
Kiran, anak sambung ku yang menjelang remaja, awalnya kuanggap sebagai duri dalam rumah tanggaku. Ternyata dia hanyalah seorang anak yang butuh lebih banyak perhatian dan kasih sayang
CHAT WA ANAK TIRIKU 1
—-
(Pah, besok Kiran minta uang dua juta ya. Mau ganti HP. Yang ini sudah ketinggalan zaman.)
Aku terbelalak membaca chat WA dari Kiran, anak tiriku yang ikut Ibu kandungnya. Aku memang menikah dengan duda cerai beranak satu. Kiran, anak suamiku dari pernikahannya yang pertama sekarang kelas tiga SMP. Dia sering kali mengirimkan pesan pada ayahnya meminta ini dan itu. Aku sebenarnya tak keberatan asal saja yang dia minta itu kebutuhan krusial.
"Siapa, Dek?"
Mas Aris mengambil ponselnya dari tanganku. Wajahnya berubah tak enak ketika dia membaca pesan dari Kiran.
"Bukankah HP nya baru diganti tiga bulan yang lalu?"
"Emm… ya begitulah anak-anak. Selalu mengikuti perkembangan zaman…" Suaranya menggantung.
"Kamu gak akan menuruti kemauannya kan?"
Mas Aris menggaruk-garuk kepalanya yang kutahu tidak gatal.
"Coba besok kulihat saldo rekening. Kalau cukup…"
"Mas!"
Mas Aris mendongak, menatapku.
"Jangan terlalu memanjakannya. Hp Kiran itu masih sangat layak pakai. Serinya juga masih baru. Dia baru ganti tiga bulan lalu. Dan ingat, Minggu kemarin aku baru saja transfer karena dia minta jam tangan baru."
"Kamu kok jadi perhitungan sama anakku?"
Nada suara Mas Aris mulai defensif. Aku menghela nafas lelah. Dia selalu begitu setiap kali aku protes akan sikapnya yang terlalu memanjakan Kiran.
"Aku bukan perhitungan. Tapi cobalah mulai mengajarkan anakmu membuat prioritas. Ingat Mas, tidak selamanya kita punya uang banyak."
Aku meninggalkan Mas Aris sendiri di kamar. Lalu duduk di kursi makan, meneguk segelas besar air putih untuk menenangkan hatiku.
Ingatanku melayang ke masa tiga tahun lalu, saat Mas Aris pertama sekali memperkenalkan Kiran dua bulan menjelang pernikahan kami.
"Freya, ini Kiran anakku."
Aku menatap gadis remaja itu sambil tersenyum. Dia seorang gadis yang manis dengan rambut hitam lurus panjang nyaris menyentuh pinggang. Aku mengulurkan tangan hendak mengajaknya bersalaman.
"Hai cantik. Nama Tante Freya."
Tapi yang terjadi kemudian membuatku mengelus dada. Kiran menepis tanganku, lalu menatapku dengan sorot mata memusuhi.
"Kenapa Tante merebut Papa dari Mamaku?"
Aku menarik tangan ku, lalu melemparkan pandangan pada Mas Aris yang salah tingkah. Kulihat calon suamiku itu menarik lengan Kiran perlahan.
"Kiran, Tante Freya tidak merebut Papa. Dia…"
"Memang apa namanya? Papa meninggalkan Mama dan akan menikah dengannya kan?"
"Papa dan Mama berpisah sudah lama, Nak. Jauh sebelum Papa bertemu Tante Freya."
"Terserahlah. Yang jelas, aku tak mau Mama yang lain selain Mamaku."
Gadis kecil itu lalu berlari meninggalkan kami, mengabaikan hidangan di atas meja yang telah kumasak khusus untuk hari ini. Mas Aris menatap ku sekilas dengan pandangan memohon maaf, lalu berlari mengejar Kiran.
Peristiwa itu lalu membuatku berpikir ulang untuk menikah dengan Mas Aris. Penolakan Kiran atas diriku terus menghantui.
"Mas, aku ingin membatalkan pernikahan kita."
Mas Aris terkejut menatapku.
"Loh, gak bisa gitu, Dek. Undangan sudah selesai dicetak dan tinggal disebar. Semua sudah siap."
"Tapi aku tak bisa menikah denganmu sementara anakmu memusuhiku."
Mas Aris menghela nafas panjang.
"Ini hanya sementara. Sabarlah. Kiran pasti akan menerimamu setelah dia tahu betapa baik hati dan penyayang nya dirimu."
"Tidak Mas. Itu tidak cukup. Kau berpisah dengan Mbak Rindi 5 tahun yang lalu. Kau tidak tahu bagaimana mantan istrimu mendoktrin Kiran. Aku tak mau ada duri dalam rumah tanggaku kelak."
"Aku akan membujuk Kiran. Tenanglah dulu. Lagipula, Kiran akan tetap tinggal bersama Mamanya."
Aku membuang pandang.
"Aku akan berpikir ulang. Mumpung kita belum menikah. Aku tak mau ada penyesalan nantinya."
Aku meninggalkan Mas Aris yang tertegun mendengar kalimatku. Besoknya, dia datang ke rumah bersama Mamanya. Membujukku, dan terutama meminta Ibu memberiku pengertian.
"Freya, Mama akan memastikan Rindi tidak mengganggu rumah tangga kalian kelak. Masalah Kiran, bukankah dia masih anak anak? Kita akan bersama sama mendidiknya." Ujar Mama Mas Aris.
Ibu mengangguk.
"Benar, Nak. Ibu yakin kamu mampu membuat Kiran menyayangimu."
Belum menikah saja beban berat terasa dihempaskan di atas pundakku. Aku terdiam dan nyaris meyerah, seandainya saja Mas Aris tidak mengatakan kalimat itu.
"Bagaimana aku bisa hidup tanpamu? Aku tidak akan menikah seumur hidup jika tidak denganmu."
Ah, harusnya aku teguh pada pendirianku. Nyatanya setelah nyaris 3 tahun usia pernikahan kami, Kiran tak kunjung berubah. Berbagai usahaku mendekatinya selalu berbuah penolakan.
"Ibu tiri itu dimana mana sama saja. Hanya menginginkan uang Papaku."
Aku tak tahu dari mana dia mendapat kalimat jahat seperti itu. Aku mulai menyerah, membiarkan saja sikapnya. Mungkin suatu saat dia akan menyadari ketulusanku. Tapi kemudian chat WA nya seringkali datang, meminta ini dan itu. Baru kusadari gaya hidupnya sangat tinggi.
Ponsel keluaran terbaru. Laptop. Jam tangan digital mahal. Sepatu. Tas. Tambahan uang saku. Biaya tour. Dan itu nyaris tanpa jeda. Bahkan gaji Mas Aris setiap bulannya terkuras hanya untuk memenuhi keinginan anaknya.
Ponselku bergetar. Sebuah pesan WA dari Rindi membuatku makin geram.
'Freya, kau melarang Mas Aris membelikan Kiran ponsel baru ya? Ingat Kiran itu anaknya. Jangan berani berani melakukan itu.'
***
"Anak Mama hebat." Seruku gembira ketika menyuapkan nasi terakhir di piring Kalila. Anak kecil berusia dua tahun itu bertepuk tangan gembira mendengar pujian ku. Kuturunkan Kalila dari atas kursi makan, mencuci tangannya dan memberikannya pada Mbak Tia, pengasuh yang akan menjaganya selama aku di kantor.
"Dek, Mas minta tambahan uang boleh?"
Tanya Mas Aris yang sejak tadi duduk diam sambil menikmati sarapannya. Kalila sudah dibawa Tia ke teras belakang. Aku menatap Mas Aris.
"Untuk apa, Mas? Ini sudah akhir bulan. Uang belanja darimu sudah menipis. Bukankah Mas masih punya saldo sisa?"
"Bukan untukku. Ini untuk… Kiran…"
Aku tertegun. Mas Aris rupanya tetap tak bisa tegas di hadapan anaknya itu.
"Mas mau menuruti keinginannya?"
"Kasian Kiran dek, kami berpisah ketika dia masih kecil. Dia kekurangan kasih sayang dariku. Hanya dengan cara ini aku menebusnya."
"Tapi perpisahan kalian bukan salahku." Cetusku.
"Tentu saja." Ujar Mas Aris cepat. "Tolonglah, Dek. Sekali ini saja. Nanti aku akan memberikan pengertian untuknya."
Aku menghela nafas.
"Kalau begitu biar aku yang menemui Kiran."
"Kau akan membelikannya ponsel kan?"
"Tergantung, Mas. Aku ingin melihat sikapnya. Sudah lama aku tak bertemu Kiran. Berangkatlah, serahkan urusan ini padaku."
Mas Aris tersenyum, bangkit mengecup keningku sebelum berangkat ke kantornya. Aku menghela nafas, mungkin sudah saatnya aku turun tangan.
***
Gadis remaja ini ternyata belum berubah. Tatapannya masih sarat permusuhan. Wajah manisnya terlihat judes sekali. Aku tersenyum, menyorongkan mangkuk es krim ke hadapannya.
"Aku gak mau es krim Tante. Kata Papa Tante yang akan membelikanku ponsel baru."
Aku meneguh es lemon tea milikku perlahan. Meletakkan gelas, lalu menatapnya.
"Dengar ya Kiran. Ada yang namanya skala prioritas. Kita harus tahu mana yang harus di dahulukan. Tante akan membelikanmu buku buku dan peralatan yang menunjang pelajaranmu. Tapi tidak dengan barang yang hanya menjadi gaya hidup."
Aku memberi jeda pada kalimatku. Membiarkan dia mencernanya. Kulihat wajahnya merengut kesal.
"Kau sudah cukup besar untuk mengerti. Lagipula, bukankah ponselmu itu masih baru?"
Dia berdiri, lalu menghentakkan kaki.
"Kenapa Tante gak bilang kalau gak mau beliin aku hape? Aku kesini bukan untuk makan es krim!" Serunya. Lalu berlari keluar kedai es krim. Aku mengejarnya setelah meninggalkan selembar uang seratus ribu di atas meja.
Di parkiran, dia berdiri diam, merajuk. Aku menggamit tangannya. Membawanya masuk ke dalam mobil.
"Jad Tante memang gak mau beliin aku hape ya?"
Aku tersenyum.
"Tante akan belikan nanti, jika kamu memang sudah butuh ganti hape baru."
Kiran tiba tiba saja membuka kaca jendela mobil, lalu melempar ponsel yang sejak tadi digenggamnya ke luar. Ponsel itu terhempas ke atas tanah beralas paving blok yang keras. Aku tersentak kaget.
"Sekarang aku sudah butuh hape baru." Senyumnya.
***
CHAT WA ANAK TIRIKU 2
___
Aku melangkah memasuki Pusat penjualan dan service center ponsel terlengkap di kota ini. Di sebelahku, Kiran berjalan sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Aku berhenti di toko langganan ku. Cik Mey pemilik toko menyambutku antusias.
"Freya, cari hape baru?"
Aku tersenyum. Lalu mengeluarkan ponsel Kiran yang tadi dibantingnya. Ponsel itu mati total, layarnya retak karena kerasnya saat membentur tanah.
"Bisa benerin hape ini, Cik?"
Cik Mey memanggil karyawannya, menyuruhnya memeriksa hape Kiran.
"Loh, Tante. Aku mau hape baru. Aku ga mau hape rusak itu." Protes Kiran.
Aku menoleh, tersenyum padanya.
"Hape rusak itu tadi masih bagus dan masih baru juga. Kau yang membantingnya."
"Haiyyaaaa… dibanting?" Cik Mey menatapku heran. Aku tertawa.
"Anakku ini sedang merajuk, Cik. Lalu dibantingnya ponsel itu. Jadi gimana bisa dibetulkan gak?"
Cik Mey menoleh ke arah teknisi yang sedang memeriksa ponsel Kiran.
"Gimana, Dit? Bisa gak?"
Si teknisi mengangguk.
"Bisa. Tapi agak lama ya. Barangnya indent ini. Semingguan lah."
Aku mengangguk.
"Gak apa apa, Cik. Seminggu." Dia lalu menoleh ke arah Kiran. "Ayo kita pulang."
"Hapeku gimana, Tante?"
"Kamu gak dengar kata Om nya tadi? Tunggu seminggu lagi nanti kita ambil."
"Apa? Terus aku pakai hape apa?"
Aku menarik tangan Kiran dengan lembut, lalu pamit pada Cik Mey yang menyimak percakapan kami.
"Di rumah ada hape lama Tante. Kebetulan gak dipakai."
Kiran menghentikan langkahnya. Dia melotot menatapku dengan airmata yang siap meluncur.
"Tante nyuruh aku pake hape jadul? Aku gak mau!" Jeritnya kesal. Air matanya jatuh lalu segera diusapnya dengan kasar.
"Aku akan bilang Papa!" Serunya sambil berjalan dengan cepat ke parkiran. Aku menghela nafas. Sabar Fe, sabar. Kamu pasti bisa.
Kiran menungguku di parkiran, bersandar di mobil dengan wajah di lipat. Dia tak mau menoleh sama sekali ke arahku. Sesampainya di rumah, dia langsung masuk kamar yang memang kusediakan untuknya jika dia menginap di rumah ini. Tak dipedulikannya Kalila yang berseru gembira lalu memanggil kakaknya dengan suara cadel yang lucu.
Aku meletakkan tasku di kamar, lalu mencuci tangan sebelum meraih Kalila dalam gendonganku.
"Anak Mama baik tidak hari ini ya?" Aku mencium pipinya yang gembil dengan gemas.
Kalila mengangguk angguk kencang.
"Tata… tata…" Dia menoleh ke kamar Kiran, memanggil Kakaknya.
"Kakak sedang capek. Kalila main sendiri dulu ya."
Gadis kecil itu mengangguk, lalu merosot turun dari gendonganku dan mulai mengejar ngejar Cimol, kucing kecil yang menjadi teman bermainnya. Aku tersenyum, melangkah ke kamar Kiran dan meletakkan ponsel lama yang kujanjikan tadi di atas nakas. Anak itu hanya melirik degan kesal. Dia bahkan belum membuka sepatunya saat berbaring di atas kasur.
"Kamu bisa pakai ini dulu sementara sampai hapemu betul. Ini SIM card nya sudah Tante pindahkan."
"Aku gak mau! Aku akan minta Papa belikan hape baru malam ini juga!"
"Kita lihat apa jawaban Papamu."
"Tante jahat! Pasti Tante melarang Papa membelikanku hape baru kan? Dia itu Papaku. Uangnya adalah milikku. Tante tidak berhak melarang larang!" Nada suaranya terus meninggi.
Aku mendekatinya, menatap lekat lekat ke matanya.
"Papamu itu suami Tante. Dia punya kewajiban memberi nafkah pada Tante dan Kalila, selain padamu. Uangnya tidak banyak. Jangan selalu meminta sesuatu yang berlebihan."
"Aku hanya minta hape! Aku tidak punya hape sekarang!"
"Salahmu sendiri membanting hapemu yang masih sangat bagus itu. Dengar ya. Kau tidak akan mendapat hape baru. Tunggulah sampai hapemu tadi selesai dibetulkan."
Aku meninggalkannya, dari sudut mata kulihat dia meraih hape yang tadi kuletakkan di atas nakas. Dia mengangkat ponsel itu, bersiap membantingnya… lagi… aku menghentikan langkah.
"Kalau kau berani membanting ponsel itu lagi, hp mu di konter tadi tidak akan Tante tebus."
Kulihat Kiran mendengus kesal, lalu membanting tubuhnya di atas kasur. Ponsel itu masih dalam genggamannya.
"Satu lagi, buka sepatumu kalau mau naik ke atas tempat tidur. Tante tidak suka gadis yang jorok."
Aku keluar, menutup pintu dan bersandar dengan perasaan lelah. Apa sebenarnya yang kucari dengan melakukan ini? Bukankah lebih mudah membiarkan saja Mas Aris mengurus Kiran sendiri? Tapi hati kecilku mengatakan bahwa aku tak bisa lepas tangan. Anak ini mulai menunjukkan tabiat yang tidak baik. Jika saja aku punya kesempatan untuk merubahnya, akan kulakukan.
***
"Tante Freya ternyata tidak membelikan ku ponsel baru, Pah. Dia malah hanya membetulkan hapeku, lalu memberiku ponsel jadul ini untuk dipakai."
Kiran mencuri start, mengadu pada Papanya bahkan saat makan malam belum dimulai. Aku melirik Mas Aris yang meletakkan lagi sendoknya di atas piring, bergantian menatapku dan Kiran.
"Memangnya kenapa hapemu harus diservis? Bukankah hape itu baru 3 bulan lalu Papa belikan?"
"Itu, eh… " Kiran gugup, dia melirikku. Aku diam saja, ingin tahu apakah dia berani berbohong atau tidak. Sementara Mas Aris menatap Kiran lekat, menunggu jawaban.
"Aku… menjatuhkannya di parkiran tadi." Suaranya pelan. Aku mengangkat kepala. Jatuh katanya?
Mas Aris mendesah. Dia mulai meraih sendoknya.
"Kau yakin hapemu jatuh, Kiran?" Tanyaku.
Kiran menatapku dengan wajah merah padam. Dia bersiap siap menangis lagi. Senjata andalannya.
"Ada apa sebenarnya?" Tanya Mas Aris.
Aku menatap gadis remaja itu, "Sebaiknya kau ceritakan yang sebenarnya. Berbohong itu tidak baik."
Kiran menunduk, mengaduk aduk makanan di piringnya dengan gelisah.
"Kiran…"
"Aku… aku… membanting ponselku ke parkiran." Suaranya lebih menyerupai bisikan.
Mas Aris meletakkan lagi sendoknya, terbelelak menatap anak gadisnya itu.
"Apa?!"
"Habisnya Tante Freya tak mau membelikanku hape!" Serunya.
Mas Aris kini beralih menatapku. Kuberikan sepotong ayam goreng pada Kalila, agar dia bisa makan sendiri. Kubalas tatapan Mas Aris.
"Mas tahu hape Kiran masih sangat bagus. Usianya baru 3 bulan. Apakah bijak membelikannya ponsel baru lagi? Kiran membantingnya agar hape itu rusak sehingga dia punya alasan untuk meminta yang baru. Ckckck… itu tidak baik, Kiran."
Mas Aris terdiam. Sementara Kiran merengut kesal. Dia menatap Papanya, meminta pembelaan.
"Pokoknya aku mau hape baru malam ini juga, Pa!" Serunya tanpa peduli ucapanku tadi.
"Maaf, Nak. Kali ini Tante Freya benar." Suara Mas Aris terdengar berat.
Kiran terbelalak. Dia memandangku dengan tatapannya yang biasa. Judes dan menghakimi.
"Aku tidak keberatan membelikanmu buku, atau perlengkapan sekolah yang memang dibutuhkanr. Tapi ganti ganti ponsel hanya agar terlihat mengikuti trend itu sangat salah. Meski aku punya uang sekalipun, aku tak akan menurutinya. Tunggulah sampai hapemu selesai diservis."
"Tante memang jahat! Aku sudah tahu sejak dulu kalau Tante jahat!" Seru Kiran lalu berlari ke kamarnya.
Mas Aris menghela nafas. Aku menatapnya, mencari celah dimatanya barangkali dia mau menyalahkanku. Bagaimana mungkin? Selama ini aku tak pernah melarangnya memberi apapun untuk Kiran. Bahkan uang bulananan untuknya saja nyaris sama dengan uang bulananku. Tapi kali ini Kiran sungguh keterlaluan. Sudah saatnya dia diajarkan kenyataan hidup yang sesungguhnya.
Ponselku berdering, beberapa kali menjerit jerit seakan mendesak harus segera diangkat. Aku bergegas menuju kamar tempatku menyimpan ponsel. Biasanya aku tak mau mengangkat telepon saat sedang makan, dan biasanya si penelpon sudah mengerti. Dia akan berhenti sampai aku ganti menghubunginya. Tapi kali ini suaranya benar benar mengganggu.
"Halo?"
"FE! FREYA!"
Aku berjengit mendengar suara teriakan itu. Lekas kujatuhkan telingaku dari speaker ponsel. Itu suara Mbak Rindi.
"KAU ITU BENAR BENAR TERLALU YA! Mana ponsel baru Kiran? Mas Aris berjanji akan membelikannya. Tapi kau malah memberinya hape bekas. Jangan berani berani menghina anakku!"
***
CHAT WA ANAK TIRIKU 3
________
"Jangan teriak teriak, Mbak Rindi. Pendengaran ku masih sangat bagus." Ujarku tenang.
"Belikan Kiran hape sekarang juga! Jangan sampai dia menangis dan ngambek karena gak punya hape!"
"Tidak, Mbak. HP Kiran rusak karena sengaja dia banting. Kita tunggu saja sampai selesai diservis."
"Apa? Astaga kau ini… mana Mas Aris?"
"Mas Aris sedang makan. Maaf ya Mbak tolong jangan diganggu. Nanti dia keselek."
Aku menutup telepon sepihak. Kupingku rasanya berdenging mendengar suaranya di telepon berteriak seperti itu. Kuletakkan kembali ponselku di atas nakas dalam mode silent. Karena aku tahu Mbak Rindi akan terus menghubungi kalau tak puas dengan jawabanku.
Di meja makan, Mas Aris sudah menyelesaikan makan malamnya dan sedang membantu Kalila minum. Diangkatnya tubuh mungil itu menuju wastafel, mencuci tangannya dengan sabun, lalu menyerahkan Kalila padaku.
"Mas bicara sama Kiran dulu ya, Dek." Ujarnya.
"Aku bukan jahat, Mas. Kau tahu bagaimana aku. Tapi kita harus mulai mendidik Kiran dengan benar sebelum terlambat dan kita menyesal."
Mas Aris mengangguk dan melangkah ke kamar Kiran. Sepertinya dia lupa bertanya siapa yang meneleponku tadi. Ah, biarlah. Aku bisa mengatasi Mbak Rindi sendiri. Kubereskan meja makan seadanya sambil menggendong Kalila yang mulai mengantuk.
"Anak Mama ayo kita tidur." Aku mencium rambut ikalnya yang lebat sambil berjalan menuju kamar.
"Kenapa sih Papa harus menikah sama Tante Freya? Kenapa Papa tidak baikan saja sama Mama?"
Kudengar suara Kiran dari dalam kamar ketika aku lewat melintasi kamarnya. Aku terdiam. Terasa ada yang mencubit hatiku mendengar pertanyaan Kiran.
"Papa tidak bisa kembali sama Mamamu, Nak. Ada hal hal yang belum bisa Papa jelaskan. Kelak kau akan mengerti."
"Tapi Tante Freya jahat! Banyak banget larangannya. Kalau Mama selalu membebaskan aku mau apa saja."
"Tante Freya tidak jahat. Dia hanya tegas. Percayalah kami ingin yang terbaik untukmu."
"Bohong! Pa, hapeku gimana?" Dia merajuk lagi.
"Kata Tante Freya kan Minggu depan baru bisa diambil."
"Bukan yang itu. Aku mau yang baru, Pa!"
"Tidak bisa, Nak. Pakailah dulu hp ini sementara ya."
"Papa!"
…
Aku menghela nafas, lalu melanjutkan langkah menuju kamarku sendiri. Meletakkan Kalila di atas kasur. Ingatanku melayang pada pertemuanku dengan Mbak Rindi pertama kali setelah seminggu aku resmi menjadi istri Mas Aris.
"Jangan larang Mas Aris kasih uang ke Kiran ya Fe. Ingat Kiran itu masih tanggung jawabnya."
Perasaan tak enak menelusup hatiku kala itu. Aku seorang gadis lajang, nekat menikahi duda beranak satu. Usia kami terpaut 10 tahun. Sifat Mas Aris yang ngemong dan sabar menungguku yang membuatku jatuh hati. Selain Kenyataan dia rajin beribadah dan suara merdunya saat mengaji yang tak sengaja kudengar ketika sedang di mushola. Kantor kami bersebelahan dengan mushola yang dipakai bersama.
"Mbak tenang saja. Mas Aris gak akan melupakan Kiran."
Mbak Rindi menatapku dengan pandangan tak bersahabat. Dia belum menikah lagi setelah bercerai dengan Mas Aris. Tapi gandengannya banyak. Dia tak mau terikat lagi katanya.
Aku tak tahu alasan pasti mereka bercerai. Mas Aris hanya bilang mereka tak cocok lagi. Akupun tak merasa perlu menggali lebih dalam. Menduda selama 4 tahun cukup meyakinkanku kalau dia bukan orang yang sembarangan mengumbar cinta.
"Dek, sudah tidur?"
Mas Aris masuk kamar, memelukku.
"Maafkan aku, Mas. Aku cuma tak ingin Kiran menjadi manja dan mengira kita bisa selalu menuruti keinginannya." Bisikku.
Mas Aris mengangguk. Mengusap usap rambutku.
"Tak apa apa. Kau benar. Kiran sudah cukup besar untuk mengerti."
Aku tersenyum lega. Di balik sikap tegas ku, sungguh aku tak mau ada keributan di dalam rumah tanggaku. Jika Mas Aris sejalan denganku dalam mendidik Kiran, mungkin saja kami bisa merubahnya sedikit demi sedikit.
***
Pagi pagi sekali, Kiran sudah bersiap pulang. Dia mengenakan jeans biru muda dan kaus putih lengan panjang. Manis sekali. Ah, seandainya saja sifatnya semanis wajahnya, tentu rasa sayang dihatiku untuknya akan segera tumbuh. Saat ini, aku hanya merasa, mendidiknya adalah kewajibanku juga sebagai istri Mas Aris. Tapi aku masih punya harapan. Dia baru 14 tahun. Dulu aku pernah meminta Kiran tinggal bersama kami, tapi Mbak Rindi menolak mentah mentah.
"Setelah mengambil Mas Aris, kau mau mengambil anakku juga?"
Astaga. Padahal aku mengenal Mas Aris lama setelah mereka bercerai. Kalau menuruti emosi rasanya ingin kutampar bibirnya. Tapi aku bukan perempuan bar bar yang membalas kalimat tajam dengan tangan.
"Sarapan dulu ya, Tante sudah buatkan nasi goreng sosis kesukaanmu."
Kiran tak menjawab. Diraihnya piring berisi nasi goreng yang kusodorkan, masih dengan muka ditekuk. Dia sama sekali tak tertarik melihat Kalila yang lucu meminum susu dari gelasnya, membentuk kumis di atas bibirnya. Mas Aris mengamati kedua anaknya.
"Kau benar benar tak bisa ikut mengantar Kiran, Dek?"
Aku menggeleng.
"Maaf, Mas. Aku harus menyelesaikan laporan akhir bulan. Besok sudah tanggal 30."
Mas Aris mengangguk.
"Baiklah kalau begitu."
"Sampaikan saja ke Mbak Rindi, aku akan mengantarkan hape Kiran kalau sudah selesai nanti."
Kiran melirikku dengan sebal. Dia meyudahi makanannya tanpa dihabiskan. Salah satu kebiasaan buruknya. Padahal porsi nasi goreng itu selalu aku kurangi karena dia kerap menyisakan makanan di piringnya. Tapi tetap saja tak habis. Dan anehnya sisanya hanya sesendok. Sepertinya itu memang kebiasaannya saja.
"Ayo, Pa. Kiran kangen Mama. Papa juga kan?"
Suaranya menusuk, sengaja berusaha menyakitiku. Aku hanya tertawa.
"Papa dan Mamamu sudah gak boleh kangen kangenan. Karena sudah ada Tante."
Bibir Kiran melengkung ke bawah. Kesal, dia pergi ke depan sambil menghentakkan kaki.
Mas Aris mengangguk, mencuci tangan lalu pamit padaku dan Kalila. Kiran menunggu di teras sambil memakai sepatunya. Dia bergegas menuju mobil Mas Aris yang sedang dipanaskan.
"Kiran, pamit dulu sama Tante!" Seru Mas Aris. Kiran hanya melengos, lalu naik ke mobil tanpa menoleh lagi. Aku menyorongkan sekantung cemilan kesukaan Kiran yang kubeli kemarin.
"Bilang Kiran jangan manyun terus ya, Mas. Nanti cantiknya ilang."
Mas Aris tertawa. Dia mencium Kalila dan mengusap rambutku. Dapat kurasakan besarnya kasih sayangnya pada kami. Hanya saja, dia punya Kiran, yang juga butuh perhatian. Aku tak masalah dengan itu andai saja gaya hidupnya tidak Hedon. sesungguhnya aku kasihan pada Kiran. Anak broken home sepertinya memiliki cara sendiri untuk berontak dan mendapat perhatian. Dan ini adalah cara yang dipilihnya. Tinggal bagaimanakah kami menghadapinya nanti.
15 panggilan tak terjawab dari Mbak Rindi memenuhi layar ponsel yang baru kutengok lagi sejak semalam. Aku tersenyum, mengetikkan sebuah pesan untuknya.
"Kiran anak yang manis. Jangan biarkan hatinya ternoda oleh ajaran sesat. Mbak tak mau menyesal di kemudian hari kan?"
***
CHAT WA ANAK TIRIKU 4
Seperti biasa, satu kalimat dariku akan dibalas dengan berkali kali lipat. Selain hobi mengetik kalimat ma-kian yang panjang panjang, ia juga merekam voice note untuk lebih menekankan maksudnya. Aku memilih mengabaikan pesan pesan bernada emosi dari Mbak Rindi. Liburku hanya 1 kali seminggu, Sabtu aku masih harus masuk setengah hari. Tak akan kubiarkan dia merusak hari Mingguku yang seharusnya tenang.
Aku membawa Kalila ke kamar bermain sekaligus ruang kerjaku dan Mas Aris yang sesekali kami pakai jika harus membuat laporan bulanan. Posisiku sebagai manager keuangan perusahaan properti membuatku harus detail dan teliti membuat laporan yang penuh angka itu. Kutumpahkan mainan Kiran di atas karpet tebal di pojok ruangan. Boneka, Lego, dan dan mainan lainnya, tak lupa Cimol kuajak serta agar Kalila anteng. Hari Minggu ini Mbak Tia pengasuhnya libur.
Layar laptopku mulai menyala. Menampilkan foto kami berempat sebagai wallpaper. Aku memangku Kalila yang masih bayi dan Kiran bersandar di sebelah Mas Aris. Tanpa senyum seperti biasa. Masih kuingat bagaimana susahnya aku mengajak Kiran untuk berfoto waktu itu.
"Ah, buat apa sih? Norak banget."
"Buat kenang kenangan. Juga buat dipandang kalo Tante atau Papamu kangen padamu."
Kiran mencebik.
"Kalo kangen, Papa tinggal datang ke rumah."
"Iya. Tapi Mamamu tidak selalu mengizinkan Papa membawamu." Jawab Mas Aris.
"Bukannya lebih mudah kalo Papa balikan lagi aja sama Mama? Ga usah repot repot kayak gini. Aku malu tau dibilangin teman teman punya Ibu dua."
Aku dan Mas Aris saling pandang. Mungkin ini salah satu alasan Kiran selalu begitu sinis menghadapi apapun. Bahkan candaan teman temannya kerap di tanggapi serius. Saat itu aku mulai mengkhawatirkan perkembangan mental Kiran. Tapi Mbak Rindi melarangku ikut campur.
"Kiran masih punya aku. Jangan s-ok baik dan tak usah ikut campur mendidiknya."
Entah apa yang membuat Mbak Rindi tampak sangat memben-ciku. Padahal aku kenal Mas Aris jauh setelah mereka berce-rai lama. Aku juga tak mengurangi jatah uang bulanan yang biasa diberikan Mas Aris meski sekarang punya Kalila. Aku tak mau ribut. Gajiku sendiri cukup bahkan berlebih menambal kekurangannya.
Foto akhirnya berhasil diambil. Meski tanpa senyum, Kiran tetap manis. Dia mewarisi wajah cantik Mamanya. Sekaligus rautnya yang ju-des itu. Aku menatap sorot mata Kiran di layar laptop yang seakan menghujam langsung ke mataku. Mata itu, memancarkan kesedihan dan kesepian yang sangat. Aku dapat merasakannya.
"Tante akan berusaha sebisa mungkin mengembalikan fitrahmu menjadi anak yang baik. Karena sesungguhnya kau anak yang baik. Maaf kalau Tante terlambat mendekatimu, Nak."
***
Mas Aris pulang menjelang Dzuhur. Dia membawa sekantung jeruk Medan untuk Kalila, mengupasnya dan dengan telaten menyuapi Kalila. Waktu makan siang 1 jam lagi. Sebetulnya aku melarang Kalila makan apapun sebelum makan siang supaya dia makan dengan lahap. Tapi aku enggan menegur Mas Aris melihat raut wajahnya yang tampak lelah.
"Kiran masih ngambek?"
"Ya. Biasalah. Dia langsung nangis tadi. Minta hape baru. Ck, susah sekali memberinya pengertian." Keluh Mas Aris.
"Dia belum terbiasa ditolak, Mas. Selama ini kamu dan Mbak Rindi selalu menuruti semua permintaannya dengan alasan menebus dosa. Itu membuatnya jadi anak yang egois. Tapi aku yakin pada dasarnya dia anak yang baik. Kita bisa merubahnya, ya Mas? Ini belum terlambat."
Mas Aris menatapku, tersenyum.
"Kamu benar, Dek. Aku mulai khawatir akan sikapnya. Kalau sampai dia memban-ting hape itu supaya rusak dan punya alasan meminta yang baru, bagiku, itu agak mengerikan."
"Jangan bilang begitu tentang anakmu. Kita tidak tahu apa yang dia rasakan."
Mas Aris terdiam. Hening beberapa saat, hanya terdengar celoteh Kalila dengan mulut penuh jeruk.
"Dek… "
Suara Mas Aris terputus, dia terdengar ragu ragu. Aku menatapnya, menanti kalimat lanjutan yang akan keluar dari mulutnya.
"Rindi minta rujuk."
***
Mama dan Papa mertuaku datang malam harinya setelah Mas Aris menelepon memintanya datang. Seharian aku mendiamkan Mas Aris, mengurung diri di kamar bersama Kalila. Moodku langsung han-cur berantakan. Aku tak keberatan mengasuh dan berusaha mencintai anak tiriku, tapi permintaan rujuk Mbak Rindi bagai bom yang dijatuhkan di atas kepalaku. Dan parahnya, Mas Aris terdengar ragu ragu, seakan dia mempertimbangkan kemungkinan itu. Padahal salah satu syarat aku menerima lamarannya adalah, aku tak mau ada perempuan kedua dalam kehidupan rumah tangga kami. Apa dia lupa?
"Mama tidak setuju, Ris. Jangan aneh aneh. Tidak ada yang poligami di keluarga kita." Suara Mama meninggi.
"Apa kau lupa alasanmu berce-rai dengan Rindi?"
Aku memasang telingaku baik baik. Selama ini aku tak pernah bertanya. Bagiku masa lalu Mas Aris tak lebih penting daripada masa depan kami. Tapi rupanya aku salah, masa lalu itu ternyata masih menghantuinya, menjadi duri yang berusaha menelusup dalam rumah tanggaku.
"Rindi itu Hedon. Gaya hidupnya tinggi. Kau nyaris kena TBC dan kurus kering menuruti semua keinginannya dulu. Pesta pesta. Clubbing. Astaga. Mama dulu malu sekali ketika teman Mama memergokinya keluar dari night club."
Oh, jadi itu alasannya. Sekarang aku tahu dari mana Kiran berguru. Ternyata bukan hanya salah Mas Aris yang selalu menuruti keinginannya. Mama kandungnya punya andil besar membentuk kepribadian Kiran.
"Aku tidak bilang akan rujuk dengan Rindi, Ma. Aku hanya menyampaikan keinginan Rindi pada Freya. Tapi istriku langsung ngambek."
Aku melotot mendengar kalimat Mas Aris.
"Ah, kamu ini. Istri mana yang gak marah dengar hal kayak gitu? Harusnya kamu langsung jawab Rindi dengan tegas. Tidak. Titik. Gak perlu sampai ke Freya." Bela Mama.
Hatiku menghangat mendengar pembelaan Mama padaku. Padahal tadinya aku khawatir Mama akan menilai lebay sikapku ini. Jujur saja, memikirkan kemungkinan Mbak Rindi masuk dalam hidup kami, membuatku ma-rah.
"Nah, Ris. Jangan sekali kali lagi melemparkan wacana seperti itu. Jangan coba coba membuat perempuan sakit hati. Fatal akibatnya." Ujar Papa tenang. Kulihat Mama melirik Papa sambil mengulum senyum.
"Iya, Pa. Aku hanya memikirkan Kiran."
"Bukankah dia baik baik saja selama ini? Kau masih memberinya uang bulanan kan?"
"Masih, Ma. Bahkan Freya seringkali membelikan kebutuhan sekolahnya."
"Nah, jadi apa lagi yang membuatmu berpikir menyakiti istrimu? Cobalah belajar bersyukur. Mama saja sudah sangat bahagia Freya baik pada Kiran. Berhentilah memikirkan hal yang akan menyakitinya."
Suara Mama tegas. Beliau lalu menghampiriku. Diusap usapnya bahuku penuh rasa sayang.
"Terimakasih, Ma" ujarku lirih.
Mama tersenyum.
"Selamanya kau akan jadi menantu Mama satu satunya."
***
(Aku tidak keberatan mengurus dan menyayangi Kiran, Mbak. Tapi jangan coba coba masuk dalam kehidupan rumah tanggaku. Aku tak akan tinggal diam)
Send.
Dia pikir hanya dia yang bisa mengan-cam. Aku menunggu, tapi sampai aku tertidur, balasannya tak juga datang. Agak mengherankan karena Mbak Rindi biasanya bak mercon yang langsung mele-dak dengan sedikit sundutan api. Jawabannya kudapatkan keesokan paginya, ketika membuka pintu, dan mendapati perempuan itu berdiri disana, lengkap dengan raut ketusnya yang biasa.
***
CHAT WA ANAK TIRIKU 5
Perempuan itu langsung masuk begitu pintu kubuka. Padahal subuh baru saja usai. Aku bermaksud keluar untuk menyiram bunga bunga di pot depan, lalu mulai memasak sarapan. Tapi kedatangannya memaksaku menghentikan semua rutinitas ku.
"Mana Mas Aris?"
"Dia masih di masjid. Ada apa Mbak kesini subuh subuh begini?"
"Aku tak tahan lagi menunggu sampai hari terang. Kiran terus merengek minta hape."
Aku menghela nafas.
"Bukankah itu tugas Mbak sebagai Ibu untuk membujuknya dan memberi pengertian? Bukan malah memanas manasinya."
Mbak Rindi melotot.
"Apa maksudmu?"
"Mbak tahu hape Kiran masih baru. Harusnya sebelum dia meminta pada Mas Aris, Mbak menasehatinya baik baik. Bukan malah mendukung keinginannya."
Perempuan itu melengos.
"Jangan mengajariku. Kau tahu apa? Kau itu baru menikah 3 tahun dengan Mas Aris. Belum tau susahnya mendidik anak remaja apalagi broken home kayak Kiran."
"Kalau begitu, biarkan Kiran tinggal di sini. Aku dan Mas Aris akan mengurusnya dengan baik."
Mbak Rindi tertawa, meneliti ku dari atas sampai bawah.
"Kau ini cuma Ibu tiri. Dan aku yakin kau seperti Ibu tiri kebanyakan yang akan menyiksa anak tirinya. Kiran akan diurus oleh Mas Aris… dan Aku. Kami akan rujuk."
Darahku berdesir, jantungku mulai berdetak kencang. Aku diam sejenak, berusaha meredam gejolak perasaan yang mulai membara di dalam sana. Aku mengingat janji yang kembali diucapkan Mas Aris semalam di hadapan Mama dan Papa mertuaku. Bahwa selama aku hidup, dia tak akan pernah mendua. Kini, aku berpegang pada janji itu.
"Jangan bermimpi Mbak. Siapa bilang Mas Aris mau rujuk?"
Mbak Rindi tertawa mengejek.
"Kiran yang meminta. Dan kau tahu sendiri Mas Aris tak pernah menolak keinginan anakku. Lagipula, gaji Mas Aris cukup besar untuk kau habiskan sendiri."
Kurasakan darah naik ke wajahku mendengar perkataan Mbak Rindi. Dia ini buta atau apa? Setiap bulan Mas Aris mengirim uang 5 juta untuk Kiran, setengah dari gajinya. Lalu sepanjang bulan itu, entah berapa kali dia mengirim WA, meminta ini dan itu.
"Berapapun gaji Mas Aris, sudah menjadi hakku sebagai istrinya. Kiran sudah mendapat jatah nafkah setiap bulan. Mbak mau apa lagi? Aku tidak akan mengizinkan Mbak masuk mengacak acak kehidupan kami."
Mbak Rindi bangkit dari duduknya. Dia mengangkat tangannya, bermaksud menamparku ketika terdengar suara Mas Aris berseru dari depan pintu.
"Rindi! Berhenti!"
Mas Aris masuk tergesa gesa, menempatkan dirinya di depan tubuhku, sebagai tameng. Melihat itu, Mbak Rindi makin murka.
"Bukankah kemarin kau setuju kita rujuk?" Seru Mbak Rindi.
Aku terperanjat. Benarkah yang dikatakannya. Kutunggu Mas Aris menjawab pernyataan Mbak Rindi.
"Jangan salah paham, Rin. Aku tidak pernah mengiyakan permintaanmu itu."
"Tapi kau diam saja!"
"Aku diam saja untuk menjaga perasaan anakku. Kau sengaja membicarakannya di depan Kiran karena tahu dia adalah kelemahan ku. Tapi kau salah. Aku memang menyayangi Kiran, tapi bukan berarti semua keinginannya harus dituruti. Dan yang jelas, aku tak akan menyakiti Freya."
Aku terdiam mendengar nada tegas dalam suara Mas Aris. Kulihat wajah Mbak Rindi memerah.
"Apa yang membuatmu tergila gila pada perempuan ini? Sehingga kau sampai hati mengabaikan Kiran."
"Aku tergila-gila pada kebaikan hatinya. Cukupkah jawaban itu?"
Wajah Mbak Rindi makin merah padam. Mungkin dia tak menyangka Mas Aris akan berkata seperti itu. Diraihnya tas yang tadi dia letakkan di atas meja.
"Yasudah kalau begitu. Kesinikan uang untuk beli hape. Kau tega melihat anakmu menangis semalaman."
Mas Aris menggeleng.
"Hape Kiran ada di tempat servis. Freya sudah memberinya hape cadangan. Dia tidak akan kehilangan komunikasi. Bukankah itu gunanya ponsel?"
Mbak Rindi melotot.
"Kau…!"
"Dan aku sepertinya harus menghitung ulang kebutuhan Kiran selama ini. Aku sudah berlebihan memberinya sampai mengurangi jatah nafkah anak istriku."
"Kau keterlaluan!"
"Kalau begitu biarkan Kiran tinggal bersamaku dan Freya!"
"Tidak! Dengar Mas. Kalau kau sampai mengurangi jatah uang Kiran, jangan harap bisa bertemu dengannya!"
Mbak Rindi pergi sambil menghentakkan kaki. Lalu masuk ke mobilnya dan berlalu. Aku menarik nafas panjang. Subuhku yang indah harus ternoda oleh perdebatan ini. Mas Aris membimbingku ke dapur setelah mengunci pintu.
"Maafkan Mas, Dek."
Satu kata maaf itu lebih dari cukup bagiku. Maaf untuk segalanya. Aku membenamkan tubuh dalam pelukan suamiku. Allah, pemilik hati, lembutkanlah hati Kiran agar mau menerimaku.
***
Uang makan Kiran selama sebulan 2.000.000.
SPP 500.000
Uang jajan 15rb x 30 hari = 450.000
Perlengkapan mandi, sabun, shampo dan sebagainya 300.000
Total 3.250.000
Aku mengerutkan kening membaca catatan yang sedang diutak atik Mas Aris.
"Ini apa?"
"Aku berencana mengirim uang press ke Kiran. Bukankah sudah saatnya dia belajar membuat prioritas dan tidak terlalu konsumtif. Tahun depan dia akan masuk SMA dan biayanya lumayan besar. Aku perlu menabung."
"Dia akan semakin membenciku."
Mas Aris memandangku.
"Tidak, Dek. Aku akan memberi pengertian padanya. Lagipula uang bulanannya Rindi yang pegang. Kiran belum bisa mengelola uang sendiri."
"Apa segitu cukup, Mas?"
"Inshaallah cukup. Asal tidak meniru kelakuan Mamanya. Aku berencana mengajak Kiran menginap di sini setiap akhir Minggu. Apakah kau setuju?"
Aku tersenyum. "Tentu saja."
Mas Aris meraih hapenya, mencari aplikasi mobile banking. Hari ini gajinya masuk dan seperti biasa dia akan mengirim uang bulanan untuk Kiran.
Send.
Tak lama ponselnya berdering. Suara Mbak Rindi langsung menyalak begitu deringannya berhenti.
"Ya ampun Ariissss! Setelah menolak membelikan Kiran hape, kau juga mengurangi jatah bulanannya. Kau ini sudah diguna guna si Freya rupanya!"
Suaranya demikian keras sampai aku bisa mendengar. Mas Aris menjauhkan ponsel itu dari telinganya.
"Ini tidak ada hubungannya dengan istriku. Aku sudah menghitung pengeluaran Kiran. Itu lebih dari cukup. Buku buku dan cemilannya akan dikirim dari sini setiap Minggu."
"Cukup matamu! Aku perlu mengajak Kiran ke salon. Dia sudah gadis. Aku tak mau anakku jadi buluk!"
"Jangan berlebihan Rindi. Kiran masih kecil. Dan biaya salonmu bukan lagi urusanku!"
"Dengar, Mas. Kau transfer kekurangannya sekarang. Atau jangan harap kau bisa bertemu Kiran!"
***
CHAT WA ANAK TIRIKU 6
Ancaman Mbak Rindi hanya dianggap angin lalu oleh Mas Aris. Dia menyerahkan seluruh sisa gajinya untukku, memintaku mengatur cemilan apa yang akan dibawanya Minggu depan saat akan menengok Kiran.
"Sabtu besok aku akan mengambil ponsel Kiran dari konter. Kita jemput Kiran sama sama ya, Mas. Siapa tahu dia mau menginap."
Mas Aris mengangguk sambil mengusap kepalaku. Kuteruskan kegiatanku membereskan mainan Kalila, sementara si empunya sudah terlelap dalam mimpi indah. Sejenak, aku tertegun mengingat sorot mata sedih dan kesepian Kiran di foto yang dipajang di layar laptopku. Aku tak tahu rasanya menjadi anak korban perceraian. Mas Aris dan Mbak Rindi bercerai ketika usia Kiran antara 5 atau 6 tahun. Usia TK. Saat anak anak masih senang bermanja, kebahagian melihat orangtuanya bersama terpaksa direnggut darinya. Dari Mama kutahu Mas Aris menceraikan Mbak Rindi karena tak tahan lagi dengan sifatnya yang suka clubbing. Bahkan mabuk.
"Kenapa Kiran tidak ikut denganmu waktu itu, Mas? Kiran dibesarkan oleh Ibu yang mentalnya rusak. Kau tidak takut dia menjadi seperti Mbak Rindi?"
Mas Aris mengusap wajahnya.
"Rindi mengancam bunuh diri kalau aku sampai mengambil Kiran darinya. Kami tak sampai memperebutkan hak asuh Kiran di pengadilan. Cukup membuat perjanjian di atas materai. Aku akan menafkahinya sampai dia menikah. Tapi Rindi tidak boleh melarangku bertemu Kiran. Satu lagi, kalau dia melakukan sesuatu yang buruk dan mengancam keselamatan Kiran, aku akan mengambilnya tanpa kompromi."
"Lalu kenapa Mbak Rindi belum menikah sampai sekarang?"
"Dia ingin bebas. Itu juga yang membuat kami berpisah."
Aku mendesah. Membayangkan Kiran dibesarkan oleh Ibu yang suka dugem dan mabuk, rasanya sedih sekali. Pernahkah Kiran melihat Ibunya mabuk di rumah? Bagaimana rasanya? Pasti menakutkan bukan?
"Tidurlah, Dek. Kau harus berangkat kerja besok. Lupakan dulu soal Kiran. Dia akan baik baik saja."
Aku mengangguk, beranjak keluar meninggalkan Mas Aris di ruang kerja. Kututup pintunya perlahan-lahan. Lalu masuk ke kamarku sendiri dan merebahkan diri di samping Kalila. Menatap wajah mungil anakku, aku bertekad menjadikan anakku anak yang baik, akhlak dan sikapnya. Aku akan bertahan sekuat apapun badai menerpa rumah tangga kami, agar Kalila tak menjadi anak korban perceraian seperti Kiran.
Aku teringat Kiran, pada mata sendunya yang kesepian. Meski judes dan galak, mata itu tak bisa berbohong kalau dia tak bahagia. Kuraih ponsel di atas nakas, lalu kuketik pesan untuknya.
'Apa kabarmu hari ini? Jangan lupa sholat dan berdoa ya, Nak. Tante sayang Kiran.'
***
"Jadi anak sambungmu, Kiran, masih memanggil dirimu dengan sebutan Tante?"
Aku meneguk es kopi sambil mengangguk. Jam istirahat kugunakan untuk makan siang di coffee shop kecil depan kantor, sekaligus menenangkan saraf dengan kopi. Kadang aku dan Mas Aris janjian makan siang di sini. Tapi hari ini, dia sedang sibuk dan akan delivery saja katanya.
"Dia bahkan bersumpah tak akan memanggilku Mama." Aku tersenyum getir.
Alika menatapku dalam dalam.
"Kau harus punya hati seluas samudra, Fe."
Aku mendesah. "Jujur saja, terkadang aku lelah dengan sikap memusuhinya. Aku ingin mengabaikan saja dia, menganggapnya tak ada. Tapi bagaimana mungkin? Dia anak suamiku. Kebahagiaan Mas Aris salah satunya terletak pada Kiran."
"Aris sebaiknya jangan sampai menyakitimu."
Aku tertawa. "Kadang Mas Aris agak sedikit labil jika menyangkut Kiran. Tapi bisa kumaklumi jika dia merasa bersalah tak bisa memberi kasih sayang utuh pada Kiran saat dia masih kecil."
Alika terdiam. Sahabatku ini masih lajang. Dia takut menikah katanya. Takut punya anak lalu bercerai. Aku seringkali mengajaknya jalan bertiga Kalila, barangkali dia bisa membuka hati melihat betapa lucunya anak anak. Sampai saat ini, dia belum memutuskan meski beberapa pemuda menampakkan niat serius. Aku tak bisa memaksanya. Menikah dan bercerai itu takdir dan rahasia Tuhan.
"Kiran sesungguhnya anak yang baik. Dia hanya diasuh dengan cara yang salah." Tatapanku menerawang. Menembus kaca kaca depan coffee shop. Dan tiba tiba saja, aku menangkap bayangan seseorang turun dari mobil di pelataran parkir kantor sebelah, perusahaan Mas Aris.
Itu Mbak Rindi. Apakah dia kesana untuk menemui Mas Aris? Setitik rasa cemburu merasuki hatiku, membuat perasaanku mulai tak nyaman. Kutarik nafas dalam dalam. Aku bukan tipe perempuan yang suka menyerang. Akan kupercayakan masalah ini pada Mas Aris. Dia tahu bagaimana aku dan sifatku. Allah, jaga hati suamiku.
***
"Rindi tadi menemuiku di kantor."
Mas Aris langsung bercerita tanpa kutanya. Dalam hati aku lega, setidaknya suamiku berniat baik. Aku diam saja, menunggu kalimat lanjutannya.
"Dia sungguh pemaksa. Bagaimana mungkin dia mengaku sebagai istriku di kantor? Dan mengancam akan menemui bagian keuangan kalau aku tak menambahi jatah uang Kiran. Dia akan meminta gajiku langsung di transfer ke rekeningnya."
Astaga. Aku menghentikan kegiatanku menata piring di atas meja. Rasanya itu keterlaluan sekali.
"Bukankah orang kantormu tahu dia itu mantan istrimu? Dan Mas sudah menikah lagi denganku?"
"Ya. Untungnya begitu. Aku hanya khawatir dia mempermalukanku di kantor. Dia itu… tak segan teriak teriak jika kemauannya tak dituruti. Tak peduli dimana saja."
Kini aku melihat kehadiran Mbak Rindi sudah menjadi ancaman. Bukan ancaman bagi rumah tanggaku karena aku yakin perasaan cinta kami lebih kuat. Tapi ancaman akan harga diri kami, terutama Mas Aris.
"Lalu apa yang Mas lakukan?"
"Aku terpaksa mengiyakan permintaannya. Aku berjanji akan menemuinya besok."
"Aku yang akan menemuinya. Mas tidak usah ikut. Dia tidak dinas besok?"
Mas Aris menatapku.
"Kamu yakin, Dek? Besok dia dinas malam katanya. Jadi siang ada di rumah."
Mungkin sudah waktunya bagiku mengeluarkan kartu AS yang kupunya. Kutinggalkan Mas Aris yang duduk termenung di meja makan. Dari dalam laci meja kerja, kukeluarkan selembar foto.
Foto Mbak Rindi dalam kondisi mabuk, dikelilingi 5 orang pria. Aku mendapat foto itu dari Alika yang kebetulan bertemu dengannya di night club. Apa jadinya jika Suster Rindi yang terhormat, ketahuan suka mabuk dan clubbing? Dia betul betul noda di dunia nakes.
***
"Si*lan! Darimana kau dapat foto ini?!" Mbak Rindi berseru dengan berang. Dia merebut foto itu dari tanganku. Aku membiarkan saja dia menyobek nyobek foto itu menjadi serpihan. Biar saja, toh aku punya banyak salinannya.
"Tak perlu tahu dari mana. Yang jelas kalau Mbak berniat mempermalukan Mas Aris dan aku, aku tak segan mengirimkannya ke direktur rumah sakit tempatmu bekerja."
"Kau benar benar licik!"
"Itu perlu untuk menghadapi orang sepertimu."
Wajahnya merah padam terbakar amarah. Tapi dia tak berbuat apa apa karena tahu aku pasti menyimpan salinan foto itu.
"Satu lagi, Mbak. Jangan suka menggunakan Kiran untuk memeras Mas Aris. Kalau kau tak sanggup mengurusnya sendiri, berikan dia pada kami. Aku berjanji akan merawatnya dengan baik."
Mbak Rindi berdecak.
"Aku tidak percaya."
"Terserahlah. Tapi bukankah seharusnya kau orang pertama yang ingin anakmu bahagia? Coba sesekali kau tatap Kiran, Mbak. Bisakah kau lihat rasa itu di dalam matanya?"
Mbak Rindi terdiam.
"Kita tak seharusnya bermusuhan. Kiran butuh sosok Ibu yang bisa dia jadikan panutan. Kalau dia belum bisa menerimaku sebagai Ibu sambungnya, kumohon jangan membuatnya semakin membenciku."
***
Chat WA Anak Tiriku 7
"Jadi berapa, Cik?" Tanyaku pada Cik Mey ketika dia menyerahkan HP Kiran yang sudah selesai di servis. Kuperiksa ponsel itu bolak balik, tampak tak ada perubahan sama sekali. Masih seperti baru.
"Agak mahal ya Fe. Soalnya gua pake barang yang bagus. Dijamin gak cepat rusaklah, Fe. Asal jangan dibanting lagi aja."
Aku tertawa mendengar kata kata Cik Mey.
"Iya gak apa apa, Cik. Yang penting bagus lagi. Jadinya kena berapa?"
"850 ribu, Fe. Buat elu gua diskon 50 ribu. Jadi elu bayar 800 aja."
"Wah, Alhamdulillah. Terimakasih Cik." Aku membuka tas, mengeluarkan uang sejumlah yang diminta Cik Mey.
"Anak tiri elu itu beneran ya, Fe. Untung dapat Ibu tiri baek kayak elu. Kalo gua udah gua jadiin perkedel dia."
"Aduh jangan, Cik. Perkedelnya dikasih kornet aja biar enak." Cik Mey ikut tertawa mendengar candaanku.
"Dia kan anak suamiku. Masa aku gak sayang." Aku tersenyum menanggapi kata kata Cik Mey. Pemilik toko ponsel ini sudah jadi langganan ku sejak sebelum menikah. Dia bahkan hadir di acara pernikahanku. Dia wanita keturunan cina yang membumi.
"Cik, coba aku lihat phone case yang itu deh. Yang ada gambar BTS nya."
Aku menunjuk deretan phone case yang dipajang di salah satu dinding konter. Aku ingat Kiran suka sekali dengan karakter BTS. Cik Mey mengambilkan barang yang kuminta. Aku mencocokkannya dengan tipe hape milik Kiran.
"Yang pink ini berapa, Cik?"
"Murah itu, Fe. 50 ribu aja. Bagus itu biar gak cepet rusak kalo jatuh."
Aku mengangguk, mengambil phone case itu lalu membayarnya. Setelah urusanku selesai, aku langsung menuju parkiran. Rencananya aku dan Mas Aris akan langsung ke rumah Rindi untuk memberikan hape itu pada Kiran.
Ponselku berbunyi ketika aku baru saja masuk mobil. Mas Aris meneleponku dari kantornya. Meski bersebelahan tempat kerja, kami tak selalu berangkat bersama. Mas Aris lebih suka mengendarai motor karena dia sering ke lapangan. Dia seorang supervisor kantor cabang sebuah perusahaan finance terbesar di Indonesia. Sementara dia tak mengizinkanku membawa motor.
"Mobil lebih aman buatmu." Katanya waktu itu.
Kugeser gambar telepon hijau di layarnya.
"Ya, Mas?"
"Mas lembur hari ini, Dek. Gak bisa ikut ke tempat Kiran. Gimana?"
"Gak apa apa, Mas. Kalau begitu aku langsung ke rumah Mbak Rindi ya. Biar gak kesorean."
Aku teringat Kalila yang menungguku di rumah bersama Tia pengasuhnya. Beruntung aku mendapatkan pengasuh yang sangat telaten dan sayang pada anakku sehingga aku bisa meninggalkannya dengan tenang.
"Oke. Hati hati di jalan ya, Dek."
Mas Aris memang perhatian seperti itu sejak pertama aku mengenalnya. Salah satu hal yang membuatku jatuh cinta dan mengesampingkan fakta bahwa dia duda beranak satu. Faktor lain tentu Mama dan Papanya yang membuatku merasa bagai anak kandung mereka. Orangtuaku sendiri tinggal di kota lain. Meski masih satu provinsi. Biasanya kami menengok mereka sebulan sekali. Atau sering pula Ibu dan Ayahku yang datang melihat Kalila.
Lalu lintas di siang hari Sabtu ini tidak terlalu padat. Aku mengemudi dengan santai. Melirik hape Kiran yang kini tampak manis dengan soft case berwarna pink dengan gambar BTS. Juga sekotak donat J-co kesukaannya. Aku tersenyum membayangkan ekspresinya nanti. Mungkin dia akan senang. Atau bisa jadi datar seperti biasa. Aku telah bersiap dengan kemungkinan itu.
"Ini hapeku yang kemarin, Tante?" Kiran membolak balik hape itu begitu kuserahkan ke tangannya. Aku mengangguk.
"Coba deh di cek. Ada yang kurang gak?"
Kiran menggeser duduknya, lalu mulai menyentuh nyentuh layar ponselnya. Sesekali dia membalik hape itu. Dapat kulihat binar di matanya saat melihat tampilan ponselnya yang cantik. Aku tersenyum dalam hati. Duduk di seberangku, Mbak Rindi berdiam diri memperhatikan anaknya.
"Gimana?"
"Emm… ya. Gak ada yang berubah."
Kiran lalu mengeluarkan SIM card dari ponsel lamanya, dan memindahkannya ke ponselnya yang baru. Lalu dia mulai sibuk mengotak atik hape itu tanpa mempedulikan ku lagi.
"Fe…"
Aku menoleh, menatap Mbak Rindi yang ternyata sejak tadi memperhatikanku.
"Terimakasih."
Apakah aku tak salah dengar? Kata kata itu keluar dari mulut Mbak Rindi yang biasanya hanya tahu memaki. aku bahkan nyaris tak pernah mendapat senyum ramahnya, kini dia mengucapkan terimakasih untuk hal sepele yang kulakukan untuk anaknya.
Ah, siapa kamu Fe? Mudah bagi Allah membolak balikkan hati manusia. Semudah kita membalikkan telapak tangan. Kutatap Mbak Rindi yang kini tersenyum dengan canggung. Aku mengangguk, membalas senyumnya dengan rasa hangat yang menjalari hatiku.
***
"Kiran gak mau ikut tadi, Dek?"
Tanya Mas Aris sambil menyetir mobil menembus keramaian kota di malam Minggu. Kami baru saja keluar dari warung gudeg Bude War. Sudah jadi kebiasaan kami untuk berkeliling kota sebulan sekali setelah gajian, menikmati makan malam di lesehan, atau warung warung tenda yang banyak bertebaran di pinggir jalan. Tak perlu restoran mewah. Kadang pilihanku hanya jatuh pada bubur ayam Mang Amin, bakso Sony, atau sate Padang Uda Yos. Yang penting tempatnya bersih dan aman untuk anak anak sehingga Kalila yang berumur 2 tahun bisa ikut makan.
"Gak mau, Mas. Katanya besok pagi pagi janjian sama Dini mau berenang."
Dini teman sekelasnya sekaligus tetangga depan rumah mereka adalah sahabat kental Kiran. Mas Aris mengangguk.
"Dia sudah gak ngambek lagi?"
"Sepertinya sih gak, Mas. Walau yaa masih cuek sama aku. Seenggaknya dia menerima hape itu dengan senang. Tahu gak, Mas? Apa yang membuat dia senang?"
"Hemmm… apa?"
"Casing hape BTS."
Mas Aris tertawa berderai. Dia menyempatkan diri mengusap rambut berbalut jilbab Salem yang kukenakan.
"Istriku memang selalu bisa diandalkan."
Aku tersipu mendengar pujiannya. Sementara Kalila dalam pangkuanku, mulai tampak mengantuk. Sepertinya dia kekenyangan setelah menghabiskan dua butir telur cokelat pendamping gudeg tadi. Malam memang sudah beranjak menua.
"Mbak Rindi, apakah pernah mabuk di depan Kiran, Mas? Aku cemas membayangkan hal seperti itu."
"Itu salah satu poin kesepakatan kami. Kalau dia sampai mabuk di rumah, dan Kiran tahu, dia harus bersiap menyerahkan Kiran padaku."
"Oh, syukurlah. Membayangkannya saja aku sudah takut. Aneh juga ya, Mbak Rindi itu nakes tapi suka minum alkohol."
"Entahlah, Mas juga tak habis pikir."
Mas Aris tiba tiba memelankan mobilnya, lalu menepikan mobil dipinggir jalan raya, tepat di seberang Center Stage Nightclub. Matanya mengawasi sebuah mobil yang kukenal sedang memasuki parkiran.
"Itu mobil Mbak Rindi." Ujarku.
Kulihat wajah Mas Aris mengeras. Sepertiku, dia pasti membayangkan Kiran sendirian di rumah saat ini. Diraihnya ponsel, lalu menghubungi mantan istrinya itu.
"Rindi! Kau dimana?"
…
"Jangan bohong! Aku melihatmu di Nightclub. Kau meninggalkan Kiran sendirian?"
…
"Aku di depan Centre Stage sekarang. Cepat pulang atau aku akan menjemput Kiran sekarang juga."
Dapat kudengar sayup sayup suara Mbak Rindi menjerit kesal. Kami menunggu agak lama sampai mobil itu bergerak dan berbalik lagi keluar parkiran. Lalu dia melihat mobil kami menunggunya. Dihentikannya mobil di depan kami lalu keluar dengan wajah kesal.
"Lalu kapan aku bisa menikmati me time ku kalau begini? Kiran itu sudah besar. Dia bisa ditinggal sendiri. Ada Dini menginap di rumah." Cecarnya langsung.
"Berhenti minum, Rin. Kau mau menularkan kebiasaan burukmu pada anakku."
"Aku tak pernah minum di rumah. Makanya aku kesini."
"Berhenti minum itu lebih baik bagimu. Kau punya anak gadis dan aku tak mau Kiran rusak sepertimu."
"Apa? Apa maksudmu?" Mbak Rindi memelototi Mas Aris, tidak terima dengan perkataannya.
"Berhenti minum kataku. Atau aku akan menyewa pengacara untuk mengambil hak asuh Kiran."
"Aarrggghh…!"
Mbak Rindi memukul badan mobilku dengan kesal, lalu berjalan menuju mobilnya sendiri. Dia masuk dan menutup pintunya dengan kasar. Tak lama mobil itu pergi dengan kecepatan tinggi.
Mas Aris menggelengkan kepala. Dia menatap ponselnya, mengetik pesan untuk Kiran. Pura pura bertanya seolah kami tak bertemu Mbak Rindi barusan.
"Mamamu ada di rumah, Nak?"
***
Chat WA Anak Tiriku 8
Pesan singkat Mas Aris malam itu justru ditanggapi lain oleh Kiran. Otaknya yang polos merespon pertanyaan Papanya sesuai apa yang diinginkannya.
'Papa kangen Mama?'
Mas Aris menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia menatapku sejenak. Aku nyengir melihatnya kebingungan. Antara menjawab dengan jujur atau menjaga perasaan anaknya.
'Bukan itu. Maksud Papa, kamu di rumah sama siapa?'
'Sama Dini.'
'Mamamu apa dinas malam?'
'Bukan. Mama ada urusan katanya.'
Setidaknya Mbak Rindi tidak membohongi Kiran. Meski urusan yang dia maksud adalah mendatangi kelab malam.
'Kalau Mamamu sudah pulang, langsung WA Papa ya.'
Agak lama kemudian barulah Kiran membalas pesan Mas Aris.
'Kalau Papa kangen Mama, kenapa gak langsung telepon aja? Aku akan senang sekali kalau Papa dan Mama baikan. Aku tak suka Tante Fe.'
Aku menarik nafas dalam dalam membaca pesan itu. Mas Aris tampak merasa bersalah. Disimpannya ponselnya tanpa menjawab lagi pesan Kiran yang terakhir. Dia menatapku dalam dalam.
"Kamu masih akan bersabar kan, Dek? Aku tak bisa membayangkan seandainya kamu menyerah dan meninggalkanku.'
Mas Aris menarik tubuhku ke dalam pelukannya dengan sedikit ragu. Aku luruh. Rasa sedih dihatiku akibat penolakan Kiran selama bertahun tahun, tumpah ruah. Rasanya apapun yang kulakukan tak ada artinya di mata Kiran.
"Apalagi yang harus kulakukan, Mas?"
Mas Aris menggelengkan kepala.
"Kamu tak perlu melakukan apa apa selain bersabar dan berdoa. Semua yang kamu berikan sudah lebih dari cukup. Mas yakin Kiran akan merasakan ketulusanmu suatu saat nanti."
Ponsel Mas Aris berkedip. Pesan Kiran masuk tak lama kemudian.
'Mama baru aja sampai. Aku bilang Mama kalau Papa nanyain tadi. Tapi kok Mama malah marah marah ya? Aneh deh, Pa'
***
'Fe, aku ada seminar di Bandung Minggu depan. Bisa aku titip Kiran 3 hari aja? Tadinya mau aku bawa sekalian ketemu kakek neneknya. Tapi dia sedang UTS.'
Chat WA Mbak Rindi masuk ketika aku tengah memeriksa laporan keuangan di kantor. Lekas kubalas pesannya.
'Tentu saja, Mbak. Dengan senang hati. Kapan berangkat? Biar Kiran kujemput.'
'Aku berangkat Kamis. Kuantar kesana Rabu sorenya.'
'Oke.'
Sejak kepergok di night club malam itu, Mbak Rindi tak lagi berulah. Kiran juga belum meminta apa apa lagi setelah aku mengantarkan hapenya. Mungkin saja shock Therapy yang aku berikan padanya cukup ampuh.
Rabu sorenya, Kiran datang bersama Mbak Rindi dengan wajah cemberut. Dia bersikeras ikut Mamanya ke Bandung dan menolak tinggal di rumahku.
"Aku tak mau tinggal bersama Tante Fe!" Serunya tanpa mempedulikan perasaanku.
"Kalau aku tak boleh ikut, biar Papa di rumah menjagaku di sana. Aku tak suka tinggal di sini."
"Tidak bisa, Nak. Papa tidak bisa meninggalkan Tante Fe dan Adikmu di rumah sendirian."
"Jadi Papa lebih suka aku yang sendirian?"
"Bukan begitu. Mamamu sudah menitipkanmu pada Tante Fe. Sekolahmu juga tidak jauh dari sini. Dan ingat kau sedang UTS."
"Aku tak mau sekolah. Aku mau ikut Mama saja ke Bandung!"
Mbak Rindi menatap kami serba salah.
"Bagaimana kalau kubawa saja Kiran ke Bandung? Sekalian mengunjungi Bapak dan Ibu di sana."
Mas Aris menggeleng.
"Tidak bisa, Rin. Kiran sedang UTS."
"Aku tak perlu ikut UTS hanya untuk dapat nilai bagus. Tanya saja Mama." Sungutnya.
Mas Aris mengerutkan keningnya.
Www"Maksudmu apa?" Mas Aris menatap Kiran dan Mbak Rindi bergantian. Kulihat Mbak Rindi tampak salah tiingkah.
"Tahun lalu aku bahkan tak ikut UAS karena sakit gigi. Mama menemui wali kelasku dan aku tetap bisa naik kelas."
Astaga. Apa maksud Kiran Mbak Rindi menyogok wali kelasnya agar Kiran bisa tetap naik kelas? Mas Aris menatap Mbak Rindi tajam, meminta penjelasan.
"Kenapa?" Mbak Rindi berang.
"Kau mengajari anakku berbuat curang."
"Aku hanya tak mau Kiran tinggal kelas dan minder." Serunya membela diri.
"Kau bisa meminta ujian susulan."
"Kau pikir gampang? Kiran sangat mudah down kalau mengerjakan apa apa sendiri. Dia biasa berkumpul dengan teman temannya. Ujian susulan tak akan membantunya mendapat nilai bagus."
Aku tertegun. Mbak Rindi tentu paling tahu kondisi mental Kiran. Dia tahu Kiran tak akan bisa mengerjakan soal soal ujian dalam ruangan kosong yang hanya ada dia dan pengawas. Dia akan gugup dan semangatnya langsung turun.
"Itu bukan alasan untuk berbuat curang Rin." Mas Aris masih mempertahankan pendapatnya. Kulihat Kiran menutup telinga melihat perdebatan kedua orangtuanya.
"Papa ini apa apaan sih? Papa mau aku tinggal kelas. Iya? Gitu?"
Mas Aris menatap anaknya dengan sedih. Kutahu dia merasa gagal mendidik Kiran. Ini memang sulit. Desahku dalam hati. Kami tidak tinggal seatap, sulit bagiku mengawasi tingkah laku Kiran. Seandainya saja dia bisa tinggal disini.
"Bukan begitu, Nak. Papa hanya ingin kau berlaku jujur."
"Ah, kalau dengan berbohong aku bisa dapat nilai bagus, apa gunanya aku susah susah belajar."
Oh Tuhan, sungguh ada yang salah di sini.
"Kiran, seperti kata Mama, Kiran tinggal di sini selama Mama di Bandung. Tak boleh ada tawar menawar, oke? Tante akan menjanjikan sesuatu yang pasti kamu sukai. Tapi kita harus membuat kesepakatan dulu."
Aku mengambil alih pembicaraan, sekaligus mengalihkan topik perdebatan mereka.
Kiran menatapku dengan malas. "Apa kesepakatannya?"
"Akhir tahun ini, setelah lulus SMP, Tante akan membelikanmu ponsel baru. Ponsel apapun yang kau inginkan."
Matanya berbinar. Dia mulai tertarik dan menatapku lekat lekat. Kulihat Mas Aris dan Mbak Rindi ikut menunggu.
"Beneran Tante?"
Aku mengangguk.
"Syaratnya cuma satu. Rajin sekolah, tak boleh mencontek dan berbuat curang dengan hasil ujianmu. Kau tak perlu memaksakan diri harus mendapat nilai terbaik. Tapi jika ternyata kau mendapat nilai yang bagus dengan usahamu sendiri, Tante akan menambah rewardnya."
Kiran merosot dikursinya.
"Ah, Tante curang. Tante tahu aku bodoh soal pelajaran makanya ngasih syarat berat kayak gitu. Udahlah males."
"Siapa bilang kamu bodoh? Tidak ada anak yang bodoh. Ngomong ngomong, Tante kemarin lihat poster BTS terbaru di fanpage nya. Emmm… gimana kalau Tante janjikan itu sebagai reward?"
***
Mas Aris mengecup kening Kiran sesaat setelah gadis kecil itu terlelap. Dibenahinya selimut yang menutupi tubuh mungil itu. Dia lalu mematikan lampu dan menarikku keluar, menutup pintu perlahan lahan agar tak menimbulkan suara deritan.
"Terimakasih selalu membantuku menghadapi Kiran. Dia, sungguh keras kepala. Kalau bukan karenamu, aku nyaris menyerah."
Aku tersenyum, menatap lelaki yang kucintai itu sepenuh hati.
"Jangan berkata begitu, Mas. Jangan pernah menyerah pada anakmu. Kita tak tahu siapakah yang kelak akan menuntun kita ke surga. Aku, masih belajar untuk ikhlas. Semoga Kiran mau setidaknya sedikit saja menyayangiku dan Kalila."
***
Chat WA Anak Tiriku 9.
"Kiran, ayo bangun. Sudah subuh…"
Aku menepuk nepuk pipi Kiran lembut. Gadis itu membalikkan badan sambil menarik selimut sampai menutup wajahnya.
"Kiran…"
"Apa sih, Tante? Ganggu aja!" Dia berseru tanpa merubah posisinya. Aku menghela nafas.
"Sudah subuh. Yuk kita sholat subuh sama sama."
"Aahh… males ah. Aku masih ngantuk. Nanti aja sholatnya." Dia menarik lagi selimutnya, membenamkan seluruh tubuh dan wajah sampai tak terlihat.
Aku berdiri, menegakkan tubuh, menatapnya. Kutahu telinganya mengawasi pergerakanku.
"Kamu sudah 14 tahun. Sholat sudah wajib bagimu."
"Kata siapa? Kata Mama kalau aku belum dapat haid, belum wajib." Ujarnya dari balik selimut.
"Tante pergi deh jangan ganggu. Aku nanti bangun sendiri." Tambahnya dengan suara ketus.
Aku menghela nafas, melangkah keluar kamarnya dengan terpaksa. Mungkin aku butuh pendekatan lain.
"Jangan selalu memberi Kiran hadiah, Dek. Nanti dia terbiasa melakukan sesuatu karena mengharapkan hadiah." Ujar Mas Aris semalam setelah aku membuat kesepakatan dengan Kiran.
Apakah aku salah sudah menjanjikan hadiah bagi Kiran? Aku hanya ingin dia merubah sikap buruknya walaupun sedikit demi sedikit. Dia anak suamiku, meski belum mau menerima kehadiranku. Bila dia tumbuh dalam keadaan hilang arah, tentu Mas Aris akan sedih.
Aku meraih mukena dan bersiap sholat ketika tangan mungil Kalila menyentuhku. Rupanya dia sudah bangun. Kuangkat tubuh mungilnya ke kamar, mencuci muka dan kakinya, menggantikan diapersnya lalu mengajaknya sholat.
"Adek mau sholat?"
Kalila mengangguk kencang. Dia meraih mukena kecil miliknya bekas sholat isya semalam. Kupakaikan mukena kecil itu, lalu memposisikan Kalila berdiri di sebelahku.
Rabb, aku tak mau melawan batu dengan batu. Jadikan aku air yang sejuk, agar mampu melubangi batu itu meski harus berbilang waktu.
***
"Aku minta uang 100 ribu hari ini, Pa." Ujar Kiran sambil meneguk jusnya.
"Buat apa?" Tanya Mas Aris.
"Mau naik taksi online lah. Juga buat jajan di sekolah."
"Kamu tidak perlu naik taksi online. Papa akan mengantarmu."
"Naik apa? Naik motor? Ih aku gak mau. Rambutku nanti berantakan lagi."
"Kalau gitu Kiran berangkat sama Tante ya. Tante bawa mobil." Ujarku pelan.
Kiran meletakkan gelasnya.
"Kenapa gak Papa aja yang bawa mobil? Aneh banget sih, Papaku yang cari duit tapi malah naik motor. Emangnya siapa yang beli mobil itu?"
Aku menahan nafas mendengar kalimatnya. Sementara Mas Aris spontan menoleh, mengamati perubahan raut wajahku.
"Yang beli mobil Papa dan Tante Fe. Uangnya patungan. Karena Tante Fe tidak bisa bawa motor, jadi Tante yang bawa mobil." Jelas Mas Aris.
Kiran mendengus. Penjelasan itu tampak tak masuk akal baginya.
"Terserahlah, tapi aku tak mau naik motor dan tak mau juga semobil dengan Tante Fe." Ujarnya sambil meninggalkan meja makan dengan langkah cepat.
Mas Aris menatapku. Aku tau apa yang ingin dia katakan tapi tak sanggup lagi diungkapkan. Aku tersenyum sedikit. Jujur saja, ada yang terasa mencubit cubit hatiku mendengar penolakan Kiran barusan. Rasanya semua yang kulakukan tak ada artinya sedikitpun.
Kiran menunggu kami di teras dengan tak sabar. Dia menghentak hentakkan kakinya yang sudah bersepatu.
"Mana uangnya?" Kiran menadahkan tangan begitu kami keluar pintu depan. Di belakangku, Kalila melambaikan tangan dalam gendongan Mbak Tia.
Aku meletakkan selembar uang 10 ribu dan 5 ribuan ditangannya. Berikut kotak bekal mungil berwarna pink. Dia terbelalak.
"Ini apa?!" Serunya.
"Uang jajanmu hari ini." Mas Aris yang menjawab. "Dan bekal makan siangmu. Coba deh masakan Tante Fe juara."
"Hah? Papa jangan becanda. Uang jajanku 50 ribu sehari. Dan aku gak mau bawa bekal itu!"
"Itu terlalu banyak Kiran. Memangnya apa saja yang kau beli sampai perlu uang jajan sebanyak itu?"
"Itu bukan urusan Papa dan Tante Fe. Aku mau beli apa saja terserah aku." Dia membanting uang itu ke lantai. Lalu berlari ke kamarnya. Mas Aris bermaksud mengejarnya tapi segera kutahan.
"Mas berangkatlah duluan. Jam kerjamu lebih pagi. Aku bisa izin datang terlambat hari ini."
Mas Aris menatapku dengan pandangan lelah. Dia mengangguk lalu mengecup keningku sebelum berlalu. Aku berbalik menuju kamar Kiran. Kulihat dia berbaring telungkup di kasurnya.
"Kiran…"
"Tante memang benar benar jahat. Uang segitu dapat apa? Malu maluin aja kalo aku bawa uang jajan segitu."
"Kiran, sebetulnya tujuanmu ke sekolah, mau belajar atau mau jajan?"
"Ya belajarlah. Pakek nanya!" Sungutnya.
"Nah, jadi kenapa mempermasalahkan uang jajan? Tante membuatkan bekal makanan yang sehat dan lezat untukmu."
Dia bangun dari tempat tidurnya, menatapku kesal.
"Tante jangan sok baik. Aku sudah WA Mama menceritakan kelakuan Tante. Hari ini aku gak mau sekolah!"
"Hari ini kamu masih UTS. Ayo berangkat."
"Gak!"
"Bagaimana dengan kesepakatan kita semalam? Kau akan rugi jika satu hari saja bolos. Apalagi mangkir dari ujian."
Mata itu terbelalak. Sepertinya dia lupa dengan pembicaraan semalam.
"Hemmm… sayang sekali. Jungkook keliatan ganteng banget di poster itu."
Aku meliriknya. Dia tampak ragu ragu sejenak.
"Kalau gak mau ya gak apa apa juga. Cuma sayang aja sih soalny sudah Tante pesan. Yah, paling nanti Tante kasihkan anak teman Tante aja. Dia juga ngincer katanya…"
Kiran melotot menatapku.
"Tante pasti menepati janji kan?"
Aku mengangguk, tersenyum. "Tentu saja."
"Terus ongkos taksiku mana?"
"Tidak usah naik taksi. Tante akan antar kamu sekolah dan menjemputmu lagi. Kebetulan jam pulangmu itu sama dengan jam istirahat Tante."
Dia diam sejenak, lalu meraih tas yang tadi dilemparkannya. Tanpa kata kata Kiran melangkah keluar menuju mobilku sedang dipanaskan. Dia duduk di kursi penumpang dengan ekspresi wajah datar. Aku meliriknya, tersenyum mendapati kotak bekal itu ada di tangannya.
***
Aku meraih botol minum ku di atas meja kerja, meneguk isinya yang tinggal setengah sampai tandas. Perlahan mulai senam kecil meregangkan otot yang terasa kaku karena seharian duduk di depan komputer. Aku tersenyum membayangkan kotak bekal kosong Kiran yang tadi dia letakkan di meja dapur sesampainya di rumah.
"Gimana? Mie goreng seafood nya enak gak?"
"Hemmm…" dia hanya bergumam dan berlalu masuk kamar. Aku membiarkan saja sikapnya itu. Selama masih bisa ditolerir, aku berjanji pada diriku sendiri untuk tak menggunakan kekerasan padanya, meski dalam bentuk verbal.
Setelah pamit pada Kalila, aku kembali ke kantor hingga sore menjelang. Baru saja kuraih tasku ketika kulihat ponselku berdering.
"Ada apa, Mbak Tia?"
"Bu…" suara Mbak Tia terdengar panik. Jantungku langsung berdetak kencang.
"Kalila jatuh. Kepalanya berdarah!"
Aku langsung merosot di kursiku. Lemas membayangkan anakku terbaring dengan kepala berdarah. Dengan tangan gemetar aku menelepon Mas Aris memintanya menjemputku segera. Aku merasa tak sanggup mengemudi dalam kondisi panik.
"Tenang, Dek. Kata Tia tadi gak apa apa. Kalila gak sampai pingsan."
Aku diam saja. Menggigiti bibirku dengan cemas. Meski tidak sampai pingsan, membayangkan anak sekecil itu terjatuh sampai kepalanya berdarah membuatku gemetar.
Aku langsung melompat turun begitu Mas Aris menghentikan mobil. Di ruang tengah, Kalila menangis dalam pelukan Tia yang sedang menekan nekan keningnya perlahan dengan kain kasa, asal luka itu itu. Si lantai bertebaran kain kasa yang sudah berlumuran darah. Tangis Kalila makin kencang melihatku. Aku berlari memeluknya.
"Ini kenapa bisa begini, Mbak?"
Luka terbuka sepanjang 2cm melintang di dahi Kalila, di atas alis sebelah kanannya. Darah masih terus mengalir dari sana.
"Tia!"
"Eh, saya… saya…" Tia tak berani menatap wajahku. Dia menunduk. Matanya melirik ke pojokan ruangan. Aku mengikuti arah pandangan matanya. Baru kusadari Kiran berdiri diam di sana. Duduk di lantai sambil memeluk lutut.
"Kalila jatuh kenapa? Gimana jatuhnya?"
"Tadi itu… saya…!"
"Aku yang dorong Kalila sampai jatuh!"
Tiba tiba saja Kiran berdiri, menyela kalimat Mbak Tia.
Suasana seketika hening. Hanya terdengar isakan Kalila yang mulai melemah. Mas Aris terbelalak menatap Kiran, sementara aku, seandainya saja tak ingat Kalila berada dalam pelukanku, rasanya ingin merosot di lantai. Tulang tulangku terasa lemas. Bagaimana bisa, anak tiriku yang selama ini kujaga perasaannya, menyakiti anakku sedemikian rupa.
"Kiran…" suara Mas Aris bergetar.
"Papa tahu? Aku benci dia. Seandainya dia tidak ada dia, tentu Papa dan Mama akan kembali bersama!"
***
Chat WA Anak Tiriku 10
Kalila tertidur dalam perjalanan pulang dari Rumah Sakit. Lukanya sudah dijahit dan diperban. Aku tak henti henti menyesali diri kenapa sampai anakku mengalami kecelakaan ini sementara dia masih sangat kecil. Dokter berpesan untuk memberinya minum susu yang lebih dari biasanya, juga makan makanan yang mengandung zat besi karena darah yang keluar cukup banyak. Dokter juga membekaliku dengan obat anti nyeri dan berpesan agar hati hati merawat lukanya agar tak infeksi.
Wajah Mas Aris mengeras sejak tadi. Dia tak banyak bicara selain berusaha menenangkanku. Aku paham apa yang berkecamuk di hatinya. Anaknya, melukai adik tirinya dengan sengaja. Itu bukan masalah kecil yang bisa diselesaikan dengan kata maaf saja.
Sesampainya di rumah, aku langsung menggendong Kalila ke kamarku, merebahkannya dengan hati hati. Ah, sungguh kasihan anakku. Dia kerap kali berusaha mengambil hati kakaknya dengan tingkahnya yang lucu. Tapi bukan perhatian yang dia dapat melainkan bencana.
"Kiran, Papa sanga kecewa padamu."
Dari pintu kamarnya yang terbuka, aku melihat Mas Aris menegur Kiran. Gadis itu duduk di kasurnya dengan wajah tertunduk.
"Kalila itu adikmu meski kalian berbeda Ibu. Darah yang mengalir di tubuhnya sama denganmu. Bagaimana mungkin kau tega menyakitinya?"
Kiran masih diam. Dia semakin dalam menunduk. Entahlah apakah dia merasa bersalah atau tidak. Aku duduk di sofa ruang tengah sambil memegang gelas minumku dengan tangan sedikit bergetar. Dari tempatku duduk, dapat kulihat dan kudengar apa yang dikatakan Mas Aris. Aku sengaja tak ikut masuk, khawatir tak mampu mengendalikan emosi. Kali ini, aku sangat kecewa padanya.
"Apa salah Kalila padamu sehingga kau tega melukainya?"
Kiran mengangkat kepalanya, menatap Papanya dengan tatapan sendu.
"Aku… aku merasa Papa lebih menyayangi dia. Papa tidur bersamanya, menggendongnya setiap waktu. Sementara saat aku kecil, Papa membiarkanku hanya berdua Mama."
Mas Aris menghela nafas panjang. Terlihat beban berat menggunung di dadanya.
"Papa tidak membedakan antara kamu dan Kalila, bahkan Tante Fe juga tidak. Kalian sama sama anak kami. Tapi Kalila masih kecil. Mandi dan buka baju sendiri saja dia belum bisa sehingga dia membutuhkan lebih banyak perhatian. Sementara Kiran sudah besar. Anak Papa sebentar lagi remaja, lalu dewasa. Sampai kapan kau akan jadi anak manja seperti ini?"
Kiran menunuduk lagi.
"Aku tahu aku salah, Pa. Tadi aku hanya ingin mendorongnya saja sedikit. Tapi dia terpeleset dan dahinya membentur anak tangga di tempat sholat."
Aku meringis membayangkan kejadian itu. Rumahku hanya satu lantai, tapi ada satu bidang khusus yang berfungsi sebagai mushola jika kami sedang berjamaah. Btemoat itu agak tinggi dan diberi dua anak tangga. Rupanya di sanalah Kalila jatuh dan terbentur.
"Papa sedih sekali melihat anak Papa sampai hati menyakiti adiknya."
"Tapi dia bukan adikku!" Kiran tiba tiba berseru.
Aku mengerutkan kening mendapati perubahan hatinya yang tiba tiba. Lalu menyadari bahwa situasi seperti ini sering terjadi. Pagi tadi dia merajuk tak mau sekolah, lalu aku membujuknya dan dia bersikap baik baik saja sampai pulang siang tadi. Aku sama sekali tak menyangka suasana hatinya berubah dengan cepat sehingga dia terpikir untuk melukai Kalila.
"Kenapa kau bilang begitu? Bukankah kalian sama sama anak Papa?"
"Dia bukan anak Mama. Jadi dia bulan adikku. Aku sama sekali tak peduli apakah dia akan sakit atau tidak!"
Nyuttt… dadaku berdenyut nyeri. Inikah anak yang selama ini kubela dan kuperhatikan?
"Kiran!" Kulihat Mas Aris susah payah menahan emosinya. Aku sendiri merasa tak perlu masuk. Saat ini amarah menguasai hatiku. Bagaimanapun, aku bukan manekin yang tak punya perasaan.
"Minta maaf sama Tante Fe dan Kalila. Lalu diam di sini dan renungkan kesalahanmu!"
"Aku tidak mau! Aku mau pulang saja!"
Kiran menjerit tak kalah kerasnya. Dia menatapku dari dalam kamar. Sorot mata itu bercampur aduk antara marah, sedih dan kecewa. Aku balas menatapnya.
"Kau akan tetap di sini. Setelah Mamamu pulang, kita akan membicarakan banyak hal."
"Papa!"
"Kau sudah cukup besar untuk mengerti. Seharusnya kau bisa merasakan ketulusan Tante Fe. Bukan hanya merajuk, marah dan membencinya. Kau bahkan seringkali menyakiti hatinya."
"Sudah kubilang aku tak suka dia!"
"Malam ini coba kau renungkan kesalahmu. Besok kalau kau merajuk tak mau sekolah silakan. Mungkin Papa akan mengirimmu sekalian ke asrama supaya kau tahu rasanya hidup jauh dari orangtua."
"Papa!" Kiran berlari menubruk Papanya. Dia mulai menangis tersedu sedu.
"Aku tak mau sekolah asrama. Aku mau di rumah saja bersama Papa dan Mama." Tangisnya. Dia memeluk Mas Aris erat erat. Kulihat Mas Aris diam saja tak membalas pelukannya.
Tenggorokanku tercekat menyaksikan pemandangan itu. Aku memang marah padanya, tapi sisi hatiku yang lain sungguh merasa iba. dia baru 14 tahun. Mengapa tak bisa tumbuh selayaknya ank usia itu? Apakah begitu mengerikannya saat saat perceraian itu di memory nya?
Mas Aris mengendurkan pelukan Kiran. Lalu keluar dari kamar dan menutup pintunya. Tatapan matanya bersirobok denganku. Kulihat dia tertegun menatap mataku yang basah. Entah bagaimana, di antara rasa marahku pada Kiran, aku tetap saja kasihan padanya.
***
"Mas, bagaimana kalau kau menuruti keinginan Kiran sekali ini saja. Aku khawatir mentalnya akan semakin rusak."
Mas Aris memeluk tubuhku dari belakang. Aku sedang duduk di kasur, menatapi wajah Kalila yang tertidur dengan tenang. Sesekali kuraba tubuhnya, kalau kalau dia demam. Untunglah sejauh ini dia tak apa apa.
"Apa maksudmu, Dek? Keinginan Kiran yang mana?"
Aku terdiam sejenak. Lidahku Kelu dan tenggorokan tercekat. Rasanya sulit sekali mengatakan sesuatu di saat seperti ini.
"Dek…"
"Kiran sesungguhnya hanya punya satu keinginan. Mungkin saja, jika kita mengabulkannya, dia akan menjadi anak manis lagi seperti yang dulu kau ceritakan."
Mas Aris membalikkan tubuhku. Dia menatapku lekat lekat. Aku tak sanggup menatap wajahnya dengan airmata di pelupuk yang siap meluncur.
"Rujuklah dengan Mbak Rindi. Itu yang diinginkan Kiran."
Suasana mendadak hening. Mas Aris menahan nafas. Bahkan suara hewan malam diluar pun seakan berhenti. Hanya dengung AC yang terdengar di ruangan ini.
"Freya. Jangan main main."
Mas Aris jarang memanggil namaku. Jika dia memanggilku begitu, berarti dia sednag sangat serius. Dia merangkum wajahku dengan kedua tangannya. Memaksaku menatap kedalam mata hitamnya yang kelam.
"Aku tidak pernah berpikir akan meninggalkanmu dan kembali pada Rindi. Sedikitpun tidak."
"Itu yang diinginkan Kiran, Mas."
"Bukankah kau sendiri yang mengatakan bahwa kita tak bisa selalu menuruti keinginannya? Apalagi keinginannya yang sangat absurd ini."
Aku terdiam sejenak. Melepaskan tangan Mas Aris di wajahku. Kutatap wajah damai Kalila dan dadanya yang bernafas dengan teratur.
"Aku, rasanya lelah sekali. Kiran selalu menganggap aku dan Kalila saingannya dalam merebut perhatianmu."
Mas Aris menggeleng.
"Itu sifat Rindi yang diturunkannya ke Kiran. Rindi juga sangat pencemburu. Tapi itu bukan alasan bagiku untuk rujuk dengan Rindi demi Kiran. Tidak Fe. Tidak! Jangan pernah memberiku opsi seperti itu."
"Tapi semua yang kulakukan untuknya dia sia, Mas. Dia tetap membenciku. Dan sekarang di melampiaskannya pada Kalila. Aku… takut ini akan terulang lagi."
Mas Aris memaksa menari tubuhku dalam pelukannya.
"Tidak Fe. Jangan pernah membahas ini lagi. Aku akan mengurus masalah ini. Kau tenang ya. Tolong jangan pernah lagi katakan hal seperti itu."
Airmataku luruh. Kalila adalah segalanya bagiku. Melihatnya kesakitan seperti tadi sungguh membuat jiwaku hancur.
"Bagaimana bisa kau menyuruhku melanggar janjiku sendiri Fe? Aku mencintai kalian. Aku tak bisa kehilanganmu dan Kalila."
"Tapi Kiran anakmu juga."
"Aku akan membuat dia menyayangimu dan Kalila. Bersabarlah, ya?"
***
Pagi pagi sekali aku dikejutkan oleh kegiatan Kiran yang sedang menyapu rumah, membereskan boneka Kalila yang bercecer di ruang tengah, lalu meletakkannya di dalam keranjang mainannya. Terlihat sekali kalau dia canggung tak biasa melakukan hal itu. Tentu saja, Mbak Rindi melarangnya melakukan apapun. Mereka punya ART paruh waktu yang bekerja di rumah.
Dia menghentikan gerakan tangannya ketika aku lewat. Aku diam saja, meneruskan langkahku menuju dapur, bermaksud menyiapkan sarapan. Hari ini aku meminta izin dari kantor. Rasanya tak tega meninggalkan Kalila di rumah walaupun nanti ada Mbak Tia.
"Tante…"
Kudengar suara lirih Kiran memanggilku. Aku menghentikan langkah, berbalik menatapnya.
"Aku… aku minta maaf." Suaranya bergetar.
Dia menundukkan kepala. Aku mengamati wajahnya yang tertutup rambut sebagian. Suasana hatinya yang naik turun dengan cepat itu menjadi catatan ku. Mungkin suatu saat nanti aku perlu membawanya berkonsultasi ke psikolog. Dia telah melewati masa masa yang berat setelah perpisahan orangtuanya.
"Apakah Kiran melakukannu dengan sengaja?"
Dia mengangguk pelan.
"Iya. Tapi aku tidak bermaksud membuat Kalila sampai luka. Aku hanya kesal melihatnya. Papa lebih sayang padanya daripada aku."
Dia mengulangi alasan yang sudah dia katakan pada Mas Aris semalam. Aku memejamkan mata, menata hatiku. Tak akan kubiarkan kebencian menguasai hatiku. Kalau seperti itu, apa bedanya aku dengan dia.
"Tante maafkan, tapi Tante mohon jangan lakukan itu lagi ya. Kalila itu masih keciiill. Kalau kau belum bisa menyayanginya, kasihanilah dia. Dia tak akan bisa membela diri seandainya kau memukulnya."
Kiran mengangguk. Dia memainkan sapu di tangannya dengan gugup. Aku menyentuh tangannya.
"Taruhlah sapu itu. Yuk ikut Tante ke dapur. Kita buat bubur ayam kesukaan Kalila. Tante yakin kamu juga suka."
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
