Sekretaris Pak Bara! [ 63 (Menuju Hari H) ]

13
1
Deskripsi

Chapter mengandung Emosi. Harap Istighfar saat membaca… Haha

****

 

"Kar, Sesil sudah sampai itu di depan," ucap Bunda yang nongol di balik pintu kamar. Karina sedang melihat WO mendekor kamarnya.

 

"Udah sampai?" tanya Karina bersemangat.

 

"Iya itu di depan. Udah Bunda suruh masuk tapi katanya masih mau lihat dekor di depan."

 

Karina mengangguk, ia langsung berjalan ke pintu depan. Marta sedang celingukan karena memang di rumah Karina amat sangat ramai saat ini, entah darimana Karina dapat sanak saudara ini, bisa - bisanya dulu saat mereka susah tak ada yang mau menganggap saudara, dan saat mereka sudah bangkit semua mengaku saudara.

 

"Karina," seru Marta begitu melihat Karina berjalan ke arahnya.

 

Mereka berpelukan, melepas rindu.

 

"Kapan sampai? Kok nggak ngabarin?"

 

"Barusan kok."

 

"Oiya, Sesil mana?" tanya Karina begitu ia tak melihat sosok sahabatnya itu.

 

"Ke toilet, kebelet katanya. Btw gila ya, Gue kira Lo besok mau akad doang. Tapi apa semua dekor ini?" Ia dan Sesil tadi agak tercengang begitu melihat tenda besar yang berada di depan rumah Karina.

 

Karina tersenyum canggung, sebenarnya ia juga tak tahu akan begini.

 

"Gue juga kaget pas ngelihat mereka mulai masang tenda kemarin," jujurnya.

 

"Lah bisa gitu?"

 

"Mbak Susan yang ngurus semuanya. Gue cuma milih doang mau dekor yang gimana. Eh nggak tahunya segede ini."

 

"Karina," seru Sesil dari arah dapur. Ia berjalan cepat dan langsung memeluk Karina erat.

 

"Gue kangen."

 

"Gue juga," balas Karina. Seperti biasa mereka berpelukan sambil menggoyangkan badan ke kanan dan ke kiri.

 

"Gila sih dekor Lo. Vibe-nya berasa acara di gedung."

 

"Ya jelas dong Sil. Karina nikahnya sama siapa dulu?"

 

"Iya juga ya."

 

Karina mencebik. "Udah deh nggak usah godain Gue mulu. Ayo ke kamar Gue."

 

Mereka berjalan ke kamar Karina. Dekornya baru saja selesai di pasang, sedangkan untuk seprainya sendiri besok pagi baru akan dipasang.

 

"Malam ini Kami tidur di mana?" tanya Sesil begitu sampai di kamar Karina. Marta sendiri asyik berfoto dengan latar dekor kamar Karina.

 

"Ya di sinilah. Kecuali Kalian mau tidur di bawah tenda di depan."

 

"Enak aja. Tapi serius Kita boleh tidur di kamar manten?" tanya Marta bersemangat.

 

"Yakin nih nggak apa - apa Kita tidur di kasur manten duluan?"

 

Karina berdecak. "Apaan sih Kalian lebay banget. Kalau malam ini Lo pada masih boleh tidur di sini bareng Gue, kalau malam besok baru nggak boleh," ucap Karina sambil menahan senyum malu.

 

Dua gadis itu langsung tersenyum menggoda. "Iya deh yang malam besok tidur sama suami. Apalah Kita yang masih single ini," ucap Sesil.

 

"Udah ah jangan ngejekin Gue mulu. Kalian sampai jam berapa tadi?"

 

"Alah nggak usah pura - pura nanya deh Kar. Lo pasti udah tahu dari pak Bara iyakan?"

 

Karina tertawa, benar apa yang Marta ucapkan. Bara sudah mengabari kalau mereka sampai jam tiga sore tadi.

 

"Apa salahnya basa basi."

 

"Udah keburu basi Kar. Haha."

 

Mereka duduk di atas kasur. Sesil langsung berbaring, meluruskan punggungnya yang terasa pegal akibat perjalanan selama berjam - jam. Mereka tadi pergi bersama rombongan Bara, dan tadi langsung di antar Hosea ke mari.

 

"Pak Bara potong rambut, jadi makin ganteng dah. Jangan cemburu ya Kar, Gue cuma jujur."

 

Karina menghela napas mendengar ucapan Marta. Dirinya sendiri belum melihat wajah Bara selama seminggu ini karena petuah orang tuanya untuk dipingit. Boleh chat dan telpon tapi tak boleh berkirim foto apalagi video call.

 

"Lo kenapa Kar?" tanya Sesil. Mereka pikir Karina marah karena mendengar Marta memuji Bara.

 

"Gue belum ngelihat muka pak Bara. Udah seminggu dipingit." Karina manyun, biarpun mereka sering telponan tapi tetap saja Karina masih merasa kangen.

 

"Haha. Sabar ya Kar, besok pasti ketemu kok." Sesil mengelus lengan Karina, gadis itu hanya memasang wajah nelangsa.

 

"Oiya Kar. Hosea sama Mbak Anggun ada hubungan apa?" tanya Marta yang sudah ikutan berbaring di samping Sesil.

 

"Ada apa? Kok nanya begitu?"

 

Sesil dan Marta saling pandang, kemudian menceritakan apa yang mereka dengar saat Hosea menelpon Anggun. Tadinya mereka kira hanya namanya saja yang sama tapi dari pembicaraan mereka, jelas Anggun yang ditelpon adik bos mereka itu sama dengan Anggun yang mereka kenal.

 

"Mereka kayak orang yang lagi pacaran terus berantem gitu," ucap Marta.

 

Karina bingung harus menjawab apa. Ia tak enak kalau harus menceritakan perihal hubungan Hosea dan Anggun yang sejujurnya Karina juga tak begitu tahu.

 

"Gue kurang tahu juga sih soal hubungan mereka."

 

"Tapi nggak kebayang Gue kalau Mbak Anggun pacaran sama Hosea. Jarak umurnya itu loh. Gue aja mau dekatin dedek - dedek gemes gitu mikir. Takut dikira sugar mommy."

 

Marta mengangguk setuju dengan ucapan Sesil.

 

Mereka masih asyik berbincang saat Bunda masuk ke kamar Karina sembari membawa nampan berisi minuman dan kue tradisional. Refleks Sesil dan Marta langsung duduk.

 

"Dimakan ya. Pasti capek habis jalan jauh."

 

"Hehe iya Bunda. Makasih. Maaf ngerepotin."

 

"Nggak Kok. Bunda malah senang Kalian mau datang. Kalau gitu Bunda balik ke dapur dulu ya."

 

"Iya Bunda."

 

Sekeluarnya bunda, Marta langsung kembali berbaring. Tak lama gantian Susan yang masuk.

 

"Kar. Hanin udah datang tuh. Mau langsung pasang aja?"

 

Karina mengangguk. "Iya Mbak. Ajak masuk ke sini aja."

 

"Hanin sopo?" tanya Sesil.

 

"Yang mau pasang henna Gue," jawab Karina sembari memamerkan kedua tangannya.

 

Karina memperhatikan bagaimana telatennya Hanin menggambar henna di tangannya. Gambarnya persis seperti contoh yang Karina inginkan.

 

"Kar. Baju Kita mana?" tanya Marta. Ia sudah tak sabar ingin melihat baju seragamnya.

 

"Oh. Tuh, buka lemari yang itu." Tunjuk Karina ke arah lemari pakaiannya.

 

"Kotak ini Kar?" tanyanya lagi. Ada sekitar sepuluh kotak dengan dua warna yang berbeda.

 

"Iya. Lihat di atas kotaknya ada nama Kalian."

 

Sesil dan Marta mengambil dua kotak dengan nama mereka. Mereka begitu antusias mengepas baju tersebut di depan cermin.

 

"Cantik banget Kar. Nggak sabar Gue mau pakainya."

 

Karina tersenyum melihat tingkah kedua temannya yang mirip anak kecil yang baru saja di belikan baju lebaran.

 

Tiba - tiba pintu kamar Karina terbuka. Clara, Sania dan Ulfa sepupunya masuk begitu saja. Clara menaikkan sebelah bibirnya begitu melihat Marta dan Sesil. Jelas hal itu membuat Marta menatap aneh. Sementara Sesil yang sudah tahu kondisi keluarga Karina hanya menaikkan bahunya acuh.

 

"Teh. Aku mau dihenna juga," ucap Clara.

 

"Aku sama Ulfa juga mau," sambung Sania yang usianya baru lima belas tahun sedangkan Ulfa masih berusia tiga belas tahun.

 

"Buat apa Kalian dihenna? Mau akad nikah juga?" ceplos Marta yang terlanjur kesal dengan kesan pertama mereka.

 

Mereka menoleh ke arah Marta.

 

"Siapa sih. Jangan ikut campur."

 

Marta melotot, rasanya jiwa barbarnya ingin keluar begitu mendapat perlakuan tak mengenakkan begini. Manusia normal biasanya akan berusaha ramah dan tak mencari masalah dengan orang yang baru ditemuinya. Berbeda dengan tiga gadis di hadapannya ini.

 

"Lo nggak pernah makan bangku sekolah apa gimana? Nggak pernah diajarin orang tua Lo sopan santun?" sergah Marta tak terima.

 

"Suka - suka Gue. Rumah - rumah paman Gue," balas Clara berusaha memakai Lo Gue tapi terdengar kaku dan malah memicu tawa mengejek dari Marta. Clara usianya sudah dewasa ia bahkan sudah lulus kuliah tapi amat sangat kekanakan karena keseringan dimanjakan ibunya.

 

Marta hendak menjawab lagi, namun Sesil sudah lebih dulu mengelus punggungnya.

 

"Sabar Mar. Tahan jiwa barbar Lo," ucap Sesil. Ia sudah mewanti - wanti Marta sejak di perjalanan tadi. Ia sedikit memberi gambaran betapa toxicnya para sepupu Karina karena ia sendiri sudah pernah menyaksikannya saat lamaran dulu.

 

"Kalian keluar gih," usir Karina. Ia jadi tak enak dengan Marta dan Sesil atas perilaku manusia - manusia yang tak ingin ia akui sebagai sanak familinya.

 

Ketiganya tercengang.

 

"Kita mau dihenna juga. Bi Sumi bilang Kita boleh pasang henna juga."

 

Karina berdecak. Kenapa ibunya Clara begitu seenaknya? Karina bukannya mau pelit dan tak mau membayar henna untuk mereka, tapi buat apa? Mending uangnya buat ia beramal daripada buat mereka yang dulu dzalim pada keluarganya.

 

"Ya udah minta sama bibi Kamu aja sana. Ngapain ke sini," balas Karina. Pantas saja saat malam Karina memilih bentuk henna mereka juga sibuk memilih, mau ikut pakai juga rupanya.

 

"Teteh kok pelit sih? Mentang - mentang bakal nikah sama orang kaya. Aku juga kalau kerja di Jakarta bakal dapat suami bos kok," bual Clara.

 

Marta menyemburkan tawa. "Lo kira semua orang bisa seberuntung Karina? etitut Lo aja jelek. Bos mana yang mau sama Lo? Boro - boro mau punya suami bos, jadi simpanan aja para bos mikir," ejek Marta membuat Karina tak bisa menahan tawa.

 

Merasa dipermalukan, seperti biasa Clara menghentakkan kakinya dan berjalan keluar kamar diikuti dua orang lainnya yang mengekor di belakangnya.

 

"Maaf ya Teh," ucap Karina tak enak pada Hanin.

 

"Nggak apa - apa. Orang begitu emang baiknya dibegituin biar tahu diri."

 

Hanin adalah teman Susan sejak SMA, ia juga tahu bagaimana perlakuan sepupu - sepupu Karina itu saat mereka hidup susah.

 

"Karina!"

 

Bi Sumi masuk sembari membuka pintu dengan kencang. Marta dan Sesil yang sedang mencoba pakaian mereka saja sampai terlonjak kaget. Untung Hanin tidak ikutan kaget dan salah menggambar.

 

"Kamu ini sama sepupu sendiri aja pelit. Apa salahnya kalau mereka mau pakai henna juga? Calon suami Kamukan kaya, masa bayar henna buat sepupu Kamu aja nggak sanggup. Mereka juga pakai hennakan biar cantik di acara Kamu."

 

"Kalau mau cantik itu modal sendiri," ucap Marta yang masih tak terima dengan apa yang terjadi tadi.

 

Bi Sumi menoleh ke arah Marta yang sedang bergaya di depan kaca memakai baju barunya, ia sama sekali tak merasa ada yang salah dengan ucapannya.

 

"Kamu siapa? Berani - beraninya bicara nggak sopan begitu sama Saya?"

 

Marta berbalik. "Saya temannya Karina, Tante. Kalau mau ngomongin soal sopan santun, lebih baik ajarin dulu tuh anaknya, baru nasehatin anak orang."

 

Sesil tercengang, berani sekali Marta berucap begitu pada orang yang baru pertama kali ia temui.

 

Bi Sumi memegang dadanya, berlagak seperti sesak napas.

 

"Karina. Ini teman Kamu? Nyari teman kok modelan begini, nggak tahu sopan santun di rumah orang. Kamu kalau nggak bisa sopan di rumah orang meding pergi sana," usir bi Sumi tapi dasarnya Marta memang berjiwa keras, dia santai saja dan malah mengangkat bahu acuh.

 

"Bibi apa - apaan sih ngusir tamu Karina."

 

Susan datang sembari menggendong Adin.

 

"Kamu lihat sendiri nih teman adik Kamu. Nggak ada sopan - sopannya sama orang tua."

 

Susan yang notabene memang tak suka pada mereka hanya mencebik.

 

"Lagian yang teman Karina bilang juga nggak salah," ucap Susan santai.

 

Bi Sumi makin menepuk dadanya yang terasa sesak.

 

"Haah. Ya udah Clara, Kalian sana tunggu Teh Karina selesai henna, habis itu baru Kalian."

 

Clara terlihat senang dan berjalan mendekat ke Karina bersama dua orang yang sejak tadi mengekorinya.

 

"Buat apa pakai henna juga? Mau nikahan juga?" tanya Susan.

 

"Kamu ni sama aja. Apa salahnya kan nggak seberapa mahal juga, calon suami Karinakan kaya."

 

"Yang kayakan calon suami Karina, kenapa malah kalian yang mau manfaatin? Lagian buat apa mau pakai henna setangan - tangan? Kamu juga Ulfa, Sania nggak malu nanti kalau sekolah? Udah gede juga."

 

Bi Sumi berdecak, ia kesal dengan kekeras kepalaan dua kakak beradik ini.

 

"Dan pula Hanin habis ini mau ngehenna di tempat lain, nggak akan sempat."

 

Bi Sumi menatap sinis sedangkan Clara nampak tak terima, Karina menggeleng kecil, agak malu dengan tamunya.

 

"Ya udah. Nggak usah Clara, mereka ini orang pelit. Mentang - mentang mau jadi sama orang kaya, sombong. Batal nikah tahu rasa," ucapnya semena - mena.

 

Susan melotot tak terima. "Yang jelas Tuhan nggak akan dengarin ucapan dzalim kayak Kalian."

 

Bi Sumi berkacak pinggang.

 

"Kapan ya Bibi dzalim sama Kamu?"

 

"Cepat amat lupanya? Coba diingat? Nggak amnesiakan? Apa udah pikun? Kena alzaimer?" ucap Susan terdengar keterlaluan, tapi percayalah apa yang mereka katakan saat keluarga Karina hidup susah jauh lebih menyakitkan.

 

Bi Sumi memegang kepalanya yang terasa berdenyut, tak menyangka akan dihina sedemikian rupa oleh keponakkannya sendiri.

 

Clara lekas mendekati ibunya, kemudian memapahnya keluar.

 

"Udahlah Bu. Namanya juga orang kaya baru, sombong, mana pelit. Ayo Kita pulang aja," ucapnya diikuti Sania dan Ulfa.

 

"Pulang sana jangan datang ke sini lagi."

 

Susan menutup pintu kamar kembali.

 

"Maaf ya Kalian jadi dengar hal yang nggak enak."

 

Marta malah bertepuk tangan kemudian mengacungkan dua jempolnya.

 

"Mbak Susan panutan, Aku ngefans Mbak."

 

Susan tertawa. "Orang begitu emang patut dikerasin kalau nggak ngelunjak."

 

Susan sendiri tak takut anaknya mencontoh apa yang ia lakukan tadi, ia lebih takut anaknya nanti jadi penakut dengan orang modelan begitu, yang ada malah jadi budak mereka.

 

"Keren banget loh Mbak."

 

Karina tertawa melihat Marta yang sepertinya jadi mengagumi Mbaknya tersebut.

 

"Kar. Souvenirnya udah datang tuh, mau taruh dimana dulu?" Susan tadi ke kamar Karina memang mau mengatakan hal itu.

 

"Oh udah datang? Syukurlah." Karina sebenarnya agak was - was karena sudah mepet hari H tapi souvenir pesanannya belum dikirim juga.

 

"Taruh di kamar Mbak aja dulu nggak apa - apa ya?"

 

"Oke sip. Nanti kamarnya Mbak kunci biar nggak diambilin dulu sebelum acara besok."

 

Karina hanya mengangguk kecil, ia sedang takut bergerak karena takut hennanya jadi rusak.

 

"Adin sini sama Auntie Karkar dulu ya. Mama mau ngerjain sesuatu."

 

Gadis kecil itu menurut dan duduk di samping Karina, ia memperhatikan bagaimana Hanin menggambar dengan luwes di kaki Karina.

 

"Kar, Kita mau lihat souvenir Lo ya." Sesil dan Marta sudah berganti baju kembali, mereka tak sabar mau melihat souvenir pernikahan Karina.

 

"Bawa sample ke sini ya. Gue mau lihat."

 

Mereka mengacungkan jempol dan mengikuti Susan.

 

Tak lama mereka kembali membawa box berwarna pink dan biru.

 

"Sumpah Kar cantik banget," komentar Sesil saat mereka melihat isinya.

 

"Siapa yang pilih?" tanya Marta.

 

"Gue. Cuma yang pesan semua Mbak Susan. Baguskan."

 

Lagi - lagi mereka mengacungi dua jempol. Souvenir akad Karina dan Bara berupa dua gelas teh yang terbuat dari keramik lengkap dengan sepasang sendok berwarna gold berbentuk bunga.

 

"Terus souvenir Lo pas resepsi apa?" tanya mereka lagi karena memang Karina belum memberitahu.

 

"Towel lengkap sama set alat mandi."

 

Sesil dan Marta mengangguk semangat, mereka tak sabar kebagian souvenir juga.

 

"Sama khusus buat bridesmaid dan groomsmen nanti ada souvenir tambahan," ucap Karina memicu kekepoan.

 

"Apaan Kar?"

 

Karina menyipitkan matanya. "Ada deh, lihat besok."

 

Keduanya mencebik, mereka kepo tapi Karina malah sok misterius.

 

"Serius ih Kar jangan bikin kepo."

 

"Sabar, besok lusa kok."

 

Mau tak mau mereka hanya menghela napas pasrah.

 

 


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Sekretaris Pak Bara! [ 64 (Lembaran Baru) ]
15
1
Awas Baper…Jangan lupa klik Lovenya ya besti….
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan