
Ketika Faiz mulai mengerti satu-satunya keluarga yang dimaksud Gavin adalah ibunya sendiri.
Setelah beberapa saat, sampailah Faiz di ruko tempat tinggalnya. Di sana sudah terlihat beberapa orang berkumpul. Tidak biasanya, bahkan pemilik kafe di seberang jalan juga ikut berdiri di sana.
Dengan perasaan tak menentu Faiz melangkahkan kakinya menghampiri kerumunan orang itu. Dilihatnya tatapan iba dari beberapa orang yangmengelilinginya.
“Yang sabar ya, Mas,” ucap salah satu karyawan kafe seberang jalan.
Faiz memasuki ruko dengan jantung yang berdegup kencang, terdengar isak tangis dari kamar Aisyah. Perih mulai menjalari hatinya.
“Oppa!” Rara segera memeluk pria yang dianggapnya kakak itu. Menumpahkan air matanya di dada Faiz yang mematung di tengah-tengah pintu. Telihat di ranjang, ibunya terbaring dengan wajah yang memutih, didampingi Ibu Rara yang menundukkan wajah.
“Kenapa? Ibu kenapa?” tanya Faiz kembali linglung. Ia mendekat ke ranjang ibunya lalu menggenggam tangan Aisyah yang sedingin salju.
“Ibu kenapa?”
Ratih mengangkat wajah, memandang Faiz yang di sampingnya, merengkuh pria itu kedalam pelukan, membelai bahu lebar yang biasanya kokoh, tapi terlihat rapuh sekarang.
“Sabar, Le, ikhlaskan Ibu, beliau pasti berada di tempat terbaik di sisi-Nya,” bisik perempuan paruh baya itu.
“Inikah maksud Gavin keluarga satu-satunya? Satu-satunya orang yang berikatan darah denganku,” batin Faiz.
***
Langit seolah berduka, matahari seakan-akan ikut bersedih. Suram. Gadis membuka jendela kamar, merasakan semilir angin yang menerpa wajahnya. Ia menghela napas pelan, mengingat lagi apa yangterjadi padanya seminggu terakhir ini. Biasanya ia sudah selesai memasak dan bersiap ke copy center di jam 8, tapi sekarang ia masih berdiri di depan jendela kamar.
Gadis menolehkan wajah ke arah pintu yang terbuka.
Tampak Ilo melangkah menghampirinya dengan segelas susu di tangan kanan.
“Ini, Mbak, disuruh Ibu minum susu,” ucapnya seraya meletakkan susu itu di meja rias Gadis.
“Sejak kapan aku suka minum susu, Lo?” tanya Gadis dengan kening berkerut.
“Sejak Ibu histeris melihat wajah, Mbak yang luka itu.”
Semalam, Fatima memang berteriak keras memeluk putrinya itu ketika melihat luka di wajah dan lengan Gadis, apalagi saat anak perempuannya itu menceritakan penyebab penculikan yang ia alami, membuatnya benar-benar murka hingga ia melarang Gadis untuk kembali ke rumah suaminya.
“Kok sepi banget? Pada ke mana Bapak sama Ibu?”
“Nggak tahu.” Ilo mengalihkan tatapannya dari sang kakak, kemudian keluar dari kamar.
“Yo gene bocah kae?” gumam Gadis memperhatikan tingkah adiknya yang aneh. Tidak biasanya saudara laki- lakinya itu jadi pendiam dan tidak mau menatap matanya.
Gadis duduk di pinggiran ranjang, mengelus perutnya yang terasa nyeri akibat tendangan anak buah Gavin semalam. Ia bergidik ngeri, berharap hal itu takkan pernah terulang lagi dalam hidupnya. Rencananya, hari ini ia akan menghabiskan waktu untuk membaca saja. Mengalihkan pikiran dari kejadian semalam, meski ada perasaan lain yang melingkupi hatinya. Seharusnya ia menghubungi Faiz dan menanyakan keadaannya, tapi entah mengapa ia tak ingin berurusan dengan pria itu sekarang. Ia kesal, sejak semalam Faiz tidak sekali pun menghubunginya, serta pesan Fatima semalam, membuatnya memilih tetap diam dalam kamarnya. Ibunya ingin ia berpisah dengan Faiz yang dianggap tidak bisa menjaganya. Padahal, dulu Fatima sendiri yang membujuknya untuk menerima lamaran Faiz.
***
Jam di dinding telah menunjukkan pukul 18.30. Gadis menggeliat pelan di atas kasur. Sejak pagi tadi ia benar- benar menghabiskan waktunya di dalam kamar dengan membaca novel, sesekali ia keluar hanya untuk ke kamar mandi atau berwudu, saking seriusnya membaca sampai ia hampir lupa waktu.
Dengan malas ia melangkahkan kaki keluar untuk berwudu di kamar mandi, samar-samar ia mendengar suara Damar dan Fatima yang sepertinya sedang bertengkar. Perlahan, Gadis berjalan ke ruang tamu tempat bapak dan ibunya berada.
“Tapi dia itu masih berstatus istrinya, Bu. Sudah sewajarnya dia ada di sana saat mertuanya meninggal.”
“Tidak. Bagaimana kalau Gadis diculik lagi? Atau disiksa? Aku tidak ingin menyerahkan anakku pada pria yang hidupnya penuh drama mengerikan begitu,” ucap Fatima berapi-api.
Gadis yang mendengar percakapan itu langsung menghampiri kedua orang tuanya.
“Maksud, Bapak apa? Siapa yang meninggal?”
Damar terkejut, mendesah pelan.
“Paling tidak Gadis harus tahu, Bu, Aisyah meninggal tadi malam,” ucap Damar tanpa basa-basi.
“Apa? Siapa? Ibu?” Gadis menegang di tempatnya, seolah tak percaya ibu mertuanya telah tiada. Lalu bayangan tentang wajah teduh Aisyah berputar di kepalanya.
“Ibu.”
*****
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
