
Time flies, people change, but some of them stay in your heart.
Setelah berpisah bertahun-tahun, sebuah reuni sekolah kembali mempertemukan Romeo dan Karenina di saat keduanya sudah memiliki pasangan masing-masing. Mereka tidak pernah berpikir bahwa pertemuan itu adalah awal dari kisah yang sesungguhnya.
Haruskah keduanya melanjutkan cerita yang belum benar-benar selesai? Atau membiarkan semuanya usai tanpa selesai?
"Aku memang dekat dengan banyak cewek, tapi cuma begitu doang. Lepas perjakanya tetap...
His First Love Part 1
“Romeo Clay Morgan...”
Karenina mendesis pelan saat melihat sosok itu dari jauh. Mendadak tubuhnya terseret ke masa lalu. Tepatnya ke waktu lima tahun yang lalu. Sosok di hadapannya kini begitu nyata dalam versi yang telah disempurnakan berkali lipat. Tidak mustahil juga jika dia akan bertemu dengan lelaki itu. Toh, ini adalah acara reuni terbuka yang bisa dihadiri oleh siapa saja. Tidak terkecuali Romeo.
Romeo sama terkejutnya dengan Karenina. Hal itu tersirat dari wajahnya yang… tampan. Ah, sial, Karenina masih saja memujinya.
“Karen, ini beneran kamu.” Tubuh menjulang itu berujar pelan. Entah menggumamkan pertanyaan atau pernyataan.
Karenina tersenyum canggung.
“It’s been a long time…’”
Karenina bergeming. Berdiri terpaku di tempatnya. Tidak sepotong kata pun berhasil keluar dari mulutnya.
”Apa kabar, Karen?” Romeo mengulurkan tangan untuk berjabatan.
“Ba- baik.” Karenina tergagap sembari menyambut uluran tangan Romeo. Telapak tangan lelaki itu terasa dingin di dalam genggamannya. Mungkin karena pengaruh pendingin ruangan yang disetel rendah di ballroom hotel tempat acara reuni diadakan sekarang.
“Kamu datang sendiri?”
Pertanyaan itu terdengar di telinga Karenina lebih seperti, “Apa kamu masih sendiri?”
Karenina maasih mematung di tempatnya. Suara itu begitu dia rindukan. Amat sangat rindu. Lima tahun tidak bertemu ternyata Romeo masih sanggup mengguncang hatinya hingga saat ini.
Karenina menjawab pertanyaan Romeo dengan anggukan kepala.
Romeo melengkungkan bibir, memamerkan senyum khasnya yang tengil dan jahil, namun mampu membuat siapa pun terpesona.
”Aku baru tau kalau sekarang kamu udah bisu,” guraunya lantaran Karenina hampir tidak mengeluarkan suara sedari tadi. Kecuali sepotong kata 'baik' yang diucapkan dengan sedikit terbata.
“Iya, aku datang sendiri,” ucap Karenina kemudian.
Tawa Romeo pecah seketika. “Kamu nggak berubah, Ren, suara kamu masih merdu seperti dulu.”
“Dan kamu juga nggak berubah, masih jago gombal,” balas Karenina mencoba mencairkan suasana atau lebih tepatnya suasana yang kaku itu adalah ciptaannya sendiri.
Romeo tertawa renyah. Dari zaman kuliah dulu atau lebih tepatnya saat mereka masih berpacaran, Karenina selalu mengatakannya jago gombal.
Romeo masih tertawa hingga matanya tertuju pada jari manis Karenina. Sesuatu yang melingkar di sana membuat tawanya terhenti tiba-tiba.
Karenina bisa menebak arah pandangan Romeo beserta pertanyaan yang akan terucap dari mulutnya saat melihat rona aneh serta kaget di muka lelaki itu.
”Ya, aku udah tunangan dan akan menikah empat bulan lagi.” Karenina memberitahu sebelum Romeo, mantan kekasihnya bertanya. Karenina menjadi kaget sendiri saat mendapati nada getir dari suaranya.
Hening sejenak melingkupi. Karenina tidak tahu apa kata-katanya tadi sudah diucapkan di saat yang tepat, sedangkan Romeo menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dan kemudian celetukan pendek terlontar dari bibir lelaki itu.
“Harus secepat itu?”
“Cepat gimana? Aku dan dia sudah pacaran selama dua tahun.”
‘Masih nggak ada apa-apanya dibandingkan kita dulu,’ bisik Romeo di dalam hati tanpa mampu dia ucapkan.
“Siapa lelaki beruntung itu?”
“Namanya Aksara.”
“Temen kamu? Maksudku, awalnya gimana bisa kalian kenal dan pacaran?”
“Aku dikenalin sama Papa. Dia anak temen Papa.”
“Oh, dijodohkan.”
“Bukan dijodohkan tapi dikenalkan.” Karenina mengoreksi kalimat Romeo.
Romeo tertawa sumbang. “Apa bedanya? Sama saja kok.”
“Ya jelas beda. Intinya aku dan dia nggak dijodohkan.”
“Well, dia kerja di mana?”
Sungguh pertanyaan kebanyakan cowok saat mengetahui bahwa mantannya sudah memiliki yang lain. Talk about ego, tentunya.
”Dia punya perusahaan sendiri, startup.”
“Dia CEO-nya?”
“Iya.”
Romeo tertawa lagi. Sungguh typical cewek-cewek zaman now. Menikah dengan cowok mapan dan tampan. “Akhirnya cita-cita kamu tercapai juga.”
”Cita-cita apa?” Karenina minta diperjelas.
“Punya pasangan CEO.”
”Aku nggak pernah punya cita-cita nikah sama CEO,” bantah Karenina tidak setuju dengan anggapan Romeo.
“Hehe…”
“Kalau kamu gimana?” Karenina balas bertanya.
“Apanya yang gimana?”
Karenina menelan ludah yang tiba-tiba terasa pahit. “Kamu- Kamu-”
”Oh, aku. Aku sudah menikah.” Romeo memotong kalimat Karenina sebelum dia selesai menuntaskannya.
Mata bulat Karenina melebar sempurna. Seorang Romeo yang sepertinya anti dengan komitmen sudah menikah? Sungguh sulit dipercaya. Ingatan Karenina kembali diseret oleh masa lampau. Dulu mereka adalah sepasang kekasih sejak semester pertama kuliah di universitas yang sama. Hubungan mereka bertahan selama empat tahun sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk sama-sama berpisah. Karenina meneruskan pendidikan ke jenjang strata dua, sedangkan Romeo memilih fokus pada cita-citanya menjadi seorang pembalap.
“Kenapa, Ren? Kamu kaget? Nggak nyangka aku bakal duluan dari kamu?”
Jujur, Karenina harus mengatakan iya. Romeo kemudian tertawa terbahak-bahak menyadari ekspresi Karenina yang berubah.
”Aku becanda kali. Nggak nyangka juga kamu bakal seserius itu nanggepinnya. Lihat nih nggak ada apa-apa kan?” Romeo menunjukkan kesepuluh jarinya dan kembali tertawa.
Ya, memang tidak ada apa-apa di sana. Kesepuluh jari Romeo kosong. Tidak ada cincin sebagai simbol bahwa dirinya sudah memiliki ikatan dengan seseorang.
Mengetahuinya, Karenina menghela napas lega. Entah untuk alasan apa merasa begitu, dia pun tidak tahu.
“Aku nggak nyangka ternyata Jakarta yang kata orang hanya selebar daun kelor ternyata benar-benar luas, buktinya setelah lima tahun kita baru ketemu sekarang.”
”Iya.” Karenina menimpali. Dia sudah mendengar nama Romeo Clay Morgan sebagai seorang pembalap nasional dan suka berkencan dengan banyak perempuan. Tapi hanya sekadar itu. Karenina tidak ingin tahu banyak. Baginya Romeo adalah bagian dari masa lalu yang harus dia tinggalkan di belakang. “Aku dengar kamu udah jadi pembalap hebat sekarang.”
“Ah, nggak juga, biasa aja,” jawab Romeo merendah. Sejak fokus pada dunia balap motor, dia memang bergabung dengan The X Racing Team, nama klub yang membina dan membantu membesarkannya hingga pada akhirnya Romeo bisa beberapa kali memenangkan kejuaraan Motor ID Championship, sejenis kompetisi semacam Moto GP. Hanya saja Motor ID Championship masih di kelas nasional, bukan kancah dunia.
Suara ponsel Romeo yang berbunyi kemudian menjeda obrolan mereka. Karenina mengatupkan bibir rapat-rapat saat Romeo berbicara dengan seseorang di seberang sana.
”Iya, Stella, ini aku masih di acara reuni. Sebentar lagi baru pulang. Oke, nanti aku call kamu.”
Usai percakapan itu Romeo menyimpan ponselnya.
“Ren, kayaknya aku harus pulang sekarang. Duluan ya!”
”Oh, oke,” jawab Karenina kikuk, semacam tidak rela lantaran kebersamaan mereka yang singkat.
Romeo berdiri dan tersenyum. “Aku lupa dulu kita putus karena apa,” ucapnya sebelum pergi. Tak lupa meninggalkan senyumnya yang tengil.

Raden Aksara Yasa, pria gagah dengan mata teduh yang merupakan tunangan Karenina sudah menunggu di lobi hotel. Senyumnya terbit seketika saat melihat perempuan berambut sebahu dengan warna coklat gelap itu melangkah anggun mendekatinya.
”Kenapa lemes?” Pertanyaan pertama meluncur dari bibir Aksa saat melihat muka lesu Karenina. “Nggak senang ikut reunian? Atau jangan-jangan ketemu mantannya nih.”
Celetukan asal itu berhasil membuat Karenina terkesiap.
“Nggak kok.”
Entah mengapa dusta itu tercipta.
“Terus kenapa mukanya suntuk kayak gitu?” Aksa merangkul pinggang Karenina, mengajaknya keluar dari hotel.
“Pusing aja sih, kebanyakan yang ikut, sebagian mereka nggak aku kenal.”
“Namanya juga reuni akbar, ya banyak yang ikut lah. Terus tadi gimana? Tadi ketemu sama temen-temen kamu semuanya?”
“Nggak, cuma dikit, rata-rata mereka udah berubah, udah punya anak banyak, aku sampe nggak ngenalin.”
“Kalau tahun depan ada reuni lagi paling mereka yang nggak ngenalin kamu karena kita udah menikah dan punya anak.” Aksa tersenyum penuh makna.
Karenina tertegun menyadari kemungkinan itu. Iya, mereka sudah bertunangan dan akan menikah. Sebagaimana orang-orang yang sudah menikah lainnya sudah barang tentu setelah itu jika Tuhan mengizinkan, anak akan hadir di antara mereka. Menyadarinya, tiba-tiba saja Karenina menjadi tidak siap.
“Nina!”
Karenina yang akan masuk ke mobil sontak menolehkan kepala ke sumber suara. Ternyata Kia, temannya yang sejak tadi menghilang.
”Lo ke mana aja sih, Kia? Gue cari dari tadi juga. Lo ngilang ke mana?” Karenina sedikit kesal lantaran sahabat sejak zaman kuliahnya itu meninggalkannya begitu saja nyaris sepanjang acara hingga membuat Karenina menjadi bingung sendiri dan akhirnya bertemu dengan Romeo.
”Tadi gue ketemu sama Tedi, terus noltalgila dulu deh. Lo inget nggak Tedi yang dulu cupu, nerd, sampe diledekin anak-anak, sekarang keren parah. Gilanya lagi dia udah jadi CEO di perusahaan orang tuanya.”
Karenina tersenyum tipis. Tedi yang dimaksud adalah teman kuliah mereka yang dulu seakan tidak pernah terlihat di mata mereka. Dia bukan bintang di kampus dan juga bukan idola cewek-cewek seperti Romeo kala itu. Tapi waktu memang bisa mengubah segalanya. Setiap orang bertransformasi menjadi manusia baru. Ada yang ke arah positif dan ada pula yang ke arah negatif. Seperti Romeo misalnya. Dia sudah menjadi pembalap hebat, sukses dan… dikelilingi banyak wanita.
Duh sial, dia lagi.
Kia kemudian melirik ke dalam mobil, pada Aksa yang menunggu di belakang kemudi. Perempuan itu merapatkan badan pada Karenina, sahabatnya dari dulu hingga sekarang.
“Nin, tadi gue ketemu Romeo, gue nggak nyangka kalau dia juga dateng.” Suara Kia terdengar berbisik, khawatir Aksa akan mendengar. Maklum saja, tidak enak kalau Aksa sampai mendengar bahwa mereka sedang membicarakan Romeo, mantan kekasih Karenina yang legend itu.
“Oh.” Hanya itu yang terucap dari mulut Karenina.
Meski hari telah malam tapi Kia bisa melihat ekspresi Karenina yang berubah.
“Oh doang? Lo nggak ketemu sama dia?” Kia memandangi sahabatnya semakin lekat dengan tatapan menyelidik.
Karenina menggelengkan kepala. Jika dia jujur maka pembahasannya akan jadi panjang dan melebar.
“Lo tau nggak sih, dia keren banget sekarang. Dia udah jadi pembalap hebat.”
“Ya, gue tau.”
“Hah, lo tau dari mana? Katanya nggak ketemu.” Kia mengerutkan dahinya.
“Gue pernah ngeliat di YouTube. Kia, udah ya, gue duluan, eh, lo mau bareng nggak?” Karenina menghentikan percakapan sebelum semakin menjalar ke mana-mana.
“Lo duluan aja, gue lagi nunggu Revan.” Kia menyebut nama kekasihnya.
“Ya udah kalau gitu.” Karenina membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya. Di sana Aksa sudah menunggu.
“Kita duluan ya, Kia!” seru Aksa dari dalam mobil.
Kia tersenyum dan menganggukkan kepala sambil melambaikan tangan pada Karenina. Senyumnya bertahan lama sejalan dengan mobil Aksa yang menghilang dari pandangan.
Kia mengenal Karenina sejak lama, lebih tepatnya sejak mereka berada di bangku kuliah. Saat itu adalah masa orientasi mahasiswa baru dan keduanya sama-sama dihukum karena tidak membawa kokarde. Berawal dari situ hubungan keduanya jadi akrab hingga saat ini setelah sekian tahun mereka melepas status sebagai mahasiswa.
Kia pernah menjadi saksi bagaimana mesranya hubungan Karenina serta Romeo dulu. Mereka begitu harmonis hingga di akhir masa kuliah keduanya sama-sama memutuskan untuk berpisah tanpa alasan yang jelas. Cukup lama Karenina menyendiri karena gagal move on dari Romeo. Hingga akhirnya sekitar dua tahun yang lalu sahabatnya itu bertemu dengan Aksa yang dikenalkan oleh orang tuanya. Merasa saling cocok, keduanya bertunangan dan berencana menikah empat bulan lagi.

Romeo menghempaskan tubuh lelahnya di kasur yang empuk. Lelaki itu mengangkat sedikit badannya untuk membuka jaket kulit yang melekat di tubuhnya kemudian melempar sembarangan ke lantai.
Matanya menatap sendu pada langit-langit kamar. Sejak pulang dari reuni tadi perasaannya menjadi tidak tenang. Lebih tepatnya sejak bertemu kembali dengan Karenina. Mantan kekasihnya itu seperti menolak tua. Meskipun usia terus bertambah, namun Karenina seperti tidak tergerus oleh pergantian umur. Satu-satunya yang berbeda dari Karenina adalah rambutnya yang dulu panjang sepunggung kini dipangkas sebahu dan diwarnai dengan warna coklat gelap. Karenina terlihat jauh lebih segar dan juga semakin cantik.
Satu hal yang membuatnya terkejut adalah saat mengetahui bahwa gadis itu sudah bertunangan dan akan menikah. Semua semakin menyadarkannya bahwa Karenina yang pernah mengisi penuh hatinya hingga tidak menyisakan ruang bagi yang lain ternyata bukan miliknya lagi. Perasaannya tiba-tiba berubah sedih saat mengingat hubungan mereka yang telah kandas sejak bertahun-tahun yang lalu. Mereka terpaksa berpisah karena tidak sejalan lagi dan berbeda visi dan misi, tapi tetap saja menyisakan luka. Bagaimanapun kondisinya, perpisahan selalu menimbulkan luka dan kepedihan.
Mengembuskan nafas berat, Romeo mengambil ponsel dari dalam saku celana dan membuka daftar kontak. Tangannya menggulir ke bawah dan berhenti tepat pada huruf K, Karenina.
Romeo termenung lama. Rasa ragu melingkupinya. Tadi selain bertemu dengan Karenina, Romeo juga berjumpa dengan Kia, sahabatnya. Dari Kia lah Romeo mendapat nomor handphone Karenina. Awalnya Kia keberatan memberinya, namun Romeo yang terus memaksa membuatnya menyerah.
Romeo menatap nanar pada dua belas angka nomor seluler Karenina, merasa ragu ingin menghubunginya. Jarinya sudah bergerak menekan ikon dial namun tertahan tiba-tiba ketika ada panggilan masuk. Dari Stella, perempuan berparas manis yang beberapa waktu belakangan dekat dengannya.

“Aksa nggak disuruh masuk dulu?” Pertanyaan pertama meluncur dari bibir Yurika, mamanya, saat Karenina tiba di rumah.
”Udah malam, Ma, katanya nggak enak.” Tadi karenina sudah menawarkan untuk mampir dulu, namun Aksa menolak.
Yurika menyunggingkan senyum. Calon menantunya itu memang teramat sopan dan tahu etika. Ini baru jam sembilan malam, tapi memang pada dasarnya Aksa adalah orang yang sudah tahu tata krama dari sananya.
“Gimana acara reuninya, Nin?”
“Lancar, Ma.”
“Ketemu semua sama temen-temen kamu dulu?”
“Nggak semuanya sih, Ma.”
“Pasti temen-temen kamu udah pada nikah dan punya anak semua.”
Karenina menghela nafas bersama dengan langkah kakinya yang terhenti begitu mendengar kata-kata Yurika.
“Ada sebagian yang sama anak dan suaminya, ada juga yang sendiri.”
“Mama jadi nggak sabar menunggu kamu sama Aksa menikah.”
Karenina memaksakan segaris senyum lelah. “Iya, Ma. Aku ke kamar dulu ya, ngantuk.”
“Ya udah,” jawab Yurika dan membiarkan putri sulungnya masuk ke kamar. Wanita itu menyadari Karenina selalu terlihat enggan tiap kali membahas hal-hal yang berhubungan dengan pernikahan, anak, dan suami.
Tanpa mengganti baju, Karenina langsung berbaring merebahkan tubuhnya yang lelah. Hari ini dia rasakan lebih berat dari biasa. Bukan karena banyaknya pekerjaan hari ini, melainkan akibat bertemu dengan Romeo tadi. Tiba-tiba saja kepalanya menjadi berat dan berdenyut.
Karenina menatap lekat pada cincin yang tersemat di jemarinya. Cincin itu adalah cincin tunangannya dengan Aksa. Cincin itu mereka berdua yang memilihnya dan didesain khusus oleh perancang perhiasan kenalan salah seorang kolega Aksa. Begitu pun untuk pernikahan yang sedianya akan diselenggarakan empat bulan lagi. Mereka juga mempercayakan pada desainer perhiasan yang sama.
Karenina mengenang kembali pertemuan pertamanya dengan Aksa. Dulu, kedua orang tuanya yang mengenalkan Aksa pada Karenina. Setelah putus dengan Romeo, Karenina cukup lama sendiri hingga Yurika dan Yudha, nama kedua orang tuanya, sampai khawatir melihat anak mereka yang patah hati. Keduanya memberikan pilihan beberapa kandidat, namun tidak seorang pun di antara mereka yang bisa membuat Karenina jatuh hati.
“Mama sama Papa udah deh, nggak usah ngejodohin aku terus, aku bisa nyari sendiri kok, lagian kalau emang udah jodoh pasti akan datang pada waktunya,” ucap Karenina waktu itu, tepatnya dua tahun yang lalu.
“Tapi kamu itu udah dua puluh lima lho, Nin, lagian kamu udah lama sendiri, mau sampai kapan coba?”
“Meskipun aku punya pacar sekarang, aku belum mau nikah, Ma, aku nggak mau nikah sekarang.”
“Memangnya yang nyuruh kamu nikah sekarang itu siapa? Mama sama Papa cuma minta kamu membuka hati dulu, kenalan baik-baik sama anak temennya Papa. Anaknya cakep lho, udah gitu cerdas banget. Dia lulusan Stanford, prestasinya udah banyak banget. Mama jamin kamu pasti suka.” Waktu itu Yurika menjelaskan dengan berapi-api sambil mempromosikan Aksara.
Karenina hanya tersenyum tipis menanggapinya. Sebelum-sebelumnya Yurika juga bilang begitu mengenai para lelaki muda yang disodorkan padanya. Mereka semua memang menarik namun sayangnya tidak ada yang mampu membuat Karenina tertarik.
“Kamu jangan cuma senyum aja, Nin, coba kenalan dulu baru kasih penilaian.” Yudha yang sejak tadi hanya mendengarkan turut menimpali.
”Boleh deh, Pa, bawa aja dia ke sini.” Karenina memberi keputusan agar kedua orang tuanya merasa senang atau setidaknya tenang.
”Kamu bisanya kapan ketemu sama dia?”
“Besok juga nggak apa-apa, Pa.”
“Ya udah, besok kamu jangan ke mana-mana kalau udah pulang kerja, Papa akan bawa dia ke sini.”
“Iya, Pa.” Karenina menjawab patuh. Saat itu dia melihat senyum bahagia dari kedua orang tuanya.
Keesokan harinya Yudha menepati janjinya dengan membawa anak temannya ke rumah. Tidak hanya anaknya saja tapi juga bersama kedua orang tuanya, Bastian dan Mega. Bastian adalah sahabat Yudha semasa sekolah dan hubungan baik itu berlangsung hingga saat ini. Mereka sepakat untuk melanjutkan hubungan itu pada generasi kedua penerus mereka.
Namanya Raden Aksara Yasa. Kesan pertama yang Karenina tangkap dari lelaki itu adalah gagah, tenang dan berwibawa. Sorot matanya yang tegas mencerminkan kecerdasan intelektual yang dimilikinya. Senyumnya begitu khas. Gaya berbicaranya seperti sudah ditata sebelumnya agar tidak mengeluarkan kata sembarangan. Dia begitu sopan dan penuh etika.
Aksara tidak banyak berkata, justru sorot matanya lah yang banyak berbicara. Tapi sekalinya berbicara begitu bermakna.
“Nggak nyangka ya, Yud, rasanya baru kemarin Karenina lahir dan kita semua nungguin kamu di rumah sakit, tau-tau sekarang udah tumbuh jadi cantik gini.”
Yudha tertawa terkekeh sambil memandang Karenina yang tersenyum canggung.
“Rasanya juga baru kemarin aku gendong dia, maunya sih tahun depan udah gendong cucu.” Yudha menimpali. Lalu semua yang ada di ruangan itu tertawa kecuali Karenina dan Aksara.
“Ngmong-ngomong Adeknya Nina mana, Mas Yudha?” tanya Mega.
Yudha melempar pandang pada Yurika yang langsung dijawab oleh sang istri.
“Ella sekolah model di Singapura.”
“Oalah… mau jadi artis toh.”
“Katanya sih gitu. Kami juga nggak bisa melarang. Saya dan Mas Yudha sudah memberikan arahan tapi tuh anak memang keras kepala.”
“Sudah, Ma, nggak usah bahas dia lagi. Makanannya udah siap apa belum? Biar kita bisa makan malam sekarang,” sela Yudha memutus bahasan mengenai putri bungsu mereka.
“Biar aku yang lihat, Ma, sekalian bantu Bi Mila.” Karenina segera berdiri dan meninggalkan ruang tamu menuju ruang makan.
Malam itu akhirnya mereka makan malam bersama. Dan sejak itulah kedekatannya dengan Aksara mulai terjalin. Pria cerdas itu bagaikan tempat Karenina menggali ilmu dan bertukar pikiran. Sedangkan bagi Aksara, Karenina adalah tipe wanita sempurna, mandiri, dan tidak neko-neko, yang kelak akan dia jadikan sebagai ibu dari anak-anaknya.
Hubungan mereka yang awalnya hanya berteman kian lama semakin dekat hingga akhirnya akrab. Karenina tidak punya sebuah alasan pun untuk menolak ketika Aksara menyatakan cintanya. Aksara terlalu sempurna dan dia belum menemukan cela sekecil apapun dari laki-laki itu.
Hingga sekarang, tahun kedua hubungan mereka, semua berjalan lancar. Hubungan mereka mulus dan bebas hambatan bak jalan tol. Keduanya selalu menghindari percikan yang akan menimbulkan pertengkaran. Kalau pun ada, itu hanya perselisihan yang segera diselesaikan sebelum melebar ke mana-mana. Aksara bukanlah tipe lelaki yang akan membiarkan wanitanya merajuk dan cemberut karena ulahnya. Hubungan yang terlampau sempurna itu seperti tidak ada tantangannya. Dan sekarang setelah bertemu kembali dengan Romeo membuat Karenina mengingat lagi kisah mereka dulu dan mulai membanding-bandingkannya. Mau tak mau.
Suara ponselnya yang berbunyi menyentak perempuan dua puluh tujuh tahun itu. Dia melihat layar handphonenya. Dari nomor tidak dikenal dan tidak terdaftar di kontak. Karenina membiarkan saja karena paling tidak suka menerima telepon dari orang tidak dikenal. Hingga panggilan itu terhenti dan berganti dengan sebuah pesan masuk.
”Karen, ini aku, Romy…"
Karenina masih ingat betul dan tidak akan pernah melupakan sepanjang hidupnya. Hanya ada satu Karen dan Romy di dunia ini. Di saat yang lain, mulai dari orang tuanya, keluarga, tetangga, para sepupu, kolega hingga rekan-rekan kerjanya memanggil dengan sebutan Nina, maka hanya Romeo lah satu-satunya yang memanggilnya Karen. Begitu juga sebaliknya. Cuma Karenina sendiri yang memanggil Romeo dengan nama Romy. Karen dan Romy adalah nama panggilan kesayangan mereka berdua.
Dengan tangan bergetar Karenina mengusap layar sentuh. Ragu akan membalas pesan itu atau mengabaikannya begitu saja. Hingga tanpa sadar setelah berdetik-detik lamanya Karenina mengetik sepotong kata.
“Ya?”
Di seberang sana Romeo mengernyitkan dahi lantaran Karenina yang hanya menjawab singkat. Romeo tidak tahu harus mengetikkan apa lagi. Setelah tahunan tidak bertemu, ini adalah untuk pertama kalinya dia berkomunikasi lagi dengan Karenina. Dan rasanya begitu berbeda. Seperti dua orang asing yang baru pertama kali berkenalan. Bahkan dia kesulitan mencari kata-kata untuk bahan obrolan.
”Kamu belum tidur?”
“Belum.”
Tuh kan hanya sepotong kata singkat jawabannya.
“Kenapa belum? Ini kan udah malam.”
“Gimana mau tidur, ini kan lagi chat sama kamu.”
“Sorry, aku ngeganggu berarti. Maaf ya…”
Selama beberapa detik hanya ada dua centang biru tanpa balasan apa-apa. Hingga kemudian senyum Romeo terbit begitu melihat tulisan typing di layar. Karenina sedang mengetik pesan untuknya.
“Kamu dapet nomer aku dari mana?”
”Mau tau apa mau tau banget?” Romeo mencoba bercanda. Ya, bercanda seperti dulu, zaman di mana saat mereka masih kasmaran.
“Romy, aku nggak lagi becanda. Kita juga nggak lagi pacaran.”
Jawaban Karenina menyentak Romeo, mengingatkannya pada kenyataan bahwa dulu mereka pernah bersama. Empat tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk menjalin kasih sebelum akhirnya mereka berpisah demi memenangkan ego masing-masing.
“Iya, aku tau. By the way, tadi reuninya seru ya.” Obrolan semakin keluar jalur karena Romeo tidak tahu harus mengatakan apa tapi masih ingin melanjutkan chatting dengan Karenina.
“Apanya yang seru?” Bagi Karenina tidak ada yang menarik dari acara temu kangen yang terjadi beberapa jam yang lalu. Baginya tidak lebih dari acara mempertontonkan pasangan, pamer kesuksesan serta selaksa kegiatan duniawi lainnya. Malahan Karenina menyesal karena sudah datang di acara itu jika endingnya dia harus bertemu lagi dengan lelaki dari masa lalunya. Ini semua adalah akibat Kia yang terus-terusan memaksa untuk ikut sejak pemberitahuan reuni tersebar. Karenina tidak tertarik untuk menghadirinya. Baginya unfaedah. Sialnya sahabatnya yang centil itu tidak menyerah sampai dia menyetujui untuk datang. Dan menyebalkannya lagi Kia menghilang nyaris di sepanjang acara.
”Serunya karena ada aku, karena kamu bisa ketemu sama aku.” Romeo membalas.
“Dih, narsis!” kecam Karenina, dan emoji LOL pun bertebaran di layar gawainya.
“Ren, tapi ini serius. Bisa nggak ya kita ketemuan besok? Aku mau traktir kamu makan soalnya beberapa hari lagi aku harus balik ke Lombok.”
”Sorry, Rom, aku nggak bisa, lagi sibuk,” Karenina menolak tawaran Romeo.
“Sibuk ngapain? Sibuk mikirin aku ya?”
Ih… Karenina memutar mata membaca balasan chat dari Romeo. Dari dulu sampai sekarang mantan kekasihnya memang tidak berubah. Tengil, narsis dan jago gombal. Gombalan recehnya itulah yang membuat Karenina takluk di pelukannya. Hebatnya Karenina mampu bertahan dengannya selama empat tahun.
”Karen, gimana? Bisa kan?” sebuah pesan masuk lagi karena Karenina tidak membalas.
”Aku sibuk kerja, aku nggak bisa.” Sekali lagi Karenina menolak.
”Tapi nggak mungkin kamu nggak ada istirahatnya. Aku jemput kamu pas jam istirahat siang ya… Aku kangen makan soto daging di kantin kampus kita dulu. Eh, masih ada nggak ya kantinnya? Atau ke Plaza Steak juga boleh. Mau ya, Ren?”
Karenina menghela nafas saat Romeo menyebutkan nama tempat makan favorit saat mereka masih menjalin kasih dulu. Terlebih saat pesan yang Romeo kirim disertai dengan emoji mata berkaca-kaca. Seolah lelaki itu merengek agar Karenina memenuhi keinginannya.
“Kantor kamu di mana, biar besok aku jemput.” Romeo mengiriminya sebuah pesan lagi.
“Nggak usah, besok aku sibuk, aku nggak bisa ke mana-mana. Udah malam, aku mau tidur.” Karenina mengakhiri obrolan mereka melalui aplikasi perpesanan instan dan lantas mematikan handphonenya.
’Kita sudah selesai sejak lama, i'm done with you,’ Karenina bergumam pelan.
Perempuan itu kemudian menarik selimut hingga menutupi mukanya. Dia hanya ingin tidur tanpa gangguan apapun dan tidak ingin memikirkan apa-apa, termasuk lelaki dari masa lalu yang kembali muncul tiba-tiba.

”Besok Ella pulang, dia minta dijemput di bandara.” Yurika mengawali percakapan di meja makan pagi itu.
“Tumben, Ma?” Karenina menanggapi. Setelah sekolah model di Singapura, Ella, adik satu-satunya memang bermukim di negara singa itu dan merintis karir di sana. Berkat tekadnya yang begitu kuat serta ketekunannya, gadis itu berhasil menjadi salah satu fotomodel yang patut diperhitungkan. Meski namanya belum sepopuler para model cantik kelas dunia, Ella mungkin boleh berbangga hati dengan kesuksesannya. Dia membuktikan bahwa apapun yang dilakukan dengan sungguh-sungguh pasti tidak akan berbuah sia-sia. Pada akhirnya hasil memang tidak akan pernah mengkhianati usaha. Hanya saja Yudha serta Yurika hingga detik ini masih saja tidak menyetujui jalan hidup serta profesi yang dia pilih.
“Katanya kangen pengen makan durian, sekarang kan lagi musim durian.” Yurika menjawab pertanyaan Karenina.
Karenina tersenyum tipis. Ada-ada saja.
“Yakin, Ma, cuma karena itu dia pulang?”
“Katanya juga sekalian mau ngenalin pacarnya,” imbuh Yurika menambahkan.
Nah, benar kan dugaan Karenina. Tidak mungkin Ella kembali ke Indonesia hanya karena ingin makan durian.
“Memangnya siapa pacarnya Ella, Ma? Orang Indonesia? Atau dia bawa dari sana?” Karenina bertanya setelah menyesap teh hangat dari cangkirnya.
”Itu dia yang Mama nggak tau, katanya surprise, jadi kita lihat aja nanti.”
“Tumben ya, Ma, dia pake ngenalin pacar segala.”
“Iya, katanya yang ini serius. Mau dijadiin suami katanya.”
”Oh, Ella udah mau nikah?” Karenina hampir saja tersedak mendengarnya.
“Ya belum, kan kamu duluan. Pokoknya nanti kalau kamu udah nikah sama Aksa nggak pake acara tunda dan KB-KB an ya, Nin! Inget lho, nggak semua perempuan dengan mudah dikasih keturunan.”
”Iya, Ma. Aku berangkat ya!” Karenina meninggalkan ruang makan saat mendengar klakson mobil Aksa.
”Aksa, nggak mau ngopi dulu?” seru Yurika yang ternyata menyusul ke depan mengiringi langkah Karenina yang tadi berpamitan padanya.
”Terima kasih, Tante, mungkin lain kali, tadi saya udah ngopi sama sarapan di rumah,” tolak Aksa halus dari dalam mobilnya.
“Hati-hati kalau begitu.”
“Baik, Tante.” Aksa menjawab sopan sembari tersenyum hangat dan menganggukkan kepala.
“Aku berangkat, Ma,” pamit Karenina sekali lagi sambil menciumi tangan Yurika kemudian masuk ke dalam mobil.
Yurika berdiri di tempatnya melepas anak dan calon menantunya. Tidak setiap hari Aksa menjemput Karenina seperti ini. Hanya di saat-saat tertentu dan jika dia tidak sedang sibuk.
Sehari-hari Yurika tinggal di rumah karena dia adalah ibu rumah tangga biasa. Sedangkan Yudha, suaminya, bekerja sebagai ASN. Hidup mereka biasa-biasa saja. Tidak berlebihan dan juga tidak kekurangan. Namun tentu saja harapan keduanya agar para putri mereka bisa hidup jauh lebih layak dari mereka saat ini. Itulah sebabnya Yudha dan Yurika sangat bersyukur begitu Karenina yang mereka perkenalkan dengan Aksa ternyata cocok satu sama lain. Aksara sudah mapan secara finansial dan dewasa dari segi pemikiran, membuat Yudha dan Yurika begitu dengan senang hati mempercayakan anak mereka pada lelaki itu.
“Hari ini sibuk, Nin?” tanya Aksa setelah mereka melintas di jalan raya yang pagi itu ramai dan padat oleh kendaraan.
“Lumayan sih, hari ini aku harus recheck lagi ke hotel. Nanti malam ada acara ulang tahun perkawinannya Tante Putri,” jawab Karenina menerangkan.
”Tante Putri yang mana?”
“Putri Suryadiningrat.”
”Oh, yang crazy rich itu?”
“Iya, bener.”
“Kamu kayaknya udah deket banget ya sama dia sampe panggil tante segala.”
Karenina tertawa ringan. “Nggak juga sih, cuma dia keberatan dipanggil ibu dan minta aku buat panggil tante aja.”
Lalu keduanya sama-sama tertawa.
“Oh iya lupa, kayaknya aku diundang deh ke party-nya dia nanti malam,” cetus Aksa kemudian. Statusnya sebagai pengusaha sukses membuat lingkup pergaulannya tidak jauh-jauh dari kaum borjuis.
“Terus kamu mau datang?”
“Sayangnya nggak, aku harus nemenin Mr. Kwang dinner. Kalau besok dia nggak balik ke Korea bisa aja sih dinner-nya diundur dulu.”
“Oh, ya udah temenin dia aja. Tapi kalau nanti malam kamu bisa nemenin dia dinner berarti nanti siang kamu juga bisa dong nemenin aku makan siang?” ujar Karenina penuh harap. Selama ini Aksa terlalu sibuk. Waktu luang adalah sesuatu yang sangat mahal baginya.
Aksa memutar kepala ke arah Karenina sambil tangannya tidak lepas dari setir. Pria itu memasang tampang sangat menyesal karena harus mengecewakan tunangannya.
”Nina, maaf ya, sayangnya aku nggak bisa. Siang nanti aku ada meeting, nggak apa-apa ya kalau lain kali kita makan barengnya?”
“Ya udah deh,” ucap Karenina yang meskipun kecewa namun mencoba untuk menerima.
Aksa tersenyum sambil mengulurkan tangan mengusap pundak Karenina. Inilah yang disukainya dari perempuan yang saat ini sudah resmi menjadi tunangannya. Kesabarannya yang tanpa batas dan pengertian seluas samudera.
”Kamu nggak marah tapi kan?”
”Memangnya kapan sih aku pernah marah?”
Aksa tersenyum sekali lagi. Rezeki tidak hanya sebatas uang dan harta. Memiliki seseorang yang dicintai dan penuh pengertian seperti ini jauh lebih berarti.
Aksa menghentikan mobil di depan gedung Groovy Party, nama event organizer tempat Karenina bekerja. Meskipun disertai kata party, namun EO tersebut tidak hanya menangani party atau pesta. Mereka menyediakan jasa apa saja sesuai dengan permintaan dan keinginan klien.
“Aku turun ya, Sa,” pamit Karenina sebelum membuka pintu mobil.
“Have a nice day.”
Karenina tersenyum tipis dan kemudian keluar dari mobil Aksa. Dia segera masuk. Namun baru beberapa langkah, kakinya tiba-tiba terhenti begitu mendengar suara seseorang yang sudah sangat dia hafal.
”Nin, tunggu!”
Karenina menoleh ke belakang dan melihat Kia berjalan tergopoh-gopoh menyusulnya.
”Jalan lo kenceng bener kayak dikejar setan aja,” ujar Kia setelah berhasil mensejajari langkahnya.
“Gue mau nelepon Tante Putri soalnya.”
“Ada masalah?” Kia menunjukkan muka serius. Walau bagaimanapun human error yang disebabkan oleh salah seorang dari mereka merupakan tanggung jawab semua anggota tim.
”Nggak sih, gue cuma mau nanya apa ada yang kurang, takutnya ada butuh apa gitu.”
“Oh, gue kira apaan. Eh tadi gue lihat lo dianter Aksa ya?”
“lyess.”
”Tumben?” Kata yang diucapkan Kia sarat akan keheranan. Semua orang yang mengenal Karenina tahu bagaimana sibuknya seorang Aksa. Karirnya yang cemerlang membuatnya sedikit kesulitan menyisihkan waktu luang.
”Ya kebetulan aja sih, mumpung lagi sempet, sama kayak kemarin pas ngejemput gue pulang reuni itu pun karena lagi sempet. Lo tau sendiri lah biasanya gimana.”
”Hm, iya juga. Eh, Nin, Romeo ada nge-chat lo nggak?” Tiba-tiba saja Kia teringat lelaki itu begitu Karenina menyebut kata reuni.
Karenina menatap curiga pada Kia. Tidak salah lagi, pasti Romeo tahu nomor selulernya dari Kia.
“Ih, lo kok gitu banget sih ngeliat gue?”
“Lo kan yang ngasih nomer gue ke Romy?”
“Cie… masih panggil Romy,” ledek Kia menertawai Karenina. Orang-orang terdekat Karenina tahu bahwa Romy adalah nama panggilan kesayangan Karenina untuk Romeo, dan mereka juga hafal persis bahwa Karen adalah sebutan kesayangan Romeo untuk Karenina.
Karenina memalingkan muka, menyembunyikan pipinya yang memanas dan memerah.
“Cie… pake malu-malu.” Kia kembali meledek sahabatnya. Jujur, Kia tidak pernah menyaksikan ekspresi tersipu Karenina seperti ini begitu menertawakannya dengan Aksa.
“Apaan sih lo?”
”Jadi dia udah menghubungi lo belum?”
”Berarti bener kan lo yang kasih nomer gue ke dia?”
“Iya sih, hehe… jangan marah ya, Nin, abisnya doi maksa banget minta nomer lo.”
Karenina berdecak kesal. “Resek banget lo jadi orang.”
“Tapi lo seneng kan?”’ goda Kia lagi.
”Ngapain juga gue harus seneng. Tuh orang nyebelin, lo tau nggak?”
”Nyebelin gimana maksud lo?”
”Pokoknya nyebelin. Titik.” Karenina tidak ingin membahasnya lagi dan kebetulan sekali suara ponselnya yang berdering menyelamatkannya.
Yang menelepon adalah Putri Suryadiningrat, klien Groovy Party yang langsung ditangani oleh Karenina. Awalnya Karenina pikir wanita sosialita itu butuh sesuatu, ternyata bukan, perempuan itu mengundangnya untuk hadir di pesta ulang tahun perkawinannya nanti malam.

“Nin, ada Romeo di depan.”
Karenina merasa jantungnya hampir saja terlepas dari rongga kala Kia memberitahunya.
“Lo jangan becanda, Kia.”
“Beneran deh gue nggak becanda. Dia memang ada di depan.”
Karenina berdiri cepat dari kubikelnya. “Tapi gimana bisa dia tau gue di sini? Lo pasti kan yang bilang?”
”Ups! Sorry, Nin, gue nggak sengaja, habisnya dia maksa gue dan belum mau berhenti sebelum gue kasih tau.” Kia menggaruk-garuk kepalanya, merasa bersalah sekaligus tidak enak. Kia berada pada posisi yang tidak menguntungkan yang mau tidak mau membuatnya memberitahu Romeo. Gencarnya laki-laki itu ingin tahu Karenina kerja di mana mengingatkan Kia saat dulu Romeo mendekati sahabatnya itu hingga berhasil memiliki hatinya. Kia adalah saksi hidup romansa kasih Romeo dan Karenina dulu. Dan sekarang dia juga menjadi saksi nyata hubungan Karenina dan Aksara.
“Kemarin lo kasih nomer hp gue ke dia, sekarang lo kasih alamat kantor kita, besok-besok lo tunjukin alamat rumah gue,” omel Karenina. Rumah zamannya kuliah dulu memang bukan rumahnya yang sekarang, jadi wajar kalau Romeo tidak tahu.
”Ya maaf, namanya juga nggak sengaja. Lo temuin dulu gih!”
Karenina menyeret langkah berat dan malas. Dan apa yang ditemuinya di lobi membuat perempuan itu termangu untuk beberapa detik.
Beberapa pekerja Groovy mengerubungi Romeo dan berswafoto dengannya. Beberapa di antaranya meminta tanda tangan Romeo.
“Makasih ya, Romeo.”
”Iya, sama-sama.” Romeo tersenyum ramah. Lesung pipinya di bagian kiri tercetak jelas saat dia tersenyum seperti itu. How sweet!
”Hei, Nin, ngapain lo bengong di sini?” tegur Titi, perempuan yang baru saja foto bareng Romeo pada Karenina yang mematung. Suara kerasnya memaksa Romeo memandang padanya. Lelaki itu melempar senyum.
“Eh, nggak ada apa-apa,” Karenina tergagap.
”Lo mau foto bareng Romeo juga? Lo tau kan dia pembalap itu lho!”
Karenina menggelengkan kepala. “Nggak, gue nggak mau foto.”
Satu demi satu cewek-cewek yang tadi mengerubunginya seperti semut lantas bubar meninggalkan Romeo setelah mendapatkan apa yang mereka inginkan.
“Nggak nyangka ya ternyata Romeo baik banget.”
“Iya, udah gitu nggak sombong.”
“Aslinya cakep banget dari pada yang gue lihat di YouTube.”
Bisik-bisik penuh kekaguman yang ditujukan pada Romeo terdengar oleh telinga Karenina yang membuatnya menyadari bahwa Romeo adalah seorang bintang sekarang. Bahkan saat dulu berpacaran dengan Romeo dia sempat merasa insecure. Merasa tidak layak bersanding dengannya.
“Karen…” Romeo berjalan mendekati Karenina yang diam di tempat. “Aku mau ajak kamu makan siang, Ren.”
“Kamu tau dari mana aku kerja di sini?” tanya Karenina untuk pertanyaan yang sudah dia ketahui jawabannya.
”Nggak penting aku tau dari mana. Yang penting sekarang kita makan yuk, aku laper nih.”
Tiba-tiba saja Romeo sudah menggandeng tangannya dan seperti terhipnotis Karenina tidak mampu menolak. Kakinya mengikuti langkah Romeo meninggalkan lobi gedung Groovy.
Romeo membukakan pintu mobilnya untuk Karenina dan menyuruh masuk, setelahnya menutupkan kembali dan berjalan memutari mobil untuk masuk melalui pintu sebelah kanan.
Karenina sesaat membeku. Ya Tuhan, cara lelaki itu memperlakukannya masih sama seperti dulu. Waktu mungkin berlalu sekian lama, tapi Romeo tidak berubah. Dia tetap pria muda gombal yang romantis yang dulu Karenina cintai setengah mati.
“Bengong aja, Ren, jadi kita ke mana nih?”
Ternyata Romeo sudah duduk di sebelahnya dan mesin mobil sudah menyala. Entah berapa lamanya Karenina melamun.
”Terserah kamu aja.”
“Ke kampus ya? Ke kantin Bu Nira, aku kangen pengen makan soto daging.”
”Masih ada memangnya?” tanya Karenina merasa ragu dan tidak yakin. Sembilan tahun berlalu jika dihitung sejak pertama masa kuliah, dan Karenina tidak yakin jika tempat makan favorit mereka dulu masih ada.
“Makanya kita lihat ke sana dulu.”
”Apa nggak sia-sia kalau ternyata udah nggak ada?” pikir Karenina. Selain tempatnya jauh, jalanan juga biasanya macet siang-siang begini.
“Nggak ada hal yang sia-sia di dunia ini, Ren.”
Ah, kata-kata itu yang selalu diucapkan Romeo. Dulu Romeo selalu mengatakannya jika akan mencoba sesuatu atau sedang terpuruk. Ternyata dia memang tidak berubah sama sekali. Dia tetap pria yang optimis dan penuh keyakinan sekaligus keras. Jika menginginkan sesuatu maka Romeo akan teguh mempertahankannya.
Romeo tersenyum lantas membingkai wajahnya dengan kaca mata hitam melihat Karenina yang terdiam.
“Aku lihat tadi fans kamu banyak juga, keren banget,” cetus Karenina mengingat teman-teman kantornya yang tadi begitu antusias saat melihat kehadiran Romeo.
“Sayangnya kamu nggak ngefans sama aku,” balas Romeo.
Karenina tersenyum kecut. “Aku nggak suka pembalap, apalagi pembalapnya playboy kayak kamu.”
Romeo terkekeh geli. “Dari dulu kamu kan emang nggak pernah support aku. Lagian aku playboy gimana sih?”
”Gimana nggak playboy kalau hobinya ganti-ganti cewek mulu.”
“Memangnya kamu tau dari mana?”
“Dari gosip.”
“Gosip kan belum tentu bener, namanya aja digosok makin sip, ya nggak? Eh, tapi kalau kamu tau gosip tentang aku berarti kamu ngikutin dong. Jangan-jangan memang ngefans nih sama aku.”
“Ih geer.”
“Haha…”
“Gimana aku bisa ngefans sama orang yang ceweknya nggak bisa dihitung dengan jari.” Ada nada tidak suka dari suara Karenina dan Romeo menangkapnya dengan baik.
”Aku memang dekat dengan banyak cewek, tapi cuma begitu doang. Lepas perjakanya tetap sama kamu.”
Bagai tersetrum listrik saat Karenina mendengar ucapan lugas Romeo. Detak jantungnya yang tadi normal menjadi bertalu-talu. Wajahnya berubah pucat pasi. Darah seakan berhenti mengalir di pembuluhnya.
Yang bisa Karenina lakukan hanya diam dan melempar pandangan ke jalan di sebelah kiri. Sedangkan dari balik kacamata hitamnya Romeo memandang Karenina yang mencoba menghindar darinya.
“Lihat sini, Ren, nggak usah malu. Meskipun aku tau tahi lalat kamu ada di bagian mana saja tapi aku nggak akan bahas itu sekarang.”
Oh shit!
Karenina sontak menoleh ke arah Romeo dan menyilangkan kedua tangan di depan dada. Justru dia benar-benar sangat malu sekarang.
Sementara Romeo yang berada di dekatnya kini bersiul sambil terus menyetir seakan tidak mengatakan apa-apa.
Bersambung~

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
