannya. Tetapi Dewa tahu, ucapannya hanya akan terdengar seperti rayuan atau omong kosong.
Padahal saat kata-kata tersebut muncul di benaknya—Dewa pun terkejut. Ia tak menyangka perasaan pada Nina ternyata sedalam itu.
Dewa keluar dari kamar mandi dengan selembar handuk yang melilit pinggangnya. Malam ini ia memang menginap di rumah orang tuanya karena besok—pagi-pagi sekali, ia akan bermain golf dengan ayahnya.
Sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil yang melingkar di lehernya, Dewa duduk di tepi tempat tidur lalu meraih ponselnya yang sedang dicas di atas meja nakas.
Ia mengusap layar membuka kunci, menekan aplikasi whatsapp guna mengecek pesan yang masuk. Hanya membalas yang penting-penting, sebelum akhirnya ia membuka room chat-nya dengan Nina yang dua minggu ini sangat hambar.
Nina memang tidak selalu fast response. Chat Dewa biasanya baru dibales satu jam, atau terkadang tiga kemudian. Tetapi belakangan ini, chat-nya bisa dibalas dua hari kemudian. Bahkan pernah tak dibalas sama sekali. Jujur saja, Dewa tak pernah mendapat penolakkan seperti ini. Apalagi setelah berkencan dengannya. Biasanya wanita yang sudah berkencan denganya akan langsung berubah sikapnya dan menyambut pendekatannya lebih terbuka.
Dewa mendesah kecil. Menghempaskann badan ke tempat tidur masih sambil menatap room chat-nya dengan Nina ragu-ragu. Setelah lama berpikir, Dewa akhirnya mengetikkan pesan.
Dewa
Nina
There?
Boleh nelpon nggak?
Centang dua. Tapi belum dibaca.
Dewa mengangkat tubuhnya untuk mengganti pakaian. Setelah itu, dia kembali memeriksa ponselnya dan mendapati Nina belum juga membalas. Dewa menunggu, terus menunggu, sampai akhirnya kantuk menyerangnya dan ia pun jatuh tertidur.
Nina baru membalas chat-nya keesokan paginya.
Nina
Sorry, mas
Semalam aku ketiduran.
Bersambung.
15 | somewhere between
"Kusut banget muka lo." Komentar Risyad sambil bersandar di kusen pintu ruangan Dewa.
Sebab dinding yang berjenis kaca, Risyad tak mampu menahan diri berhenti sejenak untuk menggoda Dewa yang tampak galau di balik meja kerjanya ketika ia melewati ruangan pria itu.
Dewa mendesah sambil menyugar rambut ke belakang. "Nggak kayak lo yang berseri-seri," balas Dewa masam. "Hubungan lo sama Sisy pasti lancar, ya."
Senyum Risyad memudar. Pria itu mengambil langkah mendekat ke meja Dewa yang penuh dengan desain belum sempurna serta Macbook menyela. "Actually, gue sama Sisy lagi break. Lo tahu, kami harus mikirin lagi mau dibawa kemana hubungan kami mengingat gue sama dia beda." Ucap Risyad muram, lalu melanjutkan ke topik utama. "So, gimana lo sama Nina? Lo sama dia cocok banget lho. Plus, nggak ada halangan buat kalian bareng. Kenapa nggak dicoba dulu?"
"Walaupun kami sama. Belum tentu Nina mau sama gue."
Kening Risyad mengurut bersamaan dengan sebuah tawa meluncur dari mulutnya. "What was that?Kok lo jadi nggak percaya diri gini? Seorang Sadewa, lho. Emang ada yang nolak lo?"
Ada. Buktinya Nina sekarang benar-benar menjauh darinya, renung Dewa.
Dewa belum menyerah. Ia masih akan terus mendekati Nina dengan memberi perhatian yang jelas. Hanya saja, harus ia akui, sikap Nina yang menghindarinya membuatnya agak galau. Ditambah perasaan rindu pada gadis itu menyebabkan Dewa uring-uringan belakangan ini.
Ia ingin bertemu Nina. Bahkan melihat gadis itu dari jauh seperti sebelumnya sudah cukup. Tapi kesibukannya yang mengurus proyek di Surabaya membuat Dewa jarang sekali ada di kantor. Jika pun ia di kantor, kecil kemungkinan ia bisa bertemu Nina. Gadis itu juga sibuk sekali.
"Shit! Jadi lo udah ditolak Nina?!" seru Risyad mengambil kesimpulan karena keterdiaman Dewa.
Dewa berdecak. "Nggak! Gue nggak ditolak!" bantah Dewa.
"Terus?"
Dewa menghela napas. "Nina mungkin masih ragu sama gue. Gimana pun, kami belum lama saling kenal."
"Fair enough," Risyad mengangguk menyetujui. "Apalagi lo anak Ruddy Hirawan."
Salah satu alis menungkik. "Emang kenapa kalau gue anak Ruddy Hirawan?"
"You know what I mean, man." Risyad menatap Dewa penuh arti. "Setahu gue, Nina anaknya realistis banget. Bisa aja dia nggak mau sama lo karena keluarga lo."
"Bokap nyokap gue bukan tipe orang yang kayak gitu," ucap Dewa bersungguh-sungguh. Orang tuanya menikah karena cinta. Memang banyak yang tidak begitu dikalangannya—namun orang tuanya tidak akan memaksa Dewa bersama orang yang tidak ia cintai. "Nina nggak perlu khawatir soal keluarga gue. Lagian, she's perfect. Gue nggak yakin ada orang tua yang nggak mau Nina jadi menantunya."
"Buset. Udah menantu aja," ledek Risyad. "Kayaknya kalau Nina nerima lo, nggak butuh waktu lama buat gue dapet undangan pernikahan kalian."
Dewa tertawa kecil. "I hope that too,"
Risyad tercengang selama beberapa saat sebelum tawanya berkumandang keras. Ia tak menyangka jika Dewa ternyata seserius itu pada Nina. Risyad sudah lama menyadari Dewa diam-diam suka melirik Nina setiap kali mereka mampir ke TheWall untuk membeli kopi—hanya saja, dia pikir itu hanya ketertarikan gemas semata. Bagaimanapun, Nina memang menarik dan cantik. Mustahil untuk tidak menengok ke arahnya saat berada di ruangan yang sama dengan gadis itu.
"Yaudah, good luck ya, Wa." Risyad menepuk bahu Dewa. "Tapi saran gue jangan pedekate terlalu lama. Apalagi Nina banyak yang naksir. Lo nggak mau disalip, kan?" imbuh Risyad sambil menyeringai.
Dewa mendengus. Jika ia saja sesulit ini untuk mendekati Nina, apalagi pria lain. Bukannya Dewa mau sombong. Tapi ia yakin dia sudah sangat effort, dan menunjukkan intensinya dengan jelas. Tidak mungkin ada pria lain yang lebih effort darinya. Nina juga tidak mungkin sedang dekat pria lain selain dirinya.
Kepercayaan diri itu lah yang membuat Dewa sedikit tenang meskipun proses pendekatan mereka stagnan. Sampai akhirnya di suatu sore, ia melihat Nina sedang duduk di TheWall bersama seorang pria—oh, Dewa tahu pria itu rekan kerja Nina karena bukan sekali dua kali Dewa melihat mereka diskusi di TheWall. Biasanya sih selalu bertiga. Tetapi tumben sekali sekarang hanya berdua.
Tiba-tiba Dewa merasa gelisah. Terlebih pria itu menatap Nina sama seperti cara Dewa menatap Nina.
Nina tengah menunduk—melakukan sesuatu dengan iPad-nya. Sehingga tak menyadari jika pria itu memandangnya dengan tatapan memuja. Ketika Nina menengadahkan kepala, pria itu akan berpura-pura sibuk dengan laptopnya. Lalu memandangi Nina diam-diam lagi ketika mendapatkan kesempatan.
Nina pun tampak nyaman dengan pria itu. Dia tak ragu ketika berpindah tempat duduk untuk melihat sesuatu di laptop pria itu. Sama sekali tidak risih ketika bahu mereka menempel. Padahal setiap kali berada dalam jarak yang sangat dekat dengannya, Nina pasti langsung memelototi Dewa galak.
Dewa tak mampu menghindari seberkas rasa cemburu di dalam hatinya. Ia tahu dirinya tidak berhak merasa seperti itu karena Nina belum menjadi kekasihnya. Tetapi sulit mengingkari yang ia rasakan. Dewa tahu dia cemburu. Dan ia agak frustasi karena tidak bisa melakukan apapun atas perasaannya tersebut.
Dewa menghela napas pendek. Kemudian menarik kakinya mundur dan keluar dari coffee shoptersebut.
***
Sebetulnya Dewa berniat pergi gym. Tetapi ia akhirnya mengubahnya menjadi bermain futsal begitu melihat Samudera mengabari ia akan main malam ini di grup whatsapp. Bekerja di gedung sama memang membuat mereka saling mengenal. Meskipun tidak sangat dekat, Dewa yakin Samudera akan membantunya mendekati Nina.
Dewa sengaja duduk di sebelah Samudera begitu mereka selesai bermain. Mereka mengobrol ringan yang diselingi dengan ledekkan dan canda. Sampai akhirnya Dewa mentuangkan pengakuan yang membuat Samudera tersedak minumannya sendiri.
"I have a crush on Nina."
"Lo naksir Nina?!" Samudera membelalak terkejut lalu mendengus ringan sambil menggeleng-gelengkan kepala tak percaya. Tetapi melihat Dewa yang malah mengangguk sambil tersenyum-senyum, Samudera tahu pria itu tak bercanda. "Dude, are you serious?"
Dewa tertawa sambil menyugar rambutnya yang basah ke belakang. Agak geli melihat ekspresi terkejut di wajah Samudera. Apa sesulit itu percaya ia naksir Nina? Malah Dewa heran kalau ada pria single yang tidak naksir Nina.
Memang tampang gue sekarang kayak nggak serius, ya?"
"Lo cengar-cengir gini gimana gue tahu lo serius atau nggak?" Samudera meringis.
"I'm serious," Dewa mengatakan dengan nada tegas. "Gue nggak mungkin confess perasaan gue soal Nina ke elo kalau nggak serius. Man, I need your help."
Dewa sepertinya sudah mulai hopeless karena bukan gayanya meminta bantuan orang lain dalam mendekati wanita. Namun dia tidak tahu lagi harus melakukan apa. Nina jelas sekali menghindar darinya. Ia pun tidak mungkin meminta bantuan Sisy mengingat hubungannya dengan Risyad juga sedang tidak baik-baik saja. Mengingat Samudera satu kantor dengan Nina, dan mereka tampak dekat. Sepertinya Samudera adalah jawabannya.
"My help?"
"Kalian satu kantor. Lo atasan Nina. Dan kalian kayaknya lumayan deket. So, gue rasa lo bisa bantuin gue."
"Buat?'
"Informan?" Dewa teringat teman kantor Nina yang jelas juga naksir Nina. Bayangan betapa nyamannya Nina dengan pria itu membuat Dewa gusar. "I don't know, man. Actually gue agak clueless. Nina benar-benar hard to get. Dia sama sekali nggak nanggepin pendekatan yang gue lakuin ke dia."
Dewa berusaha sabar ketika Samudera malah mentertawakannya.
"Ya, ya, ya, ketawa aja semau lo, Sam. Asalkan lo beneran bantuin gue nanti."
"Sorry, bro," Samudera berusaha menghentikan tawanya. "Just–I never thought I'd see the day when you have difficulty approaching girl."
"Cause she's special," ucap Dewa tulus.
"She is," Samudera tersenyum tak kalah tulusnya.
Mengundang rasa curiga Dewa yang membuat pria itu waspada.
"Easy bro, I'm taken." Dengus Samudera geli.
Dewa tak menyembunyikan kelegaannya. Ia sudah mendengar soal desas-desus Samudera memiliki kekasih. Tetapi karena tidak ada konfirmasi, dan di media sosial pun Samudera tak pernah memposting pacarnya, Dewa tak mau berasumsi. Samudera berkata dia memang sengaja untuk keep private hubungannya demi kenyamanan. Dewa hanya manggut-manggut. Ikut senang dengan kebahagiaan Samudera.
"Gue nggak keberatan bantuin lo," ucap Samudera. "Tapi sebelum itu, ada satu hal yang harus lo tahu soal gue dan Nina."
Dewa mengerjap, kemudian memberi gestur siap mendengarkan. "Go on,"
"She's my ex. Nina. Kami pernah pacaran." Beritahu Samudera.
Dewa terdiam. Ini jelas sesuatu yang tidak pernah Dewa bayangkan akan ia dengar dari Samudera. Nina mantan pacar Samudera? Bagaimana mungkin? mereka tidak tampak seperti mantan kekasih di mata Dewa.
"O ... kay," Dewa mengangguk pelan. Meskipun beberapa skenario mulai bermunculan di dalam kepalanya. "It ... was quite surprising."
Pasti bukan Samudera yang membuat Nina kehilangan harapan, kan? Sepanjang Dewa mengenal Samudera—pria itu terlalu lurus untuk bisa mematahkan hati wanita.
"Well, udah lama sih. Gue pacaran sama Nina waktu kami kuliah. So, udah 9 tahun sejak kami putus. Sekarang gue sama Nina genuinely teman."
Saking genuinely mereka memang tampak seperti teman. Bukan mantan pacar.
"If you don't mind," Dewa masih penasaran. Ia harus memastikan bukan Samudera yang meninggalkan trauma pada Nina. "Alasan kalian putus apa?"
Samudera terkekeh santai. "Beda keyakinan? Sebenarnya itu salah satunya. Cuma situasi saat itu agak ... sulit." Situasi? Situasi apa? "Nina ngerasa kalau kami terus ngelanjutin hubungan kami, ujungnya nggak akan baik."
Perbedaan keyakinan memang tembok yang besar. Tetapi ia bepikir keras tentang situasi yang Samudera maksud. Apa saat itu terjadi sesuatu pada Nina?
"Well, yang pasti gue dan Nina nggak lagi punya perasaan romantis untuk satu sama lain. Setelah putus, kami masih berhubungan baik. Tapi karena udah sibuk sama kehidupan masing-masing, kami sempet lost cantact sampai akhirnya ketemu lagi di Sembagi."
"Gue yakin nggak ada apapun lagi di antara kalian karena gue aja nggak curiga kalian mantanan," ucap Dewa terus terang. "Kalian kelihatan deket, tapi, ya, kedekatannya kayak teman aja."
"I care about Nina. She's a good girl." Ucap Samudera tulus dan serius. "Mungkin dia kelihatan galak dan judes, tapi hati dia baik banget. Gue bisa ngeliat ketulusan lo sama Nina, tapi kalau lo nggak begitu serius sama Nina. Mending lo jangan kasih di harapan. I can't tell you the details. But, Nina udah ngelewatin banyak hal."
"I'm serious about her." Mereka memang baru beberapa bulan saling mengenal. Tetapi Dewa tak pernah merasakan ketertarikan sebesar ini pada wanita mana pun. "So, help."
Samudera tersenyum. "Well, how can I help you?"
Dewa berdeham. Mengusap tengkuknya. "Di kantor, Nina ada deket sama cowok nggak?—atau ada deketin dia sama kayak gue?"
Samudera terkekeh. "Gue tahu siapa yang lo yang maksud. Well, kayaknya semua orang—kecuali Nina—tahu kalau Pedro naksir dia. Dan gue yakin lo nanya itu karena udah ngeliat mereka bareng."
Dewa mengangguk gusar. "Nina kayaknya nayaman sama dia."
"Of course. Mereka rekan kerja dan sering satu project. Tapi gue rasa Nina nganggap Pedro cuma sebatas itu."
"Serius?" Dewa mengerjap penuh harap.
Samudera mengangkat bahunya. "Itu cuma dugaan gue. Nggak ada yang tahu apa yang Nina rasain selain dia sendiri, right?" Lalu Samudera menambahkan dengan nada menggoda. "Besides, gue sama Nina dulu juga berawal dari temen sampai akhirnya jadian."
Dewa berdecak. "Lo ada di pihak gue nggak, sih?"
Samudera tertawa. "Gue di pihak Nina. Gue mendukung siapapun yang dia pilih. Pedro baik, kok. Setahu gue dia nggak pernah aneh-aneh."
Dewa ingin mengatakan dia juga baik. Tapi tidak ada orang baik yang mengakui dirinya sendiri baik. Selain itu, Dewa sadar hidupnya tidak lurus-lurus saja seperti Samudera.
Sepertinya Dewa harus segera bergerak, karena ia jelas memiliki saingan.
***
Kian
Ya udah
Kamu istirahat ya, kak
Aku mau meriksa analisis dulu
Nina membalasnya dengan 'iya', lalu menjatuhkan ponselnya di tempat tidur. Diikuti dengan tubuhnya yang juga berbaring di sana. Mata Nina terpejam. Mengistirahatkan diri sejenak setelah seharian ini pitching dengan klien. Nina merasa energi terkuras habis. Ia bahkan malas bergerak untuk membersihkan makeup dan mandi.
Betapa sulitnya mencari uang.
Di saat seperti ini Nina sungguh iri dengan para influencer yang mampu meraup uang ratusan juta hanya dengan satu kali posting. Well—meskipun Nina tahun jalan mereka menuju ke sana tidak mudah. Tetapi tetap saja, siapa yang tidak iri bisa dibayar tiga digit untuk sebuah postingan?
Nina menghela napas. Mengusir rasa iri tersebut dalam hati dan pikirannya. Toh, ia menyukai pekerjaanya. Nina juga tidak akan mampu menghadapi tekanan jadi public figure yang setiap pergerakkanya diawasi netizen. Nina lebih suka bekerja di balik layar karena atensi tidak membuatnya nyaman.
Nina sudah akan beranjak dari tempat tidur ketika ponselnya kembali berdeting. Sebuah pesan dari pria yang ia hindari—tetapi juga terus ia pikirkan muncul di layar.
Mas Dewa
Hi ...
Sibuk nggak?
Perasaan Nina tiba-tiba campur aduk membaca chat Dewa. Ia merasa bersalah pada pria itu. Hanya saja, Nina benar-benar takut hatinya akan lemah jika terus membiarkan Dewa memasuki kehidupannya.
Mas Dewa
Aku boleh nelpon?
Nina menggigit bibirnya gamang. Saking terlalu banyak berpikir, Nina tidak sadar membuka chattersebut hingga akhirnya terbaca. Tak lama, ponselnya berdering. Nina tersentak kaget. Membuat kecerobohan lain dengan tak sengaja menekan tombol jawab. Nina jelas panik. Apalagi sayup-sayup dia mendengar suara Dewa memanggilnya.
Nina meringis pelan. Sungguh, ia memang suka bersikap konyol saat sedang bingung.
"Halo? Nina? Are you there?" Suara Dewa terdengar agak panik ketika Nina menempelkan ponsel di samping telinganya.
"... Mas Dewa?"
"Hi," Dewa membuang napas lega. "Aku pikir kamu kenapa-napa. Kok tadi nggak ada suara, ya?"
"Mmm ... sinyalnya jelek mungkin."
"Iya kali, ya," Dewa mempercayainya begitu saja. "Kamu lagi di mana?"
"Apart." Nina menjawab. "Baru nyampe."
"Oh, sorry, aku ganggu, ya?"
Seharusnya Nina mengambil kesempatan itu untuk menghindari Dewa dengan mengatakan ia sibuk—tetapi mendengar suara Dewa membuat Nina galau. Ia tak menyangka suara pria itu mampu menggetarkan hatinya seperti ini.
"No—I mean, it's okay." Nina membasahi bibirnya. "Kenapa, Mas?"
"Cuma mau dengar suara kamu."
Nina mencoba tetap tenang. "Kamu masih di Surabaya?"
Sudah dua hari ini Dewa tak mengabarinya. Hal itu cukup membuat Nina merasa aneh dan ... kehilangan.
"Baru balik kemarin malam." Dewa menjeda sebelum menyambung. "Maaf ya, nggak ada ngabarin kamu. Kemarin aku capek banget. Terus pagi-pagi harus ke kantor buat meeting."
"Nggak apa-apa. Kamu kan juga nggak ada kewajiban buat ngabarin aku."
"Masa? Memang kamu nggak nyariin?"
Nada menggoda di suara Dewa membuat Nina tak mampu menahan senyum di wajahnya. "Pede banget."
Suara tawa Dewa yang renyah membuat hati Nina menghangat. "Aku nyariin kamu lho di kantor. Terus sempat ngeliat kamu, tapi nggak jadi aku samperin."
"Kenapa?" Nina meringis ketika pertanyaan itu meluncur kelewat cepat.
"Kamu lagi sama cowok," kata Dewa agak merajuk. Dewa terdengar bercanda dan serius secara bersamaan. "—kamu kayaknya lagi bahas yang penting sama rekan kerja kamu. Nggak enak kalau aku intrupsi."
"Oh, waktu ngeliat aku sama Mas Ped, ya? Iya, Mas Ped satu tim sama aku."
"I see," Dewa menanggapi dengan nada yang sulit ditebak. "Nina?" panggilnya setelah lama diam.
"Iya?"
"Gimana mini proyek di balkon? Udah beres?"
Nina mengerjap. Tak menyangka Dewa masih ingat soal kebunnya. "Udah. Sesuai masukkan dari kamu, aku tambahin rak gantung sama single sofa biar aku baca di sana."
"Good girl," sahut Dewa puas. "Mau lihat dong!"
"Huh? Sekarang?"
"Iya!" balas Dewa semangat. "Aku ganti video call, ya!"
Nina bangkit berdiri dengan panik ketika Dewa benar-benar merubah panggilannya menjadi video call. Nina refleks membenarkan rambutnya yang kusut. Lalu berlari ke standing mirror memeriksa wajahnya tampak pucat dan lelah.
Sial! Kenapa dia jadi peduli penampilan gini hanya karena mau video call dengan Dewa, sih?
Nina mengangkat panggilan Dewa. Buru-buru merubah kamera menjadi kamera belakang agar pria itu tak sempat melihat wajahnya. "Sebenarnya masih mau tambah-tambah bungannya, Mas," ucap Nina sambil keluar dari kamarnya kemudian melanjutkan langkah ke balkon. Nina menghidupkan lampu, kemudian menggeser pintu sambil mengarahkan kemeranya ke balkonnya yang sudah ia sulap jadi kebun kecil.
"So pretty," Nina melihat Dewa tersenyum di kamera. Pria itu tampaknya baru selesai mandi. Wajahnya begitu segar dan tampan. "You doing great, Kanina. Ini kamu kayak bakat deh jadi desain interior."
"Nggak usah berlebihan deh, Mas." Nina berpindah duduk di sofa. "Lagian ini modal liat pinterestdoang, kok."
"Still, modal liat pinterest belum tentu praktiknya bakal sebagus kamu."
"Makasih pujiannya. Aku tersanjung dipuji aristek."
Dewa tertawa.
"Nina,"
"Hm?"
"Kok aku cuma dikasih liat kaki kamu," kata Dewa, lalu tersenyum tengil. "Wajah cantiknya mana?"
"Apa sih, Mas!"
Nina menahan diri agar tak tersipu.
Dewa tertawa.
Menyenangkan rasanya melihat pria itu tanpa Dewa tahu ia sedang memandangnya.
"Come on. Udah berminggu-minggu lho. I missed you."
"Mukaku kucel," Nina beralasan. "Baru banget balik dari kantor. Belum bersihin make up."
"Kucel juga tetap cantik."
"Basiiii."
"Serius," Dewa berkata. "Come on, I want to see you. Jangan sampai aku nekat ke apartemen kamu, ya."
Nina mendengus. "Nggak usah lebay." Dengan terpaksa, akhirnya Nina merubah kameranya menjadi kamera depan. Ia mencoba untuk tak menatap Dewa langsung. Tetapi senyum lebar yang tersungging di bibir pria itu membuat Nina akhirnya mengarahkan wajahnya ke ponsel.
"Mana ada kucel? Cantik kok," ucap Dewa sambil tersenyum-senyum. "Ini kalau aku disuruh mandangi kamu seharian juga betah."
"Gombaaaal banget sih, Mas?" protes Nina padahal dia sedang mencegah dirinya tidak terlihat salah tingkah di depan Dewa.
Meskipun tetap saja, Nina terlihat sangat salting karena pipinya terasa panas sekarang.
Oh, sial, keyakinannya menjauhi Dewa tampaknya mulai goyah.
Bersambung.
16 | down for you
Setelah berbulan-bulan sibuk dengan kegiatan koas yang super hetic—yeah, mengingat Kian berada di stase major, Nina sama sekali tak heran—Kian akhirnya berkunjung juga ke apartemen baru Nina dengan membawa snack yang ia beli Superindo di weekend ini.
"Ini worth it banget sih, Kak," komentar Kian sembari melakukan room tour singkat.
Pelan-pelan, Nina mulai menata apartemennya agar lebih nyaman untuk
ditempati. Mencari ide pinterest, ia memilih desain cozy warm white mengingat ia suka menghabiskan waktu di rumah. Nina juga menambah furniture-furniture kayu guna menonjolkan kesan cozy-nya.
Beberapa tanaman hijau pun ia letakkan di dekat jendela. Memadukan warna-warna netral agar ruangannya tampak lebih luas.
"Keamanannya juga ketat. Tadi aku sempat ngobrol-ngobrol sama Pak Eko," imbuh Kian. Dan Pak Eko adalah satpam gedung apartemennya. "Dia bilang nggak bakal naikin tamu sebelum ada konfirmasi dari penghuni."
Nina mengangguk menyetujui. Ia juga merasa sangat beruntung karena dapat menyewa apartemen sebagus ini dengan harga miring. "Makanya kamu nggak perlu ngomel lagi kalau aku lembur dan pulang malam."
Sebab belakangan Nina dikejar deadline—ia menjadi lebih sering lembur di kantor. Kadang ia baru pulang jam sepuluh malam, pernah jam sebelas sampai Kian mengomel panjang. Andai Nina tidak bilang ia diantar pulang oleh teman kantornya, Kian pasti sudah menjemputnya tidak peduli ia ada jadwal jaga.
Kian menoleh. Tak merubah ekspresi datarnya. "Tempat tinggal kamu emang aman. Tapi di jalan nggak aman. Jangan pulang malam sendirian, apalagi kamu cewek. Sekarang naik ojol pun belum tentu aman."
Kemarin sempat ada kasus perempuan yang hampir diculik oleh ojol dan ramai di X. Nina tidak terkejut Kian akan membawa kasus tersebut untuk membuat Nina tak berkutik atau pun mampu membantahnya.
Kian selalu punya argumen yang kuat sehingga sulit untuk menyanggahnya. Sebab itu, terkadang Nina merasa Kian yang lebih tua darinya.
"I'll be fine, Dek. Lagian jarak kantor ke apartemenku nggak jauh. Jalan yang dilewati juga ramai." Namun bukan Nina namanya kalau tidak punya balasan.
Kian menghela napas. "I'm worried, Kak. Aku—"
"Understood," Nina memotong. Tidak ingin berdebat panjang dengan sang adik karena mereka sudah lama tidak bertemu. "Kamu bawa apa, Dek?" tanya Nina mengalihkan pembicaraan. Mengayun kakinya ke kitchen island untuk menengok isi kantong plastik yang dibawa Kian. "Aw, kamu beliin aku yupi, ya? Thank you!"
Kian mendengus melihat ekspresi berseri-seri sang kakak.
"Tapi nggak boleh langsung dihabisin!" peringat Kian. "Terakhir diperiksa kadar gula kamu tinggi."
"Yes, Dok." Nina menyahut patuh. "Kamu kenapa sih kalau ketemu aku ngomel mulu?"
"Habisnya kamu punya alasan buat diomelin."
"Aku lebih tua, ya. Seharusnya kamu itu hormat sama aku!" tukas Nina sambil berkacak pinggang dan menyipitkan mata galak. Orang-orang kantor pasti sudah bergidik ngeri jika Nina dalam mode mau marah. Tetapi hal itu jelas tak berlaku untuk Kian—yang terlihat acuh tak acuh dan malah duduk dengan santai di sofa lalu menyalakan TV.
Nina mendengus. Kemudian menyusul beberapa menit setelahnya sambil membawa cemilan untuk mereka santap bersama.
Sewaktu mengetahui ibunya hamil dan ia akan memiliki seorang adik—Nina merasa begitu bahagia sampai ingin selalu tidur di sebelah ibunya agar bisa mengelus perut sang ibu—menenangkan adiknya jika mulai nakal di dalam perut ibunya.
Ingatan Nina samar-samar tenang hal itu. Tetapi ibu bilang, Nina sudah protektif pada Kian semenjak adiknya di dalam perut.
Sebab itu, meskipun ia kecewa mengetahui Kian masih berkomunikasi dengan pria itu—yang mana adalah ayah yang telah meninggalkan mereka demi perempuan lain. Nina memutuskan untuk tak membahasnya.
Meskipun ia tahu, alasannya bukan hanya karena dia begitu menyayangi Kian, tetapi Nina terlalu pengecut untuk menerima hal tersebut. Menyangkal terasa lebih mudah ketimbang menghadapi kenyataan.
"Ibu bilang kamu lagi deket sama seseorang," Kian berkata di tengah drama Korea yang mereka tonton. Tak menatap Nina, namun cukup menantikan jawaban sang kakak, yang dari sudut matanya menegang terkejut.
Oh, Kian bukannya tak menyadari keengganan kakaknya menjalin hubungan karena perbuatan ayah mereka. Mau disangkal pun—kejadian tersebut mempengaruhi pandangan Nina soal laki-laki dan pernikahan. Kian masih sangat muda ketika mimpi buruk untuk mendatangi mereka. Namun sedikit banyaknya ia mengerti.
Dan Kian tidak ingin Nina terus begini. Ia ingin sang kakak keluar dari rasa takut itu.
"Ibu salah paham," Nina membalas begitu berhasil mengendalikan diri. Meletakkan mangkuk berisi popcorn di atas meja. Bibirnya menyunggingkan senyum tak tulus ketika menoleh. "Cuma dibantuin sekali, ibu langsung nyimpulin deket. Dari dulu kan ibu gitu, ada temen cowok dibilang punya hubungan. Padahal cowok sama cewek kan bisa temenan aja."
Sebab Dewa membantunya pindahan—ibu berpikir pria itu memiliki perasaan spesial padanya. Oh, kecurigaan ibu memang akurat meskipun Nina agak terkejut ibu bisa menebaknya hanya karena Nina menceritakan kalau ia tidak hanya dibantu oleh Risyad, tetapi juga Dewa—teman kantor Risyad. Ibu menitipkan salam dan ucapan terima kasih pada mereka. Begitu Nina menyampaikannya, Sisy mengajak mereka foto bersama lalu mengirimkannya pada ibu.
Sejak saat itu, ibu sering menanyakan soal Dewa pada Nina—tidak peduli Nina sudah mengatakan tak ada apa-apa antaranya dengan Dewa.
Tetapi, well, naluri seorang ibu memang sangat kuat.
"Kamu nggak tertarik punya pacar, Kak?"
"Kamu nggak tertarik punya pacar, Dek?" Nina balas bertanya. Gerak-geriknya mulai defensif.
Kian menoleh. "Kok nanya balik?"
Nina pun berpaling, menatap adiknya jengkel. "Lagian kenapa nanyain pacar, sih? Aku nggak tertarik punya pacar."
"Kenapa?" Kian belum menyerah. "Kamu udah move on dari Mas Sam. Kenapa nggak mau punya pacar?"
"I don't need boyfriend," balas Nina ketus. Menatap sang adik tepat di mata dengan tajam. "Aku bisa bahagia tanpa cowok. Besides, kenapa kamu mendadak jadi kepo masalah asmaraku, sih?"
Sejenak, keheningan dingin menyelimuti mereka. Nina berusaha menghindari ketegangan ini. Ia ingin menghabiskan waktu dengan sang adik tanpa pertengkaran—meskipun hatinya bergemuruh setiap kali mengingat pesan yang pria itu kirimkan pada adiknya. Nina merasa dikhianati. Tetapi ia terlalu takut menghadapi kenyataan.
Sampai— "Kamu tahu aku masih komunikasi sama papa," Kian membahasnya.
Rahang Nina menegang. Perih akibat tusukkan tajam yang menancap di hatinya. Ia membuang wajah. Merasakan panas di matanya.
"I don't want talk about it," Nina berkata datar seraya bangkit berdiri.
Ia mendengar suara helaan napas Kian yang mengikuti gerakannya. "Kak—"
"Go home, Kian," Nina memotong ketika menghentikan langkahnya. Tetapi enggan memutar badan dan menatap sang adik. Jika ia melakukanya, hanya butuh satu kedipan untuk membuat air mata membasahi pipinya. "Kamu ada jaga malam, kan?"
"You can't keep going like this, Kak," Kian membuang napas panjang gusar. Menyugar rambut ke belakang. "Kamu nggak bisa menutup diri kamu terus kayak gini. It's not healthy. And you will hurt yourself."
"I'm not hurting myself." Nina memutar badannya emosional. Air matanya meluncur tanpa ia perlu berkedip. "I am protect myself."
"Dengan menutup diri?" suara Kian masih terdengar tenang. "Dengan menghindar? Dengan menolak setiap cowok yang coba deket sama kamu karena kamu takut mereka bakal kayak papa? Kak, kamu tahu nggak semua cowok kayak papa. Dan kamu sadar itu. Kebencian nggak—"
"Stop it," Nina menatap Kian nanar. Tangannya yang terkepal gemetaran. "You know nothing about my feeling."
"Aku memang nggak tahu semaunya, Kak. Tapi kamu kamu terluka. So, that's why you need help." Kian menatap Nina memohon. "Kak, please. I care about you."
Nina mendengus. "I don't need any help, Kian. I'm fine. I'm totally fine. He can't hurt me." Ucap Nina tegas dan tegar. "If I want a man, I'll get a man. Dia sama sekali nggak punya pengaruh apapun untuk aku. And I'll prove it to you."
Tanpa menunggu balasan sang adik, Nina membalikkan badan dan mengunci diri di dalam kamarnya sampai Kian akhirnya berpamitan pulang satu jam kemudian.
***
"Bokap bilang, kalau gue nggak berhasil di proyek Bali, gue nggak diizinin married tahun ini." Angga berkata dengan ekspresi keruh sembari melirik ayahnya—yang sedang mengobrol dengan ayah di Dewa di depan mereka. Melintasi jalan setapak di lapangan Senayan Golf Club.
Dewa tersenyum kecil. "Memang lo ada plans mau married tahun ini?"
"Emila mau married tahun ini," Angga membenarkan topinya karena cahaya matahari yang cukup terik menjelang siang ini. "Kalau nggak, dia mau putus aja. Dan lo tahu gue nggak mau putus sama dia."
Di antara mereka berempat—Angga emang paling bucin pada wanita. Setiap memiliki kekasih, ia rela melakukan apa saja untuk sang pacar. Bukan satu atau dua wanita yang pernah memanfaatkan Angga. Mengeruk uang Angga sebanyak-banyak sebelum meninggalkan pria itu untuk mengejar pria lain setelah Angga tak lagi berguna. Dewa senang Angga bersama Emila. Sebab dari semua wanita yang pernah menjalin hubungan dengan Angga, Emila tampaknya bukan wanita seperti itu. Dia mandiri, dan bahkan hampir tak pernah meminta apapun dari Angga. Sejak bersama Emila, Angga sedikit demi sedikit mulai meninggalkan kebiasaan buruknya.
"Then just work harder, dude," sahut Dewa sambil menepuk punggung Angga. "And let me know, kalau butuh sesuatu."
"Thanks, bro," Angga menyeringai ketika menoleh pada Dewa. "Anyway, giamana hubungan lo sama Kanina?"
Dewa menarik tangannya. Mencoba untuk tidak memperlihatkan ekspresi kalut karena itu hanya akan mengundang Angga untuk meledeknya. "Yeah, just like you. I need try harder."
"What do you mean? Kalian belum jadian juga?" Angga membelalakan mata tak percaya. Bagaimana mungkin? Sudah berbulan-bulan sejak Dewa mendekati Nina—rasanya sulit dipercaya mereka belum jadian juga. Ini Dewa lho. "Fix! Gue harus ketemu Nina! Bisanya-bisanya lo digantung? Wow, unbelievable."
Dewa memutar bola matanya. "I've told you. She's different."
"Maksud lo dia nggak tertarik sama lo kali!" goda Angga dengan mata mengerling meledek. "Mungkin, she's just not into you, Wa. Kenapa lo nggak coba jalan sama cewek lain dulu? Toh, kalian belum jadian. Sah-sah aja lo mau deket sama yang lain, kan?"
Dewa menggelengkan kepalanya. "I can't. And I don't want to. Sejak awal, Nina udah ngeraguin ketulusan gue. Kalau gue jalan sama cewek lain—yang ada dia bakal langsung cut off gue. Besides, gue nggak tertarik sama cewek mana pun kecuali dia."
"Aw, kayaknya bukan cuma gue yang nikah tahun ini, nih," kekeh Angga.
Dewa ikut terkekeh. "Udah yakin aja lo bakal nikah tahun ini."
Angga mengangkat bahunya. "Kalau bokap nggak kasih izin, gue kawin lari lah," candanya yang membuat mereka berdua tertawa di belakang ayah mereka.
Nina memang menghindarinya. Namun Dewa yakin itu bukan karena Nina tidak tertarik padanya. Mungkin Dewa yang terlalu percaya diri, hanya saja ia bisa merasakan chemistry di antara mereka semakin kuat. Lagipula, Nina belum benar-benar menolaknya. Meskipun Dewa sedikit merasa ditarik ulur, ia tak keberatan. Selama Nina masih sendiri, Dewa akan terus mengejar gadis itu.
Sepulang golf dan brunch, Dewa langsung pulang ke apartemennya. Menyelesaikan pekejaannya sampai waktu tak terasa sudah menunjukkan pukul empat sore. Dewa meraih ponselnya, hendak memesan makanan begitu perutnya mulai keroncongan.
Tetapi sebuah pemikiran menghentikannya. Jempolnya menggeser layar, membuka
whatsapp-nya.
Dewa
Nina lagi dimana?
Dewa mengetuk-ngetuk telunjuknya di atas meja, menunggu balasan. Satu menit. Dua menit. Lima menit. Sampai akhirnya di menit ke sepuluh, Dewa pun menutup laptop lantas meraih jaketnya.
Dewa rasa ia sudah memberi Nina cukup waktu untuk sendiri. Kemarin ia sengaja tidak terlalu mengejar Nina karena takut gadis itu tidak nyaman. Bagaimana pun, setidaksabar apapun Dewa, ia harus bisa mengendalikan diri dan mengatur ritme. Terlebih dari obrolannya dengan Samudera, Dewa semakin yakin jika Nina pernah mengalami pengalaman buruk akan sebuah hubungan.
Sesuatu yang membuatnya jadi begitu menutup diri.
Meskipun desakkan rasa rindu membuat Dewa ingin sekali menemui Nina. Ia merindukkan gadis itu. Bahkan video call singkat mereka waktu itu hanya membuat Dewa semakin merindukkan Nina. Yeah, tak lama dari Dewa berhasil membujuk Nina untuk memperlihat wajahnya, Nina segera mengakhirinya dengan alasan ingin mandi karena baru pulang kerja.
Setiap malam Dewa seperti stalker yang terus memantau akun instagram Nina. Mereka sudah saling follow. Sayangnya, Nina bukan tipe orang yang aktif bermain sosial media. Gadis itu jarang membuat story. Lebih sering me-repost saja. Postingannya bahkan cuma lima. Dan hanya ada dua foto yang menampilkan wajah Nina. Pertama fotonya bersama Sisy. Lalu foto Nina sendiri di sebuah caffeshop. Gadis itu tersenyum ceria. Sangat cantik. Sampai Dewa tergoda untuk mengscreenshoot-nya lalu ia jadikan lock screen.
Dewa tidak pernah menyukai seseorang sampai terobsesi seperti ini. Ia juga tidak pernah merindukan seseorang sedalam ini di saat mereka belum resmi berpacaran. Tetapi itu lah yang terjadi.
Ia sudah menahan kerinduannya selama berminggu-minggu. Dewa rasa, tak apa jika ia mengunjungi apartemen Nina. Dewa bisa membuat alasan ingin mengajak makan di luar.
Well, itu alasan basi. Tetapi Dewa memang ingin mengajak Nina makan di luar.
Jarak apartemennya dengan Nina yang tak terlalu jauh membuat Dewa tiba lebih cepat. Ia kembali berusaha menghubungi Nina agar menjemputnya di lobi. Sayangnya, Nina masih tak membalas chat-nya. Perasaan khawatir perlahan-lahan menyergapnya. Dewa kembali berusaha menghubungi Nina. Tapi masih tak mendapat jawaban.
Dewa akhirnya meminta tolong keamanan untuk memberinya akses ke lantai unit apartemen Nina. Melihat karaguan dari bapak tersebut, Dewa mengeluarkan bakat persuasifnya. Memberi alasan jika ia khawatir terjadi sesuatu karena Nina tak menjawab panggilannya. Lebih daripada itu, ia sudah dua kali berkunjung ke apartemen Nina. Dan satpam gedung seharusnya familiar dengan wajahnya.
Setelah sepuluh menit membujuk, Dewa pun diberi akses dengan syarat ditemani.
"Mbak Nina tidur kali, Mas. Soalnya tadi adiknya baru aja pulang," ucap Pak Eko. "Sempat ngobrol sama saya. Anaknya baik, ramah lagi. Sama kayak Mbak Nina."
Dewa tersenyum hambar. Ia belum merasa cukup tenang meskipun tahu Nina baru saja dikunjungi oleh adiknya. Dewa kembali mencoba menelpon Nina. Lalu mendesah resah ketika kembali tak mendapat jawaban.
Pak Eko mengintip kecil lalu tersenyum maklum.
Kalau nggak ada kabar emang bikin panik ya, Mas." Ledek Pak Eko. "Apalagi Mbak Nina sering pulang malam. Lembur di kantor katanya. Mas nggak satu kantor ya sama Mbak Nina?"
"Kami satu tower. Cuma belakangan saya lagi ada kerjaan dia Surabaya, Pak."
"Pantas jarang ngeliat Mas belakangan ini. Mbak Nina kayak lupa masukin nama Mas ke daftar tamu. Biasanya, nama pacar yang paling depan tuh," kekeh Pak Eko. "Tapi kayaknya Mbak Nina lupa saking sibuknya."
Dewa hanya tersenyum masam. Tak berniat mengoreksi Pak Eko yang mengira ia adalah pacar Nina.
Begitu sampai di lantai unit apartemen Nina. Dewa mengambil langkah panjang dan berenti di depan sebuah pintu berwarna putih. Dewa menekan bel berulang kali, cukup tak sabaran sampai Pak Eko hanya bisa diam di sebelahnya—tak ingin mengintrupsi pria yang sedang dalam gelombang kekhawatiran.
Sekitar lima menit, pintu akhirnya terbuka. Menampakkann sosok Nina yang tampak baru bangun tidur dengan mata yang masih menyipit dan rambut acak-acakkan.
Pak Eko terkekeh geli. "Maaf, Mbak Nina, jadi ganggu waktu tidurnya. Tapi pacar Mbak Nina khawatir banget karna Mbak Nina nggak angkat telponnya."
"Pacar?" Nina mengerutkan kening bingung. Lantas memindahkan perhatiannya pada Dewa yang berdiri menjulang tinggi di depannya. "Mas Dewa?"
"Kalau gitu saya turun ya, Mas, Mbak," pamit Pak Eko. Jelas tidak ingin menjadi obat nyamuk terlalu lama.
Dewa menghela napas lega setelah kepergian Pak Eko. Ia ingin sekali memeluk Nina, tetapi sepertinya itu bukan tindakkan yang bijak. Jadi dia hanya bisa mencubit gemas pipi gadis itu sambil berkata. "Bikin panik aja nih anak kecil,"
"Mas Dewa!" protes Nina dengan kesadaran yang terkumpul akibat cubitan Dewa.
Dewa mengulum bibir. Menahan senyum lebar terkembang di wajahnya.
Bersambung.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
