DELAPAN HARI SAJA MENJADI ISTRIMU

5
0
Deskripsi

Dinikahi delapan hari saja, bagaimana perasaanmu?

 DELAPAN HARI SAJA MENJADI ISTRIMU 1




 

"Kamu sudah gosok gigi?"


 

Aku terkejut mendengar pertanyaan Mas Haris, lelaki yang baru dua belas jam lalu menjadi suamiku. Resepsi baru saja selesai dan kini kami berdua tengah berada di kamar pengantin. Rasa deg-deg an dan jantungku yang berdebar kencang seketika buyar mendengar pertanyaannya.


 

"Sudah Mas. Tadi setelah makan malam."


 

"Hemm, gosok gigi lagi sana."


 

Aku tertegun. Mas Haris memalingkan wajahnya yang tampan dari wajahku. Padahal kami tadi hampir saja…


 

"Ayo cepat gosok gigi."


 

Aku mengalah, turun dari kasur dan masuk ke kamar mandi. Di depan cermin wastafel, kutatap pantulan diriku, yang masih tampak cantik sisa-sisa riasan pengantin. Kuraih sikat gigi dan mulai mengisinya dengan odol. Tak mau membuat Mas Haris menunggu lama, aku segera gosok gigi, memakai obat kumur dan memastikan aroma dari mulutmu wangi. Meski perasaan tak enak mulai menelusup mendapati perintahnya tadi.


 

Keluar dari kamar mandi, aku tertegun mendapati lelaki yang baru saja sah menjadi suamiku ini sudah tertidur lelap. Dia berbaring miring menghadap ke pinggir, sehingga jika aku ikut berbaring di sebelahnya, maka dia akan memunggungiku. Aku menghela nafas, mengikat kembali kimono tidur dan mulai merebahkan diri.


 

Haris Pradana, seorang dosen bergelar doktor di Universitas ternama di kotaku. Aku mengenalnya dari Mama, yang mulai khawatir melihat aku tak juga punya gandengan hingga berusia dua puluh enam tahun. Aku akhirnya pasrah dengan perjodohan ini ketika melihat latar belakang keluarganya yang tanpa cela, berharap cinta akan tumbuh seiring pernikahan. Perbedaan usia yang cukup jauh, dua belas tahun, kuharap juga mampu membuat kami saling mengisi. Setelah tiga bulan menjajaki, akhirnya, kami resmi menjadi suami istri hari ini.


 

Dan kini, malam pertama yang kuharap tak terlupakan, nyatanya terlewat begitu saja. Tak ada ucapan romantis, atau pelukan mesra. Jangan lagi berharap kami melakukannya seperti kebanyakan pengantin baru lainnya. Dia kini tertidur sambil memunggungiku. Dengkur halus yang terdengar dari bibirnya, menjadi irama musik pengantar tidur untukku.


 

***


 

"Nadya, kamu bikinin aku kopi? Ini tadi gelasnya sudah disterilin dulu belum?"


 

Sapaan pagiku langsung berupa kalimat panjang. Mas Haris baru saja keluar kamar, dengan pakaian rapi, berkemeja biru muda dan celana panjang hitam.


 

"Itu gelasnya bersih Mas. Aku ambil dari rak piring."


 

Mas Haris urung duduk di meja makan. Dia mengambil gelas kopinya dan tanpa kuduga, membuang isinya ke tempat cuci piring. Setelah membuang isinya, dia meletakkan gelas itu, dan mengambil gelas yang baru dari dalam rak piring. Dituangkan nya air panas dari termos ke dalam gelas, lalu di goncang goncang hingga merata. Setelah itu, Mas Haris membuang air dalam gelas dan memberikan gelas kosong itu padaku.


 

"Bikin lagi. Lain kali, semua perabotan makan untukku harus kamu steril lebih dulu. Kau mengerti?"


 

Aku menelan ludah. Bukannya meminta maaf karena telah meninggalkanku tidur di malam pertama kami, aku justru mendapat tutorial mensteril alat makan. 


 

Tak mau membantah, aku melakukan apa yang dia perintahkan. Setelah meletakkan gelas kopi yang baru di atas meja, aku duduk di sebelahnya. Namun tiba-tiba, Mas Haris menggeser kursinya menjauh.


 

"Sebaiknya kau duduk agak jauh Nad. Emm, aku tak suka duduk terlalu dekat dengan orang yang baru ku kenal."


 

Deg. Jantungku seakan berhenti berdetak. Kami memang belum lama mengenal, tapi kan, aku istrinya. Sebenarnya, siapa suamiku ini sesungguhnya? Seorang clean freak?


 

Kulihat kini Mas Haris memandangi hidangan sarapan di atas meja. Kami memang langsung pindah ke rumah sendiri usai resepsi di gedung dan sedikit ramah tamah di rumah Mamaku semalam. Alasannya, Mas Haris tak punya banyak waktu libur. Pekerjaan telah menunggu. Aku harus rela mengubur anganku tentang bulan madu di tempat impian. Kupikir inilah resikonya menikah dengan lelaki Workaholic.


 

Tiba-tiba kulihat Mas Haris mendorong piringnya yang bahkan sama sekali belum tersentuh isinya itu. Dia lalu menarik tempat roti dan mengambil selembar roti tawar, mengisinya dengan selai nanas dan memakannya tanpa bicara. Aku menatapnya dengan hati tak enak. Dia menolak makan pagi yang telah kubuat dengan susah payah sejak setelah subuh tadi.


 

"Lain kali tanya dulu aku mau makan apa. Jangan asal masak," ujarnya sambil mendorong kursi ke belakang dan pergi begitu saja.


 

Seperti inikah rasanya pengantin baru? Kemana rasa semanis madu yang harusnya kukecap hari ini?


 

Selagi aku melamun sambil memandangi meja makan yang tak dia sentuh isinya, suara mobilnya pergi meninggalkan rumah terdengar. Aku menekan dada yang tiba-tiba terasa sesak. Ternyata, aku telah menikah dengan seorang asing, yang sama sekali tak kukenal.


 

***


 

Malam sudah merangkak naik ketika deru mobil Mas Haris memasuki halaman terdengar. Aku bergegas menuju pintu dan membukanya. Aku mendekat hendak meraih dan mencium tangannya, tapi Mas Haris justru mundur, dan menyembunyikan tangannya dibalik badan. 


 

"Kamu udah cuci tangan belum? Habis pegang apa tadi?"


 

Aku tertegun, menatap lelaki itu tak mengerti. Tanpa merasa bersalah, Mas Haris langsung masuk ke dalam kamar. Kecewa dan tersinggung berat akibat perlakuannya sejak kemarin malam hingga malam ini, aku mengejarnya ke dalam kamar.


 

"Mas! Kamu itu kenapa sih? Aku salah apa?" ujarku sambil memegang tangannya.


 

Diluar dugaanku, Mas Haris menyentak tangannya yang kupegang hingga aku terhuyung huyung. Kami bertatapan dan seketika aku bergidik melihat bara api di matanya. 


 

Aku, semakin merasa tak mengenalnya.


 

"Nadya, berani sekali kau menyentuhku! Sekarang kemasi barang-barangmu dan pulang ke rumah orang tuamu!"



 

***





 

DELAPAN HARI SAJA MENJADI ISTRIMU 2

_________



 

Aku tertegun sejenak mendengar kalimatnya. Sementara mata kami bertatapan, saling mengunci, tak seorangpun mau mengalah. Meski jantungku terasa luruh mendengar kata-katanya, harga diriku terusik dan hatiku yang berda-rah menahanku agar tidak mengeluarkan air mata di hadapannya. Tidak. Aku bukan perempuan lemah seperti yang mungkin dia kira. Dan dia, sebagai lelaki yang mengaku berilmu tinggi, tak tahukah dia bahwa kata-katanya barusan sudah merupakan ucapan talak bagiku?


 

Aku meneguk ludah, membasahi kerongkongan yang tiba-tiba terasa kering. Kutatap matanya lekat lekat.


 

"Kau menyuruhku pulang? Artinya kau menceraikanku. Baik. Aku akan pulang. Tapi sebagai lelaki yang meminta diriku secara resmi pada orang tuaku, kau harus mengembalikan aku secara baik-baik pula Mas. Sekalian kita selesaikan semuanya."


 

Mas Haris terlihat menghela nafas dengan kasar. Dia lalu memalingkan wajah, menghindari tatapanku.


 

"Tidak, Nadya. Pulanglah sendiri."


 

"Apa kau sudah gila? Kita baru menikah dua hari dan kini semuanya kandas. Kau harus menjelaskan sendiri pada orang tuaku."


 

"Tidak!" Mas Haris bersikeras. "Aku tak punya waktu untuk mengantarmu. Apalagi menjelaskan apapun. Pulanglah sendiri."


 

Lalu Blam! Dia masuk ke kamar tamu dan membanting pintunya tepat di depan wajahku.


 

Aku menggigit bibir, menahan sesak didada agar tak lantas menjadi gerimis. Ini memang rumahnya. Sebagai seorang dosen bergelar Doktor, dan sering kali diundang menjadi pembicara di berbagai seminar penting, dia tentu lebih dari mampu membeli rumah semewah ini. Tapi, hal ini tidak lantas membuatnya berhak mengusir ku begitu saja. Dia telah mengucap ijab kabul, yang berarti menyanggupi diri menjadi imam bagiku. Lalu, dimana tanggung jawabnya malam ini?


 

Dengan langkah lebar, aku berjalan menuju kamar. Kamar pengantin kami yang masih bersih dan rapi. Ku tarik koperku keluar dari dalam lemari dan mulai memasukkan baju bajuku ke dalamnya. Baju baju yang baru tadi pagi kutata dan kurapikan. Jika menuruti kata hati, ingin rasanya aku menangis. Tapi tidak, tak akan kubiarkan dia merasa menang atas keangkuhannya malam ini.


 

Setelah selesai memasukkan barang-barangku ke dalam koper, aku menyeret koper itu ke depan. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam ketika aku memesan taksi online karena mobilku masih di rumah Mama. Sungguh, jika harus menyesal, aku memang menyesal. Tiga bulan berkenalan, kami hanya bertemu dua kali sebelum menikah. Semua diatur oleh keluarganya dan keluargaku. Bagaimana aku tahu bahwa dia seperti ini?


 

"Nadya!"


 

Gerakan tanganku yang tengah menjangkau gagang pintu depan terhenti. Tanpa menoleh, kutunggu dia meneruskan kata-katanya.


 

"Jangan katakan bahwa aku menyuruhmu pulang. Bilang saja kalau kau ingin pulang karena tidak betah disini."


 

Aku tertawa getir. Kubalikkan badan hingga bisa menatapnya. Dia berdiri beberapa meter dariku, menjaga jarak. 


 

"Aku sungguh tidak menyangka. Doktor Haris yang terhormat ternyata seorang pengecut."


 

Dia bergerak gelisah.


 

"Turuti saja kata-kataku Nadya. Demi kebaikan keluargamu."


 

"Apa kau mengancamku? Sebaiknya kau pikirkan keluargamu dan nama baikmu sendiri."


 

Aku meneruskan gerakan membuka pintu depan. Udara malam bulan Januari yang dingin menyambutku, membuatku menggigil. Dari sudut mata, aku melihat dia melangkah, menatapku sekian detik sebelum menutup pintu depan dan menguncinya, membiarkan aku berdiri sendirian di teras menunggu taksi online. Sungguh, dia lelaki yang tak punya hati. Bahkan, dia tak pantas disebut lelaki karena memperlakukan wanita seperti ini.


 

Sebuah mobil berhenti di depan pagar. Aku bergegas mendekat dan memeriksa kendaraan itu. Terkejut, melihat sebuah Velfire putih menunggu di depan. Aku melangkah dengan ragu. Tak mungkin mobil semewah ini digunakan untuk taksi online. Aku memeriksa aplikasi, dan terkejut ketika menyadari bahwa mobil ini benar taksi online yang kupesan. 


 

Kaca jendela terbuka. Seorang lelaki berpakaian rapi menoleh sambil tersenyum padaku.


 

"Mbak Nadya?"


 

Aku mengangguk. Lelaki itu turun dan meraih koper dari tanganku, lalu memasukkannya ke bagasi.


 

"Apakah ada lagi?" Tanyanya.


 

"Tidak. Tidak ada." Jawabku. Kutepis rasa ragu dalam hati. Bukankah memang banyak anak orang kaya yang iseng iseng jadi sopir taksi online?


 

Aku memilih duduk di tengah, di kabin yang luas dan wangi. Seandainya saja hatiku sedang baik baik saja, tentu aku akan menikmati pengalaman ini. Aku menatap pintu rumah yang tertutup rapat dan menjauh ketika mobil mulai bergerak.


 

Di dalam mobil, tanpa dapat kucegah, air mataku mengalir. Sekuat mungkin kutahan isakan agar sopir di depan tak mendengarnya. Sungguh, hal yang sangat memalukan dan hina, ketika seorang istri diusir suaminya di tengah malam seperti ini. Bahkan di hari kedua pernikahan.


 

Mendekati rumah, aku sudah mulai menguasai diri. Aku tak mau Papa dan Mama melihatku menangis. Aku adalah permata hati Papa. Mana mungkin dia membiarkan diriku terhina seperti ini.


 

"Nadya?"


 

Wajah Mama tampak datar ketika membuka pintu dan mendapati diriku berdiri sambil memegang koper.


 

"Kau benar-benar pulang?"


 

Aku mengerutkan kening. "Apa maksud Mama?"


 

"Haris baru saja menelepon. Katanya kau memaksa pulang karena tak betah tinggal di rumahnya."


 

Dia benar-benar lelaki pengecut yang bersembunyi di balik wajah alim dan gelar terhormat.


 

"Tolong jangan membuat Papa dan Mama malu Nadya. Kau ini seorang istri sekarang. Kewajibanmu adalah taat pada suami."


 

Aku menggigit bibir. Belum juga menapakkan kaki di dalam rumah, Mama sudah menceramahiku. 


 

"Nadya sudah datang?"


 

Aku menarik nafas lega mendengar suara Papa. Tubuh lelaki tercinta itu muncul dari balik punggung Mama dan langsung menarik tanganku.


 

"Suruh masuk dulu anakmu, Ma," tegur Papa. Beliau langsung menggandeng sebelah tanganku yang bebas, dan membawaku duduk di sofa. Tanpa kata-kata, Papa langsung memelukku.


 

"Putri kesayangan Papa, istirahatlah. Kau bisa menjelaskan semuanya besok."


 

Aku menggeleng. "Tidak Pa. Papa dan Mama harus tahu yang sebenarnya malam ini juga. Aku tak ikhlas jika lelaki itu memutar balikkan fakta," ujarku sambil menatap Mama yang berdiri sambil bersidekap.


 

"Mas Haris telah menalakku dan mengusirku dari rumahnya malam ini, dengan alasan yang sangat lucu dan tak masuk akal."


 

Papa dan Mama terkejut. Mama bahkan kini duduk tegang di depanku. Aku menahan diri untuk tidak menangis meski rasanya sakit sekali. Namun, sentuhan lembut Papa, yang lantas memelukku membuat tangisku pecah.


 

Malam ini, aku telah menjadi janda. Janda yang belum tersentuh.


 

***


 

Aku bangun kesiangan keesokan harinya. Semalam usai menceritakan semua detail pada Papa dan Mama, aku tak bisa langsung terlelap. Benakku melayang pada lelaki itu, yang tampak aneh di mataku. Dia bahkan  bergeming saat aku memakai baju tidur yang sek-si, atau saat kimonoku tersingkap. Dia seperti tak memiliki ha-srat. Apakah dia seorang… ga-y?


 

Suara ketukan di pintu membuatku bergegas bangkit. Di ambang pintu, Mama berdiri dan menatapku lama sebelum membuka mulut.


 

"Turunlah. Ada Haris di bawah. Dia datang menjemputmu."



 

***



 

DELAPAN HARI SAJA MENJADI ISTRIMU 3




 

Aku mengusap wajah dengan gusar. Enak sekali dia, mengusir dan menceraikanku dalam semalam, lalu tiba-tiba saja datang menjemput. Apa dia pikir pernikahan ini hanya mainan? Tapi aku tak akan bersembunyi, mungkin ini saatnya dia harus menjelaskan siapa dia sebenarnya.


 

"Aku mandi dulu sebentar. Oh ya Ma, tak perlu menyuguhkan minuman, kalau Mama tak mau tersinggung oleh ulahnya."


 

Mama tersenyum. "Justru Mama ingin lihat sendiri seperti apa dia."


 

Aku hanya menggedikkan bahu. Mama memang harus melihat dengan mata kepalanya sendiri seperti apa Mas Haris yang sesungguhnya.


 

Aku mandi cukup lama, seperti biasa. Tak kupedulikan dia yang menunggu di bawah. Dia harus tahu bahwa dirinya bukan lagi orang yang istimewa untukku setelah kejadian semalam. Setelah berganti pakaian, aku turun ke bawah, bersiap mendengar lagi suaranya.


 

"Nadya…"


 

Kami saling tatap lagi. Kemudian, mataku terpaku pada gelas teh yang sudah tinggal setengah yang tergeletak di meja tepat di hadapannya. Dia duduk dengan santai, seolah merasa sangat nyaman berada di rumahku.


 

"Nah. Ini semua seperti yang Mama duga. Hanya salah paham."


 

Aku terkejut mendengar kata-kata Mama. Apa maksudnya salah paham? Bukankah semua sudah ku jelaskan semalam?


 

Mas Haris mengangkat gelas tehnya tanpa mengalihkan tatapannya dariku. Dia lalu meneguk isinya hingga tandas. Tak ada raut jijik di wajahnya seperti yang kulihat kemarin ketika melihat kopi yang kubuat tersedia di atas meja.


 

Apa yang sebenarnya terjadi?


 

"Nadya, ayo kita pulang. Papa dan Mama sudah menceritakan semua tentang dirimu. Maaf, kalau semalam Mas membuatmu salah paham."


 

Aku menggeleng.


 

"Ini bukan tentang aku Mas. Tapi tentang dirimu. Kau yang menalak dan mengusir ku hanya karena aku memegang tanganmu. Apakah kau sudah lupa?"


 

Mas Haris bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiriku. Tiba-tiba, dipegangnya tanganku.


 

"Seperti ini? Jangan mengada-ada Nadya. Bagaimanapun mungkin aku marah karena dipegang oleh istriku sendiri?"


 

Tiba-tiba saja, aku menyadari siapa lelaki yang ada di hadapanku ini. Dia lelaki yang manipulatif dan suka memutar balikkan fakta. Dia bertingkah seolah dirinya tak bersalah di depan kedua orang tuaku.


 

"Nah, karena Haris sudah meminta maaf, sebaiknya kalian rujuk dan berbaikan. Apa kata orang kalau kalian sampai bercerai padahal baru dua hari menikah?" Ujar Mama.


 

Aku muntab. Ku tarik tanganku dengan keras dari genggamannya.


 

"Seharusnya Mama tanya dia. Dia yang menceraikan aku." Lalu aku menoleh pada Mas Haris. " Dan asal kau tahu, aku tidak peduli jika jadi janda, daripada tersiksa batin hidup bersamamu."


 

"Nadya, tolong. Tekan egomu. Aku sudah bersedia datang menjemput dan meminta maaf. Apakah menurutmu itu mudah?"


 

Aku melengak. "Itu hal yang mudah saja, bagi lelaki normal yang menghargai wanita."


 

Wajah Mas Haris memerah. Dia tentu mengerti maksudku. Ya. Aku mulai merasa bahwa dia bukan lelaki normal. Lelaki mana yang bisa menolak jika ada perempuan disampingnya, halal dan menunggu dijamah?


 

"Papa. Mama. Aku tidak bisa menerimanya lagi. Mungkin jodoh kami memang hanya dua hari saja."


 

Tanpa menunggu reaksi semua yang ada di sana, aku berlalu. Tapi kemudian kurasakan langkah kaki Mama mengikutiku. 


 

"Nadya! Tunggu!"


 

Aku menghela nafas. Sesungguhnya, hubunganku dengan Mama tidak sebaik dengan Papa. Mama yang egois dan kerap memaksakan kehendak seringkali membuat kami bertengkar. Dan pernikahan ini terjadi pun karena Mama.


 

"Mama mengenal Haris. Dia lelaki yang baik. Rujuklah dengannya."


 

Aku terkejut. Bukankah semalam Mama sudah melunak? Beliau bahkan ikut marah mendengar bagaiamana Mas Haris memperlakukanku.


 

"Tidak. Cukup sudah dia menghinaku semalam Ma."


 

"Itu hanya salah paham. Buktinya kau lihat dia minum teh yang Mama sajikan bahkan sampai habis."


 

Aku tertawa sumbang. "Ternyata dia pandai bersandiwara."


 

"Kau salah menduga maksud perkataannya semalam Nadya."


 

"Sama sekali bukan. Dia lelaki dewasa dan sangat cerdas. Dia seharusnya tahu resiko dari kata-katanya."


 

"Kau mau membuat keluarga kita malu?"


 

Aku menatap Mama. Perempuan yang melahirkanku itu memasang wajah sedih dan mata berkaca-kaca.


 

"Mama mohon Nadya, seluruh rekan bisnis Papamu dan juga teman-teman Mama akan bergunjing jika kau menjadi janda hanya dalam waktu dua hari saja."


 

"Jadi, Mama lebih suka aku menahan sakit hati dan kehilangan harga diri?" Tanyaku dengan suara bergetar. Mama, seperti biasa mulai melakukan segala hal agar aku menuruti keinginannya


 

Tanpa kuduga, Mama tiba-tiba berlutut di kakiku. Aku terkejut, refleks mundur selangkah.


 

"Mama tolong jangan begini."


 

"Mama akan tetap seperti ini jika kau tak mau rujuk dengan Haris."


 

Aku menekan dadaku yang terasa mulai sesak. Dua puluh enam tahun menjadi anaknya, aku tahu bahwa Mama tidak main-main. Aku memandang ke ruang tamu yang tertutup kain gorden, dimana Papa dan lelaki itu masih bicara. Sungguh aku berharap Papa menolak keinginan Mas Haris dan Mama, yang hari ini sepertinya kompak memojokkanku.


 

Aku mendesah dan berlari ke kamarku di lantai atas.


 

"Tidak. Tolong jangan paksa aku!"


 

***


 

Waktu rasanya berjalan begitu lambat. Dari jendela kamar, aku dapat melihat mobil Mas Haris yang tak juga pergi meski siang telah lewat. Apa yang dia lakukan disini? Mengambil simpati orang tuaku?


 

Tok tok tok


 

"Nadya!"


 

Itu suara Papa. Aku mendesah lega. Aku harap Papa berhasil meyakinkan Mama dan juga Mas Haris bahwa perpisahan kami adalah yang terbaik. Sungguh, mereka tak perlu cemas akan statusku. Aku akan menanggung resikonya sendiri.


 

Aku membuka pintu dan tanpa sengaja, melalui pagar pembatas mataku langsung tertumbuk pada sosok Mama di lantai bawah, tak beranjak dari tempatnya semula, bertahan di posisinya. Aku terbelalak. 


 

"Papa mohon, beri kesempatan Haris sekali ini saja. Demi Mamamu." 


 

Aku menatap Papa tak percaya. "Tapi Pa?"


 

"Kau ragu karena Haris sudah mengucapkan talak? Papa akan memanggil ustadz Aji untuk menikahkan kalian lagi."


 

Hatiku remuk mendengarnya. Tapi Lagi-lagi, mataku terpaku pada sosok Mama, yang masih berlutut di lantai bawah, di ruang tengah. Tak peduli ART kami yang notabene orang lain melihatnya.


 

"Sekali ini saja Nadya, turutilah permintaan Mama. Jika nanti sesuatu terjadi, Papa tak akan lagi memintamu mengerti. Papa akan serahkan semuanya padamu."



 

***




DELAPAN HARI SAJA MENJADI ISTRIMU 4



 

Di dalam mobil, kami duduk seperti orang asing. Mas Haris menyetir mobil tanpa mengalihkan pandangan matanya dari jalan raya. Sementara aku tak berminat sama sekali memulai pembicaraan. 


 

Aku akhirnya memutuskan menerima permintaan rujuk Mas Haris demi Mama, yang tak mau beranjak dari tempatnya berlutut hingga Ustadz Aji datang untuk menyaksikan ijab kabul yang akan diucapkan Mas Haris. Ija  kabul kedua dilakukan karena Mas Harus menalakku sebelum kami sempat melakukan hubungan suami istri. Disaksikan oleh dua orang adik Papa, aku akhirnya kembali resmi menjadi istri lelaki ini, yang telah terlanjur menumbuhkan rasa sakit di hati. Entah akan seperti apa pernikahan kami. Aku hanya berharap, seperti kata Mama, bahwa dia memang sesungguhnya lelaki yang baik. Aku hanya perlu mengerti dan beradaptasi.


 

"Nadya, emm… pergilah ke kamar mandi belakang. Aku sudah menyiapkan sabun yang cocok untukmu." Ujarnya begitu masuk ke dalam rumah.


 

Lagi? Aku menyipitkan sebelah mata.


 

"Memangnya sabun apa yang cocok untukku? Kau tahu? Bukan hanya dirimu saja yang suka kebersihan Mas. Tapi aku tidak berlebihan seperti dirimu."


 

Mas Haris menggeram. "Turuti saja perintahku. Apa kau tak tahu bahwa seorang istri wajib taat pada suami?"


 

Aku terkejut. Baru beberapa saat yang lalu dia bersikap baik padaku di rumah Papa, dan kini dia mulai kembali menampakkan wajah aslinya.


 

Melihat perubahan raut wajahku, Mas Haris melunak. Dia mendesah, lalu dengan ragu menyentuh tanganku. 


 

"Maaf. Baiklah. Ayo kita ke kamar."


 

Kutatap tangannya yang kini menggandeng tanganku, membawaku menuju kamar. Keadaannya masih seperti aku meninggalkannya kemarin. Sangat rapi dan bersih. Aku sampai takut untuk duduk disana saking bersihnya.


 

Mas Haris meraih koperku dan mendorongnya ke pojok kamar. Lalu dia mengambil hand sanitizer dari atas nakas dan mulai membersihkan tangannya sendiri, seolah olah baru saja bersen-tuhan dengan benda kotor. Aku menelan ludah. Tentu saja, tak pernah ada salah paham. Inilah dia yang sesungguhnya.


 

Aku kembali menarik koperku dan berjalan menuju pintu. Sudah kuputuskan bahwa aku akan tidur di kamar sebelah saja sampai kami mungkin bisa saling mengenal dan beradaptasi. Mungkin, aku memang harus menerima kenyataan bahwa suamiku seorang clean freak.


 

"Kau mau kemana?"


 

Aku menoleh sejenak. "Aku tidur di kamar sebelah. Kau tentu tak suka tidur bersebelahan dengan perempuan yang sedang datang bulan."


 

***


 

Pagi-pagi sekali, aku sudah mandi dan berpakaian rapi. Kupakai dress hitam selutut berpotongan dada agak rendah. Sejujurnya, aku hanya ingin tahu reaksi suamiku, apakah dia benar seperti dugaanku, atau dia hanya lelaki yang berlebihan dalam hal kebersihan.


 

Atau tidak keduanya. 


 

Aku meletakkan teh melati di samping piring berisi roti bakar keju milikku, lalu duduk dan mulai makan. Suara musik lembut mengalun dari music player yang sengaja ku setel untuk mengobati suasana hatiku yang kacau. Siapa sangka pernikahan yang menjadi muara penantian bagi semua perempuan, berakhir hampa seperti ini? Aku membayangkan suami yang baik dan penyayang. Itu saja. Romantis hanyalah bonus. Tapi jangankan bersikap baik, kami seperti dua orang asing yang terpaksa hidup dalam satu rumah.


 

"Kau tidak membuatkan aku sarapan?"


 

Aku mendongak, mengalihkan tatapanku dari makanan di atas piring.


 

"Aku tidak tahu apa yang ingin kau makan."


 

"Bukankah kau bisa tanya lebih dulu?"


 

Aku tersenyum kecil. "Aku tidak mau mengganggumu Tuan Haris yang terhormat. Aku takut tanganku yang penuh kuman ini membuatmu sakit."


 

Mas Haris terbelalak sejenak. Aku melanjutkan makan dengan sikap tak peduli. Namun, tiba tiba saja aku terkejut karena dia merangkum kepalaku dalam pe-lukannya. Detik berikutnya, sebuah ke-cupan singgah di bibirku.


 

"Aku tidak seperti yang kau duga Nadya." Dan tanpa dicegah, dia kembali menci-umku, kali ini dengan menumpahkan seluruh has-rat yang tampak di matanya yang membara.


 

Aku terengah, kudorong tubuhnya menjauh.


 

"Berhenti Mas. Aku sedang datang bulan."


 

Mas Haris mendesah. Dia menghembuskan nafas dan merenggangkan pe-lukannya, lalu duduk di kursi makan.


 

"Tolong buatkan aku kopi. Pakai cangkir keramik di rak paling atas, itu sudah kusteril tadi pagi."


 

Aku menelan ludah, menatapnya sejenak, tak percaya pada pendengaranku sendiri. Suaranya tadi lembut dan terdengar memohon. Dia kembali bicara tentang gelas yang harus bersih, padahal dia baru saja menciu-mku dengan ga-nas, tanpa bertanya apakah aku susah gosok gigi atau belum.


 

Aku menggelengkan kepala, mungkin butuh waktu cukup lama untuk mengerti lelaki ini. 


 

"Kau wangi dan sek-si sekali pagi ini Nadya. Sayang, kau sedang datang bulan, kalau tidak…" Ujarnya ketika aku meletakkan kopi di hadapannya.


 

Jantungku berdebar kencang mendengarnya merayuku. Kepalaku pusing oleh praduga akan dirinya. Jika dia terang-sang oleh penampilanku pagi ini, berarti dia buka seorang ga-y. Mungkin saja, dia hanya seorang clean freak.


 

Dan mungkin saja, rumah tangga kami masih bisa diperbaiki.


 

"Aku ada seminar jam dua siang ini. Mungkin pulang agak malam. Emm, bisakah kau menungguku? Aku ingin minum kopi berdua denganmu."


 

Aku yang masih takjub dengan perubahannya hanya bisa mengangguk.


 

"Jangan lupa, dandan yang cantik dan sek-si. Dan oh ya, aku suka aroma parfummu."


 

***


 

Jantungku langsung berdebar kencang begitu mendengar suara mobilnya memasuki halaman. Kulirik jam di layar ponsel. Baru jam sebelas malam. Masih banyak waktu bagi kami. Mungkin malam ini, kami bisa berbincang, saling mengenal dan menyelami. Dan apa katanya tadi? Dia suka aroma parfumku.


 

Kusemprot sedikit parfum di leher dan lengan. Aroma wanginya yang lembut menelusup. Wajahku menghangat ketika teringat sen-tuhan pertamanya pagi tadi. Mungkin saja, kami akhirnya bisa hidup sebagai suami istri yang sesungguhnya.


 

Aku membuka pintu depan sebelum bel berbunyi. Namun, aku kembali terkejut ketika dia tak menyambut uluran tanganku. Dia hanya menatapku, dan berhenti pada kimono satin yang menutupi linge-rie yang kupakai. Meski aku sedang datang bulan, bukankah boleh kalau hanya bermes-raan?


 

"Aku lelah sekali dan butuh tidur cepat Nadya. Dan bukankah kau sedang datang bulan?" Ujarnya sambil berlalu.


 

Aku hempas seketika. Sambil berjalan mengikutinya, kuremas ujung kimonoku, menahan dadaku yang tiba-tiba sesak. Kutatap punggung Mas Haris yang masuk ke dalam kamar. Lalu, tanpa menatapku, dia menutup pintu itu dan menguncinya dari dalam.


 

Tiba-tiba saja, aku mencium aroma berbeda yang dia tinggalkan. Aroma parfum wanita. Dan jelas, itu bukan milikku.


 

***



DELAPAN HARI SAJA MENJADI ISTRIMU 5



 

Aroma parfum itu menyentak kesadaranku, bahwa ada wanita lain yang telah ditemui suamiku. Mereka berinteraksi cukup dekat sehingga bahkan parfumnya menempel di pakaian Mas Haris. Dan itu juga berarti menepis kecurigaan bahwa suamiku seorang g-ay. Ah, betapa melelahkannya hidup bersama seseorang yang tak kau kenal, yang bersikap misterius dan selalu menjaga jarak. Padahal kami diikat oleh pernikahan. Mau seperti apa rumah tangga kami jika bersen-tuhan saja tak boleh?


 

Dan pertanyaan yang lebih mengganggu adalah, aroma parfum siapa yang dibawa pulang oleh suamiku?


 

Malam ini, aku kembali tidur sendiri. Iseng kubuka akun instagram, dimana aku sempat mengunggah foto-foto pernikahanku dengannya. Kugigit bibir kuat-kuat, menahan nyeri di hati kala membaca komentar teman temanku yang menggoda.


 

(Nadya, jangan lupa baca doa sebelum di unboxing wey)


 

(Bilang pak dosen, jangan kerja mulu sampe istri cantik dianggurin)


 

Dan komentar terakhir, yang ditulis tiga jam yang lalu dari Intan sahabatku


 

(Selamat berbulan ma-du sayang aku, ditunggu garis duanya bulan depan)


 

Aku menutup aplikasi Instagram dengan hati nelangsa. Tak akan ada garis dua. Aku yakin itu.


 

***


 

Pagi-pagi sekali, aku sudah bangun dan menyibukkan diri di dapur. Sebersit rasa sesal singgah di hati, mengingat aku terlanjur mengambil cuti sepuluh hari. Aku bahkan mengambil jatah cuti tahunan. Kupikir aku butuh waktu lama untuk berbulan ma-du sambil mengenal lebih jauh lelaki yang menjadi suamiku. Aku tersenyum getir, ternyata semua sia sia. Seperti inikah menjalani pernikahan karena perjodohan?


 

Aku menghela nafas dan berusaha melupakan semuanya. Aku yakin, apapun yang disembunyikan Mas Haris, cepat atau lambat akan segera terbongkar. 


 

Usai membuat nasi goreng spesial dan membiarkannya tetap di atas wajan agar tetap  hangat, aku kembali ke depan. Mengingat betapa resiknya Mas Haris, aku mulai menyapu dan mengepel seluruh rumah. Meski pinggangku pegal karena rumahnya cukup luas, aku meneruskannya dengan mengelap seluruh lemari lemari, sofa dan meja sampai mengkilap. 


 

Ceklek.


 

Suara pintu dibuka terdengar, lalu suara langkah kaki perlahan mendekat. Aku menoleh. Mas Haris tampak terkejut melihat rumah yang sangat rapi dan menguarkan aroma pinus dari pembersih lantai. Dia menyeka ujung lemari, mencari sisa sisa debu. Aku menahan nafas melihatnya.


 

"Nadya!"


 

Mas Haris berjalan ke dapur mencariku. Dia tak melihat bahwa aku ada di ruang tamu, tengah menyeka pot bunga hias dengan lap basah. Aku berjalan mengejarnya.


 

"Ada apa Mas?"


 

Mas Haris tampak terkejut melihatku muncul justru dari arah ruang tamu. Dia menatap dapur berkeliling, wastafel yang bersih tanpa ada satupun piring kotor. Lantai dapur mengkilap, tak meninggalkan setitik pun ko-toran.


 

"Kau yang membersihkan semua ini?"


 

Aku tertawa getir. "Tentu saja. Memangnya ada orang lain?"


 

Lalu pandangan matanya jatuh pada kanebo yang kupakai mengelap perabotan. Matanya terbelalak. 


 

"Kau menggunakan satu lap itu untuk seluruh perabot?"


 

Aku menatap lap tak berdosa yang dia pelototi.


 

"Iya. Memangnya kenapa? Aku selalu membilasnya kok."


 

Mas Haris berjalan dengan cepat menuju lemari penyimpanan dan mengambil satu pak besar tisu basah. Dia memban-ting tisu itu di atas meja.


 

"Pakai ini. Dan langsung buang setiap kali selesai."


 

"Hah? Itu lemari dan sofa besar Mas. Perlu berapa lembar mengelap semuanya?"


 

"Aku tidak peduli. Yang lelas aku tak mau ada pertukaran debu dan kuman akibat kecerobohanmu."


 

Kini giliranku memban-ting kanebo di tanganku ke lantai dengan kesal.


 

"Aku tidak mengerti ada apa dengan dirimu. Kau pikir mudah membersihkan rumah sebesar ini beserta semua perabotnya?"


 

"Kau kan bisa tanya dulu."


 

"Kau selalu meributkan hal sepele tapi menyembunyikan hal besar dariku."


 

Mata Mas Haris menyipit. "Apa maksudmu?"


 

"Kau lebih tahu apa maksudku Mas?" 


 

Aku sengaja tak mau bertanya tentang aroma parfum semalam sebelum menyelidikinya sendiri.


 

Aku menghela nafas keras, berusaha menepis sesak di dada. Lalu berjalan ke watafel dan mencuci tangan tanpa memungut kembali kanebo di lantai yang kini dia pandangi dengan tatapan ji-jik.  Aku berjalan ke lemari, mengambil piring dan mulai menyendok nasi goreng di atas wajan untukku sendiri. Dari sudut mata dapat kulihat dia memperhatikanku.


 

"Kau tidak menawariku makan?"


 

"Tidak. Aku takut nasi goreng ini mera-cunimu." Ujarku sambil mulai makan.


 

Mas Haris berjalan ke tempat magicom berada dan menggeram.


 

"Kau tidak masak nasi? Aku tak suka nasi goreng."


 

Aku meletakkan sendok di atas piring dan tanpa kata kata mengambil pot tempat menanak nasi, lalu mencucinya. Aku lalu mencuci beras menggunakan dua baskom dan menuangkannya ke dalam pot magicom. Namun tanpa kuduga, Mas Haris merebut pot itu.


 

"Bilas dulu dengan air mendidih. Aku tak mau kuman dari spon cuci piring ikut termasak."


 

Oh, ini sudah keterlaluan. Aku meletakkan baskom berisi beras itu dengan gerakan agak menghentak.


 

"Kalau begitu kerjakanlah sendiri."


 

"Kau mau membantahku Nadya? Aku ini suamimu."


 

Aku tertawa keras.


 

"Suami? Bagian mana dari dirimu yang pantas disebut suami? Apakah sikapmu yang menolak bersen-tuhan denganku itu wajar?"


 

"Nadya!"


 

"Apa? Kau mau mence-raikanku, lagi? Lakukan Mas! Aku akan menerimanya dengan senang hati. Dan kupastikan tak akan ada kesempatan kedua untukmu."


 

Dengan dada yang terasa sesak, aku berjalan dengan langkah cepat menuju kamar. Terserah apa yang akan dia lakukan dengan beras dan makanan di dapur. Rasa laparku langsung lenyap.


 

Kuraih ponsel yang tadi kuletakkan di atas nakas. Membuka pesan WA, deretan pesan Papa muncul paling atas.


 

(Nadya, kau baik baik saja kan?)


 

(Haris tidak mengulangi nya kan?)


 

Aku mende-sah, teringat Papa yang tak pernah menolak kehendak Mama, lalu pada sosok Mama yang memaksaku menerima Mas Haris lagi.


 

(Pa, bisa tolong Mang Supri antar mobilku ke rumah?)


 

Balasan Papa langsung kuterima detik berikutnya.


 

(Tentu saja Nak. Tunggu saja ya, siang ini mobilmu sudah ada di rumah.)


 

(Terimakasih Pa.)


 

Baru saja menutup ponsel ketika suara ge-doran di pintu kamarku terdengar. Dan ketika membuka pintu, kudapati suamiku berdiri dengan raut wajah dingin.


 

"Pergi ke dapur dan bereskan keka-cauan yang kau buat Nadya. Sekarang!"



 

***




DELAPAN HARI SAJA MENJADI ISTRIMU 6



 

Aku menelan ludah, menatap wajahnya yang membara. Oh, sungguh. Pernikahan ini benar benar salah. Lelaki ini sangat manipulatif. Dia bersikap wajar di depan semua orang, tapi di hadapanku, sifat aslinya keluar. Aku curiga kalau ini belumlah seluruhnya. Melihat begitu pandainya dia bersandiwara, aku menduga, dia bahkan lebih mengerikan dari ini.


 

Tentu saja, aku harus mulai berhati-hati.


 

Aku melangkah ke dapur tanpa menjawab kata-katanya. Kurasakan dia melangkah di belakangku tanpa suara. Aku mulai mencuci beras yang masih berada di dalam baskom sambil menjerang air dalam panci di atas kompor. Dari sudut mataku, aku tahu dia memperhatikan semua gerak gerikku. Setelah air mendidih, aku memindahkannya di pot untuk menanak nasi, menggoncang nya secara perlahan dan menyeluruh baru membuang airnya. Setelah itu, pot nasi tadi dikeringkan dengan tisu dapur hingga tak ada sedikitpun jejak air. Barulah kutuang beras ke atasnya, menambahkan air dan memasukkannya ke dalam alat penanak nasi.


 

Ku lihat Mas Haris menyunggingkan senyum miring. Dia bertepuk tangan.


 

"Kau belajar dengan baik. Jangan lupa, lakukan semua seperti tadi, dan bersihkan ulang semua perabot dengan tisu basah. Dan ingat, aku tak mentolerir kesalahan." 


 

Suaranya, entah mengapa terdengar mengerikan di telingaku, membuat jantungku berdetak kencang. Ada rasa takut yang mulai menjalari hatiku. Namun sebisa mungkin tak ku tampakkan di hadapannya.


 

Mas Haris lalu beranjak. Kudengar langkah kakinya kali ini menaiki tangga ke lantai atas. Sepertinya dia memasuki ruang kerja. Aku terdiam, masih dengan jantung berdetak kencang.


 

Diam-diam, kusingkirkan pi-sau dan peralatan dapur yang ta-jam di bawah meja kompor. Tempat yang aku kira tak akan dia sentuh karena kerap kali kotor terciprat minyak. Namun aku terkejut mendapati bahwa tempat itu pun bersih sekali.


 

Freak. Suamiku, penggi-la kebersihan, manipulatif, penuh sandiwara dan terindikasi seling-kuh. Bagaimana mungkin aku bisa bertahan sendirian? Namun aku tahu bahwa tak mungkin  bagiku pergi begitu saja atau meminta cerai tanpa bukti yang kuat. Di titik ini aku tak peduli lagi apakah Mama akan memben-ciku atau tidak.


 

Aku harus bertahan, setidaknya sampai aku punya alasan kuat untuk berpisah dengannya.


 

***


 

Jam sepuluh pagi, Mang supri sopir Papa datang mengantarkan mobil honda jazz hitam milikku. Ada sedikit rasa senang di hatiku, aku berencana akan pergi ke suatu tempat, menemui Intan. Aku butuh menghibur diri dan berhenti memikirkan pernikahanku yang aneh ini.


 

"Kau mau kemana?"


 

Aku terkejut mendapati Mas Haris turun dari lantai atas. Kupikir tadinya dia pergi karena tak kulihat mobilnya di halaman. Dia menatapku intens meski tetap menjaga jarak. Matanya memindai kepalaku yang berbalut jilbab berwarna salem, lalu pada outer hitam yang menutupi dress panjang berpotongan lurus sewarna jilbab. Dan berhenti pada shoulder bag di bahu kananku.


 

"Aku ada janji dengan teman."


 

"Kau tidak izin dulu?"


 

"Aku pikir kau tidak di rumah. Mobilmu tak ada."


 

Mas Haris melangkah mendekat, memangkas jarak di antara kami dan berhenti setengah meter di hadapanmu.


 

"Aku tidak mengizinkanmu pergi."


 

"Apa?" Aku terkejut.


 

"Aku tidak mengizinkanmu pergi. Oh Nadya, aku tak suka jika harus mengulangi kata-kataku."


 

Aku mundur selangkah. "Aku sudah berjanji dengan temanku Mas."


 

"Batalkan. Sebaiknya kau masuk ke kamarmu dan mulai mempersiapkan diri. Memakai lulur dan sebagainya karena nanti malam, aku akan mengajakmu menemui teman-temanku."


 

Aku terdiam sejenak. Di satu sisi, aku merasa kesal karena dia melarangku pergi. Tapi disisi lain, secercah harapan muncul di hatiku. Bukan, aku bukan berharap bisa memperbaiki hubungan pernikahanku dengannya. Aku hanya ingin tahu siapa teman-teman Mas Haris sehingga aku dapat meraba siapa dia sesungguhnya.


 

Dan mungkin jika aku beruntung, aku bisa bertemu wanita pemilik aroma parfum semalam.


 

"Ingat. Jam tujuh malam tepat. Tidak lebih satu detik pun, aku menunggumu disini. Di ruang tengah ini. Sebaiknya kau catat baik-baik."


 

Aku mengangguk, dan kembali ke kamarku tanpa kata-kata. Setelah mengunci pintu, aku duduk di depan meja rias, menatap wajahku yang terpantul di sana. Cantik, meski terlihat kurang berseri. Masalah yang menimpaku akhir-akhir ini membuatku lupa caranya tersenyum.


 

(Intan, maaf kita nggak bisa ketemu dulu. Mas Haris melarangku pergi.)


 

(Wow, apakah dia akhirnya akan mengajakmu bulan madu?)


 

Aku tersenyum getir. Tadinya aku ingin menceritakan pada Intan semua yang terjadi. Aku butuh tempat bicara dan tak mungkin bagiku bercerita melalui telepon. Aku tak mau Mas Haris mendengar. 


 

(Do'akan saja ya. Emm, sebetulnya banyak hal yang perlu aku bicarakan denganmu. Tapi tidak di telepon.)


 

(Oke. I'll be waiting. Have fun ya Nadya.)


 

Aku melirik jam di atas nakas. Sudah jam sebelas siang. Sepertinya aku harus menyiapkan makan siang.


 

Setelah berganti pakaian, aku melangkah ke kamarnya, bermaksud bertanya barangkali ada sesuatu yang ingin dia makan siang ini. Namun langkahku terhenti mendengar suaranya dari dalam kamar. Sepertinya dia sedang bicara dengan seseorang.


 

"Iya, sayang. Aku akan datang bersamanya. Kau tidak apa-apa kan?"


 


 

"Kau tahu untuk apa aku menikah. Bersabarlah. Ini hanya sementara."


 

Aku mengerutkan kening. Apa maksudnya? Siapa yang dia panggil sayang? Belum sempat aku berpikir, suaranya terdengar mendekat ke pintu. Tanpa pikir panjang, aku berlari lagi masuk ke dalam kamar dengan jatung berdebar kencang. Ya Tuhan, tolong tunjukkan padaku, siapa sebenarnya lelaki yang terlanjur kunikahi ini?


 

Suara ketukan di pintu membuatku terkejut. Dan ketika membuka pintu, matanya yang langsung menghu-jamku.


 

"Apa kau sedang bersiap-siap?"


 

Aku menggeleng. "Belum. Ini masih siang."


 

"Kalau begitu, tolong buatkan aku telur dadar spesial untuk makan siang, Nadya."


 

Aneh, kini suaranya lembut dan terdengar sangat ramah. Meski dia masih tak mau menyen-tuhku, tapi setidaknya suaranya terasa menenangkan.


 

Aku mengangguk dan melangkah ke dapur. Aku tahu dia mengikutiku, pasti hendak memastikan semua yang kubuat untuknya bersih dan steril. Aku meracik dan memasak makanan yang dia pesan dibawah tatapannya. Dan karena tak sekalipun dia menyela, sepertinya tak ada kesalahan yang kulakukan.


 

"Silahkan Mas."


 

Aku meletakkan piring berisi telur dadar spesial dengan isian sosis dan daun bawang yang melimpah. Aromanya semerbak memenuhi dapur. Mas Haris tersenyum melihat piring itu. Senyum yang jarang sekali kutemui. Namun tiba-tiba, ketika aku berbalik, ujung jilbab panjangku yang melambai rupanya menyentuh pinggir piringnya sekilas. Dan itu tidak luput dari pandangan Mas Haris.


 

Lalu, Prang!!


 

Mas Haris memban-ting piring berisi telur dadar itu hingga pecah dan isinya berhamburan.


 

"Menji-jikan!"


 

***




DELAPAN HARI SAJA MENJADI ISTRIMU 7



 

"Menjij-ikkan!"


 

Mas Haris berdiri sambil menyentak kursi ke belakang hingga terdorong. Dia memandangku dengan tatapan nyalang.


 

"Buka jilbabmu di dalam rumah. Dan jangan pakai baju yang melambai lambai. Kau dengar?"


 

Aku masih shock, terkejut luar biasa atas reaksinya yang sangat berlebihan. Dalam hati aku bersyukur dia tak mau menyen-tuhku, karena bisa jadi, dia akan menam+par atau memu-kulku.


 

"Kau dengar itu Nadya? Di depan suami, kau wajib berpakaian sek-si. Pakai hot pants dan tank top saja sehingga tak ada lagi insiden seperti tadi."


 

'Aku memakai pakaian tertutup, agar kau tak bisa menyen-tuhku.' ujarku dalam hati. Jika di awal pernikahan, aku berharap disen-tuh olehnya dan menjalani masa bulan madu seperti pengantin baru lainnya, semakin kesini, aku semakin yakin untuk mempertahankan kesucianku. Selain sikapnya yang diluar nalar, indikasi bahwa Mas Haris punya seling-kuhan adalah alasan utama. Untung saja aku sedang datang bulan.


 

"Baik Mas. Maafkan aku." Ujarku akhirnya. Aku memilih mengalah agar bisa mengetahui siapa dia sesungguhnya.


 

"Maaf saja tidak cukup. Sekarang segera bereskan dapur dan pergi. Aku akan membuat makananku sendiri." Ujarnya sambil meninggalkanku. 


 

Kudengar Mas Haris kemudian duduk di ruang tengah sambil menghidupkan televisi. Dia menungguku, aku segera membersihkan dapur sebersih mungkin, melupakan perutku yang melllit  karena lapar. Mungkin nanti setelah dia selesai makan, barulah aku akan ke dapur, membuat makananku sendiri.


 

Ya Tuhan, pernikahan macam apa ini?


 

Usai membersihkan  dapur, aku berjalan kembali ke kamar tanpa menoleh padanya. Kalau dia saja mengabaikan  perasaanku, tentu aku berhak melakukan hal yang sama.


 

Di dalam kamar, aku mengambil buku kecil dan mulai mendaftar apa saja keanehan yang sudah dia lakukan selama pernikahan kami yang baru empat hari ini. Semua kutulis secara detail, termasuk tentang aroma parfum lain itu dan juga percakapannya di telepon dengan seseorang yang dia panggil sayang. Setelah selesai, kuletakkan buku itu di dasar koper yang sengaja tidak kubongkar, tertutup baju baju. Setelah itu, aku mengganti pakaianku dengan celana dan kaus panjang, mengabaikan hot pants dan tank top yang dia pinta karena aku memang tak punya pakaian seperti itu.


 

Tok tok tok!


 

"Nadya, keluarlah. Temani aku makan."


 

Suara Mas Haris terdengar lagi. Aku mengerutkan kening. Dia kembali menunjukkan bahwa dirinya bisa berubah mood secepat kilat. Suaranya kini lembut dan tenang.


 

Aku bergegas membuka pintu sebelum dia mengulangi panggilannya. Di luar, wajahnya kembali teduh dan menyunggingkan senyum. Dia terlihat senang dengan pakaianku. Mas Haris lalu melangkah ke dapur. Aku mengikutinya, bukankah tadi katanya aku disuruh menemaninya makan?


 

Di atas meja, sudah tersaji dua piring steak lengkap dengan kentang gorengnya. Aku terdiam, menatap makanan itu dengan hati penuh tanya.


 

"Duduk dan makanlah. Aku sudah memasaknya susah payah untukmu. Jadi habiskan kalau kau menghargaiku."


 

"Apakah hanya kau yang pantas dihargai?"


 

Tanpa dapat kucegah, mulutku melontarkan pertanyaan itu. Aku teringat pada telur dadar yang tadi ditepisnya dan harus berakhir di tempat sampah.


 

Kami bertatapan sejenak, saling menilai. Tanpa kuduga Mas Haris tersenyum. Padahal tadinya kukira dia akan marah.


 

"Apa kau kesal karena telur dadar tadi?"


 

Aku diam saja. Dia seharusnya tahu bahwa bukan hanya itu. Ada banyak hal yang membuat diriku merasa tak punya harga di matanya.


 

"Maafkan aku Nadya. Tapi sebaiknya kau harus mulai tahu bahwa aku tak suka sesuatu yang kotor dan tidak berada di tempatnya."


 

Dia meminta maaf. Aku bahkan nyaris tak percaya bahwa dia mau melakukannya. Lelaki angkuh sepertinya, biasanya pantang meminta maaf.


 

"Sekarang duduk dan makanlah. Setelah ini kembali ke kamarmu dan bersiap untuk nanti malam."


 

***


 

Aku mematut penampilanku di cermin setinggi badan. Dengan gamis hitam panjang dengan motif bunga merah melingkar di pinggang dan ujung baju. Kupakai juga jilbab berwarna merah sebagai pasangannya, lalu meraih tas tangan. Setelah merasa penampilanku sempurna, aku bergegas keluar kamar. Jam tujuh kurang lima menit. 


 

Di luar Mas Haris belum nampak. Aku duduk menunggu sambil mengambil foto selfie diriku, sambil membayangkan suasana makan malam nanti. Kata Mas Haris acara ini memang segaja dibuat untuk merayakan pernikahan kami. Dan yang hadir adalah sahabat sahabat terdekatnya. Dia akan memperkenalkanku pada mereka. Ah, seandainya rumah tangga ku normal normal saja, tentu aku akan sangat bahagia. Meski belum ada rasa cinta tumbuh di hatiku, aku yakin sedikit demi sedikit dia akan muncul juga. Tapi kini yang ada, justru keinginanku untuk menyelidiki dia yang sesungguhnya.


 

"Apa yang kau lakukan?"


 

Aku terkejut, Mas Haris sudah berdiri di depanku. Memakai setelan jas hitam yang rapi. Sesungguhnya, dia sangat tampan, dibalik sikapnya yang misterius.


 

"Oh, aku hanya selfie. Kenapa memangnya?"


 

Mas Haris menggeram pelan.


 

"Jangan coba-coba mengunggah fotomu di media sosial. Aku tak mau ada orang lain menik-mati wajahmu selain aku."


 

Apakah aku tak salah dengar? Kenapa lelaki di depanku ini sangat membingungkan?


 

"Simpan ponselmu dan jangan hidupkan selama makan malam." Ujarnya sambil melangkah keluar. Aku memasukkan ponsel ke dalam tas lalu mengikuti langkahnya menuju mobil.


 

Di dalam mobil, Mas Haris menyetel lagu nostalgia yang lembut dan menenangkan. Sepertinya mood-nya sedang sangat baik. Sesekali kudengar dia mengikuti alunan lagu barat era delapan puluhan itu dengan fasih.


 

Mobil akhirnya memasuki halaman sebuah restoran mewah. Sebelum turun, Mas Haris membetulkan  letak jasnya dan merapikan rambutnya.


 

"Tunggu disitu." Perintahnya sebelum turun dari mobil.


 

Apakah dia menyuruhku menunggu? Apa maksudnya? Tanpa kuduga, Mas Haris lalu memutari mobil dan membuka pintu untukku. Aku semakin bertambah takjub ketika dia menyodorkan lengannya untuk ku gandeng.


 

Aku diam saja. Menatap lengannya, otakku sibuk mencerna semua ini. Kenapa dia tiba-tiba saja bersikap mesra? Dia bahkan  tak takut bersen-tuhan denganku.


 

"Gandeng lenganku dengan benar. Bersikaplah seperti pengantin baru yang bahagia."


 

Aku menatapnya, masih bergeming di dalam mobil. Mas Haris mencondongkan wajahnya mendekat.


 

"Bukankah kau tahu aku tak suka mengulangi kata kataku Nadya?"


 

Aku menelan ludah. Oke, aku akan ikuti permainanmu.


 

Kuraih lengannya tanpa ragu dan mulai berjalan dengan langkah anggun memasuki restoran mewah yang sepertinya sengaja disewa untuk acara ini. Terbukti, begitu kami masuk, tepuk tangan meriah terdengar dari sekitar dua puluh orang, lelaki dan perempuan yang tengah duduk melingkari meja-meja bundar.


 

Aku melirik lelaki di sampingku, yang kemarin menolak menyentuh dan bahkan menepis tanganku. Tapi malam ini, dia berjalan dengan langkah tegap sambil menggandeng tanganku dan sesekali merangkulku. Tak ada ekspresi ji-jik seperti yang sering kulihat. Kami benar-benar tampil bak pasangan pengantin baru yang bahagia.


 

"Selamat Prof. Semoga pernikahan anda bahagia."


 

Seorang wanita memakai dress panjang berwarna merah menyala, dengan rambut digelung ke atas hingga menampakkan lehernya yang jenjang, menghampiri kami. Dia memberiku buket bunga yang sangat manis.


 

Mas Haris tertawa renyah. 


 

"Jangan memanggilku Prof, Jenny. Aku bukan guru besar. Belum. Aku masih seorang lektor."


 

Jenny tertawa. "Apa bedanya? Tak lama lagi anda akan jadi seorang Profesor."


 

Lalu mereka saling menatap dan aku menyadari ada yang berbeda dari tatapan mata wanita itu pada Mas Haris. 


 

Jenny tersenyum padaku dan mempersilahkan aku dan Mas Haris duduk di tempat yang telah disediakan. Namun, ketika dia berbalik, Tiba-tiba aku menangkap aroma parfum yang kukenal menguar dari tubuhnya.


 

***



DELAPAN HARI SAJA MENJADI ISTRIMU 8



 

Makan malam mewah dan berkelas ini dihadiri sahabat sahabat dekat Mas Haris yang profesinya beragam, namun semuanya adalah orang-orang penting. Dosen, pengacara, dokter dan anggota dewan daerah. Rata-rata mereka datang bersama pasangan masing-masing dan tak seorang pun membawa anak.


 

Setelah memperkenalkanku pada teman-temannya, acara makan malam pun di mulai. Masing masih meja berisi dua pasangan dan sayangnya aku tidak berada satu meja dengan wanita yang menyambut ku tadi. Namun, posisinya dan Mas Haris yang berhadapan dan bisa saling menatap menjadi catatanku. Wanita itu, Jenny namanya adalah dosen di Universitas yang sama tempat Mas Haris bekerja. Sementara suaminya, seorang lelaki pendiam yang hanya mengangguk atau menggeleng setiap diajak bicara. Lelaki yang tampak jauh lebih tua dari Jenny itu diperkenalkan sebagai seorang pengusaha.


 

"Permisi sebentar, sayang. Aku perlu ke toilet." Bisik Mas Haris ditelingaku. Bisikan yang membuatku bergi-dik karena selain di memanggilku sayang, angin yang menerpa dari bibirnya meniup daun telinga di balik jilbab yang kukenakan, membuatku merin-ding.


 

Aku mengangguk, sementara pasangan di depanku. Martin dan Salma ikut tersenyum. Salma adalah staff di Universitas Mas Haris mengajar dan Martin seorang dokter.


 

Lima menit, sepuluh menit berlalu, Mas Haris belum juga kembali. Aku mengangkat kepala dari piring yang telah kosong dan terkejut mendapati Salma menatapku lekat lekat.


 

"Sebaiknya kau susul suamimu Nadya." Ujarnya dengan suara lembut.


 

Aku mengangguk, dan berdiri pamit padanya.


 

"Kenapa kau menyuruhnya mencari Haris. Bagaimana kalau dia akhirnya tahu."


 

"Dia harus tahu. Cepat atau lambat dia harus tahu. Kasihan, dia sepertinya gadis yang baik."


 

Percakapan Martin dan Salma yang berbisik bisik masih dapat kudengar karena aku berhenti sejenak di belakang mereka, mencari arah petunjuk lokasi toilet berada. Mendengar hal itu, aku tertegun sejenak. Mereka menyebut nama Mas Haris. Dan apa yang seharusnya aku tahu?


 

Aku melangkah perlahan, menuju toilet yang ditunjukkan oleh arah anak panah. Karena tak ada pengunjung lain selain kami dan teman-teman Mas Haris, resto cenderung sepi. Namun beberapa pelayan berdiri siaga, bersiap jika sewaktu waktu dipanggil.


 

"Lurus ke ujung lorong dan belok kiri. Toilet wanita yang ada di sisi kanan Bu." Jelas pelayan dengan sopan.


 

Aku mengangguk dan berterimakasih, lalu kembali menyusuri lorong pendek yang bersih mengkilap itu. Dari kejauhan aku dapat melihat tempat yang dia maksud. 


 

Toilet wanita dan pria berdiri berhadapan. Aku terdiam sejenak. Bukan, aku bukan hendak masuk ke toilet wanita, aku mencari Mas Haris. Apakah tidak apa-apa jika aku membuka toilet pria ini? Atau sebaiknya kupanggil saja dia?


 

Baru saja aku hendak memanggilnya, suara des-ahan terdengar dari dalam toilet pria. Suara yang membuat wajahku memanas karena malu.


 

"Aku harus kembali ke depan Jen. Istriku akan curiga."


 

Itu suara Mas Haris. Pelan sekali. Nyaris tak terdengar jika aku tak menempelkan telingaku pada daun pintu.


 

"Bukankah dia hanya istrimu di atas kertas? Kau tidak menyen-tuhnya bukan?"


 

"Tentu saja tidak. Aku milikmu. Tapi tidak disini sayang. Kita akan bertemu besok malam di tempat biasa."


 

Suara desa-han kembali terdengar, membuat perutku terasa mu-al. Jadi benar, Mas Haris dan Jenny mempunyai hubungan gelap. Aku teringat pada lelaki setengah baya suami Jenny, yang duduk diam seakan hanya raganya yang berada di sini.


 

"Kembalilah. Nanti ada yang curiga."


 

"Siapa? Bukankah semua sudah tahu bahwa kau milikku Haris."


 

Aku terbelalak. Perseling-kuhan mereka ternyata bukan rahasia diantara teman-teman yang lain. Mungkin hanya aku dan suami Jenny yang tak tahu. Mungkin ini alasannya Salma menyuruhku mencari Mas Haris. 


 

Suara de-sahan itu mencapai puncaknya. Aku berlari masuk ke toilet perempuan sebelum kedua manusia durj-ana itu keluar dan memergokiku. Belum saatnya mereka tahu bahwa aku tahu.


 

Aku masuk ke dalam salah satu bilik dan berdiri menunggu dengan jantung berdebar. Kuhidupkan air agar tak ada orang curiga. Lalu kudengar suara ketukan sepatu high heels memasuki toilet. Dari celah pintu yang tidak rapat, aku dapat melihat Jenny masuk toilet sambil membenahi pakaiannya yang berantakan.


 

Luar biasa, mereka melakukan hal menji-jikkan di tempat menjij-ikkan pula. Dan mereka tak takut salah satu sahabat mereka memergokinya. Kecuali aku, dan mungkin suami Jenny.


 

Kulihat Jenny berdiri di depan cermin sambil mengelap keringatnya. Dia tersenyum, lalu merogoh tas kosmetik dan mulai memperbaiki riasan wajahnya. Satu detik, dia sempat menoleh pada pintu toilet tempatku bersembunyi. Lalu kembali fokus pada riasan wajahnya.


 

Oh, kenapa dia lama sekali. Aku gelisah menanti dia selesai. Dan bisa jadi, saat ini Mas Haris sudah ada di depan dan tahu aku tak ada di sana.


 

Kuputuskan untuk keluar sambil berpura-pura merapikan bajuku. Jenny yang melihatku dari cermin tampak sedikit terkejut.


 

"Hey, kau disini Nadya?"


 

Aku meringis sambil memegang perut.


 

"Aku mulas. Entah apa makanan yang tak cocok di perutku."


 

Dia menatapku dengan pandangan menyelidik.

"Sejak kapan kau ada disitu?"


 

"Tak lama setelah Mas Haris pergi. Tapi aku tak juga bisa kembali ke depan karena sakit perut ini. Aduhh…"


 

Aku kembali berlari lagi ke dalam bilik untuk mendukung sandiwaraku. Setelah menyiram air ke dalam closet, aku keluar lagi. Jenny masih disana, berdiri menunggu.


 

"Kau tidak apa-apa?"


 

Aku menggeleng. "Sepertinya aku perlu pulang lebih cepat. Bisakah?"


 

"Sayang sekali. Acara seperti ini biasanya sampai larut malam."


 

Aku meremas tangan dengan gelisah. Pura-pura gelisah. Sungguh aku merasa sangat ji-jik berada di tengah-tengah sekumpulan orang yang mendiamkan saja perselin-gkuhan.


 

"Kau pucat Nadya. Aku akan katakan pada Haris agar kau bisa pulang lebih dulu. Ayo kuantar."


 

Jenny mengulurkan lengannya. Dengan terpaksa aku membiarkan dia menuntunku hingga ke ruang utama. Dan setibanya disana, dapat kurasakan puluhan pasang mata menatap kami berdua dengan bermacam prasangka.


 

Kalau menurut kalian aku akan diam saja, tunggulah. Terserah kalian mau mendukung perseling-kuhan ini, dan terserah padamu Mas jika kau mau terus bersikap mun-afik dan terus berusaha men-ipuku dan kedua orang tuaku. Tapi kupastikan bahwa aku akan segera mendapat bukti agar lepas darimu.


 

"Jenny, kenapa istriku?"


 

Mas Haris memburuku, mengusap kepalaku seolah olah dia sangat cemas.


 

"Biarkan Nadya pulang lebih dulu Haris. Dia sakit perut. Tapi kau harus tetap disini. Karena ini pestamu."


 

Jenny menjawab sambil mengerlingkan matanya penuh arti.


 

***




DELAPAN HARI SAJA MENJADI ISTRIMU 9



 

"Langsung pulang dan tidur. Kalau butuh obat, semua ada di kotak obat dibawah tangga."  Ujar Mas Haris begitu aku masuk ke dalam taksi online. 


 

Aku mengangguk sambil pura-pura meringis. Dia bahkan tidak meminta maaf karena tidak pulang bersamaku. Mu-nafik, ma-nipulatif dan angkuh serta tukang selin-gkuh. Sungguh kombinasi yang sempurna. Aku menduga sikap overnya masalah kebersihan hanya topeng agar dia tak perlu melakukan kewajibanya sebagai suami. Buktinya dia mau berci-nta di tempat yang menji-jikkan.


 

Taksi yang ditumpangi melaju membelah malam. Kubuka kepalan tanganku yang tadi digenggam Salma tanpa terlihat oleh orang lain. Hanya secarik kertas. Tapi tunggu, sederet nomor ponsel tertera di sana. Aku menatap nomor itu dan memikirkan artinya. Apakah Salma ingin aku tahu lebih banyak lagi? Dapat kulihat tatapannya yang penuh arti begitu aku keluar dari to-ilet bersama Jenny.


 

Aku segera menyalin nomor itu ke dalam ponsel ku sendiri dan memberinya nama dengan inisial S. Aku belum mau menghubunginya karena aku belum mengenal dia. Jika dia sama saja dengan yang lain, yang membiarkan perselin-gkuhan di depan mata, apa beda dirinya dengan mereka?


 

"Pak, bisa saya minta antar ke toko elektronik sebentar? Tenang saja saya akan membayar dengan harga yang pantas." Ujarku saat mobil sudah menjauh dari restaurant yang merupakan bagian dari hotel bintang lima itu.


 

"Bisa saja Bu. Tapi nanti saya dikasih bintang lima ya bu."


 

Aku tersenyum. "Tenang saja pak. Dua ratus ribu lagi cukup?"


 

Setelah deal masalah harga, aku menuju toko elektronik terlengkap di kotaku, yang kebetulan tutup sampai jam dua belas setiap malamnya. Aku akan mencari kamera pengawas kecil, minimal alat penyadap suara. Tadinya terpikir untuk memasang CCTV, tapi Mas Haris bukan orang bodoh. Dia bisa dengan mudah menemukannya. Lagi pula aku tidak tahu kapan dia akan tiba di rumah.


 

Setelah membeli semua peralatan dan memahami cara memasangnya, aku kembali masuk ke dalam taksi online. Duduk di dalam mobil yang melaju ini sendirian, tanpa dapat dicegah, aku kembali mengingat semua hal yang terjadi antara aku dan dia. Mama, benarkah Mama tak tahu apapun tentang Mas Haris? Bukankah Mama yang memperkenalkan aku padanya? Dan oh, tentu saja, suatu saat nanti aku harus bertemu Mama mertuaku. Mereka semua harus tahu seperti apakah lelaki yang kunikahi ini. 


 

Di rumah, aku bekerja dengan cepat. Tak sia-sia suka mengamati Papa membenarkan segala perlengkapan di rumah. Memasang listrik, stop kontak sampai membetulkan barang elektronik sederhana biasa dilakukan sendiri oleh Papa. Akibatnya, aku tahu yang mana mur, dan mana baut. Mahir pula menggunakan obeng sampai tespen.


 

Tempat yang paling utama adalah dapur. Disanalah semua kerib-utan terjadi. Meski sesungguhnya aku tak tahan lagi ingin segera pergi dari rumah ini, tapi aku harus punya bukti kuat untuk mengajukan gugatan cerai. Atau kalau bisa pembatalan pernikahan. Aku membutuhkannya agar Mas Haris tak bisa lagi menipu Papa dan Mama.


 

Setelah selesai memasang alat penyadap di dekat stop kontak belakang kulkas, aku kembali ke kamar dengan perasaan letih. Tadi sempat terlintas dibenakku untuk langsung mendorong pintu to-ilet dan memergoki mereka. Lalu apa? Jika selama ini seluruh teman Mas Haris tahu dan diam saja, bukan tak mungkin saat itu pun tak akan ada yang membelaku. Dan dia dengan mudahnya akan kembali berlaku mani-pulatif di depan orang tuaku dan orang tuanya.


 

Hingga pukul satu dini hari dan mataku tak mampu lagi menahan kantuk, deru mobilnya tak juga kudengar. Bahkan, hingga aku membuka mata keesokan harinya, lelaki itu belum juga kembali.


 

***


 

"Apa maksudmu?"


 

Intan terbelalak mendengar cerita tentang nasib pernikahanku yang menyedihkan. Padahal tadinya dialah yang paling bersemangat mengingat aku mendapatkan calon suami standar tinggi. Ya, gelar wah, harta melimpah dan wajah menawan adalah kombinasi yang tak bisa kau jumpai sembarangan, meski kami heran diusianya yang nyaris kepala empat dia belum menikah juga. Kupikir tadinya dia terlalu sibuk bekerja hingga tak memikirkan wanita. Buktinya, dia menjalin hubungan dengan istri orang. Jadi apa tujuannya menikahiku?


 

"Aku ingin bercerai Intan. Tapi orang tua kami pasti tak akan terima begitu saja tanpa bukti kuat dariku. Sementara dia sangat pandai bersandiwara."


 

"Dan menurutmu kemana dia sekarang?"


 

Aku tersenyum getir. "Kemana lagi? Tentu sedang berada dalam pel-ukan Jenny."


 

Intan terdiam. Wajahnya tampak sangat prihatin.


 

"Jika aku belum ter-sentuh sama sekali, bisakah aku mengajukan pembatalan pernikahan?"


 

Intan mengangguk.


 

"Bisa, jika kau bisa membuktikan adanya pasal peni-puan dalam pernikahanmu."


 

Aku terdiam. Aku memang merasa tertipu oleh kebaikannya yang tampak dari permukaan. Tapi apakah itu bisa disebut penipuan? Dan jika aku mengajukan bukti bahwa dia berseli-ngkuh dengan rekan kerjanya, aku khawatir ini bukan hanya menghancurkannya. Tapi juga mencemari nama baik universitas tempatnya mengajar. Bagaimana pun aku tak rela tempat dimana seseorang menimba ilmu dicemari oleh perilaku be-jat orang yang harusnya menjadi panutan.


 

Aku pulang dengan perasaan sedikit lega setelah mengatakan semuanya pada Intan. Sedikit bebanku terangkat menyadari aku punya teman berbagi. Aku menyetir dengan santai, bahkan sempat mampir membeli beberapa perlengkapan. Ini adalah malam kedua Mas Haris tak pulang dan sudah enam hari aku menyandang status sebagai istri yang tak tersen-tuh.


 

Namun, tiba di rumah, aku dikejutkan oleh sosoknya yang duduk menunggu di ruang tamu. Aku tak melihat mobilnya sehingga tak tahu dia sudah ada di rumah.


 

"Dari mana saja kau Nadya?" 


 

Suaranya terdengar sangat dingin. Aku merad-ang. Bukankah seharusnya aku yang bertanya? 


 

"Aku keluar mencari udara segar."


 

"Kau belum minta izinku."


 

"Oh, aku lupa. Bukankah kau belum pernah memberikan nomor ponselmu padaku? Dan bukankah seharusnya aku yang bertanya kemana saja kau selama ini?"


 

Dia tampaknya tersadar. Seperti aku yang seketika itu juga sadar betapa anehnya hubungan kami. Suami istri yang tak saling tahu nomor ponsel masing-masing.


 

Mas Haris mende-sah. Dia terlihat lelah dan tak berminat berdebat denganku. Dia merogoh saku celananya dan meletakkan ponselnya di atas meja kecil di samping pintu kamar, dan tanpa kuduga, membuka seluruh pakaiannya hingga hanya tersisa pakaian dalam saja. 


 

Aku membuang pandang dengan jen-gah. 


 

"Bawa semua baju kotor ini ke belakang Nadya. Aku lelah sekali dan butuh tidur cukup lama. Bisa kau tak mengganggu?"


 

"With pleasure."


 

Dia lalu masuk dan mengunci pintu kamar dari dalam. Meninggalkanku dengan setumpuk pakaian kotor.


 

Dan ponselnya yang tertinggal di atas meja.


 

***




DELAPAN HARI SAJA MENJADI ISTRIMU 10



 

Aku yakin Tuhan bersama orang-orang yang terzolimi.


 

Ketika aku kesana kemari mencari cara mengumpulkan bukti kebejatan suamiku untuk diberikan pada orang tuaku, bukti itu datang dengan sendirinya. Ya. Aku hanya butuh bukti untuk kuberikan pada Papa dan Mama, dan juga untuk orang tuanya. Sementara Mas Haris, sungguh aku tak peduli lagi. Dia tahu dengan pasti apa kesalahannya.


 

Kutatap ponsel yang sejak dua jam lalu masih tergeletak manis di atas meja kecil di antara pintu kamarku dan kamarnya, dimana sebuah vas bunga berisi bunga kristal berdiri dengan anggun. Tak ada tanda-tanda pemiliknya hendak keluar mengambilnya. Mungkin saja dia kelelahan setelah berci-nta habis habisan dengan kekasih gelapnya itu. Benar benar gi-la. Jenny adalah perempuan bersuami. Apa yang dia pikirkan ketika menyerahkan tubuhnya pada lelaki lain?


 

Aku bersicepat dengan waktu. Kuraih ponselnya yang ternyata tidak dikunci. Mencari chat di aplikasi hijau. Tak ada yang mencurigakan. Semuanya berisi percakapan tentang pekerjaan. Namun saat membuka galery di ponselnya, aku terkejut luar biasa. Ada puluhan, bahkan mungkin ratusan foto mesra Mas Haris dengan Jenny. Bahkan beberapa diantaranya membuatku malu karena memamerkan aura-t mereka.


 

Dengan dada berdebar, aku memindahkan beberapa foto yang kuanggap paling mendukung. Lalu mengelap kembali ponselnya dengan tisu dan meletakkannya lagi di tempat semula. Setelah itu, aku kembali ke kamar, memejamkan mata sejenak menahan dadaku yang ses-ak. Aku sakit bukan karena merasa dikhia-nati. Sungguh, tak sedikitpun cinta tumbuh dihatiku untuknya. Belum. Tapi fakta bahwa dia telah memboh-ongiku dan seluruh keluargaku, adakah hal yang menyakitkan.


 

Aku tak tidur hingga pagi menjelang. Kukirimkan foto-foto itu pada Intan, berjaga jaga jika sesuatu terjadi, lalu aku menghapus semuanya dari galeri ponselku sendiri. Sikap Mas Haris yang seperti memiliki kepribadian ganda sungguh membuatku takut. Aku bahkan kerap membayangkan dia mendatangiku sambil mengac-ungkan pi-sau.


 

***


 

Suara ge-doran di pintu membuatku melompat bangun. Rasanya baru saja aku terlelap, dan kini sukmaku dipaksa kembali dengan cara yang ka-sar. Sambil membuka pintu, ku lirik jam di atas nakas. Sudah jam lima pagi dan ini adanya hari ketujuh aku menjadi istrinya. Apa yang dia lakukan di pagi seperti ini?


 

"Kenapa kau diam saja melihat ponselku kehabisan baterai Nadya?" Sem-burnya ketika aku membuka pintu.


 

Aku mengerutkan kening, mengumpulkan ingatan dan lalu teringat bahwa semalam Mas Haris meninggalkan ponselnya di atas meja kecil yang menempel di dinding samping pintu kamar. Ponsel itu kini ada di tangannya dan di acungkannya tinggi-tinggi.


 

"Aku tidak tahu Mas. Dan bukankah kau tak suka jika aku memegang barang-barangmu?"


 

Dia mengusap wajah dengan gu-sar.


 

"Si-al. Kenapa aku bisa kelelahan seperti ini." Desisnya kemudian sambil masuk lagi ke kamarnya dan memban-ting pintu.


 

Aku menghembuskan nafas lega, lalu kembali duduk di atas kasur, memeriksa ponsel. Pesan dari Intan rupanya masuk lima menit yang lalu.


 

(Ini sudah bisa jadi bukti bagimu menggugat cerai atau mengajukan pembatalan pernikahan.)


 

(Oke. Tolong simpan untukku In. Aku pasti akan membutuhkannya.)


 

(Sip. Kamu hati hati ya Nad. Sebaiknya kamu keluar dari rumah itu secepat mungkin. Jujur saja, aku khawatir denganmu.)


 

Aku melirik ke pintu, mende-sah lega menyadari aku telah menguncinya tadi. Segera kuhapus semua percakapanku dengan Intan. Kupasang telingaku baik-baik, mencoba mencari tahu apa yang dia lakukan diluar sana. Sunyi, sepi. Aku memutuskan untuk mandi besar sekaligus karena haid-ku baru saja selesai malam tadi.


 

Usai sholat, aku memakai pakaian yang ringkas dan mudah jika bergerak. Celana panjang berbahan lentur dan kaus lengan panjang, lalu melangkah ke dapur. Karena tak tahu apa yang ingin dia makan, kuputuskan untuk membuat makananku sendiri. Sambil menunggu air mendidih, aku memasukkan pakaian kot-or ke dalam mesin cuci. Baru saja hendak menekan tombol start, ketika kudengar suaranya di belakangku.


 

"Apa kau mencampur pakaianku dengan pakaianmu?"


 

Aku menoleh dan mengangguk. Matanya seketika melebar.


 

"Keluarkan pakaianmu. Dan rendam dulu semua bajuku dengan air panas sebelum dicuci. Pilih pengaturan warm water di mesin cuci itu. Paham?" 


 

Caranya bicara padaku seolah olah aku adalah mahasiswanya di kampus. Dasar muna-fik, kau bahkan bercin-ta dengan selin-gkuhanmu di dalam toilet.


 

Tanpa kata-kata, aku melakukan apa yang dia perintahkan. Lalu kembali ke kompor dan melihat bahwa air sudah mendidih. Aku mengambil cangkir khusus miliknya, yang selalu disteril dan dipisahkan dengan gelas lain, hendak membuatkannya kopi, ketika kudengar suaranya lagi.


 

"Tak udah Nadya. Aku harus berangkat ke Palembang pagi ini. Ada seminar di sana. Besok pagi aku pulang dan ingat, aku tak mau menemui rumah dalam keadaan kosong lagi."


 

Dia kembali menjadi lelaki misterius setelah sandiwara-nya di depan seluruh teman temannya selesai. Aku menatap punggungnya yang berbalik menuju kamar. Baru kusadari dia telah berpakaian rapi dan siap berangkat. Tak lama, Mas Haris keluar lagi sambil menenteng tas laptopnya dan pergi begitu saja tanpa menoleh, apalagi pamit padaku.


 

Aku adalah hiasan di rumah ini, dan hanya menjadi alat nya pamer dan unjuk kekuasaan. Dia sengaja memamerkan dan menunjukkan pada teman temannya tempo hari, bahwa dia telah menikah dengan perempuan baik-baik, sesuai status sosialnya, meski selama ini menjalin hubungan terlar-ang dengan istri orang. Dia merasa berkuasa meraih apapun yang dia inginkan.


 

Ketika deru mobilnya terdengar menjauh, aku menghembuskan nafas lega. Hari ini, mungkin aku bisa beristirahat dengan tenang setelah semalaman tidak tidur.


 

***


 

Rumah tanpa dirinya ternyata terasa lebih menenangkan, meski tetap saja aku tak betah tinggal di rumah ini.


 

Mas Haris menepati janjinya pulang pagi-pagi sekali. Namun, begitu kami bertemu di dapur, dia langsung menceng-kram tanganku, melupakan bahwa dia biasanya tak mau menyentuhku.


 

"Apa yang kau lakukan dengan ponselku kemarin Nadya?"


 

Gelas kopi yang ada di tanganku tumpah akibat guncangan tangannya di tubuhku.


 

"Aku tidak melakukan  apa-apa."


 

"Jangan bohong! Kau pikir aku demikian bodoh sehingga tak tahu bahwa ponselku pernah dibuka orang selain aku?" Mas Haris mendor-ongku hingga bersandar ke tembok dapur.


 

"Apa kau begitu takut jika aku melihat ponselmu? Apa kau menyembunyikan sesuatu disana?"


 

"Apa maksudmu?"


 

"Apa maksudku?!" Aku menyentak tangannya dengan keras hingga gelas kopi di tanganku terjatuh, pec-ah dan isinya berhamburan kemana mana. Mas Haris melompat menjauh menghindari percikan kopi. 


 

Sepertinya saatnya telah tiba. Aku tak mungkin menunggu lebih lama lagi.


 

"Aku sudah tahu semuanya Mas. Yang aku tidak tahu hanyalah alasanmu menikahiku."


 

"Kau tahu apa? Katakan kau tahu apa?!"


 

"Semuanya! Termasuk perseling-kuhanmu dengan Jenny!"


 

Mas Haris terdiam cukup lama, dan di luar dugaanku, dia tertawa.


 

"Baguslah jika kau sudah tahu. Aku tak perlu bersandiwara lagi. Tapi ingat Nadya, tak ada yang boleh berubah di antara kita. Di atas kertas dan di depan banyak orang, kaulah istriku. Dan jangan coba-coba melarangku berhubungan dengan Jenny. Dia kekasihku sejak lama. Tak ada yang boleh memisahkan kami."


 

"Jadi kau menikahiku untuk menjadi topeng bagi kebej-atanmu?"


 

"Hey, jangan bicara ka-sar padaku. Aku tidak suka. Anggap saja kita sedang melakukan simbiosis mutualisme. Dan sekarang kemarikan ponselmu. Aku harus memeriksanya."


 

"Tidak ada apapun di ponselku."


 

"Kemarikan Nadya! Sekarang!" Bent-aknya sambil merampas ponsel dari saku celana yang kupakai. Mas Haris lalu memeriksanya dan ketika tak menemukan apapun, dia memb-anting ponsel itu sekuat tenaga ke lantai.


 

Aku tercekat sejenak. Kami kembali saling bertatapan. Aku menghela nafas, berusaha menenangkan diri. Kupungut ponselku di atas lantai yang entah bagaimana keadaannya dan memasukkannya kembali ke dalam saku celana. Dengan langkah tenang aku mengambil cangkir kesayangannya yang selalu disterilkan dan diletakkan di tempat khusus dalam lemari, membuat kopi yang baru dan meneguknya tepat di depan matanya.


 

Mas Haris membelal-akkan mata. Aku tahu dia sebentar lagi akan mele-dak karena tak seorangpun boleh menggunakan cangkir itu.


 

"Nadya!"


 

Aku mengacungkan cangkir itu ke wajahnya.


 

"Apa? Kau mau mar-ah karena cangkirmu kupakai?" Aku mendekat, kembali memangkas jarak dan berdiri tepat di hadapannya. Semua rasa tak-ut di hatiku menguap entah kemana.


 

"Haris Pradana. OCD pa-lsu yang bersembunyi di balik gelar mentereng dan penampilan alim. Kau bertingkah seolah pemuja kebersihan, tapi bercint-a dengan selingk-uhanmu di toilet? Menjij-ikan. Catat baik baik. Ini adalah hari ke delapan namaku tercatat menjadi istrimu. Tapi cukup delapan hari saja. Aku tak akan menunggu sampai kau mengucapkan talak. Aku yang akan menggugatmu. Sampai bertemu di pengadilan."


 

***






 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya DELAPAN HARI SAJA MENJADI ISTRIMU (11-20)
2
2
Rahasia Haris mulai terungkap!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan