PACAR ABANGKU SAKIT JIWA (1-10) GRATIS

0
0
Deskripsi

Pacar abangku emang freak! Dia meniru semua tentang aku!

PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 




 

"Hah? Pinjem bajuku lagi?"


 

Aku melotot, menatap baju di tangan Abang yang hendak dimasukkannya ke dalam tas. Baju kesayanganku, oleh-oleh Papa dari Thailand. Sebuah dress oversize bergambar gajah, khas negeri gajah putih itu. Baju itu baru kupakai dua kali dan kini terancam berpindah tangan.


 

"Iya. Winda pengen baju ini. Kemarin dia lihat kamu pakai dan suka. Aku bawa dulu ya."


 

"Nggak boleh!" Aku merampas baju itu sekuat tenaga. "Enak aja. Kenapa pinjam sih? Kenapa nggak beli sendiri?"


 

"Ini kan nggak dijual disini, Em. Dan nggak ada pula yang sama."


 

"Kenapa emangnya harus sama?"


 

"Eh…" Abang tampak bingung. "Winda bilang…"


 

"Winda terus, Winda terus! Abang tahu nggak? Pacar Abang itu freak. Semua harus sama kayak aku, potongan rambut, make up, sepatu, tas, baju semua harus sama sama aku. Dia tu aneh. Mikir dong, Bang!"


 

"Emily!"


 

Aku terkejut mendengar Abang membentakku.


 

"Jangan ngomong yang nggak nggak tentang Winda. Dia itu gadis baik-baik." 


 

Nada suaranya menurun melihatku terkejut dan suruh ke belakang. Aku melengos, memegang bajuku erat-erat.


 

"Baik apanya kalau tukang ngembat barang orang. Semua barangku yang dia pinjam nggak pernah pulang."


 

"Ya emangnya kamu mau pakai baju bekas dia."


 

"Oh, berarti yang ini pun kalau aku pinjemin nggak bakalan balik kan? Pokoknya nggak!"


 

"Kamu udah puas pakainya Em."


 

"Puas apanya? Baju ini ku sayang-sayang. Abang tahu kan ini oleh-oleh Papa yang terakhir?"


 

Suaraku langsung bergetar. Apa yang baru saja ku katakan memang benar. Sepulang dari Thailand, sebulan kemudian Papa terkena serangan jantung dan pergi untuk selamanya. Benda terakhir pemberiannya, yang beliau pilihkan  sendiri untukku, kujaga baik-baik, selamanya akan kusimpan sebagai kenangan. Dan kini, Abang seenaknya hendak memberikannya pada pacarnya yang ajaib itu.


 

Abang terdiam melihatku mau menangis. Kudorong punggungnya agar keluar dari kamar, lalu kubanting pintu hingga tertutup. Usai menguncinya, aku merebahkan tubuhku di atas kasur. Lelah dan kesal. Tak kupedulikan suara Abang yang masih berteriak membujukku.


 

Astaga. Abangku yang bucin. Entah sampai kapan Winda akan menjadi duri dalam hidupku. Aku sampai ngeri membayangkan dia jadi iparku kelak.


 

"Kenapa, Ga?"


 

Suara lembut Mama terdengar. Aku memasang telinga. Mama biasanya akan ikut membujukku agar mengabulkan permintaan anak kesayangannya itu. 


 

"Winda pengen bajunya Emily Ma, tapi nggak dikasih." Abang mengadu.


 

Mama terdiam sejenak. "Kamu belikan saja yang baru, Nak."


 

"Masa Arga mesti ke Thailand dulu, Ma."


 

"Oh, memangnya baju yang mana?"


 

"Dress putih dari Thailand itu."


 

Mama terdiam, lalu kudengar lagi suaranya.


 

"Ya kalau yang itu jangan, Ga. Kamu kan tahu itu kenangan terakhir dari Papa. Emi…"


 

"Ah, Mama sama saja dengan Emily. Bukannya bantu aku bujuk anak itu."


 

Aku menutup telinga, tak mau tahu ending percakapan mereka. Biasanya Mama akan luluh dan ikut membujukku, lalu aku harus merelakan barangku yang diinginkan Winda. Tapi kali ini tidak. Aku tak akan mengalah lagi.




 

***



 

Aku mengunci pintu kamar dengan tergesa-gesa. Pagi masih sangat muda. Seharusnya aku bisa bersantai karena jam masuk kantor tempatku bekerja adalah jam delapan pagi. Tapi sungguh, aku malas bertemu Bang Arga dan mendengar rengekannya lagi.


 

"Ma, aku berangkat duluan ya." Kuraih tangan Mama yang masih mengaduk nasi goreng. Aku menelan ludah melihat nasi goreng kambing kesukaanku itu. Aromanya sungguh menggoda. Tapi aku harus segera pergi sebelum Bang Arga keluar kamar dan menghancurkan moodku.


 

"Loh, kamu nggak sarapan? Ini masih jam enam."


 

"Ada meeting, Ma." Aku mencium tangan Mama, meminta maaf dalam hati karena berbohong. Setelah itu, aku berlari tergesa-gesa, mengeluarkan motor matic-ku dari garasi dan memakai sepatu.


 

"Em, bawa ini."


 

Mama muncul dan melainkan kotak bekal di meja. Aroma nasi goreng yang harum menguar dari sana. Aku memandang Mama haru. Mama rupanya masih ingat bagaimana candunya aku pada makanan itu.


 

"Makasih Ma."


 

Mama tersenyum. Tapi kata-katanya kemudian membuatku tertegun.


 

"Baju itu, yang mau dipinjam Winda, kasihlah, Nak. Kasian Abangmu."


 

Aku urung memutar kontak motor, memandang Mama dengan mata mengembun.


 

"Nggak. Cukup selama ini aku mengalah. Mama tahu apa arti baju itu bagiku."


 

"Itu cuma baju, Nak."


 

Aku memandang Mama kecewa.


 

"Cuma? Aku nggak nyangka Mama ngomong kayak gini. Papa pasti akan sedih sekali."


 

Aku tak menunggu reaksi Mama. Dengan perasaan sedih, aku naik ke motor dan segera pergi. Aku bahkan melupakan kotak bekalku, tertinggal di atas meja teras. Kutahan air mataku agar tak jatuh sepanjang perjalanan. 


 

Winda Shabira, gadis yang telah setahun menjadi kekasih Bang Arga, kerap memancing emosiku. Sejak pertama sekali dia datang dan diperkenalkan pada kami - aku dan Mama - dia sudah membuatku kesal dengan bertanya segala macam. Potongan rambut, make up sampai pembalut apa yang kupakai. Dan aku tercengang ketika minggu berikutnya dia dibawa lagi ke rumah oleh Bang Arga, dandanannya persis sekali aku. Aku masih berpikir positif, mungkin selama ini dia belum menemukan model rambut yang cocok. Tapi ketika dia datang lagi keesokan harinya, aku makin kaget. Sepintas, dia sangat mirip aku. Dan semakin lama semakin tampak jelas kalau dia mencoba meniruku. Aku pakai rok ini, besoknya dia aplod foto pakai rok yang sama. Aku pakai tas baru, tak lama, Abang sibuk beli juga untuknya. Fix, Winda sakit jiwa, dan parahnya, Bang Arga bucin sama dia.


 

Mood-ku memburuk seharian. Beberapa kali juga aku membuat kesalahan. Untung saja, Pak Arfan, si bos jutek tak datang hari ini. Bisa-bisa kena SP aku, plus omelannya yang menyakitkan telinga. Raina yang duduk di sebelah mejaku berulang kali memelototi, memberi peringatan supaya aku fokus.


 

"Apa lagi?" Bisiknya. "Winda lagi?" 


 

Aku memutar bola mata. Raina cekikikan meski diam-diam. Dia sahabatku, tempat curhatku.


 

"Plis-lah Na, aku lebih suka kamu jadi Kakak iparku."


 

Raina makin ngakak. Masalahnya dia sendiri sudah punya pacar.


 

Aku pulang dengan lesu, terlebih ketika kulihat sepatu Winda ada di depan pintu. Dia ada di dalam, dan entah apa lagi ulahnya kali ini.


 

"Emiii… makasih sayang. Bajunya pas banget sama aku."


 

Winda menubrukku, memeluk hingga aku berasa risih. Aku tertegun melihat penampilannya. Dress putihku! Padahal aku sudah menaruhnya di lemari, dan lemariku sudah pula dikunci. Jadi…


 

Aku berlari ke kamar, dan terpana mendapati lemari bajuku sudah dibongkar pintunya.


 

"Abaaaaangggg!"




 

***




PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 2




 

"Abaaaaanngg!"


 

Aku berlari menuju ruang tengah, tempat semua orang berkumpul. Emosiku sudah naik ke ubun-ubun. Bisa-bisanya Bang Arga berbuat kriminal demi memenuhi kemauan cewek freak-nya itu. Dan Mama? Oh, tega sekali Mama membiarkan kejahatan terjadi di rumah ini.


 

Di ruang tengah, demi mendengar teriakanku, rupanya Winda langsung mencari perlindungan. Dia bersembunyi di belakang badan Abang, sementara Mama tampak mengelus dada mendengar suaraku.


 

"Buka bajuku! Buka!"


 

Suaraku naik lima oktaf. Aku menghampiri Abang, yang terang-terangan melindungi pacarnya itu. Sementara dari balik bahu Bang Arga, Winda meringis melihatku.


 

"Kesini kamu Mbak! Kembalikan bajuku!"


 

"Hei hei jangan gitu dong Em. Kasihan Winda nggak salah apa-apa."


 

"Nggak salah apa-apa? Dia sudah mencuri bajuku!"


 

"Bukan Winda yang ngambil dari lemari, itu Abang."


 

"Kalau begitu kalian berdua harus masuk penjara, kecuali bajuku kembali!"


 

Aku benar-benar kalap. Sambil bicara aku memutari tubuh Bang Arga, berusaha menjangkau bajuku yang dipakai Winda. Sementara Bang Arga nggak mau kalah, dia juga ikut berputar, menghindari kekasih freak nya itu agar jangan sampai kena olehku.


 

Aku berhenti mendadak. Lelah rasanya. Tenaga Bang Arga jelas lebih kuat. Tangannya terus menangkis tanganku yang hendak menarik bagian tubuh Winda yang terjangkau olehku. Baju, rambut, apa saja. Tapi karena Bang Arga, aku hanya menangkap angin.


 

Melihatku berhenti, kedua makhluk bucin itu juga ikut berhenti bergerak. Sementara kudengar desahan lega Mama. Mungkin mereka pikir aku akhirnya menyerah. Oh, No…


 

Selagi mereka melihatku dengan bingung, aku melompat ke belakang Bang Arga dan menarik lengan Winda sekuat tenaga.


 

"Aduuhh, sakit Bang. Tolong aku, Ma…"


 

Suaranya yang manja benar-benar membuatku muak. Aku masih mencengkram lengannya, berusaha menarik baju itu lepas dari atas kepalanya.


 

"Emilyyy… sudah dong. Itu hanya baju. Nanti Abang beliin lagi yang baru."


 

"Kalau gitu dia aja yang Abang beliin. Aku mau yang ini."


 

"Bang… tolong Bang."


 

"Emiii, nanti Winda telanjang! Malu, Nak."


 

Kali ini, Mama yang berseru. Aku menoleh sejenak dan mendelik. Rasanya sakit hati sekali melihat Mamaku sendiri lebih membela anak orang lain.


 

"Terserah, aku nggak peduli!"


 

"Ga, jangan liat! Jangan liat!"


 

Baju itu akhirnya berhasil melewati kepala si gadis freak. Mama berlari, sibuk menutupi mata Arga karena kini Winda cuma mengenakan pakaian dalam saja selain celana jeans yang dipakainya. Dia sibuk menutup dadanya dengan sling bag yang cuma muat ponsel dan duit, sementara aku berlari ke kamar, menarik sembarang kaus dari dalam lemari dan melemparkannya pada Winda.


 

"Awas kalau kamu ambil bajuku lagi!" 


 

Aku memelototinya, sementara gadis itu meraih baju yang ku lemparkan sambil menangis. Setelah memakai kaus, dia berlari memeluk Bang Arga dan Mama. Mereka berdua lalu sibuk mengusap-usap dan menenangkan Winda. Gila, ini yang anaknya aku atau dia sih?


 

"Jahat banget kamu, Em. Kamu kayak bukan adik Abang."


 

Suara Bang Arga justru semakin membuat emosiku memuncak.


 

"Abang yang kayak bukan Abangku. Sejak kenal cewek itu, Abang berubah. Dan parahnya lagi, Mama juga!"


 

"Emi…"


 

"Kalian tahu kan apa arti baju ini bagiku?" Aku memeluk baju putih itu, memberi kekuatan pada diriku sendiri karena aku sadar suaraku mulai bergetar. "Atau mungkin, Mama dan Bang Arga sudah benar-benar melupakan Papa."


 

"Emily, bukan gitu sayang…"


 

Mama melangkah mendekat, hendak memelukku. Namun aku lebih dulu berlari ke kamar, mengunci pintunya. Ku banting tubuh di atas kasur, menatap seisi kamar masih sambil memeluk baju kesayanganku, lalu berhenti pada pintu lemariku yang rusak dicongkel Bang Arga. Masih ku ingat bagaimana Mama dan Bang Arga memeluk Winda, mengabaikan aku dan hatiku yang sakit. Tanpa sadar, aku menangis, hatiku nelangsa karena merasa sendiri.




 

***



 

Usai sholat maghrib, aku mulai mengemas pakaianku ke dalam ransel. Sudah kuputuskan untuk pergi. Tinggal di sini, nyaris setiap hari melihat tingkah Winda dan Bang Arga membuatku mulai meragukan kewarasanku. 


 

"Loh, kamu mau kemana?"


 

Mama mencegahku. Beliau masih mengenakan mukena, seperti biasa membaca Al-Quran di ruang keluarga, sementara dua mahluk super bucin dari planet lain itu tak terlihat di manapun. Mungkin Bang Arga sedang mengantarnya pulang. Aku berhenti sejenak. Meski kesal, aku tak mungkin mengabaikan Mama.


 

"Aku mau ngekost aja, Ma. Rumah ini sudah nggak sehat."


 

"Loh… loh… kok kayak gitu?"


 

"Aku nggak tahan, hampir setiap hari Winda kesini dan bikin aku darah tinggi. Lama-lama aku bisa kena stroke."


 

Mama menutup Al-Quran dan melepas kacamata bacanya, lalu menyuruhku duduk di sisinya. Aku mendesah, siap mendengarkan legenda tentang bagaimana Mama tak pernah bisa menolak semua keinginan Bang Arga.


 

"Kamu tahu kan? Abangmu…"


 

"Iya iya, aku tahu. Abang pernah kena step dan hampir mati pas usia tiga tahun. Makanya Mama takut sekali kalau dia sakit lagi." Aku memotong kalimat Mama, "Ma, yang kena step itu anak kecil. Bang Arga sudah dua puluh empat tahun!"


 

"Tapi Em, Mama nggak tega lihat Abangmu melas gitu?"


 

"Jadi Mama lebih tega sama aku? Gitu? Ya udah aku pergi. Kan Mama cuma butuh Bang Arga."


 

Aku berdiri, tapi Mama menarik tanganku hingga aku terduduk lagi.


 

"Oke, Mama janji. Ini yang terakhir. Besok-besok Mama akan bersikap tegas sama Arga dan Winda."


 

Aku meneliti wajah Mama, "Beneran janji?"


 

"Eh…" Mama salah tingkah. " Ya iyalah. Ayolah, Nak. Kalau kamu pergi, siapa nanti yang nemanin Mama? Siapa yang olesin minyak aroma terapi ke punggung Mama? Abangmu jarang di rumah…"


 

Aku mendesah. Melepas ransel dari punggung dan menaruhnya di lantai. Selalu seperti ini, aku akan kalah oleh rayuan pulau kelapa yang Mama lontarkan. Baru saja selesai negosiasi di antara kami, suara mobil Bang Arga yang menggerung dengan keras terdengar dari halaman. Aku dan Mama sama-sama terkejut. Lebih-lebih saat Bang Arga masuk dengan wajah kusut.


 

"Gara-gara kamu Winda minta putus!" Dia menatapku marah.


 

Hah?


 

Sesaat, aku dan Mama saling pandang. Lalu tanpa sadar aku teriak.


 

"Yeaaayyy… horeee. Syukur Alhamdulillah ya Allah.".


 

"Emilyyyy!"


 

Suara Bang Arga yang menggelegar membuatku berhenti bersorak. Aku langsung menyambar ransel dan masuk ke dalam kamar. Biarlah, ada Mama. Mama kan pawangnya Abang.




 

***


 

PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 3




 

"Sudahlah, Ga. Masih banyak gadis lain. Nanti Mama kenalin sama anaknya Tante Ria, cantik deh. Kamu pasti suka."


 

"Nggak Ma. Aku cuma mau Winda. Aku sudah terlanjur cinta sama dia."


 

Huekk… rasanya aku mau mu-ntah. Namun ku teruskan menguping pembicaraan Mama dan Bang Arga. Lebih tepatnya, bujukan Mama pada Bang Arga.


 

"Kalau gitu, biarkan aja dulu jeda beberapa bulan atau berapa tahun ya Ga. Nggak usah ketemu dulu. Siapa tahu kalian akan lebih baik setelah ini."


 

Berapa tahun? Hahaha… Aku rasa Mama memang nggak suka juga sama si Winda, hanya Mama nggak berani membantah anak kesayangannya itu secara langsung. Ah, seandainya aja masih ada Papa.


 

"Arga nggak sanggup Ma. Lagian Emily kenapa jadi pelit gitu sih?"


 

"Pelit apanya, Nak. Sudah berapa banyak coba barang dia yang kamu ambil untuk Winda. Baju, tas, sepatu. Adikmu juga punya batas kesabaran. Dan kali ini, emm, Winda memang agak keterlaluan."


 

Suara Mama jelas ragu. Mama sangat takut membuat anak kesayangannya tersinggung. Hih.


 

"Terus kalau dia akhirnya malah kecantol cowok lain gimana, Ma?"


 

Ya bagus dong! Seruku. Tapi sayangnya cuma dalam hati.


 

"Ya kamu tinggal cari cewek lain, Ga." Mama tertawa kecil.


 

"Ah, Mama… aku nggak mau. Aku cuma mau sama Winda. Biar Arga lamar aja gimana?"


 

What? Apa? Aku langsung merinding membayangkan dia jadi iparku. Masih pacar aja kelakuannya nyebelin setengah mati. Gimana kalu udah nikah? Fix, aku nggak akan membiarkan Abangku menikahi gadis sakit jiwa itu.


 

"Eehh.. Ehh.. Jangan dulu, Ga. Mama belum punya persiapan."


 

Mama mencari alasan? Atau memang begitu kenyataannya? Kalau Mama benar-benar mengizinkan Bang Arga melamar Winda, berarti bukan hanya Bang Arga yang otaknya tak sehat.


 

Astaghfirullah. Tuh kan, aku jadi mengumpat Mamaku sendiri. Sial*n memang si Winda. Dia bisa dengan mudah memisahkan hubungan adik kakak yang dulunya harmonis.


 

Baiklah, sampai disini dulu nguping nya. Sepertinya tak ada yang penting penting banget. Aku hanya harus mempersiapkan banyak hal. Eh tapi apa benar dia minta putus? Kok rasanya aku nggak percaya ya?



 

***



 

Hubunganku dengan Bang Arga menjadi dingin. Pagi ini, kami bahkan tak bertegur sapa meski sarapan dalam satu meja. Mama yang tampak bingung melihat kedua anaknya saling mendiamkan, akhirnya memilih ikut diam. Hanya terdengar denting sendok beradu dengan piring. Sungguh, suasana kayak gini nih nggak enak banget. Dan ini semua gara-gara si Winda.


 

Suara ponsel Bang Arga yang dia letakkan di samping piringnya, akhirnya yang memecah kesunyian. Dia meraihnya, menatap layarnya sebentar, dan tak lama ku lihat dengan jelas bagaimana raut wajahnya berubah bahagia. Bang Arga bangkit dari kursinya sambil menempelkan ponsel di telinga.


 

"Halo Win?"


 

Aku terbelalak. Win? Winda? Astaga. Katanya minta putus.


 

"Nggak mungkin mereka putus semudah itu."


 

Aku menoleh mendapati suara Mama yang lesu. Akhirnya, Mama menyuarakan juga isi hatinya.


 

"Abang kayaknya perlu di ruqiyah deh, Ma. Dia sudah nggak wajar. Gaya pacarannya nggak sehat. Gimana kalau tiba-tiba si Winda hamil?"


 

Mama langsung memukul tanganku.


 

"Jangan mikir aneh-aneh. Gitu-gitu juga Abangmu masih waras, dia masih sholat dan ngaji. Nggak akan merusak anak gadis orang."


 

Aku meringis.


 

"Anak itu udah sakit duluan, Ma. Sakit jiwa."


 

"Emi…"


 

"Mama nih aneh. Nggak mau Abang terus sama Winda, tapi juga nggak ada usaha misahin mereka. Mumpung belum nikah, Ma. Mama bayangin deh punya menantu kayak dia. Kalau aku sih ogah. Kalo Abang sampai nikah beneran sama dia, aku bakalan pindah ke Amerika."


 

Aku bangkit dari kursi, membawa piring makan dan gelas ku yang sudah kosong. Piring Abang masih penuh. Punya Mama bahkan cuma diaduk-aduk. Ah, Winda bikin nafsu makan seisi rumah hilang.


 

Tengah aku mencuci piring bekasku tadi, Bang Arga masuk lagi ke dapur. Kali ini wajahnya cerah dan sambil bersiul-siul pula. Hemm, apalagi kalau bukan Winda? Yang bisa membuat mood-nya naik turun dengan cepat.


 

"Arga pulang agak telat ya, Ma. Mau kenalan dulu sama keluarga Winda."


 

"Hah? Uhukk… uhukk…"


 

Mama yang masih makan langsung keselek. Aku meletakkan piring yang kupegang dan cepat-cepat membantu Mama, menepuk punggungnya dengan lembut dan menuangkan segelas air. Setelah batuknya reda, Mama menatap Bang Arga nelangsa.


 

"Lah Ga. Katanya putus?"


 

"Nggak jadi. Winda mau balikan asal aku beliin dia dress putih yang mirip kemarin."


 

Sambil bicara begitu, Bang Arga mendelik padaku. Aku tak mau kalah, balas memelototinya.


 

"Bilang Winda, noh di kuburan, banyak dress putih. Ngapain Capek-capek nyari di mall. Apalagi sampe ke Thailand."


 

"Emiii…"




 

***



 

Kantor sudah sepi, maklum jam kerja sudah lewat satu jam. Aku terpaksa tertahan disini karena harus lembur. Sebagai karyawan baru, aku harus menurut apa kata supervisor, termasuk lembur. Ugghh, padahal mataku sudah perih, melotot di depan komputer sejak pagi.


 

Jam tujuh malam, akhirnya tugasku kelar juga. Usai meregangkan tubuh sejenak, aku bersiap untuk pulang. Kuraih laci meja, hendak mengambil kunci motor. Tapi, loh… kok nggak ada?


 

Aku panik. Mana sudah nggak ada orang lagi. Dengan langkah tergesa-gesa aku menuruni tangga dan berlari ke parkiran. Kadang, aku lupa nyabut kunci motor. Benar saja. Dan sialnya, kuncinya tertinggal dalam keadaan motor masih menyala. Aku mencoba menstaternya. Nggak bisa tentu saja. Akinya tekor.


 

Aku memutar kepala, sepi banget. Mana suasana remang-remang lagi. Kok jadi seram gini? Dari kejauhan, kulihat pak Satpam sedang merokok. Hanya terlihat baju putih seragamnya dan ujung rokok yang merah membara. Lah, malah tambah seram. Seperti…


 

"Emily?"


 

Seseorang menyentuh bahuku, aku menoleh dan refleks menjerit.


 

"Huaaaaaa…"



 

***



PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 4




 

"Huaaaaa!!"


 

Aku menjerit, refleks mengangkat kaki, hendak berlari menuju jalan raya. Tapi ya Tuhan, kakiku tak bisa digerakkan. Ada apa ini? Aku menoleh ke bawah, hendak melihat kakiku. Eh, kakiku bergerak dong. Cuma nggak bisa diajak melangkah aja. Tapi ini apa? Kenapa punggungku terasa berat sekali? Seperti ada yang menggandul di sana?


 

"Pak Satpam tolooong! Mama tolonggg! Ya Allah tolong ya Allah! Emi belum kawin…"


 

Plak!


 

Bahuku dipukul, dan sebuah suara familiar terdengar di telinga.


 

"Nengok sini!"


 

Aku memutar kepala. Sosok yang tadi membuatku histeris itu membuka jaket hoodie hitam yang menutupi kepala, dan juga membuka masker hitamnya. Di bawah sinar lampu remang-remang, wajah ganteng bukan kepalang Pak Arfan, si bos jutek terpampang nyata, melotot ke arahku.


 

"Emang kamu pikir saya setan?"


 

Aku menggeleng.


 

"Bukan, Pak. Saya pikir Bapak pembu-nuh  berantai."


 

Dia menggelengkan kepala, lalu tanpa kata-kata melangkah menuju motorku, mencoba menghidupkannya. Meski sudah diengkol, ternyata tetap nggak bisa. Jelas aja. Nyaris sepuluh jam motorku hidup. 


 

"Dasar pelupa. Tapi kalau belum kawin aja inget kamu."


 

Aku meringis, memperhatikan bosku yang tampan itu melangkah ke mobilnya. Astaga aku sampai tak melihat kalau Innova reborn abu-abu itu parkir tak jauh dariku. Saking paniknya aku teringat motor itu. Dan kini, dia melenggang dengan santai, tanpa mengajakku ikut serta. Ih dasar jutek, nggak nawarin aku untuk ikut. Dia kayaknya tipe yang masa bodo, nggak takut apa cewek cantik begini diculik kalau naik angkutan umum malam-malam?


 

Kesal, aku mencabut kunci motor dan melangkah pergi. Nyaris berlari menuju pos satpam.


 

"Pak Ahmad, titip motor ya. Mogok?"


 

Lelaki setengah baya itu mencabut rokok dari bibirnya.


 

"Yah kok nggak bilang dari tadi Neng kalau butuh bantuan?"


 

"Huu… telat. Lagian nggak bisa diapa-apain lagi. Besok aku beliin aki baru. Tolong pasangin ya Pak."


 

"Siap, Neng."


 

Aku melangkah menuju halte bis yang tak jauh dari kantor, sambil memencet ponsel memesan ojol. Kayaknya lebih aman naik ojol dari pada naik bis atau angkot. Huhu, sial banget sih aku. Seketika aku teringat pada Bang Arga. Kalau cewek cewek lain mengalami hal kayak aku, mereka selalu punya dua pilihan : telepon pacar atau telepon Abang, minta jemput. Aku? Pacaran aja belum pernah, kecuali sekedar naksir-naksiran. Punya Abang satupun tak bisa diandalkan. Ya Allah nasib…


 

Tiinnn…!


 

Aku melompat kaget ketika mendengar suara klakson mobil yang terlalu dekat di belakangku. Rupanya si bos jutek. Dia membuka kaca mobilnya.


 

"Naik!"


 

Ha? Aku menggeleng. Gengsi, sekaligus grogi.


 

"Saya naik ojek aja, Pak."


 

Dia mendecak kesal. "Mau nunggu ojek dimana? Liat tuh halte isinya cowok semua. Pengen ketemu pembu-nuh berantai?"


 

Aku mengamati halte yang masih ramai. Dan memang benar, isinya cowok-cowok semua. Ngeri juga rasanya.


 

"Saya itung sampai tiga, kalau nggak mau saya tinggal, satu…"


 

Aku melompat, menarik handle pintu belakang. Pak Arfan melotot lagi. Astaga ini bos…


 

"Ngapain di belakang? Emang saya sopir kamu?"


 

Dia membuka pintu sisi kiri. Aku menelan ludah sesaat. Tak punya pilihan, aku melompat naik, takut di tinggal. Aroma musk yang segar menyambut ku, bersama alunan lagu romantis.


 

Beutiful girl…


 

Wherever you are…


 


 

Aih, seleranya jadul banget. Hahaha…


 

"Ngapain mesem-mesem? Udah bikin repot orang malah ketawa. Cepat kasih tahu alamatmu."


 

Dih, ini orang nggak bisa lembut dikit apa ya? Nggak punya selera humor. Freak.


 

"Grand Mutiara Estate Pak. Blok H nomor sembilan belas."


 

Dia tak menjawab, menambah kecepatan dan mobil menderu halus membelah udara malam. Lama kelamaan, lagu itu terasa enak di telingaku. Sepanjang jalan, Pak Arfan sama sekali tak bicara. Tapi herannya, setengah jam perjalanan terasa sangat singkat, mungkin karena mobil yang nyaman, dan terutama karena duduk di sebelah lelaki tampan sedunia ini adalah kesempatan langka. Aku sampai tak berani melirik, takut disemprot. Berulang kali aku harus menekap dada, takut kalau-kalau detak jantung ku terdengar olehnya.


 

"Berhenti sini aja, Pak. Nggak mau mampir kan?"


 

Astaga. Ini mulut!


 

Pak Arfan nyengir melihatku, tapi tak bicara apa-apa. Aku membuka pintu, lalu melompat turun. Baru menginjakkan kaki di halaman, wajah Winda muncul. Tanpa dosa, dia melambaikan tangan padaku dengan riang.


 

"Emily!"


 

Aku menoleh, melihat Pak Arfan berjalan dengan cepat menghampiri.


 

"Ponselmu ketinggalan."


 

Dia mengulurkan ponselku. 


 

"Terima kasih Pak."


 

Pak Arfan mengangguk. Sekilas, tampak dia tersenyum, membuat debaran jantungku yang tadi sudah mereda kembali berdetak kencang. Kutunggu hingga dia masuk mobil dan mobil itu meluncur meninggalkan rumah. Membayangkan aku tadi hanya berdua dengan lelaki idaman di kantor, membuatku tersenyum sendiri.


 

Oh may. Andai saja…


 

"Cowok kamu ya, Em? Ganteng banget."


 

Aku menoleh, senyumku lenyap mendadak melihat wajah Winda sangat dekat di punggungku. 


 

"Katanya minta putus sama Bang Arga, kok nggak jadi?"


 

Winda tertawa kecil. Ekspresinya tersipu-sipu.


 

"Kata Bang Arga, dia mau beliin aku baju yang asli kalau ke Thailand. Jadi yang KW dulu nggak apa-apa."


 

Dia berputar, memamerkan baju barunya. Dress putih yang sepintas mirip punyaku. Aku mende-sah. Sudah kuduga, tak akan semudah itu menyingkirkan cewek freak ini dari rumahku.


 

"Udah malam, pulang sono. Nggak baik cewek main di rumah cowok sampai malam."


 

Aku berkata begitu sambil melangkah masuk. Di ruang tengah, Mama sedang ngobrol dengan Bang Arga.


 

"Ma, Emily pulang dianter cowok loh. Ganteng banget."


 

Aku mendelik. Dasar lancang. 


 

"Kamu udah punya pacar Em?" Yang bertanya malah Bang Arga. Tapi aku tahu Mama jelas menunggu jawabanku.


 

"Pacar apaan? Dia bos aku. Motorku mogok. Akinya tekor."


 

Mama mendesah. "Pasti lupa nyabut kunci lagi."


 

Aku meringis. Kejadian ini memang bukan yang pertama. Aku melangkah menuju kamar, hendak mandi dan makan malam. Perutku lapar sekali. Namun langkahku terhenti ketika bisikan Winda terdengar. 


 

"Emi, kenalin aku sama Bos kamu dong."


 

Aku menoleh. Winda tersenyum kecil dengan raut wajah tanpa dosa. Heh, dasar. Baru juga mau punya gebetan, dia udah mau nyamber aja. Ya, ngegebet bos sendiri sah sah saja kan?


 

"Tapi jangan bilang-bilang Bang Arga ya."


 

Di ruang tengah, Mama dan Bang Arga mengobrol entah apa. Abangku yang bucin itu tampak bahagia. Dia tak tahu, pacarnya baru saja menanyakan cowok lain.


 

Sebuah ide tiba-tiba saja melintas di kepalaku.


 

"Abaaaannggg! Denger nih pacar kamu!"




 

***


PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 5



 

"Abang! Liat nih kelakuan pacarmu, masa dia minta dikenalin sama Bosku tadi."


 

Kupikir Abang akan marah, nyatanya dia malah tertawa. Dan di mataku kini, bukan hanya Winda yang sakit jiwa, tapi Abangku juga.


 

"Ya nggak pa-pa. Emang kenapa? Winda kan sebentar lagi wisuda, dia mungkin mau cari lowongan kerja. Iya kan?"


 

What?


 

Aku dan Mama saling lirik mendengar kata-kata Abang yang penuh pembelaan. Sementara si biang masalah senyum-senyum, sok imut banget.


 

"Iya Bang, aku pengen kerja tempat Emily. Kayaknya enak banget deh, bosnya baik. Karyawan biasa aja dianter pulang. Padahal Emi kan nggak cantik-cantik banget ya."


 

Dih!


 

"Nggak cantik tapi tiap saat lo niru gue. Dasar edan!"


 

"Emi…" Mama menegurku, melotot mendengarku mengeluarkan kata-kata kasar. 


 

Aku kembali menatap Winda.


 

"Jangan coba-coba ngelamar kerja tempat gue. Disana nggak terima cewek freak. Lagian, emang yakin bakalan wisuda? Skripsi aja setahun nggak kelar-kelar."


 

Winda setingkat denganku, satu kampus, beda fakultas. Kami dua tingkat dibawah Bang Arga. Harusnya dia lulus dan wisuda tahun lalu. Tapi entah kenapa, dia nggak lulus lulus juga. Yang skripsi ditolaklah, dosen pembimbing cuti lahiran lah. Alasannya semakin lama semakin nggak masuk akal. Aku curiga itu cuma alasan aja. Dulu, aku nyaris tak pernah melihatnya keliaran di kampus. Jangan-jangan sebetulnya dia sudah di DO.


 

Baru saja aku hendak masuk ke kamar, kudengar ponsel Winda berbunyi. Dia meraih ponselnya dari sling bag yang dia letakkan di kursi.


 

"Halo?"


 


 

"Oh iya, iya… sudah mau sampai ya Pak? Kenapa? Oh nggak apa-apa. Belum terlalu malam kok. Saya pulang sekarang. Terima kasih."


 

Suaranya lembut mendayu-dayu, manis manja bikin mual. Entah kalau laki-laki yang dengar, mungkin malah termehek-mehek.


 

"Ayo, Bang. Motorku udah di jalan."


 

Aku mengerutkan kening. Motor? Kayak dia bisa naik motor aja. Kemana-mana abangku yang jadi tukang ojek, eh sopir.


 

Winda pamit pada Mama, lalu menoleh padaku.


 

"Aku mau belajar motor, Em. Biar bisa mandiri kayak kamu. Benar kan motormu beat street ya?"


 

"Kenapa? Kamu ikut-ikutan lagi ya?"


 

Winda cuma nyengir. Dia lalu menarik tangan Abangku, membawanya pergi. Tak lama suara mobil Abang pergi dari rumah terdengar.


 

"Astaga Mama. Mama kok diam aja sih? Itu motor Abang yang beliin bukan?"


 

Mama mende-sah. 


 

"Kayaknya iya."


 

"Ya ampun, Ma. Emang mereka serius mau nikah ya? Aku nggak bisa bayangin dia jadi menantu Mama. Bisa-bisa Abang nggak ingat lagi sama kita. Liat deh baru jadi pacar aja gayanya selangit. Abang tuh udah kayak kerbau di cucuk hidungnya."


 

Mama malah menatapku nelangsa.


 

"Ya terus gimana?"


 

"Ruqiyah Ma, Ruqiyah. Abang itu kena guna-guna."


 

"Ah, Mama nggak percaya gituan. Winda itu gadis modern, nggak bakalan main dukun."


 

"Ma, artis yang pergi ke dukun aja banyak kok. Apalagi cuma model si Winda gitu."


 

"Huss, jangan ghibah. Sana mandi. Bau asem."


 

Aku meleletkan lidah, segera masuk ke dalam kamar. Diam-diam, aku membaui tubuhku sendiri. Masa sih bau asem? Duh, jangan sampai dong. Kan aku baru ketemu Pak Arfan. Bisa hilang pesonaku kalau sampe bau asem di depan dia.


 

Pak Arfan. Hemm, Kira-kira, dia sekarang lagi ngapain ya? Mungkin nggak sih sedang terbayang-bayang kebersamaan tadi?


 

Plak!


 

Aku memukul kepalaku sendiri karena terlalu banyak ngelantur. Segera kuletakkan tas dan masuk ke kamar mandi. Malam begini, rasanya segar sekali diguyur shower air hangat. Tapi, ketika aku hendak mengambil shampo, loh kok nggak ada? Perasaan tadi pagi masih ada. Isinya masih penuh karena baru dibuka. Dan, rasanya isi kamar mandiku berubah. Seperti ada yang aneh. Susunan sabun cair, sabun pencuci muka, lulur, obat kumur, odol dan lain-lain, rasanya tak seperti tadi pagi. Ah, ini pasti Bang Arga. Mungkin shampoku sudah pindah ke kamarnya. Setelah melilitkan jubah mandi ke badan, aku bergegas ke kamar Bang Arga.


 

"Eh, mau apa?"


 

Mama menahanku yang hendak membuka pintu kamar Bang Arga. Di rumah ini, pintu kamar memang tak pernah dikunci. Bukan karena tak ada privacy. Tapi bagi kami, tak ada rahasia yang perlu disembunyikan. Tapi itu dulu, sebelum Negara Api, alias Winda, menyerang.


 

Kamar Abang dikunci. 


 

"Mau cari shampoku. Baru dibuka, masa hilang."


 

"Oh, yang baru diantar kurir kemarin ya? Yang katanya kamu beli dari tik tok shop?"


 

"Iya."


 

"Eh, itu tadi dibawa Winda. Dia tadi numpang mandi di kamar kamu. Dan katanya dia suka aromanya."


 

"Hah? Trus Mama biarin?"


 

"Ya habisnya…"


 

Kelanjutan kalimat Mama sudah bisa ku tebak. Aku mengelus dada, berusaha menahan bara yang mulai bergejolak. Mama yang melihat ekspresi wajahku langsung masuk ke kamarnya sendiri. 


 

"Em, Mama buatin cumi cabe ijo tuh. Makan yang banyak ya Nak!" Serunya sebelum pintu tertutup.


 

Aku mengepalkan tangan. Winda benar-benar Alien yang berusaha menguasai rumah ini beserta isinya. Bisa-bisanya dia masuk kamarku, dan menjarah barang-barangku, lagi. Mulai besok, aku tak bisa lagi membiarkan kamarku ditinggal tanpa dikunci. Dan satu lagi, shampoku harus kembali. Itu shampo mahal, hikss.


 

(Bawa pulang lagi shampoku. Awas kalau nggak!)


 

Setelah mengirim pesan WA pada Bang Arga, aku kembali ke kamar mandi, melanjutkan acara mandi yang tertunda gara-gara… arrrggghhh… Winda lagi. Lagi lagi Winda.




 

***


PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 6




 

"Nih, shamponya. Diminta dikit aja, pelit banget."


 

Bang Arga meletakkan botol shampoku di meja makan ketika kami tengah sarapan keesokan harinya. Aku membuka tutup botol shampo, mendapati isinya yang tinggal setengah. Kutatap Abang tajam.


 

"Ini yang terakhir. Berani dia menyentuh barang-barangku, ku laporin dia ke polisi. Termasuk siapa saja yang mendukung pencuri itu beraksi."


 

Dapat kulihat dari sudut mata, Mama mengelus dada. Jujur saja, aku sangat kecewa pada Mama. Mama sama sekali tak menghargaiku, membiarkan  orang lain yang belum jadi siapa-siapa untuk masuk dan mengacak-acak kamar pribadiku. Untuk pindah dari sini seperti ancamanku tempo hari, aku tak sanggup. Papa menitipkan Mama padaku di hari-hari terakhir kepergiannya.


 

"Emi, Papa titip Mama ya. Papa takut sikap Mama yang terlalu memanjakan Abangmu itu nantinya malah jadi bumerang. Kalau Papa nggak ada, Papa lebih percaya kamu menjaga Mama daripada Abangmu."


 

Ucapan Papa memang terbukti.


 

Aku bangkit dari kursi tanpa menunggu jawaban Bang Arga. Setelah mencuci piring bekas makanku sendiri, aku segera berlalu ke kamar, mengambil tas lalu kembali lagi ke meja makan untuk mencium tangan Mama.


 

"Emi, ini masih pagi banget, Nak." Suara Mama merayu.


 

Aku cuma menatap Mama, tanpa senyum, lalu berjalan ke depan. Biarlah aku dianggap tak sopan, aku hanya ingin Mama tahu kalau kali ini aku benar-benar marah. Setelah mengunci pintu kamar, aku segera berangkat ke kantor. Sungguh, moodku rusak sejak semalam. Dan otakku terus berpikir bagaimana caranya menyingkirkan kutil itu dari hidupku.


 

Karena motorku masih mogok dan kutinggal di kantor, aku memesan ojek online. Untung sudah ada bengkel yang buka, bengkel yang sekaligus menjual kebutuhan untuk motor. Setelah membeli aki, aku kembali ke kantor. 


 

"Pak Ahmad, motorku aman kan?"


 

Pak Ahmad sedang siap-siap untuk pulang karena akan ganti shift. Wajah tua itu tetap tampak segar meski begadang semalaman. Definisi orang yang selalu bersyukur dan berusaha mencintai pekerjaannya.


 

"Aman, Neng. Mana akinya? Sini Bapak pasangin."


 

Aku mengulurkan plastik berisi aki baru ke tangan Pak Ahmad. Kami lalu jalan beriringan ke lahan parkir, dimana motorku teronggok menyedihkan. 


 

Pak Ahmad memasang aki motor dengan cekatan. Aku memperhatikan bagaimana caranya supaya besok-besok bisa melakukannya sendiri. Setelah aki terpasang, Pak Ahmad mengengkol motor sampai menyala lagi.


 

"Dipanasin agak lama dulu, Neng. Jangan lupa nanti kuncinya dicabut."


 

Aku nyengir. 


 

"Ini yang lama dipake nggak, Neng?"


 

Pak Ahmad mengangkat aki lama dan menunjukkannya padaku. Aku menggeleng.


 

"Bawa aja, Pak. Siapa tahu laku kalau dirongsokin. Terimakasih ya pak sudah dibantuin. Oh ya, ini untuk beli rokok ya, Pak."


 

"Wah, makasih, Neng." 


 

Pak Ahmad senang sekali menerima uang lima puluh ribu dariku. Sebagai karyawan baru, gajiku memang tidak besar. Tapi aku tak punya tanggungan. Selain untuk transport dan jajan, uangku masih sisa untuk ditabung setiap bulan. Mama bahkan kadang masih memberiku uang dari pensiunan Papa dan juga hasil toko kue nya.


 

Setelah kurasa cukup, aku mematikan mesin motor, mengunci dan mencabutnya. Kumasukkan kunci ke dalam tas. Masih pagi, baru enam tiga puluh. Jam kantor adalah jam delapan dan rata-rata karyawan memakai metode last minute, alias datang mepet waktu. Termasuk Raina.


 

'Eh, itu kan mobil semalam.'


 

Aku berhenti mendadak ketika menyadari mobil Pak Bos galak sudah parkir dengan anggunnya. Tanpa kuminta, jantungku langsung berdebar-debar. Ingat bahwa semalam aku duduk di sebelahnya sambil mendengar musik romantis. Aku melirik motorku, apa kubikin mogok lagi aja? Aah, gi-la.


 

Karyawan front office belum juga datang. Aku segera naik ke lantai dua, dimana mejaku berada bersama meja milik sepuluh karyawan lain, salah satunya adalah Riana. Baru saja hendak duduk, pintu ruangan bos terbuka. Aku mengangguk dan tersenyum.


 

"Pagi, Pak."


 

Kupikir tadinya dia akan balas tersenyum, bukankah semalam saat menyerahkan ponselku yang tertinggal, dia memberiku sebuah senyuman? Ternyata tidak. Kali ini, Pak Arfan hanya mengangguk. Wajahnya kaku seperti biasa, seolah-olah semalam tidak terjadi apa-apa di antara kami.


 

Astaga.


 

Aku menepuk jidatku sendiri. Memangnya semalam terjadi apa? Haduh, Em. Plis jangan ketularan gil-anya si Winda deh. Aku menatap punggung Pak Arfan yang turun ke lantai bawah, entah mau apa. Baiklah, dia memang bos jutek, galak dan sombong. Tak perlu merubah lagi julukan itu.




 

***




 

"Saya mau ketemu Boss disini, Mbak. Kata  adik saya ada lowongan."


 

Sebuah suara yang kukenal terdengar ketika aku hendak turun dari lantai atas di jam makan siang. Kutahan tangan Riana agar diam di tempat.


 

"Kenapa?"


 

"Ssstt… ada Winda."


 

"Heh? Ngapain dia kesini?"


 

Aku menggeleng, menajamkan telinga.


 

"Maaf, Mbak. Kami nggak lagi buka lowongan."


 

"Loh, kata adik saya…"


 

"Adik Mbak siapa namanya?"


 

"Emily."


 

Aku melotot, menatap Riana yang ikut melotot. Duh itu kutil kenapa sampai kesini? Belum puaskah dia merusak ketenanganku di dalam rumah?


 

"Oh, mungkin  Mbak Emily salah dengar. Tapi yang jelas disini nggak ada lowongan."


 

Suara Astri si petugas Front office jelas gemas dan kesal, tapi berusaha ditahannya.


 

"Ya sudah kalau begitu, biar saya ketemu bosnya mau tanya langsung."


 

"Maaf nggak bisa, Mbak. Boss nggak bisa ditemui kalau nggak buat janji dulu."


 

"Hufft… gimana sih? Udah capek-capek kesini. Panas terik lagi. Kalau gitu, saya mau ketemu Emily deh, dia di lantai atas kan?"


 

Winda menoleh ke tangga yang agak tersembunyi di sudut ruangan. Aku terkejut melihat kenekatan Winda. Refleks, aku berbalik hendak kabur kembali ke lantai atas. Namun tanpa kuduga, tubuhku membentur sesosok tubuh tegap yang entah sejak kapan berdiri di belakangku.


 

"Kyaaaaa…!"


 

Aku limbung dan nyaris jatuh, namun tangan lelaki itu dengan sigap menarikku hingga tubuhku membentur dadanya.


 

Oh May… mungkin ini yang namanya sengsara membawa nikmat.




 

***



 

PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 7




 

Winda rupanya mendengar teriakanku. Dia langsung hendak naik ke tangga kalau Astri tidak segera menghalangi.


 

"Emi! Emily! Yuhuuu… Emily!"


 

"Hei… orang luar dilarang masuk sembarangan!" 


 

Astri berdiri di anak tangga paling bawah sambil merentangkan tangan. Tanpa sadar aku langsung mendorong Pak Arfan keras-keras hingga kami menabrak dinding dengan posisi yang tak dapat kuceritakan. Amazing.


 

"Ngapain kamu dorong-dorong saya?"


 

Pak Arfan ganti mendorongku agar tak menempel di dadanya. Aku yang diserang kaget, dan takjub, rasanya tak mampu bergerak. Kaku. Seisi ruangan tiba-tiba terlihat kosong, tak ada meja dan kursi, apalagi orang lain. Hanya kami berdua.


 

"Riana, turun! Bilang sama Astri kita nggak ada lowongan. Kamu Emily, ikut ke ruangan saya."


 

Mati gue!


 

Dari wajahnya, aku bisa menebak apa yang akan kualami di dalam nanti. Lelaki itu mendahuluiku masuk ke ruangannya, sementara aku menoleh pada Riana yang hanya menggedikkan bahu.


 

"Semangat Emily!"


 

Dia langsung berlari turun, membantu Astri mengusir si penyusup yang ngeyelnya bikin pusing tujuh keliling.


 

Di dalam ruangan, Pak Arfan sudah duduk di mejanya. Aku masuk dengan dada berdebar. Siang yang terik tak terasa di ruangannya yang full AC. Tapi aku dapat melihat wajahnya yang memerah. Sepertinya Boss galak ini marah karena aku mendorongnya hingga menabrak tembok. Bahkan sekilas kudengar kepalanya ikut terbentur tadi. Selain itu tentu saja karena si biang masalah, Winda yang membawa-bawa namaku.


 

"Tutup pintunya!"


 

"Eh, jangan Pak. Kata Nenek saya lelaki dan perempuan nggak boleh berduaan aja di ruang tertutup, takutnya ada setan."


 

Pak Arfan tidak menjawab, hanya membelalakan mata. Herannya, orang ganteng mau kayak apa ekpresinya, tetap aja ganteng maksimal. Akhirnya aku menutup pintu di belakangku, dan berdiri di depan mejanya.


 

"Kamu tahu nggak kesalahanmu?"


 

Aku menggeleng. "Saya ndorong Bapak sampai kejedot." Aku menunduk.


 

"Yang kedua?"


 

Aku mengangkat kepala. "Salah saya cuma satu, Pak."


 

"Itu, kenapa kamu bilang kakakmu kalau disini ada lowongan?"


 

"Eh, siapa yang bilang? Lagian dia bukan kakak saya, Pak. Dia itu penyusup. Alien."


 

"Alien apa maksud kamu?"


 

"Dia kesin sebetulnya bukan mau cari kerja. Dia… emm… pengen kenalan sama Bapak."


 

Ah, kepalang tanggung. Dari pada aku disalahin kan? Mending bicara jujur dan apa adanya.


 

Di hadapanku, Pak Arfan kembali melotot.


 

"Yang benar kalau ngomong!"


 

Aku terkejut mendengar suaranya yang keras. Lelaki ini sepertinya juga sadar bahwa dia terlalu kasar. Yah, gini gini aku adalah wanita lembut dan santun loh. Kecuali kalau terpaksa.


 

"Duduk. Jelaskan!"


 

Tuh kan, Winda di manapun berada selalu saja menjadi masalah bagiku. Aku menghela nafas panjang, lalu duduk di kursi empuk yang ada di hadapannya.


 

"Jadi begini, dia itu pacarnya Abang saya. Tapi… emm, dia itu freak Pak. Agak sedikit psiko juga saya rasa. Saya kemanapun diikuti. Apapun yang saya pakai pasti dia mauin. Pokoknya, hidup saya sudah diobrak abrik sama dia. Saya nggak punya privacy, semua barang saya diincarnya. Termasuk… termasuk pas Bapak antar saya pulang kemarin. Dia kira, Bapak pacar saya."


 

Mengucapkan kalimat itu, rasa panas menjalar di pipiku. Aku yakin sekali, wajahku saat ini semerah kepiting rebus. Apalagi ketika lelaki es di depanku ini bukannya mengatakan sesuatu, malah menatapku tajam, meneliti wajahku dengan bibirnya yang kaku tanpa senyum.


 

Semenit, dua menit. Pak Arfan masih tak mengatakan apa-apa. Benar-benar membuatku salah tingkah.


 

"Pak…"


 

"Apa kamu mengakui saya sebagai pacar kamu?"


 

"Hah? Ya nggak lah, Pak. Mana berani saya."


 

"Kalau saya yang mengakui kamu sebagai pacar, bagaimana?"


 

Rasanya aku mau pingsan. Dadaku berhenti berdetak untuk beberapa detik dan mataku menatap wajah tampan itu tak berkedip.


 

Plok!


 

Pak Arfan menepuk meja di depannya. Dia lalu melipat kedua tangannya di atas meja dan mencondongkan wajah di depanku.


 

"Bagaimana kalau saya memberimu satu penawaran?"




 

***



 

Usai melipat sajadah setelah sholat maghrib, aku kembali duduk di mejaku. Kantor sudah kosong, tak ada satupun orang. Aku sengaja berlama-lama di kantor karena malas pulang dan bertemu Mama juga Bang Arga. Bagiku, rasanya aku ini bukan lagi bagian dari keluarga mereka. Seakan-akan Winda lebih berharga dari pada aku. Memikirkan hal itu, hatiku diliputi rasa sedih. Aku menelungkupkan kepala, menyembunyikan mataku yang terasa panas dan siap menumpahkan lahar. Meski tak ada orang disini, tetap saja aku malu jika ada yang melihatku menangis.


 

Apa kuterima saja ya tawaran Pak Arfan tadi siang?


 

"Saya menawarkan hubungan simbiosis mutualisme padamu. Saya akan menjauhkan pacar Abangmu itu dari keluargamu. Sebagai gantinya, ikut saya dalam pertemuan makan malam keluarga saya minggu depan. Tugas kamu cuma satu : Pura-pura jadi pacar saya."


 

Hah? Aku melongo sesaat. Meski dia ganteng setengah mati dan idola semua orang, aku nggak pernah kepingin punya pacar yang usianya jauh di atasku.


 

"Usia Bapak berapa?"


 

"Kenapa tanya-tanya? Penting?"


 

"Penting lah. Saya nggak mau dikira cewek simpanan om-om."


 

Pak Arfan menggeram.


 

"Keluar sana!"


 

Loh, salahku apa sih? 


 

"Asal kamu tahu ya, saya baru dua puluh sembilan. Tapi penawaran saya tadi batal. Keluar sana. Masih untung nggak saya pecat kamu."


 

Dan aku langsung lari terbirit-birit. Sepanjang sisa hari itu, moodku terus memburuk. Aku bahkan  lupa makan siang. Semua ini diawali oleh kedatangan Winda ke kantor ini. Dia benar-benar biang masalah yang dengan mudahnya mengacak-acak hidupku. Dan sementara aku disini sendirian, kelaparan karena belum makan sejak siang, di rumahku, mungkin Winda sedang duduk di kursi makan dan tertawa menikmati masakan Mama dan perhatian dari Bang Arga.


 

Hikss… akhirnya air mataku benar-benar tumpah.


 


 

Tok… tok… tok…


 

Suara langkah kaki bersepatu terdengar mendekat, tiba-tiba sekali. Suaranya satu-satu, seperti sengaja berjalan perlahan. Makin lama makin dekat dan kini, suara itu berhenti tepat di depan mejaku. Aku mendekap dada, tak berani mengangkat kepala. Bagaimana kalau yang di depanku ini hantu?


 

"Emily?!"




 

***



PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 8




 

"Emily?"


 

Suara yang sangat kukenal itu membuatku refleks mengangkat kepala. Sudah terlambat untuk menyembunyikan mataku yang berair. Aku menunduk lagi, diam-diam menyusut air mata dari pipiku. Di hadapanku, Pak Arfan tidak berkata apa-apa. Dia menungguku selesai mengeringkan air mata.


 

"Bapak kok belum pulang?"


 

"Kenapa memangnya? Kantor ini punya saya. Harusnya saya yang nanya, kenapa kamu belum pulang?"


 

Dalam keadaan biasa, mungkin aku akan membiarkan diriku hilang kendali, membantah kata-katanya yang - meskipun bernada perhatian - tetap saja angkuh. Tapi kali ini, aku hanya menunduk, masih terbawa sedih karena merasa tersisih.


 

"Ayo ikut saya."


 

Tanpa aba-aba, Pak Arfan menarik tanganku hingga aku berdiri.


 

"Eh, mau kemana, Pak?"


 

"Ikut aja, daripada saya pecat."


 

Dih. Dasar bos nggak ada akhlak. Aku langsung menyambar tas di atas meja dan berjalan tersaruk-saruk mengikutinya. Pak Arfan tak melepaskan tanganku, bahkan hingga kami melewati parkiran. Pak Slamet, Security yang jaga hari ini menatap kami terheran-heran, tapi tak bertanya apa-apa. Menyebrangi kantor, Pak Arfan mengajakku masuk ke sebuah warung lesehan yang menyediakan aneka seafood.


 

"Duduk."


 

Nggak dimana-mana, gaya nya tetap bossy. Tapi aku duduk juga setelah dia melepaskan tanganku. Lelaki itu lalu sibuk memesan makanan tanpa bertanya apa aku mau makan, atau makanan apa yang aku inginkan. Jujur saja, aku memang lapar sekali. Tapi makan di depan boss ganteng ini, duh ketelan nggak sih?


 

"Emangnya siapa yang mau makan?"


 

"Kamu. Dari siang kamu nggak makan kan?"


 

"Kok tahu, Pak?"


 

"Bawel."


 

Aku akhirnya diam. Dia juga diam, sama sekali tak berkata apa-apa. Berulang kali ponsel di sakunya berbunyi. Pak Arfan menengoknya sebentar, lalu me-nonaktifkan ponselnya di depanku.


 

Makanan akhirnya datang. Segala jenis seafood dipesan. Cumi cabe hijau, udang asam manis, kerang bumbu kuning, kepiting saus padang. Astaga, emangnya siapa yang mau ngabisin ini semua?


 

"Banyak banget ini, Pak. Siapa yang mau ngabisin?"


 

Dia menatapku dengan mata hitamnya yang tajam.


 

"Sudah, makan aja. Kalau nggak habis ya sudah. Yang penting dibayar."


 

Dia lalu menyendok nasi untuk dirinya sendiri dan mulai makan. Aku mengikuti jejaknya, makan dalam diam. Rasa grogi ku menguap mencium aroma masakan yang lezat. Warung tenda ini memang sudah terkenal lezat. Setelah makan, ternyata tak banyak makanan tersisa. Aku nyengir menyadari aku makan seperti orang kelaparan. Eh, memang beneran kelaparan sih.


 

"Syukurlah, nggak sia-sia."


 

Aku melengos. Sepintas kulihat senyum tipis di bibirnya. Hanya sepintas karena begitu dia menoleh padaku, bibirnya kembali kaku.


 

"Saya memberi kamu kesempatan untuk mempertimbangkan tawaran saya tadi siang."


 

"Kenapa memangnya Bapak perlu saya untuk jadi pacar pura-pura?"


 

Dia memandangku lama, seolah sedang menaksir barang dagangan.


 

"Sebenarnya nggak harus kamu. Tapi saya nggak punya banyak kenalan perempuan."


 

Hah? Lelaki dewasa ganteng tajir melintir kayak gini nggak punya kenalan cewek? Yang bener aja.


 

"Oke. Begini. Orang tua saya ingin saya segera menikah…"


 

"Ya iyalah, Pak. Bapak kan sudah tua."


 

Aduh keceplosan. Dasar mulut nggak ada saringan. Aku menutup mulut, tak berani memandangnya.


 

"Tadi nangis, sekarang sudah pinter ngeledek lagi." Sindirnya. "Sekali lagi kamu potong kalimat saya, saya tinggalin kamu disini."


 

"Siap salah, Pak."


 

Pak Arfan menggelengkan kepala. Dia menatapku lagi, seakan meyakinkan dirinya bahwa aku bukanlah cewek yang salah untuk diajak jadi partnernya besok.


 

"Jadi, orang tua saya menjodohkan saya dengan seseorang. Pertama, saya tak suka dijodohkan. Kedua, wanita itu kabarnya sudah punya kekasih, saya tidak mau jadi penyebab perpisahan dia dengan kekasihnya. Dan ketika, dia bukan tipe saya."


 

"Katanya belum pernah ketemu, kok tahu bukan tipe Bapak?"


 

"Karena tipe saya adalah cewek yang belum pernah pacaran sama sekali."


 

Oh, yes. Itu aku. 


 

"Kenapa gitu? Kok egois? Bapak pengen cewek yang belum pernah punya hati sama siapapun, tapi apa Bapak menjamin bahwa Bapak juga belum pernah mencintai siapapun?"


 

Pak Arfan kembali melayangkan tatapannya yang tajam. Dia mencondongkan wajah padaku. 


 

"Jangan banyak tanya. Ingat saya ini masih bos kamu. Kalau kamu setuju, lakukan saja perintah saya. Kalau tidak, saya akan cari orang lain dan silahkan kamu hadapi sendiri pacar Abangmu yang freak itu."


 

Seketika aku ingat Winda. Meski aku tak tahu apa rencana Pak Arfan, setidaknya aku punya sesuatu yang bisa kupegang. Ada seseorang yang bisa kuajak bicara meskipun dia sombongnya minta ampun, egois dan sangat dominan. 


 

Pak Arfan memanggil pelayan dan membayar semua makanan tadi. Tanpa berkata-kata, apalagi menggandeng tanganku seperti tadi, dia melenggang keluar. Mau tak mau aku mengikutinya. Kami menyebrangi jalan raya kembali ke kantor.


 

"Pulang sana. Sudah malam. Motormu sudah diperbaiki?"


 

Aku mengangguk, melirik jam di pergelangan tangan. Sudah hampir jam sembilan.


 

"Makasih ya pak udah di traktir. Saya istikharah dulu ya pak?" Ujarku sambil memakai helm.


 

"Astaga, emang saya lagi ngelamar kamu? Pake istikharah segala."


 

Aku cuma nyengir. Tanpa menjawab, aku naik ke motorku dan keluar dari parkiran kantor. Dari kaca spion, aku melihat Pak Arfan naik juga ke mobilnya.


 

Diam-diam, aku tersenyum di balik helm. Ternyata, si boss galak punya sisi baik juga. Dia rupanya memperhatikan bahwa sejak keluar dari ruangannya siang tadi, aku tak turun lagi. Aku melewatkan jam makan siang gara-gara moodku yang berantakan akibat ulah Winda. Hem, beruntung banget yang kelak jadi istrinya. 


 

Setengah jam perjalan, aku tiba di rumah. Aku turun, hendak membuka pagar ketika tiba-tiba sebuah innova reborn abu-abu melintas di dekatku.


 

Pak Arfan. Rupanya diam-diam dia mengikuti hingga aku sampai di rumah. 


 

Ah, sepertinya aku nggak perlu istikharah lagi.



 

***


 

PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 9




 

Setelah menutup kembali pagar dan memasukkan motor ke dalam garasi, aku duduk di teras. Mobil Abang sudah ada di dalam, artinya orangnya ada. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Winda. Mungkin dia tidak datang malam ini, atau mungkin  juga sudah pulang. Rumah masih terlihat terang benderang. Mungkin Mama menungguku, mungkin juga tidak.


 

Setelah momen baper dengan Pak Arfan tadi, aku harus kembali menghadapi kenyataan, bahwa aku harus pulang ke rumah, yang semakin lama semakin tak terasa seperti 'rumah'. Aku tak punya kunci serep, juga segan membangunkan Mama. Lima bulan lalu, sebelum kehadiran Winda dalam hidup Abang, aku tak pernah pulang selarut ini. Bagiku, rumah adalah tempat ternyaman, dimana aku bisa melakukan apapun yang kuinginkan, bicara apapun tanpa takut ada orang tersinggung. Tapi kini, membayangkan harus pulang dari kantor saja membuatku enggan.


 

Apa sebaiknya aku kawin aja ya? Biar bisa pergi dari sini tanpa merasa bersalah. Kan istri wajib ikut suami. Biarin deh Mama diurus Abang. Tapi kalau menantunya kayak Winda, apa Mama nggak bakalan tersiksa? Aku mendes-ah, kalut. Ku sandarkan kepala di sandaran kursi, menatap bintang-bintang yang tampak sangat kecil di langit, nyaris tak terlihat.


 

Seperti itulah aku. Ada, tapi dianggap tak ada.


 

Kriett…


 

"Loh? Emi? Kok nggak panggil Mama, Nak?"


 

Aku menoleh, terlambat menyembunyikan mataku yang berkata-kaca. Aku memang kadang secengeng itu. Keluarga bagiku adalah yang paling utama, sejak dulu. Papa selalu berpesan, apapun yang terjadi di luar sana, siapapun yang kau temui di masa depan, sebesar apapun masalah menerpamu, selalu ingatlah untuk pulang. Tak ada masalah yang tak bisa diselesaikan asalkan kami bersatu. Tapi itu dulu, sebelum Papa pergi dan Winda datang. Dia seperti Alien yang mengobrak abrik hidupku. Hidup keluargaku.


 

Mama mendes-ah, lalu duduk di sebelahku.


 

"Mama tadi dengar motor kamu. Tapi kok nggak ngetuk-ngetuk pintu."


 

"Aku takut ganggu Mama dan Abang."


 

"Sejak kapan kamu merasa kehadiranmu menganggu?"


 

"Sejak ada Winda."


 

Mama meraih bahuku, menatapku dalam-dalam.


 

"Mama tahu kamu cemburu, tapi…"


 

"Aku bukan cemburu. Tapi Winda itu memang nggak normal. Apa Mama nggak takut kalau dia justru nanti nyakitin Abang?"


 

"Nyakitin gimana?"


 

"Abang sudah memberikan segalanya untuk dia. Apapun yang dia minta Abang kasih. Bahkan benda berharga seperti motor aja Abang nggak sayang-sayang beliin untuk dia. Setelah semua pengorbanan Abang itu, bagaimana kalau Winda akhirnya berpaling sama cowok lain?"


 

Mama terdiam, memikirkan kata-kataku barusan.


 

"Tadi siang Winda ke kantor, Ma."


 

"Ah, mau apa dia?" Mama tampak terkejut.


 

"Dia maksa-maksa mau ketemu bos. Modusnya sih mau ngelamar kerja. Dia bilang tahu lowongan dari aku, adiknya. Aku malu banget."


 

"Masa dia ngelamar kerja? Lulus aja belum."


 

"Ya kan itu cuma modus. Aslinya dia cuma pengen ketemu Pak Arfan. Nah, menurut Mama, gimana? Udah punya pacar, masih mau ndeketin cowok lain."


 

Mama termangu lagi.


 

"Ma, katakanlah sesuatu sama Abang. Mama harus tegas. Masa Abang nggak mau dengar omongan Mama. Katanya sayang."


 

"Mama takut Abangmu kepikiran, trus sakit, Nak."


 

"Abang itu sehat, Ma. Dan ingat dia itu lelaki. Papa pasti nggak terima anak lelakinya diperlakukan seperti budak sama Winda."


 

"Mama juga sebetulnya nggak terima, Em. Tapi Arga selalu mengancam mau bunu-h diri kalau Mama Minta dia putus sama Winda."


 

"Hah?"


 

"Tuh, kan kamu takut juga kan?"


 

"Bukan itu. Mama udah pernah nyuruh mereka putus?"


 

"Sudah. Cuma nggak bisa keras, Em. Abangmu itu…"


 

"Aku sayang Mama!"


 

Aku langsung memeluk Mama erat-erat, menciumi pipinya berulang-ulang. Sampai Mama gelagapan.


 

"Aku pikir, Mama benar-benar sudah nerima Winda. Aku pikir, Mama lebih sayang Winda dari pada aku."


 

Mama memencet hidungku.


 

"Ya mana mungkinlah. Selama ini, Mama hanya belum punya cara memisahkan mereka. Mama juga nggak ngebayangin punya menantu kayak dia, Em."


 

Aku tak melepaskan diri dari pelukan Mama. Rasanya damai sekali memikirkan bahwa aku tak sendiri. Yang harus ku lakukan adalah bagaimana caranya mengembalikan Alien itu ke tempat asal Onya.




 

***



 

"Apa? Mama mau aku putus sama Winda?"


 

Suara Bang Arga yang menggelegar membuatku kaget. Pagi ini aku tidak lagi berangkat subuh. Aku baru saja selesai membantu Mama menyiram tanaman dan melangkah ke meja makan ketika suara itu terdengar.


 

"Kan aku sudah bilang, Ma. Aku nggak akan putus sama Winda. Tolong jangan minta hal itu lagi."


 

"Tapi, Nak. Dia bukan gadis yang baik untukmu."


 

"Kata siapa? Aku lebih mengenalnya."


 

"Emi bilang, kemarin Winda datang ke kantornya Emi."


 

"Oh itu. Iya aku tahu. Dia bilang kok mau ke kantornya Emi. Dia mau cari lowongan karena sebentar lagi mau wisuda. Nah, kurang baik apa? Dia bukan gadis pemalas. Dan yang paling penting, selama ini dia berusaha mengakrabkan diri dengan kita. Keluarga calon suaminya."


 

Uhukk… uhukkk…


 

Aku langsung keselek. Mama dan Bang Arga menoleh begitu mendengar suaraku yang berdiri di ambang pintu pembatas ruang tengah.


 

"Sini kamu, Em."


 

Aku menghela nafas, bersiap menghadapi Abangku yang keras kepala. Entah sejak kapan Abang seperti ini. Dulu saat ada Papa dia tak semenyebalkan ini.


 

"Jangan menghasut Mama. Kamu nggak akan berhasil misahain Abang sama Winda."


 

"Oh, aku nggak menghasut Mama ya. Mama tahu mana yang terbaik buat anaknya."


 

"Terus apa maksud kamu bilang bilang segala  kalau Winda datang ke kantormu? Emangnya kenapa?"


 

"Aku yang seharusnya tanya. Emangnya kenapa? Kenapa kalau aku cerita sama Mama? Mama itu Mamaku, bukan Mamanya Winda."


 

"Sudah kuduga kamu cemburu sama Winda."


 

"Dan aku yakin Abang akan murka, bukan hanya cemburu kalau tahu pacar Abang itu keganjenan di kantorku. Dia ngeyel mau ketemu Bosku. Abang tahu nggak bosku itu lelaki single dan ganteng. Jadi apa maksud Winda kesana?"


 

Bang Arga justru tertawa, meskipun  terdengar sumbang.


 

"Abang percaya sama Winda. Seminggu lagi, Abang akan melamarnya. Terserah Mama atau kamu nggak setuju juga, terserah."


 

Aku melotot.


 

"Artinya, Abang nggak menghargai Mama lagi."


 

Kali ini kudengar Mama yang batuk-batuk. Mama pasti sedih mendengar kalimat Bang yang terakhir itu. Wajah Mama yang masih tampak ayu itu terlihat nelangsa. Dia menatap Abang dengan pandangan memohon.


 

"Arga, pikirkan lagi Nak. Jangan sampai kamu menyesal. Pernikahan itu bukan hal kecil."


 

Bang Arga tiba-tiba berdiri, mendorong kursinya ke belakang dengan kasar.


 

"Kalau Mama masih memaksa aku putus dengan Winda, aku akan bu-nuh diri!"


 

Astaga.


 

Ruangan seketika hening. Mama melongo menatap Bang Arga tak percaya. Sementara Bang Arga sendiri menatap kami berdua dengan nafas terengah-engah. Dia lalu pergi dengan langkah lebar-lebar.


 

"Arga!"




 

***



 

PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 10




 

"Arga!"


 

Aku menahan tangan Mama, menatapnya.


 

"Mama disini saja. Bang Arga nggak akan bunuh diri. Selama ini, dia menjadikan kelemahan Mama itu sebagai senjata. Sifat Bang Arga seperti pengecut."


 

Aku mengusap punggung Mama, dan meninggalkannya sendirian. Kata-kata Bang Arga barusan membuat darahku menggelegak. Aku marah sekali, bahkan rasanya lebih daripada saat Winda menjarah barang-barangku. Dia satu-satunya lelaki di rumah ini, bagaimana dia bisa berkata begitu? Bukannya menjaga kami, dia justru selalu membuat Mama resah.


 

Aku mendorong pintu kamar Bang Arga dengan kasar. Dia ternyata sedang memasukkan baju-bajunya ke dalam ransel. Matanya melotot melihatku.


 

"Nggak sopan banget kamu, Em. Masuk kamar nggak permisi."


 

"Aku belajar dari Abang. Bedanya, aku nggak suka mencuri."


 

"Emily! Abang peringatkan sama kamu ya…"


 

"Aku yang mau memperingatkan Abang. Abang sadar nggak lima bulan ini hidup Abang berpusat pada Winda. Abang sudah bukan seperti Abang yang dulu, yang selalu mendahulukan perasaan Mama dan aku. Abang yang selalu memperhatikan kepentingan Mama dan aku. Abang sudah nggak ingat lagi pesan Papa untuk menjaga kami."


 

Kubiarkan suaraku bergetar. Mengingat Papa selalu membuatku sedih. Papa meninggal mendadak karena sakit jantungjantung setahun yang lalu. Setelah itu, Bang Arga, yang memang secara fisik sangat mirip Papa, menjadi pelindung untuk kami. Menjadi pelampiasan rasa rindu bagiku. Tapi setelah Winda datang…


 

"Emily… kamu nggak ngerti. Nanti, kalau sudah ada seseorang yang membuatmu jatuh cinta, mungkin kamu akan mengerti."


 

"Tidak. Bagiku cinta harus sejalan dengan logika. Abang pikirkan baik-baik, ingat ingat tingkah Winda selama ini, tanya hati Abang, apakah memang sesuai dengan yang Abang inginkan?"


 

Bang Arga terdiam, mungkin dia terkejut melihatku bisa bicara sedewasa ini. Dia lupa, aku dan dia hanya berbeda dua tahun saja. Dan dia lupa, sejak dulu, aku paling tak suka ada orang lain mengacaukan rumahku, apalagi membuat Mama sedih.


 

"Aku hanya ingin yang terbaik bagi Abang. Abangku satu-satunya yang aku sayangi. Winda tidak sungguh-sungguh mencintai Abang. Percayalah. Dan aku masih belum tahu apa tujuannya terus menerus meniruku."


 

Bang Arga duduk dengan lesu di tempat tidur. Sungguh, aku sedih melihatnya. Bagaimana mungkin Abangku, bisa menjadi selembek itu. 


 

"Oh ya, kalau Abang masih berniat bunuh diri, lalukan saja. Yang jelas, Abang tidak akan pernah bertemu kami lagi, Papa, Mama dan Aku, karena kami tak akan memilih jalan sehina itu."


 

Usai mengatakan kalimat itu,  aku keluar dan menutup pintunya lagi. Terkejut karena ternyata Mama berdiri di samping tembok kamar Bang Arga, dan pastinya mendengar semua kata-kata yang baru saja ku katakan.


 

"Emily… bagaimana kalau… kalau Abangmu benar-benar bunuh diri, Nak."


 

"Itu nggak akan terjadi. Kan Mama bilang sendiri kalau Abang masih punya iman. Masih sholat dan mengaji."


 

"Tapi tetap saja Mama takut. Kamu izin kerja ya Nak. Mama takut…"


 

Aku mendesah, tak tega melihat mata Mama yang berkata-kaca. Hari ini sabtu, biasanya kami hanya masuk setengah hari. Dan karena aku di kantor sampai malam kemarin, semua pekerjaanku sudah selesai. Mungkin tak apa-apa jika aku izin hari ini.


 

Aku menuntun Mama duduk di rumah tengah dan mengeluarkan ponsel dari saku celana, menghubungi Riana, minta izin tak masuk.


 

Mama tersenyum setelah aku selesai menelepon Riana. Beliau mengelus pipiku dengan lembut.


 

"Anak Mama sudah dewasa. Mama bangga padamu."




 

***



 

Seharian, aku seperti satpam, duduk di sofa ruang tengah depan kamar Bang Arga, menunggu barangkali ada suara-suara yang mencurigakan. Bang Arga memang libur kalau hari sabtu, dan seharian ini dia sama sekali tak keluar kamar. Mama yang memanggilnya, menyuruhnya makan siang hanya dijawabnya dari dalam. Dia tetap tak mau keluar. Tapi aku lega, setidaknya aku tahu Bang Arga masih hidup. Hehehe…


 

Setelah adzan ashar, aku masuk ke kamar untuk mandi dan sholat. Tapi begitu aku keluar, suara seseorang yang sangat kukenal terdengar.


 

"Maaf, Bu. Saya mau bertemu Emily. Nama saya Arfan."


 

Astaga. Pak Bos ngapain kesini? Jangan-jangan aku dipecat gara-gara nggak masuk hari ini.


 

"Oh, sebentar ya Nak. Emily masih sholat."


 

Suara Mama lembut seperti biasa. Dan beliau memanggil Arfan, Nak. Oh, so sweet banget sih. Udah kayak manggil anak mantu aja. 


 

"Saya boleh nunggu di luar ya, Bu."


 

Suara Pak Arfan tak kalah sopannya. Aku kebat kebit, membuka mukena dan langsung keluar, nyaris saja menabrak Mama yang baru mau mengetuk pintu kamarku.


 

"Ada teman kamu, namanya Arfan."


 

"Dia bos aku Ma."


 

"Oh, itu dia yang bikin Winda datang ke kantormu?"


 

Aku meringis sambil mengangguk.


 

"Emi temui dulu ya, Ma. Duhhh, Jangan-jangan aku dipecat nih gara-gara nggak masuk hari ini."


 

Aku bergegas keluar, dan mendapati lelaki itu tenaga memandangi rumpun bunga mawar aneka warna yang tumbuh dengan subur, yang ditanam Mama si beberapa spot di halaman. Mendengar langkah kakiku, Pak Arfan berbalik. Dia meneliti penampilanku dan menatap tak berkedip.


 

Ya ampun orang ini, suka banget bikin orang lain salah tingkah.


 

"Kenapa, Pak? Saya dipecat ya?"


 

Dia diam saja. Kebiasaan.


 

"Kenapa kamu nggak masuk kerja? Melihat dari rambut kamu yang basah dan wajah kamu yang segar, kamu pasti nggak lagi sakit kan?"


 

Refleks aku memegang wajahku. Lembab sehabis mandi. Rambutku juga masih basah karena aku keramas tadi. Dan oh, aku terkejut memandang diriku sendiri. Karena terburu-buru, aku menemui Bos-ku memakai setelan piyama bergambar hello kitty.


 

Alamak, hilang sudah harga diriku.


 

"Ganti baju sana. Ayo ikut saya."


 

"Kemana, Pak?"


 

"Jalan-jalan. Anggap aja latihan jadi pacar."


 

Aku jadi tersipu mendengar kata pacar. Akhirnya aku mengangguk. Baru saja hendak masuk rumah, sebuah motor yang masih mengkilap tiba-tiba masuk ke halaman rumahku setelah sebelumnya menyerempet mobil Pak Arfan yang diparkir di pinggir jalan. Pengemudinya sepertinya baru belajar naik motor. Benar saja, dia tak bisa mengendalikan kendaraan itu hingga akhirnya berakhir di rumpun mawar di sudut halaman, diiringi teriakan histeris nya.


 

"Aaawwww…"


 

Aku meringis, membayangkan jatuh dari motor di atas duri-duri mawar. Pasti sakit.


 

Si pengendara motor yang seorang perempuan itu membuka helmnya, dan aku terbelalak melihat siapa dia. Ternyata…


 

"Emiiii, tolong aku dong!"




 

***


 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya PACAR ABANGKU SAKIT JIWA (11-20)
0
0
Winda Ketahuan Selingkuh!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan