3. Ketika Kuhadirkan Dia — Minggu Bersama Sasmita

7
9
Deskripsi

Selamat membaca 🔥

3. Minggu Bersama Sasmita

 

Pisang goreng krispi dan teh manis adalah menu sarapan Abian tiap pagi. Lebih spesial jika dibuat oleh Sasmita. Masakan Sasmita dan lidahnya seperti sudah satu kesatuan yang paling serasi.

 

"Mbak Larisa bilang Mas Askar bakal ke Melbourne senin nanti. Selama lima hari. Jadi Mbak Larisa mau nginep di sini selama lima hari itu. Boleh, kan, Mas? Tapi nanti bolak-balik ke rumah papa juga sih."

 

"Boleh." Abian mengangguk usai menyesap teh hangatnya. "Mas Askar mau ketemu Jared. Harusnya aku yang ke sana, tapi kerjaanku di Malang gak bisa ditinggal terlalu lama." Dihelanya Sasmita agar duduk di sofa kosong sebelahnya. "Mas malah makasih kalau Larisa mau nemenin kamu lima hari penuh. Mas selalu merasa bersalah tiap ninggalin kamu sendirian."

 

"Gak apa kok, Mas ... Kan kamu kerja buat kami juga." Sasmita mengelus perutnya dan tersenyum. "Lagian kan aku gak sepenuhnya sendiri. Ada Bik Ning, ada Papa yang kadang berkunjung, sama Mbak Larisa yang nemenin sepanjang siang. Jadi jangan terlalu khawatir ya? Kamu harus fokus sama kerjaan di sana biar selesai tepat waktu. Lima bulan sesuai janji."

 

Senyum lembut Sasmita pun Abian dapatkan kemudian. Menghantarkannya pada rasa hangat yang semakin mendalam. Sasmita memang pandai menenangkan hatinya yang kerap gelisah. Ketenangan itulah yang membuat Abian betah dan enggan berlama-lama pisah.

 

"Di sekolah gimana? Inget, jangan maksain kalau gak sanggup."

 

"Setelah mereka tau aku hamil, sekolah kasih keringanan kok, Mas,  buat aku. Katanya trimester pertama memang berat. Tapi untungnya aku gak begitu gimana-gimana, kecuali mual. Murid-muridku juga adaaaa aja tingkahnya, jadi hiburan tersendiri tiap ngajar."

 

Syukurlah.

 

Abian melengkungkan senyum. Ikut senang dan lega mendengarnya. Diusapnya kepala Sasmita penuh sayang. "Tapi Mas tetap mau ada di sisi kamu di saat-saat kayak gini, Dek. Pokoknya Mas akan fokus biar kerjaan selesai tepat waktu." Tapi tidak bisa ngebut juga, sebab Abian tipe yang perfeksionis jika menyangkut pekerjaan. Hasilnya harus memuaskan dengan usaha terbaik.

 

Sasmita mengangguk dengan senyuman. "Tapi harus jaga kesehatan juga. Aku gak bisa ngurusin kamu di sana."

 

"Iya ..."

 

Pukul tujuh pagi lebih sedikit, keduanya duduk santai di sofa ruang keluarga yang luas. Rumah ini memang Abian rancang dengan desain double ceiling, sehingga lantai satu dan lantai dua seperti satu kesatuan ruang yang nampak  lebih tinggi, memperlebar sirkulasi udara dan cahaya, juga membuat suasana jadi lebih tinggi, lebih terang, lebih sejuk, lebih lega, dan lebih megah.

 

Di balik tangga, ada kitchen island yang mewah. Kemudian berseberangan dengan kitchen, ada pintu tertutup yang merupakan ruang perpustakaan favorit mereka.

 

"Oh iya, Mas. Sweater yang aku rajut buat kamu, kayaknya bakal ketunda deh sampai aku lahiran."

 

Hm? "Kenapa memang?"

 

"Mba Larisa sama Bik Ning bilang, kalau lagi hamil jangan asal bikin-bikin sesuatu."

 

"Mitos?"

 

Kepala Sasmita yang menyandar pada bahu Abian, bergerak membentuk anggukan. "Aku percaya gak percaya sih. Tapi gak ada salahnya dituruti. Meminimalisir resiko."

 

"Yaudah. Lakuin apa yang kamu yakini aja, Dek. Tapi jangan dibawa pikiran. Nanti malah bawa pengaruh buruk." Diusap-usapnya pangkal lengan Sasmita yang tertutupi sweater tebal. Sasmita memang lebih sering kedinginan sekarang. Mungkin efek perubahan cuaca juga. "Kapan kontrol lagi?"

 

"Nanti kamis."

 

"Gak bisa diganti sabtu atau minggu aja, gitu? Biar Mas bisa nemenin ..."

 

"Udah minta sebenarnya, Mas. Tapi dokter Cantika nya menolak jadwal di weekend. Gak bisa diganggu gugat. Jadi ya gitu deh."

 

Abian menghela napas kecewa. Dipeluknya Sasmita hingga dagunya bertumpu di puncak kepala perempuan itu. "Apa harus aku ambil libur di hari kamis aja ya..."

 

Sasmita hanya tersenyum simpul. Baginya itu bukan sesuatu yang harus diambil pusing. Abian perhatian padanya. Itu sangat cukup. "Udah yang ini, Mas. Mau nonton." Sasmita menghentikan Abian yang sedang mengganti-ganti chanel televisi. "Lagi olimpiade musim dingin. Kalau liat atlet-atlet tanding tuh aku jadi ikut semangat."

 

Setuju.

 

Abian pun merasa demikian.

 

Maka sambil menikmati sarapan pagi, sejoli itu menonton tayangan olimpiade di cabor atletik tersebut.

 

Ice skating.

 

Sepintas, Abian mengingat pertunjukan seluncur es yang Sashi posting semalam. Itu olimpiade yang sama. Hanya  saja, yang diposting Sashi adalah pertandingan kemarin. Dan yang kini Abian tonton adalah pertandingan hari ini. Tentu bukan di negara tercinta sebab tidak ada musim dingin. Di layar televisi sana, seorang atlet perempuan sedang berlagak di atas ice, berselancar lincah dan meliuk indah.

 

Benar-benar indah dan mengagumkan.

 

Begitu saja wujud Sashi pun terbayang. Membayangkan anak kucingnya itu menari indah di atas es, meliukkan tubuhnya dengan senyum riang dan kepercayaan diri yang mengesankan. Pasti membanggakan.

 

"Inget gak, Mas, kita pernah main seluncur es di Mall pas kencan dulu?"

 

Ah, itu ... "Kencan ke berapa ya?"

 

"Emmm ... Ke 51, mungkin (?)"

 

Abian tergelak. Iya juga. Mereka sering berkencan. Saking dekat dan akrabnya. Dari pagi ke pagi bersamaaaaa terus. Anehnya bukan bosan, malah makin tidak mau kehilangan. "Kita sama-sama jatuh dan kamu nangis karena kakinya terkilir."

 

Sasmita tergelak mengingat hari itu. "Ya gimana, pas jatuh tuh kakiku kayak keserimpet, kagok banget, sekalinya ngebentur, malah keras banget."

 

"Dan akhirnya kita gak jadi romantis-romantisan kayak drakor itu." Abian ingat betul permintaan Sasmita hari itu. Katanya ingin meniru adegan romantis drakor.

 

Sasmita tertawa. "Tapi jadinya lucu dan memorable, kan. Ya ampuuun, udah lama juga ternyata waktu berlalu ya, Mas. Tau-tau kita udah nikah selama lima tahun, dan malaikat kecil yang kita nanti benar-benar akan segera hadir di tengah keluarga." Dengan senyum penuh, Sasmita mengelus-elus perut ratanya. "Tumbuh yang baik ya, Nak. Meski wujud kamu belum nampak, tapi papa sama mama sayang kamu."

 

Abian menikmati bagaimana senyum hangat Sasmita tertuju pada perutnya yang dielus. Terasa sekali betapa Sasmita bahagia dengan kehadiran buah cinta mereka. Tentu saja. Buah cinta itu akan menjadi penyempurna rumah yang mereka bangun di atas cinta. Tak perlu ditanya betapa Abian juga sama bahagianya.

 

Tersenyum, Abian ikut-ikutan mengelus perut Sasmita sambil sesekali mengecup perempuan yang membersamai hidupnya sejak kecil tersebut. "Sayang mama juga."

 

Sasmita mendongak dan mengerjap. Kemudian tersenyum simpul saat menangkap seringai jenaka Abian kepadanya.

 

*

 

"Gimana rumahnya Tante Firda?"

 

"Masih ngerancang konsepnya, Pah." Abian mengunjungi kediaman sang papa. Hanya beda kawasan perumahan dengan durasi perjalanan tak sampai sepuluh menit. Rumah megah papa yang bergaya rustic ini juga dihuni Mas Askar dan Larisa. Sengaja, sebab kakak sulungnya itu tidak tega membiarkan papa hidup sendiri di masa tua. Berharap dengan dirinya dan istri yang menetap di sini, papa tidak begitu kesepian sebab Abian dan Sasmita sendiri sudah sepakat untuk tinggal terpisah. "Tante Firda sama Om Surya juga titip salam."

 

"Waalaikumsalam. Bulan depan anak bungsu mereka juga nikah kok di Jakarta. Papa udah minta mereka ke mari sekalian."

 

Abian mengangguk. Duduk-duduk dengan Askar yang baru keluar kamar dan bergabung.

 

Larisa yang hendak ke swalayan, sumringah melihat Sasmita datang. "Mit, temenin Mbak dulu yuk!"

 

"Pake sopir aja, Ris," Papa menginterupsi. Khawatir pada Sasmita yang tengah hamil.

 

"Yah, nyetir sendiri deh, Pah? Ya?? Ya???" Sorot permohonan itu Larisa berikan pada papa mertuanya. "Pelan-pelan. Janji."

 

"Aduh! Susah kalau udah kedap-kedip begitu. Pusing papa. Minta ijin suamimu sana."

 

Sementara Askar geleng-geleng kepala melihat kelakuan istrinya. "Hati-hati nyetirnya."

 

"Siap! Ayo, Mit!"

 

"Eh? Karla mana, Mbak? Gak diajak?" Pandangan Mita menyisir seisi ruang keluarga mencari keponakan ciliknya itu.

 

"Karla lagi diculik sama tetangga sebelah." Larisa tergelak sendiri. "Udah punya temen dia, Mit. Tapi gak apa deh, biar bisa shopping cantik. Yuk!"

 

"Yaudah." Sasmita menghampiri Abian untuk mencium punggung tangan sang suami. "Aku pergi dulu ya, Mas." Berbakti sekali istri Abian itu dan membuat sang papa tersenyum.

 

Askar geleng-geleng kepala lagi. "Heran aku sama mereka, seneng betul kalau udah mau ke swalayan. Melebihi datengin butik Onti Rere."

 

Abian hanya tersenyum. Istri dan kakak iparnya memang seperti kembar tak terpisahkan. Begitu akrab, begitu riang ketika bersama. Kegemaran mereka bahkan banyak yang sama. Perbedaan paling signifikan mungkin hanya terletak pada sifat dan profesi saja. Jika Sasmita lemah lembut dan sabar, maka Larisa agak bar-bar. Jika Sasmita merupakan seorang guru, maka Larisa adalah seorang sosialita pengoleksi barang seni. Larisa bahkan punya galeri.

 

Sebenarnya, Abian juga sempat menawari Sasmita untuk tinggal di sini sementara dirinya tugas di Malang. Namun Sasmita menolak dan memilih tinggal di rumah mereka.

 

"Gimana projek mega mall Malang, Yan? Blueprintnya udah dikirim sih kemaren, tapi belum sempat aku pelajari."

 

"Adnan sama kontraktor kita udah mulai proses konstruksi sih rabu kemarin. Nanti aku tinjau minggu depan ke lokasi."

 

"Hari libur masih bahas pekerjaan, heh? Gak bosen?" Papa yang mulai hobi memelihara burung lovebird itu pun berdecak dan beranjak menuju halaman belakang. "Kamu bantu papa cariin burung elang jawa aja deh, Yan. Papa cari di pasar burung gak dapet-dapet."

 

Elang jawa? Bagaimana Abian harus mencarinya jika burung itu sudah masuk kategori satwa langka dan dilindungi pemerintah, heh?

 

Askar yang mengerti kebingungan Abian merespon sang papa yang dikenal keras kepala, terkekeh-kekeh. "Dua hari ini, jadilah adik berbakti dengan gantiin aku direcokin papa perihal si elang jawa." Askar menepuk bahunya sebelum kembali beranjak ke kamar tidur. "Semangat."

 

*

 

Dan dua hari libur berlalu cepat untuk Abian dan Sasmita yang lagi-lagi harus berpamitan di senin pagi. Pesawatnya berangkat pukul setengah delapan.

 

"Kalau ada apa-apa langsung bilang ya? Aku gak mau kayak kemarin." Abian memberikan beberapa petuah  usai berpelukan. Kadang, Sasmita terlalu mandiri hingga Abian selalu telat melindungi ketika terjadi sesuatu pada istrinya itu. Seperti minggu lalu, saat Sasmita muntah-muntah dan Abian harus tahu semua itu dari Bik Ning.

 

"Aku cuma gak mau kamu khawatir dan kepikiran, Mas. Akhirnya jadi gak fokus kerja. Lagian aku masih bisa tahan sendiri kok."

 

Nah, jawaban Sasmita pun persis seperti itu saat Abian memarahinya. Abian tidak suka. "Tapi Mas harus tau. Keadaan kamu lebih penting dari apapun."

 

"Iya, Mas ... Gak boleh galak-galak ih, masih pagi."

 

Abian mendengkus. Mengecup pipi sang istri untuk yang terakhir, Abian pun memasuki BMW yang sudah siap mengantarnya ke bandara.

 

"Kabarin kalau udah sampai ya, Mas."

 

"Hem."

 

Klakson dibunyikan oleh Pak Atmo tanda mobil akan berangkat. Sasmita memberikan senyum terbaiknya untuk Abian yang menurunkan kaca dan melihat sang istri sebelum terpisah lima hari ke depan.

 

"Langsung bandara, Pak?"

 

"Iya." Dibetulkannya posisi duduk lebih santai di kursi belakang. Kemudian menghubungi Fauzi, asisten pribadinya.

 

Abian sebenarnya punya mobil jeep kesayangan. Berwarna biru gelap. Namun semenjak tugas ke Malang, jeep itu hanya terparkir rapi di carport rumah. Sesekali dipanaskan oleh Pak Atmo yang dia titipi. Dan BMW yang mengantar jemputnya adalah milik Sasmita, dibelikan olehnya lengkap dengan Pak Atmo sebagai sopir. Mini cooper biru yang dia gunakan di Malang, memang terhitung baru. Begitu saja Abian tertarik pada mobil itu ketika iseng-iseng berkeliling Malang dan melihat seorang pengendara mengendarai mobil itu di jalanan.

 

Tanpa pikir panjang Abian membelinya dan digunakan sebagai kendaraan pribadinya selama di Malang. Nanti akan dia kirim ke Jakarta jika masa tugasnya sudah selesai. Dijejerkan dengan jeep di carport rumah untuk digunakan bergantian.

 

"Ya, Pak?" Fauzi menjawab panggilan Abian. Fauzi berusia 25 tahun dan sangat kompeten melaksanakan segenap tugas. Abian membawanya turut serta ke Malang. Namun berbeda dengan Abian yang pulang tiap weekend, Fauzi menetap di sana sampai masa tugas berakhir. Nasib, belum menikah dan punya kekasih.

 

"Data konsep Bu Firda kemarin tolong disiapkan, Zi. Biar nanti langsung saya kerjain. Sama salinan desain elektrikal projek kubah dua hari lalu. Nanti Devran ke kantor jam delapan-an lebih, kemungkinan saya belum tiba. Kamu temani dulu ya."

 

"Siap, Pak!"

 

Telepon pun Abian akhiri dengan cepat. Lalu berganti pada layar ponselnya yang dia gulir begitu notifikasi masuk. Abian memang sengaja menghidupkan notif beberapa akun Instagram untuk kebutuhan pekerjaan. Kecuali notif akun Sashi, yang dia hidupkan karena alasan pribadi. Sayangnya si pemilik akun tidak memposting apa-apa hari ini.

 

Sashi, meski aktif bermain Instagram, hanya satu kali saja gadis itu pernah memposting potretnya sendiri. Yakni foto yang diambil Abian, yang hanya memamerkan sisi wajahnya saja, yang Abian pandangi kemarin malam.

 

Kepala Abian pun lantas rebah pasrah seraya menengok ke arah jalanan. Semula Abian pikir, berjauhan dengan Sasmita  akan cukup berat untuk dijalani disela rutinitasnya yang tidak berubah. Akan tetapi, hadirnya Sashi sedikit banyak malah membuatnya antusias menjalani hari. Abian bukan lagi remaja labil yang tidak mampu memahami hati sendiri. Dia punya ketertarikan kepada Sashi. Itu mutlak, dan terbukti.

 

Karena itu pula Abian diam-diam berusaha keras agar tidak sampai melewati batas apalagi berinteraksi berlebihan dengan si anak kucing. Sebab sekali dia lepas kendali, dia mungkin akan sungguh mencurangi.

 

Tetapi tidak.

 

Bahkan kontak Sashi yang berada di ponselnya, tidak pernah Abian hubungi kecuali untuk urusan penting saja. Bagusnya, Sashi sepertinya bukan tipe perempuan yang suka mengobrol via ponsel.

 

Sashi itu ... meski periang, lumayan tertutup dan jarang bercerita.

 

Klakson bersahutan dan deru kendaraan semakin terdengar menjeda lamunan Abian. Kaca mobil pun Abian turunkan begitu beberapa mobil berhenti dan menurunkan penumpang di depan. Bandara sudah terlihat. Dan Abian bersiap turun untuk memasuki bisnis class pesawat yang dia naiki.

 

Menuju Malang.

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya 4. Ketika Kuhadirkan Dia — Bukan Gak Boleh, Tapi ...
11
3
Ciecieecieeeee yang liburannya udahan 😈 Nih aku kasih asupan. Tapi harap menyiapkan diri, sebab ini bukan cerita penuh keuwuan yang akan bikin kamu dugun-dugun macam orang kasmaran 🙂
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan