LEBIH BAIK KITA BERPISAH (1-10) GRATIS

2
0
Deskripsi

Kamu minta tes keperawanan? Jangan mimpi! Lebih baik kita berpisah saja!

LEBIH BAIK KITA BERPISAH 1




 

"Ini kelima kalinya kamu menolak. Aku sudah nggak punya lagi alasan untuk Mama."


 

Lelaki di sampingku tak menoleh, sibuk melempar kerikil ke aliran sungai jernih yang merendam kaki kami. Gemerisik suara air dan anak-anak yang bermain di dalamnya timbul tenggelam di telinga. Aku menunggunya bicara.


 

"Bilang Mamamu, malam nanti aku lembur."


 

Aku menoleh dengan gerakan tiba-tiba, menghentikan gerakan tangannya yang kesekian puluh, yang akan dia lakukan. Sesaat lamanya kami saling tatap sebelum masing-masing memalingkan wajah.


 

"Aku nggak mau terus berbohong. Kalau kamu memang nggak punya niat serius untuk hubungan kita, lebih baik kita berpisah."


 

Waktu seakan membeku. Efek kata-kataku barusan tampak jelas diwajahnya. Hatiku perlahan berdebar. Lima tahun lamanya aku menunggu untuk sebuah kepastian darinya.


 

Tapi kemudian, dia tersenyum. Tangannya terulur, merapikan  ujung jilbabku yang melambai tertiup angin.


 

"Jangan ngambek sayang. Masa lima tahun kita pacaran dan kamu ingin berpisah hanya karena aku belum siap bertemu Mamamu."


 

Aku menelan ludah. Hanya. Rupanya dia menganggap ini hal sepele. Lima tahun bagi seorang wanita bukan waktu yang sebentar. Susah payah aku menjaga hati, menjaga diri dari banyak godaan. Bukankah wajar jika aku ingin sebuah kepastian? Kami telah lulus kuliah dan sama-sama punya pekerjaan yang menjanjikan. Apa lagi yang ditunggu?


 

"Baiklah…"


 

Aku menghela napas panjang, berdiri dan menepuk-nepuk celana longgar berwarna hitam yang kupakai untuk meluruhkan daun-daun yang jatuh di pangkuan. Sungai kecil dengan batu-batuan besar ini berada di sebuah kawasan wisata alam bernama Wira Garden. Bukit kecil dengan rumput Jepang, rumpun bambu yang dirawat dengan baik, pohon-pohon hijau, dan yang teristimewa adalah tenda-tenda sewaan yang berada di pinggir sungai. Para pengunjung bisa menyewanya untuk merasakan sensasi kemping dengan musik percikan air yang memenangkan.


 

"Aku hanya bisa memberimu waktu satu minggu untuk memutuskan, apakah kita akan terus atau putus. Ini sudah terlalu lama."


 

Aku lalu berbalik. Jonas terkejut, dia bangkit dari duduknya dan meraih tanganku dari belakang. 


 

"Senja, jangan begitu. Semuanya bisa dibicarakan."


 

Aku memandangnya tanpa senyum, lalu melepas tanganku yang dipegangnya.


 

"Bicara? Lalu yang kita lakukan tadi? Kemarin, dan kemarinnya itu apa?"


 

Jonas menghela napas. 


 

"Aku… aku masih belum bisa. Jika aku datang ke rumahmu kita pasti akan disuruh segera menikah kan?"


 

Aku mengerutkan dahi dengan heran.


 

"Memang itu tujuannya. Lalu kenapa? Apa kamu pikir hubungan kita ini hanya main-main?"


 

Jonas tampak berpikir sesaat, lalu senyum mengembang di bibirnya.


 

"Baiklah kalau begitu. Aku akan datang ke rumahmu malam minggu depan."


 

Aku menghembuskan napas lega diam-diam. Mungkin pada akhirnya, aku akan dapat membungkam mulut para sepupu yang tahu bahwa aku dan Jonas telah berhubungan terlalu lama.


 

"Tapi ada syaratnya…"


 

Suara Jonas menggantung. Senyumku pudar seketika.


 

"Nanti malam, kita check in. Aku ingin merasakan semalam bersamamu sebelum memutuskan menikahimu."


 

Rasanya bagai ditampar di depan orang banyak. Kaget, malu dan marah. Aku sama sekali tak menyangka kalimat itulah yang akan keluar dari mulutnya. Kutahan sakit di dada yang tiba-tiba terasa sesak.


 

"Apa maksudmu?"


 

"Selama ini kita pacaran. Tapi menyentuhmu seperti sesuatu yang amat mahal bagiku. Apalagi melakukan hal-hal seperti pasangan kekasih lainnya."


 

Wajahku merah padam. Ini memang salahku, tak bisa menolak saat cinta hadir di hatiku untuknya. Tapi aku tetap menjaga diri. Pacaran bagiku, artinya menjaga hati dari lelaki lain, berkomitmen bahwa hubungan ini akan bermuara pada sebuah pernikahan.


 

Tapi rupanya dia tak berpikir seperti itu.


 

"Jadi, itu yang kau inginkan dariku?"


 

"Ya. Hubungan kita ini tidak normal seperti orang pacaran, Senja. Aku ingin tahu lebih dulu, apa kau sebenarnya masih perawan."


 

Plak!


 

Aku tak lagi dapat menahan diriku untuk menamparnya. Tak kusangka, begitu rendah dia memandangku selama ini. Dan nilai hubungan kami baginya, ternyata hanya sebatas kontak fisik.


 

"Kalau begitu lupakan Jonas. Tak ada lagi yang bisa kita pertahankan dari hubungan ini. Prinsip kita berbeda, dan karena itu, lebih baik kita berpisah."



 

***



 

Aku dan Jonas bertemu di tahun pertama masa kuliah. Berada di Fakultas yang sama, berbagi ruang yang sama. Aku yang tak pernah mengenal lelaki sebelumnya, tiba-tiba tersentuh oleh caranya memperhatikanku. Hingga di tahun kedua, saat dia menyatakan cinta, aku tak sanggup menolak. Itulah kesalahan terbesar dalam hidupku. Aku terjerat pada cinta yang terlalu dalam, cinta yang tak punya tujuan, hingga terlupa bahwa waktu terus berjalan dan tahu-tahu saja, usiaku sudah cukup matang untuk menikah. 


 

"Senja, Mama sudah tua. Kalau sudah ada lelaki yang serius denganmu, suruh dia temui Mama."


 

Ucapan itu membuatku galau berhari-hari lamanya. Lalu ingatanku melayang, mengingat interaksiku dengan Jonas, seseorang yang mengaku mencintaiku tanpa syarat.


 

"Jangan. Tolong jangan. Aku akan memberikan semuanya padamu saat kita sudah menikah."


 

Aku ingat pernah mengatakan hal itu padanya saat dia hendak menci-umku. Saat itu, aku berulang tahun dan dia memberi surprise yang manis di kampus. Dia terdiam sejenak, lalu tersenyum dan meminta maaf.


 

Lalu, beberapa kali Valentin, dia mengajakku ikut pergi dengannya. Ada acara yang diadakan oleh teman-teman kami di hari merah jambu itu. Tapi lagi-lagi aku menolak. Jonas akhirnya pergi sendiri dan aku menjalani hari seperti biasa karena bagiku tak ada yang istimewa.


 

Ah, kenapa baru kini kusadari bahwa kami berbeda? Dan kenapa aku bertahan dengannya sekian lama? Lalu apa yang membuatnya juga masih terus menunggu hingga tahun kelima akhirnya terlewati?



 

***



 

"Senja, kamu dan Jonas putus?"


 

Evelyn menarik kursinya ke meja ku. Aku mengalihkan pandangan dari layar laptop.


 

"Ini."


 

Dia mengeluarkan selembar kartu undangan, dan meletakkannya di atas meja.


 

"Dua minggu lagi Jonas menikah."


 

Aku nyaris kehilangan kata-kata. Seminggu telah berlalu sejak keputusan di Wira Garden waktu itu. Jonas sama sekali tak berniat memperbaiki hubungan kami, atau bahkan sekedar meminta maaf. Aku dan dia masih bertemu setiap hari karena kami satu kantor. Tapi sejak saat itu, kami sama sama bertingkah seperti orang yang tak saling kenal. Dan kini tiba-tiba saja, dia menyebar undangan pernikahan. Hebat sekali.


 

"Aku kira akan melihat namamu di sini. Tadi aku hampir saja marah karena berpikir kau menikah tanpa bilang-bilang padaku."


 

Aku tertawa kecil, meski hatiku rasanya perih.


 

"Kami sudah putus seminggu yang lalu."


 

"Seminggu yang lalu. Dan tahu-tahu dia akan menikah dua minggu lagi. Ini benar-benar gila."


 

"Ssstt…"


 

Aku memberi isyarat pada Evelyn agar diam, karena orang yang kami bicarakan kini tengah berjalan menuju mejaku. Senyumnya lebar, seperti tak merasa bahwa dia menyakitiku selama ini. Di letakkannya selembar kartu undangan di mejaku.


 

"Aku akan menikah dua minggu lagi, Senja. Jangan lupa datang."


 

Aku menatapnya. Tersenyum. Mungkin dia kira aku tak akan sanggup datang dan melihatnya menikah. Benar, aku masih mencintainya. Masih sangat mencintainya. Tapi prinsip dan harga diriku berada di atas segalanya.


 

"Aku akan datang."



 

***


LEBIH BAIK KITA BERPISAH 2



 

"Kamu serius mau datang?"


 

Mata sipit Evelyn membola. Biasanya aku akan tertawa melihatnya. Bagaimana gadis keturunan Tionghoa yang baik hati ini berusaha melebarkan matanya yang sipit. Tapi hari ini, saat ini, aku lupa caranya tertawa.


 

"Tentu saja. Aku bukan perempuan cengeng yang akan menangis seharian karena ditinggal mantan menikah. Juga bukan pengecut yang bersembunyi dari undangan pernikahan sang mantan."


 

"Cool!" Evelyn mengacungkan dua jempolnya.


 

Jonas sudah pergi, terakhir kali kami saling tatap dengan senyum masing-masing. Senyum yang jelas berbeda makna. Aku tak tahu apa yang dia pikirkan, tapi jelas aku tahu apa yang kupikirkan. Jika dia menikah hanya dalam jarak tiga minggu setelah putus dariku, itu artinya dia telah menjalin hubungan sebelum ini. Dia menduakan aku tanpa aku pernah tahu.


 

"Emangnya, kalian putus kenapa? Kok kamu nggak bilang aku?"


 

"Dia ngajak chek in."


 

"Hah? Terus… terus?"


 

"Ev, kamu tahu aku kan? Mana mungkin aku mau. Jadi, aku memutuskan kami lebih baik berpisah saja."


 

"Dan tahu-tahu dia mau married. Cowok br*ngsek! Buaya darat!" Eve memaki sambil memukul-mukul meja. Untung saja ini jam istirahat sehingga ruangan kami sepi 


 

"Jadi selama ini, dia menduakan aku. Atau mungkin dijodohkan?"


 

"Heleh. Cowok macam gitu dijodohkan. Meskipun iya, harusnya kan dia ada bilang sama kamu. Lima tahun loh kamu sama dia. Kalo kredit mobil udah lunas tuh."


 

Kali ini aku yang melotot. Evelyn tertawa terbahak-bahak, membuatku sedikit lupa pada kesedihan yang baru saja kurasakan. Tawanya menular, apalagi saat melihat bagaimana matanya yang sipit itu kini hanya menciptakan satu garis lurus.


 

"Sudahlah. Ayo kita ngebakso. Nggak penting juga cowok macam gitu. Gue sumpahin istrinya nggak lebih cantik dari sohib gue ini."


 

Sumpah yang aneh. Tapi dia betul-betul bisa membuatku tertawa. Kami lalu berjalan beriringan keluar kantor. Masih ada empat puluh lima menit lagi sebelum kami harus kembali bergelut dengan pekerjaan.


 

Di seberang kantor, ada warung bakso yang cukup besar, yang selalu jadi andalan kami kalau lagi malas makan nasi. Biasanya, kalau tidak bersama Evelyn, aku makan dengan Jonas. Tapi sejak hari ini tak ada lagi dia. Aku akan segera melupakan bahwa lelaki itu pernah hadir dalam hidupku.


 

"Pakde, bakso dua ya. Kayak biasa."


 

Pakde Suryo mengacungkan dua jempolnya. Beliau telah mengenal kami dengan baik.


 

"Kok tumben berdua? Pacarnya yang ganteng itu kemana?"


 

"Ah, ganteng dari mana sih Pakde? Salah lihat kali. Dan dia juga bukan pacar teman saya ini kok."


 

Evelyn sepertinya dendam sekali dengan Jonas. Pakde Suryo tertawa, lalu menunjuk arah pintu masuk.


 

"Eh, baru aja diomongin, orangnya nongol. Panjang umur dia."


 

Kami serempak menoleh. Tak dapat ku pungkiri betapa jantungku berdetak keras saat ini melihat pemandangan yang menyakitkan itu. Jonas masuk dari arah depan, menggandeng seorang gadis berambut panjang. Mereka tampaknya tak melihat kami. Seperti kata orang, jika kita sedang jatuh cinta, terasa dunia milik berdua.


 

"Oh yang itu pacarnya ya. Hemm… cantikkan Mbak Senja padahal loh."


 

Pakde Suryo berkomentar lagi. Lalu beliau pamit kembali ke belakang. Aku menekuri lagi mangkok bakso ku, yang tiba-tiba saja rasanya menjadi hambar.


 

"Cuekin aja. Anggap aja nggak liat. Eh anggap aja liat buaya. Geli ih." Evelyn terus bicara sambil menyuap baksonya.


 

Aku mengikuti tingkahnya, makan dengan cepat. Bersyukur bahwa posisi duduk ku membelakanginya. Yang kusesali adalah, bahwa rasa bakso ini tiba-tiba saja berubah.


 

"Hey, kalian makan disini juga?"


 

Aku menelan ludah. Kenapa dia harus melihat dan menyapaku? Tapi aku mengangkat kepala juga. Tak akan kubiarkan dia tahu bahwa hatiku di dalam sini rasanya tercabik-cabik.


 

"Iya. Emang kenapa? Nggak ada yang ngelarang kan?"


 

Yang menjawab adalah Evelyn. Sementara aku hanya tersenyum, memandang gadis yang menggelayut manja di lengannya.


 

"Maaf ya, teman saya lagi PMS. Calon istrinya Jonas?"


 

Gadis itu mengangguk. Sementara Evelyn melanjutkan makan dengan cuek.


 

"Kata Mas Jo, kalian teman kantornya. Sudah dapat undangan Mbak? Datang ya."


 

Dia tersenyum manis. Aku mengangguk dengan pasti. "InsyaAllah, saya pasti datang."


 

Mereka lalu pergi lebih dulu, rupanya hanya minum es campur saja. Aku tersenyum miris. Jadi gadis seperti itulah yang dia inginkan. Yang tanpa malu menggelayut mesra di lengannya meski belum terikat pernikahan, dan di hadapan banyak mata yang memandang. Sungguh, aku tak menyesali keputusanku bertahan pada harga diri dan kehormatan. Satu-satunya kehormatan yang kupunya.



 

***



 

"Pacar kamu nggak jadi datang, Ja?"


 

Aku menelan ludah, menghentikan sejenak kegiatan mencuci piring.


 

"Senja sudah putus Ma." Jawabku pelan.


 

"Eh, kenapa?"


 

"Emm… dia mau nikah minggu depan. Sama orang lain."


 

Mengatakan hal itu, ternyata masih menimbulkan nyeri. Padahal seminggu lagi telah berlalu. Aku tak pernah menghitung hari sebelumnya. Seakan-akan, tengah menanti sesuatu yang amat penting.


 

"Loh, kalau baru putus tahu-tahu sudah mau nikah, berarti dia kemarin punya pacar lain selain kamu dong? Apa dijodohin?"


 

"Nggak tahu, Ma. Aku nggak tanya."


 

Mama meraih piring terakhir yang sudah ku cuci dan meletakkannya di keranjang.


 

"Ya sudah, nggak perlu diingat ingat lagi. Berarti dia bukan jodoh kamu."


 

Apa kira-kira komentar Mama kalau tahu penyebab kami putus? 


 

"Tapi Mama do'ain kamu segera dapat jodoh ya, Nak. Mama sudah tua. Mama ingin sebelum Mama pergi, kamu sudah ada yang menjaga."


 

"Mama…"


 

Aku memeluk Mama, merasa sedih mendengar kata-katanya. Sejak kepergian Papa dua tahun yang lalu, Mama jadi sering bicara tentang kematian. Mereka berdua adalah contoh nyata bagaimana cinta sejati itu sebenarnya memang ada.



 

***



 

Dan disinilah aku sekarang, berdiri di depan gedung tempat resepsi pernikahan Jonas diadakan. Sendirian. Seharusnya aku datang bersama Evelyn, tapi tiba-tiba saja dia menelepon bahwa kakinya terkilir dan tak jadi datang. Aku tak mungkin mengurungkan niat. Ku langkahkan kaki dengan pasti. Di dalam nanti, tentu aku akan bertemu dengan orang-orang kantor, mereka yang tahu hubungan kami selama ini. Seperti dua minggu sebelumnya, aku akan menebalkan telinga dari segala cemooh maupun tatapan iba.


 

Selamat Jonas. Apapun yang pernah terjadi di antara kita, aku tak pernah menyesali lima tahun kebersamaan kita. Kamu adalah sebuah pelajaran berharga bagiku.


 

"Kalau mau nangis, nangis aja."


 

Deg. 


 

Aku menoleh ke samping, ke arah sumber suara. Seorang lelaki dengan batik khas seragam keluarga mempelai berdiri di sampingku, ikut memandang pengantin yang sedang berbahagia.


 

"Memangnya kenapa aku harus nangis?"


 

"Kamu mantan pacar Jonas kan? Aku pernah lihat kamu jalan sama dia."


 

Aku melengos. Lalu melangkah menuju tiga anak tangga yang tersusun rapi menuju panggung tempat pengantin duduk.


 

"Hey, Senja! Itu namamu kan? Kenalkan, namaku Biru. Dirgantara Langit Biru."


 

Nama yang unik. 


 

Aku hanya mengangguk, lalu naik ke atas panggung yang kebetulan tengah sepi. Langkahku satu-satu, menghampiri mereka berdua. Jonas dan wanita itu langsung berdiri saat melihatku mendekat. Sesaat, kami saling pandang, sebelum akhirnya senyum tersungging di bibirku.


 

"Selamat. Semoga kalian bahagia."



 

***


LEBIH BAIK KITA BERPISAH 3



 

"Selamat. Aku berdoa untuk kebahagiaan kalian."


 

Ada senyum yang sedikit canggung terlukis di bibir Jonas. Tanpa mampu kucegah, senyumnya menyeretku pada masa-masa saat kami masih bersama. Meski tanpa kontak fisik, bukankan kita pernah saling cinta? Semua perhatian dan komitmen yang pernah kita ucapkan rupanya bisa dengan mudah menguap begitu saja.


 

"Terima kasih."


 

Suara gadis itu, Marsya namanya, lembut sekali. Aku membalas senyumnya dan mengulurkan tangan. Ku kumpulkan semua konsentrasi agar bisa tiba di bawah dengan selamat. Tidak Senja, kamu bukan gadis seperti itu. Ditinggal menikah oleh buaya darat seperti Jonas harusnya merupakan suatu keuntungan.


 

Di antara para tamu, ada rekan-rekan kantor kami yang sedang menikmati hidangan. Mereka melambai ketika aku lewat. Ah, entah hanya perasaanku saja, semua mata seperti sedang menatapku dengan iba.


 

"Kamu sendirian Senja?"


 

Aku tersenyum, menatap Mbak Arin dari front office yang datang bersama suaminya. Mereka pengantin baru.


 

"Iya, Mbak. Eve keseleo katanya." Aku meringis.


 

"Ah, si Meimei itu memang ceroboh."


 

Mbak Arin dan hampir sebagian besar orang di kantor memanggil Evelyn dengan nama Meimei karena garis wajah Tionghoa nya yang tercetak jelas.


 

"Kamu sabar ya, Ja. InsyaAllah jodohmu nanti akan lebih baik dari…"


 

"Nggak apa-apa, Mbak. Aku baik-baik saja kok." Aku tersenyum. Doa-doa semacam itu, entah kenapa rasanya tak nyaman di telingaku. Jonas dan aku kini telah membentang jarak, tak ingin lagi kudengar namanya disangkut pautkan denganku.


 

Aku pamit pulang lebih dulu, menghindari tatapan mata beberapa teman kampus, dan saudara-saudara Jonas yang diam-diam memandang. Tentu saja, lima tahun bukan waktu yang sebentar. Bahkan dulu mereka kerap menobatkan kami sebagai pasangan paling serasi.


 

Deretan mobil para tamu di halaman parkir membuatku cukup kesulitan mengeluarkan mobil. Aku terdiam sejenak sebelum akhirnya ada yang mengetuk kaca mobilku dari luar.


 

"Butuh bantuan?"


 

Aku menoleh, mendapati senyum lelaki bernama Biru. Dirgantara Langit Biru. Hey, bagaimana aku langsung bisa mengingat namanya dengan lengkap?


 

Aku keluar dan menyerahkan kunci padanya. Dia memakai batik seragam keluarga. Artinya, dia salah satu anggota keluarga Jonas atau Marsya.


 

"Senja, masuk aja yuk. Jalan ke depan jauh loh."


 

Dia menyebut namaku seolah-olah telah mengenalku sangat lama. Aku menoleh ke jalan raya, yang tertutup deretan mobil-mobil. Memang cukup jauh apalagi dengan gaun dan sepatu sendal setinggi lima centi ini. 


 

"Ayo Senja. Sayang sepatu kamu."


 

Heh.


 

Aku memutuskan untuk naik, memikirkan kakiku yang berpeluang pegal-pegal. Biru tersenyum, lalu memundurkan mobil dengan lincah. Tak lama, mobil telah tiba di jalan raya.


 

"Okey, Terima kasih."


 

"Ehemm… kamu kok datang kesini?"


 

Aku menoleh, "Aku diundang, jadi wajib datang."


 

"Jangan pura-pura kuat Senja. Aku tahu pasti kamu sakit. Disini." Dia menujuk dadanya sendiri.


 

"Jangan sok tahu."


 

"Tentu saja aku tahu. Jonas kan sepupu aku dan kamu adalah nama yang sering dia ceritakan padaku. Bisa dibilang, aku ini tempat curhatnya."


 

Ternyata aku salah pilih orang.


 

"Dan sayangnya, bukan cuma nama kamu saja yang sering dia sebut. Ada Erika, Yoan, dan Marsya, yang akhirnya berhasil menggeretnya ke pelaminan."


 

Dasar playboy. Rutukku dalam hati.


 

"Entah kamu terlalu polos atau gimana, sampai nggak tahu pacar Jonas itu di mana-mana."


 

Aku meringis. "Bisa berhenti bicara? Aku nggak mau dengar namanya ataupun cerita tentang dia lagi. Nggak penting."


 

"Oh, sorry."


 

"Dan silahkan turun. Aku mau pulang."


 

Biru menoleh dan sejenak kami saling bertatapan. Baru kusadari bahwa dia tampan sekali. Dengan kemeja batik yang seharusnya rapi, tapi kini dua kancing atasnya dia buka. Memperlihatkan kaus hitam di baliknya.


 

"Nebeng ya."


 

"Eh."


 

"Aku bosan banget di sana. Acaranya lama banget. Kebanyakan prosesi. Dan dari gedung kayaknya bakalan berlanjut ke rumah nanti. Bayangin aja betenya."


 

"Hey, itu bukan urusanku."


 

"Makanya bantuin aku, plis Senja."


 

Tanpa menunggu persetujuanku, Biru menekan gas dan mobil mulai meluncur. Astaga. Apa-apaan ini?


 

"Hey, kamu nggak punya hak memaksaku."


 

"Plis, berbuat baiklah. Aku do'akan kamu dapat ganti cowok ganteng dan baik sebagai pengganti dia yang namanya tak boleh disebut. Emm… seperti aku misalnya."


 

"Mimpi."


 

Biru tertawa. Dan lagi, deretan gigi putih dan rapi miliknya mencuri perhatianku. Tak mau lama-lama menatapnya, aku berpaling, memandang keramaian minggu siang yang didominasi pengendara motor berpasangan. Tiba-tiba saja perhatianku dengan cepat teralih. Sepasang sejoli di depanku, mengendarai motor besar dengan boncengan menukik ke atas. Di ceweknya memeluk lelakinya erat, bahkan menempelkan kepalanya dipunggung sang kekasih. Astaga, wajahku panas melihatnya. Mudah-mudahan saja mereka sudah menikah.


 

"Anak sekarang pacaran nggak ada akhlak emang."


 

"Bisa nggak kamu berhenti bicara."


 

"Ups. Sorry."


 

Hening lagi. Mobil melaju memasuki area rumahku, membuatku mengerutkan kening.


 

"Kok kamu tahu rumah aku."


 

"Tahu lah."


 

Singkat banget jawabannya. Aku diam saja, sesungguhnya malas berdebat karena bayangan Jonas bersanding di pelaminan tadi kembali memenuhi ruang benakku. Dulu, aku pernah berangan-angan, akulah yang berdiri di sampingnya, merangkul lengannya dengan mesra sementara fotografer mengabadikan setiap moment. Tapi ternyata pada saat aku memimpikan hal indah itu, Jonas mungkin tengah sibuk berbagi hati, mencicipi sana sini sebelum memutuskan siapa yang akan dia bawa ke hadapan penghulu.


 

How sad!


 

"Stop di depan. Rumahku yang pagar putih."


 

Biru mengangguk dan menghentikan mobil. 


 

"Mama kamu ada?"


 

"Eh, mau apa?"


 

"Ya kali mau kenalan sama calon menantu!"


 

Aku melotot. Astaga anak ini kesambet atau gimana sih? Kok seenaknya aja ngomong. Aku aja baru kenal dia. Meski dia merasa mengenalku dari cerita Jonas. Itu tentu saja dua hal yang berbeda.


 

"Jangan ngaco."


 

"Hehehe…"


 

Dia tertawa. Kemudian diserahkannya kunci mobilku dengan wajah tak rela. Berulang kali Biru menoleh ke pintu rumahku yang tertutup.


 

"Aku nggak ditawarin masuk? Tadi belum sempat makan di hajatan nya Jonas."


 

"Salah siapa? Balik sana. Makan di sana aja. Mama lagi pergi, aku nggak masak."


 

"Duh…"


 

"Ayo cepat turun."


 

"Oke… oke…"


 

Biru akhirnya turun dari mobil dan aku menghembuskan napas lega. Aku ikut turun dan berjalan memutar, mendorong pagar rumah dan masuk lagi ke dalam mobil. Aku merindukan kamarku, dan bantal yang beberapa hari ini menjadi sasaran tangisku. Basah oleh air mata. Saat ini, aku sangat ingin menangis. Biarlah untuk terakhir kalinya menangis karena dia.


 

Mobil baru saja hendak memasuki halaman rumah ketika tiba-tiba saja jendela ku diketuk. Aku menghentikan mobil, mengusap mataku yang basah dan menurunkan kaca jendela. Lagi-lagi, wajah Biru terlihat olehku. Kali ini dia meringis.


 

"Senja, maaf. Eh, pinjem duit dong buat ongkos ojek. Dompetku di mobil."


 

Dia menggaruk-garuk kepalanya, memasang wajah malu. Astaga.




 

***


LEBIH BAIK KITA BERPISAH 4



 

Allah, aku pernah salah dalam melangkah, membiarkan virus merah jambu itu menyerang dan melumpuhkan diriku terlalu lama, terlalu dalam. Padahal aku tahu bahwa itu dosa. Maka, aku ikhlas menerima peringatan dari-Mu berupa rasa sakit ini. Tapi, jika aku masih boleh meminta, izinkan aku bertemu pengganti dia. Seseorang yang benar-benar baik dan mau menjagaku seperti keinginan Mama. Seseorang yang mau menjaga diri dan kehormatannya sendiri hingga waktunya tiba dan halal bagi kami untuk bersentuhan.


 

"Senja, aku mencintaimu. Aku sudah membuktikan berkali-kali kalau aku mencintaimu kan? Tapi aku masih ragu kalau kau punya perasaan yang sama."


 

Aku menatapnya dengan heran.


 

"Kenapa begitu? Apa sekian lama kita bersama itu tak cukup?"


 

"Senja, kamu terlalu kolot. Berci-uman dan berpelukan saja tak boleh. Itu sudah biasa zaman sekarang ini. Semua pasangan kekasih melakukannya. Itu adalah bukti cinta."


 

Wajahku memanas mendengar kosakata ci-um dan Peluk.


 

"Kalau begitu kau cari saja gadis lain yang mau kau perlakukan seperti itu. Aku tidak. Aku hanya akan melakukannya saat kita menikah nanti."


 

Lalu kami akan saling diam berhari-hari sampai Jonas datang dan minta maaf, kemudian berjanji tak akan mengulanginya lagi. Meski entah berapa kali janji itu dia ingkari.


 

Tapi, kenapa aku butuh begitu lama waktu untuk menyadari? Oh, bodohnya aku. Mencintai lelaki yang sama sekali tak pantas dicintai. Entah sudah berapa gadis yang singgah dalam pelukannya. Dan mungkin salah satu dari mereka berhasil dibawanya ke tempat tidur.


 

Tak terasa, air mataku mengalir lagi. Meski berulang kali aku berjanji tak akan menangis, tetap saja air mata ini dengan nakalnya mendesak keluar. Mengetahui bahwa selama menjalin hubungan denganku, dia juga berhubungan dengan gadis-gadis lain, ternyata rasanya amat menyakitkan.


 

Kamu beruntung Senja. Bayangkan jika kamu tahu kebiasaan buruknya selingkuh sana sini saat kalian sudah menikah, tentu akan lebih menyakitkan.


 

Sisi hatiku yang lain berusaha membujuk. Benar, seharusnya aku bersyukur. Oh, plis, berhentilah air mata, aku tak ingin menangis lagi.


 

Tok tok tok…


 

"Senja?"


 

Suara ketukan pintu disertai suara Mama memanggilku terdengar dari luar. Aku cepat-cepat mengusap wajahku yang basah dengan tisu. Masih menggunakan mukena, aku membuka pintu dan mendapati wajah Mama di sana.


 

"Ada teman kamu."


 

"Evelyn?"


 

"Bukan si Meimei. Cowok, ganteng. Apa itu mantan pacar kamu yang nikah kemarin? Tapi katanya dia kesini mau bayar utang."


 

Wajah Mama tampak heran, pasti tak jauh beda dengan ekspresiku kini. Memangnya siapa yang punya hutang padaku? Jonas? Apa mungkin Jonas yang datang? Rasanya tak mungkin. Tapi aku keluar juga, masih menggunakan mukena yang kupakai sholat dan menunggu azan isya sambil menangis. Uh, memalukan.


 

"Hai Senja, Sorry nggak ngabarin dulu. Aku lupa minta nomor WA kamu."


 

Aku membeku sejenak, memandang Biru yang sedang duduk manis di ruang tamu.


 

"Kamu ngapain kesini?"


 

"Oh, jadi kamu cowok yang mau main-main sama anak saya?"


 

Aduh!


 

Nada suaraku yang ketus rupanya membuat Mama menduga Biru adalah Jonas. Mama keluar dari balik punggungku dan maju satu langkah dengan wajah garang.


 

"Eeehh, Mama. Bukan, bukan yang ini." Aku menarik lengan Mama dengan sedikit panik.


 

"Loh, bukan ya? Lalu ini siapa?"


 

"Teman Senja." Aku terpaksa mengakui Biru sebagai temanku. Meski dalam hati rasanya aku akan berpikir seribu kali berteman dengan sepupu Jonas.


 

"Oh, Mama kira… "


 

Biru menunduk-nunduk sambil tersenyum. Padahal sejak tadi tak sedikitpun aku tersenyum. Sejak aku tahu Jonas mengkhianatiku, rasanya aku melihat semua lelaki sama saja.


 

"Saya kesini mau bayar utang Tante. Tadi siang saya pinjam duit Senja buat ongkos ojek karena dompet saya ketinggalan di mobil."


 

Biru meletakkan amplop putih di atas meja. Ih, apa-apaan sih dia ini? Padahal uang yang dia pinjam cuma lima puluh ribu.


 

Wajah Mama mengendur, lalu beliau menarikku agar ikut duduk di sofa yang kosong. 


 

"Jadi, kalian sudah berteman lama?"


 

"Sudah."


 

"Belum."


 

Dua Jawaban yang berbeda keluar dari mulut kami bersamaan. Biru menatapku, matanya seakan berkata : siapa suruh bohong!


 

Mama menatap kami bergantian sekilas, lalu tertawa. Aku salah tingkah, membetulkan mukena yang sebetulnya tak perlu dirapikan lagi.


 

"Kalian ini. Ya sudah, Mama buatin minum dulu ya. Duduknya jauh-jauhan aja."


 

Biru tertawa kecil saat Mama sudah masuk ke dalam.


 

"Aku suka sama Mama kamu. Cool."


 

"Aku nggak mau punya Ayah tiri. Apalagi yang kayak kamu."


 

Biru tertawa lagi. "Kamu lucu Senja. Dan cantik. Dan anggun. Dan…"


 

"Astaga kamu ini. Sebaiknya kalau urusanmu sudah selesai, kamu pulang deh. Aku masih banyak kerjaan."


 

"Nangis?"


 

"Ih, sok tahu."


 

"Itu. Mata kamu merah dan sembab."


 

Aku refleks membuang pandang, dan tanpa sadar mengusap mataku dengan mukena. Apakah terlihat dengan jelas bahwa aku habis menangis? Sungguh memalukan.


 

Aku baru mau menjawab ketika Mama keluar lagi sambil membawa satu gelas teh hangat dan sepiring bolu karamel.


 

"Mama, aku lihat di depan banyak tanaman. Mama suka nanam bunga ya?"


 

Mama. Lancar banget dia manggil Mamaku Mama.


 

"Eh iya. Kamu lihat?" Mama sumringah. Beliau memang sangat mencintai bunga dan hobi bertanam.


 

"Di rumah, Mami juga suka nanam bunga, kadang sampai beranak banyak. Mama mau nggak aku bawain anaknya red lipstick, itu loh aglonema yang daunnya merah? Emmm… Mami juga punya kaktus San Pedro…"


 

"Wah, Mama mau dong. Tapi memangnya boleh ya diminta?"


 

"Boleh Ma. Soalnya banyak banget di rumah. Emm… nanti aku fotoin lagi deh bunga apa aja yang bisa dibawa. Tapi… aku nggak punya nomor WA Senja."


 

Oh itu maksudnya. Dasar cowok penuh modus. Aku jadi curiga tadi siang dia hanya pura-pura lupa nggak bawa dompet dan pinjam uangku. Sepertinya itu cuma alasan supaya bisa datang kesini lagi. Huh, sorry ya. Jonas dan sepupunya, beserta seluruh keluarga dan keturunannya sudah aku black list.


 

"WA Senja atau WA Mama?"


 

Sukurin.


 

"Dua-duanya boleh Ma. Siapa tahu kan pas Mama lagi sibuk, aku bisa WA Senja. Sayang soalnya Ma. Mami aku suka bagi-bagi tanaman."


 

"Kapan-kapan, ajaklah Mami kamu main ke sini ya."


 

Hah?


 

"Mama apa-apaan sih? Kita kan baru kenal sama dia. Jangan mau mau aja deh Ma. Siapa yang tahu kalau dia ini suka bohong."


 

"Loh? Katanya tadi sudah berteman lama."


 

Aduh. Dari sudut mata, aku melihat Biru menahan tawa. Lalu kulihat dia mengeluarkan ponsel dan menyimpan nomor ponsel yang disebutkan oleh Mama. Nomorku dan nomor Mama. Aku menggaruk kepala dibalik mukena. Bersiap-siap, sepertinya mulai saat ini hidupku akan terus diganggu makhluk berwarna Biru… eh bernama Biru ini.




 

***



LEBIH BAIK KITA BERPISAH 5



 

"Senjaaaaa!"


 

Suara Evelyn sudah terdengar padahal orangnya masih di lantai bawah. 


 

"Senja!"


 

"Apa?"


 

Aku melongok dari tangga paling atas, melihat sahabatku naik dengan susah payah. Terkilir beneran rupanya dia. Aku turun dan segera membantunya naik.


 

"Kenapa masuk? Harusnya kamu izin dulu."


 

"Aku takut kamu sendirian di kantor, sedih dan nangis lagi."


 

Aku tertawa, "Nggak lagi. Nangisnya udah cukup. Mulai hari ini aku janji nggak akan nangis lagi karena dia."


 

"Cool!" Evelyn memelukku. Dia memang se ekspresif itu. Kubantu dia duduk di kursinya.


 

"Ini nggak diurut Ev? Kenapa memangnya bisa keseleo?"


 

"Udah kemarin sama Bibik. Aku nyoba pake heels, Ja. Ya masa aku kondangan pake sepatu kets."


 

Evelyn nyengir. Gadis berkulit putih dan bermata sipit ini memang mungil. Tingginya hanya sebahuku. Tapi dia cantik sekali, bak boneka dari China.


 

Aku tertawa kecil.


 

"Padahal kamu pake apa aja juga cantik Ev."


 

Giliran dia yang tersenyum.


 

"Maaf ya kemarin aku nggak jadi nemenin kamu. Trus gimana gimana?"


 

"Gimana apanya?"


 

"Kata Mbak Arin kamu pulangnya dianter cowok ganteng."


 

"Heh. Gosip aja."


 

Dan tiba-tiba saja pembicaraan kami berhenti saat sosok itu tiba-tiba muncul. Seseorang yang tak kusangka sama sekali akan datang. Bukannya dia seharusnya ambil cuti nikah dan sekarang sedang menikmati bulan madu?


 

"Bro! Manten baru ngapain masuk?!"


 

Kamal mewakili isi hatiku. Jonas tertawa.


 

"Gue nggak ambil cuti nikah bro. Ntar aja lebaran sekalian."


 

"Emang nggak bulan madu lo? Apa udah duluan bulan madunya?"


 

Dan mereka tertawa terbahak-bahak. Kamal dan beberapa cowok bagian lapangan yang sejak tadi mondar mandir menunggu jam keluar kantor. Sementara aku, terasa ada yang mencubit hatiku mendengar kata-kata terakhirnya. 


 

"Heh. Tau aja lo Mal. Udah nggak usah kebanyakan nanya. Ntar pengen lagi lo." Sahut Jonas cuek tanpa menoleh padaku. 


 

"Oo… pantes. Seminggu putus sama teman  gue, langsung married. Ternyata udah di DP dulu ya." Evelyn menyambar. 


 

Jonas menoleh, lalu tak sengaja mata kami saling tatap, karena meja Eve memang sejalur denganku. 


 

"Ya nggak apa-apa juga. Senja mah gadis ori. Dapatnya yang ori juga ntar, ya nggak Ja?" 


 

Kamal masih belum puas rupanya. Jonas baru saja hendak menjawab ketika tiba-tiba suara sepatu Pak Heru Bos kami, terdengar tiba di anak tangga paling atas. Seketika semuanya diam, pura-pura sibuk. Aku menghela napas lega, akhirnya bebas dari situasi yang tidak mengenakkan ini. 


 

Tapi semua percakapan itu masih terngiang di telingaku. Bulan madu duluan, DP. Apakah berarti sebelum menikah Jonas sudah melakukannya? Melakukan apa yang dulu selalu dia pinta dariku. Sentuhan dan kontak fisik yang dia sebut sebagai bukti cinta.


 

Allah, kau memang maha baik. Dengan cara-Mu aku akhirnya terbebas dari lelaki itu. Aku tak bisa membayangkan bagaimana rumah tangga ku kelak jika aku menikah dengannya. Bisa jadi tiba-tiba datang perempuan lain yang mengaku punya anak darinya, lalu minta pertanggungjawaban. Aku bergidik membayangkan hal itu.




 

***




 

(Senja, teman kamu kirim ini ke rumah. Bagus banget kan?)


 

WA dari Mama masuk saat jam istirahat. Disertai foto lima pot tanaman yang aku tak tahu namanya. Bagus bagus sekali dan ukurannya besar, bukan anakan seperti yang dia bilang semalam. Aku jadi curiga Biru bukannya meminta bunga itu dari Maminya, tapi beli. Mana ada yang rela kasih bunga sebagus itu ke orang yang nggak dikenal?


 

(Iya bagus Ma. Siapa yang anter?)


 

(Dia sendiri. Bawa pick up.)


 

Sampe perlu pick up. Apa jangan-jangan dia yang jual bunganya? Ah, terserahlah. Toh aku sudah bertekad tak akan berurusan lagi dengan Jonas maupun keluarganya.


 

Aku makan siang dengan Evelyn di meja kerja kami, memesan makanan melalui aplikasi. Evelyn masih belum bisa jalan jauh.


 

"Sumpahku jadi kenyataan. Istri si buaya darat itu jaaauhhh… sama kamu. Cantikan kamu kemana-mana."


 

"Sstt… udah ah, aku nggak mau bahas itu lagi. Case close."


 

"Okeyy!"


 



 

"Senjaaaa!"


 

Astaga. Kadang-kadang aku heran ini kantor atau hutan sih? Semua penghuninya suka sekali teriak macam tarzan. Kalau sudah becanda ramenya minta ampun. Kami cuma kalem kalau Pak Bos sedang ada di ruangan.


 

Aku berdiri dan turun satu anak tangga.


 

"Apa Mbak?"


 

"Ada paket!"


 

"Loh, aku nggak pesan apa-apa mbak?"


 

"Coba tanya sendiri, itu kurirnya masih di depan."


 

Aku dan Evelyn saling tatap. Jangan-jangan aku kena penipuan lagi. Aku bergegas turun dan keluar hendak menemui kurir yang disebut Mbak Arin. Kubawa sekalian paket berbentuk kotak persegi panjang itu.


 

Di luar, seorang lelaki menunggu, duduk di kursi sambil menatap jalan raya.


 

"Mas, maaf saya nggak pesan apa-apa loh, ini apa?"


 

Lelaki itu menoleh dan hatiku langsung mencelos. Tentu saja, kenapa aku tak menduganya.


 

"Ngapain kamu?"


 

Biru tersenyum manis.


 

"Nganter paket buat kamu."


 

"Apa sekarang kamu alih profesi dari tukang tanaman jadi kurir?"


 

Dia meringis sambil menggaruk kepalanya yang ditutup topi.


 

"Plis Senja. Itu isinya cuma coklat kok. Halal dan expirednya masih lama. Aku cuma pengen kamu nggak sedih lagi. Itu aja."


 

Aku terdiam mendengar kata-kata nya yang terdengar tulus. Kutimang paket yang dibungkus dengan kertas kado warna pink itu.


 

"Baiklah, Terima kasih ya. Tapi setelah ini, tolong jangan kirim apa-apa lagi. Aku sudah nggak sedih lagi, dan tanaman Mamaku di rumah sudah banyak. Jangan habisin duit kamu beliin tanaman mahal-mahal buat Mamaku."


 

Biru tertawa malu, dan sepertinya tebakanku tadi benar.


 

"Oke. Kalau itu maumu. Tapi, kita berteman kan? Oh salah, aku boleh mengenal kamu lebih jauh kan?"


 


 

"Dirgantara Langit Biru. Ngapain kamu kesini?!"


 

Kami berdua serempak menoleh. Jonas, entah dari mana tahu-tahu datang, setengah berlari hingga sampai di sisi sepupunya itu. Sepertinya dia habis makan siang di seberang kantor. Dia memandangku, menatap kotak pink di tanganku lalu memandang Biru.


 

"Hey Jo. Gue pikir manten baru kayak lo masih di rumah, mesra-mesraan sama istri."


 

Jonas menatap Biru tanpa senyum.


 

"Dan lo ngapain kesini?"


 

Jonas melirikku.


 

"Oh, ini anter paket buat Senja. Nggak apa-apa kan? Kalian toh sudah putus."


 

Tanpa kuduga Jonas menarik tangan Biru menjauh. Tapi masih kudengar suaranya meski samar.


 

"Jangan macam-macam. Dia mantan pacar gue."


 

"Mantan. Berarti sudah nggak ada hubungan apa-apa lagi. Senja bebas dekat dengan siapa saja."


 

"Memangnya lo pikir dia mau?"


 

Biru tersenyum, menarik kausnya yang ditarik Jonas.


 

"Kita liat aja Jo. Lagian, kenapa sih? Lo udah milih Marsya. Kenapa harus marah-marah kayak gini?"


 

"Karena gue masih cinta sama Senja."


 

Wajahku memanas mendengar kata-kata Jonas, yang diucapkan sedikit keras, seperti sengaja agar aku mendengar. Apa maksudnya berkata seperti itu? Tak tahukah dia bahwa dia telah amat menyakitiku?


 

Aku melangkah maju mendekati kedua lelaki yang kini saling pandang itu. Ku acungkan kotak berisi coklat pemberian Biru sambil memamerkan senyum paling manis yang kupunya.


 

"Bi, aku terima ya coklatnya. Makasih banyak. Aku anggap ini sebagai tanda pertemanan kita."



 

***


LEBIH BAIK KITA BERPISAH 6





 

"Bi, aku terima ya coklatnya. Makasih banyak. Aku anggap ini sebagai tanda pertemanan kita."


 

Senyum Biru mengembang. Dan seperti kemarin, senyum itu lebih dulu terbit di matanya. Dia seorang lelaki berkulit bersih, berambut ikal berwarna hitam pekat. Tingginya sekitar sepuluh senti di atasku. Dan yang paling menarik dari semua itu adalah, bagaimana senyumnya seperti magnet, menarik orang di sekitarnya untuk ikut tersenyum.


 

Kami saling tatap sejenak dengan senyum di bibir masing-masing, mengabaikan dia yang namanya tak ingin kusebut, yang kini menatap kami dengan wajah muram.


 

"Makasih juga, Senja. Semoga harimu menyenangkan setelah terbebas dari lubang buaya."


 

Hahaha… aku tertawa dalam hati, berani sekali dia bilang seperti itu sementara buayanya masih ada disini. Setelah melambaikan tangan padanya, aku berbalik dan naik lagi ke atas. Jika mereka mau bertengkar, silahkan saja. Asal jangan di depanku.


 

"Senja, minta coklatnya."


 

Itu suara Mbak Arin. Aku berhenti dan membuka kotak itu. Ada dua belas batang coklat disana. Ku berikan dua untuk Mbak Arin.


 

"Trims, Ja. Besok Mas Kurir gantengnya suruh kirim es boba ya." 


 

Aku melotot sementara Mbak Arin malah tertawa. Dari sudut mata aku melihat Biru sudah pergi setelah sebelumnya bicara entah apa pada Jo… dia yang namanya tak ingin kusebut.


 

"Senja!"


 

Di anak tangga paling atas, dia yang tak ingin kusebut namanya berhasil menyusulku. Dia menarik tanganku hingga langkahku terhenti. Gerakannya yang kasar dan tiba-tiba membuatku oleng. Hampir saja aku jatuh dan menabrak tubuhnya kalau tak segera berpegangan pada railing tangga.


 

"Kamu apa-apaan sih? Mau nyelakain aku ya?!"


 

Aku setengah membentaknya. Gegas aku menuju mejaku, dimana Evelyn menunggu dengan makan siang kami yang belum habis. Sayang dia sedang keseleo jadi tidak ikut menyaksikan drama kolosal dibawah tadi.


 

"Kamu yang apa-apaan. Ngapain kamu berhubung dengan Biru. Dia itu sepupu aku!"


 

Suara dia yang tak ingin kusebut namanya tidak kalah keras. Wajahnya kaku dan tatapan matanya… seperti seseorang yang terbakar cemburu. Padahal sebelum ini, dia tak pernah menampakkan rasa cemburu. Aku memang tidak pernah dekat dengan lelaki manapun selain dia. Waktuku yang berharga hanya kugunakan untuk bekerja, membaca buku di rumah dan membantu Mama bertanam bunga. Mungkin menurut dia, tak akan ada lelaki lain melirikku setelah putus darinya.


 

"Memangnya kenapa? Kamu sudah nggak punya lagi hak mengaturku. Terserah aku mau dekat dengan siapa."


 

"Iya. Terserah kamu. Tapi jangan Biru ataupun sepupu aku lainnya. Jangan dengan orang yang aku kenal, apalagi saudaraku."


 

"Bukan urusanmu." Aku menantang matanya yang melotot.


 

"Yee… aneh kamu Jo. Kalo udah nikah tu yang diurusin istri, bukan mantan pacar."


 

Evelyn ikut nimbrung. Dia yang tak ingin  kusebut namanya merengut, lalu berjalan dengan cepat ke mejanya sendiri. Aku akhirnya duduk di kursi ku sambil meletakkan kotak berisi coklat yang masih sepuluh.


 

"Biru siapa sih?" Tanya Evelyn. "Dan coklat ini?"


 

"Iya. Itu coklat dari Biru. Sepupunya dia yang kemarin nganter aku pulang."


 

Mata Evelyn membola. "Oh, No. Kayaknya ada yang lupa cerita sama aku."


 

Aku meringis. Padahal tadinya ingin menyembunyikan saja moment perkenalanku dengan Biru. Toh setelah itu aku bertekad melupakan dan tak mau lagi menjalin hubungan meski sekedar berteman. Tapi rupanya, sosok itu bak virus yang menebar dengan cepat. Dia bergerak dengan gesit, mendekati Mama dan kini berusaha mengambil hatiku. Ya, aku bukan tak tahu bahwa dia melakukan semua ini untuk membuatku jatuh hati. Tapi aku perlu berpikir seratus kali sebelum menjalin hubungan dengan seseorang dari keluarga Jo… dia yang… aahh… baiklah. Jonas.


 

"Jadi tadi dia kesini nganter coklat ini, lalu ketemu Jonas gitu?" Bisik Evelyn, menyimpulkan sendiri.


 

Aku mengangguk, membagi dua coklat itu untuknya.


 

"Ganteng nggak? Kata Mbak Arin kemarin ganteng banget."


 

"Nah itu kamu udah tahu."


 

"Senjaaaa, ayo move on kalo gitu."


 

"Aku udah move on. Yang belum itu dia. Aneh."


 

Evelyn terkikik.


 

"Berani taruhan, dia lagi menyesal menyia-nyiakan gadis kualitas super sepertimu."


 

"Aku merasa jadi lengkeng bangkok."


 

"Hahaha…"



 

***



 

Sampai di rumah, kutemui Mama sedang asik memandangi pot bunga barunya. Ada lima pot dan semuanya bagus dan besar-besar. Bisa ketebak dia menghabiskan cukup banyak uang untuk membeli semua pot bunga ini. Aku betul-betul tak percaya dia meminta dari Maminya.


 

"Hey, kok malah bengong, bagus kan?"


 

Mama menegurku, karena turun dari mobil aku bengong menatap bunga itu sementara otakku sibuk berhitung.


 

"Hemm… iya bagus."


 

"Senjaaa… cowok ganteng itu ada hati sama kamu. Dan dia pandai sekali mengambil hati calon mertua."


 

"Mama…"


 

Mama tertawa. Belum apa-apa Mama sudah menyebut dirinya sendiri calon mertua. Bisa geer Biru kalau mendengarnya.


 

"Ma, Biru itu, sepupunya mantan pacar aku yang kemarin nikah. Memangnya Mama nggak takut tabiatnya mereka sama?"


 

"Loh? Ya nggak dong. Setiap orang adalah pribadi yang berbeda. Bahkan saudara sekandung saja bisa berbeda, apalagi yang cuma sepupu. Mantan kamu sekalipun nggak mau ketemu Mama. Kalian jalan ketemuan di luar. Apa-apaan itu? Tapi kamu mbeling, nggak bisa diomongin. Kalo Biru… hemm… dia langsung datang dan dengan pandainya mengambil hati Mama."


 

Jika di tengah kalimat Mama tampak kesal saat membahas Jonas, di ujung kalimatnya Mama tersenyum.


 

"Dan Mama membayangkan punya cucu yang cantik dan ganteng kalau kamu nikah sama dia."


 

Astaga.


 

"Mamaaaaaa…"


 

Aku akhirnya berlari masuk, tak sanggup lagi mendengar khayalan Mama tentang Biru. Bagaimana bisa sosok itu dengan cepat menerobos pertahanan di rumahku? 


 

Suara notifikasi pesan masuk di ponsel yang akhirnya mengalihkan perhatianku. Kuraih benda itu dari dalam tas, dan mendapati sebuah pesan masuk. Dari Jonas. Aku mendesah dengan kesal karena tak bisa menghindarinya. Di kantor, kami harus bertemu setiap hari, dan dia masih bisa mengirim pesan karena aku tak bisa mengganti nomor ponsel.


 

(Senja, aku minta maaf. Plis jangan marah dan jangan menjauh dariku. Aku menyesal.)


 

Apa-apaan dia ini?


 

Aku meletakkan ponsel di atas meja, sama sekali tak berniat membalasnya. Tapi kemudian aku terkejut karena dia mencoba menghubungiku melalui video call. Dengan kesal ku tolak panggilannya.


 

(Senja, aku kangen kamu.)


 

(Tolong jangan menjauh. Jangan dekat dengan lelaki lain. Aku akan segera menceraikan Marsya dan melamarmu.)


 

Pesannya masuk lagi secara beruntun.


 

(Aku menyesal. Aku tak bisa melewati satu malam saja tanpa membayangkan wajahmu.)


 

(Aku masih sangat mencintaimu.)


 

Jonas benar-benar sudah gila. Membaca semua pesannya itu membuatku merinding. Geli, marah dan juga jijik, mengingat tingkahnya yang tega mempermainkan banyak hati selama ini. Setelah dia menyakitiku, apakah kini dia sedang bersiap menyakiti hati yang lain? Hati istrinya?


 

Akhirnya, aku mengambil alternatif lain. Kubuka profil Jonas di kontak WA dan menekan tombol blokir.



 

***


LEBIH BAIK KITA BERPISAH 7




 

Aku baru saja menutup pintu mobil ketika sebuah tangan menarikku. Terkejut, ku dorong tubuh Jonas yang nyaris saja menempel.


 

"Kamu gi-la ya?!"


 

Parkiran kantor masih sepi. Aku memang sengaja datang pagi-pagi karena ada pekerjaan yang harus aku selesaikan sebelum jam sepuluh. Tapi kemudian aku menyesal mendapati dirinya sudah menungguku disini.


 

Jonas menatapku.


 

"Kenapa kamu blokir nomorku?"


 

"Bukan hanya blokir, tapi sudah ku-delete. Memangnya kenapa? Kita sudah nggak punya hubungan apa-apa lagi, Jo. Plis, jangan bikin aku muak."


 

Wajahnya berubah sekejap, tampak terluka oleh kata-kata yang baru saja kuucapkan.


 

"Apakah karena Biru?"


 

"Biru atau siapapun bukan urusanmu."


 

Jonas mendesah, tapi tak mau beranjak hingga aku tak bisa pergi. Posisinya yang berdiri tepat didepanku sementara ada badan mobil di belakang, membuatku harus melewatinya jika ingin pergi.


 

"Senja, aku minta maaf."


 

Terlambat. Bisikku dalam hati.


 

"Aku… aku menyesal. Marsya tidak sebaik dirimu. Aku…"


 

"Jonas. Aku sudah memaafkanmu. Dan jujur saja, aku bersyukur memutuskan berpisah waktu itu. Aku tak bisa membayangkan jika aku yang ada di posisi Marsya. Membayangkan suamiku merayu mantan kekasihnya."


 

Wajah Jonas memerah. "Aku yakin semua ini karena Biru. Tak kusangka kau begitu mudah berpaling."


 

Aku nyaris tertawa mendengarnya.


 

"Dan kau bahkan menjalin hubungan dengan banyak wanita saat masih bersamaku."


 

"Pasti dia juga menjelek-jelekkan aku."


 

"Kukira dia hanya mencoba membuka mataku yang selama ini tertutup. Dan setelah kupikir-pikir, dia benar. Tak seharusnya aku menangisi lelaki pengecut sepertimu."


 

"Si-alan!"


 

Jonas meninju badan mobilku. Aku terbelalak.


 

"Awas kalau lecet, gajimu ku potong bulan ini."


 

Mau tak mau, aku terpaksa mendorong Jonas agar bisa pergi. Langkahku tergesa memasuki ruangan kantor. Aku lalu berhenti di lobby dengan pintu depan terpentang lebar. Tak berani masuk. Bagaimana kalau dia ikut masuk sementara hanya ada kami berdua?


 

Tapi Jonas tak kunjung muncul. Entah apa yang dia lakukan. Tapi setidaknya aku bisa menarik napas lega. Kemudian satu persatu para karyawan mulai berdatangan. Setelah cukup ramai, aku ikut naik ke atas.


 

Jonas benar-benar gi-la. Setelah mencampakkan aku begitu saja, kini dia mengemis cinta, bahkan berjanji akan menceraikan istri yang baru tiga hari dinikahi. Dengan cepat, Tuhan membongkar topengnya selama ini. Dulu, saat masih bersamaku, dia selalu punya alasan untuk menolak datang ke rumah dan bertemu Mama. Dia tak mau cepat-cepat menikah. Apakah karena terjadi sesuatu pada Marsya hingga dia harus segera menikahinya? Hamil duluan misalnya.


 

Aku bergidik. Ah, terserah lah. Bukan urusanku.


 

Evelyn dan Jonas tiba di lantai atas nyaris bersamaan. Jonas langsung melewati mejaku dengan tampang masam. Sementara Evelyn menatapku, bertanya tanpa suara.


 

"Kenapa dia?"


 

Aku hanya menggelengkan kepala, lalu mulai menyalakan laptop. Aku bekerja sebagai staff keuangan perusahaan properti sehingga menjelang akhir bulan seperti ini, cukup sibuk. Pengeluaran dan pemasukan perusahaan, dan termasuk didalamnya adalah gaji karyawan adalah tanggung jawabku.


 

Hari masih pagi, jam kerja baru akan dimulai lima belas menit lagi ketika Mbak Arin muncul di anak tangga paling atas. Ada dua kotak donat di tangannya.


 

"Senjaaaa, kurir ganteng kamu datang lagi tadi, tapi dia langsung pergi. Ini kirim donat. Bagi-bagi ya!"


 

Aku ternganga, sementara Evelyn yang seperti nya sudah sembuh kakinya, ikut menyerbu donat itu, bersama para karyawan lain. Dan tanpa sengaja, tatapan mataku bersirobok dengannya. Jonas. Dia menatapku tak berkedip dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. Aku mengalihkan pandangan darinya, tersenyum melihat teman-temanku yang gembira dengan rezeki pagi hari.


 

Biru, sebegitunya kamu berusaha mengambil hatiku. Nanti, jika aku telah menyerahkan hati padamu, apakah kamu akan mempermainkannya juga? Seperti dia?



 

***



 

"Nggak usah manja, Sya. Aku ini kerja."


 

Suara Jonas bicara di telepon terdengar ketika aku hendak ke toilet. Dia duduk di meja pantry, menghadapai segelas kopi panas. Aku pura-pura tak melihat, berjalan dengan langkah pelan. Untungnya dia duduk membelakangi pintu sehingga tak melihat saat aku lewat. Tapi suaranya yang menggelegar terdengar. Dia seperti sedang marah.


 

"Nggak usah bulan madu segala. Bukannya kita sudah sering bulan madu sebelum ini?"


 

Astaga. Aku berlari masuk ke dalam toilet dan menutup pintunya. Suara Jonas serta merta lenyap. Di dalam, aku tercenung mengingat kata terakhirnya. 


 

'Nggak usah bulan madu segala. Bukannya kita sudah sering bulan madu sebelum ini?'


 

Apakah itu berarti selama ini, sebelum menikah mereka sudah sering melakukannya? Saat aku masih berstatus kekasihnya? Dan tahukah gadis bernama Marsya itu kalau suaminya dulu sering mendua hati? Dan selain Marsya, tubuh gadis mana lagi yang sudah dia cicipi?


 

Aku keluar dari bilik toilet dan berdiri di depan wastafel. Memandang wajahku sendiri yang tiga minggu lalu kehilangan cahaya. Saat baru putus dengannya, aku memang sedih luar biasa. Tapi kini, aku bersyukur, Allah yang maha baik telah melindungiku.


 

Aku keluar dari toilet dan berusaha tak bersuara. Jonas masih ada di pantry dan saat aku lewat, tiba-tiba saja dia menoleh.


 

"Senja!"


 

Dia berlari keluar dan menghadang langkahku.


 

"Nanti sore, pulangnya aku antar."


 

Aku mengerutkan kening dengan heran.


 

"Jonas, tolong berhenti menggangguku."


 

"Cuma anter pulang aja, Ja. Aku janji nggak akan ngapa-ngapain. Aku cuma kangen masa-masa dulu."


 

"Aku nggak. Masa-masa dulu yang penuh kesalahan dan kesia-siaan itu justru sangat ingin kulupakan."


 

"Senja… kamu berubah."


 

Aku tersenyum.


 

"Semua orang berubah. Termasuk aku dan kamu. Untuk terakhir kalinya aku minta kamu berhenti menggangu atau aku akan minta Pak Heru memindahkanmu ke lapangan sehingga kita nggak perlu sering ketemu. Aku yakin beliau tak keberatan jika aku ceritakan semuanya."


 

Wajah Jonas memerah. Dia lalu berjalan mendahuluiku. Langkahnya lebar-lebar, menggambarkan hatinya yang sedang kesal. Aku menghela napas panjang menatap punggungnya. Punggung lelaki yang dulu pernah sangat kucintai, dan kini sangat ingin aku lupakan.



 

***



 

"Senja, minggu ke Bukit Sakura ya."


 

Evelyn menjajari langkahku.


 

"Ngapain?"


 

"Foto-foto lah, Ja. Aku mau pake handbook. Kayaknya kalo aku pake baju putri Korea itu bakalan mirip Dong Yi deh."


 

Aku tertawa. "Tapi disana panas."


 

"Kalo gitu kita kesananya sore."


 

"Hemm… oke."


 

Kami terus berjalan keluar menuju area parkir. Evelyn juga membawa mobil, bedanya kalau mobilku adalah toyota yaris lama warisan Papa, mobil Evelyn adalah Audi A3 yang masih kinclong dan mulus. Dia keturunan Tionghoa yang kaya raya. Orang tuanya punya toko emas. Tapi Evelyn memilih bekerja di tempat lain untuk mengasah kemampuannya meski nantinya dua toko emas besar itu tetap akan jadi miliknya.


 

"Loh, ban mobilku kempes."


 

Aku terkejut saat melihat ban depan mobilku kempes sebelah.


 

"Wah sudah perlu ganti ban kayaknya, Ja."


 

Aku mengangguk, meski seingatku ban mobil itu belum lama diganti.


 

"Ya udah aku anter." 


 

"Nggak usah, Ev. Senja biar aku yang anter."


 

Jonas.


 

Aku menghela napas, entah bagaimana caraku bilang padanya. Segala ancaman ku tak juga mempan. Evelyn menatapku, sementara Jonas, tanpa raut wajah berdosa dia membuka pintu samping mobil, tersenyum sambil menatapku.


 

"Naiklah Senja. Aku hanya mengantarmu pulang. Sungguh, aku janji."




 

***


LEBIH BAIK KITA BERPISAH 8



 

"Hey… No… no… no… tak boleh!"


 

Suara Evelyn meniru Meimei di serial Upin Ipin terdengar. Dia langsung menarikku menuju mobilnya.


 

"Enak aja main ajak-ajak sohib gue. Inget Jo, You udah punya istri yeee. Jangan bikin temen gue kayak pela-kor."


 

Aku tak bisa menahan tawa mendengar suara Evelyn. Ih, lagian siapa juga yang mau. Aku lebih memilih naik taksi online dari pada harus semobil dengan Jonas. Selain alasan yang baru saja dikatakan Evelyn, aku juga tak mau merendahkan diriku sendiri dengan menerima ajakan seseorang yang jelas-jelas punya niat tak baik.


 

"Senja, nggak akan ada yang bilang kamu pelakor. Marsya-lah yang pelakor."


 

Evelyn langsung meletakkan jari telunjuk nya dalam posisi miring di kening mendengar ucapan Jonas.


 

"Sejak married, dia kurang se-ons." Bisik Evelyn. Kami lalu menuju mobilnya yang berjarak dua mobil dariku. Tak lagi peduli pada Jonas yang mungkin masih memandangiku. Tiba-tiba saja aku teringat sesuatu. Aku berhenti dan berbalik menatap Jonas.


 

"Ngomong-ngomong, apa kamu yang ngempesin ban mobil aku?"


 

Jonas terkejut. Dan entah kenapa aku merasa tebakanku benar.


 

"Awas aja ya. Aku bakalan cek CCTV besok. Kalau sampe betulan, gajimu bulan ini aku potong."


 

Jonas meringis. Sementara Evelyn mengerutkan kening.


 

"Itu masuk tindak kriminal. Lapor polisi aja, Ja."


 

"Hah?"


 

Jonas terkejut, sementara aku terdiam. Jujur saja hal itu tak pernah hinggap dalam pikiranku. Melaporkan mantan pacar ke polisi. Bisa-bisa semua orang menganggap aku belum move on.


 

Tiinnn…


 

Suara klakson mobil menginterupsi perdebatan kami. Lalu sebuah mobil fortuner putih berhenti tak jauh dari mobilku, penumpangnya melompat turun.


 

"Senja, tadi aku kebetulan lewat, liat dari depan kok kamu belum pulang?"


 

Evelyn sudah menyenggol-nyenggol tanganku. Sementara Jonas tampak kesal melihat kehadiran Biru yang tiba-tiba.


 

"Ya Tuhan, betapa sempurna ciptaan-Mu." Desis Evelyn. Dia menatap Biru tanpa kedip.


 

"Ban mobilku kempes, Bi. Ini baru mau pulang sama teman. Oh ya, kenalin ini sahabatku. Namanya Evelyn."


 

Evelyn mengulurkan tangan dan mereka berdua bersalaman. Entah bagaimana kami bertiga seperti sepakat mengabaikan makhluk bermuka masam yang masih berdiri di dekat mobilku.


 

"Oh, jadi ini Biru. Hemm… entah ya. Aku merasa kalian cocok aja gitu."


 

"Ev…"


 

Evelyn tertawa.


 

"Ya udah, tolong anter Senja gih. Tapi duduknya jangan dekat-dekat ya. Senja ini cewek langka."


 

"Museumin sekalian aja kalo gitu."


 

Aku melotot pada Evelyn sementara Biru tertawa, mengacungkan jari jempol dan telunjuk kanannya membentuk huruf O. Evelyn berjalan memutar menuju mobilnya sendiri.


 

"Eh, Senja! Senja Langit Jingga! Jangan lupa besok aku dibawain coklat lagi!"


 

Evelyn berseru sebelum masuk ke mobilnya dan benar-benar meninggalkan aku sendiri. Emm… maksudku bertiga dengan dua lelaki yang kini memandangiku.


 

"Biru, bilang aja kamu sengaja kesini kan?" Jonas sudah menghadang.


 

"Ya, kalo sengaja emangnya kenapa Bro? Gue sama Senja kan sama-sama single. Nggak akan ada yang ngelarang."


 

"Tapi dia mantan pacar gue."


 

Biru menjentikkan jarinya di depan wajah. 


 

"Mantan. Nah, kamu ingat itu baik-baik. Dan satu lagi yang perlu kamu ingat. Kamu udah punya istri dan belum seminggu kalian menikah."


 


 

"Bi… ayo anter aku pulang!"


 

Mereka berdua serempak menoleh mendengar suaraku. Biru tersenyum dan berlari menuju mobilnya.


 

"Your Wish, My Lady."


 

Aih…


 

Dan dia menoleh lagi pada Jonas.


 

"Eh, Bro. Buruan pulang gih. Ditungguin Marsya!" Serunya.



 

***



 

"Jadi nama kamu Senja Langit Jingga."


 

Biru menoleh sekilas lalu kembali fokus pada stir di tangannya.


 

"Hemm… iya."


 

"Pantes aja, aku ngerasa kita jodoh. Ternyata nama kita mirip banget ya."


 

"Cuma kebetulan."


 

"Nggak ada yang kebetulan di dunia ini Senja. Atau gimana kalo aku panggil Jingga aja. Jingga dan Biru, keren sekali. Apalagi kalo udah ditulis di kertas undangan."


 

"Jangan ngaco kamu."


 

Dia tertawa. 


 

"Senja. Apa Jonas masih sering ganggu kamu?"


 

Suaranya kini mulai serius. Aku terdiam sesaat, menimbang apakah harus jujur atau tidak.


 

"Nggak apa-apa, jujur aja. Soalnya Tante Ivanka, Mamanya Jonas telepon aku. Katanya Marsya di rumah nangis terus. Padahal kan itu nggak baik buat perempuan yang sedang hamil."


 

"Hah? Hamil?"


 

Biru mengangguk.


 

"Aku nggak bermaksud membeberkan aib orang. Tapi atas permintaan Tante Ivanka, aku disuruh mengawasi Jonas. Emmm… sebenarnya aku nggak mau. Enakan juga jagain kamu. Iya kan."


 

Dasar anak ini. Lagi serius bisa-bisa nya bercanda. Sementara aku sendiri masih terkejut dengan kata 'hamil'. Mereka baru menikah tiga hari loh. Ya ampun.


 

"Tante Ivanka tahu betapa playboy anaknya itu. Jadi dia minta tolong aku mengawasi Jonas. Kebetulan juga kantor kita dekat."


 

Aku malah baru tahu fakta ini. Pantas saja dia dengan mudahnya tiba-tiba muncul mengantarkan ini dan itu.


 

"Bi, sebenarnya aku nggak mau tahu lagi tentang Jonas. Tapi ya, dia memang menggangguku, sangat mengganggu. Dia bahkan bilang akan menceraikan Marsya."


 

"Astaga, dasar buaya." Sergah Biru sambil mengusap wajah. 


 

Aku tersenyum miris, mengingat-ingat wajah Marsya yang cantik. Sekarang dia hamil saat usia pernikahannya baru saja tiga hari. Entah bagaimana dia menghadapi tekanan dari omongan orang di sekitarnya, apalagi jika dia tahu Jonas berniat menceraikannya. Jonas, kamu benar-benar lelaki jaha-nam.


 

Mobil akhirnya sampai di depan pagar rumahku. Biru ikut turun tanpa kusuruh.


 

"Aku anter sampai pintu dan pamit Mama. Biar nggak dikira sopir taksi online."


 

Aku tersenyum geli, sesaat lupa dengan Jonas dan Marsya. 


 

"Oh ya, nanti mobil kamu biar diurus teman aku. Boleh pinjam kuncinya? Nanti dianter ke sini. Gimana?"



 

***


 

Apakah memang seperti itu sifat kebanyakan lelaki? Dengan mudahnya menyia-nyiakan sesuatu yang sudah dimilikinya. Lalu baru merasa miliknya itu berharga setelah dia kehilangan.


 

Seminggu lamanya kami berpisah sebelum akhirnya dia memberi undangan pernikahan. Itu artinya, saat dia terus menerus menolak bertemu Mama, keluarganya tengah sibuk membahas acara pernikahannya. Dan di bulan-bulan sebelumnya saat dia tak berhasil mendapatkan apa yang dia inginkan dariku, dia mencarinya dari gadis lain? Berapa lama kamu jalan dengan Marsya di belakangku sampai dia hamil duluan seperti ini? Dan kemana saja aku selama ini sampai tak tahu bahwa lelaki yang berstatus kekasihku itu tengah sibuk menebar benih di ladang yang lain?


 

Astaghfirullah.


 

Aku mengusap wajah. Sungguh aku tak ingin lagi memikirkan hal apapun tentang Jonas. Tapi dia seperti Alien, tak mau menjauh dari ku.


 

Suara notifikasi ponsel mengalihkan perhatianku. Aku meraih benda itu dan melihat jam sebentar. Sudah nyaris tengah malam. Jam delapan tadi, mobilku sudah diantar ke rumah. Bannya diganti dan si pengantar menolak dibayar. Itu artinya aku akan berurusan dengan Biru lagi besok.


 

(Ini Senja ya?)


 

Sebuah pesan dari nomor tak dikenal masuk ke WA-ku.


 

(Saya Marsya, istrinya Jonas. Bisa kita ketemu besok?)




 

***


LEBIH BAIK KITA BERPISAH 9





 

Dia seorang gadis cantik dan berwajah lembut, selaras dengan suaranya yang halus dan mengalun. Aku menemuinya siang hari di jam istirahat bersama Evelyn, yang ngotot harus ikut.


 

"Jangan pergi sendiri, Ja. Tahu nggak kamu kebanyakan psikopat itu tampangnya lembut dan terpelajar."


 

"Ishh… kenapa jadi ngomongin psikopat? Dia itu cuma gadis lugu korbannya Jonas."


 

"Tetap aja, kamu perlu saksi mata siapa tahu suatu saat dia membalikkan fakta."


 

Aku pasrah. Aku dan Evelyn memang nyaris tak terpisahkan. Kami bersahabat sejak SMA. Orang tua Evelyn yang protektif terhadap anak gadisnya itu dengan mudah memberi izin bepergian jika bersama aku. Dulu biasanya Eve menggunakan namaku supaya bisa ketemu pacarnya. 


 

"Pergi sama Senja, Mami. Plis…"


 

Padahal dia ketemu pacarnya. Masa-masa remaja kami memang sedikit nakal, tapi kami tetap tahu batasan. Sampai saat ini aku bisa menjamin Evelyn masih perawan.


 

Dan kini, kami bertiga duduk lagi di warung bakso Pakde Suryo. Aku telah memastikan Jonas tak ada di kantor. Dia dikasih tugas luar oleh Pak Heru, menemani konsumen yang mau melihat unit perumahan yang sedang kami bangun. Marsya agak sedikit kaku saat melihat aku tak datang sendiri.


 

"Jadi, untuk apa kamu ngajak aku ketemu?"


 

Aku langsung pada pointnya. Jujur saja aku tak bisa menganggapnya teman mengingat dia selama ini ada di pelukan Jonas sementara Jonas masih berhubungan denganku.


 

"Aku tahu kamu mantan pacar Jonas."


 

Aku terdiam sejenak, "Lalu?"


 

"Aku bahkan tahu bahwa selagi dia berhubungan denganku, dia juga masih pacaran sama kamu."


 

Oh, great.


 

"Aku masih belum mengerti apa maksudmu dengan membeberkan aibmu sendiri, Sya. Aku dan Jonas putus tiga minggu sebelum kalian menikah. Jadi sudah tak ada lagi yang perlu kita bicarakan."


 

"Ada."


 

Dia melirik gelisah Evelyn yang menatapnya sambil memeluk kedua tangan. Sikap Evelyn sepertinya membuat Marsya terintimidasi.


 

"Aku memang salah, Senja. Aku mau mau saja jadi kekasihnya padahal tahu dia masih pacaran sama kamu. Dan kesalahan yang kedua, aku sudah menyerahkan diriku padanya jauh sebelum kami menikah. Jadi… jadi Jonas merasa terpaksa menikahiku karena aku sudah hamil."


 

Aku terdiam mendengar suaranya. Dibawah meja, Evelyn menyenggol kakiku. Tatapan matanya seakan hendak berkata : apa aku bilang!


 

"Satu lagi, kamu tahu nggak selain kita berdua, dia juga punya pacar lain? Tadinya aku pikir kalo aku hamil, dia akan berhenti bertualang dan mau mencintaiku dengan tulus."


 

"Dan bukankah dia sudah berhenti bertualang?"


 

Marsya menggeleng.


 

"Aku nggak tahu. Tapi setiap hari ada saja chat dari cewek lain. Dan yang lebih menyakitkan, dia terus membandingkan aku dengan kamu. Katanya aku cewek murahan, beda dengan kamu yang sangat menjaga kehormatan."


 

"Tapi itu emang bener loh. Ya jangan tersinggung dong."


 

Evelyn langsung menyambar. Wajah Marsya merah padam mendengarnya. Sementara aku menghela napas panjang mendengar cerita gadis ini.


 

"Marsya, gini ya. Aku dan Jonas sudah putus cukup lama sebelum kalian menikah, jadi aku nggak akan menganggap kamu merebut pacarku." Aku terdiam sejenak, merasa malu sendiri mengatakan hal itu.


 

"Dan apa yang terjadi di belakangku, antara kamu dan Jonas juga gadis-gadis lain yang pernah berhubungan dengannya, itu sudah kulupakan. Aku tak mau mengingatnya. Sungguh."


 

"Tapi Jonas selalu menyebut namamu, Senja." Air matanya mulai menitik, menandakan hatinya yang sakit. "Senja cantik, baik dan sopan. Senja lembut dan tak mau sembarangan dipegang cowok lain. Senja pintar dan berprestasi. Senja…"


 

"Marsya. Aku nggak bisa mencegah Jonas bicara apapun. Aku tak punya kuasa untuk itu. Kamu telah memilihnya padahal kamu tahu sifat dan kelakuannya selama ini. Jadi bertanggung jawablah pada pilihanmu."


 

Gadis itu terisak. Aku dan Evelyn saling tatap.


 

"Ja, kita harus masuk. Sudah jam satu lewat." Evelyn mengingatkan.


 

"Ya. Ayo." Aku menatap Marsya sebentar. "Maaf kami harus masuk kantor lagi. Aku hanya bisa berdoa semoga Jonas berubah."


 

"Kamu bisa melakukan satu hal untuk membantuku, Ja. Plis. Demi bayi dalam kandunganku ini." Marsya mengusap perutnya.


 

Aku menatapnya, menunggu.


 

"Resign dari kantor. Berhentilah bekerja disini supaya kalian tak perlu bertemu lagi."


 

"Apa?"


 

"Atau mungkin aku bisa melapor pada atasan kalian agar kamu dipindahkan, karena kamu mengganggu ketentraman rumah tangga kami."


 

Aku terbelalak, tak percaya dia berani mengatakan hal selancang itu. Namun, sebelum aku sempat bersuara, Evelyn tertawa disampingku.


 

"Kamu lucu, Marsya. Selain tak tahu diri, ternyata kamu lucu banget. Asal kamu tahu ya, bos di kantor ini pamannya Senja."



 

***



 

"Cewek nggak tahu diri, freak. Kan kubilang juga apa. Jangan tertipu dengan tampang lembutnya."


 

Evelyn ngomel-ngomel. Kami bersicepat kembali ke kantor sebelum Pak Heru melihat bahwa kami terlambat, telat tiga puluh menit dari jam istirahat. Karena walaupun beliau Pamanku, di kantor Om Heru tetap menganggapku karyawan.


 

Aku sendiri masih tak habis pikir dengan Marsya. Dia dan suaminya yang bermasalah, kenapa jadi aku yang disalahkan?


 

"Ev, kupikir setelah Jonas menikah, aku akan sedih sebentar, lalu melanjutkan hidup seperti biasa. Tapi rupanya tidak bisa. Dia masih saja menimbulkan masalah untukku."


 

"Lapor Pak Heru aja. Dia harus dikasih pelajaran."


 

Aku terdiam, masih belum bisa memutuskan. Jujur saja aku kaget dengan permintaan Marsya tadi.


 

Tiba di atas, kami langsung melanjutkan pekerjaan, meski aku gelisah karena wajah Marsya dan permintaannya yang aneh tadi terus membayang. Ah, ini semua gara-gara Jonas. Tidak bisakah dia menerima kenyataan bahwa kami sudah putus dan dia kini suami seseorang?


 

Aku pulang terlambat, gara-gara kurang konsentrasi. Pekerjaan yang seharusnya selesai sore jadi tak selesai. Evelyn minta maaf karena tak bisa menemaniku. Tapi aku bersyukur karena ada Mbak Ismi, Office girl yang menemani ku di kantor. Aku duduk di hadapan laptop sementara dia menyapu lantai.


 

"Loh, Mbak. Itu mas kurir yang anter donat kemarin. Teman Mbak Senja kan?"


 

Mbak Ismi melongok ke bawah dari jendela yang tepat menghadap ke halaman parkir.


 

"Hah? Biru?"


 

"Loh… loh… kok berantem sama Pak Jonas?"


 

Aku tercengang, tanpa pikir panjang berlari ke bawah. Di luar aku melihat Jonas menarik kerah kemeja Biru sambil mengacungkan tinju kanannya. Sementara Biru tampak tetap tenang, tak mengalihkan wajah dari sepupunya itu.


 

"Cari cewek lain! Jangan Senja! Dia punya gue!" teriak Jonas. Posisi mereka tak memungkinkan melihatku yang baru keluar dan terpana melihat pemandangan itu.


 

Biru menarik bajunya hingga terlepas dari cengkraman Jonas, mendorong tinju Jonas menjauh dari wajahnya masih dengan gerakan tenang.


 

"Nggak malu ngomong gitu, Bro? Mau gue lapor Tante Ivanka?"


 

"Dasar tukang ngadu! Pokoknya kalau sampe lo dekat-dekat Senja, awas!"


 

Biru tersenyum.


 

"Gue nggak bakalan dekat-dekat Senja. Ups, maksud gue, nggak bakalan hanya sekedar dekat. Gue akan segera melamar senja ke Mamanya. Karena gue lelaki, bukan pecundang!"




 

***


LEBIH BAIK KITA BERPISAH 10



 

"Berhenti!"


 

Kedua lelaki itu menoleh serempak. Ada keterkejutan di raut wajah keduanya. Mereka tahu aku masih ada di kantor karena mobilku masih terparkir manis, tapi, sepertinya, tak menyangka bahwa aku akan datang dan memergoki kelakuan mereka yang seperti abege labil.


 

"Senja!" Jonas memburu ke arahku, tapi Biru diam saja dengan raut wajah bersalah.


 

"Berhenti, Jo! Dan kamu juga Bi. Dengar baik-baik. Mungkin kalian pikir aku bangga diperebutkan oleh dua lelaki. Kalian salah besar. Kalian membuatku seperti perempuan yang tak punya harga diri!"


 

"Bukan begitu maksudku, Senja! Aku…"


 

"Diam kamu, Jo. Aku serius kali ini. Kalau kamu masih juga menggangguku, aku akan melaporkan kamu ke polisi dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan. Jadi sebaiknya mulai saat ini anggap saja kita nggak pernah saling kenal!"


 

Tanpa menunggu reaksi keduanya, aku berlari masuk, naik ke atas dan segera membereskan pekerjaanku yang belum selesai. Aku akan membereskannya di rumah saja. Hati dan perasaanku kacau balau.


 

"Mbak Senja mau pulang ya?!" seru Ismi. 


 

Aku mengangguk tanpa berniat menjelaskan lagi. Hatiku yang kesal membuat tenggorokanku rasanya tercekat.


 

Di luar sudah sepi. Mobil Jonas sudah tak ada. Sambil mengusap mata yang basah, aku naik ke dalam mobil. Kebiasaan buruk, kesal pun bisa membuatku menangis. Kucoba untuk tetap berkonsultasi pada stir mobil dan jalan yang masih padat oleh kendaraan.


 

Setelah membuka pagar rumah dan memasukkan mobil ke halaman, aku diam sejenak. Aku tak ingin menampilkan wajah yang sedih dan kesal di depan Mama. Mama terbiasa melihat aku yang ceria. Setelah menarik napas berkali-kali, barulah aku menghentikan mobil dan turun.


 

"Senja!"


 

Aku terkejut mendengar suaranya. Biru turun dari mobilnya yang dia parkir di luar pagar, dan berlari menghampiriku. Rupanya dia mengikuti dari belakang dan aku tidak menyadari hal itu. Kami bertatapan sejenak sebelum aku membuang pandang pada pot pot bunga Mama yang indah.


 

"Aku mau minta maaf. Sungguh, tadinya aku tak mau seperti itu, bertengkar memperebutkan seorang wanita juga bukan gayaku. Tapi ini berbeda. Aku… aku jatuh cinta padamu. Aku sungguh-sungguh Senja."


 

Dia mengucapkan semua kalimat itu dengan tenang meski sebelumnya sempat mengatur napas setelah berlari. Aku menatapnya, langsung di manik mata hitam miliknya yang teduh, tapi kadang bersinar jenaka.


 

"Senja, mungkin ini terdengar aneh karena kita baru kenal. Tapi aku sungguh-sungguh. Izinkan aku ketemu Mama sekarang. Aku bukan mau memintamu jadi pacar, tapi jadi istri."


 

Ada kesungguhan di matanya itu. Lima tahun lamanya aku berhubungan dengan Jonas, lalu dua tahun terakhir aku menunggunya mengatakan hal ini, dan semuanya berakhir dengan kesia-siaan. Tapi lelaki ini, yang baru kukenal beberapa hari saja, telah berani memintaku menjadi istrinya.


 

Dan bagaimana dengan aku? Hatiku?


 

"Biru, aku sangat menghargai niat baikmu. Tapi sebelum menemui Mama, kenapa kamu tidak bertanya apakah aku mau? Apakah aku juga mencintaimu?"


 

Dia terkejut, seperti baru tersadar bahwa apa yang aku ucapkan benar.


 

"Kalau begitu, aku akan mengatakannya sekarang. Senja, aku mencintaimu dan ingin menikahimu. Apakah kamu punya perasaan yang sama dan bersedia menjadi istriku?"


 

Suaranya terdengar formal, dan dia terlihat sedikit gugup, seperti seseorang yang baru pertama kali hendak maju untuk ujian. Sementara aku, ada yang hangat menjalari hatiku. Suara Biru yang sungguh-sungguh, tatapan matanya yang hangat dan teduh. Aku tahu bahwa dia tidak berdusta. Entah sejak kapan cinta itu tumbuh dan menjadi sebesar sekarang.


 

Tapi, dia tidak tahu. Tidak ada satu orang pun yang tahu bahwa setelah apa yang dilakukan Jonas padaku, aku kehilangan rasa. Aku tak tahu apakah aku bisa jatuh cinta lagi sedalam cintaku padanya.


 

"Biru, maafkan aku. Tapi ini terlalu cepat. Lagipula, kamu sepupu Jonas. Jika kita bersama, maka aku akan terus bertemu dengannya."


 

Biru terdiam, menyadari kebenaran ucapanku. Dia dan Jonas adalah sepupu dekat. Dilihat dari bagaimana Mamanya Jonas meminta Biru mengawasinya, aku menduga bahwa mereka pasti sering bertemu.


 

"Jadi? Apakah itu artinya tak ada harapan bagiku?"


 

Aku menelan ludah. Kenapa ada yang terasa sakit disini saat aku mendengar pertanyaannya? Apakah itu berarti aku telah juga jatuh hati pada lelaki ini?


 

Tapi kemudian, Biru tersenyum.


 

"Kamu benar, Senja. Maafkan aku yang terlalu terburu-buru. Jatuh cinta pada pandangan pertama denganmu, rupanya membuatku sedikit kehilangan logika."


 

Dia pandai sekali mencairkan suasana. Dan seperti biasa jika dia tersenyum, senyum itu akan lebih dulu terbit di matanya. Lalu senyum itu menular padaku.


 

"Aku permisi. Tapi tolong ingat-ingat, Senja. Jika kamu memutuskan untuk jatuh cinta, bayangkanlah wajahku saja. Oke? Aku masih menunggumu."




 

***




 

Tidurku gelisah malam ini, berkali-kali mengubah posisi, tapi, di setiap aku memandang, wajahnya yang terlukis. Biru ada di mana-mana. Di plafon, di tembok kamar, bahkan di pintu lemari. Dan saat aku mencoba memejamkan mata, senyumnya justru menggantung tepat di kelopak mataku.


 

Apakah aku telah jatuh hati padanya?


 

Aku menggelengkan kepala. Jangan Senja. Jangan Biru. Kamu sudah susah payah menjauh dari Jonas. Menikah dengan Biru sama artinya dengan mendekat lagi padanya.


 

Tapi, mereka berbeda. Dan mereka cuma sepupu, nggak akan ketemu setiap hari kok. Sisi hatiku yang lain menyangkal. Dan aku terkejut bagaimana hatiku seolah-olah membujuk agar mengenalnya lebih dekat.


 

Suara notifikasi ponsel yang akhirnya membuatku duduk tegak. Ada pesan masuk darinya, dari Biru. Dan anehnya, aku tak pernah se-antusias ini saat membuka pesan dari orang lain. Namun kali ini, dadaku bergemuruh. Aku tidak sabar ingin tahu apa yang dia tulis, tapi juga takut seandainya pesannya membuatku kecewa.


 

(Senja, aku ada tugas luar besok. Mungkin untuk beberapa hari, kita nggak bisa ketemu dan aku nggak bisa menghubungimu soalnya disana susah sinyal.)


 

(Kalau kamu memutuskan untuk membuka hati, maukah kamu menunggu sampai aku kembali? Aku ingin kamu pertimbangkan sebagai tempat pelabuhanmu yang terakhir.)


 

Aku menghela napas panjang, yang tiba-tiba saja datang dan membuat dadaku sesak. Kenapa aku sedih membaca pesannya? 


 

Menjelang subuh, barulah aku tertidur dengan ponsel yang ku dekap erat di dada. Aku tak membalas pesan Biru, tapi masih menunggu pesan berikutnya dari dia? Ada apa denganku? Apakah penolakanku semalam padanya hanya sebuah penyangkalan? Aku tak terima diriku jatuh cinta secepat itu, dan dengan seseorang yang masih punya hubungan dengan Jonas. What a complicated!


 

"Hey, matamu sayu gitu, kayak orang nggak tidur aja semalaman?" 


 

Evelyn menatap wajahku lekat dengan matanya yang sipit.


 

"Aku emang nggak tidur, Ev. Semalam… emm… Biru ngelamar aku."


 

"Hah?"


 

Suaraku yang berbisik ditanggapi Evelyn dengan teriakan. Kuletakkan jari telunjuk di depan bibir, menyuruhnya diam karena aku tak mau satu orang pun mendengar.


 

"Terus… terus…?" 


 

Kali ini suara Evelyn berbisik. Di ruangan kami hanya ada aku dan dia. Semua orang istirahat makan siang dan sebagian ke mushola untuk sholat dzuhur.


 

Aku menghela napas.


 

"Ev, setelah Jonas membuatku kecewa hingga nyaris mati rasa, aku jadi tak tahu lagi bagaimana rasanya jatuh cinta. Dan mereka itu sepupu. Kalau aku menikah dengan Biru, aku akan selalu bertemu Jonas juga."


 

Evelyn terdiam sesaat.


 

"Kamu benar, Ja. Tapi nggak harus begitu juga. Biru keliatannya baik dan berbeda dengan Jonas. Aku bisa melihat dengan jelas bagaimana dia jatuh cinta sama kamu. Dan yang terpenting dari semua itu adalah, dia lelaki pejuang dan pemberani. Dia langsung memintamu jadi istri, bukan pacar. Bukankah itu sesuai dengan prinsip kamu selama ini?"


 

Kata-kata Evelyn terus terngiang, juga kalimat Biru malam itu. Beberapa hari lamanya aku bisa bernapas lega karena Jonas tidak mengganggu. Seperti hari-hari setelah perpisahan dengannya, kami kembali bersikap seperti dua orang yang tak pernah saling kenal. Bagiku ini lebih baik. Tapi, disini, di dalam hatiku, perlahan, ada sesuatu yang hilang.


 

Biru benar-benar tak menghubungi, dan aku dengan bodohnya menatap ke gerbang pagar kantor setiap hari di jam pulang kerja, seolah berharap dia datang dan memberiku hadiah berupa senyuman. Teriakan kurir di lobby bawah berhasil membuatku berlari menuruni tangga dan kecewa karena itu bukan dia.


 

Benarkah hatiku telah menyerah pada cintanya?


 

Biru. Dirgantara Langit Biru, tolong yakinkan aku jika ini benar cinta namanya.




 

***










 

 







 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya LEBIH BAIK KITA BERPISAH (11-20)
4
0
Dirgantara Langit Biru, Yakinkan aku jika ini benar cinta namanya!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan