BAB 9 Bukan Ayah Saya

0
0
Terkunci
Deskripsi

Zhia tidak menduga akan bertemu dengan salah satu keluarga ayahnya. Mau tidak mau, Zhia pun menyapa adik kandung ayahnya itu. “Eh, Tante Tika. Apa kabar?”


 

“Baik, kamu kok gak bilang kalau ada di Surabaya. Nginep dimana? Suami kamu gak ikut?” Rentetan pertanyaan Tika kepada Zhia membuat Zhia bersedih. Ia melupakan kenyataan bahwa sang ayah memiliki adik kandung yang tinggal di kota pahlawan ini.


 

“Zhia sendiri, Tante. Eh, Zhia duluan yah. Udah ditunggu mau balik,” pamit Zhia itu buru-buru...

Post ini tidak mengandung file untuk diunggah/baca ataupun tulisan panjang.

Dukung suporter dengan membuka akses karya

Pilih Tipe Dukunganmu

Karya
1 konten
Akses seumur hidup
20
Sudah mendukung? Login untuk mengakses
Selanjutnya BAB 10 Terima Kasih
0
0
“Mas yang gila, harusnya di saat kondisi Zhia yang seperti ini, kita lah yang harus merangkulnya. Dia sendirian dan rapuh, Mas! Keluarga seharusnya menjadi tempat ternyaman Zhia untuk berkeluh kesah. Sayangnya kalian malah mengusirnya! Apa Mas sudah gila?” Tika marah besar begitu mendengar langsung pengakuan Putri jika kakaknya pergi dari rumah karena sudah diusir oleh Abdullah.  “Aku pastikan dia akan kembali dan memohon pada ayahnya untuk diterima lagi, kamu gak usah berlebihan. Zhia tidak akan bertahan lama di Surabaya,” kata Abdullah dengan sombongnya.  “Gak paham aku dengan cara berpikirmu, Mas! Benar-benar keterlaluan! Tika kesal bukan main kepada kakak kandungnya itu. Ia mematikan sambungan telepon tersebut sepihak.  Nafas Tika tersengal, tidak dapat membayangkan hancurnya hati Zhia, keponakan cantiknya itu tadi terlihat sendu dan menyimpan duka yang dalam. “Pantas saja kalau wajahnya terlihat gak bahagia, Mas Abdullah memang sinting! Udah gila harta, sampai anak sendiri tidak diurus,” gumam Tika dalam hati.  Tak lama kemudian, ponsel Tia berbunyi lagi, kali ini Putri lah yang menghubunginya. Adik kandung Zhia itu juga rindu kepada kakaknya. “Tante, maaf Putri telepon, apa kakak baik-baik saja?” Suara Putri terdengar bergetar, seperti menahan tangis untuk Zhia yang dikhawatirkan olehnya.  “Put, kamu tahu, kakakmu bekerja di tempat karaoke, ada apa dengan kalian? Padahal, Zhia lulusan sarjana, bukan?”  “Ayah bakar semua ijazahnya, Tante. Putri sengaja call setelah sampai kampus, kalau di rumah, nanti Ayah marah kalau Putri bicara seperti ini,” jawab gadis itu. Pecah tangisnya menceritakan apa yang terjadi dengan pernikahan kakaknya.  “Luar biasa, biadab!” Tika menumpahkan amarahnya begitu saja. “Bisa-bisanya aku memiliki saudara laki-laki mengerikan macam dia!”  “Tante ada nomor kak Zhia yang baru? Sepertinya dia ganti ponsel,” kata Putri teringat ucapan Ega kepadanya.  “Sayangnya, tante belum sempat minta. Tapi, dari informasi orang spa tadi, rasanya tante tahu dimana Zhia bekerja,” ucap Tika sedikit berlega hati, masih ada jalan untuk mencari keberadaan keponakannya.  “Putri mau liat kak Zhia. Kalau Tante ketemu, bolehkah kabari Putri.”  “Boleh, nanti Tante kabari yah. Kamu kuliah saja dulu, Tante mau coba tanya mereka. Mumpung masih di spa, kakakmu tadi langsung kabur begitu ketemu Tante. Mungkin takut kalau tante ngadu ke ayahmu,” kata Tika mengakhiri pembicaraannya dengan Putri.  Tika bergegas menyelesaikan mandinya, rangkaian terakhir perawatan mahalnya itu membawanya bertemu keponakannya. “Aku harus cepat, sebelum berganti orang yang jaga,” gumam Tika dalam hati. Tika hanya berharap, Zhia tidak mengambil pekerjaan yang dapat merugikan masa depannya kelak.  Sementara itu, Zhia yang menjadi topik pembicaraan keluarganya, tengah bersiap menunggu kedatangan Irwan. Tamu istimewa Fia dari Bekasi itu mendapatkan fasilitas premium di Dvia karaoke. Room yang luas dan beberapa fasilitas lainnya sudah menjadi standar tersendiri yang diberlakukan Fia ketika menyambut tamu khususnya.  “Hallo Aya, malam ini kamu cantik,” sapa Irwan ketika disambut kedatangannya oleh Zhia.  “Malam, Pak Irwan. Terima kasih. mau langsung makan? Kebetulan sudah siap kok,” kata Zhia menuntunnya duduk di salah satu kursi yang sudah disiapkan.  “Makasih, ayo kamu juga makan sama saya. Bukankah saya kesini karena ingin dinner dengan kamu,” kata  Irwan sambil menyendokkan sambal matah di piringnya. Zhia membantunya menggeser kursi di sebelahnya agar Irwan nyaman berbincang dengannya.  “Iya, silahkan Pak,” jawab Zhia sopan.  “Fia memberitahu saya sedikit tentang kamu. Biasanya dia gak pernah pelit sama saya, artinya kamu cukup spesial bagi dia,” kata Irwan memulai percakapan dengan wanita cantik di depannya itu.  “Bisaan Bapak,” kata Zhia terkekeh.  “Jadi, boleh saya tahu kenapa wanita secantik kamu mau bekerja di Dvia?” Pertanyaan Irwan sudah ditebak oleh Zhia, baginya tidak masalah membagikan kisah hidupnya yang pahit. Tentunya dengan harapan, tidak ada lagi Zhia lainnya yang mengalami hal pahit seperti dirinya.  “Sejujurnya, saya baru menikah, Pak. Hanya saja, saya kurang beruntung dan salah memilih laki-laki yang akan menjadi imam saya.”  “Ah, kenapa saya jadi kepo.” Ucapan Irwan kembali membuat Zhia memamerkan senyumnya yang menawan.  “Saya dituduh tidak perawan hanya karena tidak ada simbol keperawanan seorang gadis yang menyerahkan harta berharganya di malam pertama saya. Tidak ada kesempatan bicara apalagi membela diri. Dan saya diceraikan di malam pertama saya,” kata Zhia menceritakan hal itu dibungkus sebuah senyum yang diartikan Irwan sebagai senyum palsu.  “Sorry, kita tidak usah bahas lagi yah. Saya tidak mau make-up kamu luntur karena kamu menangis disini. Kamu lebih cocok senyum daripada bersedih hati,” kata Irwan menyudahi suasana sendu Zhia.  “Bagaimana kalau setelah ini, Bapak nyanyi?”  “Kamu dulu lah, nanti saya nyusul. Cari lagu yang enak.”   Dengan cekatan Zhia menyetel sound di ruangan itu untuk dirinya dan Irwan agar dapat duet, menyanyikan sebuah lagu yang Zhia rasa cukup romantis untuk mengembalikan suasana.  “Suara kamu bagus juga, lain kali kita bisa lanjutkan. Saya besok kembali ke Bekasi, dan saya sudah minta izin ke Fia untuk membawamu sekedar ke mall. Saya biasanya membawa buah tangan untuk pekerja saya di rumah ketika saya keluar kota,” ucap Irwan.  “Beli oleh-oleh khas Surabaya, Pak?”  “Boleh juga, besok temani saya yah?”  “Atas seizin Mami, saya temani, Pak.”  “Baiklah, terima kasih atas pelayanan darimu. Luar biasa, kamu sudah profesional dan saya yakin kamu berpendidikan tinggi. Sangat berbeda dengan kebanyakan pekerja di Dvia. Bukan merendahkan teman-teman kamu, tapi perbedaan ini terlihat jelas ketika kamu bantu Fia menjelaskan ke saya, prosedur umum di pemerintahan daerah seperti Surabaya,” kata Irwan setelah menghabiskan minumannya.  “Saya juga terima kasih, Pak. Tips nya besar sekali, saya bisa tidur nyenyak tidak terlalu memikirkan biaya hidup saya sebulan ini,” kata Zhia terkekeh kecil.  “Kamu boleh minta apa saja ke saya, tidak usah sungkan, saya sudah save nomor kamu. Setelah saya sampai hotel, saya kabari lagi.”  “Baik, Pak. Hati-hati di jalan,” jawab Zhia sambil membereskan meja di ruangan tersebut sebelum mengantar Irwan hingga masuk ke dalam mobilnya.  Fia yang melihat kejadian tersebut dari cctv tampak sumringah, Zhia berhasil membantunya menyelamatkan kepercayaan Irwan kepadanya. “Ah, aku harus memberinya bonus,” gumam Fia sambil mematikan laptopnya.  Zhia sendiri, ia kembali ke room khusus karyawan untuk mengambil minuman. Ia menyapa beberapa temannya yang lain, para pekerja malam yang berjuang untuk mencukupi kebutuhannya.  “Ay, sudah selesai dengan Pak Irwan?”  “Eh, sudah kok Mbak. Mau pulang?” tanya balik Zhia dengan ramahnya.  Salah seorang seniornya yang lain masuk ke ruangan tersebut datang lalu mendorong Zhia dan wanita itu hampir jatuh karena tidak siap. “Ojo golek perkoro, Aya anak baru tapi kesayangan Mami juga! Kowe wes tuo, wajar di office kak. Toh tetap digaji sama Mami!” Teman Zhia yang lainnya membantu Zhia berdiri lalu memperingatkan seniornya agar tidak mengganggu rekannya.  
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan