Alan Part 6, 7 ,8, 9, 10

4
0
Deskripsi

Bab 6

 

Alan melempar ranselnya ke sembarang arah, kemudian meneguk sebotol air mineral dingin yang dia ambil dari lemari es.

"Makasih, Al," ucap Ditha sembari menyerahkan helm. Dia merapikan rambut yang sedikit berantakan setelah melepas helm yang sebenarnya kebesaran jika dikenakan.

Alan menerima helm tersebut dan hanya mengangguk sebagai tanggapan.

Ditha memilin ujung jaket Alan yang terpasang di tubuhnya. "Makasih juga, udah mau nolongin aku."

Alan menaikkan sebelah alis. "Kalo yang nemuin orang lain juga mereka pasti nolongin kok." Bisa Alan lihat senyum kecut yang tercetak samar di bibir gadis itu. "Kecuali dia brengsek," sambungnya.

Ditha memberanikan diri menatap Alan. Tersenyum. "Aku tahu."

Untuk sesaat. Hanya sesaat saja. Alan terpaku. Sebelum akhirnya dia berdeham pelan, kemudian mengarahkan dagunya ke arah pintu rumah. "Masuk gih."

Ditha merapatkan bibir, mengangguk, kemudian berbalik.

Alan pandangi punggung Ditha yang kian menjauh. Sebelum tangannya mencapai gagang pintu, gadis itu menoleh. Alan, yang memang sedang memusatkan netranya pada gadis itu, tidak berusaha menghindar.

Lama, mereka beradu tatap dalam diam. Hingga seulas senyum tipis nan lembut tercetak di bibir Alan. Layaknya ucapan selamat tidur dan selamat malam, senyum Alan menjadi penutup sekaligus penenang sebelum gadis itu benar-benar menghilang dari balik pintu.

Sebotol air dingin tandas tak bersisa dalam sekali tegukan. Kepalanya terus memutar ulang kejadian beberapa jam lalu persis kaset rusak. Ekspresi gadis itu, senyumannya, bahkan tangisannya di rooftop, begitu membekas dalam ingatan. Ada rasa tidak terima ketika raut ketakutan itu kembali terbayang. Ada rasa hangat menjalar begitu senyum gadis itu nampak dan tertuju padanya.

Alan tidak tahu. Benar-benar tidak tahu. Kenapa hatinya selalu terganggu melihat kerapuhan gadis itu. Ada rasa kesal tiap kali melihatnya murung dan diperlakukan tidak baik oleh sekitar. Saraf-saraf di otaknya bahkan seolah memerintahkan tubuhnya untuk mendatangi Ditha tiap kali gadis itu kesusahan. 

Sungguh refleks yang menyebalkan.

Mungkinkah Alan tertarik pada gadis itu?

Sejauh ini, satu-satunya perasaan tertarik kepada seorang wanita yang dia rasakan adalah sejenis hubungan saling menguntungkan yang akan berakhir jika salah satu sudah bosan.

Alan meletakkan botol yang sudah kosong di atas meja, lalu duduk di sofa, termenung, membiarkan televisi menonton dirinya.

Apartemen kecil yang Alan beli dengan menguras habis tabungannya itu selalu sepi karena dia hanya tinggal seorang diri. Tempat tidurnya berjarak beberapa meter saja bersebalahan dengan sofa merah, menghadap televisi. Pantry berbentuk mini bar yang terletak di belakang sofa juga bersebalahan dengan kamar mandi yang berada di belakang tempat tidur. Sekilas, apartemen Alan nampak seperti satu ruangan besar karena tidak ada sekat antara kamar dan ruangan lain. Benar-benar gaya khas seorang Alan Shattara yang benci kerumitan.

Ting tong

Ting tong

Bel apartemen berbunyi. Alan mendecak sebal lalu beranjak malas menuju pintu. Hanya ada tiga manusia yang mengetahui tempat tinggalnya. Bagas, Eshal, dan gadis yang kini berdiri di ambang pintu seraya menatap tajam ke arahnya.

"Apa?" tanya Alan datar.

"Kenapa lo nolongin dia?"

Alan mengernyit. Menatap heran Paula. "Abis mabok lo?"

Paula mengembuskan napas kasar. Gadis itu buang muka sesaat sebelum kembali menatap Alan dengan emosi tertahan. "Lo bilang gak ada yang boleh naik motor lo. Tapi kenapa malah boncengin cewek cupu itu?"

Alan makin mengernyit. Butuh waktu beberapa detik untuk Alan mencerna semuanya. Dan begitu paham, dua mata elangnya membelalak. "Jadi lo yang ngelakuin itu??"

Paula melipat kedua tangan di dada. "Kenapa? Masalah?"

Alan dibuat menganga sesaat, kepalanya refleks mundur menatap Paula tak percaya. "Masalah lo apa sama dia??"

"Ini semua karena lo."

"Gue??" Alan menunjuk dirinya sendiri.

"Gue gak suka cara lo natap dia. Gue benci ngeliat lo lakuin sesuatu buat dia!"

"Urusan lo apa?"

"Gue suka sama lo, Lan! Harus berapa kali gue bilang?!"

Alan menarik napas seraya memejamkan mata. Apalagi ini? "Lo tau gue brengsek, 'kan?" tanyanya. "Gue bisa maenan sama lima cewek sekaligus dalam satu malam. Lo juga mau jadi salah satu dari mereka! Tapi denger ini baik-baik-" Alan maju satu langkah. Sorot intimidasi cowok itu menghunus tajam pada dua bola mata Paula yang menatapnya nanar. Dengan suara rendah yang sarat ancaman Alan berkata, "Pramuditha bukan salah satu dari kalian. Jadi lebih baik lo jauh-jauh dari dia!"

"Justru karena lo spesialin dia! Gue gak terima!"

"Lo saiko apa gimana sih?!"

"Iya. Gue saiko! Gue gila! Dan itu semua karena lo! Gue gak peduli lo mau anggap gue kayak apa, Lan. Gue bahkan gak pernah permasalahin lo yang selalu ganti cewek tiap waktu." Paula menelan ludah. Sorot matanya meredup untuk sesaat. "Gue cuma gak suka cara lo yang perlakuin dia berbeda. Gue gak suka posisi Pramuditha di hati lo!" Paula mencengkeram tali tasnya kuat-kuat. Napasnya menderu kencang. "Liatin aja, selama lo deket sama dia, gue jamin hidup dia gak akan tenang di sekolah!"

Paula menghentakkan kaki sebelum pergi. Emosinya penuh. Sedangkan Alan terdiam di ambang pintu, memikirkan satu kalimat Paula yang sejak tadi mengusik benaknya, lantas mendengus.

"Beda apanya sih."

 

•••

 

Ada tiga puluh hari dalam satu bulan dan enam puluh menit dalam satu jam. Siklus tersebut terus berulang hingga seorang manusia meninggalkan dunia fana.

Dari sekian detik Ditha menghabiskan waktu dalam kesendirian, baru kali ini gadis itu tersenyum dalam renungannya. Di dalam gelapnya lampu kamar, dia menoleh ke arah jaket hitam berlogo K yang tergantung di balik pintu. Entahlah ... ada rasa menggelitik yang menyapa hatinya tatkala mengingat cowok itu. Sosok yang tanpa sadar mengisi hari-hari sepinya melalui kejadian-kejadian kecil. Ditha tidak lupa perlakuan Paula padanya siang tadi. Namun, sekali lagi, malam yang harusnya dia habiskan untuk menangis karena perundungan tersebut, justru kini dihiasi senyuman kecil yang tak urung membuat si pemilik senyum itu pun terheran sendiri.

 

•••

 

"Lan, elaaahhh duduk mulu, jamuran tau rasa lo!"

Musik Dj begitu memekakkan telinga. Di sofa sudut bar, Alan duduk dengan sebotol bir di tangan. Ajakan Eshal dia abaikan, begitu pun godaan para gadis. Hanya raganya yang berada di sini. Pikirannya entah di mana.

"Baru putus dia," celetuk Bagas yang baru tiba, kemudian duduk di samping Alan.

Pandangan mereka tertuju pada Eshal yang tengah asik di lantai dansa. Entah siapa wanita yang kini sedang dia rangkul. 

Bagas pun mengalihkan tatap pada Alan. Raut keruh di wajah Alan cukup membuatnya yakin bahwa ada sesuatu yang menganggu pikiran karibnya itu.  "Kenapa lo?"

Alan meneguk birnya tanpa menggubris. Lampu disko berpendar ke segala arah, beberapa kali bergantian menyorot wajah mereka.

Bagas meraih gelas cocktail yang tersaji di atas meja, lalu meneguknya sedikit. "Apa yang terjadi sama Ditha?" tanyanya sambil lalu. Setelah berjam-jam dihantui rasa penasaran, akhirnya Bagas bertanya.

"Di bully sama Paula."

"Karena?"

"Gue."

Rahang Bagas mengeras seketika. "Udah gue bilang jangan gangguin dia." Bahkan nada bicaranya berubah ketus.

Alan menoleh. Sebelah alisnya pun terangkat. "Kenapa lo sangat peduli?"

Bagas mendengus kasar, lantas menghempaskan punggung ke sofa.

"Ditha temen gue waktu SMP."

Dan sedikit demi sedikit, Alan mulai memahami sesuatu.

"Dulu, dia gak kayak gitu. Ditha itu gadis ceria dan punya banyak temen. Pernah gue satu kelompok sama dia waktu masih kelas tujuh. Kepribadian Ditha yang gampang akrab sama siapa pun bikin gue sama dia lebih deket dari sekadar temen biasa." Bagas menarik napas berat di ujung kalimat. "Tapi anehnya, saat gue pikir gue sama dia udah bener-bener deket, dia tiba-tiba berubah. Bukan cuma ngejauhin gue, tapi ngejauhin semua orang." Bagas menatap Alan. Rautnya sendu. Alan baru kali ini melihatnya. "Ditha berubah. Gue sama dia kembali jadi orang asing. Dan seperti yang lo lihat sekarang. Dia bener-bener tertutup dan menghindari cowok."

Musik masih menghentak. Di antara kumpulan manusia yang tengah asik meliukkan tubuh, Alan justru menemukan fakta baru yang berhasil menulikannya dari suara bising sekitar. Fakta yang sontak merubah suasana hatinya menjadi makin tidak karuan. Memang hanya terkaan. Namun, bukankah firasatnya jarang meleset jika bicara soal Bagas?

"Lo ... suka dia?"

 

 

 


 


 

Bab 7

 

"Udahlah, Gas, ngapain sih temenan sama biang onar kayak dia. Mending sama kita."

Bagas memandang angkuh tangan yang terjulur di hadapannya. "Kayaknya gue lebih tahu siapa yang lebih pantes jadi temen gue."

Itu kalimat penolakan tegas, yang seketika membuat beberapa bocah tersebut marah, Bagas pun berbalik menghampiri satu-satunya bocah yang baru saja membabat habis kumpulan geng sok jagoan yang sudah sejak lama mengincarnya untuk bergabung.

"Nama lo Alan 'kan?"

Seringai tipis muncul di bibir bocah yang baru disapanya. "Yep."

"Gue Bagas."

Itu adalah hari pertama Alan dan Bagas mengikrarkan diri sebagai teman, berlanjut menjadi sahabat, dan lambat laun menjelma bagai saudara, sampai ketika SMA bertemu Eshal dan menyempurnakan formasi mereka.

Tiap momen persahabatan mereka muncul satu persatu di tiap satu tegukan vodka yang membasahi kerongkongannya. Musik yang menghentak tak cukup membuat cowok itu terpengaruh. 

"Lo ... suka dia?"

Bagas diam. Termenung. Lantas tersenyum lirih. "Sejak dulu hingga detik ini, Ditha masih satu-satunya."

Tetes terakhir vodka telah tandas tak bersisa, nyaris melimbungkan kesadaran Alan yang memang sudah berada di ambang batas. Dia pijat pelan pangkal hidungnya. Di saat seperti ini, dia justru ingin tertawa.

Mengapa rasa sialan itu harus hadir dengan cara yang rumit?

 

•••

 

"Makasih jaketnya." Ditha menyodorkan paper bag berisi jaket yang dipinjamkan Alan kemarin.

Alan mengambil paper bag tersebut. Mengangguk sambil lalu. Jangankan menggoda jahil seperti yang belakangan ini cowok itu lakukan, Alan bahkan tidak repot-repot menanggapi ucapan terima kasih gadis itu. Sorot matanya dingin dan jauh dari kata ramah.

Satu perubahan kecil yang dirasakan Ditha. Dan Ditha akan selalu jadi Ditha. Yang teramat peka dan tahu diri. Kendati tidak paham, Ditha coba mengerti dan mengurungkan niatnya. Sejujurnya, gadis itu hendak mentraktir Alan sebagai ucapan terima kasih. Lebih dari itu, Ditha telah bertekad untuk belajar membuka diri. Mungkin jika diawali dengan Alan, Ditha akan lebih nyaman dan leluasa. Sebab cowok itu memang memperlakukannya normal, tidak seperti yang lain, yang tahunya hanya mencemooh dan berbisik usil. Namun niat tersebut hanya tinggal niat, luntur seketika. Ditha memiliki kepekaan super tinggi. Cukup melihat reaksi dingin Alan, dia tahu bahwa ajakannya yang baru sekadar niat sudah pasti akan tertolak. Pesimis yang miris.

Ditha hanya tidak tahu saja, bahwa Alan begitu intens menatap punggungnya yang berjalan makin jauh dan berakhir dengan berbelok sebelum masuk ke perpus. Lalu meemandangi paper bag di tangan dengan perasaan tak menentu, menghela napas.

"Oy! Bengong mulu!"

Alan terperanjat kecil. Eshal muncul tiba-tiba dan menepuk keras bahunya.

"Lo kenapa dah? PMS? Kusut bener."

"Bagas mana?"

"Biasa ... OSIS. Mau serah terima jabatan dia sama si ... si ... siapa ya gue lupa?"

Alan berdecak. Tidak jelas sekali sahabatnya satu ini. Dia pun melanjutkan langkah menuju kelas. Eshal otomatis mengekori.

"Bawa apaan tuh?"

"Jaket."

Eshal ber-ooh paham, lantas melirik Alan. "Gue pikir itu jaket gak boleh ada yang nyentuh. Ternyata bisa dipinjemin juga."

Itu sindirian sebenarnya. Eshal itu playboynya SMA Liner. Setiap perempuan dengan segala jenis karakter pernah dia pacari. Segala drama perbucinan pun pernah dia jajaki, meski kebanyakan hanya bualan. Jadi, bukan hal sulit bagi Eshal untuk menebak percikan-percikan cinta yang mulai menyambangi hati sahabatnya.

Kenapa?

Karena dia tahu Alan tak pernah membiarkan perempuan mana pun menyentuh segala sesuatu yang berkaitan dengan motornya. Dan mengetahui bahwa Alan membiarkan Ditha menaiki motornya adalah satu fakta yang harus digali dan ditelusuri, bahkan kalau bisa ditanam lalu dipupuk macam tanaman rawit kesukaannya agar tumbuh lebat dan kuat.

Eshal pun menepuk bahu Alan, lalu berjalan beriringan menuju kelas. "Cinta oh cinta ... aku tak kuasa menahan rasa ... mengapa engkau selalu memberi luka ... oh ... teganya ..."

Puisi dadakan Eshal kontan membuat Alan mendelik sebal dan geleng kepala.

Dasar gila!

 

•••

 

Bel istirahat pertama berbunyi nyaring. Koridor ramai dilalui para murid yang hendak ke kantin.

"Busett, itu yang senyum temen lo bukan?" seru Eshal tak percaya, menghentikan langkah di samping Alan.

Bagas, yang terkenal ramah, incaran siswi-siswi manis di sekolah, yang entah kenapa sampai detik ini memilih jomblo, tengah mengobrol dengan si nerd Pramuditha. Lebih tepatnya, Bagas yang bicara, sementara Ditha hanya menjawab singkat dan pelan seraya menunduk. Namun, yang membuat terkejut adalah, cowok itu tersenyum, bukan jenis senyum ramah seperti yang sering dia tunjukkan pada siswi lain, melainkan senyum lembut, yang bahkan Eshal dan Alan saja jarang melihatnya. 

Eshal mendekat pada Alan dengan tatapan lurus ke arah dua orang itu. "Tegor gak nih?"

Alan – yang sejak tadi memperhatikan dengan dua lengan tenggelam dalam saku – hanya diam. Mungkin hanya Alan yang memahami makna dari sikap Bagas saat ini. Sementara Eshal tidak. Lebih tepatnya, belum.

Alan pun melanjutkan langkah tanpa menggubris. Sesaat, netranya bertemu dengan gadis itu. Namun hanya sesaat. Sebab Alan memillih buang muka.

 

•••

 

"Lah cepet banget ngobrolnya," seru Eshal begitu Bagas tiba di kantin.

"Apaan?"

"Elah pake pura-pura gak tahu! Bisa ngajakin ngobrol juga? Gitu dong! Beraksi!" Eshal melirik Alan yang sedang santai meneguk minumannya.

"Lebay banget lo. Tadi gak sengaja kesenggol sama gue, cuma minta maaf." Senyum tipis nampak di bibir Bagas, tanda bahwa hal yang katanya sepele itu ternyata tidak sepele-sepele amat.

Dan Eshal menyadarinya. "Gak dibawa ke sini sekalian? Biar kita temenin, 'kan selama ini sendirian mulu tuh ke mana-mana." Eshal lagi-lagi melirik Alan.

Bagas menggeleng. "Disamperin Rana, urusan eskul kayaknya."

"Rana?" Alan refleks menoleh.

Bagas mengangguk. 

Alan mencoba mengingat-ingat. Rana? Kalau tidak salah, bukankah Rana selalu berada di sekitar Paula? Alan menegang. "Ke mana perginya?" 

Bagas dan Eshal menatap heran.

"Gatau gue. Tapi arahnya ke bekas lab praktikum di belakang sekolah. Kenapa?"

Tanpa pikir panjang, Alan berlari cepat ke arah yang disebut. Bagas terkesiap, menyusul begitu paham situasi. Sedangkan Eshal menjadi yang terakhir berlari.

 

•••

 

"Jadi lo gak tau kesalahan lo apa?" Paula mengitari Ditha. Menatap dari ujung kaki sampai ujung kepala. Heran, mengapa Alan begitu melindungi gadis itu? Karena lemah? "Lo, udah bikin Alan kasar sama gue. Lo, udah ngambil perhatian Alan dari gue. Dan lo-" Paula menatap penuh benci Ditha yang kini dua tangannya dicengkeram kuat oleh Meska dan Rana. "-udah berani deket Alan dan mengabaikan peringatan gue!" Paula tertawa jahat, kemudian mendekatkan wajahnya pada Ditha yang gemetar ketakutan. "Cewek gak tahu diri kayak lo harus dikasih pelajaran. Tapi yah, gue akan kasih lo pilihan." Paula menarik diri agak menjauh. Bersedekap sambil menatap angkuh. "Jauhi Alan. Gak peduli sekalipun Alan yang deketin lo duluan, jauhin dia."

Ditha menggigit bibir. Kenapa dia harus mengalami semua ini? Salahnya apa? Tidak tahan terus disudutkan, dia akhirnya tersenyum kecut. "Yang aku tangkap di sini, kamu justru keliatan takut."

"Apa lo bilang?!"

Ditha menarik napas dalam-dalam. Melawan atau tidak, dirinya akan tetap menjadi bulan-bulanan. Selalu ada batas sampai di mana seseorang bersabar atas ketidakadilan. Dan Ditha sudah tidak sanggup untuk menahan diri. "Sikap kamu yang kayak gini justru nunjukkin kalo kamu hanya cewek menyedihkan yang mengemis cinta dari cowok-"

Plak!

"-yang jelas-jelas gak nganggap kamu spesial sama sekali-"

Plak!

Dua tamparan, kanan kiri. 

"Jaga mulut lo!" Paula mendesis.

Ditha menyungging getir. Rasanya lumayan perih. Andai dua lengannya tidak dicengkeram kuat oleh dua antek-antek Paula, Ditha pastikan akan membalas tamparan barusan. Dan akhirnya, hanya tatap nyalang yang mampu Ditha hunuskan pada Paula yang kini kembali menyeringai puas. "Kenapa? Gak terima?"

Gigi Ditha bergemeretak kuat.

"Pegangin dia. Jangan sampe lepas." Paula meraih pisau lipat yang sengaja dia bawa dalam tas yang diletakkan sembarang, lantas kembali mendekat dan mengarahkan benda tajam tersebut pada Ditha.

"Pau, lo gak serius, 'kan?"

"Iya, Pau, kayaknya pisau gak perlu dipake deh." Meska dan Rana menatap ragu.

Paula menyeringai licik. "Justru pisau harus dipake untuk membungkam mulut kurang ajar cewek ini!" 

Ditha menegang. Kendati pun dirinya berusaha memberanikan diri sejak tadi, pisau di tangan Paula bukanlah mainan. Apapun bisa terjadi apalagi jika pemegangnya sedang kalap.

"Gimana kalo muka sok polos ini gue gores sedikit?"

Ditha menegang takut.

Melihat reaksi tersebut, keraguan menyerang hati Paula. Dia tidak pernah berbuat sejauh ini dalam membully seseorang. Ck, "Sialan!" Paula berbalik, umpatan kesalnya diiringi tawa getir. Bagaimana bisa di saat seperti ini dirinya malah ragu? Dia hunuskan sorot tajam pada Ditha sekali lagi. "Bilang lo akan jauhin dia!"

Kendati tubuhnya telah menegang sejak tadi, Ditha bersikeras menggeleng. Bukan perkara Alan yang membuatnya bersikukuh, melainkan harga diri. Jika dirinya menyerah, maka Paula akan ada di atas angin dan makin semena-mena. Cengkraman Meska dan Rana makin erat. Ditha meringis. "Kamu gak berhak nyuruh aku." Lantas mendongak, menatap nyalang Paula. Gadis itu pasrah atas apa yang akan terjadi setelah ini. "Kamu bukan siapa-siapanya Alan, Paula. Dan lagi ... hentikan tingkah menyedihkan ini. Jangan rendahkan diri kamu hanya karena laki-laki-"

Dan jambakan pada rambut Ditha pun menjadi reaksi Paula atas perkataan tersebut. "Bilang apa lo barusan?" Intonasi suaranya rendah, tanda bahwa cewek itu telah sampai pada puncak emosi.

"Ka-"

"Pegang, dan jangan coba-coba dilepas," titahnya tegas pada Meska dan Rana. Meski masih ragu-ragu, dua antek-anteknya itu patuh.

"Lo bilang gue cewek rendah? Menyedihkan?" Paula tertawa seraya memainkan pisau di tangannya.

"Pau?"

"Pau, ini-"

Ditha kian menegang. Aura Paula lebih berbahaya dari beberapa saat lalu.

"Lo benar, Pramuditha. Dan lo mau tahu apa yang lebih menyedihkan?" Ujung pisau Paula menempel pada pipi gadis itu. "Yaitu ketika benda ini menyayat tiap permukaan kulit lo."

Sejurus kemudian, Paula menggerakan pisau tanpa ragu.

"Pau!"

"Jangan!!"

 

 




 


 

Bab 8

 

Brakk

Pintu terbanting kasar.

Dengan napas terengah, Alan merangsek ke dalam. Ditha sedang memeluk lutut. Paula cs menguncinya dari luar. "Kamu gak papa?" tanyanya khawatir, lalu berjongkok untuk memastikan.

Pisau tergeletak di dekat Ditha, melubangi sofa tak terpakai hingga isinya keluar. Alan terkesiap, lantas menatap Ditha yang menjawab dengan gelengan. Ternyata Paula masih punya hati untuk tidak benar-benar menusuknya.

"Aku gak papa kok." Ditha berusaha tersenyum, suaranya lemah, dia menunduk, tidak lama kemudian terisak. 

Alan refleks memeluknya. "Gak papa. Aku di sini ..."

Bertepatan dengan itu, Bagas tiba. Alan berlari bak kesetanan. Susah payah Bagas mengejar. Dan yang didapatinya kemudian membuat dirinya mematung. Tak ayal, napasnya yang masih terengah pun terasa kian sesak. 

"Gak papa ... hey?" Alan meraih wajah Ditha yang bersembunyi di dadanya. "Ada yang luka?"

Ditha menggeleng. Alan pun menghapus airmatanya. "Maaf ...," bisiknya penuh penyesalan, lantas merengkuh Ditha kembali. Untuk sesaat Alan lupa ada Bagas yang menyaksikan segalanya dalam diam. Maaf itu kembali terucap. Lebih pelan dan menyerupai bisikan. Dan isakan Ditha kembali mengisi keheningan selama beberapa saat.

Eshal tiba tak lama kemudian, menatap tiga orang itu bergantian, lantas menghela napas.

Ini sungguh masalah.

 

•••

 

"Gak lo apa-apain, 'kan?" Meta menatap Alan curiga. Pasalnya, cowok itu yang membawa Ditha ke UKS.

"Gak percayaan banget lo Met, Elah!"

"Terus kenapa bisa pingsan?"

Alan menghela napas sebal. "Ya mana gue tahu! Gue cuma bantu gendong dan bawa ke sini."

Meta menyipitkan mata.

"Alan gak bohong kok." Bagas yang berdiri di belakang menyahut.

Meta akhirnya mengembuskan napas lega. "Yaudah." Kemudian berlalu mengambil beberapa obat.

"Anjirr! Giliran si Bagas aja lo percaya." Alan menggeleng miris. Seburuk itu kah imejnya di sekolah? Apalagi kalau sampai Eshal yang membopong tadi? Ditengoknya Ditha yang baru siuman. "Lo udah aman." Alan menunjuk Meta yang sedang menyiapkan obat. "Dia yang akan jagain lo di sini."

Selepas memastikan Ditha diurus dengan baik, Alan keluar. Bagas – yang sejak tadi hanya berdiri di ambang pintu – turut keluar. Dan kini, suasana canggung meliputi mereka. Lebih tepatnya, Alan yang kebingungan harus berkata apa. Sementara Bagas diam tak bersuara.

"Gas, tadi ..." Alan kehilangan kata-kata. Menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. Untuk sesaat dia merutuki gerak refleksnya yang menyebalkan.

Bagas berbalik usai bertahan dalam diam. Netranya menghunus datar. Namun dalam sekali lihat Alan tahu, ada amarah di sana. "Kalo sampe Ditha kena bahaya lagi gara-gara lo, gue gak akan tinggal diem." 

Bagas pergi. Alan terpaku.

 

•••

 

Satu teguk.

Dua teguk.

Tiga teguk.

Habis.

Paula memijit pelan dahinya seraya meminta bartender mengisi ulang gelas dengan whisky. Pikirannya kacau seharian. Baru pertama kali, dirinya hilang kendali dan menyiksa seseorang hingga level parah. Nyaris saja, dia menghabisi gadis itu.

Paula tertawa. Cintanya pada Alan sungguh luar biasa, kan? Benar-benar di luar batas. Masih pantaskah ini disebut cinta? Atau telah berubah menjadi obsesi? Yang jelas, Paula tidak bisa berhenti. Dia tidak rela jika Alan harus jatuh cinta pada gadis lain. Tidak masalah jika tidak sungguh-sungguh seperti yang Alan lakukan selama ini. Namun perkara Pramuditha berbeda. Paula begitu gelisah dan ketakutan. Kenapa? Sebab Alan terlihat berbeda ketika bersama gadis itu. Seorang Alan yang harusnya beringas bisa mendadak berubah bak anak kecil yang manis saat bersama gadis itu. Sisi brengseknya bahkan tidak nampak sama sekali.

Dan untuk alasan itu pulalah, Paula tidak terima.

"Vodka." Paula menoleh. Alan duduk begitu saja di kursi sebelah, menatapnya tajam dengan sorot penuh peringatan, lantas menyungging sinis. "Gue pikir lo udah gak punya hati." 

Paula meneguk whiskynya kembali.

"Kenapa gak dibablasin sekalian? Ragu? Atau takut?"

"Lain kali gue gak akan ragu."

"Dan sebelum lain kali itu terjadi.” Alan habiskan satu gelas kecil berisi vodka – yang baru saja diantar bartender – dalam sekali teguk. “Lo duluan yang gue habisi.” 

Itu peringatan.

Dan Paula membeku di tempat. 

 

•••

 

Deru motor terdengar di luar rumah. Ditha terkesiap, mengintip dari celah jendela, tersenyum antusias, dan bergegas keluar.

Alan duduk di atas motor. Tersenyum kala Ditha membuka pintu dan menyambutnya. "Gue mau mastiin keadaan lo. Semua baik-baik aja, 'kan?"

Ditha tersenyum dan mengangguk.

Alan sapukan mata ke sekeliling dan berakhir pada gadis itu. "Orang tua lo?"

"Udah tidur."

Alan manggut-manggut, lalu kembali fokus menatap Ditha. "Sori ..."

Seakan sudah menebak Alan akan berkata demikian, Ditha hanya tersenyum. "Aku udah gak papa kok, lagian aku gak bisa nyalahin kamu. Paula ... suka banget sama kamu, Al. Makanya dia  nekat."

Alan tersenyum kecut, mendengus, lantas merubah posisi duduknya jadi menyamping, menghadap gadis itu. "Bukannya lo pernah bilang kalau gue brengsek?" sergahnya. "Lo gak salah. Gue emang brengsek, Ta. Buat gue, cewek cuma partner untuk bersenang-senang. Yah, lo ngertilah maksud gue ... mereka juga tahu." Alan mengedikkan bahu. "Tapi anehnya, mereka selalu memperlakukan gue seolah gue ini barang mewah yang harus dimiliki dan dipamerkan." Alan tertawa sarkas. "Demi gengsi, mereka mengabaikan fakta bahwa gue hanyalah cowok gak berperasaan yang cuma main-mainin mereka doang. Malah ada yang mati-matian dapetin gue untuk kemudian dibanggakan ke semua orang. Bego, kan."

"Kata siapa kamu gak berperasaan?" timpal Ditha. "Kalo kamu gak berperasaan, kamu gak akan repot-repot nolongin aku. Kamu juga gak akan dateng ke sini malem-malem cuma buat mastiin keadaan aku. Kamu itu, cuma udah terbiasa sembunyi di balik imej brengsek kamu. Aku gak tahu gimana hidup kamu. Tapi aku yakin kalau itu hanya kamuflase untuk menutupi jati diri kamu. Kamu sengaja nunjukkin sisi liar kamu sama semua orang biar gak ada yang tahu isi hati kamu yang sebenarnya." Ditha menipiskan bibir. Mungkin setelah ini dia akan dikatai terlalu sok tahu dan ikut campur. Namun Ditha tidak bisa menahan diri. "Aku emang pernah bilang kalau kamu brengsek, karena kamu selalu ganggu aku dengan cara nyebelin. Tapi aku juga pernah bilang 'kan kalo kamu itu baik? Aku gak asal ngomong kok. Buktinya aku gak takut sama kamu. Terlepas dari sebrengsek apa kamu mainin hati perempuan, di mata aku kamu punya hati yang baik. Dan aku rasa Paula juga merasakan itu, makanya dia tergila-gila sama kamu."

Alan bungkam. Takjub sekaligus tertohok atas uraian panjang gadis itu. Bukankah Pramuditha tidak banyak bicara? Kenapa jadi, hhh! Entah kenapa, rasanya seperti sedang dilucuti. Alan tidak suka. 

Ditegapkannya tubuh, “Lo salah.” Turun dari motor, lantas menenggelamkam lengan dalam saku dengan tatap intens mengarah pada gadis itu. "Gue bukan cowok baik." Dia mendekat, jemarinya terulur menyentuh pipi Ditha yang kontan membeliak. Alan menyeringai. Matanya kemudian bergulir pada pakaian yang dikenakan gadis itu. Sejujurnya, Alan telah menyadari sejak awal bahwa penampilan Ditha malam ini berbeda. Entah gadis itu lupa atau bodo amat. Dress yang menutup tubuhnya berwarna putih, panjangnya hanya sebatas paha. Mungkin itu gaun tidur. Rambutnya yang biasa dikepang kini tergerai indah melewati bahu, matanya yang baru kali ini Alan sadari berwarna kecoklatan menyorot lebih terang dalam pekatnya malam, terasa teduh dan menenggelamkan. Dan terakhir, bibir. Bibir ranum yang selama ini nyaris membuat Alan lupa diri – andai dia tidak memperhitungkan reaksi gadis itu – merekah kemerahan.

Hem ... Seperti apa rasanya? 

"Al ..."

Dan suara Ditha membuyarkan lamunannya. Alan berdeham. Nyaris hilang kendali. Segera dia  mengukir senyum. "Masuk gih."

Ditha mengigit bibir. Antara ragu dan bingung.

Alan pun kembali tersenyum, lalu mengusap sudut bibir gadis itu perlahan. "Masuk, Ta ... sebelum aku hilang kendali dan nyium kamu."

Ditha sontak membulatkan mata. Detik berikutnya pamit dan bergegas masuk rumah.

Alan terkekeh.

 

 


 


 

Bab 9

 

"Gue suka Alan dari SMP." Paula memeluk lutut. "Gue bahkan sengaja pulang ke Indo buat ngikutin dia sekolah di sini." Kemudian tertawa lirih. "Untuk sesaat gue berangan, andai Alan tetep di Amrik, mungkin dia gak akan ketemu Pramuditha. Dan gue gak akan sefrustasi sekarang." Paula tersenyum kecut. "Gue gak peduli Alan mau senakal apa sama cewek-cewek di luar sana, Gas. Gue gak permasalahin sama sekali karena tahu dia cuma main-main. Tapi semuanya berubah saat dia ketemu Pramuditha. Rasanya, semua yang Alan lakukan untuk cewek itu benar-benar dari hati. Dan gue benci."

Bagas mengambil napas panjang. Niat hati ingin melepas penat dan merefresh pikiran dengan pergi ke bar, namun yang terjadi dia justru harus bertemu dan mendengar ocehan Paula yang setengah mabuk. Sejenak Bagas cukup salut karena ketahanan Paula terhadap alkohol sungguh luar biasa. "Gue juga suka Ditha dari SMP," celetuk Bagas tiba-tiba. Tak berbeda jauh dari Paula, raut wajah Bagas amat keruh. "Dia gadis pertama yang bikin gue ngerasain jatuh dan cinta secara bersamaan," lalu tersenyum kecut. "Tapi dia gak pernah melihat gue, Pau. Seenggaknya lo bisa ungkapin perasaan ke Alan. Tapi gue-" Bagas menggeleng, "-gue gak pernah punya nyali untuk itu." Helaan napas berat Bagas pun terdengar. "Untuk sesaat gue juga sempat berangan, andai gue ikut Alan untuk lanjut sekolah di Amrik, mungkin gue gak akan ketemu Ditha dan jatuh cinta sama dia. Menyedihkan banget, 'kan?"

Menyedihkan, sebab orang yang mereka cinta justru saling jatuh cinta.

Paula mendengus, namun paham maksud Bagas. "Terus kita harus gimana?"

Bagas menipiskan bibir. Seharian ini dia berpikir keras. Mengingat seerat apa persahabatannya dengan Alan, sekaligus meyakinkan diri sedalam apa cintanya terhadap Ditha. Hanya ada dua pilihan yang mampu dia simpulkan. Pilihan yang akan menghantarkannya pada sebuah keputusan. Sebab jelas, namanya pilihan harus tetap dipilih sekalipun enggan.

Bagas kemudian menatap Paula. "Lo bisa terus ganggu Ditha dan buat Alan benci sama lo, Paula. Dan lagi, mungkin gue juga gak akan tinggal diem kalo lo sampe berbuat macem-macem lagi sama Ditha."

"..."

"Tapi lo juga punya pilihan lain."

"..."

"Ikhlasin mereka bersama dan berdamai dengan diri sendiri." Bagas tersenyum pahit. "Pilihan yang sama juga berlaku buat gue."

"Dan pilihan lo?"

Bagas menarik napas berat. "Gue gak bisa musuhan sama Alan. Alan lebih dari sahabat. Dia saudara gue." Dan Bagas tidak bisa menukarnya dengan apapun.

Paula termenung. Sahabat ya? Bisakah dirinya memupus rasa suka yang telah bertahun-tahun dia miliki untuk Alan? Rasanya tidak mungkin. Namun jauh lebih tidak mungkin jika dirinya tetap berharap agar Alan membalas perasaannya.

Meski dari lubuk hati terdalam mereka sebenarnya tahu bahwa Tuhan maha adil, untuk beberapa orang yang tengah dirundung sedih dan malang, hidup tidaklah demikian. 

Benar-benar menyedihkan. "Jadi kita cuma bisa jadi bayangan mereka? Dukung mereka sebagai seorang sahabat?"

Bagas menggumam. "Itu pilihan gue."

 

•••

 

Angin malam menyugar rambut Alan yang sengaja berkendara tanpa helm. Dia lajukan motornya dengan kecepatan di bawah 40 kilometer. Pelan sekali. Dan jalanan kosong melompong. Jam menunjuk ke angka dua dini hari. Dan bayangan Bagas kembali berkelebat dalam kepala. Akhir-akhir ini sahabat sehidup sematinya itu memang kerap menghantui pikirannya. Dan sialnya, hal tersebut justru disebabkan kehadiran seorang gadis. Gadis yang bahkan tidak pernah terpikir akan berhasil menyentil sesuatu yang telah lama tertidur dalam benaknya.

Cinta.

Haha! Klise dan mainstream sekali, bukan? Benar-benar romansa anak muda!

Alan kadang terkekeh sendiri mengingat selama ini dia kerap menertawakan para remaja seusianya yang kelimpungan hanya karena urusan perasaan. Selama ini, 'kan, dirinya tak berperasaan (?)

Kata siapa kamu gak berperasaan?

Penyangkalan Ditha kembali terngiang. 

Sejak dulu hingga detik ini, Ditha masih satu-satunya.

Dan perkataan Bagas pun bagai kaset rusak yang terus menerus berputar di kepala.

Deru nyaring motor terdengar dari arah belakang. Tak lama kemudian menyalip Alan yang jelas bergerak lamban. Alan berdecak sebal. Telinganya pengang. Kalau mau ngebut harusnya lihat-lihat sikon! Benar-benar menganggu.

Tiga puluh menit berlalu hingga Alan sampai di apartemen dan menghempaskan tubuhnya ke sofa. Tubuh dan pikirannya lelah bersamaan. Diambilnya satu minuman beralkohol dari kulkas. Dia teguk sedikit demi sedikit. Lalu tenggelam dalam pikiran. Lagi.

Tidak pernah Alan duga, dia akan sampai pada fase di mana dia harus memilih.

Cinta atau persahabatan?

Lagi-lagi hal klise. Namun alih-alih merasa geli seperti biasa, Alan kini justru berpikir keras. Sesuatu yang sangat jarang dia lakukan. Dan ... mengorbankan persahabatan hanya untuk cinta jelas tidak ada dalam kamus hidup seorang Alan Shattara. Dia sanggup meninggalkan apapun jika memang diperlukan. Namun ada dua hal yang tidak bisa dia tinggalkan.

Yaitu motor ... dan Bagas.

 

 


 


 

Bab 10

 

"Jangan merasa terbebani, Ta, gue ngomong kayak gini biar lega."

Ditha menarik napas pelan, kemudian menatap Bagas lurus-lurus. "Kamu pasti benci banget sama aku ya, Gas?"

Dahi Bagas berkerut dalam. Benci? Bagas pun tertawa. Baru saja dia menyatakan cinta dan Ditha malah menyimpulkan dirinya membenci gadis itu? "Gue baru nyatain cinta loh, Ta."

Ditha mengigit bibir. "Aku tahu. Maksudku, dulu 'kan kita deket, terus aku tiba-tiba jauhin kamu. Kalo dipikirin lagi, kamu pasti benci banget karena aku perlakuin kamu seolah kita gak pernah saling kenal selama ini."

Oke, itu adalah kalimat terpanjang yang Ditha katakan padanya. Bagas pun berdeham. Sebersit rasa penasaran yang sudah dia kubur dalam-dalam pun kembali muncul ke permukaan. "Boleh gue tahu kenapa lo jauhin gue saat itu?" Dan tanya yang selama ini hanya tersimpan dalam benak pun akhirnya terlontar.

Ditha menunduk. Duduk di perpustakaan ketika istrihat adalah kebiasaan gadis itu. Bagas, yang memang sudah berniat untuk menemui Ditha, merelakan jam makan siangnya terlewatkan. Dia bermaksud untuk mengungkapkan isi hatinya sebelum terlambat. Bukan untuk mendapat jawaban apalagi memiliki, melainkan untuk melepaskan. Tekadnya sudah bulat. Sekalipun dia harus merelakan rasa yang selama ini dia pendam, yang kian lama kian dalam, setidaknya dia harus berani mengungkapkan walau sekali, agar tidak ada penyesalan.

Harga untuk sebuah kelegaan.

"Aku gak bisa bilang apa-apa soal itu, maaf ..."

Dan itulah jawaban yang mampu Ditha lontarkan.

Bagas tersenyum. Penuh pengertian dan penerimaan. "Iya gak papa, Ta. Sebenarnya selama ini pun gue mikir. Kenapa Ditha yang gue kenal berubah? Gak terhitung berapa kali gue meyakinkan diri untuk nanya langsung sama lo. Tapi ... ngeliat lo segitu gak nyamannya deket sama cowok, gue jadi mengurungkan niat dan cuma perhatiin lo dari jauh."

"Maaf ..."

Bagas menggeleng. "Jangan minta maaf." Lantas tersenyum. "Gue cuma berpikir ... bisakah kita berteman kayak dulu?" Cowok itu pun mengedikkan bahu. "Gue kangen Pramuditha yang ceria, yang suka ketawa bareng gue. Yah ... meski gue tahu sekarang lo jaga jarak sama cowok, cuma gue pikir-"

"Oke."

"..."

Ditha tersenyum tulus. "Kita temenan lagi." Kemudian menggeleng cepat, mengoreksi ucapannya. "Maksudku, kamu emang temenku dari dulu. Maaf untuk sikapku selama ini. Kamu ... mau maafin aku, 'kan?"

Dan niat Ditha untuk membuka diri pun kian kuat. Kesempatan yang Tuhan berikan padanya tidak main-main. Pertama Alan, dan kini Bagas, teman lama yang secara tidak langsung telah dia lukai, kembali, tanpa dia duga, dan begitu dia syukuri.

Untuk beberapa detik hening mengelilingi.

Dalam diamnya, Bagas kini paham, bahwa terkadang, kita hanya perlu berani untuk membuat sebuah perubahan. Keberaniannya untuk mengajak Ditha bicara membawanya pada kelegaan yang luar biasa. Andai dirinya melakukan hal ini sejak dulu, mungkin hubungan mereka akan membaik lebih cepat. Kendati demikian, tidak ada waktu untuk menyesali yang sudah terjadi, bukan?

Dia memang melepaskan cintanya. Namun di saat yang sama, dia mendapatkan temannya kembali.

Bagas mengulas senyum tipis. Keikhlasan itu ... menakjubkan ya?

 

•••

 

"Ayolah, Lan! Sayang banget itu bakat kalo cuma dipake taruhan doang! Peluang menang tim basket kita bakal lebih besar kalo lo masuk tim! Ok?"

"Gak."

Reza menghela napas lelah. Ini ke sekian kali anak basket itu membujuk Alan untuk masuk dalam tim. Minimal, ikut partisipasi dalam turnamen yang sebentar lagi akan digelar. Namun hasilnya selalu sama. Gagal! Jika kalian berpikir bahwa Alan adalah ketua tim basket, ketua futsall, atau ketua osis bersama dengan sederet prestasi seperti para most wanted kebanyakan, itu salah besar. BIG NO.

Kenapa?

Karena Alan tidak aktif dalam kegiatan eskul apapun. Kegiatan sekolahnya hanya berkutat pada berangkat dan pulang tepat waktu, bahkan seringkali pulang lebih cepat. Hidup cowok itu lebih condong pada kebebasan, jalanan, dan sejenisnya. Dan sekolah tidak masuk itungan.

"Beneran gak mau?"

Langkah Alan melambat. Biasanya, semakin kita menghindari sesuatu atau seseorang, sesuatu itu justru semakin sering kita temui. Dan Alan kini meyakini hal tersebut. Bermula ketika Ditha nampak berjalan ke arahnya dari arah depan. Bukan untuk menghampiri Alan sebenarnya, namun karena mereka sedang sama-sama berada di koridor yang sama, berpapasan jelas bukan sesuatu yang bisa dihindari.

Senyum Ditha mulai mengembang tatkala dilihatnya Alan makin mendekat. Alan, yang memang telah berniat menghindari gadis itu, hanya menunjukkan eskpresi datar, tanpa senyum, apalagi sapaan ramah, terlebih obrolan seperti semalam.  Bersamaan dengan satu kata penolakan tegas untuk Reza, cowok itu menatap lurus seolah gadis yang baru saja tersenyum padanya adalah sosok tidak kasat mata.

Sementara di belakangnya, tanpa Alan ketahui, Ditha menghentikan langkah, berbalik dan memandangi punggung Alan yang kian menjauh. Helaan napas pun terdengar bersamaan dengan senyum pahit. Sepertinya Ditha terlalu berharap lebih atas sikap Alan semalam.

 

*

 

"Lo tuh aduuuhh! Ini kepang udah kek anak SD tetangga gue, dia berangkat sekolah dikepang dulu sama maknya, persis kayak gini!" Moli cs mengolok Ditha di kantin, membuat gadis itu jadi bahan tertawaan.

Ditha tentu mulai berani melawan. Hanya saja, karena dia tidak memiliki satu teman pun yang berdiri di sisinya, maka olok-olokan itu jelas dimenangkan oleh Moli yang memiliki banyak antek-antek. Ditha dikeroyok. Dan sialnya, Alan hanya menyaksikan semua itu dalam diam. Ah, ralat! Alan bahkan tidak repot-repot untuk menoleh.

Bagas yang baru menyusul dan tiba di pintu kantin menghela napas. Lewat tatap mata, dia kode Eshal untuk menghentikan Moli cs, kemudian menghampiri Alan. "Ikut gue sebentar."

 

*

 

Bugh

Alan terjengkang, lantas menoleh cepat ke arah Bagas. Heran.

"Itu tanda, gue nyerah atas Pramuditha."

Alan mengernyit seraya mengusap darah yang keluar dari sudur bibir.

Bagas menghela napas, kemudian mendekat. "Gue gak suka tingkah lo akhir-akhir ini. Dan lagi, gue gak mau dikasihani."

Alan semakin mengernyit.

"Jangan nahan diri lagi karena gue, Lan. Gue tahu lo suka dia." Bagas menepuk bahu Alan. Tersenyum. "Berjuang. Gue dukung lo seratus persen." Kemudian berlalu, meninggalkan Alan yang masih mencerna di atas rooftop.

 

•••

 

"Hey!"

Ditha tersentak. Bagas duduk di sebelahnya, di pinggir lapangan. Jam olahraga kelas IPA 1 dan 2 sedang disatukan.

Alan sedang men-dribble bola. Keringat bercucuran mengaliri dahi hingga leher, kausnya bahkan nyaris basah seluruhnya. Beberapa teriakan frontal maupun tertahan dari beberapa gadis terdengar dari pinggir lapangan. Berbeda sendiri, Ditha justru menatap Alan dengan sorot sedih. Meski tidak kentara, namun cukup jelas di mata Bagas.

"Alan emang gitu, kadang hangat kadang dingin, kayak dispenser."

Ditha memaksa senyum.

"Kadang perhatian banget, tapi kalo udah cuek naudzubillah." Bagas meliriknya diam-diam. "Mau gue kasih tau apa aja yang Alan suka?" 

Ditha sontak menoleh. Kaget sekaligus heran. Bagas pun tertawa renyah. "Jangan tanya kenapa gue tahu, Ta." Kemudian mengalihkan pandangan pada Alan yang sedang berebut bola dengan Tio. "Alan gak ada maksud buat ngacuhin lo kok. Percaya sama gue. Cuma soal brengseknya dia, gue gak bisa jamin. Gimana? Masih tertarik?"

Ditha beralih mengamati Alan. "Alan kayaknya udah gak mau temenan sama aku, Gas."

Tanpa diduga, Bagas justru tertawa. "Emang gak mau, Ta."

Ditha terhenyak. 

"Maunya yang lain," sambung cowok itu. Ditha menoleh tak paham. Sementara Bagas tersenyum penuh arti.

Bukk!

Sebuah bola menghantam mereka. Untung saja, refleks Bagas cepat. Bola itu tertahan oleh tangannya. "Maennya jangan ke mana-mana, Woy!" teriak Bagas nyaring.

"Kagak sengaja elah!" Eshal yang menyahut.

Alan hanya diam seraya memperhatikan. Napasnya terengah efek lelah. Sesaat netranya bertubrukan dengan Ditha, sebelum akhirnya dia palingkan.

Ditha menghela napas.

Begini ya, rasanya diabaikan oleh orang yang kita suka?

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Alan
Selanjutnya Alan Part 11, 12, 13, 14
4
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan