
Bagi Alan, memacu kecepatan di lintasan sama seperti bernapas.
Alan suka motor.
Alan suka kebebasan.
Namun, Alan lebih suka gadisnya.
Gadis rapuh yang penuh teka-teki. Gadis yang ingin dia lindungi.
Apa yang akan terjadi jika masa lalu gadis itu kembali dan merenggut kebahagiaan yang telah Alan perjuangkan?
Sebesar apa cinta seorang Alan—yang terbiasa hidup sesuka hati—pada gadis itu?
Apakah cukup untuk membuatnya berkorban, mempertaruhkan kebebasannya, demi melindungi sang gadis?
Ini tentang kasih sayang, kesendirian, rasa sakit, trauma, juga kecepatan.
“Karena perhentianku adalah kamu, Pramuditha.”
A L A N © YOOKATTA
Prolog
Sepasang kaki melangkah ringan menyusuri koridor sekolah. Dengan kepala tertunduk, kedua netranya hanya mampu menjangkau kaki-kaki lain yang berlalu lalang.
Brukk
Wajahnya menabrak sesuatu. Dia mengaduh seraya mengusap dahi, lantas mendongak. Tampang dingin seorang cowok menyambutnya.
"Maaf," cicitnya pelan, menunduk cepat. Sepasang kaki terbalut sepatu tali hitamnya pun kembali melangkah. Namun cowok itu bergeser lebih cepat dan menghalangi jalan.
Gadis itu mendongak heran. "Permisi, aku mau lewat."
Sebelah alis cowok itu terangkat. Alih-alih menanggapi, ekor matanya justru melirik name tag di seragam gadis itu.
Pramuditha Aurum.
Aurum ...
Aurum?
Au. Dalam lambang kimia berarti emas.
"Lo murid baru?" tanyanya, dengan kedua tangan tenggelam dalam saku.
Gadis itu mengangguk pelan.
Lama, cowok itu mengamati wajah tegang yang menunduk di hadapannya.
Ah, sudah berapa lama dia tidak menggoda seorang gadis? Iseng sesekali tidak apa-apa, 'kan?
Cowok itu lantas merangsek maju, memaksa gadis – yang tubuhnya mulai gemetar – tersebut mundur hingga terpojok ke dinding. Dikurungnya gadis itu dengan kedua tangan. Matanya bergulir ke arah bibir kemerahan – yang digigit saking gugupnya.
Smirknya muncul perlahan. "Cantik juga."
Bab 1
Arena balap ramai oleh sorakan muda-mudi dan raungan motor. Jam menunjuk ke angka satu dini hari. Alan duduk santai di atas ninja hitamnya seraya mengisap rokok. Berbeda dengan motor yang biasa dibawanya ke sekolah, Alan selalu menggunakan motor lain – salah satu motor khusus racing yang namanya telah mendunia - untuk trek liar. Dengan beberapa bagian yang telah dia modif, tentu saja. Tiga meter di sebelah kanan, Alex sudah siap di atas motornya.
Bagas menepuk bahu Alan. "Hati-hati. Alex kadang gunain cara licik biar menang. Apalagi dia udah ngincer lo sejak lama."
Alan mengisap rokoknya, menikmati sensasi tiap kali asap penuh nikotin tersebut merasuk ke dalam paru-parunya, lalu dia embuskan sesuka hati. Alan suka merokok di saat-saat tertentu. Seperti candu, pelengkap. "Sebelum dia berbuat licik, gue udah sampe garis finish duluan."
Bagas mendecih. Percaya diri sekali kawannya ini.
Sorak sorai penonton di tribun makin ramai kala seorang wanita berpakaian mini melangkah ke tengah lintasan. Kain merah kecil berada di tangannya. Alan membuang rokok yang baru dia isap setengah, lantas mengenakan helm. Bagas mengangguk paham sebelum menyingkir ke tepi.
Kedua pembalap bersiap. Raungan keras dari dua motor menjadi pertanda balapan akan segera dimulai. Suasana kian memanas, teriakan penonton kian menggila. Tepat ketika kain merah itu dihempas ke bawah, kedua motor tersebut melesat cepat.
•••
"Gue kira mau bolos lo!" seru Eshal yang tiba beberapa detik setelah Alan. "Gimana semalem? Menang?"
Alan yang baru saja melepas helm full face-nya kontan memasang wajah pongah, dua alisnya terangkat, menatap Eshal seolah mengatakan, sejak kapan gue kalah?
Eshal mendecih. Sombong sekali kawannya ini.
Selang berapa detik, Bagas tiba dengan range rover-nya. "What's up bro!" Ketiganya lantas berjalan menuju kelas setelah beradu kepalan tangan.
"JALAN TUH PAKE MATA!!"
Alan, Bagas, dan Eshal menghentikan langkah, urung belok, lantas menoleh ke asal suara.
"Maaf." Gadis berseragam agak kebesaran itu mencicit, menunduk. Dia berjongkok untuk membantu Jeri memungut kembali buku-buku yang berserakan.
"Gak usah!" Jeri merapikan buku-buku itu dengan cepat, kemudian berdiri menatap si gadis penabrak yang turut berdiri diiringi raut tak enak hati tersebut. "Ah ... gue lupa, lo, kan, anti cowok ya?" Jeri tersenyum remeh. "Tapi kalo dipikir-pikir, tanpa lo jauhin pun para cowok gak bakal ada tuh yang mau deketin." Jeri menilai penampilan gadis – yang dia ketahui bernama Ditha - itu dari atas ke bawah. Seragam sekolah kebesaran, panjang rok melewati lutut, rambut kepang satu jaman old dibalut slayer merah sebagai bandana. “Ckck.” Jeri menggeleng miris. Hanya tinggal menambah kacamata super tebal dan besar, maka gadis itu akan semirip cewek-cewek yang dia juluki cupu di sekolah. "You are so pathetic, girl." Lantas berlalu.
Ditha menarik napas panjang. Ya. Dia memang salah karena menabrak Jeri yang sedang membawa tumpukan buku akibat jalannya yang selalu menunduk. Namun, layakkah kesalahan sekecil itu dibalas dengan teriakan dan hinaan? Ditha benci. Sangat benci. Tidak ada satu manusia pun yang akan baik-baik saja setelah dihina dan diteriaki. Namun, dia bisa apa? Selain diam dan menerima mentah-mentah semua cemoohan itu? Meski tidak terima, Ditha hanya pasrah ketika semua orang mengatainya macam-macam. Kecuali, dia memiliki kekuatan super, atau tiba-tiba saja dapat keberanian ekstra untuk melawan manusia-manusia kejam macam itu. Nyatanya? Tidak.
Ditha embus napasnya tak kalah panjang. Resiko menjadi manusia pendiam dan lemah.
Alan, Bagas, Eshal maupun semua murid yang ada di sana hanya menyaksikan tanpa berniat menolong. Bukan karena tidak peduli. Tapi … hey! Ini bukan kisah di mana seorang pria bak pangeran menjadi pahlawan kesiangan yang menolong seorang gadis lemah tak berdaya. Terlebih untuk Alan. Ia tidak seheroik itu.
Namun, tidak bisa Alan pungkiri, ada sesuatu yang mengusik hatinya. Tepat ketika matanya bertubrukan dengan gadis itu. Mata jernih Ditha yang sarat akan kerapuhan seolah memberi sengatan tak kasat mata yang membuat Alan seketika terhenyak oleh rasa tak tega. Hanya sengatan kecil, tetapi mampu melumpuhkan kinerja otaknya untuk beberapa detik.
"Woy!" Eshal menepuk bahunya. Alan menoleh. "Bengong mulu! Ayo!"
Bagas menjadi yang terakhir menatap Ditha, dengan tatap sendu yang luput dari perhatian sekitar.
•••
"Nesya maksa banget minta nomor lo, kasih jangan?" Eshal mencomot gorengan, mengunyah lahap dengan satu rawit di tiap satu gigitan. Seleranya pada pedas memang gila.
"Jangan." Alan meneguk sekaleng nescafe dingin.
Eshal mendecak. "Cakep loh si Nesya. Yakin gak mau?"
"Gak bakal mau. Maho dia mah." Bagas yang menyahut. Mulutnya penuh oleh sebulat bakso.
"Maho mana kenal ONS."
"Ya kali maennya pedang-pedangan, lo, kan, gak tahu."
"Oh, iya ya ..."
Alan memutar mata malas. Obrolan kedua sahabatnya sungguh tak berfaedah. Ekor mata Alan kemudian menangkap sosok itu. Gadis yang sedang duduk seorang diri sambil melahap semangkuk – sepertinya bakso – dengan kepala tertunduk seolah mangkuk itu akan lenyap jika dia menoleh sedetik saja. Keberadaan gadis itu nampak tak kasat mata. Murid pindahan yang baru sebulan ini menjadi bagian dari SMA Liner itu diabaikan sekitar. Tak ada satu teman pun yang bersedia duduk menemaninya makan. Jangankan teman, lalat saja nampaknya enggan singgah.
Pramuditha Aurum.
Kata orang, dia Nerd. Sangat menghindari makhluk berjenis kelamin laki-laki.
"Ya elo maennya gak nanggung-nanggung, orang – ehh, Lan! Mau ke mana woy!" Mata Eshal mengikuti langkah kaki Alan yang tiba-tiba saja bangkit dan berjalan menuju ke salah satu sudut kantin. Dengan enteng, cowok itu berdiri di hadapan Ditha yang masih belum sadar akan kehadirannya.
"Nunduk mulu, ada apaan sih di bawah?"
Ditha mendongak, lantas membelalak kaget. Dia pun kembali menunduk sambil mengaduk-aduk es tehnya.
Decakan Alan pun terdengar. Dia lantas mendudukkan diri di hadapan gadis itu. "Lo gak pegel apa liatin lantai mulu? Mending liatin gue."
Ditha melirik takut-takut. "Kenapa aku harus liatin kamu?" tanyanya pelan, nyaris tak terdengar.
Senyum miring Alan pun muncul. Jenis senyum yang sama seperti saat dia mengganggu gadis ini di hari pertamanya sekolah.
"Biar mata lo dapet pencerahan. Masa seumur hidup mau liatin yang begitu," tunjuknya, mengarahkan dagu ke lantai. "Gantengan juga gue." Alan mengedipkan sebelah mata, menyeringai. Ditha makin menunduk.
Namun rupanya, tingkah Alan barusan tertangkap oleh mata para gadis yang sejak tadi memperhatikan interaksi mereka. Beberapa terpesona, beberapa iri, dan beberapa lagi terkejut. Pasalnya, untuk apa seorang Alan mengajak bicara si nerd Pramuditha? Bukankah incarannya selama ini adalah para gadis sekelas Paula? Paula, salah satu siswi populer SMA Liner.
"Dimakan baksonya. Jangan diaduk aja," titah Alan membuyarkan lamunan gadis itu.
Ditha mengigit bibir. Bagaimana dia bisa makan jika diperhatikan seperti itu?
Bagas dan Eshal menatap heran tingkah Alan dari meja mereka. Dua orang itu ingin bergabung. Namun urung begitu tatap penuh peringatan Alan mengarah pada mereka.
Sambil menopang dagu dengan satu tangan, Alan perhatikan Ditha yang kini menyuap bakso pelan-pelan. Saking pelannya, mungkin siput saja kalah. Belum lagi wajahnya yang selalu menunduk. Tatapan cowok itu bahkan mampu melubangi dahi Ditha saking intensnya.
Oke, itu berlebihan.
Alan melipat kedua tangan di dada, lantas berdeham – sadar bahwa aksinya tadi terjadi di luar kendali. Lalu sekonyong-konyong, dia teringat tanding basket lawan Rio di jam olahraga nanti. Dengan taruhan, tentu saja.
"Gue ke sini mau minta tolong, sebenarnya," ujarnya serius. Lebih tepat jika dikatakan, ada ide konyol yang tiba-tiba muncul di kepalanya.
Ditha mengernyit.
"Pinjemin gue duit."
Ditha terbengong, mengerjap. Perlu beberapa detik baginya untuk memahami situasi. Kendati demikian, meski masih sulit dipahami, gadis itu tetap merogoh saku. Menghitung uang dalam genggaman. "Aku cuma punya segini," ujarnya seraya menunjukan dua lembar uang dua puluh ribuan dan dua lembar uang lima ribuan.
Alan mengambil satu lembar berwarna hijau. "Segini cukup. Nanti gue balikin tiga kali lipet."
Setelah berkata demikian, Alan bangkit, beranjak menuju meja dua sahabatnya.
"Ah ya, satu lagi." Alan yang sudah mengambil beberapa langkah pun kembali, lalu dengan enteng mencondongkan tubuhnya pada Ditha. Beberapa pekik tertahan siswi di sekitar bahkan mampu dia dengar. Dan ketegangan di wajah Ditha begitu jelas dia lihat. Senyum miringnya kembali muncul. "Gue pinjem ini." Tanpa permisi, ditariknya slayer merah yang terpasang di kepala Ditha, tersenyum tanpa dosa, kemudian berlalu dari sana.
Ditha terpaku. Alan makin menjauh dari sana. Sementara tanpa mereka sadari, seorang gadis terus memperhatikan mereka tak jauh dari sana.
•••
"Si Alan lagi tanding basket lawan Rio."
"Oh ya?"
"Ya ampuuun … udah cakep, keren, jago basket, pinter kimia lagi, semoga dia jodoh gue ya Allah ..."
"Denger-denger dia juga hobi nge-race."
"Balapan gitu?"
“He’em.”
"Seriusan lo? Ko kita gak pernah denger?"
"Kata temen gue sih cuma trek liar gitu."
"Kok di sekolah adem-adem aja ya? Gak ada kabar heboh soal dia."
"Gatau juga gue, cuma denger dari Lori, temen gue di SMA Garuda. Cowoknya juga suka ngetrek soalnya."
"Anjirr makin keren aja dong dia!”
Kelas 12 IPA 2 jam kosong. Beberapa siswa sibuk main game. Satu-dua ada yang berpacaran. Sementara beberapa siswi berkerumun di tepi jendela seraya bergosip ria. Memandang ke arah lapangan yang memang dekat dengan kelas mereka.
Ditha paling benci jam kosong. Bukan karena dia murid gila belajar, melainkan karena dia tidak tahu harus melakukan apa. Tidak ada teman untuk diajak ngobrol. Kecuali Nina, teman sebangkunya. Itu pun hanya obrolan singkat seputar pelajaran atau sekedar basa-basi. Tidak ada yang sungguh-sungguh ingin menjalin hubungan pertemanan dengannya. Padahal, dia hanya menghindari laki-laki, bukan perempuan. Namun, sama halnya dengan para lelaki yang menjauhi dan menganggapnya aneh, perempuan pun melakukan hal serupa. Mereka cukup pemilih untuk tidak memasukkan gadis aneh, cupu, dan membosankan macam dirinya ke dalam daftar teman.
"Tumben hari ini dia pake headband. Warna merah lagi."
Ditha yang tengah mencoret asal bukunya refleks berhenti.
"Keren banget ya, kan!?"
"Coba yang diiket bukan kepalanya doang, tapi gue juga."
"Ngehalu aja teruuuus.”
Decak kagum dan puji-pujian terus terdengar sepanjang pelajaran kosong. Namun, hanya satu kalimat yang membuat Ditha tanpa sadar mengulas senyum tipis. Hatinya menghangat untuk alasan yang tidak dia mengerti.
Bab 2
Kreeeeetttt
Derit pintu berbunyi pelan. Ditha terkesiap, memandang takut ke arah pintu tersebut. Lampu kamar sengaja dimatikan karena hendak tidur. Ditha meremas selimut, napasnya menegang menanti siapa gerangan yang membuka pintu kamar. Dan beberapa detik kemudian, Rima – ibunya – muncul, dengan senyum hangat yang menenangkan. Rasanya seperti menemukan oase di padang gurun, Ditha kembali bernapas lega.
"Kamu kenapa, Sayang?" Rima bertanya khawatir, duduk di sisi tempat tidur, mengelap keringat di dahi sang putri.
Ditha hanya menggeleng dan tersenyum tipis. "Mama baru selesai?"
Rima tersenyum, lalu mengangguk. "Tidur, udah malem. Besok sekolah."
Ditha mengangguk patuh, kemudian tersenyum saat Rima mengecup dahinya sebagai ucapan selamat malam. Satu kebiasaan yang selalu ibu dan anak itu lakukan tiap kali menjelang tidur.
Rima adalah seorang penjahit rumahan yang sudah memiliki beberapa pelanggan tetap, sekaligus orang tua tunggal semenjak ayah Ditha meninggal sepuluh tahun lalu. Saat itu, Ditha masih sangat kecil. Rima juga sempat menikah lagi ketika Ditha SMP kelas satu, tetapi tidak bertahan lama. Hidup berdua dan hanya mengandalkan satu sama lain membuat rasa sayang Ditha pada Rima begitu besar. Saking besarnya, Ditha tidak tahu harus menggambarkan seperti apa. Impiannya saat lulus sekolah bahkan adalah bekerja, sambil kuliah, tentu saja, jika memungkinkan. Ditha tidak mau mama terus-terusan banting tulang. Masih ada dirinya yang segar bugar untuk berjuang keras.
“Selamat malam, Nak.”
Ditha tersenyum. Ketenangan yang gadis itu dapat tiap kali Rima mengusap lembut kepalanya membuat dia selalu merasa aman. Ketenangan dari usapan sayang seorang ibu memang sungguh luar biasa. Tanpa sadar Ditha bahkan selalu terlelap. Samar-samar dia mendengar pintu tertutup, pertanda mama baru saja keluar. Lalu mimpi kembali menguasai malam-malamnya seperti yang lalu.
•••
Alan melenggang santai menyusuri koridor menuju kantin. Eshal yang berjalan di sebelahnya tengah asik tebar pesona, mengedipkan sebelah mata ke arah para siswi yang diam-diam mencuri pandang ketika berpapasan.
Brugh
Buku paket berjatuhan. “Aduh! Maaf.” Ditha bergegas memungut dan merapikannya kembali.
Langkah Alan memelan. Memperhatikan dalam diam. Gadis itu … kenapa selalu menabrak dan menjatuhkan buku-buku? Untungnya yang ditabrak kali ini tidak se-barbar Jeri dan pergi begitu saja. Alan memutuskan untuk membantu. Hampir saja dia menghampiri. Namun tertahan oleh lengan Eshal. Gelengan Eshal menandakan bahwa dirinya tidak setuju jika Alan menolong gadis itu. Alan mengernyit tak paham. Dan dikarenakan tingkat kepekaannya sangat minim jika berkaitan dengan kode mengkode, Alan pun mengabaikan peringatan Eshal dan menghampiri gadis yang sedang kerepotan tersebut.
"Emang cowok di kelas lo pada ke mana sampe buku segini banyaknya lo yang bawa?" tanya Alan seraya merapikan beberapa buku, mengabaikan keterkejutan Ditha. "Siniin," pintanya, lantas tanpa permisi mengambil alih buku dari tangan gadis itu. "Mau dibawa ke mana?"
"Ke situ." Ditha menunjuk perpustakaan yang berada tepat di hadapan mereka. Masih sedikit kaget.
Alan bawa buku-buku tersebut dan meletakkannya di atas meja. Ada Pak Karni – penjaga perpus – di sana.
"Makasih."
Alan berdeham. Dia pun merogoh saku celana, mengambil sesuatu yang sudah dipersiapkannya sebelum berangkat pagi tadi. Satu tangannya terjulur meraih jemari gadis itu, lantas meletakkan sesuatu di sana. Sebelum dilepas, dia kepalkan jemari mungil tersebut hingga meremat pemberiannya kuat-kuat. "Ganti uang lo kemaren."
Ditha mengerjap, membuka kepalan tangannya, lalu menemukan tiga lembar uang dua puluh ribuan yang tergulung kecil, diikat menggunakan karet. Benar-benar diganti tiga kali lipat. Sontak dia menatap Alan.
"Cowok itu yang dipegang ucapannya." Alan mengedipkan sebelah mata, terkekeh konyol atas sikapnya sendiri, lantas berlalu begitu saja.
Ditha kembali menatap uang tersebut, lalu menggigit bibir. Kebiasaan yang selalu gadis itu lakukan tanpa sadar ketika sedang gugup.
"Ah, satu lagi." Alan berbalik sebelum benar-benar keluar dari perpus. dikeluarkannya slayer merah milik Ditha, kemudian diikatnya slayer itu di dahinya sendiri, membentuk headband. "Yang ini buat gue ya?"
Untuk sesaat, Ditha terpaku. Alan dan headband … Ditha segera menyadarkan diri. Diliriknya slayer yang selalu dia jadikan bandana tersebut. Ditha memiliki banyak slayer dengan berbagai warna, tetapi yang warna merah adalah kesayangannya. Menyerahkan barang kesayangan pada orang lain bukanlah hal yang mudah. Terlebih bukan orang terdekat.
Tapi ... kalau untuk Alan ...
Ditha tidak tahu apa yang mendorongnya, akan tetapi, dua sudut bibirnya begitu saja mengulas senyum tipis, sebelum akhirnya mengangguk pelan.
•••
"Hati-hati lo kalo mau deketin cewek," celetuk Eshal ketika duduk di salah satu kursi pojok kantin. Alan dan Bagas yang baru saja duduk menatapnya. Eshal berdecak. "Pramuditha."
Alan mengernyit. Belum juga paham.
Eshal menghela napas. "Cewek-cewek yang suka sama lo itu bar-bar. Lo tau, kan?”
Lalu?
“Kalo cewek modelan Pramuditha lo deketin, meskipun cuma iseng, yang bakal kena apes dia, nanti. Dia itu tipe cewek yang gak bakal bisa ngelawan kalo diapa-apain. Kalo fans-fans lo itu gak terima sama ‘kebaikan’ elo ke Ditha, siap-siap aja itu cewek kena bully. Kasian, kan."
Alan makin mengernyit. "Kapan gue deketin dia?"
Eshal mencebik. "Terus aksi lo di kantin kemaren sama tadi pake bantu-bantuin bawa buku apaan?"
Alan mengedikkan bahu. "Nolong orang sekali-kali bukannya bagus?"
Mata Eshal menyipit. "Sejak kapan lo mau nolongin orang?"
Alan termenung sesaat. Berpikir.
"Gue melewatkan sesuatu?" Bagas mengerutkan dahi. Menatap dua sahabatnya bergantian.
Eshal mengedikkan dagu ke arah Alan. "Tadi ada yang baru bikin drama depan perpus."
Selagi Eshal menceritakan kronologi yang sudah mirip sinetron 'cintaku bersemi di SMA' itu pada Bagas, pesanan bakso mereka tiba.
"Tapi sumpah ya, sebulanan ini gue perhatiin, itu murid baru jalannya nunduuuuk mulu, mana sendirian terus, gak pernah ngomong, apalagi senyum. Dia beneran takut cowok apa gimana? Emang kita teh naon? Jurig?"
Alan fokus menyantap bakso tanpa repot-repot menimpali. Sedangkan Bagas hanya meneguk sprite dan tertawa hambar.
"Tapi yang lebih bikin gue heran lagi kelakuan dia sih." Eshal kembali mengedikkan dagu ke arah Alan.
Bagas turut melirik Alan.
"Sejak kapan seorang Alan Shattara deketin cewek nerd kayak gitu?"
"Gue gak deketin dia."
"Tapi lo peduli."
Alan menghentikan tangannya yang tengah asik menyuap bakso. Lantas menatap Eshal, kemudian Bagas. "Gue gak peduli."
Eshal menyipitkan mata. Kali ini Bagas ikut bersuara, "Terus kenapa kemaren lo samperin dia di kantin? Asal lo tau, semua orang jauhin dia.”
“Apa gue harus ngikutin semua orang?”
“Enggak harus. Tapi tingkah lo bikin heboh. Gak nyadar, kan?”
Alan terdiam. Begitukah? Bagaimana ya? Haruskah dia mengatakan bahwa ada sesuatu yang mengusik hatinya tiap kali melihat sorot mata gadis itu? Semacam rasa tak tega dan tidak ingin melihat gadis itu terluka. Alan tidak mengerti mengapa dirinya merasa demikian. Dan untuk saat ini, berkata jujur pada dua sahabatnya adalah ide buruk. Yang ada dia akan ditertawai habis-habisan karena mendadak melankolis. Jadi, untuk membungkam rasa penasaran mereka, inilah jawaban cowok itu.
"Kasian."
•••
Bel pulang sekolah berbunyi nyaring. Seluruh murid dari tiap penjuru kelas berhamburan keluar. Alan melenggang santai seorang diri seraya menenteng ransel di bahu kanan menuju parkiran. Bagas sudah lebih dulu meninggalkan kelas untuk rapat osis. Sedangkan Eshal berbelok ke arah berlawanan ketika tiba di ujung koridor untuk menghampiri gebetannya di kelas sepuluh.
Jaket motor dan helm yang sama-sama berwarna hitam sudah terpasang sempurna di tubuh Alan. Ninja hitam miliknya meraung kencang begitu gas diputar. Bisingnya lumayan nyaring. Beberapa murid yang melewati parkiran menoleh. Namun tidak serta merta membuat mereka menegur atau sekadar bertegur sapa. Kecuali jika memang telah saling mengenal.
Alan itu ... Bagaimana ya menjelaskannya?
Dia badboy yang tak tersentuh. Meski tampang Alan tidak sangar, tetapi aura menakutkan cowok itu terasa kuat sekali. Apalagi ketika mulutnya terkunci rapat. Seolah dia akan melahap hidup-hidup siapa pun manusia yang berani mengusik ketenangannya. Karena itu, meskipun banyak yang naksir, para siswi hanya mampu melakukannya diam-diam. Seperti mencuri pandang, stalking akun sosmed yang jarang sekali Alan buka, dan lain-lain. Para gadis yang pernah dekat dengannya rata-rata adalah para siswi most wanted di sekolah. Atau minimal memiliki sesuatu yang dibanggakan. Dan poin penting dari segalanya, yang seolah menjadi syarat wajib untuk dekat dengannya adalah ... cantik.
"Lan!"
Salah satunya seperti gadis yang kini sedang berjalan ke arahnya.
Paula Raneysha, salah satu siswi most wanted SMA Liner, berdiri di samping motor cowok itu. Dengan rambut pirang melewati bahu, seragam – lumayan – ketat untuk ukuran seorang murid, juga wajah indo dan kulit putihnya yang bersinar.
Alan yang sudah menginjak gigi dan menarik kopling, menahan laju motornya, menoleh pada Paula yang mendekat. Terlalu dekat, hingga banyak pasang mata yang menatap jengah kelakuan gadis itu. Namun, banyak juga yang mengira mereka berpacaran mengingat bukan sekali ini saja Paula berada di dekat Alan.
"Gue pulang bareng lo ya?" pintanya, sedikit bernada manja. Jemari lentiknya meraba perlahan paha Alan yang tertutup celana seragam. Namun tak sampai lima detik, jemari tersebut kembali terhempas. Alan menepisnya kasar. Dari balik kaca helm yang terbuka, netra Alan menyorot tajam gadis itu.
Ada alasan kenapa Paula menjadi salah satu siswi populer. Selain kecantikan yang tak terbantahkan, garis keturunannya yang merupakan cucu bungsu dari salah satu konglomerat Indonesia pun menjadi nilai tambah kepopuleran gadis itu. Singkatnya, Dalam segi penampilan dan gengsi, Paula hampir tak ada cela.
Namun, apakah hal tersebut cukup untuk menarik perhatian Alan?
Tidak. Setidaknya, sampai Alan tertarik untuk bermain.
Merengut, Paula menghentakkan kaki kesal. "Kenapa sih gue gak boleh naik motor lo? Orang pulang perginya sendirian terus juga?!"
"Motor gue suka cemburu kalo gue boncengin cewek. Dah ah!" Alan menyalakan motor dan bergegas pergi dari sana, meninggalkan Paula yang mungkin tengah menahan kesal di belakang. Ekor mata Alan kemudian menangkap sosok gadis yang beberapa jam lalu slayernya dia minta tanpa malu, tengah berdiri beberapa meter dari sebelah kanan gerbang. Menunggu ojek online.
Netra Alan terfokus lama pada sosok itu, hingga kesadaran menyentaknya.
Gue kenapa sih?
Alan menggeleng tak habis pikir, lantas melajukan motornya kala mendapat celah untuk menyebrang, melesat cepat, melewati gadis itu.
Bab 3
Bugh
"Lo bilang apa barusan?! Ulang!"
Alan menyeringai di sela sudut bibirnya yang mengeluarkan darah. "Gue gak sudi punya bokap menjijikan kayak dia."
Bugh
Pukulan ke sekian kembali mendarat di wajah Alan. Kerah jaketnya dicengkeram kuat. "Gue peringatin sama lo. Jangan. Hina. Dia." Tubuhnya lalu dihempas kasar. Alih-alih mengerang sakit, Alan tertawa, mengelap darah di sudut bibir. "Kenapa? Ah ... dia juga, kan, bokap lo ya?" Alan lagi-lagi tertawa. "Lo yakin dia nganggap lo anak, Kenzie? Lo yang selama ini kehadirannya disembunyikan?" Tawa Alan berderai hambar. "Lo cuma jadi pengganti selagi gue gak ada. Buktinya, lo tetep ditugasin buat jemput gue pulang, 'kan?
Jemari Kenzie mengepal kuat.
Bujuk Alan untuk pulang. Bukankah dulu kalian bersahabat? Ayah yakin cuma kamu yang bisa menangani kekeras kepalaan saudaramu, Ken.
Kenzie terpejam, lantas tersenyum getir. Saudara ya?
Bugh
Sekali lagi, Kenzie layangkan pukulan telak. Persetan dengan label saudara! Empat anak buahnya sudah terkapar tak berdaya setelah dihajar habis oleh Alan. Namun lantaran itu juga, Alan jadi kehabisan tenaga dan tak mampu meladeni Kenzie yang jelas masih segar bugar.
Alan tersungkur. Punggungnya menghantam tembok. Tenaganya sudah terkuras habis. Terduduk lemah dengan bersandar pada dinding dan kepala tertunduk, satu kaki coba Alan julurkan, semntara satu yang lain dia tekuk.
Kenzie mendengus. Rencananya sudah tidak lagi berguna, Alan tidak dalam kondisi prima untuk dia ajak bertarung sampai mati. Mengembuskan napas keras-keras, diputarnya tubuh untuk berlalu dari sana.
"Lo udah dapetin kasih sayang bokap gue, Ken. Harusnya lo gak perlu sefrustasi itu."
Langkah Kenzie terhenti. Kasih sayang? Bokap? Frustasi? Sebelah sudut bibir Kenzie tersungging miris. Ada beberapa hal yang sepertinya tidak dipahami oleh Alan, yang justru sangat dipahami olehnya. Kenzie bahkan nyaris lupa bahwa adik tercintanya itu sangat ahli dalam pengabaian dan ketidakpedulian. Dia akhirnya hanya berlalu tanpa menimpali sedikit pun.
Selalu seperti itu.
Alan tersenyum kecut. Terserahlah. Toh dia memang sudah tidak ingin berurusan dengan Ayah dan segala hal yang berkaitan dengan orang tua itu.
Detik demi detik berlalu bersama ringisan kecilnya. Perih menyerang di sudut bibir, pelipis, bahkan perut. Kenzie tidak main-main ketika menghajarnya. Alan tengadahkan wajahnya untuk meredakan sedikit perih dan limbung yang baru saja menyerang. Hanya tinggal menunggu waktu apakah ajal akan menjemputnya lebih dulu, atau daya hidupnya yang ternyata masih ada dan membuka matanya keesokan hari. Alan biarkan pikirannya berkelana ke sana-ke mari, tanpa arah, tanpa fokus yang jelas, sampai derap langkah terdengar kemudian dan menghentikan pikiran tidak jelas itu. Wangi vanilla tercium samar kala sosok yang berjalan ke arahnya kian mendekat.
Siapa pun itu, Alan harap bukanlah salah satu keparat busuk suruhan Kenzie.
"Kamu ... Ya ampun!” pekiknya terdengar shock. “Kamu … gak papa?"
Dan harapnya pun tersampaikan. Suara halus yang terdengar, ditambah wangi vanilla yang memberi efek tenang, tidak mungkin keluar dari mulut-mulut bajingan brengsek itu, bukan?
Alan mendongak. Penglihatannya sedikit buram lantaran sudut matanya sempat terkena bogem mentah.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Senyum Alan pun merekah.
"Hai, Pramuditha Aurum," sapanya lemah.
Satu hal yang tidak berani Alan ungkapkan adalah, dia sangat menyukai nama gadis itu.
Ditha berjongkok, menatap agak takut. "Kamu ... abis berantem?"
Nggak. Abis maen congklak. "Lo ngapain di sini?"
Ditha menatap sekitar. Gang sempit yang terdapat di antara pertokoan tidak dipasangi lampu hingga menyisakan gelap. Entah keberanian dari mana gadis itu nekat melangkahkan kaki hingga menyusuri lorong semenyeramkan ini.
Wajah Alan lebam di mana-mana. Sudut bibirnya yang paling parah. Entah bagaimana dengan perut dan organ lain lantaran tertutupi kaus dan jaket. Namun, Ditha yakin keadaannya tak jauh berbeda. "Kamu tunggu di sini ya. Aku beli obat dulu sebentar."
Ditha bergegas kembali menuju mini market yang beberapa saat lalu dia singgahi. Samar terdengar seruan kecil Alan yang memintanya tinggal. Namun Ditha terlanjur panik. Luka-luka di wajah cowok itu sangat tidak manusiawi. Ditha akan membeli obat dulu. Baru pikirkan yang lain.
•••
Sebenarnya, Alan tidak butuh obat, atau pun diobati. Ini hanya luka kecil. Sungguh. Kalau pun luka besar, Alan rasa dia juga tidak butuh obat. Mati lebih mudah, kan? Meski itu agak tidak mungkin mengingat lukanya yang belum seberapa. Memang, bagi yang melihat, luka Alan terbilang cukup parah. Namun satu hal yang tidak Ditha ketahui adalah, Alan pernah mengalami luka seratus kali lebih parah dari ini.
Awalnya, Alan pun bermaksud menolak pertolongan Ditha dan memintanya untuk pulang mengingat malam kian larut. Namun, demi raut khawatir Ditha yang bahkan telah repot-repot membelikannya obat, Alan memilih diam, terpejam, seraya bersandar pada tembok, lantas membiarkan gadis itu melakukan sesuatu pada luka-luka di wajahnya.
Sepi dan gelap di sepanjang gang membuat suasana hening. Alan membuka mata. Mengamati wajah gadis yang kini tengah fokus memoleskan salep di sudut bibirnya, yang sialnya terasa perih.
"Lo belum jawab pertanyaan gue."
Ditha melirik dua iris hitam milik Alan. "Apa?"
"Kenapa bisa ada di sini?"
"Oh itu." Ditha lanjut memoleskan salep di pelipis cowok itu. "Aku abis dari mini market dan jalan ke halte depan. Terus gak sengaja denger orang digebukin. Karena penasaran, akhirnya aku samperin ke sini, dan ternyata orang itu kamu." Senyum tipis menutup rangkaian jawaban yang dilontarkan gadis itu.
Alan terpaku sesaat. Menatap lekat Ditha yang begitu telaten 'mengurus' luka-lukanya.
Jika diperhatikan lebih intens, Ditha tidaklah cupu seperti kata orang-orang. Oke, penampilannya memang agak ketinggalan jaman dan jauh dari sylish dengan seragam sekolah, kelakuannya pun aneh, tapi jika gadis itu mau sedikit merubah fashion-nya di sekolah, Alan yakin dia mampu menyaingi Paula. Lihatlah! Bahkan kini, di luar seragam kebesaran dan rok kepanjangan yang kerap dikenakan, gaun selutut yang membungkus tubuhnya begitu anggun dan manis. Jauh, saaangat jauh dari cupu dan old. Meski kepangannya masih bertahan. Dan itu malah membuatnya makin menggemaskan.
"Lo beneran anti cowok?"
Pertanyaan itu terlontar begitu saja. Membuat gerakan Ditha refleks terhenti, meliriknya sekilas, kemudian melanjutkan kembali kegiatannya tanpa menjawab. Netra Alan beralih pada posisi mereka yang amat dekat. Jika gadis ini sungguh anti pada laki-laki, harusnya dia enggan berada dalam jarak sedekat ini. Namun, tidak ada tanda-tanda demikian.
Mungkinkah anak-anak di sekolah terlalu melebih-lebihkan?
"Udah." Ditha menyudahi aksinya me 'repair' wajah Alan.
Rasa perih di beberapa luka sobek agak membaik. Satu plester kecil terpasang di sudut pelipis.
Ditha beranjak membereskan obat, memasukannya ke dalam plastik, lalu menyerahkannya pada Alan. "Ini buat nanti kalo kamu luka lagi."
Sebelah alis Alan terangkat, memandang Ditha dan plastik yang disodorkan bergantian. "Lo berharap gue luka lagi?"
Ditha menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, tersenyum kikuk. "Bukan gitu ... maksud aku-" ucapan Ditha terhenti kala Alan terkekeh.
"Bercanda ... Ayo, gue anterin pulang." Alan pun bangkit agak susah payah setelah mengambil plastik yang disodorkan.
"Eh? Gak usah, Al. Aku bisa pulang sendiri kok."
Alan menoleh, Ada desiran aneh tatkala dirinya mendengar panggilan itu.
Al. Hanya satu orang yang pernah memanggilnya demikian. Rasa sesak pun muncul tak tertahan. Dari sekian banyak manusia, mengapa gadis ini yang memanggilnya dengan sebutan serupa?
"Anggap aja ucapan terima kasih karena lo udah nolong gue." Alan menunjuk motornya yang berada di mini market. "Motor gue di sana. Ayo."
Ditha menarik lengan jaket Alan ketika cowok itu mulai melangkah. "Aku bisa pulang sendiri kok. Rumahku gak jauh dari sini. Lagian, kan, kamu lagi luka-luka, jalannya aja pelan-pelan gitu, emang bisa bawa motor?"
Alan menarik napas panjang. Mata jernih Ditha menatapnya sungguh-sungguh. Gadis itu benar-benar tidak ingin diantar rupanya. Bagaimana ya? Harga dirinya seperti terluka ketika ada gadis yang menolak ajakannya pulang bersama. Selama ini 'kan dia tidak pernah gagal jika berurusan dengan wanita. Dan lagi, apakah Ditha baru saja meremehkannya? Oh ayolah, ini hanya luka kecil. Alan jauh lebih tangguh dari yang gadis ini kira. Ditundukannya wajah demi melihat paras gadis – yang entah kenapa lebih suka memandangi tanah daripada wajah para manusia rupawan di sekitarnya – tersebut. Sejenak terbersit keinginan untuk menggoda lagi ketika netranya tak sengaja melirik bibir kemerahan yang dulu nyaris merampas fokusnya di kali pertama mereka bertemu.
"Pilih. Gue anter ... atau gue cium."
Ditha refleks mendongak. Matanya membelalak kaget.
Alan menyeringai tipis. Ia pun menegapkan tubuh dan mengedikkan bahu. "Gue gak maksa kok. Cuma ya, gue pikir ini udah malem. Bukannya lebih menakutkan kalo pulang sendiri?"
Ditha menggigit bibir. Bingung.
"Ah, gue lupa. Lo gak bisa deket-deket sama cowok ya? Naik motor 'kan harus deketan." Alan bermonolog, melipat dua tangan di dada seraya menyandarkan tubuhnya pada tembok.
"Bukan gitu ..."
Sebelah alis Alan terangkat. "Lalu?"
Ditha melirik Alan ragu. "Rumahku di kompleks dekat sini kok.”
“Gak masalah.”
Ditha menggigit bibr lagi. Bingung bagaimana harus menolak. “Yaudah. Tapi jalan kaki aja ya?"
Alan mengangguk. Mempersilakan Ditha jalan lebih dulu.
Sepanjang jalan, keduanya melangkah dalam bungkam. Ditha melirik Alan, khawatir cowok itu sedang menahan sakit. Sedangkan yang diperhatikan justru nampak biasa saja. Memang perutnya masih perih, pukulan Kenzie tak pernah main-main. Namun bukan berarti dia akan tumbang hanya karena pukulan macam itu. Alan bahkan berjalan seperti tidak sedang terluka. Hanya langkahnya saja yang agak pelan.
"Itu rumahku," tunjuk Ditha pada satu bangunan mungil dan sederhana bercat biru. Beberapa pot gantung menghiasi balkon.
Alan mengangguk. "Masuk sana."
Ditha melangkah ragu. Sejak tadi gadis itu menimbang sesuatu. Haruskah dia mengutarakan apa yang ada dalam pikirannya saat ini? Berbekal sedikit keyakinan, menarik napas sejenak, Ditha pun akhirnya berbalik. Menatap Alan yang masih setia berdiri di sana.
"Kamu gak salah," ujar Ditha, mencipta kerutan di dahi Alan. "Aku emang gak nyaman deket-deket sama cowok."
Alan menenggelamkan dua lengannya dalam saku. Gadis ini hendak bercerita? Oke, Alan bahkan baru tahu bahwa Ditha mau buka mulut untuk bicara – agak – panjang. Jadi, mari dengarkan apa yang hendak gadis ini katakan.
"Banyak cowok yang keliatannya baik di luar, tapi hatinya jahat. Gak sedikit dari mereka yang menganggap perempuan hanya sebagai mainan belaka. Dan kamu-" Ditha mengigit bibir, melirik takut pada Alan. "Kata orang kamu brengsek." Sebelah alis Alan terangkat. "Kayaknya mereka bener." Ditha menunduk, tidak berani menengok Alan yang entah sedang menunjukkan reaksi macam apa. "Tapi aku gak takut sama kamu.” Gadis itu pun menarik napas, mendongak, lalu menarik dua sudut bibirnya membentuk senyuman. “Biar pun brengsek, tapi kamu baik."
Ditha tidak tahu saja, bahwa dibanding marah, Alan justru ingin tertawa. Alan sering mendapat pujian dari seorang gadis. Tampan, cerdas, cool, dan masih banyak lagi. Namun, dari sekian banyak pujian tersebut, ‘baik’ tidak pernah masuk dalam hitungan. Gadis ini terlalu polos dan naif.
Alan terpaku. Tidak berniat menanggapi ‘ocehan’ Ditha yang entah kenapa terdengar begitu menggemaskan di telinganya. Bahkan ketika Ditha pamit dan masuk ke dalam rumah, Alan masih bergeming di tempat.
Kemudian terkekeh tanpa suara.
Jadi … seperti inikah akhir hari dari dirinya yang katanya brengsek itu? Hari yang Alan pikir akan ditutup dengan kesialan, tanpa disangka justru mendapat senyuman dan pujian seorang gadis.
Luar biasa.
Bab 4
Ketika setiap sekolah berlomba mengisi kelasnya agar terisi banyak murid, SMA Liner justru hanya membatasi 3 kelas untuk setiap jurusan, baik dari kelas 10 hingga kelas 12. Pihak sekolah memiliki visi yaitu mencetak seluruh muridnya menjadi lulusan unggulan, bukan hanya satu atau dua murid saja. Mereka memang dikenal mengutamakan kualitas di atas segalanya. Hanya ada beberapa sekolah swasta yang membuat peraturan demikian. Kebanyakan merupakan sekolah swasta elit. Dan salah satunya adalah SMA Liner.
Aula luas yang terletak persis bersebalahan dengan gedung kelas 11 kini ramai oleh para murid 12 IPA yang akan mengikuti kelas tari untuk pertama kali. Kursi-kursi dibuat melingkar sehingga pengajar akan berdiri di tengah lingkaran ketika mengajar sekaligus mencontohkan gerakan tari.
Ini adalah kali pertama seluruh kelas IPA satu angkatan berada dalam ruangan yang sama. Tentu, hal tersebut sangat disambut antusias oleh hampir semua murid. Selain karena mereka jenuh dengan temen sekelas yang itu-itu saja, kehadiran beberapa cowok ganteng dan cewek cantik menjadi daya tarik tersendiri. Bayangkan saja, seluruh most wanted kelas 12 ada di jurusan IPA, dan kini semuanya berkumpul dalam tempat dan waktu yang sama.
Ditha duduk di pojokan dekat jendela. Diam dan memperhatikan tiap murid yang asik bercengkrama. Kebanyakan siswi memilih berkerumun dan bergosip. Beberapa ada yang sibuk menjaga image di hadapan para cowok yang mereka taksir. Sementara di sisi yang lain, ada yang memanfaatkan momen penggabungan kelas dengan berpacaran atau melancarkan pedekate. Ditha tertawa kecil ketika mendengar beberapa dari mereka melancarkan gombalan-gombalan receh yang amat kocak hingga jatuhnya malah seperti lawakan.
Dan ketika tawa indah yang sayangnya tak disadari siapa pun itu berderai, di saat yang sama pula tatapannya dan Alan bertemu. Cowok itu tengah duduk di kursi seberang seraya menumpukan kedua kakinya lurus di atas kursi lain, tepat di pojokan, dan diapit oleh Bagas, Eshal, dan beberapa teman yang lain. Mereka mengobrol santai, sambil sesekali tertawa. Dia pun melihat Paula sebagai satu-satunya gadis yang bergabung dengan sekumpulan makhluk rupawan itu.
"Biarpun brengsek, tapi kamu baik."
Ditha meringis. Mengingat ucapannya pada Alan semalam. Bagaimana bisa dia seberani itu? Beruntung tidak ada reaksi berarti yang ditunjukkan Alan. Cowok itu hanya diam dan menanggapi dingin bahkan ketika dirinya pamit. Marahkah? Ditha tidak tahu.
Namun, Ditha tidak berbohong apalagi mengarang saat mengatakan bahwa Alan adalah orang baik. Tak sedikit pun Ditha merasakan aura jahat dari cowok yang katanya badboy dan akrab dengan dunia malam nan liar tersebut. Ditha memang belum pernah melihat langsung senakal apa Alan karena dia hanya murid pindahan sebulan lalu. Namun ketika melihat raut wajah Alan yang cenderung dingin dan irit bicara, disertai sorot tajam penuh intimidasi yang terpancar dari kedua mata elangnya, yang sialnya kadang digunakan untuk menggoda seorang gadis, Ditha bisa menebak bahwa selentingan mengenai kebrengsekan Alan benar adanya.
Ditha tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dan di saat yang bersamaan, seseorang masuk. Seisi kelas memusatkan atensi pada orang itu. Pria dewasa, usianya sekitar 37 tahun, model rambut menyerupai para ullzang cowok korea, perawakan tegap dan lumayan kekar, dengan outer berupa rompi abu-abu sebagai penutup kemeja birunya. Pria itu melangkah ke tengah seraya membawa beberapa peralatan – sebut saja begitu – termasuk buku di tangan. Para murid beranjak menuju kursi secara acak. Kelas mendadak hening.
"Selamat pagi adik-adikku ..."
Jika Ditha refleks menunduk, maka murid lain refleks mengatupkan bibir, menahan tawa.
Suara mendayu yang baru saja terdengar sama sekali tidak mencerminkan sosok dengan bodi tinggi dan kekar tersebut.
"Perkenalkan, nama saya ... Lanka. Saya yang akan menjadi mentor untuk kelas tari kalian beberapa bulan ke depan." Lanka menyapukan matanya ke seluruh murid yang duduk melingkar. "Ya ampuuun gue gak salah ngambil keputusan ngajar di sini, Mey, muridnya cakep-cakep." Lanka menggerakkan jari-jari lentiknya dengan gemulai seraya mengedipkan sebelah mata pada siswa-siswi yang dia anggap rupawan. Seorang wanita berusia 29 tahun bernama Meysa – asistennya –hanya tersenyum simpul. Sudah terbiasa dengan tingkah gemulai bosnya itu. Namun tidak seperti pria kemayu kebanyakan, bahasa Lanka masih terdengar normal dan mampu dimengerti. Hanya gaya dan nada bicaranya saja yang feminin. "Okeeeyyy dari mana kita mulai-"
Selagi Lanka memulai perkenalan, Eshal berbisik di telinga Bagas. "Yang begini yang bikin gue ngeri."
Bagas menaikkan satu alis. "Kenapa?"
Eshal mendecak. "Biasanya kalo ketemu cowok cakep langsung disosor. Bayanginnya aja gue geli anjirr!"
Bagas terkekeh. Alan yang mendengar pun ikut terkekeh.
"Modern dance adalah sebuah gerakan tari modern yang mengekspresikan gerak tubuh yang energik, kreatif atau tidak terstruktur, dan diiringi irama musik yang tidak terikat suatu aturan. Intinya lebih bebas dalam menentukan gerakan dan irama musik-"
Seluruh murid diam dan memperhatikan. Tak terkecuali Ditha. Meski dia sudah kebingungan sendiri semenjak pengumuman kelas tari sampai padanya – yang mana mengharuskannya berinteraksi dengan laki-laki, Ditha tetap mengikuti kelas dan bergabung dengan yang lain. Satu hal yang tidak banyak orang ketahui adalah, Ditha sangat suka menari. Dulu, ketika dia masih menjadi gadis 'normal', dia selalu tidak sabar dan antusias tiap kali pelajaran seni. Ditha bahkan pernah mengikuti club dance yang menaungi para pemula hingga pro.
Mengingat itu, Ditha tersenyum pahit. Andai keadaannya tidak seperti sekarang, dia pasti sudah menjadi gadis paling heboh dan semangat mengikuti kelas.
"Hei kamu."
Seluruh murid menoleh ke arah yang ditunjuk Lanka. Ditha pun kontan melebarkan mata. Ritme jantungnya mulai naik. Kepalanya menengok ke kanan-kiri dengan gugup, lantas telunjuknya mengarah pada diri sendiri. "Aku?"
"Iya kamu, maju."
Deg
Ditha menelan ludah. Perhatian seisi kelas tertuju padanya. Ada yang tertawa geli, tak percaya, bahkan meremehkan. Dia paham kenapa mereka bereaksi demikian. Yang tak bisa dia pahami adalah, dari sekian banyak gadis cantik di sini, kenapa malah dirinya yang ditunjuk untuk maju?
Detik demi detik berlalu. Ditha masih bergeming di tempat. Dia menggigit bibir. Sebagian hatinya terdorong untuk maju, sebagian lain mengkerut takut. Takut jika dipasangkan dengan seseorang. Bagaimana jika seseorang itu menyentuhnya? Ah, membayangkannya saja Ditha sudah tegang. Couple dance sudah pasti mengharuskan penari untuk saling bersentuhan, bukan?
Gadis itu menarik napas panjang. Seluruh murid menunggu. Mau dihindari seperti apapun sepertinya Ditha tidak akan lolos, akan ada sesi kelas selanjutnya, dan terus berlanjut hingga akhirnya dia harus menari berpasangan ketika ujian praktek dimulai.
Karena itu, Ditha memantapkan hati. Tangannya mengepal kuat sebelum memutuskan berdiri.
"Saya aja."
Sebuah suara menginterupsi gerakannya. Seluruh murid sontak menoleh.
Alan, dengan cueknya berdiri lalu melenggang santai ke tengah aula, berhadapan dengan Lanka. Sorakan mulai terdengar.
Lanka fokus menatap Alan. Kedua tangan Alan tenggelam dalam saku celana. Seragam tidak dimasukkan dengan dua kancing atas terbuka, dasi dan sabuk yang merupakan atribut penting tidak dikenakan, rambut berantakan, terdapat tindikan kecil di telinga sebelah kiri, tepatnya di sisi dekat anting seharusnya berada, sementara sepatu hitamnya nampak selaras dengan siswa lain.
Mata Lanka kemudian mengarah pada jam tangan hitam Alan. Cukup sekali lirik pun Lanka tahu jam tangan dengan brand kelas dunia yang melingkar di tangan kiri Alan itu original. Namun, dari semua tampilan yang Lanka namai 'kece tingkat dewa' itu, wajah Alan menjadi fokus utamanya. Ah, bagaimana menjelaskannya? Lanka speechless. Bisa dikatakan, gantengnya Alan itu kurang ajar. Kurang ajar karena membuat jiwa femininnya meronta tak berdaya.
Lanka lantas tersenyum penuh arti. Sebelah alis Alan terangkat. Perasaannya mulai tak enak. Dengan tetap mempertahankan tampang sok cool-nya, cowok itu mundur ketika Lanka mendekat.
Bagas dan Eshal sudah menahan tawa sejak tadi. Sementara siswa lain memperhatikannya dengan berbagai ekspresi.
Ditha diam-diam menghela napas lega.
"Saya suka yang badboy-badboy gimanaaa gitu." Lanka menyeringai genit. "Apalagi kalo diajak couple dance, ughh! Gak tahan cyiiinnn."
Alan melotot dan seketika menegang begitu dagunya dicolek. Kedua sahabatnya sudah cekikikan.
"Karena materi yang kalian butuhkan adalah tentang menari berpasangan, maka saya akan tunjukkan contoh couple dance sebelum bahas materi awal, agar ada sedikit gambaran." Bersamaan dengan itu, Lanka mengedipkan sebelah matanya pada Alan dan langsung ditanggapi cowok itu dengan gelengan kepala. Diam-diam dia bergidik geli.
"Nah ngg ... siapa nama kamu? Duh saking cakepnya sampe lupa tanya nama."
Alan berdeham. "Alan."
Lanka menjentikkan jari. "Oke, Alan," kemudian mundur satu langkah, merentangkan tangan. "Maju, pegang pinggang saya."
Alan sontak membelalak. Bisa dia lihat Bagas dan Eshal hampir meledakkan tawa.
Ah, kenapa jadi begini? Dia tadi 'kan hanya bermaksud menyelamatkan seseorang!
Ditha memperhatikan Alan dalam diam. Menahan tawa karena sempat melihat ekspresi menggelikan dari cowok itu.
"Ayo Alan, mendekat sini, pegang pinggang saya."
Alan berdeham. Tidak boleh seperti ini. "Bukannya ini nari berpasangan?"
"Betullll."
Alan mengedikkan bahu. "Kenapa gak dipraktekin sama murid lain aja? Kan biar makin paham."
Sontak, aula gaduh. Terutama para siswi yang diam-diam berharap agar ditunjuk sebagai pasangan.
"Modusnya bisa bangett anjiirr!" Eshal berdecak, sementara Bagas terkekeh dengan tangan terlipat di dada. Matanya bergulir ke arah Ditha. Gadis itu tidak ikut heboh seperti yang lain. Sorot matanya berubah sendu tanpa siapa pun sadari.
"Oke, bisa diterima," sahut Lanka setelah berpikir beberapa saat. Pria sedikit gemulai itu mulai menatap satu persatu siswi. Menimbang siapa sekiranya yang akan dia tunjuk.
"Saya yang pilih."
Lanka menatap Alan heran, kemudian mempersilakan.
Seluruh siswi sudah harap-harap cemas. Cowok itu mengarahkan matanya ke tempat teman-temannya duduk, lantas menyeringai.
Eshal dan Bagas mengerutkan kening bersamaan. Mendadak mereka merasakan aura horor.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
"Bagas."
"Anjinggg!!"
"Pffttttttttt-"
"Bwhahahaha-"
Eshal terpingkal. Bagas bersungut. "Gue masih doyan cewek, bangke!"
Berbeda dengan mereka, para siswi mendesah kecewa, namun ada juga yang ikut tertawa. Siapa yang mengira bahwa pilihan Alan akan jatuh pada Bagas?
Tawa berderai. Aula yang semula sepi menjadi ramai dan kegiatan pun terasa lebih menyenangkan. Namun ada satu yang terlewat, yang tidak mendapat perhatian orang-orang di sekitar, bahwa sejak tadi, Paula, yang seharusnya menjadi salah satu siswi paling berisik justru hanya diam, kedua netranya menyorot tajam pada satu-satunya gadis yang sejak tadi hanya menyunggingkan senyum tipis. Gadis yang telah membuat 'Alan' nya berbuat sesuatu di luar kebiasaan.
Berkorban.
Bab 5
"Kawasaki masih maen, gue-nya yang gak bisa. Lo yang maju."
Alan terperangah. Menatap kaget Rinto.
Pria berusia 24 tahun itu tersenyum. Paham akan keterkejutan Alan, si bocah 17 tahun yang sudah dia anggap seperti adiknya sendiri. Kepulan asap rokok keluar dari mulut Rinto. "Perusahaan butuh gue. Bokap udah gak sanggup mimpin."
"Lo gak nolak?"
Rinto tertawa hambar. "Nolak." Kemudian menyesap lagi rokoknya. "Tapi saat mikir banyak keluarga yang bergantung hidup dalam perusahaan bokap yang karyawannya udah sampe ribuan, gue gak bisa berbuat apa-apa. Gue juga gak setega itu biarin usaha yang dirintis dari nol sama bokap hancur hanya karena ego gue yang lebih mentingin balapan."
Alan menyulut rokok, menyesapnya. "Sepenting apa balapan buat lo?"
"Hidup gue. Rasanya ada yang kurang kalo gue belum nyium aroma lintasan. Menaklukan jalanan, adu kecepatan." Rinto menyungging miris. "Gue gak bisa hidup tanpa itu semua. Tapi balik lagi, hidup gak semudah yang lo pikir, Lan. Lo punya tanggung jawab. Terlebih jika berhubungan dengan orang tua. Lo akan dihadapkan sama pilihan sulit."
Sorot mata Alan tertuju ke jalanan, persis di depannya. "Tanggung jawab ya?" Jika dipikir lagi, Alan juga punya tanggung jawab besar. Hanya kalau dipikir. Namun Alan malas berpikir.
"Tapi mungkin lo punya jalan hidup yang berbeda dari gue. Gue tau segila apa lo sama balapan. Karena itu-" Rinto menatap serius, "lanjutin perjuangan gue. Cuma lo yang bisa."
Mengikuti balapan resmi adalah kesempatan yang Alan tunggu-tunggu. Dia memang pernah mengikuti balap resmi, legal, amat jauh dari trek-trekannya selama ini, yang hanya memberi sensasi kesenangan semata, juga bertaruh dalam bahaya dan kejaran polisi. Meski masih dalam skala dan lingkup yang kecil, setidaknya Alan pernah merasakannya. Lalu kini, Rinto menawarkannya kelas internasional. Asia Road Racing Championship. Ajang balap berskala Asia dengan kelas ASB1000 yang mana merupakan kelas utama dalam ajang tersebut. Tentu, Alan antusias. Namun, mengesampingkan semangat tersebut, Alan justru lebih terfokus pada hal lain. Ditengoknya Rinto, yang meskipun tidak mengatakan apa-apa, Alan bisa melihat jelas sendu yang menggelayut di netra cemerlang itu.
Bagi pembalap, sensasi kala memacu kecepatan di atas lintasan sama seperti bernapas. Kebebasan yang dirasakan jiwa ketika adrenalin terpacu tidak akan bisa diungkapkan dengan sebuah kata, apalagi dimengerti oleh orang orang yang hanya tahu dan menganggap mereka pengendara motor ugal-ugalan saja.
"Tapi tenang aja, gue gak vakum sepenuhnya." Sebelah alis Alan terangkat. Rinto menyeringai. "Gue bakal jadi mentor sekaligus mekanik lo. Semua ini gak akan bisa gue singkirin gitu aja, 'kan?" Rinto dan Alan menyapukan mata ke sekitar. Rumah kecil minimalis milik Rinto yang terletak di pinggiran jalan, dengan sebuah halaman kecil yang disulap menjadi bengkel untuk merakit motor dan segala hal yang berkaitan dengan otomotif. Dua motor ninja bahkan sedang bertengger gagah di sebelah Rinto. Akan diuji mesin. Satu berwarna hitam, satu berwarna biru.
"Dan lagi, gue masih punya bocah ingusan yang harus dilatih biar tembus ARRC." Rinto menaikturunkan kedua alisnya. Alan terkekeh, sesekali menyesap rokoknya. "Lo harus ke sini tiap minggu. Banyak hal yang harus kita bahas. Kita dikejar waktu. Balapan tinggal 6 bulan lagi."
"Ok."
•••
"Gue peringatin ya. Jangan. Keganjenan. Sama. Alan." Paula mengetuk-ngetukan telunjuknya dengan kurang ajar di dahi Ditha yang tengah menunduk takut. "Alan baik cuma karena kasian sama lo. Ngerti?!"
Rooftop sekolah kosong. Seluruh murid telah pulang setengah jam lalu. Dan Ditha tidak berani mendongak. Benaknya terus merutuki diri sendiri karena begitu pengecut dan lemah.
"Enaknya diapain, Pau?" tanya Meska, salah satu antek-antek Paula.
Kedua tangan Paula terlipat di dada disertai tatap angkuh. Dia sangat benci dengan gadis di hadapannya. Dia benci ketika Alan memperhatikan Ditha dengan cara yang berbeda.
Paula melihat semuanya. Alan yang menghampiri Ditha di kantin dan di koridor sekolah. Awalnya, Paula pikir Alan hanya iseng. Karena itu dia diam saja. Namun, di aula dansa kemarin, pikiran tersebut terpatahkan. Paula adalah satu-satunya gadis yang tahu sebrengsek apa Alan di luaran sekolah. Dan Alan tidak pernah berlaku semanis itu pada gadis mana pun.
Termasuk dirinya.
Sialan! umpatnya dalam hati.
Paula memiringkan kepala. Memperhatikan sejenak gadis cupu yang bahkan tidak pantas jika dibandingkan dengannya, namun sialnya malah mendapat perhatian dari cowok yang dia suka. Bibirnya menyeringai licik. Meska dan Rana yang berdiri di sebelah kanan dan kiri menatap horor ke arah Paula.
"Lucuti pakaiannya."
•••
"Dasar kutu lo emang!"
Bagas terus menggerutu, sementara Alan terkekeh. Efek belajar couple dance bersama Lanka ternyata masih membekas di ingatan Bagas. Membuat cowok itu menggerutu tiap kali Alan dan Eshal menggodanya
"Kita cari cewek beneran sekarang," ujar Alan setelah kekehan reda. Merangkul bahu Bagas seraya melangkah ke lapangan.
"Cewek beneran pale lo! Jangan bilang mau ngajakin gue bikin dosa lagi ya!" Bagas memicingkan mata. Alan berdecak seraya mengibaskan tangan tak peduli.
Koridor sekolah sangat sepi. Alan sedang berbaik hati menemani Bagas latihan futsall. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa dua remaja yang sudah bersahabat sejak bangku SD itu selalu bersama, lengket bak upin-ipin. Ditambah dengan Eshal yang mulai bergabung sejak masuk SMA, makin lengketlah mereka.
"Bangke banget itu kelakuan kutu satu." Alan memergoki Eshal yang sedang bermesraan di kelas 10, yang terletak paling pojok, bersama pacar barunya.
"Parahan elo!" timpal Bagas. Masih kesal rupanya.
"Tapi gue, kan, gak maenan di sekolah, Gas ..."
"Sama aja, sama-sama kutu, bajingan."
Alan memutar malas kedua matanya. Tapi tidak menampik apa-apa. Di antara mereka bertiga, memang Alan akui, Bagaslah yang paling waras soal perempuan.
"Gue ngerokok dulu di atas, selamat latihan sayangkuu ..."
"Najisss!!"
Alan terkekeh puas seraya melangkahkan kaki menuju rooftop. Bersama Bagas, Alan jauh dari kata dingin dan menakutkan. Satu persatu anak tangga Alan naiki sambil sesekali meneguk sekaleng nescafe dingin. Dia memang sangat suka minum sekaleng kopi dingin. Kopi apa saja. Yang penting kaleng. Dan dingin. Samar-samar, semakin kakinya menaiki undakan, semakin telinganya mendengar sesuatu.
Alan berhenti sejenak tepat di dua anak tangga teratas. Ini siang hari, menjelang sore. Terlalu parnokah jika Alan berpikir bahwa suara tangisan yang dia dengar adalah suara hantu? Alan tidak takut. Sungguh. Hanya saja ... iseng sekali jika dia menghampiri asal suara tersebut. Dia tidak sedang mengikuti program uji nyali by the way.
Namun, sekali lagi Alan berpikir. Bagaimana jika yang menangis adalah seorang manusia?
Tidak ingin pikiran-pikiran konyol menguasai dirinya, Alan kembali melangkahkan kaki, naik hingga ke atas rooftop. Sejenak dia terdiam dan tidak menemukan apapun. Sampai ketika netranya menyapu sekeliling, tepat di pojokan, terhalang tong sampah stainless lumayan tinggi, gadis yang akhir-akhir ini menyita sedikit perhatiannya, tengah duduk memeluk kedua lutut, tanpa seragam dan hanya mengenakan tanktop hitam, beruntung rok sekolah tidak sampai ikut-ikutan lenyap.
Deru napas Alan memburu seketika. Refleks dia melangkah cepat, menghampiri Ditha. Reaksi ketakutan bercampur malu yang ditunjukkan gadis itu jelas membuat Alan terhenyak dan emosi seklaigus. Hati-hati, Alan berjongkok di hadapannya. Menatap nanar Ditha yang sudah menenggelamkan wajahnya di antara dua lutut.
"Siapa yang lakuin ini?"
Ditha masih terisak.
Alan menarik napas. Sekelebat ucapan Eshal dan Bagas melintas di kepala. Mungkinkah … Ditatapnya Ditha dengan raut tak percaya, berharap apa yang diyakini benaknya keliru. "Apa mungkin ... karena gue?"
Ditha perlahan mendongak. Kepangan gadis itu sudah tak berbentuk, mata sembapnya masih menyisakan basah di kedua ujung. "Bukan-hiks-salah ... kamu, hiks-ini-hiks-karena ... aku-hiks-terlalu lemah," Ditha menjawab dengan terbata, isakannya lebih mendominasi, airmatanya menetes lagi.
Alan menunduk seraya memejamkan mata. Dia marah? Tidak. Ini lebih dari sekadar marah. Meski dia sendiri tidak paham mengapa harus merasa demikian. Dibukanya jaket motor yang sedang dia kenakan, lalu dipakaikannya jaket itu ke tubuh Ditha. "Gue anter pulang, ayo."
Alan bangkit, namun Ditha masih bergeming di tempat.
"Ayo bangun." Alan bahkan mengulurkan tangan agar Ditha meraihnya. Namun, gadis itu tetap bergeming, dengan kepala tertunduk dan mengigit bibir.
Alan menghela napas. Dia harus banyak sabar menghadapi gadis ini. "Yakin lo mau tetep di situ?" Kemudian berjongkok lagi. "Gue kasih tau, di lapangan masih ada anak futsall. Mereka biasa ke sini abis latihan selesai."
Untuk beberapa detik netra mereka bertemu dan saling memaku. Hingga akhirnya Alan kembali bangkit, mengulurkan tangan, lantas menunggu. Ditha masih menatapnya ragu-ragu. Butuh waktu sekian detik agar gadis itu menyambut uluran tangan Alan, kemudian bangkit dan melangkah menuju parkiran. Sembari berjalan, pikirannya bekerja, menerka siapa gerangan yang tega berbuat serendah ini.
"Woy, Lan!"
Bagas berteriak ketika mendapati Alan berjalan di pinggir lapangan, dan seketika terdiam begitu melihat Ditha berjalan tepat di belakangnya, dengan jaket hitam milik Alan yang menutupi tubuh gadis itu.
"Gue balik duluan," sahutnya.
Bagas menatap Alan heran. Menyadari itu, Alan hanya menggerakan sedikit wajahnya ke arah Ditha untuk memberitahu. "Nganterin dia dulu."
Bagas tidak banyak bertanya meski dia penasaran setengah mati, dan hanya melirik Ditha yang menunduk.
Sesampainya di parkiran, Alan menyodorkan helm, namun tidak langsung diterima. Ditha malah mendongak dan menatap Alan dengan sorot polosnya. "Aku boleh naik motor kamu?"
"Ha?"
Ditha merapatkan bibir. Dia pernah tidak sengaja mendengar penolakan Alan pada Paula soal motornya yang tidak boleh dinaiki perempuan.
"Boleh kok."
Lalu sekonyong-konyong helm terpasang begitu saja di kepalanya. Alan bahkan membantu mengunci kaitan di bawah dagunya.
Ditha mengerjap. "Kamu gak pake?"
Alan menggeleng. "Cuma ada satu."
Ditha mengatupkan bibir. Bingung, sekaligus tidak enak hati. "Kalo kena tilang gimana?"
Alan terkekeh pelan, menaiki motor, lantas memutar gas hingga mencipta deru kencang yang cukup membuat siapa pun yang berada di sekitar menoleh.
"Paling kejar-kejaran sama polisi."
"Ha??" Ditha membelalak.
Alan kembali terkekeh, dihelanya Ditha agar segera naik, kemudian menginjak gigi satu begitu gadis itu telah duduk manis di belakangnya. Sebelum melaju, dia menoleh sesaat. "Pegangan kalo gak mau jatoh." Hanya sepersekian detik setelah peringatan itu dikatakan, Alan melajukan motornya tanpa aba-aba, membuat Ditha refleks memeluk pinggang cowok itu saking kagetnya.
Dan tanpa keduanya sadari, Paula di atas rooftop, juga Bagas di tengah lapangan, memperhatikan mereka dalam diam. Paula dengan emosinya. Dan Bagas, dengan segala perasaannya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
