
"Tch! Gue kira karena kondisi lo yang disalibitas gitu lo jadi cewek baik-baik, ternyata lo sama murahnya dengan cewek aplikasi ijo. Gue penasaran Bumi bayar lo berapa per malamnya."



05|Penyebab Kehancuran
Hari ujian akhir sekolah sudah di depan mata, tak terasa tersisa satu langkah lagi Binar akan lulus. Terus terang saja ia tak menginginkan ijazah kuliah, cukup dengan ijazah SMA pun ia sudah bersyukur. Ia memang sudah berencana untuk keluar dari rumah keluarga Bumi setelah menamatkan sekolah. Mencari pekerjaan yang sekiranya bisa menghidupinya sendiri. Ia tak ingin menjadi beban lebih lama. Walau keluarga Bumi menjaminnya untuk kuliah gratis, Binar ingin menolak saja.
Namun, itu tak seperti yang Bumi inginkan. Binar tak tahu hati Bumi itu terbuat dari apa, ia begitu gigih mendorong Binar untuk kuliah. Meski keduanya tak punya hubungan spesial, dia terus meyakinkan Binar untuk melanjutkan ke bangku kuliah.
Bumi bilang sangat tanggung jika Binar harus berhenti di ijazah SMA. Masalahnya, binar sendiri memiliki ketakutan akan tertolak di universitas manapun karena keterbatasan fisiknya ini. Padahal nilai-nilainya bagus, mungkin Binar terlalu pesimis.
Meski begitu, Binar tak sanggup untuk menolak usaha Bumi untuk membujuknya berkuliah. Asal tahu saja, setiap malam selepas pulang KOAS dari rumah sakit, tanpa memperdulikan fisiknya yang lelah Bumi terus datang mengetuk pintu kamarnya.
Tidak, bukan untuk melakukan hal tak terpuji. Sebagaimana malam ini, ketukan pintu tak lagi mengejutkan Binar, ia merapikan rambutnya lalu bergegas menemui siapa yang ada di balik pintu.
"Hai, gimana? Udah siap belajarnya?" itu Bumi yang berdiri memegangi buku berisi contoh soal ujian masuk universitas.
Kamar Binar terletak di bagian paling belakang, bersebelahan dengan kamar Mbak Titin. Berulang kali Binar mengingatkan agar Bumi jangan menemuinya di kamar malam-malam takut orang rumah yang lihat salah paham, hanya saja Bumi tak menggubris. Baginya belajar di kamar Binar tak masalah, toh mereka memang tak melakukan apapun.
Biasanya Binar akan membuka meja belajarnya di lantai, meja lipat yang tak begitu tinggi. Mereka harus duduk berhadapan di lantai ketika memulai sesi belajar.
"Jadi nanti kalau mau ngerjain soal, baca dari pertanyaan dulu jangan terkecoh sama soal yang panjang. Kalau kamu udah tahu soalnya, baru deh baca ke atas. Nah, kerjain yang mudah dulu aja, kalau kamu rasa susah skip dulu ya."
Bukannya memperhatikan dengan serius ucapan Bumi yang sedang mengajarinya.
Binar malah mengigigit pensilnya seraya mengamati wajah Bumi yang terlihat lelah namun tak mengurangi sedikit pun kadar ketampanannya. Bumi memiliki poni depan yang menutupi keningnya, ia punya lesung pipi dan kulit yang putih bersih. Bumi mode pakai kacamata seperti sekarang ini adalah bagian favorit Binar. Tidak hanya tampan, kacamata itu jelas menunjukkan kepintaran Bumi.
"Hei, Binar, kamu denger gak sih? Kok dari tadi kayaknya aku ngomong sendiri ya?" Bumi membenarkan kacamatanya. Sadar jika muridnya ini malah fokus ke lain hal.
Binar yang malu segera menghadap ke buku, ia pura-pura fokus membaca soal.
Bumi tidak bodoh, ia tahu sejak tadi Binar memperhatikannya. Sudah sejak lama Binar melakukan itu kapan pun mereka berdekatan.
Bumi membalik buku soal yang Binar baca yang artinya Binar gak punya alasan lain untuk menutupi kesaltingannya.
Bumi menopang dagu di depan Binar sambil senyum.
"Lanjutin aja ngeliatnya. Aku gak marah. Tadi kamu lagi lihatin apa kok kayaknya serius banget. Kayaknya pelajaran aja kalah sama yang kamu lihat tadi," goda Bumi secara halus.
Binar menggeleng malu, ia mengelak. Tangannya "Eggak, ai au ihatt embok. Uan umi." (Enggak, tadi aku lihat tembok. Bukan bumi.)
Bumi yang mendengar itu terkekeh, tawa pelan yang ia kontrol agar tak kedengaran sampai di luar kamar.
"Kok kamu salting gitu sih? Aku cuma tanya lihat apa tadi, kamu langsung ngelak bilang gak lihat aku. Ciee Binar gugup ya? "
Terlalu malu, Binar refleks memukul pelan bahu Bumi. "Ao an'utt ea'aar." (Ayo lanjut belajar.)
Binar membaca kembali bukunya, namun pertanyaan yang tiba-tiba Bumi lontarkan nyaris saja membuat jantungnya menggelinding ke lantai.
"Binar kan udah otw dewasa nih, ada orang yang kamu suka gak sih?"
"Eeh?" Binar mengepal tangannya, kedua telunjuknya ia tekuk ke bawah lalu membentuk kepalan tangan lagi yang artinya, "Apa?"
"Aku tanya, selama ini ada yang kamu suka gak? Misal teman sekolah?"
Tanpa bisa Binar cegah, ia sudah tersenyum malu. Pipinya memanas. Binar yang takut jika pipi meronanya di lihat oleh Bumi, menjadikan buku sebagai tameng penutup wajahnya.
"Boleh tahu dia orang yang seperti apa?"
Gawat, Bumi terus memancingnya.
"Oangnya aikk." (orangnya baik.)
"Ahh gitu. Ganteng gak? Ganteng mana sama aku?"
Bumi tiba-tiba menaruh tangannya di kening Binar. "Kamu gak lagi demam tapi pipi kamu kenapa merah sih Binar?"
Binar gelagapan bukan main. Ia ingin menyudahi belajarnya di sini saja.
Kadang Binar bingung mengapa Bumi terkesan menaruh rasa padanya juga. Memberikan harapan yang tak seharusnya.
"Nggak usah diterusin deh. Ayo lanjut belajar, yang tadi itu anggap aja pertanyaan selingan biar gak stres. Okey?"
"O'ey!"
Mereka melanjutkan pelajaran hingga jam untuk belajar mereka selesai. Binar membukakan minuman susu dalam botol yang ia sengaja beli untuk Bumi tadi sepulang sekolah.
Sayangnya ketika mencoba membuka botol susu, susunya malah tumpah mengenai celana jeans Bumi. Mana warna susunya putih.
Binar yang panik memberikan tisu, ia menangkupkan tangan di depan wajah terus menerus sebagai permohonan maaf.
"Gak apa-apa. Santai aja, ini juga mau mandi kok habis ini."
Karena insiden kecil ini kegiatan belajar jadi tertunda.
Sebelum membuka pintu kamar, Binar meraih ujung kaos yang Bumi pakai. Bumi menoleh padanya dengan tatapan penuh tanya.
"Kenapa Binar?"
"An'nu.. Oal oang ang au u'aa addi, onggg-" (Anu, soal orang yang aku suka tadi, tolong-)
"Rahasiain? Tenang, aku gak bakal bilang siapapun, ini rahasia kita berdua." Bumi meraih tangan Binar kemudian menautkan kelingking mereka. "Janji."
"Oh ya, ada sesuatu buat kamu." Bumi merogoh saku celananya, ia mengeluarkan sebuah jepitan berbentuk pita putih. "Buat kamu. Tadi kebetulan nemu chiki."
Tak hanya memberi, Bumi juga menjepit poni Binar dengan jepitan manis itu.
"Khem, cantik," ceplosnya. "Maksud aku jepitannya. Eumh... Udah dulu ya. Dah, Binar."
Bumi cepat-cepat balik badan, ia memejamkan mata. Binar merasa tingkah Bumi agak aneh.
Bumi kemudian keluar dari kamar. Di luar kamar, tanpa Binar ketahui, Bumi tersenyum. Jepitan tadi bukanlah hadiah chiki tapi memang sengaja ia beli untuk Binar. Senang mengetahui Binar ternyata memang menyukainya. Tapi ini bukan hanya tentang jepitan melainkan dirinya.
Tanpa mendengarnya secara langsung pun Bumi bisa tahu dari sikap dan pipi Binar yang memerah setiap bersamanya. Gadis itu memang menaruh hati untuknya.
Bumi menunduk, ia membuka resleting celananya yang ternyata basah sampai ke dalam-dalam.
"Haish... Lengket banget susunya."
Saat Bumi melangkah dari depan pintu kamar Binar, ia terhenti karena melihat Praga yang duduk di meja bar khusus minum yang ada di dekat dapur.
Praga tersenyum penuh arti padanya. Ia melirik ke celana Bumi yang basah dan baru saja keluar dari kamar Binar hampir tengah malam begini.
"Ga, lo dari tadi?" Bumi basa basi.
Praga yang sedang minum wine, masih tersenyum. "Dari tadi. Gue lihat semuanya."
"Itu... Pokoknya ini gak kayak yang lo pikirin. Gue tadi habis ngajarin Binar, dia bentar lagi mau tes masuk kampus soalnya. Jadi," Bumi mendekat ke meja bar. "Boleh minta tolong lo jaga rahasia ini dari keluarga gue?"
"Lah kenapa mesti dirahasiain kalau emang cuma ngajar dia? Ngomong-ngomong celana lo sampai basah gitu Bum. Mantep banget tuh cewek?" singgung Praga.
Bumi mencoba menjelaskan. "Serius Ga, gue gak ngapa-ngapain. Ini bekas kena tumpahan susu tadi di dalem kamar Binar."
Bumi memutar bola mata diiringi decakan meragukan.
"Terserah lo Bum. Bukan urusan gue kalau lo mau tidur sama tuh cewek bisu atau gak. Cabut lo."
"Gue mohon banget hal ini jangan sampai ke telinga orangtua gue. Gue gak mau Binar sama gue dikira ngelakuin yang enggak-enggak."
Praga menaruh gelasnya dengan kasar ke meja. "Lo ngapain sih mohon-mohon sampai segitunya. Kalau emang lo yakin gak ada apapun sama dia di kamar itu ya udah santai aja. Lagian lo udah dewasa, mau lo tidurin cewek manapun juga terserah lo lah."
"Ya terserah lo deh, gue tahu lo kesel sama gue sampai sekarang tapi please jangan libatin Binar. Dia gak salah apapun."
"Gak salah apapun? Tch. Ngomong-ngomong gue lihat foto postingan terbaru lo di instagram, keren ya make pakaian dokter. Lo dapetin mimpi yang lo mau sejak kecil."
Bumi tahu Praga tak sungguh memujinya, karena kecelakaan lima tahun lalu, Praga harus membuang mimpinya sebagai atlet berbakat. Sore itu, Bumi yang minta tolong ke Praga untuk diajari menyetir mobil, Praga mengiyakan tapi siapa sangka di perjalanan pulang terjadi kecelakaan yang merenggut nyawa Ibu Binar.
"Gue duluan, jangan kebanyakan minum." Bumi berlalu meninggalkan Praga.
Praga menuangkan sisa wine ke dalam gelasnya. Ia menengguk minuman itu sambil melihat ke pintu kamar Binar. Kakinya membawa tubuhnya ke depan pintu kamar Binar.
"Tch! Gue kira karena kondisi lo yang disalibitas gitu lo jadi cewek baik-baik, ternyata lo sama murahnya dengan cewek aplikasi ijo. Gue penasaran Bumi bayar lo berapa per malamnya."
Silent Marriage|ZEFMON
06|Luka yang Meradang
Ruang makan di keluarga Bumi malam ini lebih ramai dari biasanya karena keluarga Bumi kedatangan tamu dari luar kota. Binar juga mengenal anak dari tamu yang hadir ini.
Gadis cantik berambut panjang lurus sepunggung yang duduk di depan Bumi itu merupakan designer muda kebanggaan Indonesia. Shanon namanya. Bukan hanya memiliki paras jelita, Shanon juga memiliki segudang talenta sejak muda. Bermain piano, memasak, menjahit, melukis dan banyak lainnya. Sejak dulu ia hampir selalu berada di sisi Bumi.
Ya terang saja, orangtua mereka yang sama-sama dari keluarga terpandang itu memang bersahabat, wajar jika anak mereka juga. Praga juga mengenal Shanon. Ketiganya menjalin pertemanan yang baik.
Sikap Shanon pada Binar pun lebih baik dari Sukma. Setiap singgah ia pasti memberikan sesuatu pada Binar. Wah, kadang Binar berpikir, apa yang gadis itu tak miliki?
"Binar, ayo duduk samping aku yuk. Kamu pakai baju yang waktu itu aku kasih kan?" Shanon sampai berdiri dari kursinya agar Binar mau ikut duduk.
Binar yang sungkan menolak halus. Tapi Shanon memaksanya duduk. Ya mau gimana lagi, ia menurut.
"Binar sekarang kelas berapa?"
"I'ga." (Tiga.)
"Pftt... Iga sapi kali," celetuk Praga dari seberang sana.
Bumi memasang mata sinis ke arah Praga yang bertingkah kekanakan.
"Oh ya, kedatangan kami kemari untuk membicarakan perihal yang tempo hari sudah kita diskusikan. Gimana, mau kita bahas sekarang mumpung anak-anak ada di sini?" Mama Shanon membuka pembicaraan, disambut senyuman setuju dari Tante Sella.
"Boleh banget, ayo kita bahas sekarang aja."
"Memangnya ada bahasan apa ya Ma?" tanya Bumi. Ia seperti satu-satunya orang yang tak tahu apapun hingga sang Mama menyampaikan semua rencana mereka di belakang Bumi.
"Jadi gini, kami dan orangtua Shanon kan sudah bersahabat cukup lama. Kamu dan Shanon juga sudah kenal baik sampai ke bibit bobot bebetnya gitu loh sayang."
"Langsung ke intinya aja Ma, maksudnya gimana?"
"Kami sudah sepakat untuk menjodohkan kalian, dua keluarga sudah saling kenal dan kalian juga cocok, apa lagi yang perlu di tunggu? Shanon sudah punya bisnis, kamu juga lagi sementara menyelesaikan profesi kedokteran kamu. Gak masalah kalau kalian menikah muda juga. Orangtua sama-sama mampu. Bukan begitu Pa?"
Om Anthony membenarkan."Betul, begitu lulus, kamu bisa bekerja di rumah sakit milik Ayah Shanon. Kalian gak usah kuatir jika harus menikah muda."
Sontak saja Bumi yang mendengar itu menaruh sendok makannya. Binar juga ikut terkejut, namun ia tak berani mengangkat wajahnya, ia terus memasukkan makanan ke dalam mulutnya, takut jika berhenti mengunyah ia mungkin akan menangis nantinya.
Shanon keluar dari kursinya."Ma, Pa, kita perlu bicara. Aku tunggu." sepertinya ia termasuk orang yang tak tahu apa-apa di sini.
Shanon pergi ke tempat yang cukup sepi bersama Mamanya. Ia meluapkan rasa keberatannya akan rencana perjodohan ini.
"Ma, kok Mama dan Papa gak bilang apa-apa sama aku sih? Kalian bilang kita ke sini cuma mau makan bersama setelah sekian lama. Lalu kenapa tiba-tiba ngomongin soal perjodohan? Apalagi itu sama Bumi?"
"Loh kenapa sayang? Bumi anak yang baik, ganteng pula, dari keluarga yang jelas baik juga. Bukannya kamu suka sama dia?"
"Suka? Mama ternyata gak tahu apapun ya tentang aku!"
"Sebentar sayang, kamu sendiri yang cerita ke Mama kalau suka salah satu anak dari keluarga Om Anthony, iya kan?"
Shanon memijat keningnya. "Aku suka sama keluarganya yang lain Ma! Emang cowok seumuran aku di keluarga mereka cuma Bumi?!" suara Shanon meninggi.
"Shanon!" sang Mama ikut membentak. "Mama bukannya gak tahu apapun, Mama tahu kamu suka sama 'dia' kan? Mama tahu dia dari keluarga tersohor juga, tapi apa kamu lupa kalau dia punya jejak sebagai kriminal? Dia pernah loh jadi tersangka! Mau kamu punya anak dari seorang mantan kriminal?"
"Ma, dia gak nabrak dengan sengaja! Toh kecelakaan itu lima tahun yang lalu, orang juga udah lupa."
"Terus, terus kamu ngebantah. Mama nggak mau tahu, kamu mau dijodohin sama Bumi atau Mama tarik semua klien VIP kamu dari butik yang baru kamu rintis. Mama gak segan-segan loh ini, jangan karena kamu pikir kamu anak tunggal lalu bisa seenaknya. Mama cuma memikirkan yang terbaik buat kamu termasuk calon pendamping!"
Shanon sangat stres, ia hampir mengacak rambutnya. Ia tak menyukai Bumi. Yang ia sukai orang lain. Praga.
"Tapi Ma-"
"Gak ada tapi lagi, kamu memangnya mau kelak anak kamu tahu jika Ayahnya pernah menghilangkan nyawa orang lain. Mau ditaruh di mana reputasi keluarga kita Shanon?"
"Ma..."
"Cukup, Mama gak peduli perasaan kamu. Bumi pilihan suami terbaik."
Diam-diam, Praga yang tak sengaja lewat mendengar itu semua. Tadinya ia ingin mengasingkan diri di kamar, di bawah berisik akan perdebatan. Tapi hal yang menyakitkan itu kembali harus ia dengar.
Shanon menyukainya, ia sendiri juga menyayangi Shanon sejak dulu, lima tahun yang lalu ia berencana jujur mengenai perasaannya pada Shanon, sial, sehari sebelum rencana itu ia sudah lebih dulu mendekam di jeruji besi. Walau singkat, itu sangat menyakiti Praga.
Namun mendengar penuturan Mama Shanon yang selama ini memperlakukannya baik-baik saja, perasaan Praga remuk. Harga dirinya tergores.
Bukan hanya karena keberatan Bumi menikahi Shanon--gadis yang disukainya sejak dulu. Tapi apakah adil jika ia di sebut kriminal oleh Mama Shanon? Seburuk itu dirinya?
Di dapur, Binar menyibukkan diri dengan mencuci piring kotor. Di meja makan masih terjadi perdebatan akan perjodohan ini. Ia tahu suatu saat akan melepas Bumi. Tapi ia tak menyangka akan secepat ini, apalagi itu dengan seseorang yang ia kenal juga.
Binar mendongak berulang kali agar air matanya yang sudah menumpuk di ujung mata tak sampai jatuh.
Ketika malam tiba dan rumah sudah sepi, kamarnya di ketuk. Ketukan yang seharusnya membuat jantung Binar berdebar. Namun malam ini sedikit berbeda.
"Binar, bisa kita belajar sekarang?"
Binar sengaja mematikan lampu, ia berdiri di belakang pintu.
"Kamu udah tidur ya?"
Tak ada jawaban. Ia memilih diam.
"Okey, kamu pasti capek hari ini ya? Tidur gih. Mimpi indah Binar."
Tak lagi mendengar suara Bumi, Binar membuka pelan pintu. Ia menunduk ke lantai, melihat lembar soal yang Bumi tinggalkan.
Kenapa rasanya seberat ini? Baru semalam ia dibuat senang oleh harapan, malam ini ia langsung disadarkan semesta. Bahwa dirinya dan Bumi memang tak akan melewati batas teman.
Di lain tempat, di dalam kamarnya, Praga berbaring sambil mengangkat foto di tangannya.
Foto lama dirinya, Bumi dan Shanon ketika masih SMA. Meski berada di Semarang, setiap berlibur ia pasti bermain bersama Shanon. Mereka juga masih sering berkomunikasi via chat. Tapi apa ini? Ia di singkirkan dari daftar calon suami pilihan orangtua Shanon hanya karena ia di cap kriminal.
Praga bangun dari ranjang, ia mengambil korek api lalu membakar foto itu. Perlahan wajah Bumi yang tersenyum lebar terbakar oleh api.
"Lo mungkin gak bisa nebus apa yang lo lakuin ke gue, tapi cewek bisu itu bisa gantiin lo buat nebus semuanya, Bum. Gue tahu, lo sayang sama dia kan? Dia dunia lo, kalau gue gak bisa hancurin lo, maka gue akan hancurin dunia lo."
Praga membuang foto tadi ke wastafel, mengalirinya dengan air. Ia kembali membaringkan diri di ranjangnya. Jika tadi hanya sebuah foto, kali ini ia akan membakar Bumi dengan api dendam yang ia bawa lima tahun ini.
"Bum, setelah ini apa lo masih bisa tersenyum lebar kayak di foto tadi? Mata balas mata, dunia lo harus hancur."

Ps: Makasih ya manteman yang sudah dukung zefmon sampai di aplikasi ini, untuk yang belum sempat pun terima kasih, di tunggu ya, zefmon sangat senang jika kalian meninggalkan komentar ❤️
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
