Sekretaris Pak Bara! [ 40 (Backstreet? Emang Bisa?) ]

19
4
Deskripsi

Jangan Lupa tab Love, komen dan terus dukung author biar rajin update yak….


*********

 

Karina bersenandung senang sembari mengaduk teh untuk Bara.

 

"Senang amat Neng."

 

Karina menoleh, Farhan berdiri di sampingnya hendak menyedu kopi sasetnya.

 

"Iya dong, kerja itu harus penuh sangat."

 

Farhan menoleh ke arah Karina dengan tatapan heran, "Kesambet Lo? Sehat?"

 

"Sehat dong," jawab Karina penuh senyum tak seperti biasanya.

 

Farhan yang merasakan keanehan pada Karina langsung menempelkan tangannya ke kening gadis itu.

 

"Apaan sih." Karina menepis tangan Farhan.

 

"Lo yang kenapa Kar? Apa kiamat udah dekat? Kok bisa Lo bahagia datang ke kantor?"

 

Karina berdecak, memangnya selama ini separah itu ya dia mengeluh.

 

"Lagi senang aja Gue."

 

"Oh. Emang dikasih apa sama bos? Kok bisa sesenang itu?"

 

Karina meletakkan teh yang ia buat ke atas nampan dan bergeser hendak keluar dari pantry. "Ada deh," jawabnya kemudian ngeloyor pergi.

 

Karina masih bersenandung senang berjalan menuju ruang kerja Bara. Tadi Farhan bertanya apa penyebab Karina senang seperti ini? Memang apa yang diberi Bara padanya? Jawabnya tentu satu, Cinta. Karina merona mengingat hal semalam.

 

Dia sebenarnya agak malu karena bersikap kekanakan, mana bawa - bawa mantan pula, kalau Bara jadi kepikiran mendekati mantannya lagikan berabe, Karina baru saja membuka hatinya kembali, masa mau patah hati lagi.

 

Karina mengetuk pintu ruang Bara kemudian masuk begitu saja.

 

"Tehnya Pak," ucapnya sembari meletakkan cangkir yang ia bawa ke atas meja.

 

"Terimakasih," Bara tersenyum dan langsung mengambil gelas dan menyeruput tehnya.

 

Karina memperhatikan tampilan Bara hari ini. Pria itu hanya memakai kemeja putih dan jas yang sekarang tersampir di kursinya. Masalahnya itu Bara tidak serapi biasanya karena tumben - tumbennya bosnya ini tak memakai dasi.

 

"Nggak pake dasi Pak?" tanya Karina yang keheranan karena Bara yang selalu nampak rapi lengkap dengan dasinya hari ini tak seperti biasanya.

 

Bara meletakkan gelasnya kemudian membuka laci, mengeluarkan sebuah dasi berwarna navy, berdiri dan menyodorkannya pada Karina.

 

Karina menatap bingung apa maksud Bara.

 

"Buat Saya Pak?" tanyanya dan Bara langsung tertawa.

 

"Pasangin."

 

Karina menatap dasi dan Bara bergantian.

 

"Tapikan biasanya pasang sendiri."

 

"Belajar. Nantikan setiap pergi kerja, Mas mau Kamu yang pasangin Mas dasi," bisik Bara. Pipi Karina merona, Bara sudah memikirkan sejauh itu, kapan mereka akan menikah saja belum pasti.

 

"Tapikan Mas bisa pakai dasi sendiri."

 

"Jadi nggak mau nih?"

 

Karina yang melihat Bara hendak duduk kembali buru - buru mendekat dan mengambil dasi tersebut. Bara sedikit menundukkan badannya agar Karina bisa dengan mudah memasangkan dasi padanya.

 

"Tapi Saya nggak bisa pasang serapi Mas loh ya. Lagian kenapa nggak pake dasi instan aja sih," dumelnya, tangannya masih aktif menyimpul dasi.

 

Bara diam saja, ia fokus melihat ke arah wajah Karina yang nampak serius memasanginya dasi.

 

"Nah sudah." Karina tersenyum melihat hasil karyanya. Kemudian ia mendongak dan tatapannya langsung beradu dengan Bara.

 

Sesaat mereka terdiam saling pandang dan rasanya seperti ada magnet yang menariknya untuk mendekat, namun suara ketukan membuyarkan segalanya.

 

"Permisi Pak. Saya Tomi mau bertemu," ucap orang di balik pintu.

 

Karina salah tingkah. Apa yang baru saja ia pikirkan, kenapa ia jadi berpikir yang aneh - aneh. Sekarangkan sedang jam kerja, Bara sedang menjadi bosnya bukan calon suaminya.

 

Bara berdehem kemudian menginstruksikan Tomi untuk masuk.

 

Tomi yang baru saja masuk merasa ada suasana yang aneh dengan dua orang di hadapannya.

 

Karina buru - buru permisi keluar dan langsung menutup pintu. Ia mengipasi wajahnya yang terasa panas. Dia benar - benar seperti remaja yang sedang dimabuk cinta.

 

"Kenapa Lo?" Karina terperanjat, Marta tiba - tiba saja muncul di hadapannya.

 

"Nggak kenapa - kenapa," jawab Karina agak terbata.

 

Marta menaikkan alisnya. "Habis kena marah ya?"

 

Karina tanpa berpikir langsung mengangguk saja, tidak mungkinkan dia mengaku kalau hampir saja melakukan hal tak sepatutnya di kantor, di jam kerja pula.

 

"Yah gitu deh. Lo sendiri ngapain ke sini?"

 

"Biasa." Marta mengangkat berkas di tangannya, Sintia sedang cuti melahirkan jadilah Marta yang sementara mengemban tugasnya.

 

"Oh. Ada Tomi di dalam. Bisa tunggu bentarkan?"

 

Marta mengangguk, Karina duduk di kursinya sementara Marta duduk di kursi tunggu.

 

"Oiya Lo udah dapat kabar belum? Bu Irda akhir bulan ini terakhir kerja."

 

"Hah? Serius Lo? Bukannya masih bulan depan ya?" Karina agak kaget karena setahunya bu Irda akan resign paling tidak seminggu sebelum kontraknya habis.

 

"Dipercepat katanya. Tapi beliau nggak mau kasih tahu alasannya. Sebel deh satu - satu pada resign. Bu Irda, habis itu Tomi, Elo juga."

 

Iya juga dalam waktu tiga bulan berturut - turut ada saja yang mengundurkan diri.

 

"Eh tunggu. Kok Lo tahu Tomi mau resign?"

 

Marta mendesah pelan.

 

"Ini anak satu. Udah berapa kali tu si Tomi ngasih tahu. Fokus mangkanya."

 

Karina mencebik, memang sih belakangan ini ia jarang membuka grup chat dan jarang berkumpul dengan teman kantornya, jadi ia sepertinya banyak ketinggalan gosip baru.

 

"Terus apa rencana Lo abis resign?"

 

Karina berpikir sesaat, apa ya? Dia memang ada rencana akan menikah tapikan Bara belum memberi kepastian kapan dirinya akan melamar Karina secara resmi.

 

"Jadi ibu rumah tangga kali ya."

 

Marta tertawa, "Cari calon suaminya dulu soni, baru jadi ibu rumah tangga," ucapnya.

 

Karina manyun, belum tahu saja mereka kalau Karina sudah diikat pakai cincin mahal.

 

"Puas amat Lo ketawa."

 

"Haha sorry, sorry. Lo kelamaan sama pak Bara mulu, jadi ngejomblo terus dah Lo kayak beliau." Karina mencebik walau dalam hati bersyukur juga belum ada yang menyadari hubungan mereka.

 

"Oiya. Lo yakin keluar dari sini mau nganggur aja? Tomi noh anak sultan, bakal bos. Bolehlah minta job sama dia."

 

Mereka masih berbincang dan tak lama Tomi keluar dan Marta pamit masuk ke ruang Bara.

 

Sampai siang tak banyak yang Karina kerjakan, entah kesambet apa sampai pekerjaannya sesantai ini.

 

Intercome di atas mejanya berbunyi, dan Karina lekas menekan tombolnya.

 

"Ke ruangan Saya," ucap Bara dan panggilan berakhir.

 

Karina menarik napas dalam dan beranjak ke ruang Bara, ia mengetuk dan kemudian masuk.

 

"Iya Pak. Ada perlu apa?" tanyanya formal, Bara sedang duduk di sofa sembari menyekrol tabnya.

 

Bara menatapnya sebentar kemudian mengamitnya agar mendekat ke arahnya.

 

Karina bergeser mendekat, biasanya kalau Bara mengkode begitu ada yang mau pria itu perlihatkan padanya dari layar tabnya.

 

Kening Karina mengerut, layar tab Bara menunjukkan deretan perhiasan di suatu web produsen perhiasan.

 

"Kenapa Pak?" tanyanya agak bingung.

 

Bara tersenyum, tingkat kepekaan Karina ini memang belum ada kemajuan juga.

 

Tubuh Karina serasa tertarik dan saat ia sadar ia justru sudah terduduk di atas pangkuan Bara. Matanya melebar karena kaget.

 

"Pak, sekarang lagi jam kantor. Kalau ada yang lihat gimana?" Karina mencoba bangun namun Bara menahan tubuhnya.

 

Ia tak menyangka Bara bisa seberani ini melakukan hal seperti ini di kantor dan di jam bekerja pula.

 

"Siapa yang mau lihat?" ucapnya kemudian bersender di sandaran kursi.

 

Karina melihat ke arah kerai dan syukurnya tertutup rapat. Pintu juga tertutup, sejauh ini tak ada yang tak sopan masuk begitu saja ke ruang Bara.

 

"Tapi kalau ada yang curiga gimana?"

 

Karina menunduk malu, dia memang sudah beberapa kali pacaran, tapi baru kali ini ia melakukan hal seintim ini, ingat mereka belum menikah.

 

"Selagi nggak ada yang dobrak pintu, aman."

 

Karina percaya saja, toh siapa juga yang berani bersikap tak sopan? Kalaupun ada hanya ada satu orang yang berani melakukan hal itu.

 

"Terus Mas mau lihatin apa ke Aku?" tanya Karina, jantungnya berdetak tak karuan, tindakan Bara makin lama semakin agresif walaupun begitu Karina justru malah merasa senang?

 

"Mas mau pesan cincin pernikahan, tapi maunya Kamu yang pilih."

 

Cincin pernikahan? Wah Bara bahkan sudah berpikir sejauh itu, padahal mereka belum benar - benar membicarakan soal kapan tepatnya pernikahan itu akan berlangsung.

 

"Aku yang pilih?"

 

Bara mengangguk, Karina melihat - lihat katalog perhiasan tersebut, tapi ia sama sekali tak bisa bepikir, bukannya apa berdekatan dengan Bara saja ia sudah degdegan apalagi dalam posisi seperti sekarang.

 

"Pelan - pelan aja pilihnya," ucap Bara.

 

Karina merasa tubuhnya terasa kaku. Mau bergerak saja ia agaknya tak berani, namun semua hal itu menjadi canggung ketika gebrakan terdengar dari arah pintu.

 

Braaakkk...

 

Pintu ruang Bara terbuka, menampakkan sosok satu satunya manusia yang selalu masuk ruang Bara dengan tidak santai, siapalagi kalau bukan Rasya yang menganga di depan pintu.

**********

 

"Ekhem." Rasya berdehem pelan mencoba membasahi tenggorokannya.

 

Setelah kejadian tak terduga tadi, mereka pergi makan siang bertiga.

 

Karina nampak canggung, ia tak menyangka manusia yang seharusnya sedang di kota sebelah ini malah sudah pulang dan nyelonong masuk begitu saja ke ruang Bara.

 

"Sorry Gue nggak maksud ganggu. Mana tahu Gue kalau bakal ada adegan begitu," ucapnya lagi sambil mengulum senyum menatap Bara dan Karina bergantian.

 

Bara nampak santai dan biasa saja, berbeda dengan Karina yang mati - matian menahan malu.

 

"Mulai sekarang biasakan ngetuk pintu sebelum masuk." Bara memberi peringatan.

 

"Lagian Kalian ini. Gue ngerti sih lagi pada dimabuk cinta tapi nggak begitu juga di kantor."

 

Karina diam saja, iya sih mereka memang salah. Tapi mana ia tahukan kalau orang yang biasanya stay cool itu bisa seagresif itu.

 

"Jadi kapan tanggal pastinya? Biar bisa atur jadwal orang tua Gue."

 

Mata Karina memincing, apa hubungannya tanggal pastinya dengan orang tua Rasya? Kan yang mau menikah itu Bara dan Karina, bukan Rasya.

 

"Maksudnya?"

 

Bara menoleh pada Karina kemudian menyentuh tangan gadis itu.

 

"Kamu tahu sendiri Mas nggak punya orang tua, jadi Mas minta tolong orang tuanya Rasya untuk melamar Kamu nanti," katanya.

 

"Oh gitu."

 

Mereka saling pandang seolah punya dunia sendiri.

 

"Ekhem. Tolong kalau mau bermesraan jangan di depan Saya. Jomblo ini," decak Rasya membuat Bara seperti akan menyemburkan tawa.

 

"Siapa suruh jomblo," ejek Bara.

 

"Alah yang baru jadian aja songong," balas Rasya tak terima.

 

Sekilas Bara dan Rasya terlihat lebih seperti saudara ketimbang teman, mereka sudah berteman lebih dari sepuluh tahun, dan memang seakrab itu.

 

"Nggak apa - apa baru jadian yang penting langsung menikah." Bara kembali menatap Karina yang nampak malu - malu.

 

Rasya bergedik, tadinya ia mau makan siang bersama dua orang ini. Tapi ia sadar diri, ia layaknya obat nyamuk kalau tetap berada di antara dua orang dimabuk cinta ini.

 

"Mau ke mana?" tanya Karina saat melihat Rasya berdiri dan membereskan barangnya.

 

"Males Gue di tengah bucin. Assalamualaikum," ucapnya dan Bara hanya tertawa melihat Rasya yang berlalu pergi, namun tak lama pria itu kembali lagi.

 

"Ngapain balik lagi?" tanya Karina.

 

"Sayang makanan udah dipesan kagak dimakan," katanya kemudian kembali duduk dengan tampang seolah tak terjadi apapun sebelumnya.

 

*******

 

"Tadi Mas ngobrolin apa sama Rasya?" tanya Karina.

 

Mereka sedang di jalan kembali ke kantor.

 

"Apanya?"

 

Karina berdecak, biasanya kalau begini ada sesuatu yang Bara sembunyikan. Ayolah Karina bukannya sehari dua hari jadi sekretaris seorang Baradean.

 

"Tadi yang pas Aku ke toilet."

 

"Emang apa yang Kami bicarain sampai Kamu kepo begini?"

 

"Yah habisnya pas Aku datang kalian kayak ngalihin pembicaraan gitu."

 

Bara tak menjawab dan fokus menyetir.

 

"Mas," seru Karina karena tak kunjung ada jawaban.

 

"Soal dua perempuan yang datang tempo hari."

 

"Jadi?"

 

"Mereka minta uang."

 

Rahang Karina mengerat, ada saja manusia menyebalkan dan tak tahu diri berkeliaran di antara mereka.

 

"Terus Mas kasih?"

 

Bara menggeleng dan Karina langsung tersenyum lega.

 

"Jangan dikasih. Nanti sekali dikasih ngelunjak."

 

Bara juga berpikiran yang sama, biasanya orang seperti mereka diberi sekali maka akan terus datang meminta.

 

*********

 

Beberapa hari ini terasa aman, bu Irda juga sedang menyeleksi calon pengganti Karina.

 

Bara meminta Karina yang memilih sendiri calon pengganti dirinya, karena menurut Bara, Karinalah yang tahu pekerjaan seperti apa yang akan diemban oleh sekretaris barunya kelak.

 

"Siang ini ada tiga orang calon yang lulus interview sama Saya. Nanti Kamu bisa seleksi lagi dari ketiganya."

 

Bu Irda menyodorkan empat file lamaran, kening Karina agak mengerut. Katanya tiga orang tapi kenapa filwnya ada empat?

 

"Kintan mengajukan diri untuk mengambil posisi Kamu. Basic dia manajemen."

 

Karina mendesah pelan, Kintan yang selalu masam melihat Karina itu mencoba menjadi sekretaris Bara. Tapi satu ide terpikir olehnya.

 

Karina tersenyum, ia sepertinya harus  memperlihatkan secara nyata, betapa sulitnya menjadi sekretaris seorang Bara.

 

"Kita tes Kintan aja dulu Bu. Kalau dalam dua minggu dia masih mau lanjut, biar dia aja. Tapi kalau kerjanya cocok sama bos sih. Gimana?"

 

Bu Irda mengangguk dan beliau ikut saja dengan kemauan Karina.

 

"Kita lakukan sesuai keputusan Kamu."

 

Setelahnya Karina melapor ke Bara dan siang itu juga Kinta sudah mulai bekerja.

 

"Ini lemari file, sudah Saya susun sesuai abjad nama sales. Nah kalau yang ini abjad nama klien dan yang ini abjad nama cabang, yang ini nama toko dan ......." Karina mulai menjelaskan pekerjaannya. Niatnya ia ingin membungkam Kintan yang selama ini selalu meremehkan pekerjaannya.

 

"Kamu nggak nyatat?" tanya Karina begitu melihat Kintan dengan santainya hanya melenggang tangan kosong.

 

"Ngapain. Ingatan Gue masih bagus."

 

"Anda bisa bekerja profesional? Sekarang Saya sedang menjelaskan pekerjaan ke Kamu. Kamu seharusnya tahu basic pekerjaan sekretaris adalah mencatat. Bahkan hal kecil sekalipun. Karena semua hal bisa jadi informasi."

 

Kintan berdecak, Tapi tak juga menurut. Karina sih bodo amat toh nanti yang kena lahar panasnya Bara kan dirinya sendiri bukan Karina.

 

Dan benar saja dua hari kemudian kertas file berhamburan, melayang karena lemparan Bara.

 

"Kenapa bisa tidak Kamu catat?"

 

Kemarahan Bara memuncak, ia baru saja membawa Kintan pergi menemui klien. Kemarin Karina sudah menemani dan hari ini sengaja hanya Kintan sendiri yang pergi karena Karina di tugaskan untuk mengikuti meeting internal dengan sales.

 

"Maaf Pak," ucapnya takut - takut.

 

Bara menekan tombol intercom dan memanggil Karina masuk.

 

"Iya Pak ada apa?"

 

Karina bisa melihat wajah Kintan yang nampak menahan tangis. Mungkin ini baru pertama kalinya ia melihat Bara marah.

 

"Panggil tiga calon kandidat sekretaris Saya. Dia tidak becus bekerja," kesal Bara.

 

Bukannya apa, Karina bahkan sudah mewanti - wanti Kintan untuk mencatat apa saja yang dibicarakan. Tapi nampaknya perempuan itu hanya terpukau dengan makanan di atas mejanya.

 

"Baik Pak."

 

Karina memgkode Kintan untuk keluar.

 

"Katanya ingatannya bagus, kok ditanyain nggak bisa jawab."

 

Kinta menatap sinis pada Karina. "Gue juga bisa kerja kayak Lo kalau sudah bertahun - tahun."

 

"Oyah? Sayangnya bos nggak mau lagi tuh Kamu jadi sekretarisnya."

 

Karina tersenyum dan melengos pergi. Bara itu tipe bos yang kalau moodnya rusak karena pekerjaan akan sulit memperbaikinya.

 

Paling tidak satu dendamnya terbalas sebelum ia resign dari tempat ini.

 

********

 

"Moodnya masih jelek?" tanya Karina. Mereka sudah di jalan akan pulang.

 

Bara hanya berdehem pelan. Pekerjaan sedang banyak - banyaknya dan ada saja yang mengacau, apa nggak ngamuk orang satu ini.

 

"Kita nonton yok. Atau jalan di mall gitu," ajak Karina.

 

"Ada film apa jam segini?"

 

Karina membuka hpnya mencari film apa yang akan tayang.

 

Mereka berjalan sambil bergandengan tangan menuju lantai bioskop, jam sudah hampir menunjukkan pukul sembilan lewat, dan film yang akan mereka tonton akan tayang setengah jam lagi.

 

"Nonton film ini nggak apa - apa?" tanya Karina, sejujurnya ia tak tahu harus nonton apa. Tapi gimana demi memperbaiki mood Bara yang sudah seperti perempuan yang sedang PMS.

 

"Iya."

 

"Mas masih kesal gara - gara kerjaan tadi?"

 

Bara yang duduk di samping Karina menggeleng.

 

"Mas cuma kepikiran apa ada yang bisa bekerja sebaik Kamu."

 

Karina mengusap lengan Bara. Situasi mereka serba salah, mau Karina tetap bekerja, tapi mereka akan menikah. Jelas Karina hanya bisa memilih salah satunya.

 

"Pasti ada. Aku bakal berusaha ngajarin mereka nanti."

 

Karina tersenyum, dia tahu betapa Bara sangat mencintai pekerjaannya. Mungkin karena masa lalu yang kurang baik, Bara jadi terlalu terobsesi dengan pekerjaan dan uang.

 

"Apa jadinya kalau Kamu resign dan hubungan Kita tidak seperti sekarang. Mas jadi kepikiran, apa semuanya akan baik - baik saja."

 

"Jangan pikirkan sesuatu yang nggak perlu. Oke."

 

Bara menurut saja, toh semua yang terjadi terasa benar sampai saat ini.

 

Film sudah dimulai lebih dari satu jak yang lalu. Bara? Jangan ditanya, pria itu tertidur di kursi samping Karina. Sementara gadis itu sendiri nampak tak berminat pada film action tersebut. Dia kemari hanya karena ingin menghibur Bara.

 

Setelah film usai, Karina dengan lembut membangunkan Bara.

 

"Mas, bangun. Filmnya sudah selesai."

 

Mata Bara mengerjap mencoba menyesuaikan dengan cahaya lampu yang sudah terang.

 

"Ah. Mas ketiduran."

 

"Nggak apa - apa. Ayo pulang," ajak Karina.

 

Mereka berjalan kembali ke parkiran sambil bergandengan tangan. Tanpa mereka sadari ada orang lain yang sedang memperhatikan mereka.

 

*********

 

 


 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Sekretaris Pak Bara! [ 41 (Jangan Sampai Ketahuan!) ]
16
1
Yok Tab Love dan komen
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan