
Kenangan dalam Semangkok Indomie Soto Banjar Limau Kuit yang Nyaman Banar #CeritadanRasaIndomie
Kenangan berkelindan begitu saja saat saya menikmati semangkuk Indomie Soto Banjar Limau Kuit. Kenangan pahit manis cinta pertama, haru rindu akan masakan ibu, dan kehangatan kebersamaan saat mengungsi ketika banjir bandang datang.
#CeritadanRasaIndomie
Di tahun-tahun yang jauh itu, ketika turun hujan dan saya pun menulis status di beranda Facebook saya dengan perasaan yang sentimentil.
Tahukah kau apa yang akan lebih dirindukan saat hujan turun? Sesuatu yang lebih kau rindukan dibandingkan genggaman tangan kekasih dan juga sekedar pesan pengingat di layar hape agar tak hujan-hujanan supaya tak jatuh sakit?
Jawabannya adalah mi bakuhup dan intalu ba dadar alias mie rebus dan telur dadar.
Sebuah tulisan puitis dan juga lucu serta cerdas pikir saya. Seperti itulah dulu, saat saya memuja kebodohan saya sendiri dan menganggap pemikiran dan tulisan saya itu sudah begitu dalam. Tentu saja saya pikir status itu juga akan viral, mengundang banyak like, ratusan bahkan ribuan kali dibagikan. Namun, ternyata nihil.
Sepi like dan tak ada yang membanggikannya sama sekali. Kecewa? Tentu saja, saya menganggap orang-orang di lingkar pertemanan saya di medsos ini tak cukup ‘cerdas’ hingga tak paham akan lelucon yang saya sampuli dengan puitis itu. Namun, tentu saja tidak seperti itu sesungguhnya. Menganggap teman-teman maya saya yang tidak ‘cukup dalam perasaannya’ serta ‘tak cukup cerdas pemikirannya’ sebenarnya adalah cara saya menghibur diri atas ketakmampuan saya sendiri.
Kemudian di masa sekarang, di musim penghujan yang sama seperti di tahun yang jauh itu, tetiba saja ingatan itu menyeruak. Pada sore yang hujan, dan saya dengan semangkuk mi bakuhup Indomie Soto Banjar Limau kuit dan telor asin tetiba saja seakan terseret ke masa lalu. Rentetan serta kilasan banyak kenangan tetiba saja berkelindan, setiap satu suapan mewakili satu ingatan, setiap satu hirupan kuah membangkitkan sebuah kenanngan.
Ah, ada apa dengan Indomie yang saya makan ini?
Bagaimana mungkin ada banyak kenangan bisa hadir hanya dengan semangkuk Indomie rasa Soto Banjar Limau Kuit ini?
Satu suapan pertama di sore yang hujan itu mengantarkan saya pada kenangan saat masih bersekolah di Madsrasah Tsanawiyah di awal tahun 2000an. Saat itu adalah awal lahirnya varian Indomie Soto Banjar Limau Kuit yang pertama kali hadir khusus untuk daerah Kalimantan Selatan saja. Varian Mie yang tercipta untuk mewakili rasa kedaerahan serta mengangkat lokalitas.
Hadirnya Mie Soto Banjar Limau Kuit mendadak langsung menjadi fenomena atau jika boleh meminjam istilah yang sering digunakan saat ini adalah viral. Rasa kecut limau kuit dan kuah pedas dari si anak baru ini ternyata membuat banyak orang di Kalimantan Selatan langsung jatuh cinta.
Sebelum hadirnya varian rasa soto banjar limau kuit ini, urang Banjar sudah lebih dahulu dimanjakan lidahnya dengan rasa soto banjar saja tanpa embel-embel tambahan limau kuit. Rasa Soto Banjar yang versi biasa ini pun telah memikat warga Kalimantan Selatan saat itu, ia laiknya adalah cinta pertama urang Banjar. Dan ngomong-ngomong soal cinta pertama, kenangan yang melintas saat saya menyeruput mie Indomie Soto Banjar Limau Kuit ini adalah tentang teman sekelas saya dulu dan cinta pertamanya.
Sebut saja namanya Sopian(bukan nama sebenarnya) dan perempuan yang ditaksirnya adalah Damai alias Damayanti (nama sebenarnya). Saat itu sehabis masa istirahat pertama, dan saya baru saja menandaskan semangkuk Indomie Soto Banjar Limau Kuit di kantin sekolah.
Bel pertanda bahwa masa istirahat sudah berbunyi dan saya bergegas untuk kembali ke kelas. Saat kembali ke kelas, di kursi tempat teman saya yang bernama Sopian ini kok ada banyak siswa yang bergerombol, ada sekitaran empat sampai lima orang. Dan salah satunya adalah si Damai ini.
Rupa-rupanya mereka sedang membuka semacam buku catatan si Sopian ini. Di dalam catatan tersebut ada tulisan yang ‘diindikasikan’ adalah curahan hati si Sopian kepada Damai. Rangkaian puisi dan kata-kata indah tertulis rapi di halaman belakang buku catatan Sopian tersebut. Tidak banyak yang saya ingat tentang isi tulisannya, hanya satu hal yang benar-benar membekas di kepala saya hingga saat ini adalah kalimat penutup dari puisi ungkapan hati itu.
I LOVE PEACE disertai lambang peace. Tentu saja semau orang pasti paham apa maksud dari tulisan itu, aku cinta Damai. Dan tentu Damai yang dimaksud ini adalah gadis cantik teman sekelas kami yang senyumnya membuat jiwa Sopian seakam melayang.
Damai yang membaca barisan tulisan itupun tersipu, menandakan ia pun sebenarnya ada punya perasaan. Namun, pada akhirnya kisah cinta Damai dan Sopian tidak pernah terjadi, Sopian lebih menyukai mencintai Damai secara diam-diam, menuliskannya puisi-puisi yang tak pernah sanggup ia kirimkan, dan melakukan banyak hal agar Damai selalu tertawa di dalam kelas. Damai pun tak pernah menuntut apapun, semacam sekedar peungungkapan atau apapun dari Sopian. Baginya saat itu, menjadi yang dicintai pun sudah cukup.
Kisah cinta Sopian dan Damai adalah tipikal kisah cinta pertama pada umumnya yang tak berujung bahagia, mereka saling jatuh cinta tapi tak bisa bersama, yang merindukan tak berani mengungkapkan, yang dirindukan tak menuntut pengungkapan. Dan akhirnya setahun kemudian harus dipisahkan oleh yang namanya kenaikan kelas, karena masing-masing dari mereka ditempatkan di kelas yang berbeda.
Pada sore yang hujan lintasan kenangan itu pun berlanjut. Beriringan dengan suapan Indomie Soto Banjar Limau Kuit di mulut saya yang rasa segar dan kecutnya menyegarkan mata. Ada rasa haru yang menggenang kali ini, ingatan itu datang lagi, dan kali ini tentang masakan ibu.
Saat itu saya sudah SMA dan ini adalah saat ketika anak kelas tiga harus ikut les tambahan untuk persiapan ujian akhir nasional. Dengan adanya kelas tambahan, itu artinya kami harus berada di sekolah sampai sore. Oleh sebab itu, biasanya saya akan makan siang Indomie rebus di kantin sekolah.
Sebenarnya tak harus ada les tambahan pun saya biasanya akan makan siang di sekolahan semasa SMA, karena ibu saya akhirnya harus berpulang sekitar empat tahun yang lalu setelah sakit yang cukup lama. Tentu selalu ada masa-masa itu, tetiba saya merindukan masakan ibu dan tak tahu harus bagaimana.
Indomie Soto Banjar Limau Kuit pada akhirnya adalah jawabannya. Ada keharuan yang memendar di dalam kuahnya, ada rindu yang hanya bisa diterjemahkan oleh cecapan lidah. Ibu saya dulu ketika ada momen penting seperti yasinan atau hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha selalu memasak soto banjar bagi kami sekeluarga. Dan momen itu kini hanya menjadi kenangan.
Pada akhirnya di semangkuk Indomie Soto Banjar Limau Kuit lah rindu saya dijembatani. Kenangan akan masakan ibu yang telah lama berpulang, kasih sayang yang tumpah di kuah soto banjar dan perahan asamnya limau kuit mengejawantah dalam semangkuk mie yang selalu saya makan ketika siang saat menanti les tambahan.
Tapi lintasan kenangan tak berhenti di situ, pada kenangan akan masakan ibu. Ada sesuatu yang lain beriringan dengan semakin derasnya air hujan di luar rumah. Setahun lalu, di awal-awal tahun 2021 sebuah bencana yang benar-benar mengejutkan terjadi. Musibah yang bukan hanya menimpa saya seorang diri, tapi juga ratusan ribu penduduk di Kalimantan Selatan.
Tahun 2021 terjadi bencana alam yang meluluhlantakkan Kalimantan Selatan. Banjir bandang yang menyapu 11 kabupaten dari 13 kabupaten di Kalimantan Selatan. Bencana dahsyat ini hampir menyapu rata seluruh Kalimantan Selatan. Bahkan BNPB mencatat ada 633.273 warga yang terdampak, 135.656 warga mengungsi, 46 orang meninggal dunia, dan 123.410 rumah terendam akibat banjir.
Banjir bandang yang diakibatkan oleh kerusakan alam ini mengakibatkan begitu banyak orang menderita, begitu banyak kehilangan, dan ribuan orang harus pergi mengungsi meninggalkan rumah mereka yang ditenggelamkan banjir. Dan di antara ribuan orang itu ada saya.
Tidak ada yang menyangka akan terjadi banjir bandang, karena memang tidak pernah terjadi, dan oleh sebab itu tak ada persiapan apapun. Semuanya terjadi begitu saja, hujan deras semalaman, dan ketika terbangun saat subuh tiba, sekeliling rumah sudah dikepung banjir. Hanya hitungan menit air yang semula berada di halaman pun menerjang masuk.
Saya yang benar-benar terlambat untuk sadar akan bencana banjir bandang ini pun kelimpungan mencoba menyelamatkan apa saja yang bisa diselamatkan. Akhirnya beberapa barang elektronik di letakkan di atas lemari, pakaian dalam kantong plastik, dan beberapa koleksi buku yang sudah sempat terendam pun diletakkan di baskom. Banjir bandang ini mengakibatkan pintu rumah saya menjadi rusak, sepeda motor matic saya rusak karena tenggelam, dan banyak hal yang lagi.
Mengungsi akhirnya adalah satu-satunya pilihan, meninggalkan rumah dan semua yang sudah tak bisa diselamatkan lagi. Sepinggang orang dewasa, sedalam itulah banjir yang melanda komplek kediaman saya. Saya mengungsi ke tempat sepupu yang kebetulan tidak terendam banjir sementara para tetangga mengungsi ke Musholla terdekat dan sekolahan.
Banjir bandang mengakibatkan putusnya akses ke banyak hal, dan tentu saja salah satunya adalah hal paling mendasar seperti kebutuhan pangan. Kebanjiran, kedinginan, dan kelaparan di pengungsian benar-benar membuat banyak orang menjadi trauma.
Untung saja momen kelaparan di pengungsian tidak terjadi lama, karena ada begitu banyak orang baik yang terketuk hatinya, dan melalui tangan para sukarelawan yang rela menerjang banjir akhirnya berdus-dus Indomie bisa tersalurkan kepada korban bencana.
Di saat itulah hadirnya Indomie laiknya juru selamat. Di kala kesusahan karena kebanjiran dan stok makanan yang menipis, semangkuk Indomie setidaknya bisa membuat kami bernapas sedikit lebih lega. Bukan hanya soal kepraktisan dalam memasak, tapi banyaknya varian rasa Indomie juga membantu kami para warga yang terdampak banjir untuk tidak merasa jenuh karena hanya bisa makan mi instan saat dalam pengungsian.
Dan kehangatan yang hadir dalam semangkuk Indomie di masa-masa kelam seperti banjir bandang tahun lalu, setidaknya menawarkan harapan bahwa semua akan-akan baik saja dan banjir akan segera berlalu. Seperti rasa kecut dan pedas dari Indomie Soto Banjar Limau Kuit, semua masalah hanyalah bumbu yang jika disikapi dengan baik maka kau akan jadi lebih bijak.
Empat hari mengungsi, akhirnya banjir pun reda beriringan dengan matahari yang kembali muncul, setelah hampir tiga hari hujan terus menerus. Rasa dingin yang menggigit ketika di pengungsian akhirnya bisa sedikit diobati dengan hangatnya semangkuk Indomie rebus. Tidak bisa dinafikan kehadiran Indomie saat bencana banjir bandang tahun lalu benar-benar membantu para pengungsi, khususnya saya untuk bertahan hingga banjir usai.
Lalu sampailah aku kini pada suapan terakhir Indomie Soto Banjar Limau kuit yang tersaji di hadapanku, hujan sudah reda, hanya tersisa rintik saja, dan semoga saja tahun lalu adalah kali terakhir banjir bandang melanda Kalsel. Di suapan terakhir itulah aku tersadar, kok bisa dalam sebungkus Indomie Soto Banjar Limau Kuit ini bisa merangkum banyak hal dalam hidupku
Untuk saya ini benar-benar luar biasa, bayangkan saja dalam semangkuk Indomie Soto Banjar Limau Kuit yang saya nikmati saat hujan turun ini, ternyata tak hanya menawarkan sensasi rasa sedap serta kenikmatan selera yang menggoyang lidah. Dalam semangkuk Indomie Soto Banjar Limau Kuit yang nyaman banar ini ternyata juga merangkum banyak babak dalam kehidupan saya, kenangan berkelindan ketika saya menikmati semangkuk Indomie yang menjadi selera urang Banua, ada pahit manis cinta yang tak terkatakan dari kisah cinta sahabat saya, ada keharuan dan rindu akan masakan ibu, dan pula kehangatan kebersamaan di pengungsian ketika banjir bandang datang.
#CeritadanRasaIndomie
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰