JANGAN AJARI AKU KATA SABAR (1-10) FREE

1
0
Deskripsi

Jangan ajari aku kata sabar, jika selama 5 tahun lamanya aku telah merawat anak hasil perselingkuhanmu.

Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (1)



 

"Atas nama Bapak Ivan? Ibu siapa ya?"


 

"Saya istrinya."


 

Wanita di meja recepsiont itu terlihat agak gugup. Aku menghela napas, jadi hotel mewah bintang lima ini yang menjadi tempat kamu berkencan, Mas?


 

"Maaf, kami tidak bisa memberitahu. Ini privasi pelanggan."


 

Dia menangkupkan kedua tangan di depan dada dengan sikap sopan yang mengagumkan. Aku tersenyum.


 

"Jangan khawatir, Mbak. Saya datang atas permintaan suami saya. Dan saya tahu dengan siapa dia disini."


 

Dan kini, aku berdiri di depan pintu kamarnya, sesaat menata hati. Sekuat tenaga kutahan debaran jantung yang menggi-la, dan berdoa semoga air mataku tidak tumpah di depannya.


 

Pintu terbuka setelah aku menekan bel. Wajah lelaki yang sudah menjadi suamiku selama enam tahun lamanya itu menyembul dari balik pintu.


 

"Mana berkasnya?"


 

Aku mengulurkan tas kerjanya yang tadi ketinggalan. Dia menghubungi lewat ponsel, memintaku mengantarkannya kesini karena meeting akan segera diadakan dua jam lagi di aula hotel.


 

"Makasih sayang. Kamu langsung pulang ya."


 

Dia menahan pintu agar tak terbuka semua. Aku tersenyum, dengan sekali sen-tak, kudorong pintu hingga terbuka, lalu menutupnya kembali.


 

Dan pemandangan yang kusaksikan, ternyata amat menyesakkan dada, kendati aku telah bersiap menghadapinya. Seorang wanita cantik berambut coklat, tengah berbaring dalam selimut di ranjang king size itu, sementara pakaian mereka berdua, bertebaran dilantai. Tak perlu dijelaskan apa yang sudah terjadi, yang pasti, di dalam sini, hatiku benar-benar meneteskan da-rah.


 

"Jadi dia wanita yang menjadi alasanmu berangkat dari rumah lebih awal? Dan ini sudah kedua kalinya, Mas. Apa kamu lupa perjanjian kita?"


 

Mas Ivan, yang baru tampak jelas kalau hanya menggunakan pakaian dalam di balik kimononya, terdiam, memandangku lekat.


 

"Kalau kau lupa, biar kuingatkan sekali lagi. Jika terbukti kau berselingkuh untuk kedua kalinya, aku berhak menuntut cerai, dan …"


 

Plok plok plok …


 

Belum selesai aku bicara, wanita di atas kasur itu bangkit, membiarkan selimut yang menutupi dadanya jatuh, mempertontonkan assetnya yang mena-ntang.


 

"Bagus. Kau memang harus mundur. Bukankah itu yang kita inginkan Mas?"


 

Mas Ivan menggelengkan kepala. Tatapan matanya lekat padaku.


 

"Nggak Aya. Kita akan bicarakan ini. Tunggu aku di rumah. Sabarlah."


 

Aku tersenyum, meski dengan bibir bergetar.


 

"Jangan ajari aku untuk bersabar, Mas. Selama lima tahun ini, aku telah cukup bersabar bukan?"


 

Mas Ivan tertegun. Dia mengulurkan tangan hendak menyentuhku. Refleks, aku mengelak.


 

"Ayara … "


 

"Kamu sudah terlambat."



 

***



 

Aku menutup resleting koper dan menariknya ke pintu. Kutatap lagi seisi rumah ini dengan hati yang luruh, perlahan hancur berkeping-keping.


 

"Kita jadi pergi, Ma?"


 

Suara Lucia, gadis kecil berusia lima tahun itu membuatku mengangkat kepala. Aku tersenyum, meraih tubuh mungilnya dalam dekapan.


 

"Tentu saja."


 

"Kita mau kemana?" 


 

Dia mengurai pelukan dan memandangku.


 

"Ke suatu tempat, dimana tak ada lagi orang jahat yang bisa menyakiti kita."


 

Gadis kecil itu mengulurkan tangan, mengusap mataku.


 

"Mata Mama basah lagi. Mama habis nangis?"


 

Meski baru berusia lima tahun, suara Lucia amat jelas, sejelas ekspresi wajahnya yang ikut bersedih. Dia sangat peka, tahu kapan aku sedih dan kapan aku bahagia. Karenanya, aku amat berhati-hati saat di hadapannya, meski terkadang, pertahananku jebol juga.


 

Aku tak menjawab pertanyaannya, melainkan kembali memeluknya erat-erat.


 

"Pasti Papa jahat lagi, kan?"


 

Aku menggelengkan kepala.


 

"Tidak, tapi kita memang harus pergi. Cia ingat rumah kecil kita yang nggak jauh dari pantai itu? Yang ada ayunannya?"


 

Matanya berbinar, "Ingat!"


 

"Kita akan tinggal disana."


 

"Horeee!"


 

Dia berseru gembira, berlari kesana kemari, sementara aku menatapnya pilu. Sebentar lagi, aku akan memisahkanmu dari Papamu, nak. Selamanya, kau hanya akan tahu bahwa akulah Ibumu.


 

Meski, tak setetespun darahku mengalir dalam tubuhmu.



 

***



 

Lima tahun yang lalu.


 

Aku meremas kertas hasil lab di tanganku dengan hati hancur. Aku tidak bisa punya anak! Hati perempuan mana yang tak akan merana? 


 

"Bukan tidak bisa, tapi kemungkinannya sangat kecil," ralat dokter.


 

Sama saja. Itulah jawaban, kenapa hingga tahun pertama terlewati, aku tak kunjung hamil, padahal kami berdua sama-sama garang di atas ranjang.


 

Suara mobil memasuki halaman yang akhirnya menghentikan tangisku. Kumasukkan hasil lab itu ke dalam tas setelah melipatnya kecil-kecil. Mas Ivan tidak boleh tahu.


 

"Ayara?"


 

Suaranya memanggilku terdengar, lalu ada suara lain yang membuatku tertegun. Suara tangisan bayi!


 

Aku keluar kamar, dan mendapati Mas Ivan berdiri sambil menggendong bayi yang masih merah. Bibirnya yang mungil membuka, mencari-cari puti-ng susu. 


 

"Bayi … siapa?"


 

"Aya … maafkan aku. Tapi, bayi ini … anakku."


 

Sebuah puk-ulan telak yang nyaris membuatku limbung. Disaat aku sedang bersedih karena vonis dokter, suamiku membawa anak hasil hubungan gelapnya dengan perempuan lain.


 

Aku mundur selangkah.


 

"Kamu gila, Mas."


 

"Tolong Aya, tolong rawat bayi ini. Ibunya membuangnya dan tak mau mengakuinya. Kasihani dia, Aya. Aku berjanji akan menebus kesalahanku padamu."


 

Aku menatap mata hitamnya yang kelam.


 

"Sudah berapa lama, Mas? Dan sudah berapa kali kamu mengkhianatiku?"


 

"Ini yang pertama, Aya. Aku janji, jika aku mengulanginya sekali lagi, semua milikku akan menjadi milikmu."


 

Aku terdiam sejenak, kuraih bayi itu dalam gendongan. Matanya yang jernih dan bulat menatapku dengan sisa-sisa air mata yang masih menggenang. Dia sudah berhenti menangis, tepat saat kedua tanganku menyentuh tubuhnya.


 

Mas Ivan memandangku takjub.


 

"Dia menyukaimu."


 

Aku mengangkat kepala dan tatapan kami kembali bertemu.


 

"Ulangi janjimu, Mas, kalau kau ingin aku menerima anak ini."


 

Mas Ivan tampak menelan ludah.


 

"Ayara Sasmita, aku berjanji, jika aku mengkhianatimu kedua kalinya, semua milikku, akan menjadi milikmu."


 

Aku tersenyum, kucium kening si bayi, yang langsung memejamkan mata saat bibirku menyentuh keningnya.


 

"Semua milikmu, termasuk anak ini."



 

***


Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (2)



 

Perjanjian itu akhirnya benar-benar dibuat di kantor notaris, dengan disaksikan kedua orang tuaku dan kedua orang tuanya. Kutahan omongan miring dan cibiran mereka, yang mengatakan aku gila harta, sementara aku sendiri mandul. Ya, meski tak satupun tahu hasil lab yang kusembunyikan itu, satu tahun pernikahan tanpa tanda-tanda kehamilan, telah membuat keluarga Mas Ivan mengecapku mandul.


 

"Nggak masalah kalau Cahaya mandul, aku akan tetap mencintainya," Ujar Mas Ivan waktu itu.


 

Tentu saja tak apa-apa. Perempuan mana yang mau menerima dan mengurus anak hasil hubungan gelapnya dengan perempuan lain? Sementara Mama mertua dan ipar-iparku, justru memandang bayi itu dengan pandangan ngeri.


 

"Sembarangan sekali Ivan cari perempuan. Harusnya kalau dia ingin anak dan Aya tak bisa memberi, dia bilang Mama. Lira belum menikah sampai sekarang, dan Mama yakin dia bersedia mengandung benih Ivan."


 

Sungguh, Mama mertuaku menganggap anaknya seumpama hewan, yang boleh-boleh saja menanam benih pada wanita selain istrinya.


 

Maka sejak saat itu, Lucia Fidalia, menjadi putriku satu-satunya. Aku yang awalnya membenci, berubah jatuh hati. Bagaimanapun, bayi ini tak bersalah. Tak ada dosa yang diturunkan orang tua pada anaknya.


 

Setelah lima tahun menjalani hidup tenang tanpa gelombang, aku tak pernah menyangka kalau kapal itu telah lelah bersandar. Dia kembali bertualang, menyinggahi pelabuhan-pelabuhan yang berbeda warna, yang penuh gairah, sehingga membuatnya alpa, bahwa wanita, tak akan pernah lupa moment menyakitkan dalam hidupnya. Maka, ketika pagi itu, Angga sahabatku memberi informasi kalau dia melihat Mas Ivan masuk ke dalam kamar hotel tempatnya meeting bersama seorang wanita, aku mulai mempersiapkan hati. Sepanjang pagi, aku memikirkan cara memergokinya tanpa perlu membuat keributan. Dan Tuhan seakan mendengar doaku saat itu juga.


 

"Aya? Bisa minta tolong antarkan tas Mas yang ketinggalan? Mas open room, tanya saja sama resepsionis. Nanti Mas tunggu di pintu ya. Tak usah masuk karena banyak bahan kerja bertebaran. Kamu tak akan suka melihatnya."


 

"Sekarang?"


 

"Iya Sayang, sekarang. Dua jam lagi meeting dimulai. Tas itu sudah harus ada sebelum itu."


 

"Oke."


 

Entah apa yang ada di pikiran Mas Ivan, hingga dia memintaku datang ke kamarnya, disaat dia baru saja selesai menuntaskan hasrat terlarangnya itu. Oh, padahal semalam, kami baru saja menuntaskan permainan yang menggebu, apa yang kurang dariku?


 

"Selingkuh itu penyakit, Aya. Suatu saat nanti, dia akan mengulanginya lagi. Kalau kamu tak bisa terima, pulanglah. Rumah Ayah dan Ibu selalu terbuka untukmu," ujar Ayah waktu itu.


 

"Aku akan memberinya satu kesempatan, Ayah. Hanya satu kesempatan."


 

Dan kini, dia telah menyalahgunakan kesempatan yang kuberi. Mungkin dia berpikir, lima tahun menjadi istrinya yang pengabdi, penurut, dan tanpa mengeluh mau mengurus Lucia dengan baik, aku telah melupakan peristiwa itu. Dia salah, karena seorang wanita tak akan pernah melupakan setiap moment penting dalam hidupnya, meski itu menyakitkan.



 

***



 

Aku bergerak cepat, meminta pengacara mengurus semua atas namaku, berbekal surat perjanjian yang kami buat lima tahun lalu. Semua kusuruh pengacara yang melakukan, karena aku tengah mempersiapkan hukuman untuk suamiku.


 

Hukuman, yang tak akan pernah dia lupakan seumur hidup.


 

Setelah menempuh tiga jam perjalanan, kami akhirnya tiba di rumah itu. Rumah kecil dengan ayunan dari kayu, yang menghadap langsung ke bibir pantai. Aku menghabiskan banyak uang untuk mewujudkan rumah impianku ini, menyembunyikannya dari Mas Ivan, karena sesungguhnya, hati kecilku tak mau percaya semudah itu dia berubah.


 

"Yeaayy, sampai!"


 

Cia berseru riang ketika kakinya menyentuh tanah yang bercampur pasir. Angin sore menerbangkan rambutnya yang ikal kecoklatan, membentuk per dan menggantung di atas bahunya. Tubuh mungil berbalut celana pendek sebatas dengkul dan kaus merah muda itu, melompat-lompat, sebelum akhirnya mendarat di atas ayunan. 


 

Aku tersenyum. Dulu, dia adalah makhluk kecil yang paling kubenci. Nyaris setiap malam kuhabiskan dalam tangis mengingat betapa teganya Mas Ivan mengkhianatiku hingga anak itu hadir dan menjadi pengganggu. Tapi semakin hari, semakin aku jatuh hati pada wajah cantiknya, pada manis budinya, dan pada suaranya yang lembut dan kerap memanggil Mama dengan nada manja. Sesuatu, yang mungkin tak akan bisa kudapatkan selain dari dirinya. Maka, kuputuskan melupakan dari mana dia berasal. Kutanamkan dalam diri, bahwa Lucia adalah putriku. Anakku, yang lahir dari rahim bernama cinta dan kasih sayang.


 

Maka, jangan coba-coba mengajariku bagaimana caranya bersabar. Aku telah melewati lima tahun yang berat, melawan keinginan membekap mulut mungil itu dengan bantal, melawan hasrat memasukkan ra-cun ke dalam makanan suamiku. Sampai akhirnya berdamai dengan keadaan, menerima kenyataan bahwa inilah yang telah ditakdirkan Tuhan untukku.


 

"Non Aya, kamar sudah saya rapikam. Makanan yang Non pesan juga sudah siap."


 

Mbak Atik, pengurus rumah yang selama ini merawat rumah ini, menghampiri kami. Aku mengangguk dan mengucapkan terimakasih. Dia salah satu orang yang sangat mengenalku, tahu sedalam apa lukaku dulu, dan bagaimanan kerasnya usahaku berdamai dengan takdir. 


 

Kami sama-sama menatap pemandangan indah itu. Seorang bidadari kecil yang cantik, bermain ayunan, sementara angin laut yang lembab dan beraroma garam, meniup rambutnya.


 

Mas, kamu akan menyesal karena sudah mengkhianatiku untuk kedua kalinya. Mulai hari ini, jangan pernah bermimpi bertemu lagi dengan Lucia!



 

***



 

"Apa-apaan ini, Aya? Rumah, mobil, dan perhiasan, juga tabungan bersama kita, semuanya jadi milikmu?"


 

Suara Mas Ivan yang menjerit di ujung sana, terdengar memekakkan telinga, sampai-sampai, aku harus menjauhkan ponsel dari telingaku.


 

"Bukankah itu sesuai dengan perjanjian kita, Mas?"


 

"Tapi bukan ini maksudku…"


 

"Jadi maksudmu apa? Berharap aku tak serius dengan perjanjian itu? Lalu dengan mudah melupakan perselingkuhanmu seperti dulu lagi?"


 

Terdengar suaranya menghela napas di seberang telepon.


 

"Aya, tolong jangan begini. Ayo kita bicarakan baik-baik."


 

Aku menggelengkan kepala, meski tahu dia tak akan bisa melihatnya.


 

"Tidak, Mas. Kamu sudah mendapatkan kesempatan itu satu kali. Aku tidak percaya kamu akan berhenti bertualang."


 

Hening. Dia tak menjawab lagi, membuatku yakin bahwa apa yang kukatakan benar adanya. 


 

"Kalau begitu, kembalikan Cia. Dia bukan anakmu."


 

Suaranya yang pelan terasa tajam di telinga. Aku meradang. Selama lima tahun dia memohon agar aku menganggap Cia anakku sendiri. Tapi kini, tiba-tiba saja dia mengatakan hal itu : kembalikan Cia, dia bukan anakmu! 


 

Sungguh menggelikan, sekaligus mengundang kemarahan.


 

"Bukankah kamu bisa membaca dengan baik? Di surat perjanjian kita, semua milikmu akan menjadi milikku, dan itu… termasuk Lucia."


 

"Kamu gila Aya!"


 

"Selamat tinggal, Mas!"


 

Klik.


 

Kumatikan ponsel, menarik slot penyimpanan kartu sim dan mengeluarkannya dari sana. Kutatap benda itu sebelum membuangnya ke laut lepas.


 

Selamat tinggal masa lalu.



 

***


Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (3)


 

—--



 

"Rumah sudah ada pembeli, tapi Ivan tidak mau keluar, Ay. Bahkan kini, dia mengajak Ibu dan calon istri barunya tinggal disana."


 

Aku nyaris tertawa. Satu bulan sudah berlalu sejak hari aku meninggalkan rumah itu. Trisha sahabatku yang lain selain Angga, yang juga seorang pengacara memberi laporan. Aku memang menyerahkan semua pada Trisha. Salah satunya karena, aku tak ingin bertemu lagi dengan dia. Dan dia, juga tak boleh lagi bertemu dengan Lucia. 


 

"Kalau begitu, rubuhkan saja!"


 

Trisha terbelalak.


 

"Aya', kamu serius? Rumah itu kalian bangun bersama. Aku yang jadi saksi bagaimana kamu bekerja keras mencari uang membantu Ivan, juga berhemat demi bisa membangun rumah itu."


 

"Dan karena itu, aku tidak rela Mas Ivan mendiaminya bersama calon istri barunya."


 

"Kalau dirubuhkan, kerugianmu cukup besar, sekitar delapan ratus juta."


 

"Mungkin aku perlu tiga tahun untuk mengumpulkannya lagi. Tapi tak apa. Aku ingin tahu, apa calon istrinya masih mau jika tahu bahkan untuk tinggal pun mereka harus mencari tempat."


 

Trisha menatapku serius.


 

"Astaga. Memang betul, jangan coba-coba menyakiti hati wanita. Balas dendamnya mengerikan."


 

Aku tertawa, lalu merangkulnya.


 

"Tapi, nggak semua lelaki seperti Mas Ivan, Tris. Kuharap kamu merubah keputusanmu untuk tidak menikah seumur hidup."


 

Trisha menggelengkan kepala.


 

"Entahlah. Membaca berita-berita perselingkuhan membuatku ngeri. Setiap hari ada saja artis yang bercerai. Kamu tahu yang viral itu kan? Secantik itu saja masih diselingkuhi, padahal lakiknya buluk."


 

Tawaku makin kencang. Trisha memang seperti itu, kadang bicaranya asal ceplos. Tapi aku berani bertaruh, hatinya baik sekali.


 

"Aku senang kamu masih bisa tertawa."


 

Trisha meneguk minumannya, memandang keluar rumah. Beberapa ratus meter di depan kami, dihalangi jalan beraspal selebar dua meter, bibir pantai tampak jelas. Pantai itu baru akan dibuka untuk umum bulan depan. Tapi, warung-warung dan gazebo dari bambu sudah bermunculan bak jamur di musim hujan. Di halaman rumah yang berpasir, gadis kecilku asyik bermain bersama Mbak Atik. Pagi masih muda.


 

"Dia, yang menjagaku untuk tetap waras."


 

Kami sama-sama menatap Lucia. Gadis kecil itu sedang tertawa-tawa, entah bercerita apa dengan pengasuh kesayangannya. Aku membutuhkan Mbak Atik untuk menjaga Cia, karena nyaris setengah dari waktuku kuhabiskan di depan laptop. Aku mencari uang dengan cara menulis novel untuk aplikasi online. Tak ada yang tahu bahwa penulis bernama pena Cahya Bintang adalah aku. Bahkan Mas Ivan sekalipun. Dia pikir, aku hanya seorang pedagang online, hingga dia menganggapku remeh. Menganggapku tak bisa hidup tanpa dirinya. Padahal, uang puluhan juta mengalir ke rekeningku setiap bulan. Mas Ivan memang tahu orang tuaku cukup kaya, tapi, dia juga tahu bahwa Ayah dan Ibu bukan tipe orang tua yang memanjakan anaknya. Meski semua milik mereka akhirnya akan menjadi milikku, tetap saja, aku harus punya sesuatu yang bisa kuandalkan untuk bisa berdiri di atas kakiku sendiri. Hidup tak pernah ada yang tahu.


 

"Kapan sidang pembacaan talak? Aku sudah nggak sabar menyandang status baru yang seksi itu."


 

Trisha tertawa, lalu tiba-tiba diam dan menatapku serius.


 

"Ay', kamu bener-bener udah sembuh?"


 

"Aku nggak sakit."


 

"Fisikmu nggak. Tapi disini," Dia menunjuk dadaku. "Aku yakin lukamu masih basah."


 

Aku menghela napas panjang, tiba-tiba merasa sakit. Ya. Siapa bilang aku tak sakit? Rasanya sungguh luar biasa. Tapi, tak ada yang bisa aku lakukan selain menyembuhkan sendiri luka itu, kan?


 

"Karenanya, menyandang status baru sangat penting buatku. Aku bisa kembali ke dunia luar, dan bertemu dia dan keluarganya dengan kepala tegak."


 

Trisha berdiri, "Jadi, kamu yakin tentang merubuhkan rumah itu?"


 

"Emm… setelah kupikir-pikir, bagaimana kalau kamu tawarkan uang sepuluh juta supaya dia mau angkat kaki? Itung-itung, aku membantunya ngontrak rumah."


 

"Kalau dia menolak?"


 

"Rubuhkan. Dia tak mungkin mau tidur di atas tanah."


 

Trisha menghela napas.


 

"Baikah. Sidang pembacaan ikrat talakmu dua minggu lagi. Mungkin kamu mau datang."


 

"Akan kupikirkan."


 

Trisha kemudian pergi setelah menyapa Lucia dan Mbak Atik di halaman rumah. Ketika mobilnya sudah berlalu, aku melambaikan tangan, memanggil mereka berdua. Matahari mulai tinggi. Disini, aku harus benar-benar menjaga kulit dan kondisi tubuh Lucia karena udara panas dan lembab.


 

"Mama, jadi, kita benar-benar nggak akan pulang ke rumah Papa?" tanya Cia setelah selesai mencuci tangan dan duduk di depan meja menghadapi snack paginya.


 

Aku tertegun sejenak. Sejak pergi waktu itu, baru kali ini putriku bertanya tentang Papanya. Kemarin-kemarin, dia terlalu asyik bermain dan mengexplore lingkungan hingga melupakan sang Papa. Atau mungkin, perhatian Mas Ivan yang berkurang selama ini, yang membuatnya lupa bahwa kami hanya berdua.


 

"Nggak, Sayang. Cia… apa Mama bisa bicara?"


 

Kuputuskan untuk bicara jujur. Rasanya, aku tak akan tahan jika besok-besok, dia menanyakan Mas Ivan lagi. Dari sudut mata, dapat kurasakan Mbak Atik menatapku cemas. 


 

"Bicara apa?"


 

Aku terdiam sejenak, memilah kata agar dapat dimengerti oleh anak seusianya, sekaligus, meminamilisir luka yang mungkin dia rasakan.


 

Tapi, adalah perceraian yang tak menimbulkan luka?


 

"Cia, Mama dan Papa, akan berpisah. Jadi, Cia akan tinggal hanya sama Mama."


 

Mata bulatnya melebar sejenak, pertanda bahwa dia terkejut. Mungkin dia pikir, kemarin kami hanya liburan.


 

"Papa akan tinggal sama siapa?"


 

Aku menggigit bibir keras-keras sebelum bicara.


 

"Papa… akan tinggal bersama Oma, dan mungkin, istri barunya."


 

Dia terkejut sempurna kini.


 

"Istri baru? Jadi, Cia mau punya Ibu lagi?"


 

Aku buru-buru menggeleng.


 

"Nggak, sayang. Makanya kita pindah kesini, karena Mama nggak mau Cia punya Ibu baru. Ibu Cia hanya Mama. Benar kan? Cia sayang Mama kan?"


 

Oh, mungkin tak bijak bicara seperti itu pada anak lima tahun. Aku telah mulai mendoktrinnya agar membenci Ayahnya. Aku akui, aku memang jahat. Tapi, siapa yang lebih jahat disini? Dia yang mengkhianati kami, atau aku, yang membawa lari putrinya?


 

Cia langsung menelusup masuk dalam pelukanku.


 

"Cia sayang Mama, sayaaang banget, nomor satu!" serunya dengan kepolosan seorang anak.


 

Sayang Mama nomor satu. Itu kata-kata yang selalu dia ucapkan. Mama nomor satu, dan Papa nomor empat, tanpa pernah dia sebutkan siapa yang nomor dua dan tiga.


 

Aku menatapnya dengan mata mengembun. Dia adalah hidup dan matiku. Tak akan kubiarkan siapapun merenggutnya dariku. Bahkan tidak Ayahnya!



 

***




 

Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (4)


 

___



 

Pagi-pagi sekali, dua buah alat berat sudah berada di depan rumahku. Kompleks perumahan elit itu heboh. Dua orang polisi, dan aparat kompleks ikut pula ada disana. Kebetulan sekali, hari ini adalah hari minggu, dan aku bisa menyaksikan semua itu dengan tenang melalui layar ponsel. Trio Angga, Trisha dan Elena sahabatku sedang beraksi. Dan aku yakin kali ini Elena yang memegang kamera video, menyiarkannya langsung padaku.


 

Trisha dan Angga, bersama dua aparat kompleks, memasuki halaman rumah, sementara dari dalam, Mas Ivan dan Mama mertuaku keluar. Juga Diska adik iparku, serta satu lagi wajah, yang mengingatkanku pada hari naas itu.


 

Jadi, perempuan di kamar hotel waktu itu yang akan menjadi calon istri Mas Ivan? Mereka belum menikah tapi sudah tinggal satu rumah, dibawah persetujuan orang tua Mas Ivan. Hebat.


 

"Apa-apaan ini?"


 

Mas Ivan meradang, sementara Mama mertuaku dan dua wanita lain memandang alat berat itu dengan wajah pucat.


 

"Rumah ini milik klien kami, Nona Ayara, dan telah deal oleh calon pembeli. Tapi Pak Ivan dan keluarga bersikeras tak mau pindah. Jadi, klien kami memutuskan untuk merubuhkan rumah ini."


 

"APA? AYARA SUDAH BENAR-BENAR GILA!"


 

Ughh, bahkan telingaku rasanya sakit mendengarnya. Padahal jarak kami jauh sekali. Aku meringis melihat wajah murka itu, agak sedikit khawatir kalau-kalau dia kena serangan jantung. Ah, tapi seingatku, aku selalu memberinya makanan sehat, memperhatikan kalori yang masuk ke dalam tubuhnya dengan cermat. Mas Ivan juga rutin kuantar untuk general chek up. 


 

"Tidak! Tidak bisa, ini rumah kami berdua yang akan masuk ke dalam harta gono gini. Biarkan saya bertemu Aya untuk menyelesaikan urusan ini."


 

"Maaf Pak, anda tentu bisa membaca, bahwa semua harta milik Bapak telah menjadi milik klien kami, seperti apa yang tertera dalam dokumen yang telah disahkan oleh notaris, sebagai konsekuensi karena anda melanggar perjanjian."


 

"Tapi.. Tapi…"


 

"Ivan! Bagaimana ini? Masa rumah ini mau dirubuhkan? Aduh istrimu itu, mengerikan sekali!"


 

Teriakan Mama membuatku tersenyum.


 

"Mas, jangan diam saja. Aku mau tinggal di rumah ini…" Si perempuan ikut merengek.


 

"Diamlah Gita!" bentak Mas Ivan. Dia lalu menoleh pada Pak RT.


 

"Pak, tolong bantu saya untuk jadi penengah. Bapak kan sudah kenal saya dan Aya sejak lama."


 

Pak RT berdehem sejenak. 


 

"Menurut pengacara Mbak Aya, kalian akan segera bercerai, betul itu Pak? Saya juga sudah membaca semua dokumen dan yakin bahwa Mbak Aya benar. Jadi maaf, saya tidak bisa membantu. Sebaiknya, Pak Ivan segera keluar dari rumah ini seperti yang diinginkan Mbak Aya."


 

"Apa?!" 


 

"Dan oh ya, siapa perempuan ini? Saya hanya mengenal Bu Risna Ibu anda dan adik anda."


 

Pak RT menunjuk perempuan selingkuhan Mas Ivan yang tadi dipanggilnya Gita.


 

"Dia… emm… dia calon istri saya."


 

"Hemm… dan kalian sudah tinggal bersama sebelum menikah? Astaga." Kali ini kulihat Trisha menggeleng-gelengkan kepala.


 

Keempat orang itu tampak salah tingkah. Mas Ivan lalu memandang Trisha.


 

"Saya perlu bertemu dengan Ayara."


 

"Dia tidak mau ditemui. Kami tim pengacaranya diberi wewenang mutlak untuk mengatur semua urusannya."


 

"Astaga. Dasar pengecut!" umpat Mas Ivan.


 

Aku meradang. Dia mengataiku pengecut, apa dia tak pernah bercermin? Apa dia tak pernah memikirkan bagaimana sakitnya aku dengan segala pengkhianatannya selama ini? Melihat bagaimana dekatnya Gita dengan keluarga Mas Ivan, aku taksir mereka telah lama membohongiku.


 

Aku tidak pernah dilahirkan jadi orang pengecut, Mas. Tapi, setiap langkah yang kuambil selalu penuh dengan perhitungan. Rasa sakit itu adalah cambuk bagiku untuk bisa melangkah sambil mengangkat kepala. Tunggu saja, kita pasti akan bertemu lagi, tapi tidak sekarang.


 

"Maaf Pak Ivan, saya sebagai ketua RT, tidak mengizinkan kompleks kami dikotori oleh praktek perzinahan. Silakan meninggalkan tempat ini dengan baik atau mungkin anda lebih suka menyelesaikan di kantor polisi."


 

Wajah Mas Ivan memucat.


 

"Katakan dimana Ayara sekarang?"


 

Dia masih bersikeras.


 

"Ayara akan menemui anda, tapi tidak sekarang. Tingkah anda benar-benar mempermalukan kaum lelaki." Angga rupanya tak tahan lagi.


 

"Oh ya, klien saya yang baik hati, menitipkan ini," Trisha mengeluarkan amplop dari dalam tasnya, "Anda boleh mengambilnya jika setuju untuk pergi."


 

"Kalau tidak?"


 

"Alat berat kami siap untuk menghancurkan rumah ini."


 

"Gila! Gila!"


 

Mas Ivan mengumpat-umpat seperti orang kerasukan. Aku tertawa geli.


 

Kamu benar-benar salah karena mengira aku lemah, Mas. Setelah semua harta ini, hal paling menyakitkan yang akan kamu rasakan adalah, kehilangan Lucia.


 

Di layar ponsel, aku melihat Mama mertuaku merebut amplop dari tangan Trisha dan menghitung isinya.


 

"Sepuluh juta Ivan. Ayara benar-benar menghinamu!"


 

Mama memban-ting ampop itu ke lantai. Mas Ivan terlihat bingung, sementara Trisha langsung mengambil ponsel dan menghubungi sopir eskavator.


 

"Masuk, Pak, silakan mulai hancurkan saja."


 

Semua mata terbelalak, menatap alat berat yang mulai bergerak itu. Disini, jantungku juga mulai berdetak kencang. Kukuatkan hati melihat kehancuran istana tempatku bernaung selama ini.


 

"STOOPPPP! oke oke! Kami akan pergi! Dasar sialan! Awas kau Ayara. Aku tahu kau melihat! Tunggu saja pembalasan dariku! Perempuan sun-dal!"


 

Aku menekap dada, menenangkan jantungku yang gemuruh. Astaga mulutmu Mas, jadi itulah aslinya dirimu. Rupanya selama ini, kau memakai topeng di depanku. 


 

Angga mengangkat tangan, menahan sopir alat berat.


 

"Hati-hati dengan mulut anda, Pak. Jika klien kami tidak berkenan, anda bisa dituntut atas pasal perbuatan tidak menyenangkan." tukas Trisha dengan suara tenang.


 

Mas Ivan sepertinya menyerah. Dia memungut amplop di atas lantai.


 

"Beri kami waktu dua jam untuk membereskan semuanya."


 

"Oke. Dan ingat, anda tidak diperkenankan membawa barang apapun kecuali pakaian dan benda pribadi."


 

"Aarrgghh!"


 

Teriakan marah Mas Ivan yang kudengar sebelum akhirnya aku mematikan layar ponsel. Kutarik napas dalam-dalam. Lakukan saja apapun yang ingin kamu lakukan. Aku telah bersiap.


 

"Mama!"


 

Suara teriakan Cia membuatku terkejut bukan kepalang. Adrenalin terasa mengalir lagi secara mendadak, membuat dadaku berdenyut  aku berlari keluar dan mendapati Lucia berdiri di teras.


 

"Lautnya Banjir!"


 

Aku mengerutkan kening. Laut banjir? Oh, ternyata, laut sedang pasang. Pantai yang landai tidak terlihat karena air laut meninggi. Tapi, karena ada pembatas dari batu dan semen, air laut tidak meluap keluar. Padahal pemandangan itu nyaris setiap pagi kami lihat, tapi tetap saja membuat Cia takjub.


 

Maafkan Mama, Nak. Mama membawamu ke tempat ini. Tapi Mama pastikan kamu nggak akan kekurangan apapun. Dan Mama janji, ini nggak akan selamanya.



 

***



 

Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (5)



 

PoV IVAN



 

Untuk terakhir kalinya, aku menatap rumah yang menaungiku enam tahun lamanya. Rumah yang dulu didalamnya penuh cinta, tapi kini menjadi sengketa.


 

"Bodoh! Kenapa kau ambil uang itu? Seharusnya biarkan saja rumah itu dirubuhkan. Mama yakin, Aya cuma mengancam."


 

Dari jok belakang, Mama mengomel panjang pendek. Aku diam saja, berusaha tak peduli. Mama tak tahu siapa Ayara. Dia selalu saja membuatku terkejut. Dulu kukira, dia akan menolak mati-matian mengurus Cia, tapi sekarang, dia bahkan membawa kabur anakku. Ayara, perempuan api, nekad dan mudah terbakar dibalik sikap tenang menghanyutkan yang selama ini dia tampakkan. Aku telah salah perhitungan. Seharusnya, aku lebih berhati-hati.


 

"Tidak, Ma. Aya tidak sedang mengancam. Dia sungguh-sungguh."


 

"Kalau begitu, biarkan saja hancur. Kalau rumah itu hancur, kalian sama-sama tak bisa memilikinya, itu lebih bagus. Mama jadi nggak sakit hati."


 

Tidak. Rumah itu tak boleh hancur. Mama tak tahu arti rumah itu bagi aku dan Aya. Kami membangunnya bersama-sama. Bekerja keras mengumpulkan uang dan berhemat demi surga kecil yang akan kudapatkan sepulang kerja. Pembeli itu pastilah cuma karangan si pengacara. Aku akan membujuk Aya agar memberikan rumah itu padaku. Orang tuanya bisa memberi dia sepuluh rumah seperti itu. Aya tidak membutuhkannya kecuali hanya untuk membalas dendam padaku.


 

Tiba-tiba saja, sepercik sesal timbul di hatiku. Apa yang sudah aku lakukan? Menukar berlian itu dengan kerikil?


 

Aku melirik Gita, yang duduk diam di sampingku, menatap alat berat meninggalkan rumah setelah pengacara si-alan yang kutahu sahabat-sahabat Aya, menyegel tempat itu. Enam bulan belakang, aku mulai lagi tergoda untuk mengkhianati Ayara, setelah nyaris lima tahun menahan diri. Aku, lelaki yang mudah jatuh cinta dan tak setia ini, silau oleh tubuh seksi Gita, dan rayuan mautnya.


 

"Antarkan Ibumu, Mas, lalu kita pergi."


 

Gita akhirnya bersuara.


 

"Kemana?"


 

"Apa kau tak memikirkan cara merebut kembali semua dari calon mantan istrimu itu?"


 

Dadaku langsung berdebar kencang. Wajah Gita disampingku mengeras. Aku memang telah berjanji menikahinya setelah menceraikan Aya. Tapi, tentu saja itu cuma janji palsu yang biasa diucapkan lelaki untuk menggaet perempuan. 


 

"Dan juga, merebut kembali putrimu…"


 

Aku menoleh dan tatapan kami bertemu.


 

Aya sangat menyayangi Lucia, sama sepertiku. Dia selangkah lebih maju dengan menggunakan Lucia untuk menyakitiku. Bagaimana kalau aku juga melakukan hal yang sama? Lucia darah dagingku, sementara dia, tak setetespun darahnya mengalir di tubuh anakku. Tapi kasih sayangnya tak perlu diragukan. Aya akan hancur jika aku merebut Lucia.


 

"Kita cari mereka."



 

***



 

"Kalian nggak bisa tinggal disini, Van."


 

Belum juga turun, Mama sudah memberi ultimatum. Sementara Diska melirik dengan kesal sebelum berlalu dan masuk ke dalam rumah.


 

Aku menoleh ke belakang, menatap Mama dengan kesal. Saat aku terpuruk karena harus kehilangan tempat tinggal, bisa-bisanya Mama berkata seperti itu.


 

"Aku hanya tinggal untuk sementara, Ma."


 

"Tidak!" ujar Mama tegas, "Kamu telah salah langkah, menghadapi satu perempuan seperti Ayara saja kau tak mampu. Jangan coba-coba mencari masalah baru."


 

"Apa aku yang Mama anggap masalah?"


 

Gita tiba-tiba menoleh ke belakang, ikut menatap Mama. Mama menghela napas keras-keras.


 

"Kalian belum menikah."


 

"Kemarin, Mama nggak mempermasalahkan itu." Gita tersenyum manis. Dia turun lebih dulu dari mobil dan membukakan pintu untuk Mama.


 

"Mama tenang saja, aku yang akan membantu Mas Ivan mengambil semuanya dari Aya. Memangnya Mama pikir aku mau menikah dengan Mas Ivan kalau dia tak punya apa-apa?"


 

Suara Gita yang sehalus bisikan itu masih terdengar. Aku tertegun sejenak, sesaat merasa tak mengenal perempuan ini. Padahal demi dia, aku telah menyakiti Aya. Mama menoleh, menggeleng-gelengkan kepala sebelum pergi dengan langkah cepat, masuk ke dalam rumah.


 

Gita kembali melompat naik ke atas mobil.


 

"Ayo kita mulai!" serunya.


 

"Mulai apa?"


 

"Mencari Ayara!"


 

Dia mengucapkan semua itu dengan ekspresi senang, seolah-olah kami akan berpetualang.


 

"Kamu tahu, Mas? Orang tua adalah kelemahan seorang anak. Seperti juga seorang anak adalah kelemahan orang tua. Ayo kita ke rumah orang tua Ayara. Mereka sudah tua, kan? Kita lihat saja apakah Ayara tak akan keluar dari sarangnya jika orangtuanya ada dalam genggaman kita."


 

Aku menelan ludah, menatap Gita dengan cemas.



 

***


 

Kecemasanku sangat beralasan. Gita memang belum tau siapa keluarga Ayara.


 

"Gila! Ternyata orang tuanya kaya raya. Bodoh banget kamu, Mas. Harusnya kamu bisa mengusai hartanya, apalagi dia anak tunggal."


 

Gita berseru saat menatap rumah dua lantai yang tinggi bercat putih itu. Gerbangnya, yang sepertinya cukup untuk membangun satu rumah lagi saking mahalnya, seperti memandang kami dengan angkuh.


 

Ya, bodoh sekali aku, menyia-nyiakan kesempatan menjadi menantu orang kaya.


 

"Tapi tak apa-apa. Mereka sudah tua kan? Ayo kita ancam mereka!"


 

Aku tak menyahut, melainkan sibuk menentramkan hatiku yang gentar. Gita benar-benar tak tahu siapa keluarga Ayara.


 

"Tunggulah di mobil. Mereka akan mengecapku buruk jika membawamu."


 

Gita menatapku dengan pandangan meremehkan.


 

"Memangnya, selama ini kamu sudah dianggao baik? Lelaki yang pulang membawa anak hasil selingkuhan, lalu dimaafkan, tapi mengulangi lagi perbuatannya. Hahaha … lucu kamu, Mas. Sudahlah, terlanjur basah, nyemplung sekalian. Yang jelas, Ayara nggak akan memaafkannya kamu. Kita hanya perlu tahu dimana dia."


 

Ragu, aku maju hendak memencet bel. Tapi  baru saja tanganku terulur  seorang satpam berpakaian lengkap, datang dan membuka pintu gerbang.


 

"Silakan masuk. Bapak sudah menunggu."



 

***



Jangan Ajari Aku Kata Sabar (6)



 

Kami menapakkan kaki melintasi halaman yang di tumbuhi rumput swiss dengan hati-hati. Rumput hias berharga mahal, yang perawatannya rumit dan juga mahal ini, biasanya hanya tumbuh di halaman rumah orang kaya. Seperti disini, di halamannya yang luas, rumput ini tumbuh subur serupa permadani, pertanda ada tangan profesional yang merawatnya.


 

Daun pintu yang berukir indah itu mengayun terbuka. Seorang wanita setengah baya menganggukkan kepala dan mempersilakan kami masuk. Aku menghela napas panjang, sebelum masuk setelah membuka alas kaki. Gita di sebelahku, menempel ketat. Berkali-kali dia bergumam memuji keindahan interior rumah ini.


 

Enam tahun menikah dengan Ayara, aku baru enam kali datang saat lebaran. Mereka bukannya tak menerima, tapi aku yang rendah diri. Secara status sosial, keluargaku tak ada apa-apanya. Hanya saja aku berhasil menjadi manager operasional di sebuah perusahaan properti besar. Sesuatu yang membuatku berhasil menegakkan sedikit kepala, meski belum sebanding dengan keluarga Ayara.


 

Kami berdiri di ruang utama yang luas, dengan tangga melingkar yang menghubungkan lantai bawah dengan lantai atas. Relling tangganya berukir indah. Aku menelan ludah saat mencoba menghitung nilai rumah ini. 


 

Bagaimana bisa Ayara yang anak seorang konglomerat, mau bersabar, ikut bekerja keras dan bahkan berhemat bersamaku?


 

"Ayah dan Ibu, lebih menghargai usaha daripada hasil. Ayah bisa saja memberi kita rumah yang bagus dan besar, tapi tak akan ada kebanggaan bagi kita karena tak ada usaha kita untuk mendapatkannya."


 

Saat itu, aku setuju saja. Saat itu, aku dan dia sedang dimabuk cinta. Meski hanya bertahan dua bulan lamanya sebelum aku mulai bertualang.


 

Suara langkah kaki bersepatu terdengar. Aku menoleh, dan mendapati Ayah dan Ibu mertuaku masuk dengan wajah tanpa ekspresi.


 

Di hadapan keduanya, tiba-tiba saja aku merasa kecil.


 

"Ayah, Ibu…"


 

Aku maju dan mengulurkan tangan. Tapi Ayah mengangkat tangannya menyuruhku berhenti. Sementara Ibu menatapku dengan raut wajah geram. Aku tertunduk, sadar bahwa aku berdiri di hadapan orang tua yang terluka karena anaknya kusakiti. Bodoh sekali aku, kenapa waktu itu meminta Aya datang ke hotel? Kupikir, dia akan langsung pulang, menuruti perintahku untuk tak masuk ke dalam.


 

"Sudah lebih dari sebulan kalian berpisah, dan kamu baru datang hari ini, Ivan. Bagus sekali."


 

Aku menelan ludah.


 

"Maaf, Ayah. Saya… sibuk mencari Aya dan Cia."


 

"Sibuk mencari anakku, atau sibuk dengan perempuan murahan ini?"


 

Suara Ibu getas. Kurasakan Gita bergerak maju, tak terima dikatakan murahan. Segera kutahan tangannya.


 

"Ayah, Ibu, Aya pasti telah menceritakan apa yang terjadi. Saya datang untuk mencarinya karena dia membawa kabur putri saya. Aya sangat lancang membawa putri saya serta padahal dia bukan Ibunya."


 

Ibu tertawa,


 

"Bagus sekali ucapanmu, Ivan. Bukankah dulu kau mengemis agar Aya menerima dan mengakui Cia sebagai anaknya sendiri?"


 

"Tapi, Cia memang bukan anaknya, Bu. Aya harus mengembalikan dia pada saya. Mereka ada disini, kan?"


 

"Rasanya, aku tak sabar untuk menampar mulutmu itu," gumam Ibu, yang segera di tenangkan oleh Ayah. Diam-diam, aku melirik Ibu, dan tahu darimana sifat temperamen dan nekad Aya diwariskan. 


 

"Ivan, dengar ini baik-baik. Urusan rumah tangga kalian, saya tidak ikut campur. Aya sudah dewasa, dan dia punya teman-teman, yang kebetulan sekali, pengacara hebat, yang membantu menyelesaikannya. Jadi, urusanmu dengan Aya, selesaikan melalui pengacaranya. Aya tak ada disini. Bahkan meskipun ada, dia tak akan mau kau temui."


 

"Jangan bohong! Putri anda mencuri semua harta milik calon suami saya!"


 

Aku terkejut mendengar suara Gita. Kudorong dia ke belakang


 

"Jangan ikut campur," bisikku.


 

"Bagus! Jadi ini perempuan yang membuat kalian berpisah? Sampah, memang cocoknya dengan sampah!"


 

"Mas, dia menghina kita!"


 

"Diam Gita."


 

Aku panik. Kedatanganku kesini dengan membawa Gita adalah sebuah kesalahan besar. Harusnya, aku datang sendiri, berusaha meluluhkan hati kedua orangtuanya. Aku yakin, hanya mereka yang kata-katanya didengar oleh Aya.


 

"Ayah, Ibu, tolong suruh Aya keluar. Saya harus mengambil Cia. Cia tidak ada hubungan dengan kalian!"


 

Aku terpaku saat Ayah melangkah maju, dan berdiri dua langkah di hadapanku. 


 

"Dengar Ivan. Meski kau ayah biologisnya, secara hukum, kau bukan siapa-siapa bagi Cia. Bahkan, untuk menjadi wali nikahnya saja, kau tak bisa. Selama ini, Aya merawat Cia sendiri sementara kau sibuk bertualang. Coba tanya Cia, siapa yang dia sayangi, kau atau Mamanya? Jadi saranku, tinggalkan rumah ini, sebelum kami hilang kesabaran mendengar kata-katamu yang terus menyakiti Aya."


 

Ucapannya itu menamparku. Selama ini, aku memang abai dengan anakku sendiri. Aya telah merawat dan menghujaninya dengan cinta, sementara aku sibuk hinggap dari satu bunga ke bunga lainnya. Aku mengangkat kepala, memandang lantai atas dari sela sela teralis pembatas. Adakah Aya dan Cia di atas? Apa yang harus kulakukan?


 

"Cia! Cia! Ini Papa!"


 

Nekad, aku berlari menaiki tangga. Namun, beberapa orang lelaki keluar entah dari mana, memiting tangan dan kembali menyeretku hingga aku kembali berhadapan dengan Ayah mertuaku. 


 

"Ayah! Kembalikan Cia!"


 

"Jadi, sekarang kau sudah merasa bahwa anak itu berharga? Atau kau menginginkannya hanya untuk menekan Aya?"


 

"Ayah…"


 

"Bawa mereka keluar dari rumah ini, dan jangan pernah biarkan datang lagi."



 

***



 

"Si-alan!!!"


 

Aku berteriak histeris, memukul-mukul stir mobil seperti orang kes-etanan. Gerbang pagar itu langsung tertutup begitu memuntahkan tubuh kami berdua.


 

Duduk di sebelahku, Gita, diam sambil menatap rumah Ayara dengan pandangan yang sulit ku terjemahkan. Bodohnya aku, harusnya, dia tak kutunjukkan dulu pada dunia. Semua orang akan setuju bahwa akulah yang salah.


 

Setelah melarikan mobil cukup jauh, aku berhenti, turun dan berjalan memutar. Kubuka pintu penumpang dan kami saling menatap.


 

"Turun!"


 

Gita melotot.


 

"Kau menurunkanku di tengah jalan?!"


 

"Ya. Aku salah selama ini. Kau tidak akan bisa menggantikan Ayara. Kita putus!"


 

Gita tertawa, tapi tetap tak mau turun.


 

"Kau kira aku masih mau denganmu setelah semua hartamu habis, Mas? Jangan mimpi."


 

"Bagus. Jadi, tidak ada lagi yang menahan kita. Turunlah, dan mulai saat ini kita tak punya hubungan lagi."


 

"Aku akan turun, tapi tidak disini. Antar aku ke rumah."


 

Aku mrnggeleng.


 

"Tidak. Turun disini atau aku akan menyeretmu.'


 

Entah mengapa, semua cinta yang kemarin masih menggebu-gebu padanya, lenyap seketika. Kehilangan Ayara, Lucia  berikut semua harta benda yang susah payah kukumpulkan, perlahan membuatku hancur, termasuk, cinta pada wanita ini.


 

Cinta, ataukah hanya naf-su sesaat?


 

Aku menarik tangan Gita, memaksanya turun, tak peduli banyak orang melihat kami. Gita menjerit-jerit histeris, menyumpahiku dengan segala kata-kata kotor. Aku tak peduli, berjalan memutar dan naik lagi ke mobil.


 

"Si-lan kau Ivan! Dasar miskin! Mobil dapat rental aja sok! Awas, tunggu pembalasanku!"



 

***




Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (7)



 

Dulu, semua baik-baik saja. Aku dan Mas Ivan menikah atas dasar cinta. Setidaknya itulah yang kurasakan. Entah, apakah aku kurang peka pada perasaannya yang tak sebesar cintaku, ataukah dia memang tipe lelaki yang mudah berpaling hati. Kami bertemu di acara reuni fakultas. Dia ternyata dua tingkat di atasku, tapi rasanya dulu, aku tak pernah mengenalnya. Maklum saja, aku bukan tipe gadis yang mudah bergaul. Sahabatku hanya tiga. Angga, Trisha dan Elena. Pertama sekali dia datang ke rumahku, esoknya dia langsung melamar. Karena itulah aku menerimanya. Kupikir, seperti itulah lelaki sejati.


 

Tahun pertama yang kujalani manis bak gula, meski dibayangi rasa gelisah karena aku tak kunjung hamil. Dua bulan setelah menikah, Mas Ivan yang waktu itu hanya karyawan biasa, tiba-tiba diangkat menjadi manager operasional. Orang-orang bilang, itu rezeki menikah. Dia tampak semakin sayang padaku, meski berbarengan dengan itu, dia mulai sering pergi ke luar kota dengan berbagai alasan. Sampai kemudian, dia memberiku kejutan yang luar biasa bernama Lucia.


 

Mama mertua dan keluarga besar Mas Ivan, awalnya baik padaku. Kami saling menjaga hati. Terlebih Ayah dan Ibuku, yang memiliki beberapa minimarket di kota ini, seringkali mengirimkan sembako dan makanan kering lainnya ke rumah keluarga Mas Ivan dalam jumlah besar. Maka sikap manis selalu kudapatkan. Namun, saat aku tak kunjung hamil, Mama mertua mulai berubah. Kehadiran Lucia yang membuatnya menahan diri lagi, karena saat itu, Mas Ivan setengah mengemis agar aku mau menerima Cia.


 

"Dimana Ibu bayi ini, Mas?" tanyaku suatu hari.


 

Mas Ivan diam saja.


 

"Mas!"


 

"Aya, bisakah kau merawat saja anak ini tanpa perlu tahu siapa Ibunya?"


 

Aku menggeleng dengan tegas.


 

"Tidak bisa. Bagaimana kalau dia tiba-tiba muncul dan mengambilnya lagi? Aku bukan baby sitter tempat penitipan bayi. Sekali dia menjadi anakku, dia akan selamanya menjadi anakku."


 

Mas Ivan menyandarkan kepala, menatap langit minggu pagi yang cerah.


 

"Dia dibawa pergi keluarganya entah kemana. Mereka tak mau menerima Cia, bahkan sekedar melihatnya saja tidak."


 

"Bagaimana kau bisa bertemu dengannya?"


 

"Aku… waktu itu aku khilaf, Aya. Kamu ingat saat aku tugas di Palembang selama satu minggu? Aku bertemu dengan dia disana."


 

Aku ingat. Itu tugas luar pertamanya. Setelah itu, dia seringkali pamit untuk tugas luar. Meninjau proyek, menjemput tukang, survey tempat, dan sebagainya. 


 

"Kamu mencintai dia? Ibu bayi ini?'


 

Suaraku bergetar. Bagaimanapun, aku perempuan biasa, yang hatinya begitu mudah terluka. Mas Ivan mengulurkan tangan hendak menyentuhku, namun aku mengelak. Aku tak butuh jawaban, karena jawaban itu terpancar jelas dimatanya. Dan aku menyadari  bahwa suamiku adalah lelaki yang terlalu mudah jatuh cinta.


 

Lalu, aku mengurus surat adopsi Lucia dengan bantuan Trisha. Aku harus punya surat yang kuat dimata hukum, hingga jika suatu saat Ibunya datang, dia tak akan bisa mengambil anakku dengan mudah. 


 

Seperti aku sayang padanya, seperti itulah Lucia menyayangiku. Dia hanya tahu bahwa akulah Ibunya, satu-satunya orang yang paling dia sayangi. Dan kini, Mas Ivan sedang berusaha memisahkan kami, demi menyakiti hatiku. Maka, dia harus tahu, bahwa aku juga bisa melakukan hal yang sama. Dia tak tahu, bahwa aku telah menggenggam hati putrinya erat-erat. 



 

***



 

"Ivan datang ke rumah," ujar Ayah melalui sambungan telepon. "Dia pikir, kamu dan Cia tinggal disini."


 

"Lalu, apa yang dia lakukan, Yah?"


 

"Dia hendak menggeledah rumah mencari kalian. Tentu saja, Ayah tak akan biarkan kakinya menginjak rumah kita lebih dalam."


 

Aku menghela napas lega. Tentu saja, semua ini sudah ku perhitungan. Termasuk kedatangan Mas Ivan ke rumah. Tapi, bukankah seharusnya dia tahu bagaimana Ayah dan Ibuku? Dan juga tahu, bahwa tak ada orang tua yang rela putrinya disakiti terus menerus.


 

"Tenanglah, Aya. Ayah dan Ibumu ini bukan jompo. Kami baru lima puluh tahun lebih sedikit. Lagipula, kalau dia macam-macam, ada banyak bodyguard bayaran yang bisa disewa."


 

Aku tertawa mendengar suara Ibu, lalu sadar, dari siapa sifatku yang keras dan nekad ini diturunkan.


 

Setelah menutup pembicaraan, aku melangkah menuju teras, duduk di kursi rotan sambil memandang pantai yang berjarak seratus meter di hadapanku. Di titik yang jauh itu, aku bisa melihat Cia dan Mbak Atik bermain istana pasir.


 

Tunggu sebentar lagi, Mas. Aku akan dengan senang hati mendengarkan kamu membaca ikrar talak di depan hakim. Tapi, jangan harap kamu bisa melihat Lucia.



 

***



 

"Non, Mbak izin masuk sebentar, mau buang air. Tapi, Non Cia belum mau masuk," Lapor Mbak Atik melalui ponsel.


 

"Oke tunggu sebentar, Mbak, aku kesana."


 

Kututup lagi laptop, dan bergegas menuju pantai tempat mereka bermain. Hari ini matahari teduh sehingga aku membiarkan Cia bermain sebelum waktunya mandi sore.


 

"Mbak, istirahat saja. Biar Cia sama saya," ujarku saat berpapasan dengan Mbak Atik yang meringis menahan buang air. Dia hanya mengangguk dan segera berlari. Aku tertawa kecil, menghampiri Cia yang duduk di atas pasir, di garis pantai. Sesekali, ombak datang dan menenggelamkan kaki mungilnya. Seperti biasa, pantai tampak sepi, hanya ada satu dua orang bermain air atau bermain pasir seperti Cia. Mungkin mereka penduduk asli sini, atau tamu-tamu vila yang banyak terdapat di sekitar sini. Kubayangkan, jika sudah dibuka untuk umum, tempat ini mungkin tak senyaman ini lagi.


 

"Loh, Cia?"


 

Aku terkejut, saat menyadari Cia yang tadi duduk di sebelahku tiba-tiba menghilang. Aku terlalu asyik memandangi ombak. Panik, aku berdiri, memandang ke segala penjuru. Jantungku rasanya langsung mencelos ke dasar perut saat melihat beberapa meter ke kiri, putriku berjalan ke dalam air tanpa rasa takut.


 

"Ciaaaa!"


 

Aku berlari, mengabaikan batu karang yang menyakiti kaki. Bagaimana Cia bisa berjalan di dalam air laut yang banyak batu karangnya? Tidakkah dia takut dengan ombak? Mataku melebar saat melihat air sudah sedadanya. Aku bukan lagi berjalan, tapi berlari.


 

"Ciaaaa… berhenti!"


 

Lalu, ombak besar menyapu tubuhnya. Aku menjerit-jerit histeris. Sebetulnya, kami berada tak jauh dari pantai. Tapi, Cia hanya anak lima tahun. Tingginya hanya sepinggangku.


 

"Ciaaaaa!"


 

Lalu, entah dari mana datangnya, seseorang melewatiku, berlari di dalam air dengan kecepatan tinggi. Detik berikutnya, dia mengangkat tangan tinggi-tinggi, dengan anakku ditangannya.


 

Aku merosot lemas, membiarkan tubuhku terendam air laut hingga sepundak. Sosok tadi, yang ternyata seorang lelaki, berjalan mendekat dan membantuku berdiri, dengan Cia tetap berada di gendongannya. Di atas pasir, barulah dia menyerahkan Cia padaku.


 

"Cia mau tangkap ikan, Ma, maaf bikin Mama takut." Suara Cia penuh sesal. Aku mendekapnya erat, membiarkan air mataku jatuh bercampur percikan air laut. Oh anakku, bagaimana jika terjadi sesuatu padamu? Aku mungkin tak ingin hidup lagi.


 

Kemudian, baru kusadari, si penyelamat tadi menatap kami.


 

"Terima kasih."


 

Dia menggangguk.


 

"Perkenalkan, saya Banyu. Banyu Biru."



 

***



Jangan Ajari Aku Kata Sabar (8)



 

"Saya Banyu, Banyu Biru."


 

Aku mengulurkan tangan, menjabatnya sekilas. Jabatan tangannya mantap dan terasa hangat di telapak tanganku yang dingin oleh air laut. Masih dengan Cia dalam dekapan, aku berdiri.


 

"Saya berhutang nyawa padamu. Terima kasih banyak. Semoga Allah membalasmu dengan seribu kebaikan."


 

Aku mundur, berbalik dan setengah berlari menuju rumah. Mungkin aku kurang sopan karena tidak mempersilahkan dia ikut ke rumah sebagai ucapan terima kasih. Tapi, di rumah, kami hanya bertiga, perempuan semua, dan dengan statusku yang belum jelas seperti ini, rasanya tak enak bertemu dengan lelaki lain.


 

"Ya Allah, ini kenapa, Non?!"


 

Mbak Atik terkejut melihat aku berlari pulang sambil menggendong Cia dalam keadaan basah kuyup dan kusut masai. Aku terdiam sesaat, berusaha menentramkan jantung yang terasa meledak akibat berlari sambil menggendong. Sementara Cia, memeluk leherku erat. Dia tahu bagaimana cemasnya aku tadi.


 

"Ayo sama Mbak, kita mandi. Biar Mama juga mandi ya," bujuk Mbak Atik. Cia menarik tangannya, menatapku. Aku mengangguk pertanda memberinya izin.


 

Bagaimana kalau tadi Cia jatuh dan tenggelam? Bagaimana kalau tadi tak ada orang yang menyelamatkannya? Dan bagaimana hidupku tanpa dia? Tanpa sadar, air mataku menetes, membayangkan hidup yang hampa tanpa Cia.


 

Bagaimana aku bisa begitu menyayanginya? Mencintai anak dari selingkuhan suamiku sendiri? Entahlah, sejak dulu, bukankah cinta merupakan suatu misteri yang belum terpecahkan?


 

"Non, Non basah kuyup. Mandi dulu dan pakai baju hangat, takut sakit."


 

Mbak Atik sudah berdiri di depanku sambil menggendong Cia yang sudah dibalut kimono mandinya. Gadis kecil itu menatapku dengan sorot bersalah.


 

"Maaf, Mama… Cia salah."


 

Aku memegang kedua pipinya.


 

"Cia, dengar sayang. Cia nggak salah, Mama yang lalai menjaga. Tapi, lain kali, Cia nggak boleh masuk ke tengah laut ya. Kalau mau ikan, bilang Mama, nanti Mama yang tangkap."


 

Gadis kecilku tersenyum, dan mengangguk Kuat-kuat. Masih dalam gendongan Mbak Atik, dia menjulurkan kepala, menciumi pipiku.


 

"Pakai baju dulu, Mama juga mandi. Nanti Mama bikinin susu."


 

Cia mengangguk lagi. Kutatap mereka berdua sampai menghilang di balik pintu kamar. Aku menghela napas panjang, masuk ke kamarku sendiri dan mandi dengan cepat. Saat mengeringkan tubuh dengan handuk, barulah kusadari bahwa gelang mutiara pemberian Ibu tak ada lagi di tanganku.


 

Oh, dimana gelang itu? Aku duduk, dan mencoba mengingat-ingat, dimana terakhir kali aku melihatnya.


 

"Non?"


 

Suara Mbak Atik memanggil dari luar terdengar. Aku bergegas merapatkan kimono handuk dan membuka pintu sedikit hingga kepalaku muncul di celah pintu.


 

"Ada yang cari diluar."


 

Wajahnya mengisyaratkan tanya. Dadaku langsung berdebar kencang. Lebih dari sebulan lamanya bersembunyi, tak ada satu orangpun yang datang kecuali Trisha, bahkan Ayah dan Ibupun tidak, karena aku tak mau Mas Ivan menemukan kami. Apakah akhirnya Mas Ivan menemukan aku disini? Mbak Atik belum pernah bertemu Mas Ivan, hanya kutunjukkan fotonya saja. 


 

"Bawa Cia masuk, Mbak!" seruku panik.


 

"Loh kenapa?"


 

"Pokoknya bawa Cia! Jangan sampai dia ketemu orang itu, tutup pintunya rapat-rapat."


 

Aku bergegas memakai baju. Celana panjang longgar dan kaus panjang serta kerudung. Berjaga-jaga, kubawa rantai besi kecil, dan kulilitkan ditelapak tangan kanan. Kalau Mas Ivan atau siapapun yang datang itu mau macam-macam, mungkin dia bisa merasakan dulu sabetan rantai besiku.


 

Aku berlari keluar, tepat saat Mbak Atik masuk sambil menggendong Cia dengan wajah cemas. Kami persis seperti buronan yang kabur dari kejaran polisi. Lalu, diambang pintu, aku terpaku, mendapati seraut wajah yang memandangiku heran.


 

"Kamu?!"


 

Lelaki tadi, yang baru saja menolong Cia di pantai, kini berdiri di hadapanku. Setengah hatiku lega karena dia bukan Mas Ivan, tapi setengahnya lagi, gundah, menatap matanya yang memadangku.


 

"Maaf, saya nyusul kesini."


 

"Apa ucapan terima kasih saya kurang? Apa anda butuh imbalan?"


 

Dia terkejut, dan langsung menggelengkan kepala.


 

"Saya akan transfer, berapa yang anda minta karena sudah menyelamatkan anak saya?"


 

"Oh, Mbak salah paham. Saya kesini, hendak mengembalikan ini," Dia merogoh saku celananya, "Tadi terjatuh di pasir saat Mbak terburu-buru pergi.*


 

Dia mengulurkan tangan, dan tampaklah gelang mutiara milikku. Aku berdiri kaku, menatap benda di tangannya. Lelaki di depanku ini, dua kali menyelamatkan hal berharga milikku, Cia dan gelang ini.


 

"Maafkan saya, saya … "


 

"Sepertinya ada sesuatu yang membuatmu cemas."


 

"Saya akan membayarmu karena telah dua kali menolong saya."


 

Dia tiba-tiba tertawa, "Apakah semua dalam hidup ini hanya tentang uang?"


 

"Tapi saya tidak ingin punya hutang budi."


 

Dia menggeleng, "Saya tidak menganggapnya hutang. Hanya saja kalau boleh, saya ingin tahu namamu, karena kamu sudah tahu nama saya."


 

Memangnya siapa namanya tadi? Biru … oh, Banyu Biru.


 

Aku mengulurkan tangan, "Ayara. Ayara Sasmita."


 

Lelaki itu menunduk, menatap tanganku, lalu tersenyum aneh. Aku ikut menunduk, dan baru tersadar bahwa telapak tanganku masih terlilit rantai besi.


 

"Selain suka gelang mutiara, kamu juga ternyata suka gelang dari besi ya?"


 

Astaga.



 

***



 

Banyu Biru, dia berada disini untuk mengawasi pembangunan vila milik orang tuanya, tak jauh dari rumah kecil kami. Insiden memalukan dengan rantai besi itu, membuat kekakuan yang terjadi seketika mencair. Dia kemudian pamit pulang sambil melambaikan tangan pada Cia yang tiba-tiba melompat dalam gendongannya, sementara di dalam sini, dadaku berdebar kencang.


 

Bagaimana anakku bisa begitu menyukainya?


 

Aku masuk ke dalam, melepas rantai besi itu dan memasukkannya lagi ke dalam laci. Kupandangi gelang mutiara hitam hadiah dari Ibu dan memakainya. Tanpa dapat kucegah, wajah si penemu gelang ini membayang di pelupuk mata.


 

"Terima kasih," desisku.



 

***


 

"Ivan tinggal di kontrakan. Dia masih masuk kerja seperti biasa. Apa kamu nggak sekalian bikin dia kehilangan pekerjaan?"


 

Suara Trisha di ujung telepon membuatku tergelak.


 

"Itu kartu AS terakhirku. Kalau dia masih mengganggu dan terus menyerang, aku akan benar-benar membuatnya jadi gembel."


 

"Kabarnya, dia dan perempuan selingkuhnya sudah putus."


 

"Hemm, aku yakin, dia akan segera jatuh cinta lagi, dan putus lagi."


 

"Ckckck… heran, disimpan dimanakah otaknya hingga mencampakkan berlian sepertimu?"


 

Aku tak sempat menjawab pertanyaan Trisha karena suara Cia menjerit membuatku terkejut bukan kepalang. Aku berlari ke depan, dan terpaku melihat pemandangan itu. Cia bukan menjerit karena jatuh, atau celaka, tapi girang menyambut sahabat barunya.


 

"Om Banyuuuuu!"


 

Aku meringis.



 

***

Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (9)



 

Banyu Biru, dia seperti alien, yang dengan massif, menelusup masuk dan mendekat langsung ke sasaran. Cia, yang selama ini kehilangan sosok Ayah yang hobi bertualang, seperti mendapatkan penawar atas dahaganya. Usianya memang baru lima tahun. Biasanya di usia itu, gadis kecil sepertinya mencari figur lelaki idola dari Sang Papa.


 

"Om Banyu bawa apa?"


 

Aku berdiri di balik gorden, menatap keluar, membiarkan pintu rumah terbuka hingga suaranya menelusup masuk. Di teras, Mbak Atik sedang menyapu. Disini kami harus rajin membersihkan lantai. Angin laut amat suka menerbangkan pasir-pasir halus hingga ke dalam rumah kalau kau membuka pintu. Tapi kali ini, kubiarkan pintu terbuka, ingin mendengar percakapan mereka.


 

"Ayo kita lihat!"


 

Mbak Atik sibuk melirik-lirik ke dalam rumah, dan ketika mata kami bertemu, aku menyilangkan telunjuk di bibir, menyuruhnya diam.


 

"Wow!"


 

Teriakan takjub Cia terdengar. Dari sini, aku dapat melihat Banyu menggelar tikar dari pandan, dan meletakkan satu box container d atasnya. Saat isinya ditumpahkan, segala perlengkapan untuk membuat istana pasir terlihat jelas. Banyak sekali, mulai dari cetakan gapura, tembok-temboknya, beraneka ragam cetakan hewan laut, juga bermacam-macam sekop kecil. 


 

"Kita mau buat istana?" tanya Cia antusias.


 

"Kalau boleh sama Mama-nya Cia. Karena kita harus bikin  agak di pinggir pantai. Cari pasirnya yang halus."


 

Cia melirik ke dalam rumah sebentar.


 

"Entah ya, Mama lagi sedih kayaknya."


 

Eh?


 

"Kenapa?"


 

"Papa Cia udah nggak pernah datang. Eh, maksudnya, Papa nggak tahu dimana."


 

Kalimat Cia berantakan, khas anak umur lima tahun. Tapi ekspresi sedihnya itu membuatku tertegun, apakah selama ini Cia juga kehilangan Papanya? Atau, dia hanya butuh figur seorang Ayah?


 

"Memang, Papa dan Mama kenapa?"


 

Aku berlari keluar rumah, serta merta menarik tangan Cia dengan gerakan sedikit kasar. Banyu, lelaki ini hanya orang asing yang kebetulan menyelamatkan anakku. Aku tak ingin dia masuk dalam hidup kami terlalu jauh. Aku tak mengenalnya. Aku tak tahu apakah dia lelaki yang hanya sedang mencari celah untuk memanfaat keadaan. 


 

"Maaf, Banyu. Sebaiknya kamu dan Cia nggak perlu bertemu lagi."


 

"Mama!"


 

Aku menarik anakku ke belakang tubuh. Sementara lelaki di hadapanku ikut berdiri dan kami saling memandang.


 

"Apakah karena kamu sudah menyelamatkan anakku, kamu jadi merasa punya hak untuk tahu kehidupan kami? Aku sudah mengucapkan terima kasih dan menawarkan imbalan."


 

"Ayara, jangan salah paham. Aku bukan ingin tahu urusan pribadimu. Oh, oke, aku salah, aku minta maaf. Tapi, aku hanya ingin berteman dengan Cia, sama sekali tak ada maksud lain."


 

Aku tersenyum tipis.


 

"Maaf, aku tidak percaya pada lelaki asing sepertimu. Kuharap, mulai sekarang kamu nggak usah ajak Cia main."


 

"Mama! Om Banyu jangan dimarahin. Om Banyu kan nggak salah. Cia yang cerita tadi!"


 

Mendengar protes Cia, Banyu tersenyum. Dia berusaha mengintip Cia yang menjulurkan lehernya dari balik tubuhku.


 

"Cia, nggak apa-apa. Om pulang dulu ya. Nanti kalau Mama sudah nggak sedih, kita main lagi."


 

Kurasakan Cia mengangguk kuat-kuat. Sedih? Kenapa Banyu bilang aku sedih? Apakah mataku memancarkan kesedihan itu dengan jelas? Atau hanya karena ucapan Cia tadi?


 

Banyu lalu berbalik dan melangkah pergi setelah tersenyum pada Cia.


 

"Om mainannya!"


 

Banyu berbalik lagi.


 

"Nggak apa-apa disini aja. Kita pasti bisa main sama-sama nanti." 


 

Dia mengedipkan sebelah matanya pada Cia, tapi entah kenapa, hatiku yang berdebar. Aku ikut berbalik sambil menggandeng Cia. Untung saja anakku tipe anak yang penurut. Protesnya masih dalam tahap yang wajar.


 

Aku tak mau menoleh lagi, masuk ke dalam rumah dan menyuruh Mbak Atik menutup pintunya. Kubawa Cia ke wastafel untuk mencuci tangan.


 

"Cia, nggak boleh terlalu dekat sama orang yang nggak kita kenal, dengar?" ujarku sambil menuangkan sabun pencuci tangan ke atas telapak tangannya.


 

"Iya, Ma."


 

"Kita nggak tahu dia itu orang baik atau bukan."


 

"Tapi dia nolongin Cia pas mau tenggelam. Artinya dia baik, Ma."


 

"Belum tentu."


 

"Mama aneh," cetusnya dengan bibir menekuk. 


 

Anakku merajuk, sesuatu yang sangat jarang dia lakukan. Bahkan saat Papanya tak pulang di hari ulang tahunnya yang kelima sebulan yang lalu, dia tidak seperti ini. Apakah pesona Banyu telah begitu kuat memperngaruhinya?


 

Aku menghela napas, lalu menyerahkan Cia pada Mbak Atik. Biarlah, sebentar lagi, dia akan baik-baik saja. Aku masuk ke kamar kerja dan mulai membuka laptop, meneruskan pekerjaanku mengetik bab bersambung untuk platform membaca online.


 

(Ay, sidangmu besok. Kau mau datang?)


 

Pesan Trisha yang masuk kemudian membuatku menghentikan tarian di atas keyboard. Kutatap layar yang baru separuh diketik. Isi otakku tiba-tiba saja di penuhi oleh kenangan menyakitkan yang dilukis oleh Mas Ivan. Besok, sidang talak akan dibacakan. Aku akan bertemu dengannya setelah nyaris dua bulan kami berpisah.


 

(I will)



 

***



 

Pagi-pagi, aku sudah bersiap. Rencananya, Cia dan Mbak Atik akan kutitipkan di rumah Ayah. Mas Ivan tidak boleh bertemu dengan Cia, sebagai hukuman terberat baginya karena telah menyakitiku berkali-kali. Saat ini, mungkin dia hanya menganggap Cia senjata untuk membuatku luluh. Tapi suatu hari nanti, aku sangat yakin dia akan menyadari bahwa sesakit itulah rasanya kehilangan seorang anak.


 

"Ciaaaa! Mau kemana?!"


 

Sebuah suara menyapa terdengar. Dari samping vilanya, yang terpisah beberapa meter saja dari rumahku, Banyu melambaikan tangan. Dia tak peduli para tukang yang sedang mengecat vilanya, memandang dengan heran.


 

Cia ikut melambaikan tangan.


 

"Mau ke rumah Nenek!"


 

"Ohhh… salam sama Nenek ya! Dari Om Banyu!"


 

Heh. Apa-apaan dia ini? Sok akrab betul. Aku membelalakkan mata, tapi dia hanya tertawa. Kusuruh Cia naik ke jok samping sopir dan memakaikan safety beltnya. Tanpa menoleh lagi, aku menekan gas dan mobil meluncur keluar dari halaman kami yang berpasir ke jalan aspal yang halus. Dari kaca spion, kulihat Mbak Atik tersenyum-senyum.


 

"Kenapa, Mbak?"


 

"Eh, itu Non. Mas Banyu, lucu …"


 

"Lucu apanya? Sok akrab!"


 

"Hihihi …"


 

"Mbak naksir? Nanti aku bilangin."


 

"Aih, Non Aya ada-ada aja. Dia kan naksir Non. Ups… maaf Non, maaf …"


 

Mbak Atik memukul-mukul bibirnya dengan telapak tangan, sementara tawa Cia berderai-derai.


 

Diam-diam, aku ikut tersenyum. Aku bukan tipe wanita yang mudah trauma. Aku yakin, bumi ini tidak dipenuhi lelaki baji-ngan seperti Mas Ivan. Pasti ada banyak lelaki baik di dunia ini. Tapi, saat ini, aku merasa baik-baik saja tanpa lelaki. Aku bahagia hanya hidup bersama Cia. 


 

Hanya bersama Cia.



 

***



Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (10)



 

Dulu, saat aku menerima Cia dalam hidupku, Ibu menentang habis-habisan. Cia yang lahir diluar nikah, dari benih Mas Ivan dan selingkuhannya yang entah siapa itu, membuat Ibu marah besar. 


 

"Pokoknya Ibu nggak setuju, Aya. Kenapa harus ambil anak orang yang tak jelas asal usulnya?"


 

"Tapi dia anak Mas Ivan, Ma."


 

"Lalu siapa Ibunya? Bagaimana kalau Ibunya ternyata seorang PSK?"


 

"Anak itu nggak bersalah. Dia nggak boleh menanggung dosa orang tuanya."


 

"Kalau dia punya penyakit bawaan atau turunan dari Ibunya?"


 

"Artinya, aku harus punya hati seluas samudra untuk merawatnya. Dan semoga karena hal itu, Allah mau memberiku keturunan dari rahimku sendiri."


 

Ibu menggeleng-gelengkan kepala.


 

"Dasar keras kepala!"


 

Aku bersimpuh, meletakkan kepala di atas pangkuan Ibu. Sementara Ayah hanya tersenyum menatap kami. Sejak dulu, keputusan Ibu akan menjadi keputusan Ayah, tapi bukan berarti Ayah kalah dari Ibu. Bagi Ayah, seperti itulah caranya menghormati istri yang dia cintai. Jadi, meski Ayah setuju aku merawat Cia dan mengadopsinya, aku tetap harus mendapat persetujuan Ibu. Dan bagiku, restu Ibu di atas segalanya.


 

"Ibu, bayangkan saja, bayi itu dibuang dan tak diinginkan oleh Ibunya. Kalau bukan aku, lalu siapa yang akan menyayanginya?"


 

Ibu mengelus kepalaku.


 

"Apa kau tak sakit hati, Nak?"


 

"Tentu saja aku sakit, pada awalnya. Dia datang sambil menangis menjerit-jerit hingga bibirnya membiru, lalu tiba-tiba diam saat aku menyentuhnya. Apakah itu bukan isyarat dari Tuhan bahwa dia adalah takdirku? Sejak aku mengasuhnya, hampir semua novelku best seller. Dia adalah rezeki yang Allah kasih untukku. Lebih dari itu, aku berharap Allah kasihan padaku dan mau menitipkan satu saja anak di rahimku."


 

Elusan Ibu di kepalaku berhenti.


 

"Aya … "


 

Aku meraih tas yang tergeletak di atas kursi, kuberikan surat dari dokter kandungan pada Ibu. Ibu membuka dan membacanya dalam hati. Lalu saat kami saling tatap, setetes air mata jatuh dari mata beningnya. Ya, aku memutuskan memberi tahu Ibu demi meluluhkan hatinya.


 

"Aku berharap ada keajaiban, Bu. Mungkin jika Allah melihat aku mau menyayangi anak itu, anak yang kelahirannya sesungguhnya menyakiti hatiku, Allah kasihan padaku."


 

Lalu, aku tenggelam dalam pelukannya. 


 

"Ibu akan membawamu berobat, Nak. InsyaAllah kau pasti bisa punya anak dari rahimmu sendiri. Tapi, baiklah, Ibu setuju. Syaratnya, perjelas status hukumnya. Ibu tidak mau nanti perempuan itu tiba-tiba datang, merebutnya dan membuatmu sakit karena sudah terlanjur menyayangi."


 

Sejak saat itu, Cia menjadi cucu kesayangan Ayah dan Ibu. Apalagi wajah cantik dan tingkahnya yang manis itu, kerap membuat Ibu tertawa bahagia.


 

"Nenek! Kakek! Assalamu'alaikum!"


 

Begitu melompat turun dari mobil, Cia sudah berteriak, padahal aku yakin sebentar lagi pintu akan terbuka karena Ayah dan Ibu mendengar suara mobilku masuk halaman. Aku turun dari mobil, tersenyum memandang gadis kecil itu berlari melintasi halaman yang luas.


 

Pulang kesini selalu membuatku merasakan getaran yang berbeda. Disini, ada Ayah dan Ibu, dua orang terkasih yang menjadi  kekuatanku. Di tempat ini, aku benar-benar merasa terlindungi.



 

***



 

"Kamu yakin akan pergi sendirian?" tanya Ayah sambil melipat koran paginya. Meski zaman telah berubah dan portal berita online menjamur, Ayah tetap setia dengan korannya.


 

"Yakin, Ayah. Cuma sidang pembacaan ikrar talak. Dan itu sesuatu yang sangat kutunggu. Aku tak sabar menyandang status baru, lepas dari lelaki itu. Lagipula, ada Trisha, Angga dan Elena."


 

"Baiklah, segera telepon kalau kau butuh bantuan. Siapa tahu saja dia masih belum kapok menganggumu."


 

Aku mengangguk, mencium pipi Ayah dan berjalan mendekati Ibu dan Cia, yang sedang asyik menyusun lego di atas karpet. Kuraih tangan Ibu, menciumnya, memohon doa dan restu dari tangannya yang lembut. Terakhir, kuciumi pipi Cia dengan penuh perasaan.


 

"Cia anak pintar, Mama pergi sebentar ya."


 

Cia mengangguk. Dengan langkah pasti, aku keluar di iringi tepukan Ayah dibahuku.


 

"Ayah, jangan sampai ada yang tahu Cia disini. Mas Ivan tidak boleh bertemu Cia."


 

"Ayah tahu."


 

Aku masuk ke dalam mobil, menginjak gas dan mobil meluncur di jalan aspal, berbaur dengan kendaraan lain. Hari ini adalah salah satu hari paling bersejarah untukku. Suatu hubungan yang diawali dengan cinta, dan terpaksa diakhiri dengan saling membenci.


 

(Kami sudah di jalan, Ay. Sampai ketemu di pengadilan.)


 

Kami. Trisha, Angga, dan Elena. Mereka tak mau melewatkan saat-saat sulit dalam hidupku. 


 

Di depan gedung Pengadilan Agama, Mas Ivan, Mama mertuaku, dan Diska, sudah datang lebih dulu. Mereka berdiri di depan gedung, seakan-akan menunggu. Begitu aku turun, Mas Ivan langsung menghampiriku.


 

"Ayara … " 


 

Kupikir, dia akan marah, mengamuk, dan bahkan menyerangku. Dia telah terusir dari rumahnya, kehilangan seluruh harta dan juga darah dagingnya. Tapi tiba-tiba, Mas Ivan berlutut di depanku.


 

"Ayara, maafkan aku. Ayo kita kita mulai dari awal lagi."


 

Aku tertegun sejenak. Sesaat, semua kenangan indah di dua bulan pertama pernikahan kami, membayang di mataku. Tapi kemudian, semua pengkhianatannya mendesak dan memenangkan akal sehatku.


 

Aku mundur selangkah, menjauh dari jangkaunnya.


 

"Kamu sudah terlambat, Mas."


 

"Aya, aku janji nggak akan mengulanginya lagi. Ayo kita perbaiki semuanya."


 

"Bukan kita, tapi kamulah yang harus memperbaiki dirimu, tapi, bukan bersamaku lagi. Kesempatan kamu sudah habis."


 

Mas Ivan tertegun, menatapku dalam-dalam. Aku tak mau kalah, tak mau mengalihkan pandangan darinya. Kucoba bertanya pada hatiku, adakah sisa rasa tertinggal untuknya? 


 

Tidak ada. Seluruh hatiku telah disaput rasa benci padanya. Cinta itu telah sepenuhnya padam.


 

Aku berbalik dan hendak meninggalkannya ketika kurasakan tanganku dicengkram erat.


 

"Kau benar-benar menguji kesabaranku, Ayara. Aku sudah meminta maaf dan bahkan memohon padamu."


 

Aku menarik tanganku dengan satu kali sentakan hingga terlepas dari cengkramannya. 


 

"Apa aku tidak salah dengar? Sabar? Dengar baik-baik, Mas Ivan yang terhormat. Jangan coba-coba mengajariku apa artinya sabar. Karena apa? Karena selama enam tahun ini aku telah bersabar mendampingi lelaki pengkhianat sepertimu!"



 

***



 

Bersambung…



 

Perseteruan yang sesungguhnya antara Ayara dan Ivan segera dimulai. Akan ada kehadiran tokoh baru yang semakin membuat cerita ini seru. Dan bagaimana kisah antara Ayara dan Banyu? 





 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya JANGAN AJARI AKU KATA SABAR (Bab 11-20)
0
0
Kisah Ayara dan Banyu Biru
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan