Alan Part 11, 12, 13, 14

4
0
Deskripsi

Bab 11

Helaan napas panjang terdengar setelah detik-detik sunyi memerangkap dua manusia yang sejak tadi hanya saling diam. Empat puluh dua menit sudah Alan menatap sendu wanita yang kini hanya duduk menghadap jendela, membelakanginya, memandang kosong ke arah taman yang ramai oleh orang-orang yang mengenakan pakaian serupa.

Alan pun melangkah, lantas berjongkok di sisi kursi yang wanita itu duduki. "Al pulang dulu, Mama baik-baik ya? Nanti Al balik lagi." Senyum Alan terukir tipis. Senyum yang sarat akan kesedihan, sebenarnya. Namun, wanita yang dia sebut mama itu tidak mungkin menyadarinya, bukan? Mama mau menoleh saja Alan sudah sangat bersyukur.

Alan pun keluar dari ruangan bernuansa putih tersebut usai mencium punggung tangan sang mama. Hingga detik ini, sosok yang telah melahirkannya itu masih belum menunjukkan tanda-tanda membaik. Minimal, mengenali putranya sendiri. Senyum pahit tercetak samar di sudut bibir Alan, mengiringi langkahnya menyusuri koridor rumah sakit.

Di salah satu kursi yang berjejer sepanjang lorong, terdapat anak kecil laki-laki yang fokus menarik pakaian rajutnya hingga pakaian tersebut tak berbentuk. Di ruangan tak jauh dari sana, terdapat sosok remaja perempuan yang terus bernyanyi sambil tertawa, kemudian menangis. Di sudut yang lainnya lagi, ada seorang ibu yang terus mengacak rambut sambil mondar-mandir tak tentu arah. Dan beragam tingkah tak wajar lainnya.

Alan terhenyak oleh rasa miris. Untuk beberapa alasan, dia merasa beruntung sebab sang mama tidak menunjukkan reaksi demikian. Mama hanya diam sepanjang hari dengan tatapan kosong. Meski rasanya tidak jauh lebih baik, setidaknya tingkah mama lebih mirip orang depresi daripada orang gila.

Benar. Mama hanya depresi. Bukan gila.

"Papa tidak mungkin terus bersama wanita yang kewarasannya saja perlu dipertanyakan, Alan."

Tangan kanan Alan mengepal erat. Emosinya kontan tersulut setiap kali bayangan papa melintas dalam kepala.

"Tapi tenang saja, selagi kamu patuh dan sekolah dengan benar, segala biaya hidup dan pengobatan mamamu akan Papa tanggung."

Bugh!

Pukulan keras menghantam dinding. Buku-buku jari Alan lecet dan mengeluarkan sedikit darah. 

"Ingat. Kamu adalah penerus papa."

Napasnya memburu. Cih! Bagaimana mungkin manusia tidak berperasaan macam itu berstatus sebagai ayahnya? 

Getir tawa Alan mengiringi disertai usapan kasarnya pada wajah. Deru motornya meraung kencang beberapa menit kemudian. Dengan sisa amarah yang masih membara, Alan pun melesat meninggalkan rumah sakit.

•••

Ditha melangkah ringan menuju perpus. Kini, gadis itu lebih tenang dalam menghadapi sesuatu. Terutama para cowok yang notabene kerap membuatnya tegang dan gugup. Kembalinya pertemanan Antara dia dan Bagas – yang membuat gadis itu lebih banyak berinteraksi dengan laki-laki – menjadi salah satu faktor yang membuat Ditha makin rileks. 

"Oh, jadi ini si nerd yang katanya sering dibelain Alan cs itu?" Nesya bersedekap angkuh, menghadang langkah Ditha. "Gue jadi penasaran apa yang udah lo kasih sampe bisa deket-deket sama mereka? Apa lo nangis terus minta perlindungan? Kayak cewek-cewek lemah yang minta dikasihani gitu? Atau ... tubuh lo ..."

Plakk!

Satu tamparan mendarat di pipi mulus Nesya. Ditha membelalak.

Paula, entah sejak kapan berdiri di antara mereka, bersedekap tak kalah angkuh. "Tubuh? Tubuh apa maksud lo? Coba ulang?"

"Lo?!" Nesya memegangi pipinya, menatap nyalang Paula dan Ditha bergantian. "Jangan bilang sekarang lo juga lindungin dia?"

Paula melirik Ditha sesaat. "Kenapa gue harus lindungi dia? Emang dia satwa atau hutan yang perlu dilindungi?"

"Terus kenapa lo tiba-tiba tampar gue?!"

Sebelah alis Paula terangkat. Menatap remeh Nesya. Kemudian mengedikkan bahu. "Gak ada alasan khusus. Cuma ya ... tangan gue lagi gatel aja pengen nyium wajah manusia-manusia gak tau diri."

"Apa lo bi-"

"Nes, udah cabut aja. Banyak orang yang liatin kita. Ayo!"

"Ck! Sialan lo, Paula!" umpat Nesya sebelum tubuhnya ditarik Manda menjauh.

Beberapa orang yang memperhatikan pun membubarkan diri. Menyisakan Paula dan Ditha berdua di tengah koridor.

Ditha melirik Paula. Masih heran dengan aksi cewek itu. Barusan ... Paula membelanya?

Helaan napas Paula pun terdengar. Dia berbalik menghadap Ditha. "Lawan mereka. Jangan mau ditindas terus. Semakin lo diem, semakin mereka kurang ajar sama lo." Paula segera berlalu dari sana tanpa menunggu respon Ditha, yang justru menyisakan rasa heran hingga Ditha pandangi punggung Paula yang kian menjauh dengan keterkejutan tidak biasa.

"Kamu kenapa nolongin aku??" tanya Ditha, setengah berteriak. 

Paula berbalik tanpa menghentikan langkah. "Gue gak nolongin lo. Gue cuma gantiin tugas Alan yang empat hari ini gak keliatan batang hidungnya."

Ditha kembali terdiam. Alan memang tidak masuk sekolah beberapa hari ini. Entah apa alasannya. Jangankan dirinya, Bagas dan Eshal yang notabene sahabat cowok itu saja tidak tahu. Namun, terlepas dari permasalahan Alan, bisakah Ditha mengartikan aksi Paula tadi sebagai ajakan berdamai?

Senyum Ditha pun merekah tanpa sadar.

•••

"Datengin aja apartemennya, Ta."

Itulah usulan Bagas sebelum pulang sekolah beberapa jam lalu. Alamat Alan pun tidak lupa cowok itu kirim via whatsapp. Dan di sinilah Ditha sekarang. Di depan unit yang berada di lantai ke tiga sebuah gedung apartemen. Dari luar, gedung ini tidak terlalu mencolok sebab tidak masuk dalam daftar apartemen elit ibukota. Andai Bagas tidak memberitahu, Ditha mana percaya seorang Alan tinggal dan hidup seorang diri di tempat ini. Ke mana orang tuanya? Ah tidak! tidak! Ditha menggeleng cepat. Tidak sepantasnya dia bertanya hal demikian, terlebih untuk urusan sensitif. Gadis itu datang ke mari murni karena ingin menemui Alan dan bertanya mengapa cowok itu tidak masuk sekolah beberapa hari.

Hanya itu.

Oke. Alasan bodoh sebenarnya.

Hati kecilnya jelas tahu mengapa dirinya, yang bahkan jarang keluar rumah, kini justru mendatangi kediaman seorang cowok – yang sialnya bukan siapa-siapanya – seorang diri. Untuk ukuran seorang gadis yang sangat amat menghindari laki-laki, yang kini Ditha lakukan termasuk nekat. Nekat karena melawan ketakutannya sendiri – yang mana dirinya saja belum memiliki nyali untuk keluar dari lingkaran menyedihkan tersebut. Sungguh tidak mencerminkan seorang Pramuditha sama sekali. Tapi untuk beberapa alasan, bukankah itu kemajuan?

"Ngapain lo di sini?"

Dan suara yang beberapa hari tidak dia dengar pun menyapa. Tepat di belakangnya.

Ditha terlonjak, lantas berbalik. Alan berdiri tidak jauh darinya. Cowok itu nampak baru kembali dari suatu tempat. Sejenak Ditha takjub dan tidak bisa berkata apa-apa. Tidak ada yang aneh pada diri Alan yang bisa dijadikan alasan atas absennya cowok itu di sekolah. Kecuali, luka kecil yang kini terdapat di pelipis. Memang kecil, namun membuat otak Ditha memikirkan segala kemungkinan.

"Kamu ... abis berantem lagi?" tanya Ditha hati-hati, teringat kala dirinya mendapati Alan babak belur beberapa waktu lalu.

Alan tidak menggubris. Cowok itu maju, meraih satu tangan Ditha, lantas menekan beberapa digit passcode.

"Al-"

"Masuk dulu." Bertepatan dengan itu, Alan membuka pintu. Dan tanpa menunggu persetujuan, dia bawa Ditha masuk bersamanya. "Mau minum apa?" Dilepasnya genggaman, lalu melangkah menuju lemari pendingin. Menyadari tidak ada jawaban, barulah Alan menoleh, dan mendapati gadis itu berdiri canggung tidak jauh dari pintu masuk.

"Duduk, Ta."

Ditha tersentak. Alan mengedikkan dagu ke arah sofa.

"Ah ... iya." Ditha lantas duduk sesuai perintah Alan.

"Cuma ada kopi kalengan. Suka gak?"

Ditha mengangguk. Alan duduk di sebelah gadis itu usai meletakkan sekaleng nescafe mocca di atas meja.

"Aku ke sini sebenarnya cuma mau tanya kenapa kamu gak sekolah berhari-hari," ujar Ditha ragu, menatap Alan yang justru menyandarkan punggung pada sofa, melepas lelah sambil meneguk kopi dan mengganti-ganti channel televisi.

Ditha mengamatinya dari samping. Sebenarnya apa yang Alan lakukan selama tidak bersekolah berhari-hari? Dilihat dari tampilannya, Alan tidak nampak seperti remaja yang bolos hanya untuk bermalas-malasan. Tidak juga terlihat sedang kesakitan.

"Emang ada apa di sekolah?" tanya Alan tanpa minat.

"Kok ada apa? Ya, 'kan harus sekolah biar gak ketinggalan pelajaran, Al."

Dan demi namanya yang terdengar begitu lembut tatkala dipanggil, Alan pun menoleh. Memandangi Ditha dengan sorot tak terbaca. Hingga senyum miringnya muncul menjawab kegugupan gadis itu. "Kenapa? Kangen gue?" 

Raut wajah Ditha menegang, sebelum akhirnya menunduk dan menggigit bibir.

Melihat itu, Alan terkekeh pelan. Gadis di sampingnya ini terlalu polos dan jujur hingga mudah sekali tegang tiap kali digoda. Untuk beberapa alasan, Rasanya menyenangkan juga. Alan lantas berdiri, mengambil sesuatu di atas kulkas. Dia sempatkan untuk menoleh sesaat ke belakang. "Gue mau bikin mie. Mau?"

Ditha menggeleng.

Alan melangkah enteng menuju pantri, menyalakan kompor, memasak air, lalu membuka bungkus mie beserta bumbunya.

Semua pergerakan Alan berada dalam pengamatan Ditha. "Kamu suka makan mie?" 

"Yap. Yakin gak mau?" Alan menoleh sekilas. “Mie buatan gue yaaa lumayanlah.” Lalu lanjut menuangkan bumbu ke dalam mangkuk.

Ditha menggigit bibir. Hanya ada dua alasan mengapa seseorang yang hidup seorang diri memakan makanan instan semacam mie. Pertama, karena memang suka. Kedua, karena tidak ada yang bisa dimakan. Dan bersamaan dengan sebersit empati yang gadis itu miliki, ada rasa kuat yang tiba-tiba menuntun dirinya agar melakukan sesuatu. "Mau nyoba makan yang lain gak?"

Alan menoleh dengan alis terangkat. "Apa?"

Ditha mengedikkan bahu. "Sukanya apa?"

Alan berpikir sejenak. "Gue inget dulu pernah makan masakan rumah. Khas sunda gitu. Ikan teri, sambel terasi, sayur asem."

Ditha manggut-manggut. Alan suka makanan sunda rupanya. Sama. "Ada bahannya?"

"Lo mau masaknya?"

"Kalo bahannya ada, mau."

Alan kontan tersenyum. "Bahan mah gampang ..." Dia matikan kompor, kemudian meraih jaket dan kunci motor. "Ayo."

Ditha mengerjap, beberapa detik kemudian beranjak saat mengerti maksud cowok itu.

•••

"Rawitnya juga deh, Bang, seperempat aja."

"Oke neng cantikk, siapp."

Alan hanya mengikuti Ditha sambil menenteng beberapa bahan yang sudah dibeli sebelumnya. Jika dipikir-pikir, mereka kini mirip sepasang suami istri yang tengah berbelanja kebutuhan dapur di pasar. Awalnya, Alan mengajak Ditha ke supermarket, namun cewek itu berdalih bahwa ada beberapa bahan yang hanya bisa di dapat di pasar tradisional. Ikan teri dan cabe rawit, misalnya. Karena itu, di sinilah kini mereka berada.

"Apalagi neng?"

"Udah itu aja."

Ditha pun menyerahkan dua lembar uang dari dompet Alan yang dia pegang. Sudah dikatakan bukan, bahwa mereka mirip sepasang suami istri? Bahkan dompet saja Alan serahkan pada gadis itu agar tidak repot meminta dulu ketika membayar. Sungguh pengertian sekali.

"Masih ada lagi?" tanya Alan dengan sorot enggan begitu mereka kembali berjalan.

Ditha tertawa pelan. Melihat Alan seperti ini adalah pemandangan langka. Belum lagi ekspresi tak tahan cowok itu yang ingin segera pulang. Ditha paham mengapa Alan bersikap demikian. Lihat saja! Beberapa wanita, baik dari seumuran maupun ibu-ibu yang berada di pasar, memusatkan atensinya pada Alan seorang. Salah sendiri mengapa cowok itu nampak begitu keren. Padahal hanya mengenakan kaus hitam yang dibalut jaket denim dan celana jeans abu robek di bagian lutut. Namun pesonanya bagai bulan yang dikelilingi bintang-bintang. Cahayanya paling besar dan megah sendiri. Jangan lupakan juga satu tindikan kecil di telinga yang membuatnya lebih nampak seperti badboy ala-ala. Secara keseluruhan Alan itu ... urakan dan berantakan. Namun dalam satu waktu justru nampak keren dan menggoda iman. Membuat para ibu-ibu, mulai dari pembeli maupun penjual cabe, mengerling jahil hingga bertingkah genit.

Alan geleng-geleng kepala. Sementara Ditha hanya tertawa.

"Tinggal beli kacang panjang. Di sana." Ditha menunjuk satu penjual. Alan patuh mengikuti.

Awalnya, Alan memang tidak tahan. Bukan tidak mau ke pasar. Hanya saja ... oh ayolah, seorang Alan yang terbiasa digoda oleh para gadis cantik nan seksi di klub maupun arena balap, kini justru sedang digoda habis-habisan oleh para ibu-ibu yang tengah menjajakkan jualannya di pasar? Sungguh pengalaman baru yang amat berharga! Antimainstream! Namun, ketika melihat tawa lepas Ditha yang menikmati gurauan mereka, Alan urung untuk mengumpat. Rasanya seperti menemukan oase di padang tandus. Tawa gadis itu memadamkan kobaran api sekaligus menyejukkan hatinya yang gersang. Bahkan sudut bibir Alan mencetak senyum tipis tanpa sadar.

"Udah semua?" tanya Alan begitu tiba di motor.

Ditha mengangguk puas, juga memandangi belanjaannya tak kalah puas. Alan tersenyum, lantas mengacak rambut gadis itu.

"Ayo pulang."

•••

"Alan! Bukan gitu motongnya!"

"Yang penting sama-sama dipotong, Ta. Lagian bakal ancur juga kalo dimakan."

"Tapi ini kepanjangan, Al ... ish kamu tuh!" Ingin rasanya Ditha menggeplak kepala Alan. Sayangnya dia tidak berani. Belum. Dia ambil alih kacang panjang yang Alan potong panjang-panjang. "Sepanjang ini gimana makannya coba?!" Ditha mengangkat satu kacang panjang yang sudah dipotong. Jika diperkirakan, ukurannya lebih panjang dari jari tengah. Kan susah!

Alan terkekeh melihat raut gemas Ditha. "Ya 'kan namanya kacang panjang, Ta. Identiknya ya sama yang panjang-panjang. Kalo pendek jadinya nanti kacang pendek."

Bibir Ditha mengerucut sebal. Alan masih terkekeh beberapa saat sebelum fokusnya beralih pada sesuatu yang jauh lebih menarik. Bibir ranum yang seharian ini banyak bicara dan tengah mengerucut sebal itu ... "Ck!"Decakan Alan pun lolos disertai gelengan kepala. 

Ditha menatapnya heran. "Kamu kenapa?"

"Gak papa, aku masak nasi aja ya? Belum, 'kan?"

Eh, aku?

Ditha terdiam sesaat sebelum mengangguk kaku. Alan tersenyum, mengacak rambut gadis itu, lagi, lantas bergegas menyambar beras dan mencucinya.

Sebelum dia hilang kendali.

Bisa kacau!

•••

"Alhamdulillah ... kenyang." Alan menghempaskan tubuh pada sofa. Rasanya sudah lama dia tidak makan senikmat ini. Terakhir ketika keluarganya masih menjadi keluarga bahagia. Senyum kecut Alan pun tercipta. Sudah berapa lama waktu berlalu?

"Al, kayaknya aku langsung pulang deh. Udah mau jam tujuh. Mama pasti nyari." Ditha keluar dari kamar mandi dan langsung menggamit tas selempangnya.

"Aku anterin." Alan bangkit, mengenakan jaket, kemudian mengambil kunci motor.

Kali ini Ditha tidak menolak.

Sepanjang jalan, Alan melirik Ditha diam-diam dari spion. Berhubung helm yang Alan miliki hanya satu, keduanya memutuskan untuk sama-sama tidak memakainya sama seperti saat ke pasar sore tadi. Beruntung, mereka keluar malam dan Pakpol pun sedang tidak berjaga. Alan sempat berpikir akan membeli helm untuk Ditha di perjalanan pulang. Namun di luar perkiraan, Ditha justru menolak.

"Aku itu suka hembusan angin tiap kali naik motor. Apalagi kalo malem ... sejuk dingin gimanaaaa gitu."

Itulah kalimat yang Ditha lontarkan kala dirinya ditawari membeli helm, tak lupa diakhiri dengan senyum manis. Benar-benar manis dan berhasil membuat Alan terpaku beberapa detik.

"Yaudah, untuk kali ini aja aku turutin. Besok-besok pake ya? Safety ..."

Ditha mengangguk. Alan tersenyum. Dan senyum itu pun menular hingga kini dirinya sedang berboncengan dengan kecepatan di bawah 40 km/jam. Sengaja, demi sang gadis yang katanya sangat menyukai angin malam, yang kini sangat menikmati semilir angin itu menerpa wajah. Gadis itu bahkan tersenyum. Sesekali helaian rambutnya menghalangi penglihatan.

Alan baru tahu bahwa kebahagiaan Ditha bisa di dapat dengan cara sederhana. Tidak sepertinya yang bahkan ketika dianugerahi napas pun, justru kerap menantang maut dengan trek-trekan. Namun kembali lagi, hidup itu pilihan, kan? Sensasi kala adu cepat di atas lintasan adalah sesuatu yang amat Alan sukai. Rasanya seperti terbebas dari belenggu dan tuntutan hidup, juga rasa sakit yang mencekik hingga membuat sesak.

Alan melepas satu tangan dari handle, kemudian menegapkan tubuh. "Suka banget naik motor sambil nikmatin udara kayak gini?" 

Ditha mendekat ke sisi wajah Alan agar suaranya terdengar. "Iya, suka. Apalagi kalo malem kayak sekarang. Rasanya kayak bebas aja."

Tanpa Ditha tahu, Alan tersenyum. Cowok itu kemudian melirik ke belakang. "Mau nyobain cara yang lebih ekstrim gak?"

"Lebih ekstrim?"

Alan mengangguk. Dia pun meraih tangan Ditha yang semula hanya memegang ujung jaketnya, menjadi melingkar di perut. "Pegangan yang kenceng."

"Ha?"

Belum sempat Ditha bertanya lagi, Alan langsung menarik gas dengan kecepatan penuh. Ditha sontak mengeratkan pelukan. 

"Alan!!" 

Motor melesat cepat melewati para pengendara lain. Yang diteriaki hanya tertawa renyah sebagai respon. Hitungan detik yang harusnya membuat jarak terasa jauh justru telah memangkas perjalanan mereka lebih cepat berkali lipat, tiba ke tujuan. 

Alan memelankan laju motor beberapa saat, melirik ke belakang. "Seru 'ka-Aw! Sakit, Ta!” Perutnya tercubit. Lumayan bikin nyut-nyutan. Kendati demikian, Alan justru terkekeh.

"Kamu tuh! Kalo ada polisi gimana?! Ada banyak kendaraan juga yang lewat!"

Sebelah alis Alan terangkat. "Berarti kalo gak ada polisi sama gak ada kendaraan boleh?"

Ditha mengatupkan bibir. Menyembunyikan wajah di bahu Alan. "Itu 'kan kebiasaan kamu, suka balapan. Ya 'kan?"

Alan manggut-manggut sambil tersenyum. "Mau liat aku balapan sekali-kali?"

Ditha sontak mengangkat wajah dengan binar tertarik. "Boleh?"

Alan kembali tersenyum. Ada satu hal yang baru cowok itu ketahui dan beruntungnya, membuat dia senang setengah mati.

Ditha tidak takut dibawa ngebut.

Alan kemudian mengulurkan tangannya ke belakang, tepat ke puncak kepala gadis itu, lantas mengacaknya pelan. "Boleh kok."

•••

"Makasih untuk hari ini." Alan mengusap perutnya. "Aku bisa makan enak dan kenyang." Kemudian tersenyum.

Ditha balas tersenyum dan mengangguk.

Alan pun melihat ke arah pintu rumah. "Masuk gih. Mama kamu nyariin nanti."

Ditha bergeming. Tanpa Alan tahu, gadis itu memutar otak sejak tadi. Mencari kata yang pas untuk mengutarakan isi hati yang memang sudah dia niatkan sejak lama. Ditha pun akhirnya memberanikan diri menatap Alan lurus-lurus. "Maaf ..." Alan mengernyit. "Sebenernya aku udah mau bilang ini dari lama." Ditha menunduk lagi, tidak kuat berlama-lama menatap berani seperti itu.  "Maaf kalau selama ini aku udah repotin kamu, Al. Kadang aku malu sama diriku sendiri. Segitu lemahnya aku sampe saat diganggu orang aja kamu kadang harus turun tangan buat nolong." Jari jemarinya memilin tali tas. "Jujur, semenjak kenal kamu, aku makin malu dan ngerasa gak pantes. Kamu selalu menemukan aku di saat keadaanku sangat menyedihkan. Entah hal menyedihkan apalagi yang akan kamu temui dalam diri aku nanti. Aku bahkan sempat berpikir mungkin lama-lama kamu akan muak dan menganggap aku ini sangat merepotkan." Ditha menarik napas panjang. "Aku udah belajar untuk membuka diri. Tapi tetep aja, aku masih kesulitan melawan orang-orang yang usil dan suka menganggu. Aku berusaha untuk gak bergantung ke siapa pun, tapi ujungnya sama aja. Kamu tetap turun tangan untuk nolong. Kamu-"

Ditha terus bicara tanpa menyadari bahwa Alan merangsek maju hingga ujung sepatu mereka bersentuhan. Sepersekian detik selanjutnya, tengkuk Ditha ditarik. Alan menciumnya. Tepat di bibir.

Hening menyelimuti.

Ditha mengerjap. Otaknya buntu seketika. Kesadarannya kembali saat Alan melepaskan diri beberapa detik kemudian, lantas menatapnya lekat-lekat.

"Kamu lebih berharga dari yang kamu tahu. Jadi berhenti berpikir kayak tadi," bisik Alan.

Ditha mengigit bibir bawah, lantas menunduk. Basah yang berasal dari bibir Alan mengaburkan fokusnya sejenak. Kendati demikian, tidak menyurutkan pikiran peliknya akan sebuah rasa percaya. Sulit bagi Ditha untuk percaya bahwa seorang laki-laki nyaris sempurna macam Alan mau dekat-dekat dengan gadis tanpa sesuatu yang membanggakan macam dirinya, terlebih julukan aneh telah lebih dulu tersemat untuknya.

Satu tangan Alan yang masih berada di tengkuk Ditha lantas mendongakkan wajah gadis itu sekali lagi, mempertemukan mata mereka. "Boleh aku minta sesuatu?"

Ditha mengerjap.

Jemari Alan menyentuh helaian rambutnya. "Jangan gerai rambut ini kalo aku gak ada."

"Kenapa?"

Alan hanya tersenyum, lantas mengelus pipi gadis itu. "Setengah tujuh. Besok siap-siap aku jemput."

Bab 12

SMA Liner, khususnya kelas 12, heboh pagi ini lantaran Alan yang sempat absen selama beberapa hari kembali masuk sekolah. Namun, bukan itu poin pentingnya. Melainkan sosok yang duduk di belakang motornya.

"Gila! Itu si Ditha bukan sih?"

"Iya anjirrr!! Boncengan itu??"

"Wahhh berita heboh nih!"

"Sebaaarrrrr!!"

Dan selentingan buruk pun menyebar cepat. Tak kalah cepat dari jaringan internet sialan yang akhir-akhir ini 'lemot' tak terkira.

"Tuh cewek udah ngasih apa aja sampe bisa boncengan sama Alan?"

"Palingan akting jadi cewek lemah minta dikasihani kayak biasa."

"Cih! Berani banget dia! Udah diapa-apain pasti si Alan."

"Eh tapi-tapi, ada yang nyadar gak sih penampilan Ditha hari ini beda? Biasanya itu rambut dikepang mulu, sekarang diiket. Seragamnya juga gak kebesaran lagi."

"Iya juga sih. Cantik kalo kata gue. Panteslah ya kalo bersanding sama Alan ..."

"Apa mungkin karena itu Alan sekarang jadi mau? Dia baru nyadar kalo Ditha tuh sebenarnya cantik?"

"Alah! Cantik dari mana?! Cantikan juga gue ke mana-mana kali!"

Bisik-bisik yang sudah tidak layak disebut bisik-bisik lagi itu pun terus berlanjut hingga membuat kuping Ditha pengang dan panas. Untung saja, pengendalian dirinya kuat.

"Tutup telinga aja. Kalo ada yang kelewatan baru kasih tau." Begitulah ucapan Alan sebelum pamit menuju kelasnya sendiri – yang sebenarnya bersebelahan dengan kelas Ditha.

"Lo pacaran sama Alan?" tanya Nina, teman sebangku Ditha – yang biasanya terlihat risih jika berdekatan – memasang wajah seolah mengatakan, bilang kalo lo gak pacaran sama Alan! Please!!

Ditha hanya tersenyum. Enggan untuk menjawab. Lantaran bingung juga sebenarnya. Alan tidak mengajak pacaran, tapi menciumnya penuh perasaan. Mana perlakuannya manis banget lagi! Hubungan macam itu pantasnya disebut apa ya?

Beberapa jam kemudian, di kantin, Alan cs sedang menikmati jajanan seperti biasa. Ditha menghentikan langkah tepat sebelum pintu masuk. Berdiri bimbang antara lanjut berjalan atau berbalik. Masalahnya, bertemu Alan di saat mereka sedang ramai-ramainya dibicarakan bukanlah ide bagus. Ditha tidak suka menjadi pusat perhatian. Oleh sebab itu, Ditha memilih kembali. Namun, belum sempat gadis itu berbalik, sebuah lengan melingkari bahunya.

"Gak baik batalin makan." Paula tersenyum. Kali ini sarat keramahan dan ketulusan. Lantas membawa Ditha memasuki kantin tanpa meminta persetujuan lebih dulu.

"Pau, kayaknya aku-"

"Gue."

Ditha menoleh.

"Biasain ngomong gue elo mulai sekarang." Paula mengedikkan bahu. "Ke Alan mungkin pengecualian, tapi ke gue dan yang lain biasain ngomong gue elo."

"A-"

"Sumpah ya, Ta, bahasa lo itu terlalu baku buat gue."

Ditha mengatupkan bibir. Ya gimana? Ditha sudah terbiasa beraku-kamu dengan siapa pun. Paula melirik Alan, Bagas, dan Eshal yang sedang bercengkrama di meja ujung kantin, lantas mengangkat tangan. "Woy!" Paula pun menarik Ditha menuju ke meja mereka.

"Anjirr itu cewek! Manisnya depan do'i doang, giliran sama kita aja kayak preman perempatan," sungut Eshal. Bagas tertawa dan Alan geleng kepala.

Paula duduk di sebelah Bagas, diikuti Ditha yang duduk di sebelah Paula, berhadapan dengan Alan. Senyum manis langsung tersungging di bibir Alan tatkala netra mereka bertemu.

"Aiiiihhh gue merinding liat do'i pacaran!" Eshal yang duduk di sebelah Alan berlagak geli, menyeringai.

Tawa Bagas mengudara. "Lebay lo!"

"Tau nih!" Paula kemudian memesan makanan pada bang Juki – tukang mie ayam.

Alan geleng-geleng kepala. Lantas kembali memusatkan fokusnya pada Ditha. "Gak pesen makanan?"

"Mau mie ayam juga, gak?" tawar Paula.

Ditha mengangguk. "Samain aja."

"Oke."

"Ekhm ... gue mau mengklarifikasi nih, Kutu." Eshal menggosok-gosokkan dua tangan.

Alan, Bagas, dan Paula mengernyit bersamaan. Sedangkan Ditha menunggu kalimat selanjutnya dengan tenang.

"Kalian udah itu, 'kan?" Dua alis Eshal naik-turun dengan seringai menyebalkan.

Bagas dan Paula turut melirik Alan. Sementara yang dilirik malah menatap intens Ditha yang kini menunduk. Gadis itu tentu paham maksud pertanyaan Eshal. Alan apalagi. Namun, alih-alih langsung menjawab, Alan hanya menyunggingkan senyum miring dengan netra tetap fokus pada gadis itu. "Kepo." Hanya itu.

Namun, Eshal mengartikannya berbeda. Diliriknya Bagas dan Paula, kemudian kembali berdeham. "Ta, gue kasih tau nih ya. Sebelum lo nanti-nanti kaget. Alan itu beringas sama cewek. Lo kudu kuat ngadepinnya. Apalagi kalo lagi on, beuuuhh kuat-kuat dah lo! Gu-"

Pletak!

"Argh! Sakit, Kutu!"

"Ngomong lagi, gue pastiin ini sambel yang bakal masuk tuh mulut!"

"Selow elah!!! Takut banget ketauan busuknya!" Dua alis Eshal pun kembali naik turun dengan seringaian yang lebih menyebalkan. "Takut ditinggalin ya?"

"Gas, pegangin!" Alan beranjak.

"Oke!" Bagas turut serta.

"Wohh wohhh wohh apa-apaan ini, jangan keroyokan oy!"

Dan Eshal pun menjadi bulan-bulanan mereka.

Ditha tertawa.

"Buka! Buka!"

"Keluarin!"

"Heh, Kutu, jangan ini oyyy!!"

"Pada sinting emang," celetuk Paula melihat kegilaan mereka, lantas menoleh pada Ditha. Sorotnya berubah sendu. "Ta?"

"Ya?" Diam sejenak. Ditha menunggu Paula dengan netra yang sesekali melirik nasib Eshal yang celananya entah sedang diapakan.

"Gue minta maaf."

Ditha kontan menoleh. Menatap Paula yang kemudian tersenyum tulus. "Gue minta maaf untuk perlakuan gue beberapa waktu lalu."

Tidak butuh waktu lama bagi Ditha untuk berpikir. Gadis itu seketika tersenyum, tak kalah tulus. "Aku udah maafin kamu kok."

"Semudah itu?" Paula masih tidak percaya. Lebih tepatnya heran. Mengingat yang dilakukannya pada Ditha sudah pada level keterlaluan.

Ditha kembali tersenyum, lantas mengangguk. "Gak ada yang lebih melegakan selain berani minta maaf atas kesalahan yang pernah kita perbuat dan memaafkan siapa pun yang telah menyakiti kita."

Paula takjub. Seketika dia merasa bersyukur atas keputusan yang diambilnya. Yakni berdamai dengan diri sendiri. Rasa lega pun memenuhi benaknya. Mungkinkah ini kelegaan yang baru saja Ditha maksud?

"Wahh wahh ada yang insaf nih kayaknya." Sindiran tersebut datang dari Nesya yang kebetulan duduk di meja belakang mereka.

Paula melirik malas. Sedangkan Ditha tidak terlalu peduli. Dia sudah kebal dengan perlakuan buruk sekitar.

"Gue jadi penasaran, apa yang membuat seorang Paula mau berteman sama cewek cupu kayak lo, dan apa yang membuat Alan mau deket-deket cewek aneh kayak lo. Ck, kalo dipikir-pikir, bagusnya lo apa sih? Hm ..." Nesya memutar mata ke atas seolah berpikir. "Ahha!" Lantas menjentikkan jari, menatap Ditha dengan pandangan merendahkan. "Setau gue, cewek yang keliatan polos itu biasanya jauh dari kata polos. Apa yang lo udah kasih ke Alan? Bibir? Atau ..." Nesya menutup mulut seolah terkejut. "Jangan-jangan ... tubuh … lo?"

Paula memicing kesal. Dia hendak mendamprat Nesya, namun terhenti kala lengan Ditha menahan geraknya.

Nesya pun melanjutkan ocehannya. "Tapi yah-" Dia mengedikkan bahu, "Bisa dimengerti sih. Gue denger lo dari keluarga kurang mampu, ya? Nyokap lo seorang janda dan hanya seorang penjahit rumahan. Tentu sebagai anak lo harus bantu keuanganlah ya ... Jual tubuh akhir-akhir ini emang lagi marak. Gue yakin Alan cowok ke sekian. Makanya lo gak akan merasa rugi meskipun ngasih tubuh lo ke dia. Cowok dikasih ikan mana nolak. Ya gak sih? Dan biasanya, kelakuan kayak gitu menurun dari orang tua, dalam hal ini nyok-"

Plak!

"Lo-"

Plak!

Kantin lengang. 

Ditha, berdiri menghadap Nesya, dengan sorot tenang. Namun tajam penuh amarah. Perhatian seluruh murid tertuju pada drama yang baru saja terjadi. Yang mana sangat amat mengejutkan. Alih-alih Paula yang Nesya prediksikan akan bereaksi melindungi Ditha. Justru Ditha sendirilah yang maju dan menamparnya. Dua sekaligus. Di pipi kanan dan kiri.

"Udah berani lo sama gue! Mentang-mentang banyak yang belain sekarang?! HAH?!!!"

Ditha tetap berdiri teguh. Berbeda dengan sosoknya yang selama ini menunduk. Dia tatap tajam Nesya yang turut berdiri menghunuskan tatap penuh benci padanya.

"Jaga mulut kamu. Orang tua bukan lelucon."

Tawa remeh Nesya berderai. "Lo mau ngancem gue?? Yakin?? Emang lo bisa apa???"

“…”

"See? LO GAK BISA NGAPA-NGAPAIN!! LO CUMA CEWEK CUPU SOK KECAKEPAN!!" 

Selanjutnya, tangan Nesya terangkat siap melayangkan tamparan. Namun yang terdengar kemudian adalah rintih kesakitan gadis itu. Ditha menangkap tangan Nesya sebelum mendarat di wajahnya, lantas mencengkeram kuat-kuat pergelangan tangannya hingga gadis itu mengerang.

"Lo saiko apa argh! Lepas gak!?”

Paula menyeringai. Ini di luar dugaan. Tidak disangkanya Ditha akan bereaksi demikian. Yah, bisa dimengerti. Anak mana yang akan terima ketika orang tuanya direndahkan? Terlebih jika itu hanya fitnah tak berdasar. Niatnya, Paula akan menikmati drama ini. Dia akan mendukung Ditha sepenuhnya, bahkan siap membantu jika sahabat barunya itu butuh bantuan. Namun, semua buyar saat Alan mendekat dan menghentikan aksi gadis itu.

"Udah, dia kesakitan," ucap Alan begitu lembut. Orang-orang di sana bahkan terperangah. Intonasi Alan terlalu lembut untuk didengar. Itu pertama kalinya.

Masih dengan emosi menggunung, Ditha menatap Alan penuh tanya. Alan mengelus pelan sisi wajahnya. "Aku tahu kamu marah. Tapi kamu bukan orang jahat yang akan nyakitin orang lain, 'kan? Kamu bukan dia." Kepala Alan mengedik sekejap pada Nesya yang mulai berhenti mengerang. Cengkraman Ditha mulai mengendur.

Dan sungguh, pengaruh seorang Alan memang telah sedemikian besarnya untuk Ditha. Kehadirannya, bahkan suaranya, berhasil meredam amarah yang sedang tersulut. Ditha menghela napas. Melepaskan cengkramannya pada tangan Nesya.

Dan ketika Nesya menatap Ditha penuh permusuhan, Alan menatapnya dingin dan tajam, membuatnya seketika menunduk. "Ditha udah ngasih peringatan. Dan gue akan tambahin satu lagi." Satu lengannya tenggelam dalam saku, sedangkan satu lagi merangkul bahu Ditha. "Jangan pernah sentuh Pramuditha, atau pun orang-orang terdekat gue lagi. Atau lo, akan berhadapan sama gue." Senyum sinis Alan tersungging. "Perlu lo ketahui Nesya, untuk beberapa alasan, gue juga bisa ‘ngehajar’ cewek." Selepas mengatakan itu, Alan menggiring Ditha meninggalkan kantin. Diikuti Paula, Bagas, dan Eshal.

Sebelum benar-benar pergi, Paula sempatkan untuk menyunggingkan senyum sinis pada Nesya yang bergeming di tempat. Amarahnya membara, tapi tidak mampu berkata-kata. Disusul Eshal yang kemudian menggeleng miris. "Nes ... Nes ... padahal gue sempet suka sama lo. Tapi setelah denger ocehan lo barusan, gue cancel deh sukanya. Jijik." Setelah itu Eshal melenggang santai, berada di barisan paling akhir yang berjalan di belakang Alan.

•••

"Udah lebih tenang sekarang?" Alan menyerahkan sebotol air dingin pada Ditha. Mereka duduk di bangku taman belakang sekolah. Menghadap pohon mahoni.

"Aku gak suka orang lain nyinggung soal mamaku." Itu kalimat pertama Ditha setelah terdiam nyaris sepuluh menit. “Mama bukan orang kayak gitu.”

"Aku tau. Semua orang juga akan bereaksi sama kalau orang tua mereka dihina." Alan mengusap puncak kepala Ditha. "Jangan dipikirin lagi."

Ditha memaksakan diri untuk tersenyum. Benar. Tidak ada satu manusia pun yang akan terima dan baik-baik saja jika orang tua mereka dihina.  Sayangnya, untuk beberapa orang, sosok ibu seakan menjadi hal remeh yang bahkan tidak perlu untuk dimaknai. Menyedihkan.

Detik demi detik berlalu. Semilir angin berembus pelan, menjatuhkan beberapa helai daun dari pohon rimbun di hadapan mereka.

"Pulang sekolah mau jalan?"

"Hm?"

Dua sudut bibir Alan melengkung tipis. "Pulang nanti aku samperin ke kelas." Lantas beranjak. Sebelum benar-benar berlalu, Alan sempatkan untuk menyentuh puncak kepala Ditha. "Gak usah khawatirin perlakuan murid lain. Kamu gadisku sekarang. Dan aku pastikan gak akan ada yang berani ngusik kamu lagi." 

Ditha mengerjap. Alan tersenyum, lantas melangkah pergi, menyisakan tanya di hati gadis itu.

Tadi itu ... pernyataan cinta?

Bab 13

Motor berhenti tepat di depan sebuah rumah minimalis, di pinggirnya terdapat bengkel kecil dengan fasilitas lengkap. Rumah Rinto.

"Tumben agak malam," sapa Keana, istri Rinto. Dia beralih pada Ditha yang berdiri di sisi Alan. 

Dehaman Alan terdengar sebelum mengenalkan Ditha pada Keana, yang seketika menunjukkan seringai menggoda. 

"Ke, ini Ditha. Dan Ta, ini Keana, istri bang Rinto. Saran aku, jangan terlalu deket kalo gak mau ketularan gila."

"Aku?" Keana tersenyum jahil alih-alih menanggapi ucapan Alan. Sejak kapan bocah berandal itu bicara begitu manis? Keana pun mengulurkan tangan pada Ditha, tersenyum ramah. "Panggil aja ‘Ke’. Dia bikin ulah mulu ya di sekolah?" Kepalanya merujuk pada Alan. Sedangkan yang dibicarakan malah kabur dan menghampiri beberapa mekanik yang sedang membongkar mesin.

Ditha terkekeh pelan. "Dia emang agak beda."

"Oh, udah dateng." Rinto muncul dari pintu. Mendapati Ditha, menoleh pada sang istri.

"Pacar," ujar Keana, sedikit berbisik. Rinto agak terkejut. Alan tidak pernah membawa perempuan ke tempatnya. Namun keterkejutan tersebut tidak berlangsung lama. Bahasan motor dan balapan jauh lebih menarik. Rinto dan Alan duduk di salah satu kursi dekat bengkel, sedangkan Keana mengajak Ditha ke dalam. Mengobrol sekaligus meracik beberapa minuman dan camilan.

"Udah lama kenal Alan?" tanya Kea seraya memasukkan beberapa es batu pada gelas.

"Belum lama banget, Kak." Pandangan Ditha menyapu sekitar. Rumah Keana delapan puluh persen berdinding kaca. Membuat suasana nampak lebih hidup dan luas dengan rumput dan beberapa tanaman menggantung di teras. Bengkel bahkan terlihat jelas dari sini. "Rumah Kak Ke nyaman ya ..."

Keana menoleh, tertawa renyah. "Kami emang gak suka kerumitan, Ta. Simpel. Dinding transparan emang ide kami pas awal nentuin bangun rumah. Dan jadilah kayak gini." Keana letakkan minuman dan camilan di atas meja. "Gue penasaran gimana cara lo naklukin Alan."

"Eh?"

Tawa Keana lagi-lagi berderai. "Alan itu gak ke kontrol. Yah, gue gak tau sih gimana dia di sekolah. Tapi selama kenal dia, yang gue tahu Alan itu gak tersentuh. Duh gimana ya jelasinnya? Sulit tunduk aja gitu, apalagi sama cewek." Keana mengedikkan bahu. "Yang ada ceweknya yang nurut sama dia. Bucin. Kadang pada rela ngelakuin apa aja. Ceweknya juga ganti-ganti mulu setau gue, tapi gak ada satu pun yang pernah diajak ke mari. Eh gue ralat deh. Jangankan diajak kemari, diajak naik motornya aja haram kayaknya." Wanita berlesung pipit itu tertawa lagi. "Nah ... yang jadi pertanyaan gue, gimana cara lo bikin tuh berandal luluh. Gue mencium bau perbucinan ini!"

Ditha tertawa. Keana orang yang asik. "Gak ngerti juga, Kak. Terjadi gitu aja. Tapi Alan emang banyak nolong aku sih. Dari sana aku kenal dia."

Keana manggut manggut. Jika diperhatikan, Ditha adalah tipe gadis feminin lemah lembut. Sedikit pemalu. Tapi sepertinya tidak manja? "Lo tau apa yang paling penting yang harus kita miliki sebagai pasangan cowok yang suka motor?"

Ditha terdiam. Tidak pernah berpikir sampai ke sana.

Keana tersenyum. Paham ketidakpahaman Ditha. "Buat suami gue dan pacar lo, motor adalah segalanya. Mereka gak akan bisa ngerasain bener-bener bebas kalo belum nyium aroma lintasan. Buat mereka, adu kecepatan adalah bahan bakar untuk mengisi energi dan semangat hidup. Dan sebagai pasangan, kita harus memahami." Keana menatap sendu. "Tapi kadang mereka lupa, kalo kita juga punya kekhawatiran. Gimana kalo mereka kecelakaan saat balapan? Itulah ketakutan yang paling menghantui gue selama ini.

"Dulu, sebelum Rinto mutusin pensiun, perasaan gue campur aduk tiap kali nontonin dia balapan. Tapi dari semua kekhawatiran, harapan agar dia selamat sampe garis finish adalah yang paling kuat. Gak peduli dia naik podium atau nggak, buat gue, dia akan selalu jadi pemenang. Dia selamat. Itu yang terpenting.

"Dan gue yakin, itu juga yang akan lo rasain."

Keana dan Ditha beralih pada Rinto dan Alan yang tengah mengobrol seru di luar sana. "Alan lagi berjuang buat tembus ARRC. Gue yakin sih, dia bakal berhasil. Kemampuan Alan gak main-main. Dan saat itu terjadi-" Keana kembali menatap Ditha. Sedangkan gadis itu masih fokus pada Alan. "Lo harus siapin mental. Untuk dukung Alan, untuk kendaliin rasa khawatir, dan untuk tetap dukung dia dalam keadaan apapun."

Sekian detik, Ditha termenung. Dia tidak pernah berpikir sejauh itu. Namun ucapan Keana seolah menyadarkannya. Keana benar. Dia harus menyiapkan diri.

•••

"Biarkan saja."

Tutt. Telpon diputus.

Kenzie pandangi selembar foto di tangannya. Nampak dua remaja SMA berboncengan keluar dari parkiran sekolah. Delapan puluh dua menit sudah, dia larut mengamati gadis itu. Gadis yang duduk di jok belakang motor sang adik. Segala macam tanya, juga rasa, berkecamuk dalam benaknya. Menuntunnya pada sebuah kesimpulan, yang kemudian memancing seringai liciknya muncul ke permukaan.

"Gak aku sangka dunia kita begitu sempit, Aurum ..."

Bab 14

Selesai.

Ini benar-benar selesai.

Sepasang kaki berlari menyusuri lorong rumah sakit. Tidak Alan hiraukan Ditha yang terus memanggil seraya mengejar. Pikirannya kini hanya tertuju pada satu nama.

Mama.

Mama Widya. 

Detak jantung Alan berpacu cepat, kian cepat, seiring makin dekatnya jarak antara mereka.

Tepat di dalam ruangan serba putih yang Widya tinggali selama ini, tempat di mana wanita yang kerap melamun dan berdiam diri tersebut memandang kosong ke luar jendela, sosok itu, sosok yang diam-diam ingin sekali Alan peluk itu, telah terbaring kaku.

Alan melangkah ragu. Napasnya menderu. Dengan sorot nanar, dia teliti wajah sang mama. Hatinya mencelos seketika. Mata wanita yang telah melahirkannya tersebut terpejam. Senyum tipis terukir pada dua sudut bibirnya. Seakan maut adalah sesuatu yang amat ditunggu-tunggu.

Untuk beberapa alasan, kematian kadang jauh lebih membebaskan.

Bebas untuk Widya, sebab penderitaannya berakhir.

Namun duka untuk Alan, yang bahkan memeluknya saja tidak mampu.

Ditha tiba tak lama kemudian. Langkahnya otomatis terhenti di ambang pintu kala mendapati Alan berdiri tak berdaya. 

"Mamamu meninggal dengan tenang tanpa gejala apapun." Dr. Arif mengembuskan napas berat. "Ini memang waktu untuk mamamu, Alan. Ikhlaskan."

Tidak dihiraukan. Tidak ada suara yang mampu Alan cerna saat ini. Dengan tangan bergetar, dia julurkan jemarinya menyentuh wajah pucat Widya.

Alan menyungging pahit. Kulit mamanya dingin.

"Kamu harus tumbuh jadi pria yang kuat, Al. Karena kamu yang akan lindungi Mama nanti. Ya Sayang?"

Itu adalah kalimat terakhir yang Alan ingat, sebelum hari-hari penuh bisu memenjarakan sang mama. Terlampau lama. Alan bahkan nyaris lupa bagaimana suara Mama saat itu. Inikah hidup yang sering dikatakan indah oleh orang-orang? Alan tersenyum miris, namun tidak menangis.

Bahkan ketika berdiri di pemakaman pun, tidak ada air mata. Cowok yang kini mengenakan setelan hitam itu hanya menunduk, memandangi pusara mama dengan hati kosong. 

Tidak ada karib kerabat yang datang. Widya sebatang kara. Pemakaman hanya dihadiri Alan, Ditha, Dr. Arif, dan beberapa perawat yang senantiasa mengurus Widya selama ini. Bagas dan Eshal, bahkan Paula, tidak turut hadir lantaran tidak seorang pun dari mereka tahu bahwa Alan masih memiliki ibu. Hidup cowok itu terlalu misterius bahkan untuk ukuran teman-teman terdekat.

Dr. Arif dan para perawat pamit satu persatu. Menyisakan Ditha yang masih setia berdiri di belakang Alan, memandangi punggung cowok itu.

Tiga puluh menit, Ditha biarkan suasana hening. Larut dalam bisu.  Untuk ukuran seorang manusia yang memiliki batas, ada saat di mana segalanya butuh pelampiasan. Sayangnya, Alan bahkan tidak tahu bagaimana cara menunjukkan emosinya. Ditha mendekat. Kendati penuh keraguan lantaran belum pernah melakukannya, gadis itu memantapkan hati untuk memeluk Alan dari samping. Diusapnya lembut tangan Alan guna mengalirkan setiap dukungan untuk cowok itu.

Alan tidak bereaksi. Hingga di detik ke sekian, dia merangkul Ditha, lantas mengecup kepala gadis itu. Lama, bibirnya bertahan di sana. Hingga sebulir cairan bening menetes, membasahi rambut gadis itu.

•••

"Harus makan. Pokoknya harus makan. Mau aku masakin yang waktu itu?" Ditha terus mengoceh seraya berjalan beriringan meninggalkan pemakaman. Alan hanya tersenyum dan menimpali sesekali. Tak lupa, bahu Ditha pun dia rangkul sambil sesekali kepalanya dia usap lembut.

"Yang lain? Apa misalnya?"

"Hm ..." Ditha berpikir.

Diam-diam, Alan bersyukur, sebab kehadiran Ditha menetralkan kesemrawutan emosinya. Andai ... gadis ini tidak ada, Alan tidak yakin apakah masih berpijak di bumi atau tidak. Mungkin ... dia akan nekat menyusul mamanya. Dan saat keduanya larut dalam obrolan manis penuh ke-uwu-an di mana si nerd kini berubah menjadi gadis cerewet yang membahas segala hal di hadapan sang kekasih – yang hanya tersenyum seraya menatap mesra sesekali – sosok jangkung nan tampan berjaket hitam tengah bersandar di sisi mobil, di sebelah motor Alan yang terparkir.

Langkah Alan terhenti, diikuti Ditha kemudian.

"Sepertinya gue telat."

Rahang Alan mengeras. Raut wajahnya berubah dingin dan tidak bersahabat.

Kenzie, mengamati perubahan emosi tersebut. Pria yang tiga tahun lebih tua di atas Alan itu menyeringai kecil, lantas beralih pada gadis yang telah berdiri kaku di samping Alan. Wajah gadis itu bahkan pucat pasi. 

Seringai Kenzie muncul. Reaksi Ditha tepat seperti dugaan. Kenzie nikmati momen keterkejutan gadis itu. Tetaplah berpijak di bumi, Aurum. Kita bahkan belum saling melepas rindu. Bersamaan dengan seringai mengerikannya, kembali dia pusatkan atensi pada Alan. "Beliau berhalangan datang. Gue dikirim untuk kasih ucapan belasungkawa." Kenzie mengangkat bahu enteng. "Padahal kerjaannya cuma kongkow dan main golf bareng temen-temennya. Tapi mungkin itu masuk daftar kesibukan. Ah-" Kenzie menyeringai lagi, menangkap emosi membara pada sorot mata adiknya. "Mungkin juga, karena golf lebih penting daripada mendatangi tempat suram macam ini."

Sekian detik, tidak ada tanggapan.

Semilir angin sore menerpa wajah mereka. Detik kemudian, Alan menyunggingkan senyum sinis. "Bagus lo datang. Beritahu bokap lo, nyokap gue udah tenang di sana. Gak ada lagi yang bisa dia jadikan alasan untuk ngatur hidup gue. Jadi jangan ikut campur lagi." Alan menggamit tangan Ditha untuk menaiki motor. Harusnya, mereka pergi dari hadapan Kenzie. Namun, yang terjadi di luar kendali. Ditha membeku di tempat. kepalanya menunduk. Matanya menatap ke bawah. Jemari yang Alan genggam pun gemetar dan dingin. "Ta?"

Tidak digubris. Alan menunduk demi mendapati raut tegang Ditha. Dia angkat dagu gadis itu. Dua cairan bening menggenang di pelupuk matanya. "Kenapa? Sakit?"

Genggaman Ditha pada jemari Alan mengerat. Alan mulai dilanda khawatir. "Hey?"

Selagi Alan mencari tahu kondisi sang kekasih, Kenzie menyaksikan segalanya dalam diam. Pria itu bahkan menenggelamkan dua lengannya dalam saku, menikmati setiap ketakutan yang mulai menyerang gadis di hadapannya. Ah ... Kenzie hampir lupa. Ditha akan tenang jika dipeluk dan diusap punggungnya kala ketakutan. Ingin sekali rasanya dia melakukan itu. Namun kehadiran Alan benar-benar menganggu.

Sabar Ken, sabar.

Semua butuh waktu.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Alan
Selanjutnya Alan Part 15, 16, 17
11
0
Part 1 sampai 14, bisa kamu baca gratis di Karyakarsa maupun Wattpad.Untuk Full chapter, bisa kamu akses dalam dua pilihan :Beli Alan Versi LengkapBeli secara PartialYang mana, keduanya memiliki harga yang sama. Jadi ya intinya mah sama aja, Gaes. Mau beli per-chapter atau versi lengkapnya, harganya segitu. Tapi saran saya, kalau kamu ingin memiliki naskah utuhnya (Ini include semua, termasuk yang digratiskan), maka beli saja versi lengkapnya. Warning !Mature content (Bukan lagi fiksi remaja, tetapi new adult)Semua tindakan tidak terpuji yang tertulis dalam cerita ini hanya untuk kebutuhan alur dan tidak untuk ditiru. Bijak dalam membaca. Serap positifnya. Buang negatifnya. Ambil pelajarannya. Welcome 💕
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan