
Huda, duri dalam keluarga
ISTRI KEDUA AYAHKU (1)
—-
"Mbak Elisa, maaf. Tapi saya harus jujur demi nama baik dan masa depan saya. Saya sedang hamil anak Mas Huda, Mbak."
Aku menatap gadis muda di hadapanku. Tubuhnya bergerak gelisah, wajah pucat pasi dengan sepasang netra yang siap menumpahkan air mata. Sesaat, kulihat dia berusaha meneguhkan diri. Dia mengusap matanya yang mulai basah, lalu menatapku dengan pandangan teguh. Aku menghela nafas. Huda, adikku. Adik satu Ayahku, lagi-lagi membuat ulah. Entah untuk keberapa kalinya aku harus menghadapi situasi seperti ini.
Aku menghela nafas dalam-dalam. Kupegang lengan gadis itu. Aku tahu dia tidak berdusta. Huda adikku, memang seorang playboy kelas kakap. Kelakuannya kerap membuat pusing keluarga besar kami. Bukan hanya Ayah dan Mama, ibu kandungnya yang merupakan istri kedua ayahku, yang kena getahnya. Tapi Ibuku yang merupakan istri pertama Ayah dan juga aku beserta Amira, adikku yang lain. Tak terhitung berapa banyak sudah uang Ayah keluarkan demi membungkam mulut para korban yang meminta jalan damai karena Huda tak pernah punya niat menikahi salah satu dari mereka.
"Siapa namamu?" tanyaku.
"Saskia. Saya karyawan bagian administrasi di kantor Mas Huda."
Aku terdiam sejenak, menuruti kata hati ingin sekali rasanya aku menghaj-ar adikku itu saat ini. Tapi aku tentu akan menghadapi kemurkaan Mama, Ibu kandungnya, yang tak pernah menerima kenyataan bahwa anaknya sebejat itu.
"Tinggalkan alamatmu disini. Saya akan membicarakannya pada orang tua saya."
Dia menatapku sejenak.
"Saya tidak minta dijanjikan, lalu dilupakan seperti para korban Mas Huda sebelumnya. Saya mau dinikahi karena Mbak Elisa tahu sendiri, siapa yang mau menikahi wanita yang sudah tak perawan seperti saya."
Aku memandangnya dalam-dalam.
"Apa kau siap mempunyai suami seperti adikku itu? Kau tahu sepak terjangnya. Kau bahkan menyebut kata 'para korban'. Itu berarti bukan hanya satu."
Gadis itu balas memandangku dengan sinar mata teguh. Dia menyusut lagi air matanya kuat-kuat.
"Siap Mbak. Saya akan menghentikan petualangan Mas Huda."
***
"Namanya Saskia. Usianya dua puluh dua tahun. Huda sudah mengambil keperawana*nya dengan intimidasi. Dan kini gadis itu hamil dua bulan."
Aku meletakkan map berisi data Saskia ke atas meja kerja Ayah. Ayahku, lelaki berusia lima puluh lima tahun itu bersandar di kursinya sambil memijat kepala. Aku menatapnya prihatin.
"Sudah saatnya Ayah bertindak tegas. Kita tidak bisa selamanya membiarkan saja kesalahan Huda dan menutup mulut para perempuan itu dengan uang. Kita sekeluarga menanggung dosanya, Ayah."
"Tapi Mamamu akan marah."
Aku menatap Ayah kesal.
"Kenapa Ayah begitu takut dengan Mama sampai-sampai menuruti semua keinginannya tanpa peduli salah atau benar?"
"Elisa…"
"Apa karena Eyang? Apa karena Mama sudah memberi Ayah anak lelaki? Tidak seperti Bunda yang memberi aku dan Amira? Ayah, ini sudah abad dua satu. Sudah bukan zamannya lagi membedakan gender. Ayah bahkan lupa bahwa kami, anak-anak perempuan Ayah yang akan memudahkan jalan Ayah meraih surga."
Ayah menghela nafas dalam-dalam. Aku tahu, bahwa alasan yang kukatakan di atas adalah suatu kebenaran. Ayah dan Bunda, Ibu kandungku menikah dua puluh enam tahun lalu atas dasar cinta. Aku lahir satu tahun kemudian. Tapi Eyang, Ibu Ayahku tak sabar ingin menimang cucu lelaki penerus keluarga sehingga menjodohkan Ayahku dengan Mama Laksmi, seorang gadis yang sama-sama keturunan bangsawan. Kelak kuketahui bahwa Eyang tak pernah setuju Ayah menikah dengan Bunda. Mama Laksmi telah lama dipersiapkan sebagai menantu keluarga Sastra Wijaya. Tapi Ayahku, yang sangat mencintai Bunda, bergeming. Mereka tetap menikah. Meski dua tahun setelahnya, pernikahan kedua Ayah dengan Mama Laksmi tak bisa dielakkan. Lalu Huda lahir dari rahim Mama, disusul Amira enam bulan kemudian dari rahim Bunda.
"Elisa, beri tahu seluruh keluarga bahwa kita akan bicara malam ini."
Ayah memberi perintah tanpa menjawab pertanyaanku. Aku mende-sah, tapi tak lagi punya energi untuk membantah. Aku baru saja kembali dari Italia. Ada pertemuan pengusaha tekstil dari seluruh dunia dan aku merupakan perwakilan dari Indonesia. Ayahku, seorang pemilik sekaligus pemimpin pabrik tekstil terbesar di negeri ini. Rasanya lelah jiwa dan raga. Aku berharap bisa beristirahat barang satu hari saja, tapi rupanya masalah telah menanti.
Aku menaiki pajero sport hitam pekat milikku yang gagah dan meninggalkan kantor Papa. Kata orang, aku gadis tomboy yang bertingkah mirip lelaki meski memiliki kecantikan di atas rata-rata. Mungkin karena dulu Ayah berharap aku terlahir sebagai lelaki.
Di tengah perjalanan, aku memutuskan ke rumah Mama lebih dulu. Biasanya, undangan makan malam akan disampaikan langsung oleh Bunda melalui telepon. Ayah selalu mengumpulkan kami dalam sebuah pertemuan di meja makan di rumah utama, rumah Bunda, ketika hendak mengambil sebuah keputusan penting. Tapi kali ini, rasanya aku sudah tidak tahan lagi.
"Ada apa?" Wajah dingin Mama menyambutku.
Sudah bukan rahasia umum kalau Mama kerap memakai berbagai cara untuk menyingkirkan madunya, namun dia tahu bahwa hal itu tak akan mudah. Selain cinta Ayah pada Bunda yang belum terkikis sedikitpun, Bunda punya aku dan Amira.
"Mana Huda? Aku harus bicara dengannya."
"Huda di kantor. Dia bekerja keras, bukan pulang cepat dan malah kelayapan."
Aku tahu dia menyindirku. Aku tertawa kecil.
"Jangan bercanda Ma. Aku tadi mampir ke kantornya, dan dia tak ada. Sekretarisnya bilang, dia bahkan tidak datang hari ini."
Raut wajah Mama Laksmi seketika berubah.
"Aku tak bisa mengekang anak lelaki, Elisa. Biarkan saja. Akan ada masanya dia menjadi anak yang manis dan penurut."
"Mungkin Mama benar. Tapi Huda adalah pengecualian. Sudah Mama hitung berapa perempuan yang menjadi korbannya? Jangan terkejut jika nanti banyak orang mengaku cucu Mama. Dia bertualang dan menyebar benih di sana sini."
"Tutup mulutmu!" Seru Mama berang.
Aku melipat kedua tangan. Dua puluh empat tahun menjadi keluarga Sastra Wijaya nyatanya tak membuat Mama menjadi lebih lembut dan tahu adat, padahal katanya dia putri bangsawan. Dia sungguh berbeda dengan Bunda yang bukan bangsawan, tapi bertingkah bak priyayi terhormat.
"Ayah menanti Mama dan Huda malam ini di rumah. Dan pastikan dia tidak mangkir lagi. Atau aku yang akan mencari dan mengh-ajarnya."
Mama Elisa terkejut. "Memangnya apa yang dilakukan Huda?"
"Dia menghamili anak orang. Lagi."
Mama mendengus. "Berikan saja uang tutup mulut seperti biasa."
Aku menggeleng. "Tidak kali ini. Aku akan memastikan Huda bertanggungjawab."
"Kau tak punya hak mengatur hidupnya Elisa!" Seru Mama berang.
"Aku punya. Aku adalah kakaknya. Atau dia bisa memilih meninggalkan rumah ini dan melupakan dirinya sebagai bagian keluarga Sastra Wijaya."
"Kau mengancam anakku?"
Aku tertawa kecil, menatap Mama dengan rasa hormat yang setiap hari terkikis hingga habis.
"Aku hanya meniru Mama. Jangan Mama kira aku tak tahu selama dua puluh tiga tahun ini Mama berusaha memisahkan Ayah dan Bunda. Aku tahu semuanya. Dan jika selama ini aku diam saja, bukan berarti aku takut. Aku akan menunggu sampai Ayah melihat sendiri kebusukan Mama yang berulang kali berusaha mencelakai Bunda."
Setetes keringat besar-besar jatuh di pelipis Mama. Dia menatapku salah tingkah.
"Jangan lupa jam tujuh malam ini. Dan tolong jangan sampai Huda tak datang. Aku bukan sekedar mengancam."
***
ISTRI KEDUA AYAHKU ( 2 )
Ruang makan Bunda malam ini terang benderang. Meja panjang dengan kapasitas sepuluh orang itu mendominasi ruangan. Berbagai menu makan malam yang menggoda selera tampak di sana, tapi, tak seorang pun menyentuhnya. Di kepala meja, Ayah duduk dengan raut wajah tanpa senyum. Di sebelah kanannya ada Bunda, aku dan Amira. Mama duduk di seberang Bunda dengan ekspresi kesal. Dia telah lama mendambakan duduk di sebelah kanan Ayah. Di kepala meja yang satunya, Eyang putri, wanita berusaha tujuh puluh delapan tahun yang masih tampak bugar itu duduk dengan tenang, seakan tak terjadi apa-apa. Sementara aktor utama acara malam ini belum juga nampak batang hidungnya.
Ayah menoleh lagi pada jam antik setinggi manusia dewasa yang menggantung di ruang tengah, yang terlihat dari tempatnya duduk. Sudah pukul tujuh tiga puluh malam, setengah jam dari waktu yang ditentukan. Huda harusnya tahu bahwa Ayah tak mentolerir keterlambatan.
"Kemana dia?" Tanya Ayah pada Mama.
Mama tak langsung menjawab. Dia menoleh sejenak pada Eyang, yang selama ini selalu menjadi tameng hidup bagi segala kelakuan buruk Huda. Eyang sendiri asik mengaduk jahe susu miliknya seolah tanpa peduli apa-apa.
"Laksmi…"
"Emm… tadi dia pamit hendak menemui temannya Mas. Katanya besok akan ada acara santunan ke yayasan yatim piatu."
Kami semua mengangkat kepala, menatap Mama. Tahu dengan pasti bahwa alasannya hanya dusta belaka. Huda tak pernah menyentuh hal-hal semacam itu. Bersenang-senang adalah jadwal kegiatannya dari membuka mata hingga terlelap lagi.
Ayah mendesah kesal. Beliau mulai meraih piring.
"Kita makan dulu. Setelah ini jangan ada yang beranjak dari meja makan. Aku mau bicara."
Bunda mengangguk, menyendok nasi dan menuangkannya ke piring Ayah. Sementara Amira membantu Eyang, yang diterima oleh sang nenek tanpa ekspresi. Sejak dulu, cucu perempuan adalah manusia nomor dua di matanya.
"Katakan saja sekarang. Tak perlu menunggu nanti. Ini semua karena aduan Elisa kan? Kau tak pernah lelah menjelek-jelekkan adikmu ya?"
Kami semua terkejut mendengar suara Mama. Tangan Ayah yang baru saja hendak menyuap nasi ke mulut terhenti. Diletakkannya lagi sendok itu di atas piring. Bunda terdiam, sementara aku menunggu reaksi Ayah. Mama sungguh tak tahu adab di meja makan.
"Elisa tidak mengadu. Dia memberikan bukti yang nyata dari perbuatan Huda kali ini," ujar Ayah.
"Kalaupun memang benar, apa susahnya mengulangi semua seperti biasa? Beri saja sejumlah uang dan suruh dia pergi dari sini. Terserah apakah mau digugurkan atau tidak."
"Laksmi…" Suara Ayah terdengar menahan amarah. Tidak biasanya Ayah bersikap seperti ini pada Mama, apalagi di depan Eyang. Mama sangat tahu bahwa Eyang akan selalu berada di belakangnya sehingga dia kerap memanfaatkan situasi itu demi kepentingannya sendiri. Tapi kali ini sepertinya Ayah sudah tak tahan lagi.
"Aku sudah tak ingat lagi berapa kali Huda melakukan hal semacam ini. Benar kata Elisa, kali ini Huda harus bertanggung jawab."
"Elisa lagi!" Mama berdiri, benar-benar melupakan adab di meja makan. Dia menatapku dengar raut murka. Aku diam, berusaha tetap tenang. Kutatap Mama yang kini menudingkan telunjuknya ke wajahku.
"Kau selalu mencari-cari kesalahan Huda. Apa karena kau iri dan tak mau Huda menjadi pemimpin perusahaan kelak?"
"Duduklah Laksmi." Suara Bunda lembut. "Dan kuharap kau berhenti berteriak. Ingat ada Ibu di sini."
Kami serentak menoleh pada Eyang. Sementara yang ditatap hanya menyilangkan tangan di atas meja makan. Biasanya, selain Ayah, suara Eyang menjadi pertimbangan utama di rumah ini dalam mengambil keputusan.
"Ibu… Ibu tahu kan Huda itu masih muda. Aku tak ingin dia menikah di usia muda dan mendengar rengekan bayi setiap hari. Kasihan dia. Dia belum puas menikmati masa remajanya."
Mama mulai melancarkan aksinya. Ayah mende+sah, biasanya mereka akan kalah jika sudah adu argumen dengan Eyang.
"Ibu, kita tak bisa terus membiarkan Huda seperti ini. Kita semua ikut menanggung dosanya," ujar Bunda, tak peduli mata Mama mendelik marah. Mama bahkan tak juga duduk kembali seperti permintaan Bunda.
"Benar. Berapa banyak bayi tak berdosa yang kita bunuh selama ini?" tanya Ayah.
Aku dan Amira serempak bergidik mendengarnya. Huda benar-benar membuat keluarga kami berisi orang-orang tak punya hati.
"Ibu, tolong dengarkan aku…"
Eyang tiba-tiba mengangkat tangannya, menyuruh Mama berhenti. Tanpa kuduga, dia menoleh padaku.
"Elisa, cari adikmu. Eyang tak peduli bagaimana caranya, bawa dia ke hadapan Eyang malam ini juga."
Kulihat dada Mama naik turun dengan cepat. Sebelumnya, Eyang tak pernah begini. Kami biasanya menyelesaikan semua masalah ini tanpa perlu memanggil Huda, karena percuma membujuknya untuk menjadi seorang lelaki. Ketika seorang gadis datang, mengaku hamil atau kehilangan keperawanannya oleh Huda, maka Eyang tinggal mentransfer sejumlah uang. Maka gadis itu akan menghilang.
Harus menghilang.
Sungguh, keluargaku yang di mata orang-orang adalah keluarga terhormat, nyatanya berisi sekumpulan manusia bejat. Dan aku bertekad merubahnya mulai malam ini.
Aku mengangguk, mendorong kursiku ke belakang lalu pamit pada Ayah dan Bunda tanpa sedikitpun menyentuh makanan. Selera makan dan rasa lapar menguap begitu suasana tegang menggantung di langit-langit ruang makan. Amira menahan tanganku, meminta ikut.
'Tidak, kau harus disini menjaga Bunda.' ujarku dengan bahasa isyarat. Amira mengangguk, meski aku tahu dia berat membiarkanku pergi sendiri. Tapi seperti kemarin-kemarin, jika Mama sedang kesal, maka Bunda yang akan menjadi pelampiasan amarahnya. Dan kau tak akan percaya apalagi sanggup membayangkan apa yang bisa dia lakukan. Karenanya aku butuh Amira, sampai Mama kembali ke rumahnya sendiri esok pagi.
Aku kembali memacu pajero hitam kesayanganku. Mobil ini hadiah dari Papa karena aku lulus cum laude dari jurusan bisnis Harvard University. Sesuatu yang memicu rasa iri Mama kemudian karena Huda nyatanya tak diterima di Universitas Negeri manapun di Indonesia. Dia terlalu banyak main, hingga Mama akhirnya memaksa Papa membeli kursi di kampus bergengsi di Jakarta dengan jumlah fantastis. Dia baru saja lulus tahun lalu dan setahun penuh dia habiskan untuk bertualang dengan gadis-gadis.
Setelah mencari di beberapa tempat dia biasa nongkrong tanpa hasil, aku kembali berkeliling. Di depan sebuah night club, aku menghentikan mobil. Malam telah mulai larut. Sesaat, kupandang penampilanku. Meski belum berhijab seperti Bunda, aku senantiasa berpakaian sopan. Celana longgar dengan kaus dan long jacket berwarna coklat tua ini menyembunyikan tubuhku yang semampai dengan sempurna. Aku tak suka dipandangi mata liar lelaki yang bertebaran di tempat ini.
Setelah menyelipkan beberapa lembar uang ke tangan penjaga di depan, aku masuk dan langsung disambut musik yang hingar bingar. Dan benar saja, dia disana, duduk di sofa dikelilingi teman-teman yang sama brengs*knya. Dan hebatnya, dia tengah memangku seorang gadis yang berpakaian kurang bahan. Dia lupa bahwa dia baru saja membuat seorang gadis lagi menangis hari ini.
Tanpa kata-kata, aku menarik kerah bajunya hingga berdiri. Huda terkejut. Si perempuan dan teman-temannya langsung menyingkir begitu melihatku. Mereka menepi dan menonton dalam diam. Semua orang yang melihat kami tentu menyadari kemiripan garis wajahku dan dirinya.
"Kak Elisa?"
***
ISTRI KEDUA AYAHKU (3)
"Kak Elisa?"
Suaranya tergagap. Mulutnya menguarkan bau alkohol yang pekat, membuatku mual.
"Pulang. Ayah menunggumu."
Dia mende-sah, terhuyung-huyung dan nyaris jatuh jika kerah bajunya tak kutahan.
"Aku nggak mau. Lepaskan aku Kak," ujarnya sambil menepis tanganku.
"Aku tak akan segan-segan menghajarmu disini Huda. Jadi sebaiknya kau ikut aku baik-baik."
Dia malah meraih botol minuman di atas meja dan meneguknya banyak-banyak, lalu di acungkannya botol laknat itu di depan wajahku.
"Belum habis."
Dia tertawa-tawa seperti orang sin-ting.
Aku mengulurkan tangan, hendak meraih botol itu, namun dia malah menuangkan isinya tepat di depanku. Sepercik air menciprati wajahku.
"Jangan munafik Kak. Di Amerika, Kakak tentu sering minum seperti ini."
Kesabaranku habis. Tanpa aba-aba, kulayangkan telapak tanganku ke wajahnya. Keras sekali sehingga bibirnya pecah dan meneteskan darah. Aku ingin dia merasakan sakit disana sehingga sadar apa yang baru saja dia katakan.
Plak!
Dan sebelum dia sempat protes, aku menarik tangannya dan menguncinya ke belakang. Kupanggil petugas jaga di depan yang sudah kusuap dengan uang, dan sedikit ancaman.
"Tolong ikat adikku dan seret dia ke mobil." Ujarku sambil menyerahkan tali tambang ke tangan si petugas. Lelaki itu mengangguk patuh. Aku baru saja menunjukkan gelang berlogo keluarga Sastra Wijaya dan dia tentu tahu apa artinya jika berani menentang salah satu anggota keluarga itu.
Huda didudukkan di jok belakang. Mulutnya terus meracau, menyumpah-nyumpah dengan kata-kata yang membuatku panas. Aku diam saja, berusaha menenangkan hati. Dalam keadaan sadar, dia tak akan berani berbicara seperti itu. Meski aku perempuan, Huda sedikit banyak punya rasa hormat dan takut padaku, Kakaknya.
Aku memacu mobil keluar pekarangan night club di iringi tatapan mata teman-temannya. Sebagian mengejek Huda sebagai lelaki letoy yang kalah oleh perempuan. Beberapa saat tadi, aku sempat menatap mereka satu persatu. Merekam wajahnya dalam ingatan. Dan aku terkejut menyadari mereka semua adalah anak-anak orang terpandang di kota ini. Anak anggota DPR, anak ketua yayasan pendidikan bahkan putra seorang perwira polisi. Ini benar-benar gila. Mereka semua telah kehilangan kontrol atas anak-anak mereka.
Persis seperti Ayah dan Mama.
Aku melirik Huda dari kaca spion. Lelah meronta dan mengacau, dia tertidur. Atau mungkin pingsan? Aku menghela napas, teringat masa kecil kami. Kami bertiga tumbuh bersama dengan jarak usia yang tak jauh berbeda. Kami kerap menghabiskan waktu bersama di rumahku karena Mama sering kali meninggalkannya untuk plesiran ke luar negeri. Dia anak yang baik sebenarnya, asalkan saja Mama tak terus menerus meracuninya agar membenci kami. Menjelang dewasa, Mama mulai menarik Huda agar menjauh dan terus membisikkan bahwa dialah penerus keluarga ini dan sudah seharusnya, orang lain, termasuk Bunda, aku dan Amira patuh padanya.
Seperti dugaanku, Mama langsung berteriak histeris melihat anaknya pulang dalam keadaan pingsan dan tangan terikat. Aku menyuruh satpam untuk membopong Huda dan meletakkannya di atas sofa ruang tengah.
"Apa yang kau lakukan pada anakku?!" bentak Mama.
"Aku hanya menamparnya sekali, supaya dia sadar dari mabuk. Tapi rupanya dia minum terlalu banyak hingga pingsan," ujarku kalem.
"Bohong! Lihat bibirnya berdarah."
Aku berdecak. "Itu biasa Ma. Huda memang harus sedikit merasakan sakit sesekali supaya dia tahu bahwa hidup itu bukan hanya tentang bersenang-senang."
"Kau gi-la Elisa!"
"Berhenti Laksmi!" Seru Bunda.
Aku memeluk bahu Bunda. Aku tahu Bunda sangat tak terima jika ada orang lain memaki anaknya. Bunda membesarkan aku dan Amira dengan penuh kelembutan. Hanya saja, ketika aku sadar posisiku sebagai putri sulung keluarga ini, dimana beban berat akan disandangkan di bahuku, diam-diam aku belajar beberapa cabang ilmu bela diri. Tak ada yang tahu aku mahir melakukan itu semua kecuali Amira.
Mama terdiam sambil berlinang air mata. Dia mengambil tisu dan menyeka setetes darah yang sesungguhnya telah mengering. Ayah dan Eyang kembali ke kamarnya tanpa kata-kata. Tentu saja tak mungkin mengajak bicara orang yang sedang pingsan.
"Ayo tidur Bunda," ajakku. Tanpa peduli pada Mama dan Huda, aku menggamit lengan Bunda, bermaksud mengantarnya ke kamar. Tapi Bunda menahan tanganku.
"Kau belum makan. Ayo Bunda temani." Bunda menarik tanganku ke ruang makan tanpa menunggu jawabanku. Aku tersenyum dan mengangguk, tiba-tiba saja merasa lapar.
***
Belum lama rasanya aku terlelap, ketika suara keributan dari lantai bawah terdengar. Aku bangun dan membuka pintu, bersamaan dengan Amira yang juga keluar dari kamarnya di sebelahku. Kami bersembunyi di balik tiang dan menatap ke bawah. Di sana Mama tengah mengetuk-ngetuk pintu kamar Bunda dan Ayah dengan berisik.
"Ada apa?"
Kulihat Bunda keluar. Mama menunjuk Huda yang masih pingsan di sofa ruang tengah, cukup jauh dari pintu kamar Bunda.
"Anakku pingsan dan kalian semua enak-enakan tidur."
Bunda menatap Huda sebentar.
"Dia hanya pingsan karena mabuk, bukan sakit. Dan itu semua karena ulahnya sendiri," tukas Bunda.
"Suruh Mas Bagus keluar. Aku butuh ditemani, aku sedang sedih malam ini."
Bunda tersenyum. "Maaf Laksmi, malam ini giliranku."
"Kau keterlaluan, Mbak!"
Bunda menghela napas. Sungguh rasanya aku ingin sekali turun dan ikut marah melihatnya membentak Bunda. Tapi aku tahu Bunda tak suka melihatku ikut campur urusan cinta segitiga itu.
Bunda lalu masuk dan keluar lagi sesaat kemudian.
"Kau dengar sendiri. Mas Bagus tak mau diganggu. Kita bicara besok pagi ketika Huda sadar. Ingat Laksmi, Huda sedang dalam masalah besar. Sebaiknya kau berdoa supaya dia baik-baik saja."
Bunda tersenyum lalu masuk dan menutup pintu. Aku dan Amira sama-sama menarik nafas lega. Kami tersenyum, dan tanpa peduli reaksi Mama, kembali ke kamar. Mama, seharusnya Mama tidak meminta terlalu banyak. Meski Mama punya dukungan dari Eyang, tapi yang punya hati untuk mencinta adalah Ayah. Bukankah lebih baik jika Mama mencoba bersikap lembut untuk mengambil hati Ayah?
Malam itu, nyaris sepanjang malam aku terjaga, berjaga-jaga seandainya Huda bangun dan membuat keributan. Tapi hingga subuh menjelang, suasana sepi. Mama rupanya menyerah dan kembali ke kamarnya, sementara Huda terlalu mabuk untuk bisa segera bangun.
***
"Aahh, dia itu perempuan murahan Ayah. Sudahlah tak usah khawatir. Aku akan menyuruhnya menggugurkan kandungannya saat ini juga," ujar Huda.
Pagi telah dikotori oleh suasana tegang yang tak juga hilang. Bahkan sepasang burung gereja yang tengah mematuk-matuk rumput di halaman belakang kami yang asri tak mampu membuatku mengalihkan pandangan. Kali ini kami sarapan dan bicara di meja makan yang diletakkan di ruang terbuka di halaman belakang. Tempat kami biasa sarapan di hari cerah seperti ini.
"Tidak untuk kali ini!" tegas Ayah. "Kau harus menikahi Saskia."
"Tidak!"
Tiga buah suara menentang. Huda, Mama dan… Eyang.
"Huda akan Ibu jodohkan dengan seseorang."
Ayah menatap Ibu, "Kalau begitu kenapa selama ini Ibu membiarkan saja cucu Ibu bertualang?"
"Jangan mempertanyakan keputusan Ibu Bagus. Kau lupa bahwa kau dan Anindya masih bisa bersama karena siapa? Aku. Padahal bagiku, cukup satu menantu yang bisa memberi cucu lelaki."
***
ISTRI KEDUA AYAHKU (4)
Jleb. Kata kata itu menusuk hatiku demikian dalam, hingga tembus ke jantung rasanya. Sakit sekali. Jika aku saja sesakit ini, bagaimana dengan Bunda. Kugenggam tangan Bunda yang terasa dingin. Aku tahu betapa perih hatinya. Namun di depan semua orang, wajah Bunda yang cantik tetap setenang telaga.
Tiba-tiba kudengar Mama bertepuk tangan. Dia merasa menang dengan keputusan Eyang barusan.
"Nah. Tunggu apa lagi? Segera hubungi gadis itu, Elisa. Dan tawarkan dua ratus juta padanya? Cukup kan?"
Mama sumringah. Aku menatap Ayah. Akankah terjadi lagi untuk kesekian kalinya? Tidak. Aku telah bertekad bahwa ini adalah yang terakhir. Aku menoleh pada Eyang, hendak membantah kata-kata nya meski aku tahu akan berujung murka. Tapi sebelum itu, suara Ayah lebih dulu terdengar.
"Maaf Ibu. Sekali ini biar kujalankan fungsi ku sebagai seorang Ayah." Ayah lalu menatap Huda. "Besok bersiap siap, kita akan menemui keluarga Saksia."
"Apa?!" Huda bahkan berdiri dari kursinya. Dia membanting sendok ke atas piring hingga menimbulkan suara berisik. Eyang dan Mama yang selama ini memanjakan dan selalu menuruti apapun keinginannya menyulap Huda menjadi pribadi yang semaunya sendiri.
"Aku tidak mau menikah sekarang. Jangan paksa aku Ayah!" Dia bahkan berteriak pada Ayah.
"Huda! Jangan berani berteriak di depan Ayah!" seruku.
Huda tampaknya tersadar. Dia duduk lagi dengan wajah keruh. Meja makan ini kerap menjadi saksi pertengkaran kami. Dan makanan tak berdosa yang tersaji di atasnya, yang terkadang menjadi dingin lalu tak lagi disentuh.
"Kalian selalu meributkan hal tak penting. Bukankah Ibu sudah memutuskan bahwa Huda tak akan menikahi Saskia." Suara Mama tajam.
"Aku Ayahnya. Dan aku yang akan memutuskan," ujar Ayah tenang.
Namun tiba-tiba, Eyang memegangi dada. Aku mendesah. Ini sungguh bukan yang pertama kalinya terjadi. Drama itu akan terulang lagi. Mama berlari memburu ke arah Eyang dan berteriak.
"Berhentilah memaksa Huda! Kalian hanya membuat Eyang sakit!"
"Kalau begitu silahkan Mama dan Huda selesaikan sendiri masalah Saskia. Aku tak mau lagi ikut campur," ujarku getas.
Suasana mendadak hening. Tentu saja, menghadapi wanita korban rudapaksa yang dilakukan Huda bukan hal menyenangkan. Karena itu, akulah yang selalu mereka sodorkan untuk menyelesaikan semua masalah ini.
"Kak Elisa…"
Aku menggeleng. Menatap Mama yang masih mengurut urut dada Eyang, lalu berpaling pada wajah Eyang, yang entah bagaimana masih terlihat cantik.
"Aku akan memanggil dokter lagi siang ini. Aku ingin tahu kenapa Eyang hanya sakit setiap kali Ayah menolak permintaan Huda yang tak masuk akal itu."
Aku tak peduli lagi akan rekasi Eyang. Dua puluh lima tahun lamanya aku dan Amira hidup dalam diskriminasi. Menjadi cucu kelas dua. Setelah mengangguk dan pamit pada Ayah dan Bunda, aku kembali ke kamar. Bersiap berangkat ke kantor. Biarlah mereka menyelesaikan sendiri masalah ini, Eyang, Mama dan Huda. Biar mereka tahu rasanya.
***
"Kau kelihatan lesu sekali. Seharusnya istirahatlah satu atau dua hari."
Aku menatap William, pemuda keturunan yang menjadi tunanganku selama setahun terakhir ini. Aku memang lelah sekali. Tapi pekerjaan menumpuk sementara Ayah tengah dipusingkan oleh masalah Huda. Anak itu sendiri tadi sudah kembali ke rumah bersama Mamanya. Rumah Mama cukup jauh dari rumah Bunda, sekitar satu jam perjalanan. Ayah sengaja memisahkan rumah kedua istrinya demi menghindari konflik. Tapi Huda dan Mama punya seribu cara menciptakan masalah.
Aku tersenyum, meneguk air dalam gelas dan mengelap bibir dengan tisu.
"Terima kasih sudah menemaniku makan siang. Aku harus kembali ke kantor sekarang," ujarku tanpa menanggapi kata katanya tadi.
"El…" William memegang tanganku. "Aku masih menunggu kesediaanmu. Aku… hanya ingin berdua denganmu meski sehari saja."
Dia mengungkit hal itu lagi. William mengajakku liburan ke Bali meski hanya satu hari. Tapi aku selalu menolak. Aku takut, pergi berdua saja sementara kami sama-sama tengah kasmaran, akan membuka celah bagi kami melakukan hal yang tak seharusnya.
"Maaf Will, kita harus menikah dulu sebelum bisa pergi berdua."
"Apa bedanya El? Toh enam bulan lagi kita akan menikah."
Aku tersenyum.
"Tentu saja berbeda. Saat itu akan menjadi saat yang tak akan kita lupakan. Sementara jika kita pergi sekarang, kita akan berusaha melupakan apa yang terjadi di sana. Will, aku tak yakin kita bisa menahan diri."
William mend-esah. Dia bersandar di kursinya. Aku berdiri dan pamit. Kantorku, kantor utama Wijaya Group berada selemparan batu dari tempat kami makan siang. Jadi aku hanya berjalan kaki datang ke sini. Sementara William seorang arsitek lepas yang punya kantor sendiri.
Memasuki lobby kantor, ponselku berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Anika sahabatku. Aku mendesah dan berusaha menghapus gambar yang baru saja dikirimkan Anika dari ingatan. Foto Will sedang berpelukan dengan seorang gadis cantik berbaju merah di lobby sebuah hotel.
(Semalam Will ke hotelku. Maaf baru kukirimkan sekarang. Aku berperang dengan diriku sendiri antara memberi tahu atau membiarkan kau tahu sendiri.)
Aku tersenyum getir. Dia sepertinya tak sabar mencicipi rasa seorang gadis. Tapi jelas itu bukan aku. Aku meneruskan langkah. Otakku sibuk berpikir, memilah lebih dulu masalah mana yang harus kuselesaikan. Tapi rupanya masalah itu telah menanti di sana.
"Mbak Elisa…"
Saskia telah menunggu di depan resepsionis. Dia langsung berdiri melihatku. Matanya sembab dan wajahnya makin pucat. Aku menelan ludah. Entah apa yang dilakukan Huda dan Mama padanya.
"Ikut aku."
Aku tak mungkin mengajaknya bicara disini. Saskia mengikuti masuk ke dalam ruangan pribadiku.
"Huda dan Mamanya datang. Mereka memaksaku menggugurkan kandungan," ujarnya langsung.
Aku telah menduga hal itu. Eyang tetap berpegang teguh pada kemauannya menikahkan Huda dengan gadis pilihannya, entah siapa. Dan dokter yang kubawa memberi pesan bahwa Eyang tak boleh mendapat tekanan meski sedikitpun. Lagi lagi, kami terpaksa mengalah. Ayah membiarkan Mama dan Huda datang ke rumah Saskia karena aku menolak menjadi juru damai. Kami hanya bisa berharap, setelah dinikahkan, dia akan berubah.
"Maafkan aku Saskia. Aku tidak punya kekuatan lebih untuk membantumu."
"Mereka memberiku ini." Dia menyorongkan tas yang aku yakin berisi uang. "Tapi aku tidak butuh. Yang aku inginkan, Huda bertanggung jawab."
Aku terdiam. Sebagai seorang perempuan tentu aku mengerti perasaannya.
"Pulanglah dulu, dan bawa uang ini. Aku akan tetap membujuk adikku."
Saskia berdiri, mengusap air matanya keras keras.
"Tolong jangan kecewakan saya. Mbak tahu apa yang bisa dilakukan seorang wanita yang sedang sedih dan sakit hati."
Saskia lalu meninggalkan ruanganku. Aku memijat kepala yang terasa pusing. Masalah yang bertumpuk, dan tubuh lelah setelah perjalanan jauh, membuatku jatuh tertidur dengan kepala berada di atas meja. Dering ponsel-lah yang kemudian membangunkanku.
"Bunda?"
"Elisa? Pulanglah sekarang Nak. Keluarga Saskia datang. Mereka menuntut Huda menikahi Saskia sekarang juga."
***
ISTRI KEDUA AYAHKU ( 5 )
Saskia Kusuma Dewi. Dua puluh dua tahun. Putri bungsu dari tiga bersaudara. Dua kakaknya adalah lelaki yang masing-masing bekerja sebagai buruh di dua pabrik berbeda. Orang tuanya guru honorer di sebuah sekolah Dasar. Saskia bekerja demi membahagiakan orang tuanya yang miskin, namun terjebak rayuan gombal Huda. Di bawah ancaman, dia akhirnya menyertakan keperaw-anannya hingga akhirnya hamil.
Aku menyeka pe-luh yang mengembun di dahi. Jika korban Huda sebelumnya kebanyakan para gadis yang memang nakal dan haus harta, Saskia berbeda. Aku telah jatuh hati padanya saat pertama kali melihatnya tempo hari. Meski beban berat menggunung di dadanya, aku melihat betapa dia berusaha untuk tegar. Dapat kubayangkan bagaimana rasanya menjadi dia, harus mengecewakan keluarganya.
Aku mampir ke kantor Huda, sebuah anak cabang perusahaan Papa yang dia pimpin. Kukatakan pada Bunda agar menahan mereka sebentar. Aku yakin Saskia dan keluarganya orang yang baik. Aku harus membawa Huda saat ini juga menemui mereka.
Petugas resepsionis mengangguk begitu aku lewat menuju ruangan Huda. Bisik-bisik menggema di meja-meja karyawan begitu melihatku melintas.
Aku membuka pintu tanpa mengetuk lebih dulu, dan mendapati pemandangan menjiji-kkan itu di depan mataku. Seorang gadis dengan setelan blazer mini tengah duduk dipangkuan adikku, membiarkan dadanya yang terekspose menjadi santapan.
"Kak Elisa…"
Huda bangkit, mendo-rong si gadis hingga dia terhuyung-huyung.
"Siapa dia?"
"Saya admin yang baru. Anda siapa? Seenaknya saja masuk kesini."
Si gadis mendahului Huda menjawab pertanyaanku.
"Tutup mulutmu! Dia kakakku!" Sentak Huda pada gadis itu. Si gadis tampak terkejut dan kini menatapku dengan ekspresi takut.
"Aku kemari menjemputmu," ujarku pada Huda, lalu menoleh pada gadis itu. "Temui personalia dan minta gajimu. Mulai besok kau tak perlu bekerja."
"A… apa? Saya dipecat?"
Aku mengangguk. "Ya. Aku tak butuh karyawan murahan yang suka mengobral tubuhnya. Huda adikku sebentar lagi akan menikah. Lupakan mimpimu menggaetnya."
Wajah gadis itu merah padam. Dia membenahi bajunya yang terbuka di bagian dada dan keluar ruangan sambil menghenta-hentakan kaki. Huda diam saja. Dia tahu bahwa wajahku yang serius tak ingin dibantah. Aku memberinya isyarat untuk ikut.
"Tapi ada apa Kak?"
Aku berbalik dan menatapnya. "Kau akan tahu. Tolong jangan menolak. Aku lelah jika harus mengha-jarmu lagi."
Kami berjalan beriringan. Kutinggalkan pesan pada sekretaris di depan agar meng-handle semua pekerjaan. Sekretaris Huda adalah seorang wanita berusia empat puluhan dengan kinerja luar biasa. Dia sudah bergabung dengan Wijaya group lebih dari lima belas tahun lamanya. Dan yang jelas, Huda tak berminat menggodanya.
Huda naik ke mobilku, mengambil alih stir. Dalam keadaan normal, diluar kebiasaannya main perempuan, dia sebenarnya adik yang menyenangkan. Dulu kala remaja, Huda selalu pasang badan membela aku dan Amira yang kerap di bully sebagai anak orang kaya tanpa prestasi dan mengandalkan uang orang tua. Entah sejak kapan dia berubah menjauh. Kurasa peran Mama membentuk karakternya sangat kuat.
Di halaman rumah, hanya ada sebuah mobil kijang tua yang parkir. Huda mende-sah melihatnya. Dia mungkin mengenali mobil itu.
"Kakak menjebakku," desisnya.
Aku menoleh, menatap wajahnya yang tampan. Sungguh dia mewarisi garis garis wajah Ayah, sama sepertiku. Dulu semua orang heran bagaimana kami begitu mirip padahal lahir dari dua Ibu yang berbeda.
"Huda, kau sudah dewasa. Bisakah kita bicara secara orang dewasa tanpa memakai keker-asan lagi?"
Dia diam saja, balas menatapku.
"Bisa kau bayangkan jika itu terjadi padaku atau Amira? Jika ada seorang lelaki menghamili lalu mencampakkan kami?"
"Kakak dan Amira wanita terhormat. Tak akan ada yang berani melakukan itu."
Aku tersenyum.
"Siapa bilang? Kau ingat berapa banyak gadis yang kau sakiti? Bagaimana jika salah satu dari mereka sakit hati dan melampiaskan pada kami? Aku mungkin bisa membela diriku sendiri. Tapi bagaimana dengan Amira? Dia gadis yang lembut. Belum lagi dosa yang harus kau tanggung karena membunuh bayi-bayi tak berdosa itu. Huda, sebagai Kakakmu, aku minta hentikan petualanganmu. Jadilah lelaki bertanggung jawab."
Huda mende-sah. Dia menunduk menatap stir mobil di hadapannya. Hatiku riuh melangitkan doa. Bagaimanapun Mama mencoba mempengaruhinya, aku yakin masih ada setitik kebaikan dalam diri adikku.
"Ayo turun."
Aku mendahului Huda turun. Beberapa mata memindai kami dari dalam rumah, aku yakin sekali itu. Meski jarak antara halaman tempat Huda memarkir mobil dengan ruang tamu utama rumah Bunda cukup jauh.
Begitu menjejakkan kaki di ruang tamu, seorang lelaki melompat dan langsung menarik kerah baju Huda. Dia nyaris saja mengha-jar adikku kalau aku tak menangkap kepalan tangannya dengan sigap.
"Tolong jangan buat keributan disini." Ujarku sambil menarik Huda sedikit menjauh.
"Suruh lelaki baji-ngan ini menikahi adikku!"
"Kita akan bicarakan baik-baik. Tapi jika ada yang main tangan, saya pastikan kalian akan berakhir di penjara."
Semua orang terkesima mendengar kata-kataku. Di sofa, duduk di sebelah Bunda adalah Saskia, yang memegang tangan Bunda sambil menangis. Lalu sepasang orang tua setengah baya yang kuyakini sebagai Ayah dan Ibunya. Seorang pemuda lain berdiri di sudut ruangan dengan tangan terlipat di dada. Dapat kubayangkan hati Bunda gelisah menghadapi mereka semua sendirian saja.
"Jadi bagaimana? Apakah adikmu mau menikahi adikku?"
Aku menatap Huda, yang berdiri diam. Dalam hati aku berharap apa yang kukatakan dalam mobil tadi merasuki benaknya.
Huda menatap Saskia sebentar, lalu menatapku.
"Baiklah, saya akan menikahi Saskia."
***
Lagi-lagi, aku harus menghadapi murka Mama dan Eyang. Kesediaan Huda menikahi Saskia ditentang habis-habisan.
"Kau akan menyesal karena telah ikut campur urusanku Mbak," tukas Mama pada Bunda.
"Laksmi, yang mengambil keputusan ini Huda sendiri. Tanyalah padanya," tutur Bunda dengan ketenangan yang mengagumkan.
"Ya. Tapi dibawah intimidasi Elisa. Aku tak percaya anakku lebih menurut pada Elisa daripada aku Ibunya."
"Mungkin Huda sudah menyadari kekeliruannya selama ini. Seharusnya Mama senang karena sebentar lagi akan punya cucu,' ujarku.
Mama melangkah mendekat, memangkas jarak di antara kami. Ruang tamu hanya ada kami bertiga. Eyang dibawa Ayah dan Huda ke ruang kerjanya. Kuharap Eyang melunak jika Huda sendiri yang meminta. Dan kini, mata tajam berwarna kecoklatan milik Mama menatapku tajam.
"Pernikahan ini tidak akan terjadi Elisa. Kita lihat saja nanti."
Aku tersenyum. "Kuharap Mama tidak berpikir untuk melakukan tindak kriminal. Ingat, Ayah akan menghapus nama Mama dari daftar ahli waris jika sampai melakukannya."
"Si-alan! Dasar anak kurang ajar!"
"Astaga Mama. Aku heran bagaimana wanita keturunan bangsawan sepertimu bisa bicara seperti itu."
Mama mendelik.
"Tunggu saja Elisa. Mungkin sudah saatnya menyingkirkan duri dalam hidupku.'
***
ISTRI KEDUA AYAHKU 6
"Baiklah, sekali ini Eyang mengalah. Eyang izinkan Huda menikahi gadis itu. Tapi ingat, dia itu orang miskin. Dan jika gadis itu ternyata tak mampu menyesuaikan diri dengan keluarga kita dan membuat masalah, maka itu salahmu Elisa."
"Loh, kok Kak Elisa?"
Tiba-tiba suara Amira terdengar di ruang tengah yang hening. Semua kepala langsung menoleh pada adik bungsuku itu, yang duduk di samping Bunda dan langsung dipegang lengannya oleh Bunda.
"Kenapa setiap ada masalah di keluarga ini, selalu Kak Elisa yang harus disalahkan dan juga menyelesaikan? Bukankah si pembuat masalah yang harus tanggung jawab?"
Amira rupanya sudah tidak tahan lagi atas siapa otoriter Eyang selama ini. Aku menatap matanya, menyuruhnya agar diam. Aku tak ini Eyang kembali menarik restunya akan pernikahan Huda. Amira mendesah. Dia berpaling dari tatapan Eyang.
"Yah, terserahlah." Desisnya kemudian. Dia lalu berdiri dan mengangguk pamit pada semua orang. Langkahnya gegas menaiki tangga menuju kamarnya di lantai atas.
"Anindya, didik anakmu agar bersikap sopan." Ujar Eyang kesal.
Bunda mengangguk.
"Maafkan Amira Ibu. Saya akan menegurnya nanti."
Aku tersenyum miris. Bahkan Eyang tak pernah menegur Mama agar mendidik Huda dengan baik.
"Tapi, tak perlu melakukan semuanya sesuai prosedur. Nikahkan saja mereka diam-diam karena pernikahan ini tak akan lama. Setelah bayi itu lahir, mereka harus bercerai karena Huda sudah Eyang jodohkan dengan gadis lain."
Lagi lagi, kami serentak mengangkat kepala. Sama sama terkejut dengan kata-kata Eyang barusan. Kupikir tadinya Eyang sudah menyadari kekeliruannya selama ini. Tapi ternyata anganku terlalu tinggi. Sementara itu, Mama tersenyum. Rupanya opsi ini cukup melegakan baginya.
"Ibu, pernikahan bukan untuk dijadikan mainan. Aku berharap Huda hanya menikah satu kali dan setia pada satu wanita." Ujar Ayah.
Eyang tersenyum.
"Atau mungkin Huda bisa meniru dirimu Bagus. Mempunyai dua istri. Yaa, meski di mataku, istrimu hanya satu."
"Ibu!" Ayah berdiri, tapi lalu duduk lagi ketika melihat isyarat mata Bunda yang memintanya untuk tenang. Sementara dadaku sendiri berdentam oleh amarah. Setelah dua puluh enam tahun mengalah dan terus bersikap baik, Eyang masih juga belum bisa menerima Bunda. Padahal apa yang kurang? Kutatap wajah keriput Eyang dalam dalam, menahan emosi yang meletup. Apa yang bisa membuatmu membuka mata dan menyadari siapa yang bidadari di sini?
Aku menahan diri, hanya demi Bunda. Aku tak ingin Eyang semakin punya alasan untuk memojokkan wanita terkasih itu.
Akhirnya keputusan diambil, Huda akan menikah satu minggu lagi dan hanya akad nikah saja. Tapi aku bertekad akan menjadikan pernikahan ini yang pertama dan terakhir untuknya.
"Kenapa Bunda masih bertahan selama ini? Kenapa Bunda masih bisa bersikap baik pada Eyang yang telah menyakiti hati Bunda bertahun-tahun lamanya?"
Bunda yang hendak masuk ke dalam kamar berhenti mendengar suaraku. Ruangan telah sepi. Ayah kembali ke kantor sementara Mama diantar pulang oleh Huda. Eyang sendiri telah kembali ke kamarnya.
Bunda menatapku, tersenyum lembut.
"Elisa, ada yang namanya cinta sejati di dunia ini. Mungkin tidak banyak, tapi ada. Ayahmu menikahi Mama Laksmi demi baktinya pada Eyang, tapi tak sedikitpun cintanya pada Bunda berkurang. Jadi apa yang salah?"
"Apakah Bunda Ini sebetulnya seorang bidadari? Apakah Bunda tak pernah cemburu?"
Bunda tertawa kecil.
"Tentu saja Bunda kadang cemburu. Tapi Ayahmu selalu mampu membuat Bunda tenang. Nah, bagaimana persiapan pernikahanmu dengan William? Enam bulan bukan waktu yang lama."
Ingatanku melayang pada foto yang kini tersimpan di ponselku. Ingin sekali kuadukan hal itu pada Bunda, tapi aku tahu Bunda akan makin sedih. Biarlah ku selesaikan dulu sendiri. Yang jelas aku tak mungkin menikahi lelaki yang berbakat selingkuh sepertinya.
***
Kabar pernikahan Huda, meski dilakukan secara diam-diam, nyatanya tetap menyedot perhatian. Entah dari mana media lokal tahu bahwa Huda Antariksa Wijaya akhirnya akan menikahi salah satu dari kekasihnya. Susah payah kuangkat kepalaku setiap bertemu orang lain. Jujur saja, aku malu menerima kenyataan adikku seorang don Juan yang kerjanya mempermainkan wanita.
"Bisakah kau membuat adikku benar-benar mencintaimu hingga dia berhenti bertualang?"
Aku bertemu Saskia sore itu. Gadis itu terdiam sejenak. Entah mengapa aku menangkap raut wajahnya yang gelisah. Padahal dia seharusnya tenang karena akan segera menikah.
"Saskia…"
"Aku akan berusaha Mbak. Emm, maksudku Kak Elisa."
Dia mengubah panggilannya padaku.
"Apa yang membuatmu gelisah seperti ini?"
Saskia menelan ludah, lalu menggeleng. Dia kemudian pamit pulang lebih dulu dengan alasan ke apotik membeli vitamin. Kutatap punggungnya yang keluar dari cafe dengan punggung layu. Hatiku gelisah melihatnya. Dia tampak berbeda dengan Saskia yang kemarin menemuiku. Sinar matanya yang teguh menghilang entah kemana.
Beban pikiran yang bertumpuk tumpuk di otak membuatku tak bernafsu mengangkat telepon yang terus berdering. Aku meliriknya sebentar. William. Aku mende-sah, sepertinya aku memang harus segera menuntaskan masalah ini.
"Sulit sekali menghubungimu." Keluh William begitu telepon tersambung.
Aku menelan ludah. Satu tahun bertunangan, dan setahun sebelumnya saling menjajaki, nyatanya tak membuat kami saling mengenal diri masing-masing. Dia harusnya tahu bahwa aku tipe yang konservatif masalah hubungan lawan jenis. Tinggal dan sekolah di Amerika tak serta merta membuatku mengadopsi semua gaya hidup orang di sana.
"Ada yang harus kubicarakan. Penting. Temui aku di tempat biasa."
***
"Apa ini?"
William terkejut begitu aku meletakkan cincin pertunangan kami.
"Aku membebaskan dirimu dari hubungan kita. Silahkan cari wanita lain yang bisa kau cicipi lebih dulu."
"Elisa…"
Aku meletakkan ponselku yang terbuka di atas meja. William terbelalak melihat foto dirinya dalam pose tak pantas itu.
"Itu tidak seperti yang kau bayangkan El."
"Aku memang tak ingin membayangkan apa yang terjadi antara dua orang berlawanan jenis di dalam sebuah kamar hotel."
"El… aku…"
Aku berdiri. Menatapnya sebentar. Sungguh dua tahun yang sia sia. Aku memang mencintainya, rasanya sakit sekali membayangkan dia pernah memeluk dan bercinta dengan wanita lain sementara aku menjaga diri untuknya.
"Aku akan minta Ayah memutuskan pertunangan kita secara resmi pada orang tuamu."
Aku hendak beranjak dari meja ketika tangannya yang besar dan berotot, hasil gym yang rutin dia lakukan mencengkram tanganku.
"Tidak El. Kau akan tetap jadi milikku. Bagaimanapun caranya, kau akan tetap jadi milikku."
Aku menggelengkan kepala, menarik tanganku dan berjalan dengan cepat ke parkiran. Aku mengunci pintu mobil dengan nafas terengah-engah. Kesal, sedih dan kecewa menjadi satu. Tapi aku tahu keputusanku benar.
Ponselku berdering lagi. Di saat seperti ini aku sungguh ingin mematikan dan melupakan benda ini. Tapi itu tak bisa kulakukan. Betapa banyak orang yang merasa penting untuk menghubungiku.
Aku mengerutkan kening mendapati nomor tak dikenal di layar ponsel. Dan entah mengapa dadaku terasa berdebar kencang menatapnya.
"Halo?"
"Elisa?" Dia balik bertanya. Samar-samar aku mendengar suara tangisan di sana.
"Iya benar."
"Oh, apa yang keluarga kalian lakukan pada adikku? Saskia bun-uh diri!"
***
ISTRI KEDUA AYAHKU 7
Aku berlari menyusuri halaman parkir Rumah sakit dengan hati kacau. Saskia bunuh diri! Padahal pagi tadi aku baru saja bertemu dengannya. Dia memang tampak tak baik-baik saja, tapi sungguh aku tak menyangka dia akan senekad itu. Mana tekadnya untuk menghentikan Huda? Kemana keberaniannya?
Dan apa yang sebenarnya terjadi?
Semua ini memang seharusnya bukan tanggung jawabku. Huda punya Ayah dan Mama. Bukankah seharusnya mereka yang diberi tahu jika ada masalah? Tapi semua orang tahu bahwa di keluarga Wijaya, Elisa Azuura Wijaya adalah pintu masuk ke dalam rumah keluarga Wijaya yang tak tersentuh.
Aku tiba di ruang IGD, dimana kedua orang tua Saskia dan satu abangnya menunggu. Melihat aku yang datang, mereka kembali menundukkan kepala. Saskia tentu telah bercerita tentang diriku pada keluarga mereka.
"Apa yang terjadi?"
Sakha, Abangnya itu menatapku sebentar.
"Seseorang dari keluargamu mencegat Saskia di depan rumah kami dan mengancamnya. Dia menyuruh adikku bun-uh diri atau seluruh keluarga kami akan dia bun-uh."
Aku sampai sampai nyaris berhenti bernafas mendengarnya. Otakku kebas mendengar berita mengerikan itu. Siapa dia? Huda? Atau… Mama?
"Siapa? Orang itu?" Shock dan terkejut, membuatku suaraku terdengar mencicit. Aku duduk dengan kaki yang terasa lemas.
"Kami tidak tahu, tapi di halaman rumah, kami menemukan ini. Ini milik kalian kan?"
Sakha memberikan sesuatu padaku. Gelang yang terbuat dari emas putih berukir huruf W, lambang keluarga Wijaya. Emas hanya digunakan oleh kaum wanita. Sementara para lelaki tak memakainya. Jadi? Siapa lagi kalau bukan Mama?
Aku memejamkan mata sejenak. Biasanya, gadis-gadis lain itu begitu mudah dibujuk dengan sejumlah uang. Tentu saja, karena mereka mendekati Huda memang karena alasan harta. Mereka tahu bahwa Huda satu satunya lelaki dalam keluarga kami. Dia yang akan mewarisi jabatan sebagai pucuk pimpinan Wijaya Group setelah Ayah tiada. Seperti rencana Eyang. Tapi Saskia berbeda. Dia gadis baik-baik yang bekerja mencari nafkah untuk membantu orang tuanya. Hanya saja, dia memiliki wajah dan tubuh yang sempurna hingga Huda tergiur dan petaka itu terjadilah.
Aku berdiri, menyibak gorden yang membatasi brankar dan tatapanku bersirobok dengan mata Saskia yang sendu. Dia baru saja sadar. Racun serangga itu baru sempat menyentuh lambungnya. Tapi kondisinya masih sangat lemah. Aku menghela nafas lega. Kugenggam tangannya.
"Apakah aku telah kehilangan Saskia yang pertama kali menemuiku beberapa hari lalu?"
Air mata menetesi pipinya yang mulus dan entah kenapa kini terlihat tirus.
"Bukankah kau sudah berjanji padaku akan kuat dan tegar? Percayalah aku ada di belakangmu. Dan aku akan membuat Huda bertanggung jawab. Tugasmu adalah membuatnya jatuh cinta padamu."
Air matanya kian deras.
"Aku… aku takut jika Ayah dan Ibu yang tak tahu apa apa menjadi korbannya. Atau bang Sakha. Atau Bang Hazmi. Mereka semua terancam hanya karena aku."
Suaranya terbata-bata.
"Apakah Mama yang datang padamu? Kau tahu Mama kan? Ibu kandung Huda."
Semua orang tahu bahwa ayahku, Hutomo Wijaya mempunyai dua istri. Saskia tentu mengerti apa yang kumaksud. Dia mengangguk.
"Dia berbeda dengan Ibumu Kak. Seandainya dia benar-benar adik kandungmu…"
Dulu… dulu sekali… aku juga pernah berandai andai seperti itu. Seandainya saja aku, Huda dan Amira lahir dari rahim yang sama. Tak perlu ada dua ibu, tak perlu ada jarak yang memisahkan kami, jarak yang diciptakan Mama dengan sengaja agar kami merasa tak saling memiliki. Tapi setelah mendengarkan penjelasan Ayah tentang bagaimana pernikahannya yang kedua bisa terjadi, aku terdiam dan tak lagi bertanya. Ayah, sebagai anak tunggal keluarga Wijaya, dituntut untuk punya anak lelaki. Oh, sungguh Eyang tak tahu bahwa meski aku perempuan, aku bisa lebih cerdas dan kuat dari seorang lelaki.
Aku meninggalkan Saskia setelah memastikan dia tidak mengulangi lagi kebodohannya. Aku berjanji malam ini juga menyelesaikan masalah ini. Setelahnya, sungguh aku butuh istirahat. Lelah lahir batin hingga membuatku nyaris ambruk. Usai mengurus administrasi dan memastikan dia mendapat kamar di kelas VIP, aku menghubungi Ayah.
"Huda harus menikah malam ini juga."
Di seberang sana, Ayah terkejut mendengar kata-kataku. Ku jelaskan secara singkat apa yang telah terjadi.
"Aku sangat ingin menyeret Mama ke kantor polisi, tapi itu tidak bisa mengingat reputasi keluarga kita akan tercemar. Tapi setidaknya aku punya kartu AS untuk menekannya."
"El…" Suara Ayah sama lelahnya denganku. "Urus Mama. Ayah yang akan membawa Huda ke rumah sakit."
***
"Kau menuduhku?"
Mama membelalakkan matanya yang indah. Di usianya yang ke empat puluh tiga tahun, wanita itu semakin tampak cantik saja.
"Aku tidak menuduh tanpa bukti Ma." Aku meletakkan gelang Mama di atas meja. Wanita itu terkejut dan meraba tangannya, baru menyadari bahwa benda itu tak lagi ada disana.
"Gelang seperti ini bisa dipesan dimana saja." Sungutnya.
"Benar. Tapi tidak dengan nama yang terukur di ujungnya. Aku baru menyadari bahwa gelang itu terukir nama kita masing masing. Tempatnya tersembunyi di bagian bawah dan tak akan terlihat jika tidak diamati. Dan gelang itu mengukir nama Mama."
Mama terkejut, dia langsung meneliti gelang itu. Dia tampaknya sama sepertiku, baru tahu fakta yang baru saja kubeberkan. Sesaat setelah menemukan ukiran yang kumaksud, Mama mengangkat wajahnya yang merah padam.
"Hati-hati loh, Mama bisa kena pasal penganiayaan."
Wajah Mama memucat. Aku rasanya ingin tertawa dalam hati.
"Langsung saja Ma. Malam ini Huda akan menikahi Saskia di rumah sakit. Dan Mama tahu bahwa aku akan memburu siapa saja yang berusaha mencegahnya."
"Astaga kau ini. Benar-benar tak pantas keluar dari mulut seorang gadis berpendidikan tinggi. Kau benar-benar bar bar Elisa."
Aku tertawa kecil,"siap siap punya cucu ya Ma. Oke?"
***
Huda datang bersama Ayah, dan seorang penghulu. Disusul Bunda dan Amira. Ayah mengajak Bapak dan Ibu Saskia untuk bicara lebih dulu. Lalu, mereka semua duduk melingkari meja, dengan Saskia terbaring di atas brankar nya, dalam jarak pandang mereka. Keluarga Saskia, menyaksikan prosesi itu dengan mata berkaca kaca. Dan ketika dokter dan perawat yang dimintai tolong menjadi saksi mengucapkan kata 'sah', satu beban terasa terangkat dari dadaku.
"Mama nggak datang?" Bisik Amira.
"Lebih bagus kalau nggak datang." Jawabku tanpa menoleh.
Amira terkikik.
Malam itu, untuk pertama kalinya Huda menginap di rumah sakit demi menunggui istrinya. Aku, Ayah dan Bunda serta Amira pulang dengan hati lega.
Mungkin malam ini aku benar-benar bisa beristirahat.
***
ISTRI KEDUA AYAHKU 8
"El…"
Aku menghentikan gerakan tanganku menarik handle pintu kamar. Menoleh ke belakang, kudapati Ayah berdiri sambil tersenyum.
"Ayah tahu kau lelah sekali Nak. Tapi bisa Ayah bicara sebentar?"
Aku membalas senyum Ayah, dan mengikuti langkahnya duduk di sofa ruang tengah lantai atas. Otakku yang kebas karena lelah sampai tak mendengar langkah kaki Ayah mengikuti hingga ke atas. Untuk sementara, anganku untuk segera berbaring di bawah selimut terpaksa kutunda.
"Kau sudah melakukan banyak hal yang seharusnya Ayah yang lakukan. Kau menjaga nama baik Ayah sedemikian rupa Nak. Sungguh, kau anak sulung Ayah yang bisa diandalkan."
Aku tertegun sejenak, tak menyangka Ayah akan mengatakan hal itu. Hubunganku dengan Ayah biasa saja, tidak terlalu dekat seperti Amira yang kerap masih bermanja meski di bawah tatapan tak suka mata Eyang. Tapi juga tidak terlalu jauh. Dan benar, selama ini Ayah memang mengandalkan ku untuk banyak hal.
"Aku belajar dari Bunda." Jawabku. Dan itu memang benar. Menjadi menantu yang tak diinginkan di rumah ini menjadikan Bunda pribadi yang kuat.
Ayah tersenyum. "Terima kasih El. Ayah tidak tahu apa yang terjadi jika tidak punya kalian bertiga."
Suara Ayah sendu. Aku telah lama tahu bahwa Ayah terpaksa menikahi Mama. Dan sebagai lelaki terhormat, Ayah tetap berusaha bersikap baik pada Mama dan memenuhi semua kewajibannya, meski aku yakin seluruh cintanya telah habis untuk Bunda. Hal itu juga lah yang membuat Bunda tetap bertahan di sampingnya. Hanya saja, Ayah memang tak pernah tahu beberapa kali Bunda nyaris celaka oleh ulah Mama. Ayah hanya berpikir Mama cemburu dan iri. Selama ini akulah yang kerap menjadi tameng pelindung untuk Bunda, seperti beliau melindungiku dan Amira dari kata-kata pedas Mama dan Eyang saat kami kecil dulu.
Jika kau kira hidup sebagai orang kaya yang bergelimang harta itu selalu menyenangkan, kau salah besar. Sebagaimana harta yang berlimpah, demikian juga masalah yang harus kami hadapi. Rasanya tiada henti. Jika orang lain cukup bahagia menerima gaji usai berlelah-lelah setiap bulannya, maka aku harus memutar otak menatap barisan angka di berbagai rekening perusahaan maupun rekening pribadi. Kalau kau cukup memikirkan masa depan keluargamu, maka aku mesti memikirkan masa depan perusahaan dan nasib ratusan karyawan yang bergantung kepadanya.
"Eyang seharusnya melihat, bahwa tak perlu menjadi anak lelaki untuk bisa dibanggakan." Ujar Ayah lagi.
Aku hanya tersenyum. Kadang, aku ingin meneriakkan kalimat itu di depan wajah Eyang. Tapi mengingat usianya yang sudah sangat Sepuh, aku tak tega. Biarlah Eyang dengan pikirannya sendiri. Mungkin suatu saat Tuhan akan membuka mata hatinya. Bukankah Bunda saja mampu bersabar dua puluh enam tahun lamanya?
"Tidurlah El. Besok kau libur. Ayah akan handle semuanya. Jangan khawatirkan apapun."
Dan, untuk pertama kali setelah sekian lama, Ayah memeluk dan mengecup puncak kepalaku. Rasanya tenggorokanku tercekat. Rasa haru menyeruak. Sekeras dan setegar apapun diriku, nyatanya aku butuh disayangi.
Aku berdiri usai memberi Ayah seulas senyum. Membuka handle kamar, membersihkan diri dan berganti pakaian, lalu menelusup ke bawah selimut.
Really, i need a deep sleep.
***
Rasanya aku tertidur sangat lama ketika terbangun keesokan harinya, saat adzan subuh terdengar dari speaker ponsel yang memang sengaja ku setel. Selelah apapun, Bunda selalu mengingatkan agar aku tak melalaikan shalat. Aku bangun dengan tubuh jauh lebih segar, bergerak sedikit meregangkan otot dan mematikan ponsel yang sudah selesai mengumandangkan adzan. Sekilas kulihat pesan bertumpuk di aplikasi whatsapp. Notifikasinya memang sengaja kubuat senyap. Biarlah nanti kulihat. Saat ini, aku harus segera ke kamar mandi dan shalat.
Beberapa pesan dari William tidak kubaca. Sepintas dari layar depan aku dapat melihat dia hanya mencoba membujukku untuk kembali. Namun pesan dari Huda-lah yang menarik perhatian ku. Aku ingat tadi malam dia tidur di rumah sakit menemani istrinya. Ah, adikku kini sudah punya istri. Kuabaikan saja suara sumbang Eyang yang mengatakan bahwa tak baik jika aku dilangkahi. Eyang, hingga detik terakhir Huda mengucapkan ijab kabul, masih juga berusaha mencegahnya.
(Terimakasih telah memaksaku menikahinya. Aku menatap Saskia tertidur malam ini, dan tiba-tiba saja tersadar bahwa aku mencintainya.)
Seulas senyum terbit di bibirku. Jalan Saskia tidak akan mudah, tapi setidaknya dia punya sesuatu yang bisa dia jadikan pegangan.
Rasa Damai di dalam hati membuatku kembali naik ke tempat tidur dan kembali terlelap, menerabas aturan Eyang dan Bunda agar tak tidur lagi selepas shalat subuh. Beberapa saat ku tunggu, tak ada suara apapun yang membuatku harus bangun. Ayah mungkin telah berpesan agar membiarkan aku beristirahat tanpa gangguan.
***
Suara ribut-ribut yang samar terdengar-lah yang akhirnya membangunkanku. Aku bangun dari kasur, dan menyadari matahari sudah tinggi. Kepalaku agak sedikit pusing karena bangun kesiangan, tapi tubuhku segar setelah istirahat cukup. Aku menurunkan kaki ke lantai, mencuci muka, memoles sedikit wajahku dengan day cream dan membuka pintu. Suara Mama langsung menyambut begitu kakiku menapaki anak tangga terakhir.
"Kau telah bertindak melampaui batasmu El. Huda itu anakku." Ujar Mama tanpa salam pembukaan. Dia menudingku dengan jari telunjuk yang dihiasi kuku berwarna perak.
"Dan dia juga anak Ayah. Jangan lupa, Ayah yang membawa Huda ke rumah sakit semalam." Jawabku tenang.
Eyang, duduk di sofa tunggal sambil bersandar. Beliau juga memandangku dengan tatapan benci. Entah apa yang dikatakan Ayah semalam sehingga dia membiarkan saja pernikahan Huda dan Saskia terjadi. Aku sendiri tak peduli. Dua puluh lima tahun hidup di bawah tatapan matanya yang sinis telah membuatku terbiasa. Sementara Bunda dan Amira duduk berdampingan dengan wajah tegang. Ah, kasihan Bunda. Entah kapan beliau bisa menikmati ketenangan hidup yang sesungguhnya.
"Tapi itu semua karenamu. Kenapa sih kau ngotot sekali Huda harus menikahi gadis itu? Apa bedanya dia dengan yang lain? Apalagi dia itu orang miskin, sama sekali tak cocok dengan Huda."
"Mama, kita lihat saja nanti ya. Tolong jangan membuat Huda berubah pikiran. Dia tengah belajar mencintai istrinya."
"Istri… istri… hah, terserah lah." Mama tiba-tiba melunak. Dia menghampiri Eyang dan duduk di sebelahnya. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi Eyang tampak tersenyum senyum. Ya, sejak dulu semesra itulah hubungan antara Mama dan Eyang, jauh berbeda sikap Eyang kepada Bunda. Tapi entah mengapa Eyang tetap memilih tinggal bersama kami di sini dan bukannya bersama Mama.
Aku menarik nafas lega, mungkin lama lama Mama akan tersadar dan menerima Saskia. Apalagi setelah dia tahu Huda mulai mencintainya. Selagi berpikir seperti itu, ponselku tiba-tiba berdering. Suara Huda berteriak di seberang sana membuatku terkejut setengah mati. Kelegaan yang baru sesaat kurasakan seakan dicabut paksa. Aku limbung, duduk bersandar di kursi terdekat. Suara Huda berdentam dentam dalam ruang di kepalaku.
"Kak Elisa! Saskia… meninggal dunia."
***
ISTRI KEDUA AYAHKU 9
"Kak Elisa! Saskia… meninggal dunia."
Suaranya yang terbata-bata membuatku nyaris sesak nafas. Apa maksudnya Saskia meninggal? Bukankah semalam dia baik-baik saja?
"Apa maksudmu?"
"Aku tidak tahu Kak." Suara Huda mencicit, seperti orang yang terkena serangan jantung. Kubayangkan adikku di sana, shock dan ketakutan.
"Tolong datang segera Kak!"
"Oke. Tunggu aku. Jangan lakukan apapun, jangan kemana mana." Ujarku sambil menghirup udara dalam-dalam. Tak kudengar lagi sahutan Huda. Aku menelan ludah, menatap Bunda dan Amira yang memandangku penuh tanya, pada Mama dan Eyang yang tengah bicara entah apa. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah ini semua ada campur tangan kalian? Bukan rahasia lagi jika Mama rela melakukan apa saja untuk mencapai tujuannya.
"Ada apa?"
Suara Bunda mengembalikan kesadaranku. Sungguh, ini adalah beban berat bagiku. Aku telah berusaha sekuat tenaga mengembalikan adikku ke jalan yang seharusnya. Aku berjanji dalam hati akan memantau dan menjaga pernikahan mereka dari tangan tangan jahat. Tapi apakah secepat ini mereka bergerak? Saskia baik-baik saja semalam, aku sangat yakin itu.
Apakah Huda hanya berpura-pura? Tidak. Aku tak percaya. Huda, senakal apapun dirinya, dia tetap tak mungkin membunuh orang. Kenakalannya hanya, dia hobi main perempuan.
"Saskia… meninggal dunia."
"Apa?" Bunda bahkan nyaris melompat dari kursinya. Semalam, Bunda ikut datang ke rumah sakit menyaksikan ijab kabul. Beliau sebagaimana aku, telah jatuh hati pada gadis lembut bernama Saskia itu.
"Kenapa kak? Apa yang terjadi?" Tanya Amira.
Aku menggeleng. "Kakak tidak tahu. Huda belum sempat mengatakannya. Dia terdengar shock sekali."
Kini pandanganku tertuju pada Mama dan Eyang, yang seakan tak mendengarkan suaraku. Padahal jarak mereka dekat sekali.
"Ibu, Laksmi, apakah kalian tidak mendengar?"
Bunda mewakiliku bertanya. Kedua wanita itu serempak menoleh.
"Mendengar tentang apa? Bukankah selama ini keinginanku tak kalian dengarkan. Bahkan Mas Bagus tak lagi mau berlama lama di dekatku." Sinis suara Mama.
"Lupakan dulu soal itu. Apa kau tak mendengar kata kata Elisa? Huda baru saja menelepon. Menantumu meninggal dunia."
"Menantu? Memangnya aku punya menantu?"
Astaga. Mama sungguh keterlaluan. Sementara wajah Eyang datar tanpa ekspresi meski aku yakin sekali Eyang mendengar semua ini. Ya Tuhan, terbuat dari apakah hatinya? Aku dan dia bertalian darah, bagaimana bisa Ayah yang begitu menghormati wanita mempunyai Ibu seperti itu?
"Oh ya, aku lupa. Wanita miskin yang kau paksa menjadi istri anakku? Kenapa? Dia meninggal?"
"Mama!"
"Jangan berteriak padaku Elisa."
Aku berjalan menghampirinya. Jika saja tidak di depan Eyang, aku tak akan segan segan menarik tangan perempuan itu, bahkan menamparnya agar dia sadar. Aku telah menahan diri terlalu lama.
"Huda baru saja menelepon. Saskia meninggal dunia. Dan aku yakin semua ini ada kaitannya dengan Mama."
Mama membeliak. "Apa maksudmu? Kau tahu sendiri aku disini sejak tadi."
"Tak perlu menggunakan tangan sendiri jika kita punya uang."
"Jadi kau menuduhku?"
"Mungkin tidak secara langsung. Tapi jika dia meninggal karena racun itu, tetap saja Mama punya andil."
"Ah, itu karena dia tak punya iman."
Aku menggeleng. "Tak ada yang berhak menilai iman seseorang kecuali Tuhan." Aku menatapnya lekat. Tak ku pedulikan Eyang yang terus memandangiku.
"Aku akan ke rumah sakit. Huda membutuhkan kita."
"Bunda ikut."
"Aku juga!" Seru Amira.
"Nah, cukup. Aku tak perlu ikut kan? Lagi pula Huda menikah saja tak minta izin sama Mama. Jadi pergilah kalian dan pastikan keluarga kita tidak terkena skandal seperti biasa."
Mama mengibaskan tangan. Aku menghela nafas. Sungguh sia sia bicara dengan wanita berhati batu seperti dia.
"Sudah El. Ayo kita berangkat. Kasihan Huda, dia pasti shock." Bunda menarik bahuku dengan lembut.
Bahkan Bunda yang bukan ibu kandungnya saja lebih peduli pada Huda. Kami bertiga berlalu. Masih kudengar suara Bunda pamit pada Eyang, meski Eyang sendiri diam saja.
***
Begitu Amira menghentikan mobil di halaman parkir rumah sakit, aku langsung melompat turun. Kutinggalkan Mama dan Amira di belakang, melangkah dengan cepat ke ruang rawat Saskia. Jenazahnya masih disana kata Huda. Jenazah. Hatiku sakit sekali kala menyebut kosa kata itu. Gadis cantik yang lembut itu telah menjadi korban keegoisan keluarga kami.
"Kak El…"
Huda menyambutku begitu pintu terbuka. Di sana, kedua orang tua Saskia, berdiri menghadapi jenazah yang tertutup kain putih itu sambil menangis tersedu. Sementara kedua Abangnya berdiri di sudut dalam diam. Mata keduanya sembab. Aku meneliti wajah adikku sesaat, mencari tahu barangkali kedua Abang Saskia melakukan kekerasan padanya. Tapi sepertinya Huda baik baik saja. Keluarga Saskia percaya bahwa Huda sudah berubah. Mereka orang-orang baik dengan pola pikir sederhana. Hatiku perih membayangkan duka yang mereka rasakan saat ini, kehilangan satu satunya putri dalam keluarga.
"Apa yang terjadi?"
"Aku benar-benar tidak tahu Kak. Semalam aku hanya meninggalkannya sebentar untuk membeli anggur permintaan Saskia. Begitu aku kembali, Saskia…"
Bunda memeluk Huda. Mengusap usap punggungnya. Naluri keibuannya langsung tergerak melihat Huda bersedih. Ya, adikku benar-benar bersedih. Nyaris dua puluh empat tahun kami bersama. Aku tahu kapan dia berdusta dan berpura-pura, kapan dia jujur dan apa adanya.
"Aku seharusnya tidak meninggalkan dia. Saskia hanya ingin makan anggur, makanya aku keluar mencarikannya. Kupikir itu bawaan bayi, anakku…"
Aku menghela nafas. "Dan apa kata dokter?"
"Saskia anfal. Hanya itu. Katanya kalau kita ingin tahu penyebab pastinya harus otopsi."
Otopsi. Kosa kata itu terdengar mengerikan di telingaku.
Aku mendekat ke ranjang, memeluk Ibu Saskia yang masih tersedu. Perlahan kubuka kain yang menutupinya. Wajah cantik itu sepucat kertas. Matanya terpejam hingga aku tak dapat melihat ekspresi terakhirnya. Wajah itu bahkan terlihat tenang, seperti tertidur.
Apa yang terjadi Saskia? Kenapa kau pergi tanpa pamit padaku?
"Kami tidak mengizinkan tubuh Saskia disakiti. Tidak perlu otopsi. Biarlah dia seperti ini, biarlah dia dikenang sebagai gadis yang meninggal karena mencintai. Setidaknya, kami sudah bahagia dia meninggal setelah menikah dengan orang yang dia cintai."
Aku memejamkan mata. Secepat itu cinta datang antara Huda dan Saskia. Secepat itu pula mereka berpisah. Ku alihkan pandanganku pada Huda. Adikku duduk berjongkok di sudut kamar, dirangkul oleh Amira, sementara Bunda tengah bicara dengan orang tua Saskia.
Dokter datang dan bertanya apakah kami akan melakukan otopsi. Meski aku penasaran, aku tak punya hak meminta hal itu. Maka, jenazah Saskia dibawa pulang hari ini juga untuk segera dimakamkan. Kami bertiga turut dalam iringan mobil ambulans menuju rumah Saskia yang sederhana di pinggiran kota sementara Ayah yang ku kabari akan menyusul seusai meeting.
Iringan Mobil ambulans baru saja tiba ketika sebuah mobil yang kukenali sebagai mobil Mama ikut bergabung di belakang mobilku. Ketika mobil berhenti, Mama keluar ditemani seorang gadis cantik yang baru kali ini kulihat. Mereka turun dari mobil dan berdiri bersandar dengan dandanan mencolok. Gaun hitam sepanjang lutut dan kacamata hitam yang tampak tak sesuai dengan tempat sederhana ini.
Sungguh, Mama-lah duri yang sesungguhnya dalam keluarga Sastra Wijaya.
***
Baca selengkapnya di KBM app, joylada atau goodnovel ya. Cari dengan judul sama author Yazmin Aisyah
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
