
Tittle : IF - ENGGARA
Genre : Fiksi Remaja
Tema : Broken
Pesta perpisahan malam itu tidak hanya menjadi perpisahan Enggar dengan teman sekelas, tetapi juga dengan Thana. Tepat kala Thana menyelesaikan lagunya, tepat saat itu pula Enggar menguatkan hati untuk berpaling dari gadis itu.
Namun, apakah cukup hanya dengan berpaling? Bagaimana jika perasaan itu lebih dalam dari yang Enggar kira? Bagaimana jika ... kepergian Thana menyadarkannya atas apa yang sungguh-sungguh dia inginkan?
Dan ketika kesadaran...
IF (Friendshit, Broken Home, Love Triangle)
47
13
2
Selesai
Thana hanya ingin dianggap ada. Thana hanya ingin kelahirannya diinginkan. Namun agaknya itu berlebihan ya? Pengandaian hanya milik manusia tanpa harapan. Manusia tanpa harapan itu menyedihkan. Dan Thana tidak mau jadi menyedihkan. Karena itu ... Thana berhenti berandai-andai.Friendshit - Broken Home - Love Triangle
12,758 kata
Dukung suporter dengan membuka akses karya
Pilih Tipe Dukunganmu
Sudah mendukung?
Login untuk mengakses
Kategori
If
Selanjutnya
IF (Lengkap)
27
4
IF Genre : Romance, Fiksi RemajaTema : BrokenPenulis : YookattaPenyunting : Yookatta Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin dari Penulis. Author Notes :Naskah komplit. Gabungan dari yang terpublish di Wattpad (Thana), Karyakarsa (Enggara), dan satu tambahan part baru (Hanya di sini)Bagi yang mengakses versi lengkap ini, tidak perlu lagi mengakses part part partial IF yang terpublish di wattpad maupun karyakarsaTelah disunting dan dirapikanAkses selamanya Warning : Angst Copyright © 2021, By YookattaAll Rights Reserved Jika kasih sayang itu sungguh ada, lalu rasa sakit dan terbuang ini namanya apa?” [Thana]
1 – Namanya Namanya Aerys V Enggara.Teman-temannya memanggil Enggar, tapi aku memanggilnya Pi. Harusnya V, tapi Pi lebih keren, lebih estetik, lebih membumi, dan lebih menjiwai.Pi adalah satu-satunya sahabat yang kumiliki. Aku punya sahabat perempuan sih. Namanya, Mauverine Valera. Aku memanggilnya Mou. Sayangnya, Mou terlalu sibuk memenangkan hati si dingin dan ketus Nohan. Iya. Abrisam Nohan Dwiangga, satu-satunya pewaris keluarga Abrisam yang terkenal itu. Nohan juga berteman dengan Pi. Tapi Kepribadian mereka berbeda. Jika Nohan dingin, maka Pi hangat. Pi juga merupakan siswa berprestasi di sekolah. Berbeda denganku yang masuk sepuluh besar saja tidak.Selamat pagi, Kak.Beberapa siswi kelas sepuluh menyapa begitu aku dan Pi turun dari mobil. Namun aku tahu persis sapaan itu sama sekali tidak tertuju padaku. Binar-binar memuja mereka telah menunjukkan untuk siapa sapaan itu dimaksudkan.Ke kelas duluan gih! Pi menepuk puncak kepalaku. Gue mau ke ruang osis sebentar.Aku mengangguk selintas lalu. Di koridor dekat pintu masuk, kami mengambil jalan berbeda. Masih bisa kudengar sapaan demi sapaan menghampiri Pi. Dan Pi? Jelas menanggapi sapaan itu dengan ramah. Sementara aku? Oh! jelas tidak. Sebisa mungkin aku menjadi manusia transparan. Tidak dikerubungi banyak teman, tidak punya geng, tidak dikenal guru, dan tidak didekati laki-laki. Kenapa? Karena dengan menjadi yang tidak terlihat, hidupku lebih nyaman, ruang gerakku lebih bebas dan lepas. Tidak akan ada mata yang selalu mengawasi, tidak akan ada yang peduli sekalipun aku menggila, dan tidak akan ada yang sadar meskipun aku menitikkan airmata.Kecuali Pi, mungkin.Kak Thana!Nah ini dia. Perlu diketahui, menjadi teman baik seorang V Enggara juga memiliki resiko. Pi disukai para siswi di setiap angkatan. Adaaa saja tingkah mereka yang kadang membuatku geleng kepala. Katanya, Pi itu boyfriend material banget. Sudah tampan, ramah, pintar, keren, tajir pula. Pi adalah sosok yang lekat dengan imej good boy. Meskipun begitu, banyak yang bilang kalau Pi itu sulit dijangkau. Aku tidak mengerti bagian mananya yang sulit dijangkau, sebab Pi selalu terbuka padaku. Namun label 'sulit dijangkau' itu berdampak pada ketenanganku. Entah resiko ini harus kusebut keuntungan atau justru kesialan.Seorang siswi mengejarku dari belakang. Aku berbalik tanpa minat.Aku boleh titip ini? Dia Cani, siswi manis kelas sepuluh - cukup agresif, salah satu penggila seorang Enggara.Sebuah kotak makan berwarna biru tersodor di hadapanku, ada telinganya, lucu. Kasih aja sendiri, tolakku.Maunya gitu Kak, tapi Kak Enggarnya lagi di ruang osis, aku gak berani, terus kalau nunggu, kelasku keburu masuk. Aku udah bangun pagi banget buat masak ini ...Napasku terhela. Kuambil kotak makan itu dengan malas. Hanya kali ini. Besok-besok gak gue terima.Cani mengangguk senang. Berikutnya, usai mengucapkan terima kasih, gadis itu putar balik menuju kelas sepuluh yang terletak lumayan jauh - terhalang jejeran ruang guru dan lapangan olahraga, sedangkan aku masuk ke kelas dengan menenteng satu kotak makan. Kelas dimulai lima belas menit kemudian. Pi masuk enam menit sebelum bel berbunyi, duduk di sampingku, tersenyum. Kudorong kotak makan itu. Mengerti, Pi hanya terkekeh pelan, mengacak kepalaku, lalu membukanya. Ini kotak ke sebelas, ujarnya, menyendok potongan omlet, lalu mendekatkannya ke mulutku. Dan lo gadis pertama yang gue suapin. Pi membuka mulutnya, berkata Aaa tanpa suara, lalu memintaku membuka mulut.Awalnya aku enggan, tapi saat sadar belum sarapan, akhirnya kuterima juga. Sepuluh yang lain ke mana? Kutanyakan nasib sepuluh kotak makan yang lain.Aman ... Yang artinya, ada Ved, Rauf, Jon, dan teman-temannya yang lain yang siap menampung agar makanan itu tidak mubazir.Lo udah sarapan?"Udah. Pi menyuapkan sesendok lagi. Ruby nganterin pagi-pagi, sarapan bareng di rumah.Oh.Aku hampir lupa.Pi memiliki gadis itu, Ruby.Pacarnya.❁❁❁Aku sudah mengurus dia selama tujuh tahun. Sesuai perjanjian, sekarang giliranmu untuk mengambil hak asuh, Mas.Apa sebegitu tidak inginnya kamu mengurus Thana?Yumna mendengus jengah. Aku sudah mengorbankan enam tahun tumbuh kembang Ruby demi mengurus Thana yang tidak mau jauh dariku. Di bagian mananya aku tidak ingin mengurus anak itu? Suara Yumna meninggi di akhir kalimat.Adhi memandang tak percaya. Demi Tuhan, Yumna. Siapapun yang mendengar ucapanmu pasti tahu betapa tidak relanya dirimu mengurus putrimu sendiri.Dia juga putrimu. Yumna menyahut sinis. Kamu bicara seolah aku yang jahat di sini, padahal kamu sendiri sibuk dengan putra dan istri barumu.Oh! Jadi kamu mau membandingkan? Harusnya kamu sedikit pakai nurani dan otak pandai yang selalu kamu elu-elukan itu! Wanita mana yang mengandung benih dari lelaki lain setelah melahirkan anakku setahun sebelumnya? Hah?Memangnya kamu suci?! Kamu juga menghamili wanita itu saat masih berstatus sebagai suamiku!Itu karena kamu mengkhianatiku lebih dulu!Kuteguk cola seraya menyaksikan ajang balap yang tayang di televisi. Racer mana yang memimpin aku tidak tahu. Fokusku tidak di sana.Adhi Kurniawan. Yumna Ajeng Wiratih.Dua sosok itu harusnya tertulis dalam kartu keluarga sebagai papa dan mamaku. Namun mereka sepertinya tidak sudi. Tiga nama yang kuharapkan ada dalam lembaran sebagai satu keluarga utuh hanya tinggal angan. Papa punya kartu keluarganya sendiri. Mama pun demikian. Dengan pasangan dan anak mereka masing-masing tentunya.Aku? Aku hanya anak buangan. Anak yang lahir dari ketidaksengajaan. Anak yang tidak inginkan. Kalau sampah mungkin akan langsung dibuang. Sayang sekali aku masih berbentuk manusia. Punya jiwa dan rasa. Kendati dua sosok itu tidak peduli apa yang kurasa, mereka pasti masih punya gengsi dan kekhawatiran, kan? Bagaimana jika keberadaan Thana diketahui publik? Bagaimana jika Thana berkoar pada media dan menjatuhkan namaku? Bagaimana jika keluargaku hancur? Bagaimana jika dia berulah? Begitulah kira-kira rentetan kekhawatiran mereka. Harusnya, ketika mereka memutuskan berpisah, aku dilenyapkan lebih dulu, bukan dibiarkan menyaksikan drama setiap hari. Kalau aku terluka dan trauma, bagaimana? Tapi yah, aku yakin mereka juga tidak peduli sih.Tujuh tahun, aku harus berbagi kasih sayang Mama dengan Ruby. Lengkapnya, Ruby Jasmine Auriga. Putri kandung Mama dengan selingkuhan yang telah bertransformasi menjadi suami barunya, John Auriga.Tunggu dulu! Berbagi? Haha. Lucu. Bagaimana bisa aku berbagi kalau yang dibaginya saja tidak ada. Kasih sayang Mama tidak pernah benar-benar untukku. Usia Ruby setahun di bawahku. Dan selama aku 'menumpang' dengan keluarga mereka, aku hanya mendapat sisa. Sisa hadiah, sisa perhatian, sisa kasih sayang. Ruby bagai tuan putri dan aku bagai benalu.Usia delapan tahun, aku pindah ikut papa dan keluarga barunya. Papa memiliki seorang putra dengan Merlin Andita - istri barunya. Usia anak itu dua tahun di bawahku. Namanya Keas D Kurniawan. Dia adik kecil yang menggemaskan saat itu. Berbeda dengan Ruby yang sangat aku benci, aku sesekali bermain dengan Keas. Namun hanya bertahan sampai aku lulus SMP. Sebab memasuki SMA, aku memutuskan hidup sendiri, di apartemen studio ini. Dan apakah perpindahan itu lancar? Tidak. Agak sedikit tersendat. Papa menahanku, tapi akhirnya luluh juga lantaran aku bersikeras. Kenapa aku bersikeras? Karena aku bukan manusia bodoh yang tidak paham bahwa Tante Merlin tidak menyukaiku. Awalnya, aku senang saat tahu papa selalu membelaku setiap kali berdebat dengan wanita menyebalkan itu, tetapi kesenangan itu kabur saat aku menyaksikan mereka : Papa, Tante Merlin, dan Keas, makan malam bersama di sebuah resto tanpa mengajakku. Mereka sangat bahagia. Tertawa lepas. Menjadi keluarga utuh yang saling memiliki. Persis seperti yang Mama lakukan ketika aku hidup bersamanya.Embusan napasku terhela panjang. Ternyata ingatan itu masih saja menyakitiku. Padahal waktu telah lama berlalu. Tawa sumbangku pun mengisi heningnya ruangan. Papa dan Mama. Bahkan mengingat ada bagian nama mereka yang terukir dalam namaku membuatku muak. Boleh tidak sih, ganti nama?Thana Ajeng Kurniawan.Adalah nama yang mereka pilihkan kala menyambut kelahiranku, sekaligus nama yang kubenci. Lebih benci ketika dua sosok itu merupakan sosok populer di negeri ini. Adhi Kurniawan baru saja dilantik menjadi Kemendikbud, dan Yumna Ajeng merupakan Aktris senior papan atas. Jelas keduanya menyembunyikan mati-matian kehadiranku yang hanya akan menggores cacat dalam citra suci mereka.Kuteguk lagi cola yang dinginnya sudah berkurang. Tayangan race di sirkuit Katalunya telah berakhir. Juaranya masih orang yang sama seperti musim lalu. Lampu notifikasi di ponselku berkedip tak lama kemudian. Kuambil benda yang tergeletak menyedihkan di atas meja itu. Kenapa kubilang menyedihkan? Karena seharian libur sekolah, tidak ada satu pesan pun yang masuk. Bahkan posisiku yang terduduk pasrah dilantai dan bersandarkan kaki sofa menambah kesan menyedihkan ini. Sungguh ter-la-lu!Pi : Tidur?Satu sudut bibirku tersungging. Dia masih mengingatku rupanya. Tapi kuputuskan untuk tidak membalas. Biar saja Pi menganggapku tidur. Aku tahu seharian ini dia menghabiskan waktu dengan Ruby.Iya. Ruby yang sama dengan Ruby yang lahir dari rahim wanita yang tidak lagi kusebut Mama. Kadang aku berpikir, apa yang akan Pi lakukan jika tahu hubunganku dengan Ruby? Pi begitu mencintai gadis itu. Mereka bertetangga setelah kepindahan keluarga Ruby tepat usai aku keluar dari rumah lama mereka. Andai saat itu kami masih tinggal bersama, mungkinkah aku, Pi, dan Ruby memiliki cerita berbeda?❁❁❁Gue denger kelas sebelas ada siswi pindahan baru!'Putrinya Yumna bukan sih?"Iya katanya-Hafalan biologiku tersendat. Manusia-manusia ini berisik sejak pagi. Memang apa anehnya sih kalau putri seorang aktris sekolah di sini? Lagipula gadis itu kenapa juga harus pindah ke mari? Bukankah sekolahnya adalah sekolah favorit?Awalnya aku heran, tapi kemudian paham.Pi.Kak Enggar kesayangannya sekolah di sini. Jelas untuk bucin sekelas dirinya akan mengikuti sampai ke mari.Bisik-bisik mulai berisik saat jam istirahat tiba. Ramainya kantin tidak membuat perhatian para kepoers teralih. Enggar dan si murid baru, Ruby putri Yumna, makan bersama, satu meja!Enggar udah kenal itu anak apa gimana sih? Kok langsung akrab gitu? Mou bertanya di hadapanku.Pacaran, sahutku tak acuh, lalu menyuap sebulat bakso.Serius lo??Tidak kujawab lagi. Netra Mou membulat seraya menelisik gestur tidak biasa antara Enggar dan Ruby. Entah dapat atau tidak.Sejak kapan? Kok gue gak tahu?!Gimana mau tahu, lo sibuk godain Nohan gitu.Mou nyengir. Biasanya, nama Nohan akan serta merta membuatnya celingukan di kantin, mencari si pemilik nama tersebut. Namun kali ini tidak. Mou malah menatap lekat padaku. Lo gak masalah?Alisku meninggi, bertanya. Mou berdecak. Si Enggar, pacarnya baru hari pertama sekolah aja udah nempel gitu, gimana ke depannya?? Biasanya kan di mana ada Enggar, di situ ada elo.Aku mengerti. Memang. Tapi sebenarnya, aku yang mengusir Pi dari meja ini jika keukeuh ingin mengajak Ruby makan bersama. Meski Pi tidak tahu hubungan antara aku dan Ruby, Pi tahu betul aku tidak menyukai pacarnya itu. Dan aku tidak berusaha menutupinya sama sekali.❁❁❁Pulang bareng Ruby ya? Pi meminta dengan nada yang amat lembut. Kumasukkan beberapa buku ke dalam tas sementara satu per satu murid keluar dari kelas. Gue gak enak sama tante Una, Na. Beliau udah nitipin Ruby sama gue. Bukannya tanpa dititipi pun lo akan pulang bareng dia? Tapi protektif juga wanita itu, sampai menitipkan putrinya pada Pi-ku. Hm, positif thinking sajalah, barangkali Ruby baru bisa berjalan, harus dituntun. Bukuku telah masuk sepenuhnya. Tas telah tersampir di bahuku. Selintas kuteliti raut wajah Pi yang cemas aku marah. Aku tersenyum. Ok.Binar di netra Pi tidak jadi redup. Pi tersenyum lega, bangkit, lalu merangkul bahuku menuju parkiran. Ini adalah salah satu momen yang kusukai. Mendapatkan setiap perhatian kecil dan perlakuan lembut Pi, kemudian disaksikan Ruby yang hanya bisa diam sambil menahan cemburu. Menyenangkan.Nunggu lama? Pi bertanya saat tiba di parkiran. Netra bulat Ruby lebih dulu mendapati jemari Pi yang bertengger di bahuku, barulah tersenyum. Menurut Pi pasti manis, tapi menurutku nampak terpaksa.Belum lama kok, Kak.Pi membuka pintu di samping kemudi. Segera aku memblokade Ruby yang hendak naik. Gue gak biasa duduk di belakang, suka enek, ucapku, lalu tanpa menunggu persetujuan, masuk dan duduk.Pi pun berusaha menjelaskan pada Ruby, meminta pacarnya mengerti - untuk yang ke sekian kali. Dan berhasil. Ruby selalu mengalah. Pi tersenyum. Binar matanya seolah mengagumi sosok sang pacar yang sabar dan penuh pengertian. Namun entahlah. Di mataku, kebaikan dan kelembutan Ruby tidak pernah nampak tulus. Entah aku yang terlalu benci, atau Ruby yang memang pandai menyamarkan diri - persis wanita itu.❁❁❁Kak, nanti malam jadi kan belajar bareng di rumah? Ruby bertanya disela keheningan.Jadi kok. Pi melirik Ruby lewat spion dasbor sambil menyetir, lalu tersenyum.Tak kuhiraukan sepasang kekasih yang mengobrol terhalang punggung kursi di sampingku. Jalanan siang yang ramai lancar lebih menarik. Ada penjual es cendol yang sedang mangkal di trotoar. Tetiba kerongkonganku kering. Stop!Pi refleks mengerem, tak sampai berdecit karena refleksnya bagus, tetapi lumayan membuat kaget. Kenapa, Na?Mau es cendol.Pi melongok ke arah pandangku. Tanpa banyak tanya, dia lajukan pelan mobilnya hingga menepi di dekat gerobak penjual. Males turun, Pi ... rengekku tak tahu malu.Pi menghirup napas agak dalam. Satu kebiasaannya sebelum menuruti mauku. Ditinggalkannya kemudi. Sebelumnya bertanya dulu apakah Ruby juga ingin atau tidak, dan dijawab gelengan oleh gadis itu. Menyisakan aku dan Ruby di mobil, Pi berjalan menuju si mamang penjual cendol. Sebenarnya momen ini sangat menguntungkan. Aku bisa membullynya sesukaku, tapi aku bukan tipe yang suka terhadap hal-hal berbau perundungan, sok berkuasa, dan lain-lain. Pernah dengar tidak, kalau mendiamkan seseorang juga senjata mematikan? Tapi diamku bukan karena aku ingin menyiksa Ruby sih. Melainkan lebih ke rasa malas dan tidak berminat untuk sekadar mengobrol satu dua kata. Sayangnya, gadis itu yang malah memulai pembicaraan.Kak Thana gak mau main ke rumah? Mama sekarang lebih sering di rumah, tuturnya agak pelan.Aku menyungging masam. Memangnya kenapa kalau wanita itu lebih sering di rumah? Apa beliau akan menyambutku? Menangis haru usai bertahun-tahun tidak bertemu? Kenapa gue harus main ke sana?Kak Thana kan udah lama gak ketemu Mama.Oh. Kirain nyokap lo kangen gue, sinisku.Ruby seketika bungkam. Sedikit menyedihkan sebenarnya. Karena dari sana aku tahu bahwa wanita itu memang tidak pernah sekalipun merindukan aku. Tapi yah, sudahlah. Tidak penting. Yang penting sekarang adalah es cendol! Pi kembali membawa dua bungkus plastik berisi bulir-bulir hijau bercampur air gula merah plus es batu itu. Satu dibungkus, satu lagi tidak, ditambahi sedotan untuk diseruput langsung olehku.Arigatou ..., ujarku senang. Pi terkekeh. Aku pun menghabiskan sisa perjalanan dengan menyeruput es cendol, mengabaikan Pi dan Ruby yang sesekali tertawa di tengah obrolan mereka.Hhhh ....
2 – DentingDenting yang berbunyi dari dinding kamarku
Sadarkan diriku dari lamunan panjang
Tak terasa malam kini semakin larut
'Ku masih terjaga~Sayang, kau di mana aku ingin bersama?
Aku butuh semua untuk tepiskan rindu
Mungkinkah kau di sana merasa yang sama?
Seperti dinginku di malam ini~Rintik gerimis mengundang kekasih di malam ini
Kita menari dalam rindu yang indah
Sepi kurasa hatiku saat ini, oh sayangku
Jika kau di sini, aku tenang~🎼🎼🎼Jari jemariku lincah memetik senar sementara jemari yang lain bergeser cepat dari satu not ke not yang lain. Seisi kafe sunyi. Hanya terdengar suaraku dan gitar. Mengalun, mengisi setiap penjuru.Ada rasa tenang setiap kali aku bernyanyi dan mendengar musik - meski tanpa lirik. Dan agaknya ketenangan itu menyebar ke seluruh pengunjung kafe. Pengunjung yang kebanyakan sebaya denganku itu menikmati lagu yang kubawakan. Nampak dari gestur mereka yang diam dan memfokuskan perhatian hanya padaku, mendengarkan sambil terpejam, menghayati, beberapa bahkan turut bernyanyi tanpa suara.Aku tersenyum. Respon mereka sangat tulus. Sesuatu yang sangat aku sukai.Yumna adalah aktris film dan penyanyi besar. Bakat musiknya turun padaku. Satu-satunya hal yang tidak aku sesali ketika teringat hubungan darah di antara kami.Kututup lagu dengan petikan akustik tanpa bernyanyi. Tepuk tangan berurai. Ucapan terima kasih kusampaikan sebelum turun dari stage mini yang selalu menemani jum'at dan sabtu malamku dua bulan terakhir.Ved, salah satu kawan karib Pi adalah adik dari pemilik kafe tempatku bekerja. Ved juga yang merekomendasikan aku pada kakaknya, Ned.Mengesankan. As always. Ved mengedipkan sebelah mata, memberiku gelas berisi latte macchiato.Aku duduk di sebelah Ved, menyeruput minuman yang dia beri. Ved adalah kawan Pi yang paling dekat denganku. Kepribadiannya riang, tapi sedikit brengsek perkara perempuan. Maklum, cakep, tajir, dan terlalu sadar pesona.Ke sini sama siapa? tanya Ved.Sendirilah.Gue pikir dianterin Enggar.Aku berdecak. Lagi pacaran dia. Mana sempat.Nah! Ved menjentikkan jari. Lo kapan mau pacaran?Kuteguk lagi minumanku. Nanti. Kalau buaya udah musnah dari muka bumi.Na, Ved menyerong, menghadapku. Kaum hawa itu harusnya bersyukur dengan adanya buaya, selorohnya. Bayangkan kalau semua cowok lurus dan alim. Mana bisa cewek-cewek bedain mana yang tulus mana yang enggak.Jadi maksud lo, gue harus bersyukur atas kehadiran lo, gitu? Dua alisku meninggi.Tul! Ved nyengir lebar, meneguk root beernya dengan kerlingan jahil mengarah padaku.Kepalaku menggeleng tak habis pikir, lalu terkekeh. Yeah, terlepas dari tingkah Ved yang macam para fuck boy, harus kuakui cowok itu memiliki hati yang baik. Ved kerap menemani dan menghiburku saat Pi berhalangan menemaniku di sini. Seperti saat ini.❁❁❁Aku pulang dari kafe pukul sepuluh malam. Ved - yang katanya cemas melihatku menaiki skuter butut - bersikeras mengantarku, tapi aku menolak. Aku tetap memilih mengendarai skuter butut - alias motor matic legend - yang menemaniku sejak SMP itu bukan karena tidak punya pilihan, melainkan karena aku memang suka. Sensasi ketika angin menerpa wajah dan tubuhku saat berkendara - terlebih saat malam - sangatlah menyenangkan. Rasanya bebas dan lepas.Tak sampai setengah jam, aku tiba di apartemen. Sebelumnya memarkirkan skuter di basemen terlebih dahulu, barulah naik ke lantai enam tempat unit miniku berada.Apartemen ini hanya seluas 24 meter persegi. Berisi tempat tidur single, televisi 64 inci, set sofa mini berwarna pastel, juga benda-benda multi fungsi guna meminimalisir penggunaan space ruangan. Seperti meja makan portabel, tempat tidur yang didesain dengan banyak laci di bagian bawahnya, sekat yang juga berguna sebagai hanger, dan lain-lain. Dinding dan seluruh furnitur didominasi warna monokrom agar lebih cozy. Kamar mandi terletak berhadapan dengan pantri mini, sekaligus menjadi spot pertama yang menyambut kala pintu terbuka.Kugantungkan sling bag pada hanger, lalu menghempaskan tubuh lelahku pada tempat tidur. Lampu sengaja tidak kunyalakan. Gelap lebih cepat untuk membuat netra terlelap. Tak lama, ponsel bergetar dan menampakkan nama pada notif bar. Om Joni, Sekretaris papa. Kuletakkan lagi ponselku tanpa minat. Paling hanya laporan transfer tiap bulan.Papa memang selalu mengirim sejumlah uang untuk biaya hidupku setiap bulan. Mou pernah memekik saat tidak sengaja melihat nominal saldoku. Terang saja, uang yang dikirimkan papa tidak pernah sedikit. Jika mau, aku bisa membeli satu unit apartemen mewah plus mobil sport secara cash. Aku bisa menghamburkan uang dengan shopping di tiap store berlabel kelas dunia, hangout dengan menjelajahi tiap negara, dan segala hal yang dilakukan oleh putri-putri dari keluarga kaya. Mengapa? Sebab jauh sebelum papaku menjadi menteri, papa adalah pengusaha di bidang perkapalan. Kapal dan kontainer-kontainer besar di pelabuhan adalah produksi perusahaan yang dipimpin papa. Intinya, papaku kaya raya.Hanya kaya raya.Bukan kaya kasih sayang.Kadang aku penasaran, apa yang papa rasakan saat mengingatku?Terlalu suram. Kugelengkan kepala. Jangan mengingat-ingat sesuatu yang menyedihkan, Thana. Tidak baik untuk kesehatan jiwa. Kupeluk erat bantal guling lusuh kesayanganku, lalu memejamkan mata. Rasa sesak ini harus segera dienyahkan. Lalu, ketika nyaris saja alam mimpi menyambutku, pintu berderit. Netraku terbuka pelan, mengarah pada pintu yang terbuka sedikit. Hanya satu orang yang memiliki kunci apartemen ini selain aku.Pi.❁❁❁Tidur di sini ya?Iya.Tapi jangan ngilang pas gue bangun ...Iya ...Pi sibuk membersihkan wajahku dengan kapas. Satu tangannya memegang sebotol micellar water. Di sisi tempat tidur, aku duduk. Di atas kursi stool mini, Pi duduk, menghadapku. Wangi parfumnya tercium. Wangi musk.Kuteliti wajahnya lekat-lekat. Pi memiliki iris legam yang pekat. Kadangkala memancar dingin, tapi lebih sering nampak teduh. Pi hanya akan terlihat mengerikan ketika benar-benar marah. Dan kapan Pi marah? Saat kesabarannya yang seluas samudera benar-benar terkuras habis. Aku pernah melihatnya sekali. Saat aku difitnah oleh satu geng siswi kebanyakan gaya tapi aslinya hopeless. Kata mereka, aku perempuan malam, jadi sugar baby-nya om hidung belang. Pi jelas tak terima. Saat itu aku masih kelas satu SMA, murid baru pula.Beruntungnya, Pi belum pernah marah padaku. Aku belum tahu bagaimana rasanya terkena amukan cowok ini. Tiga tahun kami berteman baik, Pi selalu sabar dan sabar. Tidak pernah sekali pun Pi membentakku. Mungkin karena dia tahu aku tidak bisa dikerasi? Iya. Kalau diingat-ingat lagi, Pi lebih sering mengalah dan bersabar menghadapi perangaiku yang menyebalkan.Benar-benar calon suami idaman masa depan.Pi?Hm.Selingkuh yuk?Usapan kapas di wajahku terhenti. Netranya menghunusku. Dapet apa kalau selingkuh?Aku mencebik. Dapet guelah!Pi lanjut membersihkan wajahku. Gak minat.Cih!❁❁❁Ini minggu pagi. Sesuai janji, Pi sungguhan ada di sampingku kala membuka mata. Aku senang, tapi berubah mendumel saat Pi dengan seenak jidat berkata 'Ayo bersih-bersih!'Lo gak dicariin emang? Ayolah ... bilang kalau lo dicariin, terus pulang, kita batal bersih-bersih, dan gue bisa rebahan.Tante udah tahu kok.Aku lemas.Sepuluh menit berikutnya, kami sungguhan bersih-bersih. Pi menggosok kamar mandi, aku mengepel lantai. Sebenarnya aku tidak jorok apalagi berantakan. Tidak ada istilah kapal pecah saat memasuki apartemenku. Segalanya tertata rapi. Namun malasnya aku dalam mengelap benda-benda dan menggosok kamar mandi, membuat benda-benda itu berdebu, dan kamar mandi berkarat. Pi yang selalu siaga dan rutin menjadwalkan bersih-bersih di sini, melebihi aku, pemiliknya.Na, tirainya buka, udah terang! Pi berteriak dari dalam kamar mandi. Segera kujatuhkan alat pel, lalu menyibak tirai. Sinar mentari pagi menyambutku.Terang banget ... Mataku silau.Pi, habis ini jajan ya? ajakku setengah jam kemudian. Kami duduk di karpet bulu, di bawah sofa, menghadap televisi. Napas kami mulai teratur setelah bermenit-menit selonjoran merehatkan lelah. Bersih-bersih juga menguras tenaga lho! Terlebih untuk pemalas sepertiku. Haha.Oke. Sekalian isi kulkas. Buat stok.Aku mengangguk senang. Pi mengacak rambutku - salah satu refleksnya yang barangkali tidak dia sadari saking terbiasanya. Kaus biru dongker Pi sedikit basah bekas keringat. Kalau dipikir-pikir, Pi sering mengenakan kaus berwarna gelap ketika bersamaku. Aku ingat pernah berceletuk, cowok itu makin ganteng kalau kausnya warna gelap, apalagi hitam. Entah Pi tersugesti oleh ucapanku, atau dia yang memang menyukai warna gelap sepertiku.Diperiksanya ponsel yang menyala. Aku berdecak. Lo udah janji mau nemenin gue seharian ini ya, Pi, ancamku, mengingatkan Pi agar tidak seenak jidat meninggalkanku dan menghampiri anak tetangga kesayangannya itu.Iya ..., Pi menyahut sabar, lalu menghela napas agak berat. Barangkali sedang membuat alasan kepada gadis itu? Kuintip apa yang dia ketik.Aku lagi sama Thana. Dianterin sopir dulu ya?Bagus. Great! Pi tidak beralasan. Salah satu - entah baik atau buruk - yang membuat Pi nampak gentle, tidak macam cowok-cowok brengsek yang kebanyakan alasan, dan bisa dipercaya. Dan tentu, untuk kali ini, aku tersenyum penuh. Ruby pasti sedang membara. Tetiba aku mencium aroma hati terbakar. Haha.Ayo. Mau jajan kan?Aku mengangguk semangat. Pi terkekeh, bangkit, lalu kami pun bersiap keluar sarang.❁❁❁Sebelah kiri jalan raya ramai oleh para pejalan kaki yang berlalu lalang. Kebanyakan dari mereka habis jogging, rehat di bangku-bangku kayu di tepian sambil bercengkrama atau sekadar meneguk sebotol air. Maklum, weekend.Aku dan Pi memang kadang-kadang berjalan kaki di area sekitar apartemen untuk membeli jajanan di mini market terdekat. Antara apartemen dan taman dihubungkan oleh lajur pejalan kaki yang bisa kubilang cukup estetik. Karena alih-alih sepi dan suram macam jalur pejalan kaki kebanyakan, jalur ini justru ditanami tanaman-tanaman kecil nan hijau di sepanjang tepiannya. Saat malam lampu-lampu tumblr yang dipasang sedemikian rupa akan menyala dengan berbagai warna. Dan yang paling favorit adalah bangku kayu panjangnya. Aku sering duduk di sini untuk sekadar merenung, rehat, atau iseng melihat orang-orang lewat. Kalau pagi, ya suasananya seperti ini, sejuk dan segar, juga ramai. Kalau malam, lumayan dingin tapi tetap sejuk dan nyaman untuk sekadar nongkrong iseng, duduk di bangku sambil bermain gadget.Suka banget sih sama eksrim. Pi menekan lembut kepalaku.Ralat. Eskrim strawberi, jawabku tanpa menjeda lumatan pada eskrim.Pi terkekeh. Diteguknya sebotol air mineral. Kami duduk di salah satu bangku. Sepanjang menuju mini market, Pi lari-lari kecil. Sekalian jogging katanya. Sementara aku - si pemalas ini - memilih jalan santai, membiarkan Pi bolak-balik lantaran mendului langkahku saat berlari.Jangan keseringan makan eskrim kalau masih pagi. Cuma sekali ini aja gue ijinin. Besok-besok gak lagi.Nanggung banget sih. Kenapa gak selamanya aja gitu ....Lo kalau gak diingetin mana peduli sama diri sendiri. Pi menatapku sambil bersandar pada bangku.Yaudah ingetin terus kalau gitu, sahutku asal sambil mengorek-ngorek isi plastik belanjaan, mencari croissant. Di mana sih! Lupa beli apa ya?Gue gak bisa selamanya ada di sisi lo, Na, timpal Pi. Lo harus belajar peduli sama diri lo sendiri. Minimal peduli sama badan lo. Jangan nunggu diingetin makan, baru makan.Aku merengut. Croissantnya tidak kebeli, dan ocehan Pi bikin ngeri. Gak bisa selamanya ada di sisiku, katanya?Hhhh ... Lo berniat pergi dari gue, gitu maksudnya?Ya enggak gitu juga.Yaudah gak ada masalah berarti kan?Pi menghela napas. Diacaknya rambutku. Balik apart yuk? Gue mau rebahan, pegel nih abis nyikatin kamar mandi. Pi menyentuh punggungnya macam kakek yang sedang pegal linu. Aku mencebik, tahu persis maksudnya. Pasti minta dipijat.Tak sampai sepuluh menit, kami tiba di apartemen. Aku dengan suka rela meringankan 'beban' pegalnya. Bukan dengan tangan, melainkan kaki. Pi akan berbaring menelungkup di atas karpet lalu aku menginjak bagian belakang tubuhnya bolak balik, dari kaki hingga bahu. Sebenarnya malas, tapi percuma juga kalau menolak dan cari alasan, Pi akan berdalih, 'Apaan body gak adaan begitu, paling juga seringan kapas.'Sialan memang.Pi terpejam. Aku yang semula bolak-balik 'menginjaki' tubuhnya berhenti, lalu duduk bersila tepat di bagian belakang pinggangnya. Jangan tidur, Pi!Netra Pi terbuka pelan-pelan, melirikku lewat ekor mata. Sebentar aja. Lalu memejam lagi.Aku berdecak. Televisi sedang menayangkan acara masak-masak. Mengambil snack kentang yang tergeletak di dekat kami, aku mengemilnya sesuap demi sesuap, melirik Pi yang sungguhan tertidur di bawahku, lalu iseng memasukkan potongan tipis kentang pada mulutnya.Pi mengernyit. Alisnya nyaris menyatu, matanya terbuka. Apaan sih, Na. Apa? Lalu kumasukkan potongan kentang itu ke mulutku. Pi memeletkan lidah akibat asin, lalu kembali tidur. Ish!Kuganti-ganti channel televisi sambil tetap nyemil di atas punggung cowok itu. Gak ada yang menarik. Memutar lagu menjadi pilihan terakhirku. Lagu 'bagaikan langit' memenuhi ruangan. Seraya mengunyah asik snack kentang, kepala dan tubuhku refleks bergerak mengikuti irama, mengabaikan Pi yang mungkin akan terganggu akibat pergerakanku. Lalu di menit pertama, smirkku muncul. Gak enak kalo joget sendirian. Kontan, aku beranjak dari posisi bersilaku. Kuguncang-guncang bahu cowok yang nyaris terlelap itu.Apa sih, Na ... Pi mendecak, tetap terpejam, memutar kepalanya ke kiri guna menghindariku.Aku tidak menyerah, bangkit, lalu menarik-narik tangannya agar turut bangkit. Ayo, Pi ... jangan tidur terus! Lagunya enak ini!!!Berhasil! Pi terduduk dengan mata setengah terbuka dan rambut berantakan. Jujur saja, kawan ... wujud manusia di hadapanku ini sangat menggoda.Kepalaku refleks menggeleng.Mengabaikan sengatan kecil yang menyentak feromonku, kutarik lagi tangannya untuk berdiri. Pi menurut saja.Oh asmara~ yang terindah mewarnai bumi~Beat lagu ini lumayan menghentak. Kuayunkan dua tangan Pi agar menari asal seperti yang biasa kami lakukan. Awalnya Pi masih di ambang sadar, tapi kemudian kepalanya mulai mengikuti irama. Naik turun bersamaku. Kaki kami menghentak suka-suka, tangan kami bertaut dan saling bergerak tak tentu arah, berputar sambil bersenandung mengikuti lagu. Sungguh tarian yang absurd. Tapi anehnya, gerakan kami sama.Lagu terus berganti.Pi sempurna terjaga.
3 - Apa Masalah KakakAku masih berjalan di selasar saat bel masuk berbunyi. Istirahat pertama kuhabiskan dengan membaca novel di perpus. Istirahat kedua aku tidur, tapi kali ini ditemani Pi yang asik membaca buku di sebelahku. Hanya ada kami berdua di dalam kelas. Kepalaku menelungkup dalam lipatan tangan. Mencoba terpejam-Kak, Enggar!Sial sekali suara menyebalkan itu membuyarkan konsentrasiku yang nyaris berhasil mencapai alam mimpi.Kamu ngapain ke sini? Sama siapa? Pi bertanya cemas, menutup bukunya.Berdua sama Anggun, kakaknya kan di kelas sebelah, jawab Ruby sambil tersenyum.Aku batal tidur. Menegapkan punggung, kulipat dua tanganku di dada. Menyadari aku terganggu, Ruby menyapa, Hai, Kak. Ramah.Aku mendelik pada Pi. Kalau mau pacaran di luar aja sih. Tidur gue keganggu nih.Pi mengusap kepalaku selintas. Sori. Yaudah tidur aja. Lalu menoleh pada Ruby yang menatap datar interaksi kami. Ngobrol di luar aja ya?Pi mengajak Ruby yang seketika tidak banyak bicara dan hanya mengikuti pacar tersayangnya keluar kelas. Sebelum benar-benar berlalu, netra kami yang sempat bertemu kugunakan untuk menampakkan senyum puas padanya. Ruby tidak bereaksi, tapi aku tahu betul, gadis itu sedang dibakar cemburu.❁❁❁Pacar kakak itu aku atau dia sih?!Bi ... tenang dulu-Gimana bisa tenang! Apa-apa demi Thana! Aku harus selalu ngalah! Bahkan untuk urusan duduk di mobil aja aku harus tetap ngalah! Ruby terdengar kesal sekali. Yang pacar kak Enggar itu aku! Aku yang lebih berhak dapetin perhatian kakak! Perasaan aku yang harusnya kakak jaga, bukan dia!Tubuhku sepenuhnya bersandar pada dinding. Tepat di balik dinding ini, dua sejoli itu bertengkar. Ck. Gak elit banget! Masa ribut di parkiran.Selanjutnya, dialog ala-ala drama tipi pun mulai mengudara.Aku gak peduli. Kak Enggar pilih. Aku atau dia.Hhh ...Inilah salah satu sebab aku tidak mau pacaran. Kebanyakan drama. Yah, meski drama kali ini aku turut campur sih.Aku memang pulang belakangan karena jadwal piket. Pi kumpulan Osis. Fyi, dia adalah ketua Osis yang sebentar lagi lengser. Intinya kami pulang terlambat karena memang ada kegiatan. Tapi Ruby tidak. Dia bisa pulang sejak bel pulang berbunyi, tapi jiwa bucin menuntunnya dengan sukarela menunggu kak Enggarnya pulang. Pacar yang baik.Kuhela napas. Menatap pot-pot berisi lidah buaya yang berjejer rapi di pinggiran koridor - hasil tanam siswa untuk praktek biologi. Inginnya mengganggu Ruby, tapi aku tidak tega pada Pi. Walau bagaimana pun, Pi itu mencintai Ruby. Kenapa aku terkesan yakin dan sok tahu? Karena aku memang tahu. Aku yang menyaksikan persis bagaimana bahagianya Pi ketika bercerita Ruby menerima cintanya. Aku juga tidak pernah lupa gurat senyum yang merekah sempurna di bibir Pi tiap kali membaca pesan-pesan dari Ruby. Yah, intinya aku tahu dan bisa merasakan.Dibanding hubungan kami yang sangat absurd dan tidak bernama, bahkan mungkin tidak berasa, perasaan Pi pada Ruby adalah kepastian. Karena itu, agaknya terlalu jahat jika aku tetap meneruskan niatku untuk pura-pura tidak tahu, melenggang menghampiri mereka, lalu menyingkirkan Ruby hanya untuk duduk di samping Pi dan membuat suasana makin suram.Pi bisa galau tujuh hari tujuh malam.Di saat yang sama, Ved sedang berjalan di koridor sebrang. Terhalang taman.Jika dipikir lagi, kenapa Ved selalu hadir di saat yang tepat?❁❁❁Jadi, kapan gue dibolehin main ke rumah lo?Gue gak punya rumah.Ved menjatuhkan bokongnya di sampingku. Tinggal bareng gue, mau?Kuteguk vanilla latte yang dia bawakan. Aku memang mengajaknya ke kafe alih-alih ke apartemen. Kuat ngasih gue makan?Beuh ngeremehin gue lo ... Diteguknya kopi latte, Asal lo mau jadi sugar baby gue, semua kebutuhan dan keinginan lo aman terkendali, berlimpah ruah, gak bakal nyesel pokoknya.Gue baru tahu lo punya bakat jadi sugar daddy.Ved terkekeh, bersandar pada sofa. Cuma sama lo doang, Na.Aku mendengus. Mengabaikan seringaian Ved, kualihkan netra keluar kafe. Masih siang menjelang sore. Tentu jalanan belum terlalu ramai, kafe pun agak sepi. Para penyanyi kafe belum menampakkan diri karena perform dimulai saat malam tiba. Dan jadwal nyanyiku hanya weekend. Kuteguk lagi minumanku. Entah kenapa rasanya malas sekali untuk pulang. Sebab pulang artinya sendiri. Dan aku sedang tidak ingin sendiri. Mungkin akan berbeda jika aku diantar Pi. Tapi cowok itu sedang sibuk menenangkan pacarnya.Ck.❁❁❁Tapi gue gak mau sendirian, Pi!Jurus andalan, merengek sambil memasang wajah se-memelas mungkin.Ternyata aku tidak setulus dan sesabar itu. Padahal sudah bertekad untuk tidak mengganggu Ruby demi ketenangan Pi, tapi belum genap dua puluh empat jam, aku sudah mengingkari saja.Biarlah.Pi! Ikut ....Cowok yang kini mengenakan jaket denim berkauskan hitam itu menarik napas dalam. Dan setelahnya bisa kutebak,Yaudah ayo. Plus kepalaku yang diusapnya.See? Pi tidak akan sampai hati meninggalkanku. Maka empat puluh menit berikutnya, aku duduk di tengah-tengah sepasang kekasih yang sedang fokus menonton bioskop. Aku sih fokus. Gak tau kalau cewek di sebelah. Sepertinya lagi mendumel dalam hati. Pi duduk di samping kanan, Ruby duduk di samping kiri.Film berakhir dua jam kemudian. Dan selama itu pula Ruby menutup rapat mulutnya. Pi berkali-kali mengajaknya bicara, tapi hanya gelengan kepala yang didapat.Ruby merajuk, pemirsa!Yah, wajar sih!Tapi aku ingin tertawa. Kasihan sekali gadis itu. Kalau aku jadi dia, aku tidak akan sudi meneruskan acara kencan malam ini. Tidakkah dia tahu, bahwa Pi sudah terikat padaku? Meski saat ini raut wajah Pi seolah mengatakan 'gue pusing', tapi aku tahu persis Pi tidak akan pernah mengusirku demi Ruby. Setidaknya tidak saat ini.Usai nonton, kami duduk di mekdi. Pi yang memesan. Aku dan Ruby duduk berhadapan.Maksud kak Thana apa sih dengan ngelakuin ini? Ruby bersedekap, mulai buka suara. Syukurlah, dia masih bisa bicara.Ngelakuin ini? Aku bertanya balik.Ruby menghela kasar napasnya. Kak Thana tahu ini acara kencanku sama Kak Enggar, kenapa ikut?Wow. Dia bisa frontal juga. Kukira diam-diam anjing.Oh ... Aku manggut-manggut. Lo gak suka?Cewek mana yang suka acara kencannya diganggu, Kak ...Terus kenapa diam aja? timpalku. Ngomong dong sama kak Enggar lo. Bilang, Kak, aku tuh gak suka Kak Thana, aku keberatan dia ikut kencan kita, udah?Raut penuh amarah Ruby mengeras. Jadi sudah ya? Smirkku muncul. Kalau lo memang segitu pentingnya untuk Enggar, harusnya dia dengerin keberatan lo.Jemari Ruby di atas meja mengepal. Pertanyaanku masih sama. Apa maksud Kak Thana ngelakuin ini? Amarahnya masih tertahan. Apa Kakak gak malu?Gak malu.Gak malu.Gak malu.Wah berani juga dia. Apa ini istilah lain dari dasar lo gak tau malu, huh?Aku sedang mencoba untuk sopan, sahutnya dingin.Semakin menarik. Gue gak butuh wajah palsu lo.Sebenarnya apa masalah Kak Thana sama aku? tanyanya. Apa karena Mama lebih sayang aku? Karena Mama ninggalin Kak Thana dan lebih memilihku?Raut sinisku luntur. Gadis ini-Kalian ngobrol udah kayak pasangan lagi berantem. Sebuah nampan mendarat di atas meja. Pi duduk di antara kami.Ruby buang muka, menunduk sambil meremat ujung dressnya. Sayangnya Pi tidak melihat itu - meski tahu. Cowok itu memilih fokus membuka BTS meal yang dipesannya, mengunyah tenang tanpa repot bertanya. Di dahinya tertulis jelas : Gue pusing. Bodo amat.Ckck.❁❁❁Pi mengantarku hanya sampai depan gedung apartemen, tanpa repot turun apalagi memastikan aku masuk dengan selamat. Agaknya merengutnya Ruby membuat Pi jadi merasa bersalah. Pi tidak menyalahkanku sih, tapi sedikit mendiamkanku demi menjaga perasaan Ruby.Ck. Situasi yang menyebalkan. Harusnya aku senang. Tapi diamnya Pi meruntuhkan segalanya. Kuhempaskan tubuhku pada tempat tidur. Satu tanganku terangkat menutup wajah.Sebenarnya apa masalah Kak Thana sama aku?Apa karena Mama lebih sayang aku?Karena Mama ninggalin Kak Thana dan lebih memilihku?Cih! Berani-beraninya!Thana! Kamu apain Ruby sampai nangis gini?!Bantal donat Nana mau diambi-Ruby itu adik kamu! Ngalah sedikit!Padahal sore itu Ruby yang memulai. Ruby merampas paksa bantal donatku. Aku hanya mempertahankan satu-satunya milikku - pemberian papa. Kudorong Ruby hingga dia jatuh. Ruby menangis. Dan usai bentakan demi bentakan, besoknya aku ditinggal keluarga bahagia itu untuk liburan. Demi apa? Demi tuan putri mereka agar tidak lagi menangis.Sialan.Kenapa tiba-tiba teringat sih?!❁❁❁Pi : Na, gue berangkat duluan ya. Ruby harus tiba di sekolah pagi-pagi. Kena hukum satu kelas katanya. Lo berangkat sendiri gak papa kan?Kupandangi layar ponsel lurus-lurus. Ini kali pertama, Pi meninggalkanku. Wah! Hebat juga si Rubah. Setelah berminggu-minggu menahan diri dan mengalah, dia berhasil membujuk Pi untuk meninggalkanku. Bakat turunan dari mamanya mulai menunjukkan diri.Kusandarkan punggung pada sofa. Tetiba malas. Bolos aja apa ya?Iya! Gak akan bolos lagi.Lo udah janji. Gue pegang ucapan lo.Hhh ... kenapa juga saat itu aku mau-mau saja janji pada Pi? Jadi susah sendiri kan?! Ck. Bisa saja sih aku mengabaikan janji itu, tapi itu artinya aku melanggar prinsipku sendiri. Biar begini-begini, aku sangat memegang ucapan.Pada akhirnya, usai mandi dan rapi, aku bergegas menggamit sling bag di hanger, kukenakan sepatu, lantas berangkat dengan skuter kesayanganku.Aku tetap pergi ke sekolah. Sesuai janji.❁❁❁Pi, siang ini makan di foodcourt depan yuk?Kayaknya gak bisa deh, Na. Pi meletakkan bukunya di laci meja. Ruby bawain makan siang.Rapat mulutku tertutup. Pi agak berbeda hari ini. Dia bahkan tidak menatapku saat bicara. Ke kantin duluan ya? Rambutku diacak singkat, lalu tanpa menunggu responku, Pi keluar meninggalkan kelas.Apa gue udah bikin salah?**Aku tidak jadi ke foodcourt. Mou tidak bisa menemani karena sedang ngebucin pada Nohan. Ujungnya aku ke kantin sendiri lantaran perutku mulai perih. Ini gara-gara kacaunya pola makanku seminggu terakhir. Kantin selalu penuh di jam istirahat pertama. Kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru, berharap ada meja kosong. Namun zonk. Sialnya, interaksi sepasang kekasih yang sedang makan berhadapan sambil bercengkrama mengganggu penglihatanku. Cih!Agaknya aku mulai paham apa yang membuat Pi berbeda. Pacar kesayangannya itu pasti marah besar dan mengancam putus. Sejenak aku mual. Mual sungguhan. Bukan karena maag-ku kambuh, melainkan melihat bagaimana lihainya rubah itu berakting bak gadis polos suci tapi diam-diam bajing. Kok bisa sih Pi terperdaya?!Gak sukanya kenapa? Kalian pernah ada masalah sebelumnya?Pi bertanya saat itu.Setau gue kalian baru pertama bertemu melalui gue. Apa ada yang gue lewatkan?Kenapa aku tidak memberitahu Pi perihal hubunganku dengan Ruby? Karena aku tidak sudi disangkutpautkan lagi dengan mereka. Toh sepertinya wanita itu juga enggan mengakuiku. Jadi sudah hal benar dengan berperan sebagai orang asing. Dan lagi, aku tidak mau menyulitkan Pi dengan fakta itu. Pi itu tipe yang bertanggung jawab dan berempati tinggi. Bisa-bisa dia kebingungan setiap hari lantaran memikirkan perasaanku tiap kali bersama Ruby.Dan aku tidak mau dikasihani seperti itu.Itu alasanku. Tidak tahu kalau Ruby.Akhirnya aku batal makan di kantin. Sebungkus roti isi keju dan sebotol air mineral sudah cukup untuk ganjel perut.❁❁❁Bel pulang berdentang. Kuputar-putar kunci motor yang melingkari jari telunjukku sambil berjalan santai menuju parkiran. Pi dan Ruby ada di sana. Keduanya menoleh begitu melihat aku melangkah menuju skuterku yang terparkir tak jauh dari mobil Pi berada. Netra mereka bergulir mengikuti langkahku yang berlalu begitu saja melewati keduanya.Lo bawa skuter, Na? tanya Pi saat sadar aku tidak akan menyapa.Yoi. Kujawab pertanyaan itu tanpa repot-repot menoleh, mengayunkan langkah santai hingga tiba di dekat skuter dan mengenakan helm. Aku tahu netra Pi tak putus memperhatikanku. Namun keacuhannya hari ini membuatku malas untuk sekadar bertegur sapa apalagi berceloteh panjang lebar. Kulajukan skuter melewati jejeran motor dan mobil yang masih terparkir. Melewati mereka berdua, aku membunyikan klakson. Duluan, pamitku.Pi masih bergeming di tempat. Ruby tidak bersuara. Namun aku tahu sepasang netra bulatnya tak lepas memperhatikan sang pacar yang justru memperhatikanku hingga hilang dari pandangan.Haha. Rasakan.❁❁❁Aku sedang menghabiskan sore dengan menonton televisi ditemani sebungkus kuaci ketika pintu terbuka dan memunculkan sosok Pi. Cowok yang telah berganti dari seragam ke kemeja flanel itu menjatuhkan diri di sampingku yang sedang duduk bersila di atas karpet. Kupikir dia akan menghabiskan hari dengan pacarnya, tak sangka dia akan ke mari.Udah makan? tanyanya.Kumasukkan kuaci ke mulut satu persatu. Hanya satu biji tidak berasa. Udah.Makan apa?Baso. Pake nasi.Napas Pi terhela. Dia fokuskan pandangannya padaku sementara aku tetap pada televisi. Dua bocil botak yang sedang menangkap katak di layar jauh lebih menarik.Kepalaku diusap. Mau cari makan yang lain gak? Pi kelihatan seperti sedang merasa bersalah.Kualihkan sejenak pandangan padanya, dan netra teduh itu menyambutku. Mau menebus dosa ya?Kontan kepala belakangnya digaruk, yang kuyakini tidak gatal sama sekali. Aku mendecih gemas. Mengalihkan lagi fokus pada layar datar di depan. Eskrim.Pi yang sedang menunjukkan raut tak enak hatinya seperti mendapat angin segar. Senyum lebarnya mengembang. Ok.Kurang dari setengah jam, Pi kembali dengan plastik berisi eskrim berbagai rasa dan bentuk. Kumakan rasa stroberi lebih dulu.Mau jalan gak? tanyanya, menggantikanku makan kuaci sementara aku beralih pada eskrim.Pacar lo tahu lo di sini?Enggak.Kasih taulah. Siapa tau mau gabung. Stok kuaci gue banyak.Tidak digubris. Baiklah. Aku tidak akan memperpanjang tanya. Tidak penting juga.Pi tertawa kecil melihat tingkah dua bocil botak di televisi. Satu tangannya terjulur melewati belakang bahuku. Satu tangan yang lain asik mencomot satu persatu kuaci, menghabiskannya tanpa sadar. Eskrimku juga habis. Tepatnya, sudah habis tiga. Hehe.Kekenyangan - efek nasi yang ditimpa eskrim, kusandarkan tubuhku di sisi tubuh Pi. Tangan terjulur itu refleks melingkupi bahuku. Sore berlalu diisi canda tawa kami yang terlarut dalam tontonan. Aku tidak tahu kapan tepatnya mata ini terlelap. Aku hanya samar merasakan kecupan lembut di keningku, sebelum gelap menguasaiku penuh.
4 - Ulang Tahun PiPi, lo kan bentar lagi ulang tahun. Mau hadiah apa?Pertanyaan lo kayak Mama.Ish kan emang gitu!Gue bukan bocah, Na. Gak perlu hadiah-hadiahan segala.Meski Pi selalu berkata seperti itu tiap tahun, aku tidak pernah absen memberinya hadiah. Tidak selalu barang. Terakhir, aku memasak untuknya. Udang crispy dan ayam teriyaki - makanan favoritnya. Meski beraroma gosong dan kelebihan micin, Pi tetap memakannya. Agak memalukan. Untung Pi bukan tukang bikin malu.Untuk hadiah yang akan kuberikan tahun ini, aku sudah berpikir dari beberapa hari lalu. Bahkan begadang dua malam untuk mengerjakannya. Sebuah scrapbook. Berisi foto-foto kenangan kami dari tahun ke tahun yang sudah kuhias dan kukreasikan sedemikian rupa. Aku tersenyum sendiri. Masih tidak percaya seorang Thana bisa menyelesaikan scrapbook ini dengan 'lumayan' estetik di tengah kreatifitas yang mengkhawatirkan.Kumasukkan scrapbook bersampul garis-garis biru langit dengan nama Pi dan Nana di bagian bawahnya ke dalam paper bag. Hari ini aku akan mengunjungi rumah Pi. Sesuatu yang nyaris tidak pernah aku lakukan. Kenapa? Jelas karena tetangga cowok itu. Pernah sekali aku ke sana, sekali yang membuatku tahu bahwa keluarga 'mereka' pindah ke daerah itu dan bertetangga dengan teman baikku. Sekali itu juga menjadi sekali yang benar-benar satu kali. Jika malam ini aku ke sana, maka terhitung dua kali.Fyi, Pi tinggal bersama om dan tantenya. Kata cowok itu, dua orang tuanya tinggal di luar Ibu kota, tepatnya di perkampungan pantai, rumah mereka bahkan dekat pesisir, persis menghadap jernihnya pantai. Dan Pi yang memang bertekad menyelesaikan sekolah di Ibukota, tinggal bersama tantenya sementara.Sebenarnya aku enggan ke sana, tapi demi Pi, aku akan melakukannya. Sambil melangkah menuju skuter yang terpakir di bawah sana, senyumku enggan pergi. Membayangkan bagaimana kagetnya Pi yang menyambut kedatanganku, untuk kemudian tersenyum senang. Pi kan selalu protes selama ini. Katanya aku 'jahat' karena tidak mau bertandang ke rumahnya. Bahkan kerja kelompok pun aku selalu memastikan dikerjakan di tempat lain.Semoga saja wanita itu tidak menampakkan diri.❁❁❁Jam menunjuk ke angka delapan lebih enam belas malam ketika aku tiba. Pembantu rumah mereka - yang namanya belum aku hafal - membukakan pintu.Siapa ya? tanya mbok ramah dan agak medok.Saya Thana, temannya Enggar.Oh ... si nduk yang waktu itu ya?Aku tersenyum. Masih diingat rupanya.Sebentar saya panggilin. Ayo masuk dulu.Aku tersenyum sopan, lantas duduk di kursi yang dipersilahkan si mbok.Rumah Pi terhitung elit, tapi minimalis dan terdiri dari dua lantai. Pi pernah bilang, om dan tantenya tidak suka keribetan dan bangunan yang terlalu megah. Dinding lantai pertama nyaris seluruhnya berlapis kaca. Membuat transparan pemandangan di luar. Untungnya ada taman dan dinding penghalang melingkupi rumah. Jika tidak, bisa dipastikan bangunan rumah di samping akan terlihat jelas.Non, Nak Enggar, Ibu, sama Bapak, lagi di rumah sebelah. Si mbok datang. Mbok baru inget. Gimana? Apa mau diantar ke sana atau mbok kasih tau Nak Enggarnya biar ke sini?Di rumah sebelah? Rupanya dua keluarga itu punya acara ya? Senyum masamku tercipta. Bodohnya aku mengira Pi akan berada di rumah pada hari pentingnya ini. Sesaat aku lupa dia punya seseorang yang disebut prioritas.Gimana, Non?Aku tersenyum tipis. Gak papa, mbok. Lain kali aja, jawabku. Boleh titip ini buat Enggar?Uwah apa itu hadiah ulang tahun, Non? Si mbok mengedip jahil.Aku terkekeh pelan. Judulnya sih begitu, mbok.Oalaah mbok gak berani pegang ah, takut rusak. Non simpan aja di kamarnya Nak Enggar, gimana?Emang boleh, Mbok? Orang rumahnya kan lagi gak ada.Boleh kalo Non Thana. Wong Nak Enggar pernah berpesan dulu-dulu. Kalau ada Non tiba-tiba ke mari, suruh langsung tunggu di kamarnya atau perpus aja.Begitu ya?Yah, tidak ada salahnya juga. Sekian tahun bersahabat, satu kali pun aku tidak pernah melihat penampakan kamar Pi. Beberapa menit berikutnya, aku tiba di kamar cowok itu, yang ternyata terletak di lantai dua.Di dinding monokrom itu tertempel poster dirinya yang dipotret candid sedang bermain basket. Foto itu nampak estetik - dan tentu saja menawan. Sangat pantas dijadikan background yang menghias dinding. Beberapa action figure berjejer di dalam rak dekat meja belajar. Tirai silver yang menutup balkon terbuka. Kuletakkan paper bag yang kubawa di atas meja belajar, lantas melangkah menuju balkon. Aku terlambat sadar, bahwa balkon ini bersisian dengan rumah sebelah.Di bawah sana. Tepatnya di halaman belakang rumah itu, nampak beberapa orang sedang pesta barbeque kecil-kecilan. Dua orang pria baya sedang mengobrol dan menyesap gelas wine. Satu wanita sedang sibuk membolak-balik daging sambil sesekali memakannya. Dan satu wanita - Yumna - sedang bercengkrama seru dengan sepasang kekasih itu - Enggara dan Ruby.Mereka kelihatan bahagia sekali.Sesekali Yumna mengusap kepala Ruby penuh sayang. Pi di depan mereka tak henti tersenyum, kadang kala tertawa. Tatap mesranya menyorot Ruby intens sekali.Dua lenganku terkepal. Sesuatu terasa seperti menghantam dadaku. Senyum-senyum itu, tawa riang itu, kebersamaan yang hangat itu, bagai salah satu kilasan mimpi yang menyambangi salah satu malamku. Kadangkala membuatku berurai airmata saat terbangun. Bedanya, ada papa di mimpi itu, bersama keluarganya. Tiga keluarga itu bercengkrama penuh tawa, mengabaikan aku yang hanya mengintip dari balik jendela.Mirip.❁❁❁
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan