PERNIKAHAN KEDUA (1-5) FREE

2
0
Deskripsi

Seratus tiga puluh hari setelah Ayah pergi, Ibu menghadirkan lelaki lain di rumah ini. Pernikahannya kedua Ibu, yang penuh rahasia dan menyakiti hati kami berdua

PERNIKAHAN KEDUA 1



 

"Malam ini, bawa Kiara tidur bersamamu, dan jangan ganggu Ibu."


 

Aku tertegun sejenak. Kutatap lagi wanita cantik bergelar Ibu itu. Masih ada sisa-sisa riasan bekas akad nikah yang dilaksanakan pagi tadi. Ya, Ibu baru saja menikah lagi, setelah tepat seratus tiga puluh hari Ayah pergi.


 

Kiara memandangku, menatap tangannya yang kugenggam, lalu berakhir pada wajah Ibu. Masih kuingat bagaimana Ibu menepis tangannya tadi, saat adikku ingin ikut Ibu masuk kamarnya.


 

"Kau dengar kan Key? Sekarang, Ibu sudah punya suami. Tanggung jawab Ibu bukan hanya mengurus kalian."


 

"Tapi Bu…"


 

"Key…" Ibu menghela nafas. Dia berjalan mendekat dan memegang kedua bahuku.


 

"Kita butuh penopang, butuh seseorang yang memberi kita nafkah. Kamu tahu? Ibu lelah sekali jika harus bekerja setiap hari. Setidaknya, sekarang ada yang memberi Ibu uang belanja. Jangan lupakan biaya sekolahmu, dan juga lima bulan lagi Kiara akan masuk TK."


 

Aku menggigit bibir. Apa yang Ibu katakan benar, meski tak sepenuhnya persis begitu. Ayah baru saja pergi empat bulan lebih sepuluh hari. Ayahku meninggalkan tabungan yang cukup banyak. Selain itu, ada rekening khusus yang merupakan simpanan Ayah dan diperuntukkan untuk tabungan pendidikan bagiku dan Kiara. Seharusnya, semua itu cukup untuk kami hidup sederhana selama beberapa tahun ke depan. Namun sayangnya, Ibu tak terbiasa hidup sederhana.


 

Ibu lalu menunduk, memandang Kiara, pada air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Seharian ini aku terus berusaha membujuknya agar tak mendekati Ibu. Usai akad nikah, saat semua tamu bergembira menikmati hidangan, aku membawa Kiara ke dalam kamar, memeluk dan berusaha menghentikan tangisnya, sementara air mataku sendiri tak mau berhenti mengalir.


 

Haruskah secepat ini Bu? Kami baru kehilangan Ayah. Dan kini, harus kehilangan Ibu juga.


 

"Ara, mulai sekarang, tidurlah dengan Kak Keysha. Ara sudah besar, sudah harus tidur terpisah dari Ibu. Kau dengar?"


 

Bibir Kiara bergetar-getar. Aku tahu dia berusaha menahan tangis agar tak meledak keluar. Tapi air mata itu telah mewakili rasa sedih dalam dadanya. Dua bulan lagi usianya baru akan lima tahun. Dia masih butuh bermanja.


 

Merasa tak mendapat jawaban, Ibu lalu melangkah menuju kamarnya. Kupeluk Kiara erat-erat, menahan tubuhnya yang hendak mengikuti Ibu. Dan ketika pintu kamar itu tertutup di depan kami, tangisku tak terbendung lagi. 


 

Mungkin, memang harus secepat ini. Mungkin, setelah kehilangan Ayah untuk selamanya, kami harus pula bersiap kehilangan Ibu juga.




 

***



 

Aku terbangun mendengar suara tangis Kiara. Penerangan kamar yang remang-remang membuatku harus menyesuaikan penglihatan lebih dulu. Di sampingku, Kiara tidur memeluk guling menghadap tembok, matanya terpejam, tapi air mata itu deras membasahi pipi.


 

"Ara…" Aku menyentuh lengannya. Tangisnya makin menjadi. Kini dia terisak sementara punggungnya bergetar-getar. Kemarin, Ara masih tidur dengan Ibu. Berkali-kali Ibu bilang untuk pindah tidur ke kamarku, tapi rupanya dia masih terlalu kecil untuk mengerti. Malam tadi, ketika pintu kamar Ibu tertutup, Kiara tak mau beranjak, dia duduk di sofa depan kamar Ibu sampai akhirnya tertidur dan aku menggendongnya ke dalam kamar.


 

"Ara mau tidur sama Ibu." Dia merengek.


 

"Nggak boleh Dek. Sekarang di kamar Ibu sudah ada… Om… Om Yudha." Suaraku ragu.


 

"Tapi kenapa nggak boleh? Dulu waktu sama Ayah, Ara boleh tidur sama Ibu."


 

Bagaimana caraku menjelaskan? Bahwa lelaki yang ada di kamar sebelah itu, hanya suami bagi Ibu, dan selamanya tak mungkin jadi Ayah kami. Karena di hari pertama saja, dia telah merenggut Ibu dari adikku.


 

Akhirnya aku hanya mengusap-usap kepala Kiara, tak mampu berkata apa-apa. Aku baru enam belas tahun, tapi mungkin, akan segera menjadi Ibu bagi adikku.


 

"Ara mau susu dot?"


 

Kiara mengangguk. Aku terpaksa menawarinya dot lagi meski Ibu sudah melarang. Aku tak tahu cara membujuknya. Ku suruh Kiara menunggu sementara aku bersijingkat ke dapur hendak membuat susu. Melintasi kamar Ibu, suara-suara aneh terdengar, membuatku berdebar. Aku tak tahu apa yang terjadi di dalam sana, tapi yang jelas itu bukan sesuatu yang boleh kulihat.


 

Mengapa rumah ini sekarang terasa berbeda? Kemana perginya rasa damai yang dulu diciptakan Ayah untuk kami?


 

"Key?"


 

Aku menoleh, menatap Ibu yang baru masuk ke dapur. Aku menunduk, merasa malu melihat daster Ibu yang terbuka kancingnya, memperlihatkan kulit leher dan dada Ibu yang putih. Belum lagi pendeknya sampai nyaris ke pangkal paha. Kenapa Ibu harus memakai baju seperti itu?


 

Kuteruskan mengguncang botol susu. Mata Ibu memperhatikan gerakanku.


 

"Kenapa bikin susu lagi? Kan Ibu bilang…"


 

"Ara nangis semalaman. Aku nggak tahu harus bagaimana lagi membujuknya."


 

Ibu mendesah.


 

"Sekali ini saja. Besok nggak boleh lagi. Biasakan Ara minum susu dengan gelas. Nanti pelan-pelan, hentikan susunya. Dia sudah besar."


 

Aku mengangguk, lalu berjalan ke depan, menuju kamar. Tepat di depan kamar Ibu, pintu terbuka dan lelaki itu muncul. Dia bertelanjang dada dan memandangku lekat. Aku langsung berlari masuk dan menutup pintu kamar. Tatapan mata itu, entah mengapa membuatku takut.


 

Di kamar, Ara masih menunggu. Dia langsung menyambut botol dot dari tanganku. Dan akhirnya aku bisa bernafas lega saat susunya habis dan Ara kembali terlelap. Kupandangi wajah mungil itu, membayangkan hari-hari yang akan kami lalui di depan sana. Entah mengapa, tapi firasat ku mengatakan bahwa ini tak akan mudah bagi kami.



 

***



 

Tidak ada sarapan tersedia. Tak seperti hari-hari kemarin saat Ayah masih ada, atau bahkan setelah Ayah pergi. Kemarin sehari sebelum akad nikah, Ibu bahkan masih membuat nasi goreng untukku.


 

Aku bergegas membuat susu dalam gelas untuk Ara, memanaskan sisa makanan pesta kemarin dan sarapan dalam diam. Di hadapanku, Ara cemberut memandangi gelasnya.


 

"Ara minumlah. Kakak mau berangkat sekolah."


 

Ara menggeleng. Bibirnya berkedut, siap menangis lagi.


 

"Ara mau apa?"


 

"Mau Ibu."


 

Aku mendesah dengan putus asa. Bagaimana aku bisa meninggalkannya di rumah sendirian? Sementara sejak tadi Ibu dan Lelaki itu sudah menghilang.


 

"Sebentar lagi Ibu pulang. Minumlah dulu. Nanti Ibu marah."


 

Baru selesai aku bicara, suara Ibu dan suami barunya terdengar bercakap-cakap sambil memasuki rumah. Di depan meja makan, mereka berhenti. Aku menundukkan kepala, tak mau memandang tangan Ibu yang lekat menggandeng lengan lelaki itu. Rasanya seperti, seseorang merenggut jantungmu dengan paksa. Sakit.


 

"Mau sekolah?"


 

Aku mengangguk.


 

Ibu melirik suaminya sebentar. Kulihat itu dari sudut mata.


 

"Berangkatlah. Tapi bersiaplah mencari kerja setelah lulus nanti. Ibu tidak bisa membiayai kuliahmu."


 

Aku mendongak, tak percaya pada pendengaranku sendiri. Aku tahu selain uang pribadi di rekening yang ditinggalkan Ayah, Ayah juga punya tabungan pendidikan untukku dan Kiara.


 

"Tapi kata Ayah, aku bisa kuliah sampai lulus. Ayah sudah menyiapkan dananya."


 

Wajah Ibu mengernyit, membuatnya tak sedap dipandang. Ibu tampak begitu bahagia dengan pernikahannya sehingga dirinya tampak terlihat semakin cantik saja. Tapi wajah bahagia itu seketika berubah mendengar suaraku.


 

"Ayahmu sudah ma-ti. Dan yang perlu kau turuti sekarang hanya perkataan Ibu. Apa kau dengar itu?"




 

***



PERNIKAHAN KEDUA 2



 

Apa yang terjadi dengan Ibu? Kenapa semua bisa berubah hanya dalam waktu sehari saja? Aku menggigit bibir, menahan air mata yang hendak tumpah. Sungguh, aku tak boleh menangis di depan Kiara. Setelah semua penolakan Ibu padanya, aku tak boleh membuatnya merasa berkecil hati lagi. 


 

Di hadapanku Ibu menunduk setelah mengatakan kalimat itu, menyembunyikan wajahnya dariku. Sementara lelaki itu, yang sepertinya sama usianya dengan Ibu tersenyum.


 

"Sekolah sampai SMA itu cukup Key. Ayahmu sudah tak ada. Bapak dan Ibu harus menabung untuk calon anak kami nanti. Dan juga Rani masih butuh banyak biaya."


 

Rani adalah putri semata wayang suami baru Ibu. Aku bertemu dengannya kemarin. Usianya dua tahun di bawahku. Dan dari tatapan matanya, aku tahu bahwa seharusnya aku tak dekat-dekat dengannya.


 

"Rani harus kuliah. Karena itu pesan almarhum Mamanya." Suara Ibu bergetar.


 

"Dan pesan Almarhum Ayah tidak penting bagi Ibu. Rani masih punya Bapak. Sementara aku, seharusnya bisa mengandalkan tabungan yang Ayah tinggalkan."


 

"Key!" Nada suara Ibu meninggi. "Tolong menurutlah sekali ini. Tabungan Ayah sudah habis untuk biaya pemakaman dan melunasi hutang-hutangnya. Lulus SMA, kerja, barulah kau kuliah jika sudah punya tabungan sendiri. Ibu tak bisa membiayaimu."


 

Selesai. Pembicaraan itu akhirnya selesai dengan keputusan sepihak Ibu. Aku bahkan tak berhak bertanya dikemanakan semua tabungan Ayah karena setahuku Ayah tak suka berhutang. Dari sudut mata aku melihat lelaki itu mendorong tubuh Ibu menjauhi meja makan, lalu menghilang di balik tembok pembatas ruang tengah. Tak tahan lagi, air mataku akhirnya tumpah juga. Kiara yang tak mengerti apa-apa, ikut menangis sambil memelukku. Oh, Ibu. Apa yang kau rasakan saat menatap kami? Menatap wajah mungil Kiara yang tak berdosa. Tak adakah sedikit saja cinta tersisa dihatimu untuk kami? Sedikit saja, sehingga cukup untuk menghentikan tangis adikku.


 

Aku berangkat sekolah dengan hati cemas. Meninggalkan Kiara di rumah sementara Ibu tengah kasmaran dengan suami barunya. Di sekolah, pikiranku terus saja melayang, menembus cakrawala membingkai wajah adik tersayangku.


 

Aku nyaris melompat dan berlari begitu bel pulang berbunyi. Untunglah sekolahku dekat, hanya butuh dua puluh menit dengan berjalan kaki. Dan mungkin bisa kutempuh dengan sepuluh menit jika berlari. Peluh membanjiri sepanjang jalan. Tak kuhiraukan beberapa teman yang menahanku. Aku harus segera pulang.


 

Rumah sepi. Aku membuka pintu dengan panik, melempar tas dan berlari seantero rumah sambil menjerit memanggil Kiara. 


 

"Kakak!"


 

Suara Kiara membuatku lega bukan kepalang. Namun kemudian, hatiku nelangsa melihatnya. Kiara muncul dari kamar mandi, dengan air yang membasahi hampir seluruh pakaiannya. Aroma tak sedap menguar.


 

"Ara pup?"


 

Adikku mengangguk. Dia memang belum mahir membersihkan kotorannya sendiri. Kubawa Kiara ke kamar mandi, membersihkan dan sekaligus memandikan nya. Setelah bersih dan berganti pakaian, kududukkan dia di kursi makan.


 

"Ibu kemana?"


 

"Pergi sama Bapak."


 

"Ara sudah makan?"


 

Kiara menggelengkan kepalanya yang mungil.


 

Aku membuka tudung saji dan lagi-lagi mencelos memandang meja yang bersih, tanpa secuilpun makanan. Hanya ada nasi sisa kemarin yang hampir mengering. Kemana sisa makanan pesta kemarin? Ya Allah, terbuat dari apa hati Ibu? Oh, bukan. Tapi setan apa yang telah merenggut hati Ibuku hingga dia bisa tega melakukan hal ini pada darah dagingnya sendiri. Aku membuka kulkas dan mengambil sebutir telur. Dengan sedikit garam aku membuat telur mata sapi dan dengan nasi yang mengering itux menyuapi adikku yang tampak kelaparan. Tentu saja, ini sudah jam dua siang.


 

Apa yang harus kulakukan dengan keadaan ini? Kemana kami harus meminta tolong? Aku menutup pintu kamar setelah Kiara tertidur, terduduk di kursi tamu, memandang bunga bunga sisa akad nikah Ibu yang sudah layu.


 

"Tolong jangan terlalu kejam pada anak-anakku, Mas. Aku telah menuruti keinginanmu meski harus menyakiti mereka."


 

Suara Ibu terdengar. Aku yang duduk di sofa membelakangi balik pintu depan tertegun mendengarnya.


 

"Itu hukuman bagimu Sarah. Kau telah mengkhianatiku dulu. Lari dari pernikahan kita dan memilih kawin lari dengan Arman. Bersyukurlah aku tidak mencelakai anak-anakmu."


 

"Jangan Mas."


 

"Kalau begitu, menurut saja. Dan ingat selain anak-anakmu, orang tuamu juga sangat percaya padaku. Mereka tidak akan pernah menyangka kalau aku bisa saja meletakkan setetes racun dalam minumannya."


 

Astaga. Aku menekap mulut dengan kedua tangan. Di luar hening. Aku berlari ke kamar, berusaha tidak mengeluarkan suara. Lelaki itu tak boleh tahu bahwa aku baru saja mendengar semuanya.


 

Di kamar, aku merebahkan diri sambil memeluk Kiara. Apa arti semua ini? Apa yang sesungguhnya terjadi? Tak lama kudengar pintu depan dibuka dan langkah langkah kaki mendekat. Lalu pintu kamarku dibuka dan ditutup lagi setelah beberapa menit lamanya.


 

"Keysha sudah pulang. Kau benar-benar sembarangan bicara Sarah."


 

"Maaf, Mas. Tapi Keysha tidur."


 

"Aku mulai berpikir untuk mengenyahkan hama itu dari rumah ini. Bagaimana menurutmu?"


 

"Apa maksudmu?" Suara Ibu panik.


 

"Kedua anakmu membuat bulan madu yang kuimpikan bertahun-tahun lamanya menjadi tak sempurna. Kurasa sebaiknya kau mulai berpikir memindahkan mereka dari sini."


 

Aku menekap mulut, menahan isakan yang hendak lolos keluar. Lelaki itu ingin mengusir kami! Dia bukan hanya ingin menguasai Ibu, tapi juga rumah ini. Rumah penuh kenangan yang dibangun Ayah dengan susah payah bertahun-tahun lamanya. Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Apa yang sebenarnya terjadi? Dan kemana aku harus bertanya?


 

Ingatanku lalu melayang pada masa bertahun-tahun lalu, saat aku duduk di pangkuan Ayah sambil menangis. Saat itu sedang libur sekolah dan semua teman-teman memamerkan liburan menyenangkan di rumah Nenek dan Kakek mereka.


 

"Kenapa aku nggak punya Nenek dan Kakek Yah?"


 

Ayah tersenyum, mengusap kepalaku dengan lembut.


 

"Kata siapa Keysha tidak punya? Kamu punya kok."


 

"Sungguh?


 

"Iya. Hanya saja, kita belum boleh menemui mereka. Keysha memanggilnya Eyang. Eyang kakung dan Eyang putri. Beliau berdua adalah Ayah dan Ibunya Ibu."


 

"Kalau Ayah dan Ibunya Ayah?"


 

Ayah menggeleng. "Ayah anak yatim piatu, dan sebatang kara. Jadi, Keysa memang tidak punya Nenek dan Kakek dari Ayah."


 

Aku terdiam, membayangkan seperti apa sosok orang yang boleh kupanggil Eyang itu.


 

"Key mau kesana. Aku mau bilang teman-teman kalau aku punya Kakek dan Nenek."


 

"Iya, Nak. Suatu saat nanti."


 

Dan ketika saat itu tiba, aku dengan riang gembira berangkat ke desa, menemui Eyang. Kala itu, Kiara belum lahir. Di muka pagarnya, aku berdiri, terkagum-kagum memandang rumah besar dan megah ini. Sungguh jauh berbeda dengan rumah kami yang sederhana.


 

Eyangku ternyata sangat kaya raya. 


 

Tapi, apa yang kami terima di dalam sana tak akan pernah kulupakan seumur hidup. Ibu yang menangis tersedu, bersujud di kaki Eyang putri dihempas hingga jatuh. 


 

"Anak durhaka. Pergi dari rumah ini dan jangan pernah kembali sebelum kau dan Arman berpisah!"


 

Ayah tak mampu berbuat apa-apa selain membantu Ibu berdiri. Kami lalu pulang dengan air mata yang terus membanjiri pipi Ibu. Aku bahkan belum sempat mencium tangan mereka berdua dan memperkenalkan diri. Kakek dan Nenekku, ternyata tidak seperti Kakek dan Nenek teman-temanku.


 

Aku duduk tegak, menyusun kepingan puzzle itu dalam keheningan sore hari. Ada sesuatu yang tidak ku ketahui. Sebuah rahasia besar yang membuat Ibu menjauh dari kami.




 

***




 

ERNIKAHAN KEDUA 3



 

"Mau apa kalian kesini?"


 

Suara ketus Eyang tak menyurutkan niatku duduk dan menatap matanya. Kugenggam tangan Kiara erat-erat. Adikku yang tak tahu apa-apa, tadi sibuk berceloteh tentang betapa bagusnya rumah ini. Namun dia terdiam begitu sosok Eyang putri muncul. Wanita berusia nyaris tujuh puluh tahun itu memandang Kiara tak berkedip. Kiara memang sangat mirip Ibu, sementara aku mirip Ayah. Aku memutuskan datang kesini, meski tahu bahwa akhirnya semua yang keluar dari mulut Eyang hanya akan menyakitiku.


 

"Tolong jelaskan, siapa Om Reyhan sebenarnya. Kenapa dia tiba-tiba datang dan menikahi Ibu. Dan kenapa Eyang menerimanya dengan bahagia, tidak seperti Eyang menerima Ayahku. Padahal… padahal selama tujuh belas tahun lamanya Ayah terus berusaha mengambil hati Eyang."


 

Wajah tua yang masih tampak ayu itu termangu sejenak. Mataku tak berkedip memandangnya. Eyang putri, Ibu dan Kiara memiliki garis wajah yang sama. Tak ada yang bisa menyangkal bahwa mereka berdua memiliki hubungan darah.


 

"Kau tidak perlu tahu Keysha. Tugasnya hanya menuruti semua perkataan Ibumu. Termasuk, jika suatu saat dia memintamu pergi."


 

"Apa maksud Eyang?"


 

Dia memandang Kiara sejenak.


 

"Berapa usiamu?" Tanyanya tiba-tiba.


 

"Dua bulan lagi tujuh belas tahun."


 

Eyang putri mendesah.


 

"Keysha, Reyhan adalah satu-satunya lelaki yang kami inginkan menjadi menantu, bukan Arman. Tapi Sarah yang bengal itu lari di hari pernikahannya. Padahal ada beberapa perjanjian yang sudah kami sepakati dengan orang tua Reyhan. Sarah dan Arman tak pernah tahu bahwa mereka telah melakukan kesalahan fatal."


 

Aku tertegun sejenak. Kisah masa lalu itu sama sekali tak pernah kudengar. Selama ini, Ayah dan Ibu tampak bahagia dan baik-baik saja meski aku heran, kenapa kami hanya punya mereka. Tidak seperti teman-temanku yang punya Kakek, Nenek, Paman, Bibi, juga deretan sepupu, aku tidak. Aku hanya punya Ayah dan Ibu. Hidup kami sederhana. Aku tahu Ayah bekerja keras dan berhemat demi bisa menabung untuk bekal kami kelak. Pada malam-malam yang hening, kerap kudengar ketakutan Ayah jika harus pergi lebih dulu, padahal Ayah tak pernah sakit berat selain hanya masuk angin. Kepergian Ayah yang tiba-tiba sungguh meluluh lantakkan hidup kami. Seminggu lamanya Ibu berkubang air mata. Maka ketika pernikahan itu terjadi, aku merasa ada sesuatu yang tak wajar. 


 

Ternyata, ada sesuatu yang tak kuketahui. Sesuatu yang sama sekali tak pernah kuduga.


 

"Setelah Arman mati…"


 

"Dia ayahku! Bisakah Eyang menyebutnya dengan sedikit penghormatan? Ayah sudah tiada dan Eyang masih membencinya."


 

Eyang terkejut, mungkin tidak menyangka aku akan melawan seperti itu. Tapi sungguh, sakit rasanya mendengar nama Ayahku yang lembut dan baik hati diucapkan tanpan sedikitpun rasa hormat.


 

"Sejak dulu sampai sekarang, aku tidak akan pernah menerimanya menjadi menantu. Dan artinya aku tak pernah menerimamu sebagai cucuku. Kau tak pernah tahu sisi buruk Ayahmu. Ku jamin kau akan terkejut."


 

Aku menelan ludah, berusaha mengusir sekat di tenggorokan. Kugandeng tangan Kiara, mengajaknya pergi dari rumah besar yang mengerikan ini. Apapun yang dikatakan orang di luar sana, Ayahku adalah Ayah terbaik di dunia ini.


 

"Dan kami juga tak butuh diakui. Aku hanya ingin tahu apa hubungan Ibu dan Om Reyhan dimasa lalu. Tapi Eyang malah berlomba menyakiti hatiku."


 

Aku melangkah sambil menggandeng tangan Kiara. Dalam hati aku bersumpah tak akan lagi menginjakkan kaki di rumah ini. Mereka tak pernah mengakui Ayahku sebagai menantu, dan kami sebagai cucu. Meski darah Ibu mengalir di tubuh kami.


 

"Tinggalkan adikmu disini."


 

Langkahku terhenti. Aku membalikkan tubuh dan mendapati wanita tua itu memandangku.


 

"Tinggalkan adikmu disini. Aku akan merawatnya."


 

Aku memandang Kiara, yang mendongakkan kepala menatapku dengan mata hitamnya yang jernih.


 

"Tidak. Bukankah kalian tidak mengakui kami sebagai darah daging kalian? Apa jaminannya kalian tidak akan menyakiti adikku?"


 

"Dia seperti Sarah. Tinggalkan saja dia disini dan kau boleh pergi."


 

Aku meradang. Kutatap wajah tua tak punya hati itu dengan tatapan nyalang.


 

"Kiara bukan benda yang bisa kutinggalkan begitu saja. Sebaiknya lanjutkan saja kebencian kalian pada kami. Dan anggap kami tak pernah ada."


 

Diam sejenak. Entah dimana Eyang kakung. Tapi apa bedanya? Tak ada satupun di antara mereka berdua yang akan mencegah dan menahan kami disini.


 

"Kau akan menyesal." 


 

Aku tak peduli dan memilih pura-pura tak mendengar. Saat kakiku menginjak aspal jalan raya di depan gerbang yang langsung tertutup, aku bertekad akan membuktikan pada pemilik rumah ini, bahwa kami bisa hidup tanpa mereka.



 

***



 

Uang di dompet bergambar teddy bear coklat milikku mulai menipis. Itu uang bulanan terakhir yang kuterima dari Ibu. Sejak SMP, aku sudah belajar mengelola uang saku bulanan sendiri. Dan kini, aku nanar memandang dua lembar uang biru itu. Aku bangkit dan menggandeng Kiara ke dapur, mungkin masih ada sisa bahan makanan yang bisa ku masak.


 

"Masak untuk siapa? Sudah kubilang aku tak mengizinkanmu masak, Sarah. Kalau kau mau makan, beli saja. Aku tak mau tubuhmu bau bawang."


 

Aku menahan langkah Kiara, mengabaikan rasa lapar di perutku.


 

"Hanya masak sedikit untuk anak-anak, Mas."


 

"Anak Arman? Kau boleh masak nanti jika Rani tinggal disini."


 

"Tapi, Mas…"


 

"Tidak ada tapi, apa kau mau ku suruh mengganti mahar seratus juta yang ku berikan dulu? Uang yang kau bawa pergi bersama Arman? Seratus juta, tujuh belas tahun lalu. Kau tahu berapa nilainya sekarang? Kau akan kena serangan jantung bila tahu jumlahnya."


 

Aku menekap dada. Semua kejutan ini terasa semakin menyesakkan. Aku tak tahan lagi. Kusuruh Kiara masuk kamar lebih dulu, lalu masuk ke dapur dan mendapati Ibu terpojok, dengan bawang dan cabai berserakan di bawah kakinya.


 

"Ibu! Apa yang sebenarnya terjadi? Kalau Ibu terpaksa menikah dan tak bahagia, ayo sudahi saja. Kita hidup bertiga seperti kemarin lagi."


 

Mereka berdua terkejut. Om Reyhan  memandangku dengan wajah memerah sementara Ibu pucat pasi. Di belakang Om Reyhan, Ibu menggelengkan kepala, memberiku isyarat untuk pergi. Aku bergeming. Pernikahan kedua ini salah besar. Aku mungkin memang belum sepenuhnya mengerti, tapi aku tahu ada yang salah disini.


 

"Pergi Key. Jangan kurang ajar pada Bapakmu!"


 

Ibu berseru dengan suara bergetar. Nyata sekali ketakutan itu di wajahnya. Sementara Om Reyhan, lelaki yang minta dipanggil Bapak itu mendekat. Dua langkah di hadapanku, dia berhenti.


 

"Mungkin sudah saatnya kau tahu kebenarannya, Key. Ayahmu, tidaklah sebaik yang kau duga. Dia dan Ibumu si pengkhianat ini, bukan hanya mengkhianatiku, tapi menghancurkan hidupku. Saat ini, Ibumu sedang menebus dosa. Jadi, jika kau tak tahu apa-apa, sebaiknya kau diam dan terima saja semua takdir burukmu karena lahir dari rahimnya."




 

***


PERNIKAHAN KEDUA 4




 

"Kalau begitu katakan saja sekarang! Aku sudah cukup besar untuk mengerti. Jangan terus membuat teka teki!"


 

"Keysha! Pergilah!"


 

Suara Ibu getas. Sesaat, kami saling menatap, dengan permohonan di mata masing-masing. Ibu memohon padaku untuk pergi, sementara aku memohon pada Ibu penjelasan tentang semua kejanggalan ini.


 

"Kau mau tahu?" Om Reyhan melangkah maju dan berhenti lima langkah di hadapanku. Aku berpaling dari Ibu dan kini memandangnya. Dia seorang pria dengan perawakan tinggi dan besar. Seharusnya dia tampan asalkan wajahnya cukup ramah.


 

"Jangan katakan apa-apa, Mas. Aku yang akan menceritakannya sendiri!" Seru Ibu. Kali ini dia berjalan cepat dan menarik tanganku menjauh. Aku tak berusaha meronta meski rasa penasaran masih menguasai hati. Aku tak mau Ibu menerima imbasnya. 


 

Di dalam kamar, Ibu langsung menarik ransel besar dari atas lemari. Aku ternganga menyaksikan beliau dengan cepat memasukkan baju-bajuku ke dalamnya. Masih belum cukup, Ibu menarik tas bayi milik Kiara dan mengemas baju-baju adikku. Dari saku celananya, Ibu mengeluarkan beberapa lembar uang dan memberikannya padaku.


 

"Apa ini?"


 

Suaraku gemetar. Tak percaya rasanya Ibu akhirnya melakukan semua ini pada kami.


 

"Pergilah Key. Bawa adikmu."


 

"Aku nggak mau. Ini rumahku, rumah Ayah!"


 

"Key…" Ibu meneguk ludah dengan susah payah. "Hanya satu yang harus kau tahu. Rumah ini dan seluruh tabungan Ayah, telah habis untuk membayar hutang pada Om Reyhan. Dulu, Ibu lari dari pernikahan dengannya, membawa mahar seratus juta rupiah. Jadi kini, Ibu harus membayarnya agar Ayahmu tenang disana."


 

Suara ibu bergetar-getar. Aku tergugu. Inikah faktanya? Tapi, jika semua telah terbayar, bukankah seharusnya Ibu tak perlu menjadi alat pembayar hutang juga?


 

"Kalau semua sudah dibayar, berarti Ibu bebas kan? Ayo kita pergi sama-sama."


 

Ibu menggeleng.


 

"Hutang uang itu mungkin sudah lunas. Tapi semua itu tak bisa membayar rasa sakit hatinya dan juga dendam. Karena akibat peristiwa itu, Om Reyhan harus kehilangan Ibunya. Dan Ibu… Ibu tak bisa membiarkan dia melakukan hal yang sama pada Eyang."


 

Sungguh kejutan bertubi-tubi. Aku tak tahu lagi harus melakukan apa untuk membawa Ibu pergi. Usai menutup resleting tas, Ibu memandang Kiara yang masih pulas tertidur. Diciuminya sejenak wajah mungil itu. Beliau lalu memandangku dengan air mata berlinang.


 

"Sebelum maghrib, kalian sudah harus pergi dari sini."


 

"Tapi kemana kami harus pergi, Bu?"


 

Ya Allah, sungguh teganya Ibu pada kami. Jika Ibu Ibu lain rela melakukan apa saja demi anaknya, Ibu lebih memilih kami pergi dari pada kedamaiannya terancam. Jika Ibu lain memilih anaknya untuk dipertahankan, Ibu lebih memilih Eyang dan suami barunya untuk dijaga hatinya. Ataukah masih ada rahasia lain yang belum kuketahui? 


 

Ibu hanya menggelengkan kepala, membuka pintu kamarku dan pergi. Kutatap punggungnya yang berlalu dari kamar dengan hati pilu. Lalu beralih pada Kiara yang menggeliat dan terbangun melihatku menangis. Sungguh, Hari-hari setelah Ayah pergi adalah hari-hari yang penuh air mata.


 

"Kakak kenapa?"


 

Aku mengusap air mata, menatap uang lima ratus ribu di tanganku. Ku paksakan segaris senyum untuknya agar adikku tak ikut merasa sedih meski aku yakin sanubari nya merasakan semua kegetiran ini. 


 

"Kita akan pergi. Ara akan tinggal berdua saja dengan Kakak. Mau?"


 

"Ibu?"


 

Aku menggigit bibir.


 

"Ibu nanti nyusul. Sementara ini, Ara sama Kakak dulu ya."


 

Aku terpaksa berbohong. Kiara masih terlalu kecil untuk menerima semua penjelasanku. Aku hanya bisa berharap tangan Tuhan terulur untuk membantu.


 

Aku, Keysha. Usiaku nyaris tujuh belas tahun saat ini. Dan aku telah bertekad menjadi Ayah, sekaligus Ibu untuk adikku.




 

***



 

"Kita tinggal disini?"


 

Kiara memandang berkeliling, pada sebuah kamar kost yang akhirnya terpaksa menjadi tempat kami tinggal untuk sementara. Aku terpaksa memilih kamar kost dengan pertimbangan tak perlu lagi memikirkan perabotan yang kubutuhkan. Dan terutama, Kost-an ini dekat dengan sekolahku, hanya lima menit berjalan kaki. Sekolah yang entah bisa ku selesaikan atau tidak.


 

"Nggak apa-apa ya? Kan nggak jauh juga dari rumah Ibu?"


 

Kiara mengangguk. Wajahnya masih terlihat sendu. Ah, adikku. Dia tentu masih rindu pada Ibu. Meski setelah penolakan Ibu yang berulang kali memberi sedikit pemahaman baginya, bahwa dia tak boleh lagi mendekat. Ibu, apa yang Ibu rasakan setelah menjauh dari kami? Apa Ibu bahagia? Atau sama nelangsa seperti kami? 


 

Air mataku menetes lagi, yang segera kuhapus sebelum Kiara melihat. Sungguh, aku bertekad ini akan menjadi air mata terakhir yang menetes di pipiku.




 

***




 

Aku terpaksa meninggalkan Kiara di rumah saat ke sekolah. Beruntung sekali, tetangga samping rumahku sepasang suami istri yang baru menikah dan belum dikaruniai anak sehingga Mbak Anggi, sang istri sangat senang saat aku menitipkan Kiara padanya. Tapi, apakah akan terus seperti ini? Aku berhitung berapa lama lagi aku harus ke sekolah sebelum kelulusan. Berapa biaya yang kubutuhkan dan apa yang bisa kulakukan untuk mendapatkannya. Aku mulai berpikir untuk berhenti sekolah mengingat uang spp-ku cukup lumayan.


 

"Jangan berhenti, plis. Aku akan carikan kerjaan paruh waktu untukmu." Lea menggenggam tanganku. Dia satu-satunya sahabat yang kupunya. 


 

"Kalau aku kerja, Kiara gimana?"


 

Lea terdiam. Dia juga sepertinya bingung bagaimana hendak membantu.


 

"Aku butuh pekerjaan yang bisa membawa adik. Atau, pekerjaan yang bisa kukerjakan dari rumah."


 

Aku melepaskan genggaman tangannya, merebahkan kepala di atas meja. Otakku rasanya buntu. Di dalam kelas, pikiranku mengembara, memikirkan adikku yang mungkin sedang menangis teringat pada Ibu.


 

Ibu dan Ayah, adalah gambaran sempurna orang tua bagi semua anak. Bagaimana mungkin mereka menyimpan rahasia sebesar itu dari kami? Dan mengapa kami anak-anaknya yang harus menanggung semua ini?


 

Tiba di rumah, aku dikejutkan oleh suara panik Mbak Anggi berseru memanggil.


 

"Key, Ara demam tinggi!"


 

Aku melemparkan tas sembarangan arah, memburu adikku yang tertidur di atas kasur single bed fasilitas kost-an. Ketika tanganku menyentuh dahinya, kulitku terasa bagai tersengat api. Mbak Anggi yang belum punya anak, ikut bingung.


 

"Mbak, tolong tungguin. Aku cari obat demam dulu."


 

Tanpa menunggu jawabannya, aku kembali berlari. Tak kuhiraukan kakiku yang pegal, juga matahari yang terik di atas kepala. Apotik cukup jauh sehingga rasanya lama sekali saat aku tiba kembali di rumah. Mbak Anggi sudah meletakkan kompres di atas kening Kiara saat aku tiba.


 

Setelah minum obat, perlahan demamnya mereda. Aku mendesah lega, duduk di lantai bersandar di ranjangnya. Saat ini barulah kurasa lelahnya kakiku.


 

"Ibu… Ara mau Ibu…"


 

Suara tangis adikku menambah pilu. Ibu, bolehkah kami bertemu? Sekali ini lagi saja. Setelah itu, aku berjanji tak akan lagi mengganggu hidupmu.




 

***


PERNIKAHAN KEDUA 5




 

Rumah sepi ketika aku datang dengan membawa Kiara dalam gendongan. Lagi-lagi, tak kuhiraukan kaki yang lelah seperti hendak lepas dari persendian. Aku datang dengan harapan Kiara dapat bertemu ibu sehingga demamnya turun. Tapi, setibanya di rumah, hatiku patah. Rumah itu sepi, tanpa ada tanda-tanda kehidupan, padahal baru kemarin kutinggalkan. Aku memandang gembok yang terpasang dari luar dengan nanar, ngilu membayangkan perasaan adikku. Aku juga rindu, tapi rindu yang bercampur benci hingga sakit rasanya. Namun, aku sudah cukup dewasa untuk mengendalikan semua rasa ini. Tapi Kiara?


 

"Loh, Key? Tante kira kalian ikut pindah?"


 

Sebuah suara membuatku menoleh. Tante Lina, tetangga sebelah kiri rumah membuka pagar dan menghampiri kami.


 

"Pindah? Maksud Tante Ibu pindah?"


 

Tante Lina justru memandangku heran.


 

"Iya. Semalam, Ibumu pamit hendak pindah ke Surabaya. Katanya hendak mengurus usaha Ayah barumu disana."


 

Bagai langit runtuh di atas kepala, itulah yang kurasakan. Aku gemetar, bersandar di pagar dengan Kiara dalam gendongan. 


 

"Ada apa? Kenapa? Ayo sini ke rumah Tante dulu."


 

Aku tak menolak ketika Tante Lina mengambil alih Kiara dalam gendongan dan mengajakku ke rumahnya. Aku terpaksa bercerita semua yang terjadi. Tapi anehnya, aku tak lagi menangis. Mungkin, air mataku sudah kering. 


 

"Astaghfirullah." 


 

Tante Lina beristighfar mendengar keseluruhan ceritaku. Dia memeluk Kiara erat-erat. Sedikit banyak, ada kelegaan dalam hatiku setelah bercerita. Namun, tentu saja aku tak bisa berharap apa-apa dari seseorang yang tak punya hubungan darah dengan kami sementara yang jelas bertalian saja enggan. Mungkin, aku memang harus segera menerima takdir burukku kali ini.


 

Aku kembali menggendong Kiara pulang. Seakan mengerti perasaanku, Kiara tak lagi bertanya. Sepanjang jalan, dia menempelkan telapak tangannya di pipi, hal yang dulu selalu dia lakukan pada Ibu setiap kali melihat Ibu bersedih. Tanpa peduli pada tatapan orang lain, kuciumi gadis kecil itu, bertanya-tanya dalam hati, bagaimana caraku membesarkannya nanti. Dengan apa aku mencari uang untuk memberinya makan, menyekolahkannya? Ya Allah, aku mungkin saja akan menyerah jika tak melihat wajah bening itu memandang dalam-dalam.


 

Di rumah, kubuka ponsel, hendak menghubungi Ibu, namun lagi-lagi aku mencelos melihat foto profil Ibu telah menghilang dari kontakku. Ibu memblokir nomorku. Aku menggigit bibir, perlahan, rasa benci dan dendam membakar hati. Ibu yang punya salah, kenapa aku yang harus menanggung deritanya?


 

"Ara, maukah Ara mendengar kata-kata Kakak?"


 

Kiara memandang dengan matanya yang sayu. Sejak mendapati pagar rumah digembok tadi, dia tak lagi bertanya ataupun menangis. Mungkin, kesadaran menyentuh hatinya, membuatnya terpaksa menerima bahwa kami kini tak diinginkan lagi. Kupegang tangannya erat-erat, memandang mata jernih berbentuk seumpama biji buah leci itu.


 

"Mulai saat ini, Ara akan tinggal sama Kakak. Hanya sama Kakak."


 

Jika biasanya kata 'Ibu' akan keluar dari bibirnya, kini dia diam saja.


 

"Kakak akan lakukan apa saja untuk Ara. Tapi kakak mohon, Ara kuat. Kita akan tunjukkan pada Ibu, pada Eyang dan juga pada lelaki itu, bahwa kita bisa hidup tanpa mereka."


 

Air mata Kiara mengalir deras. Kurengkuh tubuh mungilnya dalam pelukan. Sungguh aku pun ingin  menangis, tapi sudah ku tanamkan dalam hati bahwa air mata ini tak lagi boleh keluar. Aku harus kuat agar Kiara kuat.


 

Aku Keysha. Beberapa hari lagi, usiaku tujuh belas tahun. Dan hari ini kisah hidupku yang penuh liku akan dimulai.




 

***



 

(Dibutuhkan, tukang cuci piring di warung Bakso Pak Mul. Syarat cekatan dan tidak boleh bawa anak.)


 

Coret.


 

(Dibutuhkan pengasuh Lansia, usia minimal 24 tahun.)


 

Coret.


 

(Dibutuhkan kasir minimarket. Pendidikan minimal SMA, bisa mengoperasikan komputer.)


 

Coret. Aku tersenyum miris. Hari ini aku bahkan telah resmi menjadi anak putus sekolah, bagaimana aku bisa lulus SMA? Aku memang belum mengajukan surat pengunduran diri ke sekolah, tapi buat apa lagi pergi kesana? Memandang gerbang pagarnya saja hatiku sakit. Mengingat bahwa dulu, aku pernah melambungkan harapan dan cita-cita di salah satu bangkunya.


 

Ponsel di atas pangkuanku bergetar. Lea.


 

(Key, kamu mau kerja di rumah sepupuku nggak?)


 

(Boleh bawa adik?)


 

Balasan dari Lea segera masuk.


 

(Tentu saja boleh. Kerjanya ngasih les tambahan sama sepupuku. Satu tingkat dibawah kita. Aku sudah cerita ke Abangnya kalau kamu siswa paling pintar di sekolah.)


 

(Hah? Tapi Le. Aku ini putus sekolah, masa mau jadi guru les.)


 

(Siapa bilang kamu boleh berhenti sekolah? Kamu dianggap bolos hari ini. Besok masuk sekolah ya. Kiara titip di kantin. Aku sudah cerita sama guru dan bu kantin, maaf ya aku lancang. Tapi aku nggak tahu cara bantu kamu.)


 

Kali ini, air mata haru yang menetes di pipi. Ternyata masih ada orang baik yang punya nurani. Pesan WA dari Lea membuat semangatku muncul. Kupandang Kiara yang asik mengunyah roti seribuan. Ku usap rambut ikannya dengan lembut. 


 

Adikku, badai sebesar apapun, akan kita hadapi bersama. Saat ini, hanya kamu satu-satunya milik Kakak. Bernafaslah, bergeraklah, tertawalah, karena itu yang akan membuat semangat Kakak bangkit.



 

***



 

Dengan dibonceng motor Lea, kami pergi ke rumah sepupunya di kawasan pemukiman elite. Berhenti di depan pagarnya yang besar dan mewah, aku tertegun. Rumah ini bahkan jauh lebih megah dari pada rumah Eyang.


 

"Sepupuku hanya tinggal berdua, dengan tiga pembantu di rumah ini. Mereka yatim piatu. Orang tuanya kecelakaan setahun lalu."


 

"Oh…"


 

Lea memasukkan motor begitu gerbang dibukakan oleh satpam. Kami melintasi halaman luas yang dipenuhi bunga-bunga yang belum semuanya pernah kulihat. Ada seorang lelaki yang tengah merawat taman, menguntingi rumput yang mulai terlihat gondrong. Sepertinya Pak kebun.


 

Pintu dibukakan oleh seorang wanita setengah baya. Aku dan Lea dipersilahkan masuk. Kiara terbengong-bengong melihat rumah mewah dengan perabot super lux. Terutama saat melihat pagar melingkar di sudut ruang tengah tempat kami duduk. Pagar itu tampak seperti yang ada di rumah-rumah dalam sinetron yang sering di tonton Ibu.


 

Baru saja hendak bertanya, sebuah suara menggelegar terdengar dari atas tangga.


 

"Berhenti disitu, Diaz! Ardiaz! Atau ku coret kau dari daftar kartu keluarga!"


 

Aku tersentak kaget, sementara Lea hanya geleng-geleng kepala. Dari atas tangga, seorang pemuda sebaya kami berlari dengan kecepatan cheetah. Sementara di belakangnya, seorang lelaki tegap memakai setelan jas resmi, berlari mengejar. Dia meloloskan dasi yang dipakainya dan berlari lebih cepat, melompati dua anak tangga sekaligus dan langsung menarik lengan lelaki yang lebih muda dan menguncinya ke belakang. Mereka lalu berhenti mendadak saat menyadari kehadiran kami. Dua pasang mata, hitam dan tajam memandang Kiara, lalu beralih padaku. Tatapan itu mengunciku, membuatku bahkan tak mampu tersenyum.


 

Aku gemetar memandang mereka. Seketika itu juga aku ingin membatalkan pekerjaan ini. Tapi suara Lea sudah mendahului.


 

"Hey, Bang Zaid. Aku datang bawa guru les baru buat Diaz!" 



 

***







 


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya JANGAN AJARI AKU KATA SABAR (1-10) FREE
1
0
Jangan ajari aku kata sabar, jika selama 5 tahun lamanya aku telah merawat anak hasil perselingkuhanmu.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan