Catatan skolioser. Chapter 2

0
0
Deskripsi

Chapter 2.

Terlena

Ketidaktahuan itu kadang melenakan, menimbulkan sebuah perasaan bimbang menuju arah yang tak tentu, memabukkan, dan sekaligus membuat bingung. Sehingga menyebabkan pemiliknya tak melangkah, terhenti di tengah jalan, dan menurut saja bergerak bersama angin dan waktu. Membuat diri ragu.

Begitulah mungkin aku pada waktu itu, manakala sang dokter penyakit dalam, yang sedang menatap hasil rontgen, memberitahukan bahwa flek di paru-paruku sudah bersih seutuhnya, kemudian berkata mengenai...

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Sebelumnya Catatan skolioser. Chapter 1
2
2
Chapter 1. Mainkan Melodinya4 Februari 2010Lembayung senja perlahan naik ke udara, melukis jingga, oranye, abu-abu, biru, dan putih dalam seleret warna-warna. Sedetik kemudian menimbulkan perasaan yang membuncah haru dalam tarikan napas syukur pada Sang Pencipta. Dalam detik-detik menjelang mentari kembali ke peraduannya, gulungan awan kelabu secara tiba-tiba hadir. Lalu rinai hujan mulai mengiringi senja, menemaninya hadir bersama bumi yang berputar dan siap berganti malam.Tak ada yang bicara saat itu. Kami sibuk menatap langit yang menyihir hingga kami terpaku melihatnya. Namun efek langit dramatis itu berubah drastis lima belas menit kemudian. Ya, dalam hitungan belasan menit saja, gulungan awan kelabu yang menggantikan warna-warni langit sudah berubah menjadi hitam seutuhnya, diiringi gemuruh suara kencang yang sesekali mengagetkan.Aku menoleh pada sosok yang berdiri dekat pagar. Membunyikan kata hujan dari mulut meski aku sendiri tahu bahwa suaraku nyaris tak terdengar di tengah rintik yang semakin deras. Dirinya, yang kerap kupanggil Abang dan hari itu mengenakan kemeja warna hitam, hanya membalas ucapanku dengan mengangkat bahu. Ia mengulurkan tangannya beberapa senti ke depan, membiarkan tetes-tetes hujan yang mengalir dari atap masjid mampir sejenak di tangannya.Aku kembali menatap lurus ke depan.Awalnya kami sengaja datang satu jam lebih awal untuk mengantisipasi kondisi jalan ibukota negeri ini yang sama sekali tak mudah ditebak.Lebih baik datang awal, daripada telat lalu tak bisa masuk. Repot jadinya, pikir kami.Belajar dari kondisi jalan yang tak bisa ditebak ternyata tak serta merta membuat kami belajar dari hujan yang turun secara mendadak. Kami tak mengantisipasi sama sekali akan datangnya hujan. Panas terik sejak beberapa hari lalu membuatku menanggalkan payung di rumah. Kami lengah bahwa hujan sekarang ini rupanya tak kenal musim. Hanya ada jaket di tangan kami yang tak seberapa menaungi kepala jika dibandingkan dengan hujan deras yang menyapa. Jaket yang terlanjur basah tentu akan sulit dikenakan ketika pulang nanti, dengan waktu yang tentu saja lebih larut dan kondisi udara yang lebih dingin dari sekarang.Menit demi menit berlalu dengan kami habiskan untuk berteduh. Jika tak mau ketinggalan saat acara dimulai, kami seharusnya sudah bergegas menuju aula. Abang mengeluarkan isi tas satu persatu. Jaket, dompet, dan akhirnya satu benda ditarik keluar dari dalam tas biru-putih itu. Jas hujan! Aku memekik tertahan. Ah, mengapa baru ingat?Jas hujan model tempo dulu, berukuran besar, dan dilengkapi dengan ponco untuk bagian kepala. Agak ribet memang menggunakan jas hujan tipe ini saat mengendarai motor. Si pembonceng biasanya akan kesulitan melihat keadaan sekitar dan kondisi jalan karena kepala menunduk dan terlindung di balik jas hujan yang dikenakan pengendara motor. Jas hujan ini pun jarang kami gunakan, hanya saat darurat dan saat hujan benar-benar deras.Ditatap seperti itu oleh dua orang, benda tersebut seolah bersorak girang karena akhirnya akan tertempa derasnya hujan setelah sekian lama tak digunakan.Kami pun melangkah menuju acara yang kami tuju dengan merentangkan jas hujan yang lebar nian itu untuk menutupi kepala kami berdua sekaligus, menerabas hujan yang sesekali tampyas ke tangan Abang yang memegangi bagian paling ujung jas hujan.Cipratan air membasahi lengan kemejanya yang digulung sampai batas siku, lalu tampyas pula ke kaki kami yang melangkah ringan menghindari air hujan yang mulai menggenang.Suara rinai hujan, yang turun ke bumi membasahi atap rumah dan deretan tanaman dalam pot yang terhimpit gedung gedung tinggi, sesekali diiringi suara cekikikan kami yang langkahnya kadang tak serentak dan tercepuk-cepuk di antara ujung jas hujan yang menjuntai.Di ujung jalan sana, sebuah spanduk direntangkan tepat di depan aula yang menjadi tujuan kami, tempat pertunjukan musik sederhana itu akan digelar. Musik sederhana yang mampu membuatku terpaku karena keheningan yang ditimbulkan olehnya.Sederhana. Seperti hujan dan lembayung senja sore itu. Juga sederhana seperti dirinya dan kemeja hitamnya.Kami sampai di teras utama gedung, Abang melipat jas hujan lalu membungkus dan menyimpannya di tas. Tetes-tetes air masih menimbulkan jejak saat kami melangkah menuju bagian dalam gedung.Setelah berbelok di lorong, kami akhirnya sampai di depan aula yang akan dijadikan ruang pertunjukan.Aku dan Abang mengisi buku tamu di meja yang dijaga dua orang di depan pintu, lalu masuk ke dalam ruangan. Selain kami, rupanya saat itu baru ada segelintir orang yang datang. Di bagian tengah aula sudah tersedia panggung berukuran mini yang tingginya hanya berbeda beberapa sentimeter dari karpet berwarna merah yang digelar di depannya.Karpet sebagai alas duduk itu ditujukan bagi mereka yang ingin menikmati pertunjukan sambil duduk lesehan.Jarak antara panggung pertunjukan dan tempat duduk hanya sepelemparan batu saja. Sementara di bagian belakang ruangan terdapat kursi-kursi berwarna merah yang dibariskan dan disandarkan pada tembok.Mau duduk di mana? tanya sosok di sampingku. Bulir bulir air masih melekat pada rambutnya yang keriting. Aku, yang tak bisa menyembunyikan rasa senang yang mencuat keluar, menjawab sambil tersenyum samar, Lesehan saja.Kami melepas alas kaki di luar batas karpet, duduk bersila, dan mulai menanti pertunjukan yang sepertinya baru akan berlangsung setengah jam lagi. Tak ada satu pun yang menduga, bahkan karpet yang kami duduki pun tidak, bahwa pilihanku malam itu untuk duduk lesehan di karpet, mengandung risiko.Seiring waktu yang semakin berlalu, beberapa juru foto dan juru rekam video mulai hadir. Senjata utama mereka berupa kamera besar dan video lengkap dengan tripod dipasang di tengah ruangan, diperkirakan nantinya lurus tepat menembak sasaran utama malam itu.Dua puluh menit kemudian, semakin banyak manusia yang memadati ruangan. Satu per satu datang, mengisi deretan kursi yang awalnya kosong, memenuhi karpet di sisi kiri, kanan, depan, dan belakang kami.Sampai akhirnya, pukul 19.30, Master of Ceremony berjenis kelamin laki-laki dan bertubuh agak gempal naik ke atas panggung. Sang MC, yang mengenakan kemeja batik berwarna cokelat, membuka acara malam itu dengan menyapa hadirin. Dengan lancarnya ia mulai membacakan kisah perjalanan sang musisi yang saat itu berada di deret paling depan kursi utama.Sayangnya posisinya terhalang oleh deret-deret kepala yang lebih tinggi dariku.MC memanggil nama yang sejak tadi ditunggu-tunggu, lalu sang tokoh utama melangkah naik ke atas panggung mini. Ruangan yang ramai itu pun semakin riuh dengan tepuk tangan. Hadirin menyambut sang maestro gitar yang sebentar lagi akan memainkan melodinya.Aku menatap sosok yang berdiri di panggung. Ini rupanya pemetik gitar yang mampu membuatku terheran-heran sejak beberapa bulan lalu.Aku menebak usianya mungkin sekitar 40-an tahun. Dengan tinggi sekitar 170 cm, Pak Jubing mengenakan kemeja ungu tua bergaris-garis. Kulitnya berwarna putih dan matanya sipit.Pak Jubing menyapa seluruh keramaian yang sejak tadi memenuhi ruangan. Wajahnya, yang dipenuhi keramahan, sesekali dihiasi tawa manakala sang MC, yang katanya merupakan sahabat dekatnya, menceritakan sedikit perjalanan hidupnya, mulai dari masa kecil, perkenalannya dengan musik, pertemuannya dengan gitar, perlombaan gitar yang diikutinya, serta membahas album gitar klasiknya satu demi satu.MC lalu menyerahkan panggung sepenuhnya pada Jubing. Cahaya lampu ruangan dikurangi. Lampu di atas kepalaku bahkan padam dan penerangan menyorot sepenuhnya hanya pada panggung. Pak Jubing memegang gitarnya dengan lembut, mencondongkan dudukan mik ke mulutnya supaya bisa terjangkau tanpa harus ia pegang.Kedua tangannya mulai sibuk memetik gitar satu demi satu sambil sesekali berhenti. Lalu mulailah ia menguraikan kisah perjalanan hidupnya bersama senar yang dimulai sejak bertahun tahun sebelumnya.Seperti gitar yang tak bisa jauh dari senar, seperti itu juga mungkin sosok di depan sana yang tak bisa jauh dari gitar.Sejurus kemudian alunan nada mulai mengalir. Seisi ruangan menahan napas dan ikut larut dalam setiap dentingan. Dengan jemarinya yang seolah sejak lahir sudah ditakdirkan oleh Sang Pencipta untuk memetik gitar, Pak Jubing menyihir seluruh ruangan.Inilah mungkin, Teman, yang disebut dengan bakat yang dijalani dengan tulus ikhlas.Setahuku, ada berbagai macam orang yang berusaha mati matian memunculkan bakatnya, jungkir balik mengejar bakatnya itu dengan mengikuti berbagai macam latihan dan menemui berbagai tipe guru. Ada yang memfokuskan diri pada sebuah bakat hanya karena ingin dianggap keren di mata orang lain, padahal ternyata sama sekali timpang jika dilakukan oleh dirinya.Tak jarang pula ada yang berlatih segala macam bidang, satu per satu sampai dirinya sendiri pusing. Demi mengetahui bakat terpendam dalam diri, semua bidang dicoba karena ia sendiri pun tak tahu bakat apa yang ditakdirkan Tuhan untuknya.Hal apa pun itu, di bidang manapun, rasanya tetap tak akan mampu memunculkan performa terbaik jika memang tak dijalani dengan kesungguhan hati dan keikhlasan.Dan Pak Jubing, yang mampu membuat seluruh ruangan tertuju hanya pada satu titik, bukan hanya dirinya, tetapi jemarinya dan gitar, rasanya memang menjalani kehidupan bersama enam senarnya itu dengan kesungguhan dari dasar hati. Mungkin saja aku yang sok tahu, tapi setidaknya itulah yang terlihat saat irama mulai mengalun dan seluruh ruangan terdiam.Melodi yang timbul dari alat musik yang dipetiknya itu tak melenceng sumbang.Alunan nada yang beberapa bulan lalu menemaniku menuangkan segala daya otot, otak, hati, dan pikiran dalam tugas akhir yang bernama skripsi, silih berganti membawakan deretan lagu.Mulai dari lagu daerah, lagu anak-anak yang sekarang mulai terlupa dan dilupakan, serta lagu pop dalam dan luar negeri. Semuanya dilibas hanya dengan satu alat musik gitar yang nadanya diimprovisasi sendiri. Tak heran jika sebuah lagu berdurasi satu menit, di tangan musisi ini lagu itu bisa terus terdengar selama lima menit dengan nada yang berbeda.Irama nada yang dimainkannya naik turun, terkadang seperti musik keroncong lalu tiba-tiba berubah menjadi seperti musik padang pasir, terkadang pula lagu dangdut, terkadang semakin cepat dan terkadang semakin melambat, sampai diakhiri dengan tepuk tangan yang seolah tak berhenti.Seluruh lagu sederhana itu dimainkannya dengan sederhana pula. Terkadang ia memetik gitarnya sambil memejamkan mata, terkadang ia memetiknya sambil tersenyum kecil, terkadang ia melakukan jeda dengan meminta penonton menebak judul lagu yang dibawakan.Hati ini pun tak kuasa bersorak, saat kembali mendengar untaian nada yang ia mainkan tak lama setelah ia kembali untuk merehatkan jari jemarinya barang lima belas menit. Petikan gitar Aku Cinta Dia, lagu ciptaan Adjie Soetama yang dulu biasa dinyanyikan alm. Chrisye, mengalun dengan nada bersahaja.Aku menarik napas panjang, tak bisa lebih lama lagi menahan senyum. Seolah semua rasa tumpah ruah dalam setiap nada yang ia mainkan. Tanpa kata-kata, hanya sebuah irama nada gitar. Aih, kesederhanaan memang kerap kali menjelma menjadi sebuah hal rumit yang menyenangkan.Tepuk tangan mengalir deras di seluruh ruangan yang semakin penuh sesak. Aku bahkan sampai menggeser duduk beberapa kali karena rupanya masih ada penonton yang datang lagi dan lagi meski acara sudah lama bergulir. Aku menduga mungkin ada juga yang tak kebagian karpet sehingga harus duduk di lantai.Saat itu posisiku sudah tidak lagi duduk bersila, tapi hanya menekuk lutut karena semakin penuhnya area tempat duduk tersebut. Saat menggeser duduk itulah aku baru menyadari risiko atas pilihan duduk lesehan di ruangan ramai ini. Risiko bahwa, tanpa terasa, selama hampir tiga jam aku tak mengubah posisi duduk sama sekali, satu kali pun.Pak Jubing melanjutkan permainan gitarnya. Aku melirik jam di ponsel, pukul 22.05. Jika sesuai jadwal, acara seharusnya selesai pukul 22.00. Tapi sepertinya masih ada beberapa lagu lagi yang akan ia mainkan.Aku menggeser duduk sedikit dengan gelisah. Selama ini tak pernah duduk lesehan tanpa sekali pun mengubah posisi, apalagi dalam kurun waktu tiga jam.Petikan nada kembali terdengar. Rasanya aku ingin pertunjukan ini tak segera berakhir tapi juga ingin pertunjukan ini segera berakhir.Dua lagu lagi. Pinggang dan kaki semakin tak nyaman. Punggung? Jangan ditanya. Di sanalah puncak segalanya. Bahkan mungkin mulai terasa tak nyaman sejak tiga puluh menit di awal pertunjukan baru berlangsung, sayangnya aku tak menyadarinya.Ketika akhirnya maestro gitar itu mengakhiri pertunjukannya, seisi ruangan memberikan applause meriah untuknya. Mereka yang duduk di deretan kursi bahkan memberikan standing applause.Seandainya area duduk lesehan pun memungkinkan penonton untuk berdiri, mungkin seluruh peserta di ruangan ini juga akan memberikan standing applause untuk Pak Jubing.Tanganku bahkan sampai kebas karena terlalu keras bertepuk tangan. Sampai pertunjukan berakhir dan kami menuju area parkir, aku masih saja cengar-cengir, tak dapat menyembunyikan rasa senang malam itu. Seketika rasa nyeri menghilang untuk sejenak.Penonton bubar satu per satu dengan tertib meninggalkan gedung pertunjukan. Pada setiap wajah tergambar rasa kagum akan pertunjukan malam itu.Di tengah udara dingin malam hari, dan baru beberapa meter motor yang kami naiki melaju, dimulailah risiko karena tak mengubah posisi duduk lesehan selama tiga jam lebih tadi.Secara tiba-tiba aku tersedak, lalu batuk tak berhenti, sesak. Kami pun menepi, dengan aku yang masih batuk tak berhenti selama beberapa menit lamanya.Sesak luar biasa, sampai mata ini berair, dan terus saja terbatuk-batuk. Beberapa orang yang melangkah di trotoar dekat kami, memerhatikanku yang tersedak tak karuan sampai terbungkuk-bungkuk dari atas motor lalu muntah.Masih dengan napas yang tak teratur, mata berair, dan sisa sisa batuk, aku menatap wajah Abang yang penuh rasa khawatir. Alisnya bertaut, raut wajahnya penuh rasa khawatir dan dipenuhi keheranan. Ia menggeleng dan sesekali menghela napas panjang. Ia tetap diam tapi matanya menyiratkan sesuatu, dan rasanya aku sedikit mengerti tatapan itu. Alunan lagu Aku Cinta Dia rasanya lambat-lambat kembali berputar.Saat batuk sudah berhenti dan napas kembali normal, kami melaju perlahan, lalu kembali berhenti di depan warung untuk membeli segelas teh manis panas. Aku menyeruput teh dengan hati-hati. Tatapan di depanku masih sama. Aku hanya terdiam sambil mengatur napas.Ketika kami melaju pulang di antara jalanan ibu kota yang masih ramai kendaraan, hanya satu yang kupikirkan: Tujuh tahun menahannya. Terlalu lama sekali dan terbukti nyeri ini bukan sesuatu yang bisa didiamkan saja. Sudah saatnya memeriksakan diri ke dokter tulang. Semoga belum terlambat.*Usai menonton pertunjukan Jubing Kristianto, Jalan Hidup 6 Senar, Bentara Budaya, Jakarta. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan