MEMBALAS SUAMI DAN MADUKU PART 1-5

5
1
Deskripsi

PART1 NODA LIPSTIK DI BAJU SUAMIKU

Malam terasa begitu dingin. Angin yang bertiup menerpa pepohonan dan melambaikan dedaunan nan elok. Hari ini suamiku berjanji untuk pulang. Setelah dua minggu lebih berada di salah satu cabang restoran karena ada sedikit masalah. Sebenarnya jadwal kepulangannya seharusnya seminggu yang lalu. Namun karena terkendala sesuatu hal mengharuskan tinggal untuk beberapa lama lagi.

Aku mengelus perutku yang mulai membesar. Kehamilan yang kelima ini terasa lebih berat, Berbeda dengan kehamilan sebelumnya. Kali ini badan lebih mudah letih. Apalagi Arya, suamiku jarang berada di rumah. Sejak enam bulan yang lalu dia harus keliling restoran kami yang sudah mempunyai 7 cabang di berbagai kota. Hal itu tentu membuat suamiku semakin sibuk. Walau sebenarnya ada yang bertugas mengelola yaitu orang kepercayaan suamiku. Namun suamiku akhir-akhir ini lebih suka untuk mengontrol secara langsung. Aku tidak masalah, yang penting semuanya baik-baik saja.

Dari seminggu yang lalu, perasaanku selalu tak enak. Ada rasa yang tidak nyaman muncul dari dalam dada

Takut terjadi apa-apa dengan suamiku. Saat kuhubungi manager resto yang ada disana, dia menjawab selama satu minggu suamiku tak berada di sana. Aku ngotot dengan argumenku bahwa suamiku ada disana selama seminggu yang lalu karena sedang mengatasi masalah. Namun jawaban pria itu meyakinkanku tak ada masalah yang berarti. Aku semakin panik, dan mulai berfikir tak jelas. 

Ting tong. Bel berbunyi dan membuyarkan lamunanku. Kuayunkan langkah menuju pintu utama. Suamiku muncul dari balik pintu. Senyumnya terlihat manis sekali. Tak terlihat lelah di matanya. Seolah baru saja mengalami sesuatu hal yang menggembirakan.

Aku mencium punggung tangan suamiku dan mengambil travelbag dari tangannya.

“Kau baik-baik saja, Sayang? Bagaimana dengan si dede?” tanya Mas Arya sambil mengelus perutku..

“Aku baik-baik saja, Mas. Aku sangat mengkhawatirkanmu.”

“Aku baik-baik saja. Anak-anak mana?”

“Sudah tidur.“

“Oh, ya sudah.“

“Mau aku siapin makan?”

“Enggak usah, aku sudah makan tadi. Aku cape mau tidur.”

“Ayo!” menggandeng lengan suamiku. Aku mencium wangi parfum yang tidak biasa. Hal ini bukan menjadi kebiasaannya. Biasanya saat pulang dari bepergian, tak ada bau parfum yang masih melekat. Namun kali ini, aku merasakan ada perbedaan. Tubuh suamiku begitu wangi dan terlihat sangat tampan. Wajahnya yang terbiasa dipenuhi jambang dan kumis tipis, kini bersih dan menambah ketampanannya. Walau sudah berusia empat puluh tahun, suamiku masih terlihat muda.

“Oh, ya, mas. Kita punya tetangga baru lo. Orangnya masih muda dan sangat cantik<” Ucapku sambil menaiki anak tangga satu persatu.

“Oh, ya! Rumah yang sebelah mana? Apa kau sudah bertemu dengannya? Dan dia cerita apa saja padamu?” suamiku menghentikan langkahnya. Dia menatap wajahku dengan seksama, lalu mengajukan pertanyaan yang beruntun.

“Iih nafsu amat sih nanya’nya.”Aku mencubit lengan suamiku sambil tersenyum.

“Mmm, enggak sih, biasa aja,” jawab suamiku sambil berlalu.

“Sebelah rumah kita persis. Yang dulu aku bilang ingin membelinya supaya bisa dijadikan satu dengan rumah kita. Anak kita kan banyak. Tapi kamu bilang katanya belum ada uang. Ya, sayang banget sudah kebeli orang.”

“Sudahlah! gak usah bahas hal itu lagi. Aku baru pulang, cape!” Mas arya berlalu. Dia terlihat sangat marah. Entahlah padahal aku juga tidak berkata yang menyinggung perasaannya.  Mungkin saja dia sedang sensitif.

Kami sampai di dalam kamar. Aku langsung menyiapkan piyama untuk suamiku. Sementara suamiku ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.

***

POV ARYA WIGUNA

 

Aku mematung di depan cermin. Berkali-kali mengusap wajah kasar. Apa yang harus aku katakan pada Miranti, kalau rumah itu memang sudah aku beli, tapi bukan untuknya. Dan bagaimana kalau dia sampai tahu jika tetangga baru itu adalah istriku yang berarti madunya. Kenapa juga aku menerima persyaratan yang tidak masuk akal dari Stefani. Saat dia meminta mahar rumah yang ada di sebelah Miranti, aku menyetujuinya tanpa berfikir panjang.

 

Bodohnya aku saat dia memintanya aku terbuai dengan tubuh moleknya yang dengan sukarela diserahkan kepadaku. Aku tak peduli dia gadis atau bukan. Bagiku dia sangat menggairahkan. Stefani tahu aku menggilainya. Bukan hanya tubuhnya yang sexy, kemahirannya di atas ranjang benar-benar membuatku tak bisa lepas darinya. Satu hal yang tak pernah aku dapatkan lagi dari Miranti. Aku akui aku tergila-gila padanya.

Sangat berbeda dengan Miranti. Diusianya yang sama denganku, sudah tidak menggairahkan. Tubuhnya yang bergelambir sana sini sangat berbeda dengan tubuh Stefani yang masih padat dan kencang. Apalagi dia sudah melahirkan berkali-kali membuatku malas menyentuhnya. Jangankan menyentuhnya, melihat dia membuka pakaian saja aku tak bernafsu.

Sekarang, apa yang harus aku katakan pada Miranti. Cepat atau lambat dia pasti akan mengetahuinya. Apalagi mulut Stefani itu tak bisa dipercaya. Dia bisa saja berbicara sendiri kepada Miranti tentang pernikahan kami. 

“Oh Tuhan, apa yang harus aku lakukan?” Aku meremas rambutku. Rasanya pusing tak terkira. 

“Aku tak bisa meninggalkan Stefani karena dia gairah hidupku. Aku juga tak mungkin meninggalkan Miranti karena dia assetku. Kalau Miranti sampai mengetahui pernikahan keduaku di saat yang tak tepat, bisa-bisa dia menendangku dari hidupnya.”

Kupejamkan mata sejenak, mengenang kembali betapa indahnya bulan maduku bersama Stefani. Pulau dewata, disanalah aku dan Stefani mengikat janji. Dulu menjadi impianku dan Miranti untuk bisa mengikat janji suci disana. Namun dulu karena terkendala masalah biaya, hingga kami memutuskan untuk acara sederhana saja di rumah Miranti. Hucu, rasanya menyebalkan.

Tapi kini, aku sudah memenuhi keinginanmu Miranti. Tapi bukan denganmu, melainkan dengan madumu. Stefani aku menggilaimu. Kau begitu pandai menyenangkanku. Rasanya seminggu tak cukup untuk berbulan madu. Wajahmu, tubuhmu oh Stefaniku kau benar-benar membuatku gila. Membuatku lupa kalau aku bukan hanya milikmu. Tapi ada seorang wanita hamil yang menanti kepulanganku. Shiitt, mengingat wanita hamil itu, membuatku muak.

 

****

POV ASMARA MIRANTI

Kupegang pinggangku yang terasa pegal. Seharian tadi aku begitu lelah. Mengurus rumah dan ke empat anak tanpa ART sangat melelahkan. Aku sudah pernah meminta untuk dicarikan ART kepada Mas Arya. Namun suamiku menolaknya secara halus. Dia bilang kalau kami harus berhemat, karena omset restoran kami sedang turun. Bahkan uang bulananku dipotong lima puluh persen. 

Restoran AYAM GORENG KAMPUNG MIRANTI adalah warisan dari orangtuaku. Dulu memang hanya mempunyai dua cabang. Berada ditangan dingin Mas Arya bisa menambah lima cabang lagi. Suamiku sangat pandai dalam berbisnis.

“Mir, jangan lupa siapin baju untuk besok ya! Aku mau ke bandung selama seminggu!” seru suamiku dari dalam kamar mandi.

“Pergi lagi? Bukannya kamu baru pulang?”

“Iya, masih banyak urusan di sana! Pokoknya kamu siapin aja!”

“Iya!”

Mata terasa sangat mengantuk Ingin rasanya memejamkan mata saat ini juga.

 Aku lalu membongkar pakaian kotor untuk diganti dengan yang baru. Tunggu, aku melihat  ada noda seperti lipstik. Aku tak percaya dan meneteliti ulang dan hasilnya sama. Noda lipstik ada disetiap bajunya.

Aku meneliti seluruh isi koper. Saat membuka bagian resleting bagian dalam, aku menemukan alat kontrasepsi pria di dalamnya.

Deg, dadaku bergemuruh. Untuk apa dia membawanya saat bepergian. Benarkah suamiku berselingkuh. Alat itu sudah menunjukkan kalau suamiku punya wanita lain. Tidak mungkin seorang pria membawanya tanpa bersama seorang wanita. Belum lagi bekas lipstik yang ada di bajunya.

“Ohh,” Aku mendadak limbung dan hampir terjatuh. Kupegang perut yang agak mulas. Aku tak percaya dengan semua ini. Mas Aryaku   adalah lelaki setia. Tidak mungkin dia menghianatiku. Tega sekali kau Mas. Kedua mata mulai mengembun. Tanpa terasa airmata jatuh menetes. Aku lemah, aku tak berdaya. Kenapa aku harus mengalami hal ini. Oh Tuhan, tolonglah hambaMu.

 

2. PENGHIANATAN SUAMIKU

“Miranti, kamu kenapa?” Mas Arya terkejut melihat tubuhku yang terbaring lemas di lantai sembari memegangi perut. Dia menggendong tubuhku dan membaringkan di atas ranjang. 

“Miranti, bangun. Kita ke dokter ya!” Mas Arya sangat mencemaskanku. Berkali-kali dia menepuk-nepuk pipiku. Dia mengira aku tak sadarkan diri. Tubuhku memang lemas, tapi aku tetap sadar. Semua kecemasan yang Mas Arya rasakan, bagiku itu palsu. Pria yang tega menghianati istrinya adalah pria yang pandai berbohong. Semua yang dia katakan hanya palsu belaka.

Aku tak ingin membuka mataku. Ingin rasanya aku akhiri saja hidupku. Rasa sakit yang aku rasakan tak bisa terbayar oleh apapun. Jiwaku lemah, ragaku tak ingin bersahabat dengan nyawa. Pergilah kau wahai nyawaku, aku tidak ingin bersamamu lagi. Pergi lah jauh dan bawa ragaku bersamamu. Aku tak mau melihat wajah suamiku lagi. Tanpa terasa airmata menetes di pipiku. Isak tangis lirih mulai terdengar, membuat suamiku tersenyum dan memelukku.

“Syukurlah, kau sudah sadar sayang.” Mas Arya mengecup keningku lembut. 

Dulu akau sangat menyukai kecupan itu. Tanpa mendapat kecupan itu mataku tak mampu terpejam di malam hari. Suamiku tahu akan hal itu dan tak pernah absen untuk mengecup keningku saat berada di sampingku. Kini kecupan itu membuatku muak. Aku jijik dengan bibirmu yang sudah ternodai karena perselingkuhanmu. Bibir yang dulu sangat aku gilai, kini aku sangat membencinya. Pasti sudah menempel noda menjijikkan dari wanita selingkuhannya itu. Sakit dan terasa bagai tersayat ribuan jarum.

Mengingat anak dalam kandungan menyadarkan bahwa aku tak boleh mati. Aku tidak boleh kalah oleh Mas Arya. Kalau aku mati, kasihan anak-anakku. Bagaimana nasib mereka berada ditangan ayah yang tak peduli pada mereka. Belum lagi kalau dia menikahi selingkuhannya. Aku tidak rela hartaku jatuh ketangannya. Aku akan mencari bukti tentang perselingkuhannya. Aku harus bisa menahan diri.

“Kamu sudah sadar? Aku cemas sekali. Kamu kenapa sayang?” Mas Arya membelai rambutku. Ingin sekali aku menepisnya. Namun aku membiarkannya untuk menutup kecurigaanku.

“Aku enggak apa-apa Mas. Aku tadi mau beresin baju-baju kamu yang ada di koper. Tapi tiba-tiba badanku lemas. Maaf, tolong kamu beresin sendiri ya? Semua sudah terlanjur aku keluarkan.

“Iya tidak apa-apa. Sebentar ya.” Mas Arya beranjak hendak meninggalkanku. Namun aku mencegahnya saat melihat tanda merah keunguan di leher suamiku. Aku tahu betul itu tanda apa. Sebagai wanita yang bersuami aku tak meragukan bahwa itu tanda bahwa suamiku benar-benar punya selingkuhan. Hancur hatiku. Bumi seakan berhenti berputar. Ku pejamkan mata sejenak.

“Ada apa?” tanya suamiku.

“Leher kamu kenapa? Apa ada yang melukaimu?”

Mas Arya terlihat gugup. Dia berusaha menutupi leher dengan tangannya. Tak ada sepatah katapun keluar dari bibirnya. Wajahnya terlihat pucat dan tangannya sedikit gemetar.

“Kamu kenapa, Mas? Sakit?” tanyaku padanya.

“Tidak, aku hanya .... “

“Kau belum jawab pertanyaanku tadi.”

“Yang Mana ya?” suamiku berpura-pura lupa untuk menutupi kegugupannya.

“Masa kamu lupa sih? Itu tanda yang ada di leher kamu?”

“Oh ini,” Mas Arya mencoba memegang leher bagian yang lain.

“Bukan, itu yang sebelah kanan.”  Aku tahu suamiku terpojok. Dia tahu persis aku tak pernah meninggalkan bekas di sana. Kau sendiri yang melarangku untuk melakukan itu. Kau begitu tegas terhadapku, tapi tidak dengan selingkuhanmu. Seistimewa apa dia untukmu, Mas. Bahkan larangan terhadapku tapi tidak untuk wanita itu. Dadaku begitu sakit seperti tertindih batu yang sangat berat.

“Oh ini ... ini ....”

Ponsel Mas Arya berbunyi dan menjadi angin segar untuknya. Sejenak dia bisa menghidar  dari pertanyaanku. Aku melengkungkan sudut bibir. Itu takkan berlangsung lama. Sebentar lagi akan menghujanimu dengan pertanyaan yang pasti membuatmu terpojok.

Aku memasang telinga, mencoba mencuri dengar pembicaraan mas Atya di telpon. Walau suaranya begitu lirih, tapi lamat-lamat kupingku menangkap pembicaraan yang membuatku muak.

“Iya sabar, Aku juga menginginkanmu lagi, kau sangat menggairahkan. Nanti kalau istriku tertidur, aku pasti ke rumahmu. I love your body. Mmuach”

Cuih, menjijikkan sekali. Benar-benar membuat emosi naik. Dasar pria tak tahu diri. Sudah aku angkat derajatmu dan keluargamu, masih berani berselingkuh. Tunggu saja apa yang akan aku lakukan untuk membalas perbuatanmu. Aku kembali memegangi perut yang kembali di dera rasa sakit. Anak yang ada dalam perut saja tidak terima dengan perlakuan ayahnya. 

“Dari siapa? kenapa harus menghindar dariku?” tanyaku dengan pertanyaan yang kembali memojokkannya.

“Oh itu, mmm ... dari manager resto yang ada di bandung. Katanya ada sedikit masalah sih.”

“Lalu, apa dia menyuruhmu untuk ke sana?”

“Iya.”

“Baguslah. Aku ikut denganmu,” Kataku dengan santai.

“Oh, tidak usah. Kehamilanmu sudah cukup besar. Sangat berbahaya kalau harus menempuh perjalanan jauh. Aku takut terjadi apa-apa dengan anakku.” Mas Arya mengelus perutku. Dia berusaha menolakku. Aku tahu, itu hanya alasannya saja. Padahal yang sebenarnya, dia akan pergi bersama selingkuhannya itu. Menyebalkan.

“Mas, perjalanan dari jakarta ke bandung gak butuh waktu lama. Paling dua jam aja sampai. Gak akan membuatku cape. Aku juga sudah lama tidak mengontrol restoran kita. Siapa tahu dengan kedatanganku, masalah di sana bisa teratasi.” Jawabku tegas. Aku tak boleh kalah dari suamiku.

“Apa kau tak percaya lagi padaku, Miranti?” Mas Arya terlihat tak senang dengan ucapanku.

“Bukan begitu, Mas. Tidak ada salahnya’kan kalau aku juga ingin memastikan reso kita baik-baik saja?”

“Sudahlah, hari sudah malam. Tidurlah. Besok pagi sekali aku akan berangkat ke bandung. Kau urus saja anak-anak. Jangan sampai mereka terlantar.” Mas Arya tidur di sampingku dan menarik selimut, lalu pura-pura tertidur.

Dia pikir aku sebodoh itu. Dengan berpura-pura tidur, kau pikir aku akan ikut tertidur. Arya wiguna, istrimu tak sebodoh itu. Aku akan tetap membuatmu terjaga. Atau setidaknya aku yang akan terjaga sampai pagi supaya rencanamu untuk menemuinya malam ini tak terlaksana.

Ponsel suamiku berbunyi. Aku penasaran dan melirik ke arah ponsel yang dari tadi terus berada dalam genggamannya. Satu pesan masuk pada aplikasi berwarna hijau. Pesan itu terlalu panjang, hingga aku tak bisa membacanya secara lengkap. Hanya balasan pesan singkat dari Mas Arya yang dapat kubaca.

[Sepuluh menit lagi otw.]

Hanya itu balasan darinya, lalu mematikan ponsel kembali. Kau pikir akan mudah lari dariku malam ini. Tidak akan kubiarkan kau pergi dari sisiku.

“Mas.”

“Hmm.”

“Aku mau tanya.”

“Besok saja, aku sudah ngantuk.”

“Harus sekarang.”

”Besok saja.” Mas Arya menutup kuping dengan bantal.

Benar-benar membuat tensi darahku naik. Kau yang mulai memancing emosiku. Tak perlu aku tahan lagi apa yang ingin aku ketahui. Kau menantangku, Arya. Lihatlah, aku atau kamu yang akan menyesal.

Aku menarik bantal yang menutupi telinga Mas Arya dengan kesal dan membantingnya ke lantai. “Bekas lipstik siapa yang ada di pakaianmu?!” Aku mulai terpancing emosi. Suamiku benar-benar tak menghargaiku sebagai istrinya. Hanya ingin bertanya harus menunggu besok. Keterlaluan sekali dia.

Mas Arya terkejut. Dia membalikkan badan dan menatap  tajam ke arahku.

“Apa maksudmu?! Jangan mengada-ada. Ini sudah malam. Tidurlah!” perintahnya. Namun aku mendengar suaranya bergetar. Dia mencoba mengalihkan pertanyaanku.

“Aku tidak mengada-ada. Semua ada buktinya.”

Mas Arya memukul ranjang. “Kamu ini cari gara-gara terus. Bikin aku malas pulang ke rumah!” Dia beranjak dari tempat tidur dan melangkah menuju pintu hendak keluar, tapi aku menahannya.

“Tunggu! Aku tidak mengada-ada. Aku punya buktinya.” Ku langkahkan kaki ke arah koper yang  masih berantakan. Aku memungut kemejanya satu persatu dan memperlihatkan kepadanya. 

“Ini, semua kemejamu ada bekas lipstik dengan bentuk bibir yang sama!”

Wajah Mas Arya pucat. Dia tak mengira aku akan menunjukkan bukti yang bisa memojokkannya. Tapi bukan Mas Arya namanya kalau tak bisa mengelak.

“Mungkin saja itu bekas lipstik pengunjung yang tadi sempat menabrakku.” Mas Arya menjawab dengan sekenanya. Dia mulai kehilangan rasa percaya dirinya.

“Apakah orang yang menabrakmu adalah sama, dan kejadian itu berulang hingga disetiap kemejamu menempel noda lipstik dengan bentuk bibir yang sama?!” Aku makin kesal dengan suamiku dan tak bisa lagi mengendalikan emosi.”

Mas Arya terdiam. Dia mengusap wajahnya kasar berkali-kali dan terlihat tak tenang.

“Jelaskan padaku, jangan diam saja!” Aku mengguncang bahu suamiku. Mataku terasa panas. Tanpa terbendung lagi, airmata menetes di pipi. 

“Kau pasti sudah menghianatiku, Mas. Sakit hatiku, sakit Mas.” Aku terus memukul dada suamiku. Mas Arya tetap diam, lalu meraih tubuhku ke dalam pelukannya tanpa sepatah katapun. Bahkan kata maafpun tak terucap dari mulutnya, seolah perbuatannya tidak menyakitiku.

Aku melepas pelukannya dan kembali menuntut penjelasan dari suamiku. “kamu jelaskan Mas. Jangan diam saja.”

“Penjelasan apalagi. Kau sedang sensitif, jadi pikiranmu kemana-mana.” Mas Arya masih tetap mengelak. Dia tetap saja tak mau jujur.

Aku tak kehabisan akal. Ada satu lagi yang menjadi bukti terkuat. Segera kuambil alat kontrasepsi pria yang ada di dalam koper dan melemparkannya tepat mengenai wajah suamiku. Dia tersentak saat mendapati dus kecil bergambar wanita dan seorang pria yang terjatuh tepat di hadapannya.

Wajah Mas Arya kembali memucat. Dia sepertinya tak mengira aku akan menunjukkan bukti tersebut. Dia mengusap peluh yang membasahi wajahnya dengan telapak tangannya.

“Miranti, aku bisa jelaskan. Ini tidak seperti apa yang kamu duga. Itu bukan milikku aku menemukannya di toliet pom bnesin dan .... aku memungut sampah itu untuk aku buang dan .... “

“Kebohonganmu sangat tidak masuk akal. Sejak kapan kau jadi pemulung? Jawab yang jujur Mas, kau sudah selingkuh’kan? keterlaluan kamu, keterlaluan!” Aku menjerit histeris dan menangis sejadinya. Mas Arya menutup mulutku dengan telapak tangannya yang kekar supaya suaraku tak terdengar hingga keluar. Aku meronta tapi suamiku tetap membiarkanku hingga aku sesak nafas.

Tak mau menjadi korbannya, kugigit tangannya  hingga terlepas darinya.

Kembali berteriak memaki suamiku. Dan tanpa aku duga Mas Arya melayangkan tangannya ke arahku. Tamparannyasangat keras hingga membuat sudut bibirku menetes darah segar. Aku terdiam dan mengusap sudut bibir. Kembali menagis dan tak percaya suamiku tega melakukannya.

“Itu peringatanku yang pertama Miranti. Jangan lagi-lagi kau berani kepadaku! Jangan keluar kamar tanpa seijinku!” Mas Arya keluar dan membanting pintu dengan keras lalu menguncinya dari luar,

Aku menjatuhkan tubuhku ke lantai. Bukan hanya pipiku yang sakit, tapi hati ini lebih sakit. Rasanya bagai ribuan anak panah yang menusuk hati. Apa salahku. Aku sudah mengurus keempat anaknya dengan baik. Aku juga selalu melayani kebutuhannya. Tapi dia begitu tega menghianatiku. Sakit sekali rasanya hati ini. 

3. KEBERANIAN UMAR PUTRAKU

POV ARYA WIGUNA

Kulangkahkan kaki menuju pintu utama. Ingin segera meninggalkan rumah menuju surga baruku. Sikap Miranti benar-benar mengesalkan. Terlalu mengurusi urusan pribadiku. 

Seharusnya dia tak mengusik caraku untuk bahagia. Kenapa dia harus seteliti itu  mempertanyakan tentang noda lipstik itu. Wajarlah seorang suami mencari kesenangannya di luar sana kalau berada di rumah seperti dalam neraka.

Apalagi di kehamilannya kali ini sangat cerewet dan manja. Sudah tahu usia tak muda lagi masih saja hamil. Gak hamil saja aku malas pakai, apalagi dengan body yang melar seperti itu. Bisa membuat burungku tak mau bangun dan melempem kaya krupuk. Huch sebal sekali. Awas saja kalau dia berani melawanku, akan aku beri hukuman yang tak kan dilupakan seumur hidupnya. 

Kuputuskan untuk pergi ke rumah istri mudaku. Sangat membahagiakan kalau aku mengingatnya. Dia adalah penyemangat hidupku. Bersamanya aku selalu gembira. Bibirnya yang ranum, tubuh indahnya yang sexi dan menggairahkan, oh benar-benar membuatku mabuk kepayang. Di usianya yang tak jauh dari usia putraku terasa sangat legit. Sulit di ungkapkan dengan kata-kata. Saat aku bersamanya, tak ingin melewatkan waktu sedetik saja untuk menyesap madu yang begitu manis. Oh aku sangat menikmatinya, sangat menggilainya.

Tak sabar untuk ke rumah Stefani yang berjarak hanya sejengkal dari rumahku. Segera membuka pintu. Bayangan indahku bersama Stefani menjadi musnah saat melihat kedua putra kembarku yang berdiri di balik pintu. Mukaku berubah masam melihat anakku yang berusia delapan belas tahun itu baru saja pulang. Kemana mereka malam-malam begini. Pasti baru pulang dari diskotek seperti kebiasaan yang kulakukan bersama stefani. Kenapa bisa hal buruk yang aku lakukan menurun kepada mereka? Bukankah mereka tidak tahu keburukanku. Ah, itu bukan salahku. Semua salah Miranti yang tak becus mendidik putraku. Percuma menyekolahkan mereka kalau hanya menjadi anak yang tak bermoral.

Kupasang wajah amarahku supaya kedua putraku takut. Entahh dengan cara apa aku harus mendidiknya untuk membuat mereka menjadi lebih baik.

“Umar, Amir darimana saja kalian tengah malam begini baru pulang? Apa kau mabuk-mabukkan dan pergi ke diskotik?!” tanyaku dengan berkacak pinggang di hadapan mereka.

“Enggak pah. Kami dari rumah om fajar ngerjain tugas. Laptop kita’kan rusak.” Jawab umar santai. Tak ada rasa takut sedikitpun kepadaku.

“Sejak kapan kau mulai belajar berbohong?!” teriakku di depan wajahnya.

“Tapi umar tidak bohong, pah. Umar bicara jujur, tanya saja sama Amir!” bantah putraku umar.

“Benar pah, Kak umar tidak bohong.” Jawab putaku Amir.

“Kalian bikin malu papah! Kenapa tidak bilang kalau laptop kalian rusak?! Minta mamahmu untuk membelikannya!”

“Umar sudah bilang sama Mamah. Tapi mamah bilang, lagi ngumpulin uang. Uangnya belum cukup untuk saat ini.”

“Alasan saja mamahmu itu. Dia sudah papah kasih duit. Minta saja padanya. Ingat, papah tidak mau kamu pergi lagi ke rumah Fajar! Papah tidak suka!”

“Tapi kenapa pah? Om Fajar orang yang sangat baik. Bahkan dia sering ngasih kami uang kok.” Jawab Umar putra sulungku. Dia lebih berani ketimbang amir. Entah sifatnya meniru siapa. Padahal miranti orang yang pendiam dan gampang dibodohi.

“Papah bilang tidak suka ya tidak suka! Aku papahmu dan turutilah perintahku!”

“Tapi mamah mengijinkan kami untuk dekat dengan Om Fajar! Dia orang yang sangat baik. Jadi papah jangan menuduhnya sembarangan!” teriak Umar di hadapanku. Anak itu benar-benar membuatku naik darah. Berani-beraninya dia membela orang lain daripada papahnya sendiri.

“Jaga bicaramu umar! Jangan berani melawan orang tua!”

“Umar tidak pernah berani melawan orangtua, kalau yang diajarkan benar! Lah ini, masa papah ngajarin umar untuk memutus silaturahmi dengan Om Fajar, teman papah sendiri! Itu kan lucu dan gak nyambung banget!”

“Umur, kecilkan suaramu! Kau sedang bicara dengan papahmu! Hormati aku!” aku makin naik pitam. Umar memang sangat berani. Bahkandia berani melawanku saat aku menghukum Miranti. Anak itu pernah memelintir tanganku saat aku menampar Miranti di depannya. Kurang ajar sekali anak satu ini. Beraninya melawan orang yang sudah berjuang keras mencari nafkah untuknya.

“Papah selalu minta di hormati. Tapi papah tidak pernah menghormati mamah dan juga menyayangi kami, anak-anakmu! Papah selalu sibuk dengan urusan di luar dan tak peduli pada kami!”

“Jaga bicaramu umar! Siapa yang mengajarimu untuk berani kepada orang tua?! Apa mamahmu yang mengajarinya?!”

“Jangan pernah salahkan Mamah. Aku sangat bangga dilahirkan dari rahim wanita seperti mamah. Tidak sepetti papah, aku bahkan menyesal punya ayah seperti papah!”

“Kurang ajar!” Tanganku mengepal. Aku sudah tak bisa menahan diri untuk memukulnya. Bukk, satu pukulan keras mengenai rahang Umar. Sengaja ku layangkan tinju untuk mendidiknya. Anak ini sungguh keterlaluan berani melawanku.

“Berhenti Mas!” ku dengar suara miranti. Aku menoleh ke arahnya yang sedang berlari menuruni anak tangga dan mendekat ke arah kami.

“Apa yang kau lakukan pada putraku?!” Miranti memukuli lenganku. Namun aku berhasil  menguncinya.

“Siapa yang membuka pintu untukmu?! Aku sudah perintahkan untuk tidak keluar dari kamar!” aku benar-benar murka dengan sikap istriku yang tak menghargai perintahku.

“Tidak usah kau tanyakan itu! Satu kali lagi kau pukul anakku, aku akan hancurkan hidupmu, Arya wiguna!” aku melihat sorot mata istriku begitu mengerikan. Kilatan api kemarahn begitu nyata terlihat di sana. Belum pernah aku melihatnya seumur hidupku.nNamun aku tidak takut. Aku suaminya dan kepala rumah tangga. Siapapun tak bisa mengancamku termasuk juga Miranti.

“Aku memukul anakmu karena sudah kurangajar kepadaku! Apa kau yang sudah mengajarkan kepadanya untuk berani kepaku?!”

‘Tidak pah. Mamah tidak pernah mengajarkan kami seperti itu. Tapi sikap papah sendirilah yang membuatku berani melawan papah! Tidak sia-sia kakek memberiku nama umar. Aku harus menjadi seorang yang gagah berani sepeti umar bin khattab yang melawan kezaliman!”

“Tapi tidak dengan melawan papahmu! Makanya papah tidak suka kamu ikut acara rohani di sekolah, kalau hanya untuk melawan papah saja!”

“Cukup Mas! Jangan mengalihkan pembicaraan. Setidaknya dengan mengikuti kegiatan rohani di sekolah dia bisa tahu mana tentang kebenaran yang tak pernah di ajarkan olehmu!”

“Ya, dan umar jadi tahu, kalau ternyata tante-tante yang sering di kenalkan ke umar waktu umar masih kecil, ternyata selingkuhan papah! Dan papah berdosa besar karena sudah membohongi mamah!”

“Kurang ajar sekali umar lagi-lagi kau bicara bohong tentang papahmu!” ku layangkan lagi tinju ke arahnya. Namun istriku menghalanginya hingga aku kesal dan melampiaskan kekesalanku pada Miranti. Aku memukulnya tepat mengenai pipinya.

Aku puas telah memukulnya. Kulihat kedua putraku menolongnya. Aku hanya tertawa melihat kelemahan istriku.

“Makanya jangan berani melawanku Miranti. Kau hanya wanita lemah yang takkan mampu melawanku!”

Umar berdiri dan menatap ke arahku. Sorot matanya penuh amarah. Aku mundur selangkah. Masih teringat dalam memory otakku saat usianya masih lima belas tahun, dia pernah membantingku saat ku tampar Mranti. Tinggi badannya yang mencapai seratus delapan puluh senti dengan bobot tubuh yang proporsional membuat kekuatannya jauh melebihiku.

Dulu dia sangat menurut padaku dan berharap bisa melindungi seluruh keluargaku. Tapi kini dia seperti hendak memangsaku. Tidakkah dia lupa kalau aku ini papahnya. Aku bukannya takut. Namun melawannya pasti aku yang terkalahkan dan akan membuatku malu. Apalagi kalau stefani tahu. Bisa-bisa dia mengejek kejantananku.

4.KEDUA MANUSIA TERKUTUK

POV ARYA WIGUNA

Umar terus mendekat kearahku. Tak bisa hal ini di biarkan. Sebagai orangtua, tak boleh kalah oleh anak ingusan itu. Takkan kubiarkan anak itu menang melawanku.

“Mau apa kau, umar? Kau mau balas memukul papah?” tanyaku padanya.

“Umar tidak pernah membalas saat papah menamparku. Tapi papah sudah memukul mamah, dan aku harus membalasnya!” jawab putraku kalap.Anak nakal itu mengepalkan tangannya dan siap memukulku.

“Dia istri papah. Dan papah berhak memberinya hukuman!” jawabku tak mau kalah.

“Tapi tidak dengan memukul! Jangan pernah sakiti mamah, atau papah berhadapan denganku!” umar menekan leherku hingga sakit tak tertahankan.

“Jangan kurangajar kamu sama papah! Lepasin papah!” rasa sakit menekan seluruh syaraf leher dan juga tenggorokan, membuat kepalaku terasa berkunang-kunang. Kucoba melepaskan diri, tapi tangan juara taekwondo itu seperti besi yang sangat kuat.

“Sekarang, rasakan pembalasanku!” Umar mengarahkan tinjunya kepadaku. Kupejamkan mata dan siap menerimanya. 

“Umar, jangan lakukan itu, nak!” terdengar teriakan Miranti menghentikan umar.

“Biarkan umar membalas perbuatan papah!”

“Jangan nak, dia itu papahmu. Hormatilah dia. Mamah tak pernah mengajarkanmu untuk tidak menghargai papahmu! Tenang, nak.” Miranti terlihat menenangkan umar. Perlahan, umar menurunkan tangannya. Tekanan pada leherkupun makin merenggang dan terlepas.

Aku memegangi leher yang terasa sangat sakit.

“Miranti! Kau sudah gagal menjadi seorang ibu! Kau menggalang kekuatan dengan putramu untuk melawanku! tetap saja dimataku kamu wanita lemah, walau kau menggunakan kekuatan apapun!” ancamku pada Miranti.

“Dengar, Arya wiguna!”

Aku terkesiap mendengar Miranti yang hanya memanggil namaku saja. Kurang ajar sekali dia.

“Kau mungkin berfikir aku lemah! Tapi kau lupa aku punya empat putra! Satu kekuatan mereka adalah sepuluh kekuatanku! Hanya dengan satu putra saja, kau sudah membutuhkan pertolonganku! Bagaimana kau bisa menghadapi ke empat putramu nanti, saat kau tak adil padaku!” 

Miranti benar-benar membuatku kesal. Ingin rasanya memukulnya lagi. Dia memang perlu diberi sedikit pelajaran supaya tak terus membangkangku. Segera kutarik lengannya, namun umar melepas tanganku dengan paksa.

“Amir, lindungi mamah!” perintah umar kepada adiknya.

“Baik kak!” amir segera berdiri di depan miranti. Sedang umar berjaga-jaga jikalau aku akan memukul mamahnya. Baiklah, kedua anakku mulai berani melawanku. Aku akan memberi pelajaran kepada mereka nanti.

Kupandangi perut Miranti yang mulai membesar. Istriku menatap mataku dan tahu kearah mana aku memfokuskan pandanganku. Dia menutupi perutnya dengan tangannya seakan takut aku akan mencelakai anak yang ada dalam kandungannya. Aku memang tak mengharapkan anak lagi dari miranti. Empat anak laki-laki saja sudah membuatku muak terhadap mereka.

“Miranti! Aku harap anak dalam kandunganmu itu perempuan. Aku tak ingin punya anak laki-laki lagi yang hanya bisa menyusahkanku saja! Harus perempuan. Kalau bukan, jangan pernah lahirkan anak itu!” ucapku sambil pergi meninggalkannya.

“Cabut kata-katamu, Mas! Kau adalah seorang ayah! Ucapan adalah sebuah do’a!” ku dengar teriakan Miranti. Aku tak peduli. Aku takkan pernah mencabut kata-kataku. Biarlah anak itu tak pernah lahir, kalau hanya akan menyusahkanku saja.

“Mau kemana kamu, Mas?!” teriak miranti.

Masih saja ku dengar teriakannya memanggil namaku. Biarlah, aku tak perlu mempedulikan. Makanya jadi istri itu nurut sama suami, biar suami ganteng kaya aku ini gak  ilang. Aku menggelengkan kepala dan semakin menikmati permainan ini. Ini baru awal Miranti, kau akan lebih menderita lagi setelah ini. Tunggu saja saatnya tiba.

Saat aku sampai di pintu gerbang, aku dikejutkan oleh seseorang yang menghadang jalanku. Wajahku memucat bagai mayat. Tak mungkin dia berani ke rumah tanpa perintahku. Lidah kelu, bibir terasa membeku  tak mampu mengucap kata apapun. Sangat sulit untuk percaya dengan semua ini.

“Sayang, kenapa kau terkejut?” sapa wanita yang sangat aku gilai. Dia berpakaian begitu sexi dan transparan. Membuat gairah lelaki membludak.

“Kenapa kau datang kemari? Bisa bahaya kalau istriku tahu.” Bisikku lirih. Aku tak ingin miranti mendengarnya.

“Aku sudah lama menunggumu, tapi kau tak datang. Aku merindukanmu.” Bisik Stefani manja. Gadis berusia sembilan belas tahun itu mengedipkan sebelah mata genitnya.

“Tapi aku ....”

“Siapa Mas?” kudengar suara Miranti mendekat ke arahku.

“Mmm, ini .... anu ....”

“Oh, bu Arya. Ayo silahkan masuk.” Miranti begitu sopan menghadapi stefani. Dia belum tahu kalau wanita itu adalah madunya. Bahkan dia memanggilnya dengan nama Bu Arya seperti namanya.

“Iya, terimakasih bu. “ jawab stefani.

“Ini Bu Arya mas, tetangga kita yang baru. Beliau penghuni rumah sebelah. Dia baru saja pulang berbulan madu di bali bersama suaminya. Dan nama suaminya sama denganmu. Siapa tahu kita bisa berteman.” Miranti tersenyum. Aku tahu dia hanya berpura-pura baik di depan stefani. Aku terbatuk saat mendengar cerita Miranti. Jelas saja namanya sama, karena suaminya sama dengan suamimu. Miranti, miranti kasihan amat kamu.

“Silahkan masuk, Bu arya.”

“Terimakasih. Tapi saya cuma mau minta tolong, lampu di kamar saya mati. Saya mau minta tolong untuk menggantinya. Suami saya belum pulang, jadi saya sendiri dan tidak bisa menggantinya.” Jawab stefani tenang. Dia benar-benar pandai memainkan situasi, hingga istri bodohku percaya pada mulut manisnya.

“Oh, sebentar saya panggilkan anak saya. Dia anaknya tinggi, pasti bisa membantu.”

“Hmm tunggu!” stefani berusaha mencegah, tapi Miranti tetap saja masuk pasti untuk memanggil umar, perisainya.

“Aku menunggumu sampai lelah, kenapa kau tak datang sayang?” stefani mengalungkan tangannya di leherku dan melumat bibirku. Aku melepasnya. 

“Jangan di sini. Bersabarlah, sebentar lagi mereka pasti tidur.”

“Baiklah sayang. Itu istrimu datang.”

Kami berbenah diri dan berpura-pura tak melakukan interaksi apapun.

“Mas, kamu saja yang bantu Bu Arya. Umar cape katanya.”

“Baiklah. Aku ... akan membantunya dengan senang hati.” Jawabku kilat.

Aku dan stefani saling memberikan kode dengan mengedipkan sebelah mata. Betapa bodohnya kau Miranti. Angin segar telah kau tiupkan dalam hubungan kami malam ini. Apakah kau juga tahu betapa aku sangat merindukan tubuh stefani. Aku takkan bisa tidur malam ini sebelum menjamahnya. Kau memang istri yang sangat mengerti kebutuhan suamimu. Terimakasih istri bodohku. Aku tersenyum sembari menatap ke arah Miranti.

“Kenapa kau masih diam? cepat bantu Bu Arya. Kasihan.”

“Baiklah. Mari bu Arya.” Aku mempersilahkan stefani untuk berjalan di depan. Tanpa menunggu lama aku mengekor di belakangnya. Aku bahagia, karena Miranti tak mencurigai kami sama seakali.

Setelah ku pastikan Miranti masuk dan menutup pintu, segera ku tarik lengan stefani dan mengunci pintu. Tak ingin berbasa-basi segera membawanya ke kamar dan melampiaskan kerinduan yang menghimpit dada. Terasa sangat indah dan membuatku terlena. Aku bahkan lupa akan waktu karena asyiknya permainan kami.

Saat hampir mencapai puncak terdengar bel yang berbunyi berkali-kali. Aku kesal dan marah saat kesenanganku terganggu. Lalu berniat untuk memarahi orang yang tidak sopan dengan memencet bel berkali-kali.

Namun stefani mengingatkanku, “ Sayang, biar aku yang buka pintu. Siapa tahu dia istrimu.”

“Oh Tuhan, kenapa aku bisa lupa.” Aku memukul keningku perlahan.

“Cepat kenakan pakaianmu. Itu kamu pegang lampu yang ada di meja.” Stefani segera berpakaian dan terlebih dahulu menuju dapur lalu menyalakan kompor. Entah apa yang akan dilakukannya. Aku segera berpakaian dan menguping dari balik pintu. Kulihat Miranti masuk dan terlihat sangat cemas.

“Bu Arya, kenapa pintunya di kunci? Mana suami saya?” Miranti seolah mulai curiga.

“Tadi saya dari kamar mandi, lalu  memasak di dapur, jadi pintunya saya kunci. Takutnya ada orang masuk.”

“Suami saya mana?!” Miranti meninggikan suaranya. Sebelum situasinya semakin sulit, aku harus keluar dari kamar Stefani.

“Sudah selesai bu, saya pulang dulu.” Ucapku pada stefani.

“Oh iya, terimakasih pak.”

Kutarik lengan Miranti menjauh dari rumah stefani. Saat hampir mencapai pintu, Miranti melepaskan tangannya dengan paksa.

“Mas, kenapa kamu lama sekali?! Apa yang kamu lakukan dengannya?! Dia itu istri orang, jangan bikin malu!” 

Beraninya Miranti berkacak pinggang di depanku. Benar-benar wanita menyebalkan.

“Tadi stop kontaknya juga rusak, jadi aku perbaiki juga. Sudahlah! males ngomong sama orang stress kaya kamu!”  meninggalkan Miranti yang terus mengomel tak jelas. Aku tak peduli. Anggap saja ember bocor yang harus di buang, ha ... ha ...

Dasar wanita bodoh. Maunya aku kibulin. Bukan cuma lampu yang dibetulin, tapi pemilik rumah juga sekalian aku cash. Untung saja cuma sebentar, kalau kelamaan bisa meledak. Oh stefaniku. Sepanjang jalan menuju kamar, wajahnya selalu membayangiku. Aroma tubuhnya serasa masih melekat di tubuhku. Malam ini aku akan bermimpi indah bagai di taman surga. Aku mengunci kamar dari luar supaya istri bodohku tak masuk dan mengganggu istirahatku.

5. DATANGNYA BENALU

POV MIRANTI

Cape sekali rasanya pagi ini. Kurebahkan tubuhku pada sofa tamu. Anak-anak sudah berangkat sekolah. Artinya, pekerjaan pagi sudah terselesaikan. Untung saja putraku mau membantu pekerjaan rumah hingga tak harus menyelesaikan sendiri.

Ting tong, bel berbunyi. Dengan rasa malas, perlahan aku bangkit. Memegang perut yang sudah cukup besar. Tak sabar rasanya untuk segera melihat wajahnya. Lelaki atau perempuan sama saja. Yang penting lahir dengan kondisi sempurna, sehat dan selamat.

Ting tong, ting tong! Bel berbunyi berkali-kali hingga memekakkan telinga. Siapa sebenarnya pagi-pagi begini sudah bertamu. Mana gak sopan lagi. Huh, malas rasanya untuk membuka pintu. Bel berbunyi lagi dan pintu digedor dengan keras. Hal itu membuatku takut. Jangan-jangan ada rampok yang menyatroni rumahku.

“Ada apa sih brisik banget!” bentaknya.

“Itu mas, ada tamu. Tapi gak sopan banget.”

“Bukain dong! Punya tangan’kan?!”

“Aku takut. Kamu aja yang buka!”

“Haah, dasar istri sialan!” 

Selalu saja suamiku mengumpat saat kesal. Di segera turun dan membuka pintu.

Tiga orang masuk tanpa permisi dan memaki dengan kesal. Ternyata ibu mertuaku bersama Nia, adik mas Arya dan juga Baron suaminya yang pengangguran Mau apa mereka kemari dan membawa tas koper banyak dan besar pula.

“Huuch, ada orang kok kaya gak ada! Punya kuping gak sih kamu Miranti?” ibu mertua memakiku. Aku sudah terbiasa dengan makiannya. Namun tetap saja, aku mencium tangannya.

Dulu saat masih miskin saja sudah sombong, apalagi sekarang setelah hidup bergelimang harta. Walau harta mereka dari suamiku yang berarti dariku, tapi mereka seperti kacang lupa akan kulitnya. Jangankan berterimakasih, hanya menyayangiku saja sebagai menantu juga sudah membuatku senang.

“Aku denger bu, Tapi’kan ngetuknya keras banget. Ya aku takutlah, kira’in ada rampok,” jawabku santai.

“Kurangajar kamu ngatain ibu mertuamu rampok!”

“Bukan begitu, maksudku ....”

“Sudahlah! Siapkan kamar dan juga sarapan untuk kami!” perintah ibu dengan seenaknya.

“Kamar? ibu mau menginap di sini? Berapa hari? Nia juga?” tanyaku beruntun.  aku heran, tidak seperti biasanya mereka mau menginap di sini. Rumah kami memang berdekatan dan jarang sekali mereka berkunjung. Namun entahlah apa yang menjadi alasan mereka untuk datang kemari.

“Iya, rumah ibu lagi direnovasi. Jadi mereka nginep di sini sementara. Aku lupa belum ngomong sama kamu,” jawab suamiku santai.

“Renovasi? Bukannya baru di renovasi belum lama? Mau dibikin seperti apa lagi? Dan pakai uang siapa?” tanyaku kesal. Mas Arya sangat royal kepada mereka tapi pelit kepadaku dan anak-anak. Aku yakin uang yang digunakan pasti uang perusahaanku.

“Itu bukan urusanmu Miranti. Yang jelas aku bukan maling. Uang itu uang milikku,” jawab Mas Arya santai.

“Jelas ini jadi urusanku, karena kau pasti pakai uang restoran!” Aku tak mau kalah. Mas arya tak bisa seenaknya dalam menghambur-hamburkan uang. Aku harus bertindak mulai dari sekarang.

“Jaga bicaramu Miranti! Kau tidak sopan pada suamimu!” bentak ibu mertuaku.

“Iya, kurangajar sekali kamu sama mas arya. Makanya tidak salah mas arya mencari wanita lain!” seru Nia kepadaku.

“Nia!” Mas arya membentak adiknya.

“Apa maksud kamu Nia? Kau bilang tadi kakakmu punya wanita lain, begitu?!” tanyaku sembari menatap tajam ke arah Nia. Wanita menyebalkan itu menunduk. Lalu kualihkan pandanganku kepada mas arya. Dia terlihat gugup. Wajahnya memucat.

“Konspirasi apa yang sedang kalian mainkan?! Ingat ya, kalian makan dari uangku! Kehidupan kalian semua dari uangku, jadi jangan berani macam-macam!” ancamku kepada mereka termasuk mas arya.

“Jaga bicaramu Miranti! Mereka hidup dari hasil keringatku, bukan darimu!”

“Mas Aryaku tersayang! Dengar, kau begitu pelit kepadaku, aku masih diam walau aku tahu kau begitu royal kepada keluargamu, aku masih bisa terima. Tapi ingat, kalau sampai aku bisa membuktikan kau selingkuh dariku, kau akan tahu akibatnya!”

“Bisa apa kamu wanita hamil!” Baron melecehkanku.

“Diam kamu! ini bukan urusanmu!” menaikkan nada bicaraku pada pria pengangguran itu. Aku sangat membencinya semenjak dia melecehkanku saat mas arya bekerja. Pria berandalan itu berani-beraninya meremas dadaku. Sejak saat aku jijik dan tak ingin melihat bandot jelek itu. Wajahnya saja sudah menjijikkan, ditambah dengan otaknya yang mesum. Awas saja kalau berani macam-macam lagi padaku. Kau akan berhadapan dengan perisaiku.

”Hentikan bicaramu! siapkan sarapan untuk kami dan juga kamar untuk mereka!” kata suamiku penuh penekanan.

“Tidak! Kalau kalian mau, bisa masak sendiri! Aku bukan pembantu! Dan kalau kalian mau menginap di sini, tidur saja sesuka kalian! tak ada kamar di sini!” aku pergi meninggalkan mereka dengan membawa kekesalanku. Namun belum sempat melangkah jauh, mas arya menarik lenganku dengan kasar.

“Jangan kurangajar kamu! cepat sediakan makanan untuk kami atau ....”

“Atau apa?! Kau kan banyak uang, beli saja! jangan merepotkanku!”

Mas Arya mengepalkan tangan. Dia terlihat marah. Aku tak peduli. Cukup sudah aku mengalah selama ini. Kelakuan suamiku dan keluarganya sudah keterlaluan. Selama ini aku diam, tapi semakin hari semakin menjadi. Mereka makin tak menghargaiku.

“Ingat Mas, aku tak akan membiarkanmu berbuat semaumu! Kau pikir restoran itu milikmu hingga berani sekali menghambur-hamburkan uang untuk sesuatu yang tak penting! Kebutuhanku dan anak-anak saja kau abaikan, tapi kau lebih mementingkan keluargamu! Ingat, aku takkan tinggal diam!”

“Kau salah Miranti! Lima restoran yang berhasil aku kembangkan, adalah milikku! Aku yang membuatnya ada, bukan dirimu ataupun orangtuamu! Dasar bodoh, tak tahu bisnis!”

“Kau yang bodoh, mas! Dalam sebuah bisnis, cabang itu menyatu dengan pusat. Mau kau buka cabang di manapun selama masih memakai bendera yang sama, itu menjadi milik pusat. Aku akan menemui pengacara perusahaan untuk menjelaskannya kepadamu!”

Wajah suamiku merah padam. Sepertinya dia sangat marah. Aku tak peduli, semua harus kembali berada di bawah kendaliku sebelum suamiku dan keluarganya yang serakah itu menghancurkannya. Kasihan ayah dan ibu yang dengan susah payah sudah membangunnya dari nol kalau sampai jatuh ke tangan orang yang tidak tepat.

Suamiku kini sudah berubah. Dulu saat aku mempercayakan pengelolaan restoran kepadanya yang seorang pengangguran, dia begitu giat bekerja. Seluruh gajinya diserahkan kepadaku hingga bisa membeli rumah yang kami tempati dengan keringat Mas Arya. Orangtuaku bisa saja membelikan rumah kepadaku. Tapi suamiku menolak. Dia ingin membangun rumah untukku dari hasil kerja kerasnya. Aku sangat menghargai dan bangga padanya. 

Kini setelah dua puluh tahun menjalani biduk rumah tangga, suamiku mulai berubah dan banyak tingkah. Awas kau mas arya, aku akan membalas semua perbuatanmu kalau kau berani menghianatiku.

“Dengar Miranti! Aku pastikan, kau takkan menang melawanku!” Mas Arya membalikkan badan dan meninggalkanku. 

“Tunggu! Sudah hampir enam minggu, kau belum memberikan uang bulanan untukku. Mana?” aku mengulurkan tanganku menagihnya.

“Tak akan aku beri sepeserpun uang untukmu! Biar kau kelaparan!” Mas arya tersenyum sinis dan melanjutkan langkahnya.

Namun aku tak mau kalah. Kutarik bahunya hingga langkahnya terhenti. Hampir saja tubuhnya yang tinggi besar menimpaku.

“Miranti! Kau apakan anakku?! Berani-beraninya kau membuatnya hampir terjatuh! Dasar menantu kurangajar!” Ibu mertuaku hampir menamparku. Namun aku menahannya dengan memegang lengannya.

“Aku hanya menariknya dan ingin bertanya kenapa dia tak memberikan hakku untuk bulan ini. Itu saja!” kulepas lengan ibu dengan kasar.

 

“Miranti! Beraninya kau terhadap ibuku! Ingat, Selama ibu di sini, aku akan memberikan uang jatahmu kepadanya! Biar ibu yang mengaturnya! Itu hukuman untukmu Miranti!”

“Tidak bisa begitu dong! Kau tidak adil padaku! Dan aku tidak setuju mereka tinggal di sini!”

“Aku tidak peduli! Ibu, silahkan tidur di kamarku! Dan Nia kau tidur di kamar umar dan amir! Pergilah!” mas arya benar-benar keterlaluan. Dia bahkan tak memikirkan aku dan anak-anak akan tidur di mana. Dia lebih memilih ibu dan adiknya yang nyaman daripada aku dan anak-anak. Kamar hanya ada tiga tak mungkin kami berlima tidur dalam satu kamar. Tidak bisa di biarkan, aku harus melakukan sesuatu untuk mencegah mereka.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya MEMBALAS SUAMI DAN MADUKU BAB 46-65
8
0
46. SALAH MENGARTIKAN RASAPOV MIRANTIHampir tiga minggu telah berlalu. Keadaanku mulai membaik. Walau masih sering terasa nyeri pada perutku, tapi aku mematuhi aturan dokter dan rutin meminum obat, hingga membuatku cepat pulih. Rasanya sudah lama tidak merelaksasi diri. Kudatangi salon langganan untuk treatment wajah dan rambut. Sambil berusaha melupakan sejenak beban yang berada di pundak. Menikmati pijatan dari terapis membuat tubuh segar dan pikiranku menjadi tenang. Kembali menikmati indahnya dunia.Setelah beberapa jam, treatment sudah selesai. Kini wajahku semakin cerah. Sentuhan make up dan tatanan rambut dari tangan terampil membuat aku mengagumi wajah sendiri. Rasanya tak percaya ternyata wajahku bisa secantik ini. Aku merasa usia hampir sama dengan istri muda Arya. Aku tak kalah cantik darinya.Inilah kebodohanku. Kalau saja aku selalu berdandan secantik ini, pasti suamiku takkan mencari wanita lain. Tapi sudahlah, nasi sudah menjadi bubur. Kini aku harus melakukan seluruh rencana yang sudah tersusun rapi. Arya wiguna, tunggu kedatanganku. Kau pasti akan terpukau melihat mantan istrimu ini bak sosialita.  Tas mahal, pakaian bermerk kini melekat pada tubuhku. Rekening tabunganku semakin gendut. Dompetku tak pernah lagi merasa kehausan. Akan kutunjukkan siapa diriku kepadamu. Kau pasti akan minder melihat penampilanku kini.Aku membusungkan dada, lalu melangkah menuju mobil. Segera melaju menuju kantor sahabatku. Aku tersenyum kecil. Fajar pasti akan terpesona menatapku. Saat menyebut namanya, kurasakan ada debaran lirih dari dalam dada. Entah rasa apa yang terselip dalam dada ini. Aku hanya merasakan hidupku lebih bersemangat saat menyebutnya. Oh Tuhan, apa yang terjadi denganku. Aku merasa kembali muda. Rasanya tak sabar untuk bertemu dengannya. Dia pasti akan sangat suka dengan surprise kedatanganku. Fajar, menyebut namanya membuat hatiku berbunga-bunga.Sebagai rasa terimakasih kepadanya, aku membawakan makanan kesukaannya. Kuambil rantang berisi makanan yang ada di samping. Sengaja memasak menu kesukaannya. Aku tahu fajar seorang pengacara terkenal dan kaya raya yang bisa membeli makanan di resto yang super mewah sekalipun. Tapi dia sangat suka masakanku. Sup ayam, udang goreng tepung, rendang daging sapi, dan gulai otak. Sengaja kubuatkan gulai yang selalu saja Fajar menganggapku tak punya otak, biar dia tahu bahwa otak rasanya juga enak. Tak lupa sambal dan juga pete dan jengkol goreng. Fajar tak suka dengan makanan yang berbau sedap itu. Biarkan saja dia kesal, karena aku akan memakannya dengan lahap di hadapannya. Hari ini aku akan membuatnya bebas memakan apapun. Tak ada diet. Supaya badannya yang kurus itu agak berisi.Mobil memasuki pelataran kantor fajar. Aku memeluk rantang makanan. Sengaja kupulih rantang jaman dulu sebagai wadah makanan. Aku ingin bernostalgia. Dulu disekolah, saat ada acara memperingati maulid nabi aku selalu membawa makanan dengan rantang untukku dan dia. Fajar tak pernah membawa bekal dari rumah. Selalu saja aku yang membawanya untuk kami berdua. Dan kini, aku ingin mengulang masa itu.“Sudah sampai, bu.” Ucap mang engkus, sopir pribadi ayah yang mengagetkanku.“I-iya pak.” Jawabku gugup. Kenapa aku menjadi segugup ini. Setelah hampir tiga minggu aku tak bertemu dengannya, kenapa membuat dadaku berdebar seperrti ini. Kutatap kantor dengan tiga lantai di hadapanku. Kenapa degup jantungku semakin kencang, membuatku ragu untuk menemuinya. Dalam tiga minggu ini, fajar tak menemuiku karena sibuk dengan pekerjaan yang terpending selama mengurusku di rumah sakit. Benar-benar pria yang bertanggungjawab. Tidak seperti papahnya anak-anak. Ih, malas rasanya untuk menyebut namanya.“Silakan, bu.”Ucapan mang engkus kembali mengagetkanku. Dia membukakan pintu mobil untukku. Aku masih mematung. Keraguan menyelimuti hatiku.“Ibu, baik-baik saja?” tanya mang engkus kembali.“Iya mang. Aku baik-baik saja.” Jawabku dan segera turun dari mobil. Terlebih dahulu aku berkaca pada spion mobil. Make up ku masih sempurna, tapi kok rasanya aku kurang percaya diri. Beberapa kerutan tampak di wajahku. Kuperhatikan tubuh juga masih melar. Aduuh, kok aku jadi tidak percaya diri ya, seperti mau ketemu gebetan aja. Aku menoyor kepalaku sendiri, ‘Iih, apa-an sih.’“Ada apa bu, ada yang bisa saya bantu?” tanya mang engkus yang masih keheranan melihat kearahku.“Enggak mang. Permisi,” jawabku sambil ngeloyor pergi. Malu kalau sampai mamang tahu kegelisahanku.Aku langsung menaiki tangga menuju lantai tiga, di mana terdapat ruangan bujang lapuk itu. Lumayan pegal kaki. Langkahku langsung menuju meja sekertaris fajar.“Maaf mba mau tanya, apa pak fajar ada di dalam?” tanyaku dengan sopan padanya.“Ada, maaf beliau sedang ada tamu dan tak bisa diganggu. Apa ibu sudah ada janjian? Silakan mengisi daftar buku tamu untuk mengantri dan dapat bertemu dengan pak fajar.”“Gak usah mba. Saya temannya dan mau memberi kejutan untuknya.” Aku melangkahkan kaki. Namun baru selangkah, dia menahanku dengan memegang pergelangan tanganku.“Tolong, tunggu di luar. Bapak sedang ada tamu.”Aku tersenyum dan melepas pergelangan tanganku dengan pelan.” Saya Cuma mau bawakan makanan ini untuknya. Sekarang sudah waktunya istirahat’kan?” jawabku sopan sembari tersenyum.‘Ibu bisa titipkan kepada saya. Nanti saya berikan kepada Bapak kalau tamunya sudah pulang. Tapi maaf, tolong jangan masuk. Nanti saya bisa di pecat.” pinta sekertaris fajar dengan wajah tegang. Siapa sebenarnya yang ada di dalam. Hal ini sangat membuatku penasaran. Sepenting apa sih tamunya hingga aku tak boleh masuk ke dalam. Walau sekertaris cantik itu tak mengijinkanku, aku tak peduli. Segera masuk dan menepis tangan wanita itu berkali-kali karena menghalangi langkahku.Krret, membuka pintu tanpa mengetuk atau mengucapkan salam. Aku terkejut melihat pemandangan tak menyenangkan di depan mata dan membuat langkahku terhenti. Kulihat seorang perempuan yang sangat cantik, sexy dan lebih muda dariku tengah duduk di pangkuan fajar dengan mesra. Dia tak segan melingkarkan tangannya pada leher fajar. Bujang lapuk itu seperti menyukainya. Tak terlihat respon tubuh yang berusaha menampik si perempuan. Bahkan saat wanita itu membusungkan dada dan berusaha menempelkan ketubuh fajar, dia tak menolaknya bahkan menikmati. Mereka tertawa gembira sampai tak menyadari kehadiranku. Pantas saja dia tak menjengukku dengan alasan yang dibuat-buat sedemikian rupa. Pekerjaan hanya alasannya saja untuk tak menemuiku. Ternyata dia tengah asik dengan wanita itu. Dasar lelaki, dia sama saja seperti Arya.Dada ini terasa sesak. Tubuhku lemas tak terkira, seolah tulang belulangku terlepas dari ragaku. Aku berpegangan erat pada gagang pintu. Rasanya seperti tak sanggup untuk menyangga tubuh ini. Rantang yang berada tanganku terjatuh hingga menimbulkan suara yang sangat nyaring. Makanan yang sudah kupersiapkan dengan gembira, berantakan di lantai.“Miranti?!” kudengar suara fajar yang memanggil namaku. Aku tak ingin menemuinya dan segera berlari menjauh tanpa arah. Suara fajar masih terdengar memanggil namaku. Aku tak peduli, hatiku terlalu sakit.“Aw.” Langkahku terhenti saat menabrak sesuatu di hadapanku. Ternyata aku menabrak pembatas dinding. Aku tak menyadari sudah berada di balkon. Pelarianku yang tanpa arah membuatku terjebak pada lokasi tertinggi di gedung ini. Aku bahkan bisa melihat kendaraan dari sini.Kupegang pembatas balkon dan melihat kearah jalan. Kenapa perjalanan hidup yang kulalui harus sesulit ini. Orang yang kupikir bisa menghidupkan semangat, tapi ternyata tak seperti yang kuharapkan. Lalu, untuk apa aku hidup. Mungkin dengan menjatuhkan diri adalah jalan yang terbaik. Apa lagi yang kuharap darinya. Suamiku telah menghianati dan kini harapan hidupku juga melakukan hal yang sama. Kenapa takdir bisa sekejam ini kepadaku, ya Tuhan. Apa salahku padaMU. “Mir, Lo nangis, kenapa?” suara yang begitu sangat kukenal. Suara yang melekat pada daya ingatku akhir-akhir ini. Setelah sekian pekan merindukan, kini aku bisa mendengarnya lagi. Namun sayang, keadaan sudah berubah. Dia bukan lagi fajar yang baik, dia juga penghianat sama seperti Arya.Kekesalanku benar-benar memuncak. Kuputar badan dan menatap tajam kearahnya.”Jadi ini alasanmu tak menemuiku?” tanyaku dengan kesal.“Alasan apa? Kok, lo jadi marah-marah ke gue sih?” fajar seperti berpura-pura lupa.“Jadi karena wanita itu?” “Mila maksud lo?” jawabnya masih bisa santai setelah apa yang dilakukannya kepadaku.“Aku tak peduli siapa namanya. Yang jelas, kau sudah membohongiku dengan alasan banyak pekerjaan tapi ternyata kau sibuk dengan perempuan itu!” aku menunjuk fajar dengan emosi. Bujang lapuk itu masih berpura-pura tak mengerti apa yang kumaksud.“Lo kenapa sih, marah-marah mulu. Lagi dapet?” tanyanya kembali dan makin membuatku kesal. Dia pura-pura tak mengerti atau memang benar-benar tidak mengerti perasaanku.“Dasar laki-laki tidak berguna!” aku memukuli dadanya dengan kesal.“Apa yang kau lakukan?!” Aku merasa ada yang menarik tanganku, lalu menghempaskannya dengan kasar.“Kamu siapa?” tanyaku pada wanita menyebalkan itu.“Seharusnya aku yang bertanya siapa dirimu?” tanya wanita sexi itu kembali. Nada bicara tinggi dan sangat tidak sopan.Kulihat kearah fajar yang terlihat begitu tenang melihat pertengkaran kami. Dengan santainya dia tersenyum melihatku yang sedang adu mulut dengan wanita menijikkan itu.“Kau perempuan murahan yang tidak tahu malu dan memanfaatkan kemolekan tubuhmu untuk merayu pengacara kondang itu. Aku sudah banyak mengenal gadis sepertimu yang hanya morotin duitnya aja!”Plaak, satu tamparan mendarat di pipiku. “Mila! Apa yang kau lakukan?” seru fajar. Dia mendekat ke arahku dan menyentuh pipi yang terkena tamparan. Dengan kesal kutepis tangannya dengan kasar.“Kenapa kau membelanya sayang? Wanita itu sudah menghinaku. Dia pantas mendapat balasannya!” jawab wanita bernama Mila itu. Wanita itu bahkan menarik tangan fajar untuk menjauhkan dariku.“Dengar ya, pengacara kondang yang berada di hadapanmu, sebentar lagi menjadi milikku! Jangan coba-coba mengganggu dan merebutnya dariku!” wanita itu menunjukku dengan sangat tidak sopan.Telingaku panas seperti tersengat lebah mendengar perkataan wanita itu. Apalagi tak ada bantahan dari fajar ataupun pembelaan yang biasa dilakukannya kepadaku. Apa yang terjadi dengannya hingga bisa berubah secepat ini. Walau fajar tak pernah berjanji apapun terhadapku, dengan sikapnya selama ini sudah bisa membuatku mengerti. Rasa yang dulu pernah tumbuh di antara kami pasti bersemi kembali dalam hatinya. Tak mungkin ada seseorang yang berani berkorban seperti fajar tanpa punya rasa yang istimewa dalam hati. Salahkah aku yang mengartikannya demikian. Namun kenapa dia menghancurkan harapanku. Apakah wanita itu berbohong kepadaku. Tapi apa motivasinya. 47.. RASA YANG DATANG TERLAMBAT POV MIRANTI Mataku mulai memanas  Tak kubiarkan airmata ini menetes di hadapan mereka.“Fajar, apa maksud perkataan wanita itu?”“Biar aku yang jawab. Sebentar lagi kami akan bertunangan dan segera menikah. Kau lihatlah ini!” wanita itu melempar sebuah kartu undangan yang hampir mengenai wajahku. Untung saja aku memiringkan wajahku sedikit. Kalau tidak, undangan yang cukup tebal itu pasti melukai wajahku.Undangan berwarna merah marun dengan dilapisi warna emas pada sisinya terkesan sangat mewah dan elegan. Jenis dan warna sama yang pernah kupilih saat aku hampir menikah dengan fajar dulu. Kenapa sekarang kartu undangan itu sama persis. “Siapa yang memilih undangan itu?” tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari undangan yang tergeletak di lantai.“Kenapa kau tanyakan itu?! Apa pentingnya untukmu?!” tanya perempuan itu dengan arogan.“Sangat penting!” jawabku dengan tegas.“Gue yang milih.” Jawab fajar cepat. Jawaban itu membuatku ingin menatap wajah fajar. Penasaran dengan ekspresi saat menjawab pertanyaanku. Tatapan mata kami bersirobok. Hanya sesaat. Fajar lalu menundukkan kepala. Sepeti ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya. Dia bukan tipe pria yang menghindari tatapan seseorang dengan menundukkan kepala. Berhadapan dengan siapapun dia selalu menegakkan kepala kecuali jika dia salah dan berhadapan dengan orang tua ataupun yang disegani olehnya.  Aku tidak termasuk dalam kategori saat dia harus menundukkan kepala. Kini kenapa dia tak berani menatap netraku.Kuhela nafas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Mencoba untuk tersenyum dan menata hati. Mungkin saja aku yang salah mengartikan kebaikan fajar selama ini. Kebaikan yang kupikir arti dari sebuah cinta. Pengorbanannya, kasih sayang dan support yang diberikan masih sebatas sahabat.Aku malu dengan diriku sendiri. Tak sepantasnya aku marah kepada lelaki yang sudah sangat baik kepadaku. Bahkan sepanjang hidupku, dia telah menjagaku dengan baik. Bahkan saat aku masih menjadi istri Arya, dia selalu menjadi teman curhat sekaligus pemberi solusi. Belum pernah sedikitpun dia menyarankanku untuk bercerai saat aku bercerita ada masalah dengan Arya. Benar-benar pria berhati baik. Kini sudah saatnya fajar bahagia dengan seorang wanita yang menjadi pilihannya. Supaya aku tak menyematkan gelar lagi sebagai bujang lapukKuulurkan tangan kepada fajar. “Selamat ya, semoga Lo bahagia. Gue selalu berdo’a untuk kebahagiaan lo. Lo gak akan gue sebut bujang lapuk lagi.” Aku mencoba tersenyum, walau hatiku terasa perih.Fajar membiarkan tanganku menggantung. Dia hanya menatap tanganku tanpa berkedip Tak ada sambutan hangat untukku. Mungkin saja hatinya sudah berubah dan tak menginginkan diriku sebagai sahabatnya. Walau hanya ucapan, dia juga tak mau menjawabnya. Dengan wajah malu ku alihkan pandangan dan menarik tanganku kembali. Lalu memutuskan untuk pergi menjauh dari kehidupan pria ini selamanya.“Miranti.” Langkahku terhenti oleh tangan kekar yang mengunci leherku.  Tak ada kata-kata yang terucap. Namun aku merasakan hangatnya pelukan itu. Kupejamkan mata untuk meresapi. Aku merasakan pundakku sedikit berat karena dagu fajar yang diletakkan di sana. Kehangatan menjalar keseluruh tubuh.Bahuku terasa basah oleh tetesan air hangat. Apakah fajar menangis. Untuk apa? Bukankah dia akan bahagia dengan pasangan. Kurasakan dekapan itu semakin erat. Terdengar kata ‘maaf’ yang begitu lirih di telingaku. Seiring dengan lepasnya tangan fajar karena di tarik secara paksa.Terdengar suara wanita itu yang memaki diriku dan juga fajar. Tak tedengar jawaban apapun dari mulut fajar. Bahkan wanita itu mengusirku dengan kasar. Dia mendorong tubuhku hingga hampir saja terjatuh.Tak ingin melihat apa yang terjadi. Tanpa menoleh, aku segera berlari meninggalkan rasa yang tengah bersemi. Rasa yang seharusnya kupupuk dengan baik dan  harus kubunuh mati. Sakit memang, tapi aku harus berani melakukannya.Mengambil langkah seribu sembari menangis. Tak peduli dengan orang yang dipenuhi tanda tanya saat berpapasan dan melihat kearahku. Aku merasakan ribuan jarum yang menusuk dalam dada. Rasanya ingin menghentikan detakan pada jantungku. Aku benci rasa ini, aku benci fajar, aku benci semua yang berkaitan dengannya, aku benci dengan dunia ini.Kuhentikan langkah pada taman mini yang berada di depan kantor. Aku melampiaskan tangisan di sana. Suara tangisan yang tertahan dan membuat tenggorokanku sakit, kali ini kukeluarkan. Biarlah semua orang melihatku seperti orang bodoh. Aku hanya ingin perasaan yang menghimpit ini menjadi lega. Aku terjengkit saat tepukan halus di pundak dan mengagetkanku. Kurangajar sekali. Siapa yang berani menyentuhku. Segera menghapus airmata, dan menepis tangan itu. Kuputar badan dan menatap kearah orang yang telah mengganggu kesendirianku. Aku terkejut melihat siapa orangnya, dan mengurungkan niat untuk memarahinya. “Fajar?” tanyaku dengan gugup. Segera akan kuhapus sisa airmata yang masih menempel di pipi. Namun tangan itu telah mendahului menghapusnya.“Apa yang kau tangiskan? Apa kau menangisiku?” tanyanya lembut. Kau, kenapa bukan lo, gue seperti kebiasaannya. Tak seperti biasanya suaranya lembut menyapaku. Fajar yang berada di hadapanku sangat berbeda dengan yang selama ini ku kenal. Tatapan matanya begitu lembut dan menyejukkan. Mata itu sangat meneduhkan dan seolah menghipnotisku. Tangisanku seketika berhenti, saat punggung jemari itu mengusap pipiku dengan lembut.Aku terdiam dan memejamkan mata. Namun dengusan nafas yang tak beraturan dari pria di hadapanku, menyadarkanku. Aku tahu apa yang di inginkannya. Segera kudorong tubuhnya perlahan.“Sorry.” Ucapnya singkat.“hmm.” Jawabku singkat.“Hari ini, kau terlihat cantik sekali. Seolah aku melihatmu saat kita masih pacaran. Aku mengagumimu.” Hembusan nafas terasa hangat di leherku membatku merinding. Aku melangkah mundur untuk menghindar.“Mir, apa ada yang ingin kau tanyakan padaku?” tanya fajar dengan lembut.Aku membalikkan badan, tak ingin melihat harapan yang telah pupus.“Jawab Miranti.” Tanyanya kembali.“Tidak.” Jawabku singkat sambil melipat tanganku di depan dada..“Bolehkah, aku yang bertanya kepadamu?” fajar kembali mengejarku dengan pertanyaannya.‘Maaf, aku tak ada waktu. Aku harus pergi sekarang.” Jawabku dengan cepat untuk menghindar dari pertanyaan yang pasti akan membuatku terpojok. Fajar bukan orang bodoh. Dia pasti akan mempertanyakan arti tentang tangisanku.Langkahku kembali tertahan oleh rangkulan kedua tangannya yang saling bertautan di pundakku.“Kenapa harus kembali terjadi seperti ini. Kenapa harus terulang kembali.” Fajar menangis di bahuku dan membuatku terkejut.“A-apa maksudmu?”“Kenapa takdir kembali sekejam ini pada kita?” aku merasakan tangannya meremas bahuku dengan keras sebagai tanda kekesalannya.“Fajar, a-aku tak mengerti apa maksudmu. Takdir kita?”Fajar memutar tubuhku hingga kami saling berhadapan. Wajahnya yang biasa terlihat garang kini bersimbah airmata.“Jangan berpura-pura. Tangisanmu itu adalah bukti rasa cintamu kepadaku.” Fajar mengguncang pundakku dengan keras.“A-aku .... aku ....”“Kenapa cintamu kembali pada saat yang tidak tepat. Kenapa tidak sebelum aku merencanakan pernikahanku yang sudah matang.”‘Kau salah fajar aku ....”“Aku tidak salah! Kau datang dengan cintamu. Dan itu membuatku tersiksa! Kau tak pernah tahu’kan kalau cintaku kepadamu tak pernah padam, walau kau telah menjadi miliki orang lain, dan itu sangat menyiksaku!”Fajar kembali mengguncang bahuku dengan keras. Tak kusangka dia akan mengucapkan kalimat itu. Bahkan tak pernah terpikir olehku kalau rasa cintanya terhadapku begitu besar. Aku sangat terharu mendengarnya. Namun kini semua sudah terlambat. Waktu tak mungkin berputar arah.   48. KURELAKAN KEBAHAGIAANMU  Pov miranti “Apa kau sedang berbohong?”“Aku tidak berbohong. Cintaku kepadamu tak pernah padam, bahkan hingga saat ini. Saat kau menderita bersama Arya, aku bahkan tak rela untuk membahagiakan diriku sendiri. Aku tak ingin menikah seumur hidupku. Dan wanita yang pernah singgah dalam kehidupanku, adalah pelarian untuk melupakanmu. Tapi sangat sulit untuk melupakan dirimu, Miranti. Dan kini, di saat aku akan menikah, cintamu kembali hadir. Dan itu simalakama untukku.”Aku menundukkan kepala. Terasa ikut larut dalam perasaannya. Pasti sangatlah sulit. Benar sekali ucapannya, aku sudah datang di waktu yang tak tepat. Saat kebahagiaan sudah di depan mata, aku malah menghancurkannya. Kuhapus airmata dan menenangkan hatiku. Fajar tak harus memilih, karena hanya ada satu pilihan. Aku bukan siapa-siapa dan tak layak bersanding dengannya. Kuputuskan untuk berpura-pura tak mencintainya walau hatiku hancur.Memberanikan diri untuk menatap wajah pria tampan itu. Wajah yang penuh dengan ketulusan dan rindu akan kebahagiaan. Aku melihat asa dalam matanya. Asa yang dulu sempat hilang karenaku. Kinii tak boleh diriku melakukan hal yang sama. Memupuskan harapan adalah kejahatanku yang tak pernah bisa termaafkan.“Fajar. Kau salah. Aku ....” berat rasanya untuk mengatakan hal yang bertentangan dengan hatiku.“Aku apa?” Kembali kutundukan kepala. Lidah terasa kelu. Membuka mulut saja terasa berat. Mataku mulai memanas. Aku harus menahannya sekuat tenaga untuk menghentikan tangisanku. Bagaimana mungkin dia akan percaya dengan ucapanku kalau melihat tangisanku.“Kau kenapa, mir?” tanya fajar dengan menyentuh pergelangan tanganku. Kehangatan menjalar keseluruh tubuh. Ya Tuhan, kenapa berat sekali cobaan yang harus kuhadapi. Aku harus merelakan dia untuk bahagia, seperti yang pernah fajar lakukan demi cintanya kepadaku. Sulit sekali. Mungkin ini adalah balasan dari perbuatanku dulu. Rasanya begitu sakit.Rasa yang sama juga kurasakan dulu. Pernikahan bukan hal yang kuinginkan. Seandainya musibah itu tak menimpaku,  mungkin saja diriku sudah menjadi orang yang paling bahagia menjadi pendamping hidupnya.Arya wiguna, kau sudah menghancurkan kehidupanku baik dulu ataupun sekarang. Kau merenggut cinta dan  masa depanku. Sudahlah, tak perlu menyesali masalalu. Saat ini yang terpenting adalah kebahagiaan fajar, orang yang sudah banyak berkorban untukku. Kulepas tangannya perlahan, lalu memberanikan diri menatap wajahnya.“Fajar, kau salah menilai perasaanku. Aku ke sini, hanya ingin mengungkapkan rasa terimakasih atas kebaikanmu kepadaku. Dan makanan yang kubawa tadi, adalah bukti dari perbuatanku.” ucapku dengan suara yang bergetar.“Kau bohong Miranti. Sekarang, mana makanan itu.” Tanya fajar dengan memegang pundakku lalu mengguncangnya.“Kau tahu’kan, makanan tadi tumpah karena ....”“Karena kau marah melihatku bermesraan dengan mila. Iya’kan?”“Tidak.”jawabku sembari menundukkan kepala. Tak ada keberanian untuk menatap matanya yang pasti mampu membongkar kebohonganku.“Kau bohong. Tatap mataku, miranti. Aku tahu kau mencintaiku. Jawab yang jujur, jangan membohongiku lagi. Aku bisa gila!” teriak fajar di depan wajahku. Dia kembali mengguncang pundakku dengan kuat.“Fajar, jangan menyakitiku. Tolong, lepaskan tanganmu.” Pintaku kepadanya. Semua itu hanya alasan saja karena aku akan melarikan diri darinya. Tak sanggup lagi untuk berbicara lebih lama dengannya. Berdiri di hadapannya, aku merasa seperti tengah menjadi terdakwa yang akan dituntut dengan berat olehnya.Usaha yang membuahkan hasil. Fajar melepas pundakku dengan kasar. Dia sangat marah. Tak boleh membuang waktu lagi, harus segera berlari meninggalkannya.Namun baru beberapa meter dalam pelarian, tubuhku berhasil di raih oleh fajar. Tangannya yang melingkar di pinggang membuatku tak mampu melanjutkan langkah. Sekuat tenaga aku berontak, lengan kokoh itu makin erat.“Kau takkan pernah bisa lari dariku, Mir. Takdir yang sudah mempertemukan kita kembali. Itu artinya, Tuhan memihak kepada kita. Kita berhak untuk bahagia.”“Bukan kita, tapi kamu. Harus berapa kali aku katakan, kau salah menilai perasaanku.” Aku terus berontak dan berusaha membebaskan diri.Fajar melepas pelukan lalu memutar tubuhku perlahan.“Lepaskan aku, fajar. Aku wanita yang bersuami.” Aku menghentakkan tangannya. Perlahan, fajar melepasku.“Siapa suamimu? Kau yakin akan bertahan dengannya?”“Setidaknya hargai aku. Sampai saat ini, statusku masih sebagai istri Arya. Jadi jangan pernah merendahkan diriku.” Aku menunjuk ke arahnya. Biarlah, walau menyakitkan mungkin dengan cara ini fajar bisa membenciku. “Oke. Aku menghargaimu. Tapi aku punya satu permintaan kepadamu.”“Apa?”“Tatap mataku, dan katakan kau tak mencintaiku. Saat aku melihat ketulusan pada matamu, aku berjanji untuk menjauh dari kehidupanmu.” Ucapnya dengan tegas.Tak mungkin aku bisa mengatakannya. Jujur, jauh dalam lubuk hati, aku tak mau jauh darinya. Selama hidupku, aku selalu menggantungkan harapan padanya. Suamiku yang tak pernah menyayangiku, tergantikan oleh kasih sayangnya walau sebatas kakak dan juga sahabat. Tak sanggup rasanya untuk berpisah darinya. Aku semakin menundukkan kepala lebih dalam. Bolamata mulai memanas. Kugigit bibirku dengan kuat untuk menahan isak tangis supaya tak terdengar. Namun aku merasakan tubuhku berguncang. Perlahan bola salju menetes melewati pipiku.“Aku takkan memaksamu. Bahasa tubuhmu sudah mengatakan bahwa kau mencin ....”‘Tidak! Aku tidak mencintaimu.” Jawabku memotong pembicaraannya.“Berbicaralah dengan menatap mataku, baru aku percaya.”“Baiklah!” kuhapus airmata dengan tangan dan memberanikan diri menatap matanya. Sorot mata itu kembali membuatku tak berdaya. Aku menemukan kelemahan di sana. Matanya yang memerah dan berkaca-kaca, menandakan tak siap dengan sesuatu yang akan kubicarakan. Kejujuran yang dia inginkan. Namun aku tak bisa berkata jujur.“Aku ....” kepejamkan mata dan menghela nafas panjang, lalu membuangnya perlahan. Rasanya sangat sulit untuk memulai. Dalam sekian detik ucapanku menggantung. Tak seperti biasanya, fajar tak memotong pembicaraanku. Entah karena dia sabar ataukah sudah tahu akan jawabannya.“Kau berhak untuk bahagia dengan pilihanmu. Menikahlah dengan mila. Aku yakin dia bisa membahagiakanmu.” Ucapku tanpa menatap wajahnya.“Bukan nasihat yang kutunggu. Konsekuensilah, jawab dengan apa yang kutanyakan padamu.”“Aku tidak mencintaimu!” jawabku dengan tiba-tiba. Entah mendapat kekuatan darimana, ucapan itu meluncur begitu saja. Kuberanikan diri untuk menatap wajahnya.“Aku ingin mendengarnya sekali lagi!” pinta fajar sekali lagi. Wajah itu menggambarkan guratan kesedihan. Ingiin rasanya kuhapus airmata yang membasahi kelopak matanya.“Fajar, aku tak mencintaimu. Tinggalkan diriku. Untuk semua kebaikanmu selama ini, aku akan membalasnya seperti apa yang kau inginkan. Katakanlah, apa maumu?” tanyaku padanya. Mudah-mudahan saja dia mengerti dengan keputusanku. Semua yang kulakukan juga untuk kebahagiaannya, walau hatiku seperti di tusuk oleh ribuan jarum.“Sombong sekali kamu Miranti! Apa yang sanggup kau lakukan untuk kebaikanku?! Berapa kau akan membayar jasaku?!” teriakan fajar membuatku terjengkit. Dia memukul sebatang pohon yang berada di sampingnya. Aku sangat terkejut dan tak mengira dia akan melakukan hal ini. Apa yang salah pada ucapanku, hingga membuatnya semarah ini.“Fajar, tanganmu berdarah.” Kupegang tangannya untuk mengusap darah yang mengalir dari sela-sela jemarinya, Namun dia menolah dan mengibaskan tanganku dengan kasar.“Kau sudah menyinggung perasaanku, Asmara Miranti! Dengar Mir, semua yang kulakukan. kukerjakan dengan ikhlas. Tak memerlukan balasan darimu. Belasan tahun aku sudah menjalani profesiku sebagai pengacara dan juga bisnis property. Aku tak membutuhkan hartamu. Kekayaanmu tak seberapa dibanding kekayaanku. Mulutmu sudah membuatku kesal!” ucapnya dengan tegas dan melangkah meninggalkanku.Aku tak tahu kalau dia akan semarah itu. Segera aku mengejarnya. Langkahnya yang begitu cepat membuatku kesulitan untuk mengejarnya. Tiba-tiba perutku berdenyut dan terasa nyeri. Mungkin saja bekas jahitan di perutku belum begitu kering. Dan aku kurang berhati-hati.“Fajar tolong berhenti. Aku takkuat lagi mengejarmu. Perutku terasa sakit sekali.” Ucapku mencoba menghentikan langkahnya sambil memegangi perutku yang terasa sangat nyeri.Kulihat fajar menghentikan langkahnya. Dan berjalan ke arahku.“Kau minta aku untuk menolongmu? Berapa kau akan membayarku? Berapa kau mampu membayar nyawaku yang hampir saja melayang saat menolongmu. Berapa yang akan kau bayar saat aku ....”“Cukup. Maafkan aku, aku tak bermaksud menyakitimu. Tolong maafkan atas ucapanku tadi.”“Oke. Karena kau sudah menawariku untuk membalas jasa, aku akan memintanya kepadamu. Apa kau sanggup memenuhinya?”“Akan aku usahakan, selagi aku mampu.” Jawabku.“Datanglah pada pesta pertunanganku. 13-12-11, tanggal dan jam yang sama dengan tanggal yang dulu kau pilih. Tanggal tigabelas bulan dua belas pukul sebelas. Rangkaian kalender yang sangat kubenci. Bahkan aku tak pernah mengijinkan ada kalender pada bulan itu di kantor ataupun di rumahku! Kau tahu kenapa? Aku sangat membenci tanggal unik yang selalu kau banggakan. Walau saat itu sudah kukatakan bahwa menghitung mundur itu tidak baik. Tapi kau selalu suka dengan sesuatu yang selalu tak kusukai. Dan tanggal yang kau pilih memang tetap menjadi tanggal perniakahnmu, tapi bukan denganku! Cobalah untuk menjadi diriku satu detik saja, kau tak kan sanggup untuk menjalaninya!” Fajar berteriak sangat keras hingga mengundang perhatian orang yang berlalu lalang.“Maaf.” Hanya kata itu yang mampu terucap. Aku menundukkan kepala saat mengingat kejadian itu. Sudah berkali-kali fajar mengingatkan untuk tak memilih tanggal yang tidak di sukai. Bahkan dia mengutarakan ada firasat yang tak baik, tapi aku tak percaya. Bahkan kujawab semua yang akan terjadi sudah menjadi ketentuan yang diatas. Kita sebagai mansia hanya bisa menjalani takdir yang sudah tertulis untuk kita jalani. Walau marah dengan keputusanku, dia tetap menghargainya. “Tapi kenapa kau pilih tanggal itu lagi?”“Aku hanya menginginkan takdir kembali tak berpihak kepadaku. Aku sengaja memilih tanggal yang kubenci!”“Maksudmu apa?”“Tak perlu banyak bertanya. Datanglah pada pesta pertunanganku, untuk membalas jasaku. Kau harus datang dan jangan membawa tangisan. Hari itu aku akan membuktikan kepadamu kalau aku bisa bahagia dan kau akan menderita!” Ucapan yang penuh dengan luapan amarah itu sangat menyakitkanku Tega sekali dia menyumpahi aku menderita. Jahat sekali ternyata dia. Walau marah, tak seharusnya dia begitu.“Ada apa sayang? Kok kamu marah-marah?” perempuan sexy itu datang dan memegang jemari fajar mesra. Dia lalu menoleh ke arahku. ‘kamu lagi?!” tanyanya sambil menunjuk ke arahku.“Tak penting. Ayo kita masuk. Security, usir wanita itu dari sini!” perintah fajar pada security. Dia lalu menggandeng lengan kekasihnya dan pergi tanpa menoleh sedikitpun kearahku.Kenapa sih dia harus marah kepadaku. Kenapa juga dia harus meminta imbalan jasanya dengan aku harus menghadiri pesta pertunangannya. Dua hari lagi aku hars siap dengan konsekuensi dari ucapanku. Aku berlari menuju mobil dan melampiaskan tangisanku di sana. Hatiku terasa hampa. Harapan untuk bisa menjalani hidup seperti padam. Aku harus merelakannya untuk bahagia. Itulah bukti cintaku kepadanya, seperti yang fajar lakukan padaku. 49. MENGUNJUNGI ARYAPOV FAJARSaat melewati lobby, kuhentikan langkahku sejenak, lalu menoleh ke arah Miranti. Dia berlari sambil menangis. Kutahu hatinya pasti sangat terluka saat aku mengusirnya. Itu juga kau sendiri penyebabnya, Kalau kau tak membuatku kesal, aku juga tak mungkin tega membiarkanmu pergi tanpa diriku. Kulepas lengan mila, lalu memegang pundaknya. “Mila, aku ada meeting mendadak. Bisa kau tinggalkan aku?” pintaku pada calon tunanganku itu.“Enggak bisa dong sayang. Kita harus segera fiting baju pengantin. Tante eva bilang gaunnya sudah jadi. Jangan ditunda terus. Belum lagi cincin pertunangan kita juga sudah jadi. Mana aku belum beli beberapa baju, ke salon dan .....”Aku segera mengeluarkan kartu kredit dari dalam dompet dan memberikan kepadan Mila. Hanya itu yang dibutuhkan untuk menuruti keinginanku. Yang kutahu bahwa wanita di hadapan hanya mencintai hartaku saja. Aku tahu dia juga punya selingkuhan. Andai saja bukan wanita pilihan mami, sudah kutendang dia dari hidupku.“Pakailah ini. Belanjalah sepuas hatimu. Nanti malam aku ke rumahmu.” Kukecup keningnya dan kuelus rambutnya. Benar saja, wajahnya berubah ceria. Sangat berbeda dengan keadaan saat aku menyuruhnya untuk meninggalkan diriku. Itulah Mila, gadis yang tak pernah tulus mencintaiku. Tanpa harta, sudah pasti dia akan menendangku.Mila mengecup kartu kredit yang kuberikan. Dia terlihat sangat senang.‘Oke sayang, aku pergi dulu ya, mmuaach” Mila mengecup pipiku lalu pergi meninggalkanku. Kuambil sapu tangan untuk menghapus sisa kecupan dari gadis itu dan membuangnya ke tong sampah. Aku sangat jijik saat harus disentuh olehnya. Semenjak detektif suruhanku memberikan bukti video mila bermesraan dengan selingkuhannya, saat itulah aku sangat membencinya.Aku memang tidak bisa mengatakan langsung kepada mami. Yang kutakutkan mami shock dan berbahaya bagi kesehatan jantungnya. Biarlah, aku menundanya walaupun harus mengeluarkan biaya untuk persiapan pernikahan yang semua kutopang sendiri. Belum lagi kegilaan mila pada shoping dan juga menghidupi teman prianya itu. Bukannya aku bodoh. Rasa sayangku kepada mami, yang tak ingin membuat orang yang telah melahirkanku bersedih. Itulah alasan kenapa memilih tanggal yang na’as bagiku. Semoga nasib pernikahanku akan sama seperti saat aku meminang miranti dulu.Aku memberikan credit card yang sudah kunon aktifkan. Dan kini saatnya mematikan ponsel agar wanita itu tak menggangu ketenanganku.Dengan segera naik ke atas menuju ruang kerjaku.Aku setengah berlari menuju balkon. Hanya satu tujuan, yaitu melihat keadaan Miranti. Menyapu pandanganku ke setiap penjuru. Tatapanku berhenti kepada mobil Miranti. Mobil masih terparkir di sana, itu artinya Miranti belum meninggalkan tempat ini. Kembali mataku menyapu ke setiap titik yang terlihat. Dari kerumunan hingga wanita yang memakai pakaian hampir sama dengan Miranti, tapi bukan dia. Mataku terus mencari sosok wanita yang sangat kucintai. Aku sangat menyesal telah menyakiti perasaannya. Bagaimana kalau dia jadi membenciku. Aku tak mau itu terjadi. Apa yang harus kulakukan ya Tuhan. Tatapanku terhenti pada sosok wanita yang tengah duduk di bangku taman yang tak jauh dari mobilnya. Walau posisi yang memunggungiku dan tak terlihat wajahnya, tapi kuyakin dia adalah Miranti.  Tubuhnya yang berguncang karena tangisan, menandakan kesedihan yang teramat dalam. Ingin rasanya aku kesana untuk menghentikan tangisannya, tapi tidak mungkin. Kau sudah bersikeras mengatakan tak mencintaiku. Itu sama saja kau sudah tak menginginkan keberadaanku. Dan itu sangat menyakitkan.Biarlah, semua yang terjadi. Aku hanya bisa memandangmu dari kejauhan dan memastikan keselamatanmu hingga masuk ke dalam mobil. Aku akan menunggumu di sini, hingga kau benar-benar pergi dari sini dan meninggalkanku.****POV MIRANTIAku duduk termenung, terus menangis meratapi nasibku. Kenapa bisa menderita brgini. Setelah penghianatan suamiku, kini aku dihianati oleh orang yang sangat dekat denganku. Bahkan dia juga menyumpahiku dengan penderitaan. Apa salahku padanya hingga dia setega ini. Ingin rasanya mati saja daripada hidupku lebih menderita.Kulirik kearah jarum jam yang melingkar di tangan. Waktu besuk di lapas sudah hampir habis. Aku harus segera kesana untuk bertemu dengan Arya. Kuhapus airmataku, lalu melanjutkan langkah menuju mobil.“Kita kemana bu?”“Ke lapas, pak.” Jawabku sambil menghempaskan tubuhku, lalu menutup pintu mobil.“Baik bu.”Mobil meluncur perlahan. Tak sengaja, netraku menangkap sosok seorang pria yang mirip dengan fajar berdiri di balkon. Apa betul itu dia?. Untuk apa dia berada di sana. Apa sedari tadi memperhatikan diriku? Rasanya tidak mungkin dia berdiri di sana dengan sengaja hanya untuk melihat keberadaanku. Mungkin saja aku yang salah lihat dan terlalu ge-er. Karena pikiranku yang selalu tertuju kepadanya, hingga setiap  melihat orang lain adalah dirinya. Sekarang keadaannya sangat berbeda. Aku harus melupakannya. Hanya menunggu hitungan hari, dia akan bertunangan. Semoga dia bahagia.Kupalingkan pandangan dan menatap lurus ke depan. Membuang jauh angan tuk hidup bersamanya. Mudah-mudahan kebahagiaanku tengah menanti. Anak-anak menjadi prioritas utama. Mereka adalah sumber kebahagiaanku. Aku harus terfokus hanya kepada mereka saja, bukan dengan yang lain. Persetan dengan urursan hati dan cinta. Cintaku telah mati. Begitu juga hatikupun teleh membeku dan sulit untuk mencair kembali.“Sudah sampai, bu.” Ucap sopir yang membuyarkan lamunanku. Tak menyadari kalau telah sampai di lapas. Kuamati pintu masuk lapas. Ini pengalaman pertamaku mengunjungi tempat ini. Bahkan tak menyangka akan mengunjungi tempat ini untuk membesuk suamiku. Ada rasa ngeri juga. Mengingatkanku pada perkataan orang yang katanya sering terjadi hal yang mengerikan di sini. Membuatku merinding.“Ada yang bisa saya bantu, bu?” tanya mang engkus sopirku.“Mmm, saya agak ngeri mang.” Jawabku sambil mengedikan bahu.“Mau saya temani, bu?” mang engkus menawarkan jasa untuk menemaniku.“Enggak usah, mang. Saya sendiri aja. Mamang tunggu aja di sini. Saya cuma sebentar kok.” Jawabku sambil membawa tas yang berisi dokumen. Segera turun dari mobil. Sejenak kembali mengamati orang yang berlalu lalang. Kuakui, selama ini aku jarang bergaul hingga membuatku tak percaya diri dalam melakukan ssesuatu. Semua gara-gara Arya yang sekian lama telah memblokir kebebasanku. Pekerjaanku sehari-hari hanya mengurus rumah, anak-anak dan mengantar mereka ke sekolah. Benar-benar membuatku menjadi wanita yang terbelakang. Namun ada keuntungannya juga, aku tetap bisa menjadi sosok yang mandiri. Kalau saja aku selalu menggantungkan hidupku pada Arya, mungkin di saat seperti ini aku pasri kesulitan.Kuambil nafas panjang lalu membuangnya perlahan. Kutegakkan badan, lalu melangkah menuju lapas.5O..BERTEMU ARYA Setelah melewati prosedur untuk membesuk, kemudian salah satu petugas mengantarku menuju ruang besuk. Petugas menunjukkan tempat duduk untukku dan di minta menunggu  sejenak. Kuedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Ada beberapa orang yang juga sama sepertiku yang sedang menunggu. Mereka membawakan makanan dan entah apalagi dalam dus. Mungkin mereka akan membesuk orang yang mereka cintai. Karena keterpaksaan mereka harus berpisah. Berbeda denganku. Aku tak membawakan apapun untuk Arya, kecuali dokumen yang akan kutunjukan padanya serta beberapa kertas yang harus di tandatanganinya.Terdengar derap langkah kaki yang berjalan ke arahku. Mengalihkan pandangan kearah suara. Aku melihat wajah Arya yang menunduk. Untuk apa dia menyembunyikan wajahnya. Apa dia merasa malu ataukah menyesal. Sayangn, penyesalan sudah tidak ada artinya lagi. Cintaku telah hilang dan terkubur bersama penghianatannya. Emosiku mulai tersulut saat mengingat penghianatan dan penganiayaannya kepadaku, hingga harus kehilangan putri yang sangat kunantikan.Pria penghianat itu sudah duduk di hadapanku. Wajahnya masih menunduk. Entah apa yang ada dipikirannya.“Arya, aku akan ....”‘Miranti maafkan aku, aku khilaf sayang, maafkan aku.” Tiba-tiba Arya bersujud di kakiku. Gerakannya yang cepat, membuatku tak bisa menghindarinya.“Lepas!” aku mundur beberapa langkah. Tak menyangka dia akan bersujud di kakiku. Aku benar-benar shock dibuatnya. Kupikir dia akan menghinaku ataupun melawanku. Aku bahkan sudah siap menghadapi kemungkinan buruk yang akan terjadi. Namun apa yang terjadi justru sebaliknya. Pria angkuh dan menyebalkan itu meminta maaf. Apa yang ada dalam pikirannya.“Apa yang kau lakukan, Arya? Kau pikir aku akan tertipu oleh airmata buayamu itu?!” aku menunjuknya penuh emosi.“Aku minta maaf, Miranti. Aku menyesal, tolong maafkan aku.” Sekali lagi dia meminta maaf dengan menangis. Arya menangis? Dia tak pernah mennagis walau sedang dalam masalah besar sekalipun. Bahkan saat dulu aku keguguran, dia sama sekali tak menitikkan airmata.“Kau sudah menghancurkan hidupku. Tak mungkin untuk kumaafkan. Apa kau tahu, aku kehilangan bayi perempuan yang sangat lucu. Dia meninggal dan kau yang telah membunuhnya.” Aku kembali menunjuknya.“Benarkah? Anak kita perempuan?” Arya berusaha mendekatiku.“Stop, jangan mendekat! Tak usah kau tanyakan itu!”“Kau tahu’kan aku sangat menginginkan anak perempuan darimu? Kenapa kau tak menjaganya untukku.” Arya kembali menitikkan airmata. Dia duduk di lantai.“Kau lah penyebabnya. Jangan menyalahkanku!” Jawabku dengan nada tinggi. “Sudahlah, tak penting kita membicarakan itu. Ada yang lebih penting, yang ingin kubicarakan denganmu.”“Apa?”Aku mengambil dokumen dalam tas dan menaruhnya di atas meja. Kini, kami duduk saling berhadapan.‘Tandatangani segera.” Perintahku kepada Arya.‘Apa ini?” jawab Arya sambil membuka stopmap yang berisi beberapa lembar kertas.“Kau baca saja sendiri.” Aku melipat kedua tanganku di depan dada. Kupalingkan wajah. Tak sudi menatap wajahnya yang menyebalkan.“Gugatan? Kau mau bercerai dariku?!” Arya membanting stopmap dimeja dengan keras hingga aku terjengkit.“Jangan harap kau bisa bercerai dariku! Aku takkan pernah menceraikanmu, Miranti!” Arya menunjukku dengan kasar.“Jangan nunjuk!” kutepis jari telunjuk Arya dengan kasar. “Aku tahu, kau pasti akan menikah dengan bujang lapuk itu’kan? aku tahu dia masih menaruh hati padamu hingga saat ini!”‘Jangan bawa-bawa fajar dalam hal ini. Perceraian kita tak ada hubungannya dengannya, tapi karena kesalahanmu sendiri, Arya!”“Jelas ada hubungannya. Selama ini kalian ada main di belakangku’kan? aku akan menuntut kalian dengan pasal perzinahan! Jangan-jangan anak yang kau kandung hasil perbuatan terlarangmu dengan bujang lapuk itu!”Plaak, tanganku dengan cepat melayang ke pipinya. Tak mampu menahan diri saat mendengar ucapan yang keluar dari mulut kotornya.“Jaga mulutmu, Arya! Aku tak bukan tukang selingkuh sepertimu! Aku setia dan tak pernah menghianatimu! Kalau kau akan menuntutku, silakan, aku tunggu. Akanku hadapi dengan pengacara terbaik yang akan membuatmu lebih lama mendekam di sini. Dengan apa kau akan membayar pengacara? kau sudah jatuh miskin Arya. Kau tidak punya apa-apa. Semua asset sudah ada di tanganku, termasuk rumah yang kau belikan untuk stefani dan juga rumah ibumu. Semua ada dalam genggamanku.” Aku mengepalkan tangan dan tersenyum sinis.‘Kau tak bisa melakukan semua ini Miranti! Rumah itu milik stefani dan ibu. Rumah ibu tak di beli dengan uangmu, tapi warisan dari ayahku!” Arya menggebrak meja hingga mengagetkan semua orang yang berada di sekeliling kami.“Aku bisa melakukannya! Rumah stefani kau beli dengan uang perusahaan yang kau curi! Rumah ibumu memang warisan, tapi seluruh renovasi kau gunakan uang perusahaan dan juga uang milikku dari ayahku. Kau juga memakai uang fee dari perusahaan untukku yang juga kau telan sendiri! Aku tahu semua kebusukanmu, Arya wiguna!” jawabku tak mau kalah. Gantian kini aku yang menggebrak meja karena terpancing emosi.“Jangan membuat keributan di sini!” petugas melerai pertengkaran kami.‘Maaf, pak. Saya terpancing emosi.” Aku meminta maaf pada petugas.“Jam besuk sudah habis. Silahkan anda tinggalkan tempat ini.”‘Tapi, masih banyak yang harus saya bicarakan dengannya.”“Anda bisa datang lain waktu.” Petugas membawa Arya menjauh dariku. “Miranti! Aku akan balas perbuatanmu. Kau akan merasakan pembalasanku saat aku keluar nanti!: teriak Arya seraya meninggalkanku.“Aku tunggu ancamanmu. Kau bisa kembali menebus rumah ibumu kalau kau memberikan sejumlah uang yang kuminta. Dan aku tak butuh tandatanganmu. Tanpa tandatanganmu, aku tetap akan menceraikanmu!” seruku tanpa membutuhkan jawaban. Dengan kesal, aku pergi meninggalkan tempat yang membuatku tersulut emosi..****51. BERTEMU STEFANIDalam waktu setengah jam perjalanan, Aku sampai di lapas khusus wanita.  Menurunkan kaca mobil dan menatap kearah lapas. Malas sebenarnya untuk datang ke tempat ini. Namun aku hatus menemui wanita yang sudah menghancurkan rumah tanggaku. Aku ingin melihat keadaannya. Penasaran apakah dia masih bisa menyombongkan diri setelah merasakan dinginnya jeruji besi. Akankah keangkuhan menjadikan dirinya sebagai ratu di dalam sel ataukah menjadi bulan-bulanan para penghuni lapas wanita.Mengingat kembali apa yang sudah dilakukan olehnya membuat darahku naik. Aku tak punya waktu banyak. Masih banyak urusan yang harus diselesaikan, Segera turun dari mobil dan melangkahkan kaki menuju pintu lapas. Kembali aku mengikuti segala prosedur yang berlaku. Setelah selesai, seorang sipir cantik mengantarku menuju ruang tunggu. Tak sabar rasanya untuk bertemu dengan ratu baru dari Arya.Dari kejauhan kulihat seorang sipir yang membawa seorang wanita mengenakan seragam napi. Dia mirip dengan stefani, tapi penampilannya sangat berbeda. Rambutnya seperti tak terurus dengan baik. Wajahnya juga banyak jerawat di sana-sini bahkan sangat mengerikan menurutku. Apa dia baru saja mendapat penyiksaan dari teman-temannya satu sel. Dia menatap kearahku. Mungkinkah dia tahu kalau aku sedang memperhatikannya. Kutundukkan kepala karena langkahnya menuju kearahku.Aku dikagetkan dengan kehadiran seorang wanita yang duduk di hadapanku. Aku menengadahkan wajah untuk melihatnya. Wanita yang kulihat tadi kini duduk di hadapan. Sorot matanya sangat bengis dengan tatapan tajam seolah akan menguliti tubuhku.“Maaf, anda siapa?” tanyaku kepadanya.“Jangan berpura-pura tak mengenalku! Katakan, untuk apa kau ingin bertemu denganku?!” jawab wanita di hadapanku dengan kasar. Aku terkejut. Tak mengira akan mendapat jawaban sesongong itu.Kuamati dia dari ujung kepala hingga kaki. Iya, dia memang stefani. Aku mengenalinya dari tato yang berada di pergelangan tangannya. Tapi kenapa wajahnya lebam dan bengkak seperti tersengat lebah. Wajahnya sangat berbeda dengan yang pernah kulihat. Dulu dia sangat cantik dan modis. Dan kini, dia terlihat seperti monster yang menakutkan. Tubuhnya yang putih mulus kini terlihat dekil dan tak terurus. Ada lebam di beberapa bagian tubuhnya.“Benarkah ini kau, stefani?” aku masih terus mengamati dari atas sampai bawah. Benar-benar perubahan yang sangat drastis. “Kau kenapa berubah menjadi monster? Apa karena hidupmu terlalu enak di dalam sana, hingga teman-temanmu membelai wajahmu setiap saat. Makanya jangan bandel, patuhlah pada mereka.” ucapku dengan senyuman yang penuh penghinaan.“Ini semua karena ulahmu wanita ja**ng!” stefani mengangkat tangannya hendak memukulku. Namun dengan sigap, kupegang tangannya hingga menggantung di udara.“Kau tidak bisa bertindak semena-mena di sini. Satu teriakanku, bisa membuatmu tinggal lebih lama di hotel ini.” Ucapku sambil melepas tangannya dengan kasar. Aku menaikkan sudut bibirku. Rasanya puas sekali melihat keadaannya.“Dasar ja**ng, manusia ib**s, kau sudah menghancurkan hidupku!”“Kau yang ja**ng dan sudah merebut suamiku. Aku kesini bukan untuk mendebatmu! Jadi diamlah!” ucapku dengan nada mulai meninggi.“Cepat keluarkan aku dari sini. Para wanita hina itu selalu menyiksaku. Mereka iri dengan kecantikanku hingga mengerjaiku setiap saat. Aku sudah tak tahan tinggal di sini!” teriak stefani sambil meremas rambutnya seperti orang yang kehilangan akal.“Enak kali kau minta dikeluarkan. Kau harus membayar atas perbuatanmu terhadapku. Makanya jangan sombong. Dasar cewek gak laku, makanya ambil suami orang.” Aku benar-benar emosi dan tak bisa menahan diri untuk tak menghinanya.“Justru kau yang tak laku. Seharusnya kau malu. Suamimu sudah tak menginginkanmu lagi, tapi kau masih saja mau hidup bersamanya. Benar-benar menjijikkan dan tak tahu malu!”“Kau yang menjijikan dan tak tahu malu. Pelakor sepertimu menjadi emas hanya saat masih digunakan saja. Saat kau sudah membosankan, dia akan mencari wanita lain yang mau menampung n**su binatangnya. Kau hanya menjadi penampung lendirnya saja tapi bukan cintanya!” ucapku dengan menaikan satu oktaf nada suaraku. Aku masih bisa menjaga batasan amarahku.“Kurangajar sekali mulutmu!”“Kau yang membuatku seperti ini! Seharusnya ini kau jadikan pembelajaran. Supaya hidupmu lebih terarah dengan baik, dan bisa menjalani kehidupan rumah tangga yang baik dengan suammu.”“Haach bilang saja kau masih menginginkan suamiku, kan?”“No. Aku tak sudi jadi penampung sampah yang sudah ku buang. Aku akan menceraikannya! Dan ini buktinya.” Aku memberikan kertas yang berisi gugatan perceraian kepada stefani supaya dia merasa puas.  Setelah membacanya,  senyuman tanda puas tersungging dari bibirnya.“Baguslah, dengan begitu. seluruh hartanya akan jatuh di tanganku.  Kupastikan kau takkan mendapatkan apapun. Setelah itu, Aryamu akan kutendang dan aku akan bahagia bersama cintaku.”“Mimpimu terlalu tinggi, stefani. Aku kasihan padamu. Sayangnya kau takkan bisa meraih keduanya.”‘Apa maksudmu?”“Aku tahu, cintamu adalah putraku umar’kan?” aku memajukan wajahku hingga tepat berhadapan dengannya. Wanita itu tak menjawab pertanyaanku. Dia hanya terdiam.“Kau tak berani menjawab? Itu artinya, iya. Dan kau tahu siapa ibunya’kan? aku. Ya, aku akan membatasi gerakmu untuk mendapatkan putraku. Aku akan menolakmu mentah-mentah. Kau harus melangkahi mayatku dulu sebelum impianmu bisa kau raih.” Aku menunjuk wajahnya dengan kasar.“Oke. Dengan senang hati, aku akan melangkahi mayatmu. Kau tahu, dengan harta, apapun akan bisa tercapai, termasuk dengan meraih umar walaupun harus membunuhmu!” Stefani balas menunjukku.“Harta siapa yang akan kau gunakan? Milik suamimu? Sayang sekali, suamimu kini sudah jatuh miskin.”“Tidak mungkin. Dia seorang milliarder. Hartanya berlimpah. Usaha restorannya ada di mana-mana, bahkan berkembang dengan pesat. Hartanya tak akan habis tujuh turunan.”“Miliiarder dari hongkong? Arya itu sudah tak punya apa-apa. Seluruh hartanya adalah milikku!” aku melipat kedua tanganku di depan dada sembari menatapnya geli.“Kau bohong!”“Aku tidak bohong. Kasihan sekali, kau hanya jadi korbannya. Restoran itu milikku, warisan dari ayahku. Arya hanya mengelolanya saja. Sayangnya, dia tidak menjaga amanahku dengan baik. Bahkan menghambur-hamburkan uang untuk keluarganya dan juga untukmu. Kau tak usah sombong di hadapanku. Karena semua uang yang diberikan kepadamu hasil dari mencuri uang perusahaanku.”‘Jangan lancang kau.”“Aku bicara apa adanya! Bahkan rumahmu, sudah menjadi milikku sekarang!”“Tidak mungkin. Rumah itu mahar pernikahan dari mas Arya. Aku akan menuntutmu ke pengadilan. Mahar itu milik seorang istri, jadi kau tidak bisa mengambilnya begitu saja dariku!”“Bisa. Karena uang yang digunakan adalah uang perusahaan. Kau bisa mendapatkannya kembali kalau suamimu bisa mengembalikan sejumlah uang yang digunakan untuk membelinya. Kau mengerti?!” aku benar-benar hilang kesabaran. Wanita di hadapanku ini keras kepala dan tak bisa mendengar masukan apapun dariku.“Aku tetap saja tidak mempercayai wanita ular sepertimu.”“Silakan saja, aku takkan memaksamu.”“Pergi kau darisini. Aku muak melihatmu!”“Baiklah, aku akan pergi. Tapi ada sesuatu yang akan ku beritahu padamu. Apa kau sudah menerima  soto betawi kesukaanmu, yang kukirim seminggu yang lalu?” tanyaku padanya.“Jadi itu darimu?!” tanya stefani penuh selidik.“Benar sekali.” Aku menjentikkan jari di depan wajahnya.”“Kurang**ar kamu. Gara-gara memakannya, aku harus kehilangan anakku. Kau taruh apa di dalamnya hingga aku bisa keguguran?! Akan ku bunuh kau!” stefani emosi dan mencekik leherku hingga aku kehabisan nafas.“Hentikan!” sipir wanita memisahkan stefani dariku. Untung saja ada yang menolongku. Kalau tidak wanita gila itu mungkin sudah membunuhku. Aku memgangi leherku yang terasa sangat sakit. Menatap stefani yang dibawa oleh sipir menjauh dariku. Dia terus memakiku tanpa henti. Maafkan aku. Sebagai sesama wanita seharusnya aku tak melakukannya. Tapi kau juga sudah membuatku kehilangan nyawa anak dalam kandunganku. Nyawa harus dibayar dengan nyawa. Biarlah aanakku di alam sana bertemu dengan adiknya. Untung saja aku tidak sampai gila. Kalau aku gila, kaupun harus gila. Kini aku sudah puas membalaskan dendam. Aku akan membuatnya membusuk dalam penjara. Tak ada ampun lagi untuknya.Aku pergi dengan tergesa. Tak terasa airmataku menetes. Entah apa artinya. Kepuasan ataukah penyesalan karena menyebabkan seorang ibu yang harus kehilangan anak. Semoga saja Tuhan mengampuni dosaku.\****Aku merenung di dalam mobil sambil memegang file gugatan perceraian. Awalnya aku ingin menunjuk fajar sebagai lawyer. Sayangnya kini keadaan berubah. Tak mungkin aku meminta bantuannya dengan keadaan seperti ini.Menghempaskan punggung pada sandaran mobil. Lalu menghela nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Satu persatu masalah besar sudah terselesaikan. Namun masalah baru muncul. Bukan tentang perceraianku, tapi tentang fajar. Perih rasanya mengingat nama itu. Hampa rasa hidup tanpa kehadirannya. Apa aku yang sangat bergantung dengannya. Padahal dia bukan suamiku. Hubungan kami hanya sebatas teman, dan kami tahu posisi masing-masing. Namun kini rasa itu hadir dan mengganggu hubungan kami. Dua hari lagi, dia akan bertunangan. Seharusnya aku bahagia dengan keputusannya dan mendukung sepenuhnya. Namun hatiku tak bisa berbohong. Tanpa kusadari aku sudah kembali jatuh cinta padanya. Benarkah ini rasa cinta ataukah hanya rasa takut kehilangan. Entahlah, hanya Tuhan yang tahu. Memasrahkan diri terhadap takdir ilahi. Akan kujalani kemana arah takdirku. Bersamanya ataukah harus berpisah.Saat ini, lebih baik aku fokus mengurus restoran dan juga perceraianku. Tiba-tiba saja terlintas dalam otakku. Pak Surya. Beliau pasti mau menjadi lawyerku. Aku akan mencoba membujuknya supaya mau menghadapi pihak Arya dalam gugatan perceraian. Mudah-mudahan saja Arya tak hadir, supaya perceraian berjalan lancar tanpa hambatan apapun. Untuk urusan Arya dan kejahatannya, aku pasrahkan kepada ayah. Biarlah beliau yang mengurusnya. Aku malas untuk kembali bertemu dengan lelaki penghianat itu.Kulirik arloji.yang melingkar di tangan. Masih ada waktu setengah jam sebelum meeting di kantor pusat. Aku bisa mampir ke rumah pak surya. Mudah-mudahan beliau bersedia membantuku. 52. KERAGUANPOV MIRANTIAku mematung sembari menatap kalender. Hari ini ulangtahun pernikahanku dengan Arya. Aku tersenyum kecut. Sama saja seperti tahun-tahun sebelumnya, tak pernah merayakannya. Arya terlalu cuek dengan urusan keluarga. Walau hanya sebentar saja, tak pernah meluangkan waktu untuk merayakannya. Jangankan hadiah, tepat pulang saja pada tanggal yang sama, tak pernah dilakukannya. Ah sudahlah, tak perlu dipikirkan lagi. Semua sudah berlalu.Kini fokusku bukan pada itu. 13-12. Hari ini fajar akan bertunangan dengan kekasihnya. Kulirik jam dinding yang ada di sebelah kalender, menunjukkan pukul sepuluh. Sudah cukup lama aku terdiam di sini. Memandangi kalender dan jam dinding bergantian. Keraguan menyelimuti hati. Tak ingin pergi kesana, karena hanya akan membuat bathinku tersiksa. Tak ingin menyaksikan orang yang kusayang bertukar cincin dengan wanita lain. Sakit hatiku pasti tak terobati. Lebih baik memtuskan untuk tidak datang kesana. Bagaimana dengan jasa yang harus dibayarkan. Permintaan fajar juga harus kupenuhi. Aku harus konsekuen untuk membayar jasanya. Kenapa juga sih dia tega membuat perjanjian yang merugikanku. Kupijit pelipis untuk menghilangkan rasa pening di kepala.Kembali ekor mataku menangkap bergesernya jarum panjang yang berada di angka enam. Setengah jam lagi acara akan di mulai. Kulirik ponsel yang ada di meja. Berkali-kali panggilan dari fajar sengaja kuabaikan. Mungkin ini jalan yang terbaik, untuk tak bertemu lagi dengannya. Lebih baik kumatikan saja ponsel. Baru saja akan melangkahkan kaki, terdengar suara umar dan amir mengucapkan salam.“Assalamu’alaikum”“Wa’alaikum salam. Kok kalian sudah pulang?” tanyaku kepada kedua putraku. Mereka mengecup punggung tanganku bergantian.“Biasa, guru rapat di sekolah.” Jawab amir santai sambil menaiki anak tangga menuju kamarnya.“Oh gitu.”“Oh ya mah, tadi Om fajar telpon terus nanyain mamah. Katanya ponsel mamah gak aktif.” Kata umar.“Hmm ....iya ....hape mamah ....”“Ini, nelpon lagi.” Umar mengangkat telpon dari fajar. Lebih baik aku menghindar dan segera meninggalkan mereka. “Mah, ini telpon dari Om fajar.” Umar memberikan ponsel kepadaku.Aku bergeming. Sejenak berfikir untuk menolaknya tapi tanpa mengundang rasa curiga dari putraku.“Tapi mamah sedang ....”“Ayo mah terima. Kasihan loh om fajar. Dia sudah banyak bantu kita. Siapa tahu ada yang penting. Ayo, umar tungguin nih.” Kata umar memaksaku. Mau tidak mau aku harus mengangkatnya di hadapan putraku.“Hallo.”“Aku tahu kau di dalam. Keluarlah, aku di depan rumahmu!”Klik. Telpon ditutup secara sepihak. Bahkan belum sempat aku menjawabnya.Ting tong. Bel berbunyi. Fajar tak bergurau. Dia benar-benar ada di sini. Padahal hanya tinggal tiga puluh menit acara pertunangannya akan segera di mulai. Kenapa dia nekad datang ke sini. Apa yang harus kulakukan. Tak mungkin aku menemuinya. Namun sifatnya yang keras kepala pasti takkan mau pergi sebelum bertemu denganku. “Mamah, kok wajah mamah pucat. Mamah sakit?” tanya putraku sambil memegang keningku.“Mamah gak apa-apa.”‘Ya sudah, umar buka pintu dulu.”“Umar, biar mamah saja yang buka pintu.” Ucapku pada putraku saat dia hendak membuka pintu.“Oke. Umar ke kamar dulu ya.” Ucap putraku sambil berlari kecil menaiki anak tangga.Saat kurasa aman, aku memutuskan untuk membuka pintu. Menghentikan langkah dan berdiri menatap pintu. Tiba-tiba tanganku gemetar. Rasanya sangat berat untuk membuka pintu. Berkali-kali bel kembali berbunyi. Aku harus segera membuka pintu sebelum seluruh penghuni rumah keluar karena ulah fajar.Saat membuka pintu aku terpesona melihat pria tampan yang sudah rapi memakai tuxedo berwarna hitam. Dia terlihat sangat sempurna. Aku sangat mengagumi pesonanya. Sayangnya, dia takkan pernah kumiliki. Dalam hitingan menit, dia akan bertunangan dengan tambatan hatinya.“Fajar, kau ....”Tanpa mengucap sepatah katapun dia menarik lenganku dengan paksa. Bahkan tanpa meminta persetujuanku. Aku berusaha membebaskan tangan. Namun cengkeraman tangannya sangat kuat dan tak bisa dikalahkan. Aku hanya bisa pasrah saat dia membawaku masuk kedalam mobilnya. Lalu mengemudi kendaraan dengan kecepatan tinggi, membuatku ketakutan.“Fajar, kau mau membawaku kemana? Aku takut.” Aku berpegangan pada jok mobil. Pria itu tak merespon ucapanku. Dia hanya melirik ke arahku sejenak dan kembali berkonsentrasi mengemudi.“Berhenti, fajar. Tolong, aku takut.” Aku merasa sangat ngeri. Fajar memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Bahkan saat melihat ke arah luar kepalaku terasa pusing karena pohon yang kulihat seperti terbang. Aku menangis ketakutan. Tak henti aku melantunkan do’a.Tiba-tiba mobil berhenti mendadak. Hampir saja keningku terkena kaca mobil yang berada di sampingku. Aku mengedarkan pandangan di sekeliling. Pepohonan dan jalan yang sangat sepi. Tak jauh dari posisiku terdapat danau dengan air yang tenang. Untuk apa fajar membawaku kesini. Mmberanikan diri menatap pria yang ada di sampingku. Mata kami bersirobok. Aku terkejut melihat wajahnya yang sangat tegang. Sorot matanya bagai api yang siap membakar tubuhku.“Apa salahku padamu, hingga kau menyiksaku seperti ini?!” fajar mencengkeram pundakku dan mengguncangnya dengan kasar.“Lepasin fajar. Sakit.” Aku mencoba melepaskan diri. Dengan tiba-tiba fajar melepas cengkeramannya. Dia lalu keluar dan menutup pintu mobil dengan kasar.Aku terus mengamatinya yang berjalan ke arah danau. Dia menghentikan langkah dan berteriak memanggil namaku.“Asmara Miranti! Kenapa kau terus menyiksa perasaanku!” teriakannya menggema dan mengagetkanku. Bahkan sekelompok burung yang sedang berkicau ketakutan dan terbang tinggi. Kelopak mata mulai memanas. Aku tahu apa yang dirasakannya. Rasa yang sama yang kualami. Lalu kuputuskan keluar dari mobil dan menemaninya yang sedang dalam kebimbangan.Kupandangi pria yang tengah berlutut menghadap danau. Setengah ragu untuk mendekat kearahnya. Namun aku harus memberanikan diri. Semua masalah berawal dariku yang menimbulkan rasa ragu di hatinya. Perlahan, mengayunkan langkah dengan penuh keraguan. Memejamkan mata untuk menghilangkan rasa ragu. Tanpa kusadari aku menabrak sesuatu dan membuatku terpekik.“Aw.” Pekikku. Hampir saja aku terjatuh kalau saja tak ada yang menyangga tubuhku. Membuka mata dan terkejut saat menyadari bahwa fajarlah yang menyangga tubuhku. Segera aku melepaskan diri darinya. Namun dia menarik tubuhku. Tubuh kami saling merapat hingga nafasku terasa sesak. Tak ada jarak. Perlahan tapi pasti, fajar memajukan wajahnya. Hembusan nafas hangat menerpa wajahku. Aku tahu apa maksudnya. Dia berusaha untuk mengecup bibirku. Aku segera mendorong  tubuhnya hingga terjatuh.“Apa yang kau lakukan? Jaga batasanmu. Aku ini masih berstatus istri orang, kau sudah berani menyentuhku. Bagaimana kalau aku sudah menjadi seorang janda, kau pasti akan bertindak lebih kurangajar lagi!” aku menunjuknya dengan luapan emosi. Tak terima dengan perlakuannya. Walau kutahu dia sedang mengalami dilema. Namun bukan berarti dia bisa merendahkan harga diriku.Fajar terdiam. Tak sepatahkatapun keluar dari bibirnya. Bahkan tak ada kata maaf yang terucap dari bibirnya, seperti dulu saat melakukan kesalahan terhadapku. Kini tak kutemukan  fajar yang dulu. Kebaikannya seolah memudar. Begitu lukakah hatinya hingga tak bisa mengontrol kelakuannya.“Fajar kau ....”“Stop! Aku tak butuh nasihat darimu!” Fajar bangkit dan melangkah kearahku. Sorot matanya begitu tajam. Aku mundur beberapa langkah.“Kenapa kau mengingkari janjimu, Miranti?!”‘Janji apa?”“Untuk datang ke pesta pertunanganku! Bukankah kau akan menunjukkan kalau kau tak mencintaiku! Apa kau berubah pikiran dan akan menerima diriku. Jawab miranti, jawab!. Jangan kau gantung perasaanku seperti ini!” fajar kembali memegang pundakku dan mengguncangnya.“Tolong jangan memaksaku.” Aku menangis dan menundukkan kepala.‘Tatap mataku mir. Aku tahu masih ada cinta untukku. Bicaralah yang jujur. Apa masih ada harapan untukku? Katakanlah, aku mohon.”“Tidak fajar. Kumohon, lupakan aku.” Kuberanikan diri untuk menatap matanya. Kulihat wajah yang sembab sama sepertiku. “Aku tak bisa melakukannya. Aku sangat mencintaimu.” Fajar menatap mataku dengan keputusasaan.‘Kau harus bisa.”“Kau bisa berkata seperti itu karena kau tak merasakan menjadi diriku. Aku sangat mencintaimu. Tahukah kau hatiku sangat terluka. Kau begitu tega menghancurkan harapanku.Ku ulurkan tanganku untuk menghapus airmata yang menetes di pipinya.”Aku juga sama seperti dirimu. Hatiku juga terluka. Lihatlah aku yang sekarang. Bukan miranti yang dulu. Anakku sudah empat. Kalau kau menikahiku, tanggungjawab yang kau pikul sangat besar. Padahal itu bukan tanggungjawabmu. Kau masih terlihat muda, tampan kaya raya. Semua yang di inginkan oleh wanita ada padamu. Kau telah memiliki segalanya. Kau pasti bisa memiliki wanita yang kau inginkan dan lebih baik dari diriku.”“Tapi aku tmenginginkanmu. Aku tak peduli dengan statusmu. Bagiku kau yang pantas untuk menjadi pendamping hidupku.” Fajar meraih jemariku lalu menggengamnya erat. Netra kami saling bertatapan dengan berbalut kesedihan. Hati kami sama-sama hancur.“Tidak. Kau sudah menentukan pilihan untuk berunangan dengan kekasihmu. Anggap saja kedatanganku sebagai ujian cinta kalian. Aku ....” kuhentikan ucapanku untuk menghela nafas sejenak.“Aku apa?”Airmataku terus menetes. Fajar berusaha menghapus airmataku, tapi aku menghindar dan memalingkan wajahku. “Katakan miranti.”Menundukkan kepala dan mencoba untuk merangkai kata. Walau perih, aku harus mengatakan sesuatu yang membuat fajar membenciku setidaknya untuk saat ini.“Aku tidak mencintaimu. Pergilah, karena aku tak menginginkanmu.” Aku berusaha untuk tidak menangis. Namun sialnya airmataku menetes semakin deras. Oh Tuhan, kuatkanlah aku. Maafkan diriku jika telah menyakiti hati pria yang sangat baik. Dia layak untuk mendapatkan yang lebih baik dariku. 53. SURPRISE YANG TAK KUINGINKANMIRANTIFajar mengangkat daguku hingga kami saling bertatapan. Sorot mata itu seolah ingin menghancurkan diriku. Aku takut. Lalu menundukkan kepala. Namun fajar kembali mengangkat daguku.“Tatap mataku dan katakan kau tak mencintaiku. Tak menginginkanku. Tak membutuhkan kehadiranku. Katakan sekarang juga miranti!”fajar menekan daguku dengan kasar. Aku hanya menggelengkan kepala. Memejamkan mata. Tidak berani menatapnya.“Fajar kau menyakitiku.” Aku mengeluh saat merasakan daguku yang sakit karena tekanan olehnya.Fajar melepas daguku dengan kasar. Aku menundukkan kepala. Kembali dia mengguncang pundakku.“Baik. Kalau itu keputusanmu. Jangan pernah menyesal.” Fajar melepas pundakku. Lalu menyodorkan kunci mobil. “Pulanglah.”Aku menengadahkan wajah. Menatap pria yang takkan pernah kumiliki. Wajahnya tak sedih lagi. Kini berubah menjadi tegang. Tak ada tatapan lembut untukku. Dia menarik telapak tangan lalu menaruh kunci di tanganku. Fajar menepuk-nepuk pakaiannya yang kotor, lalu mengayunkan langkah meninggalkanku.“Tunggu!” kuhentikan langkahnya. Namun dia tak menghentikannya. Seolah tak mendengar ucapanku. Apakah telinganya juga membatu seperti hatinya. Kususul langkahnya dengan berlari kecil. Namun langkahku terhenti saat fajar membalikkan badan dan menyetop diriku.“Jangan mengikutiku.” Sergahnya.“Kau lebih membutuhkan mobil ini. Acaramu sebentar lagi di mulai.”“Jangan pedulikan aku! Siapa kau berani mengaturku!” teriaknya persis di depan wajahku. Membuatku  terjengkit. Pria itu kembali mengayunkan langkah meninggalkanku. Aku kembali mengikutinya.“Fajar, jangan seperti anak kecil.” Aku terus mengikutinya. Kulihat dia menelpon seseorang.“Jemput aku segera. Nanti aku share lok.” Fajar menutup telpon dan berhenti di depan jalan. Tak ada sepatahkatapun keluar dari mulutnya. Aku juga terdiam dan berdiri disampingnya. Tak berani untuk mngucap walau hanya sepatah kata.Beberapa menit kemudian, sebuah mobil sedan keluaran terbaru berhenti di hadapan kami. Seorang pria turun dari mobil dan menghampiri kami.“Roy, antar wanita ini pulang ke rumahnya.” Perintah fajar kepada orang berpakaian hitam itu. Dia lalu melangkah menuju mobil yang sudah dibukakan oleh pri bernama roy.“Tunggu! Aku tidak mau pulang. Aku harus memastikan bahwa kau takkan meninggalkan kekasihmu tanpa alasan.”Kupegang lengan fajar untuk menghentikannya. Tak menduga dia memegang lenganku lalu menghempaskannya.“Jangan sok peduli. Kau tak mau pulang? Bukan urusanku. Minggir.” Fajar menutup pintu mobil dan segera melaju dengan kecepatan tinggi.‘Mari nyonya, saya antar.” Ucap Roy, anak buah fajar.“Pak, tolong kejar mobil itu. Saya takut terjadi apa-apa dengannya.”“Baik nyonya.”Mobilpun segera menyusul. Aku sangat cemas saat melihat fajar mengemudi dengan begitu kencang. Emosinya sedang tidak stabil. Aku harap dia tidak berbuat nekat. Jantungku berpacu dengan cepat. Aku sangat gelisah dan mencemaskan fajar. Mobil yang di kendarai meliuk-liuk tak beraturan. Yang kutakutkan terjadi kalau sampai terjadi benturan dengan pengendara lain.Aku menjerit saat melihat mobil yang di kendarai fajar nyaris bertabrakan dengan truk dari arah yang berlawanan. Ketakutanku semakin menjadi. “Pak, tolong cepat sedikit. Kita harus potong jalan, supaya dia berhenti.”“Tenang saja, bu. Pak fajar sangat mahir dalam mengendarai mobil. Itu hanya pelampiasan kekesalannya saja.”“Justru itu sangat berbahaya, pak.” Aku sangat mencemaskannya.“Ibu tenang saja.”‘Tolong berhenti. Biar saya saja yang mengemudi.”“Tapi bu.”“Berhenti sekarang juga!” perintahku padanya.“Baik bu.” Sopir menghentikan mobil. Aku segera berpindah ke depan dan menggantikan untuk memegang kemudi. Dengan sigap kususul mobil fajar. Untung saja jalan tak begitu padat. Walau hampir saja kehilangan jejak, tapi aku tetap bisa berada tak jauh darinya. Mobil kami saling berkejaran. Namun fajar lebih pandai dariku. Mobilnya sangat sulit untuk terkejar. Aku bahkan tak peduli dengan sumpah serapah para pengendara lain, dan terus mengejarnya. Bagiku keselamatan fajar sangatlah penting. ****FAJARAku tersenyum puas. Kau begitu mengkhawatirkanku, miranti. Itu artinya, masih ada cinta dalam hatimu. Kau pasti mencemaskanku saat aku mengemudi dengan kecepatan tinggi. Bahkan kau sampai mengemudi sendiri. Mungkin kau pikir aku akan bunuh diri. Aku tak sebodoh itu asmara miranti. Bukan fajar namanya kalau tak berhasil membongkar isi hatimu yang sebenarnya. Kita lihat saja nanti, kau pasti akan datang ke pesta pertunanganku. Dengan menunjukkan diri ataupun sembunyi-sembunyi. Aku sangat mengenalmu bahkan lebih dari dirimu sendiri.Kubiarkan kau terus mengikutiku. Sengaja memutar arah supaya makin jauh dari lokasi.Ekor mataku menangkap panggilan dari Mila. Kulirik jam tangan yang melingkar pada lenganku. Sudah lewat setengah jam dari waktu yang ditentukan. Malas rasanya untuk menemui penghianat itu. Mila, kali ini kau tak bisa mengelak lagi. Ada rahasia besar yang akan terkuak dan membuatmu mati kutu. Berani bermain-main denganku, rasakan akibatnya.Rasanya tak sabar untuk melihat drama yang akan terjadi.Kuhentikan mobil di pelataran hotel bintang lama. Dasar cewek matre. Pesta pertunangan saja minta acara mewah layaknya pesta pernikahan saja. Biarlah kuturuti saja. Toh ini hanya permainanku saja untuk membuatnya mengakui perselingkuhannya.Beberapa orang segera menjemputku. Lebay sekali, seolah aku ini seorang tersesat dan tak bisa pulang.“Pak, pak penghulu sudah menunggu cukup lama. Nona mila juga sudah sangat gelisah.” ucap salah satu orang yang menjemputku.“Penghulu? Apa maksudmu? Siapa yang mau menikah?” tanyaku beruntun padanya.“Mmm, maaf. Bapak tanya dengan yang bersangkutan saja.”‘Jelaskan dulu padaku. Ada apa sebenarnya?!” “Fajar, cepatlah. Tamu sudah banyak yang menunggu.” Kulihat mamah melangkah dengan tergesa ke arahku. Kebaya model gamis yang dipakainya sampai harus diangkat sedikit supaya tak membuatnya terjatuh.“Mah, dia tadi bilang ada penghulu. Siapa yang akan menikah?”“Sst, usil amat sih itu orang. Mau surprise malah kamu tahu duluan deh. Ayo, cepat.” Mamah menggandeng lenganku.“Mah, jawab dulu siapa yang mau menikah?”menghentakkan tangan mamah yang menggandeng lenganku. Mamah memekik dan menatapku tajam. Beliau pasti tak mengira aku akan melakukannya. Sungguh aku menyesal. Mamah pasti merasa sakit hati karena perbuatanku. Tak pernah seumur hidupku membuatnya kecewa. Bahkan perjodohan ini juga untuk membuatnya bahagia. Walau kutahu, wanita itu bukan calon pendamping yang baik. Demi menyenangkan hati orangtua yang hanya tinggal satu orang saja, aku bahkan siap mengorbankan kebahagiaanku sendiri. Mungkin aku masih terbawa emosi karena sikap miranti. Hingga terbawa sampai saat ini.“Fajar, kenapa kamu menolak mamah gandeng. Jangan nakal kamu ya.” Mamah menjewer kupingku. Aku mengaduh kesakitan. Tetap saja mamah memperlakukanku seperti anak kecil.“Lepasin, mah. Fajar malu.” Pintaku pada mamah.“Makanya jangan bandel. Cepat masuk.” Mamah memukul pantatku. Masih saja beliau menganggapku belum dewasa. Biarlah, yang penting mamah bahagia.Aku terus mengekor mamah yang menggandeng tanganku dengan menebar senyum bahagia. Belum pernah aku melihatnya sebahagia ini. Maklum saja, aku yang anak semata wayang belum menikah. Wajar saja hari ini menjadi hari yang paling membahagiakan untuknya. Tapi tidak untukku. Bagaimana dengan perasaanku. Apakah pernah mamah memikirkannya. Aku bahkan rela mengorbankan kebahagiaanku sendiri demi orangtuaku satu-satunya. Setelah kepergian papah menghadap sang pencipta, mamah tak pernah sebahagia ini.Mamah dengan bangga memperkenalkan aku kepada saudara dan juga rekan bisnis almarhum papah. Hal itu memaksaku untuk menebar senyum penuh kepalsuan. Melihat kebahagiaan mamah, rasanya tak tega untuk melaksanakan rencana membuka kedok mila. Untuk menikah dengannya, juga tak mungkin. Aku tahu semua ini rencana mila. Wanita itu menjebakku. Dia sangat tahu aku begitu mencintai mamah. Dia pasti merayu mamah untuk memuluskan rencananya. Ini benar-benar gila. Takkan kubiarkan wanita ular itu menggerogoti hartaku. Sebagai pembisnis di bidang properti, warisan papah juga banyak. Wanita itu pasti mengincarnya. Dasar ular betina. Takkan kubiarkan kau menggigitku.Mamah membawaku ke arah saudara papah. Mereka juga hadir. Bahkan kedua adik papah yang menetap di arab saudi juga hadir. Ini benar-benar diluar dugaan. Bagaimana mungkin aku mempermalukan mila. Sama saja dengan mempermalukan mamah.Kuedarkan pandangan. Decorasi pengantin yang begitu indah sudah terpasang di sana. Catering, dan seluruh persiapan sudah sangat sempurna. Bagaimana bisa aku tak tahu. Lalu, darimana biayanya. Pasti membutuhkan uang yang tak sedikit. Tidak mungkin keluarga mila mau mengeluarkan biaya sebesar ini. Mereka takkan mampu.Aku mengusap peluh di dahi. Sangat membingungkan. Apalagi beberapa kilenku juga hadir. Tak mungkin aku membatalkan pernikahan ini. Bisa-bisa nama baikku hancur, begitu juga dengan karirku. Dasar wanita licik. Awas kau mila, akan kubalas perbuatanmu.Senyum palsu masih kutebar. Dan sekilas aku melihat miranti ada di antara karyawan catering. Kenapa dia tak berbaur saja dengan para tamu. Mungkin dia sengaja supaya aku tak melihatnya. Atau mungkin karena dia tak berdandan seperti yang lainnya. Hingga malu untuk berbaur dengan mereka.Aku memanggil anak buahku. Kuperintahkan untuk menjaga miranti. Jangan sampai terjadi apa-apa dengannya.Aku pura-pura tidak tahu. Semangatku bangkit untuk membuat miranti sakit hati. Tekadku sudah bulat untuk menikah dengan mila. Soal pembalasanku itu urusan nanti. Rasa penasaran masih bergelayut dalam pikiranku. Aku menarik lengan mamah. Lantas menjauh dari kerumunan.“Ada apa sih?” tanya mamah terlihat tidak suka.“Siapa yang merubah ide menjadi pernikahan? Dan darimana biaya sebesar ini mah? Kenapa mamah tak minta kepadaku? Tidak mungkin orangtua mila yang mengeluarkan biaya sebesar ini.” Tanyaku beruntun kepada mamah.“Udahlah. Kamu gak perlu berpikir masalah biaya. Yang penting kamu bahagia anakku.” Mamah menepuk pipiku.“Gak bisa gitu dong mah. Duitnya darimana. Jangan-jangan mamah ngutang lagi.” “Iih beraninya kamu menuduh mamah begitu.” Mamah kembali menjewer kupingku.“Ya terus darimana? Jawab dong.”“Oke. Jangan bukan Cuma kamu yang bisa nyombongin duit. Mamah juga bisa. Uang peninggalan papahmu jumlahnya milyaran. Juga uang pemberianmu, mamah simpan. Dan itu untuk membiayai semua pernikahanmu. Jadi jangan ngatain mamah ngutang lagi ya.” Mamah mncubit lenganku.“Kenapa mamah gak minta saja sama aku. Uang mamah kan bisa di simpan.”Tiba-tiba mamah menatap serius kearahku. Matanya berkaca-kaca. Tubuhnya yang lebih pendek dariku mencoba menuntunku untuk merendahkan tubuhku. Aku menunduk. Mamah mengecup keningku cukup lama. Lalu memelukku dan menangis di dadaku. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Apakah semua ibu akan begini saat akan melepas putranya. Bukannya menjawab pertanyaanku, tapi malah menangis. Aku membalas pelukan mamah erat. Wanita yang paling kusayangi terus menangis dalam pelukanku.54. USAHA TERAKHIRFAJARMamah melepas pelukannya. Wajahnya bersimbah airmata. Aku menghapusnya dengan jemariku.‘Udah dong mah, jangan nangis. Malu. Aku minta maaf deh.” “Kau tidak salah. Mamah hanya sedih. Bertahun-tahun mamah menunggu moment ini. Kau akan melepas masa lajangmu. Itu membuat mamah bahagia. Akhirnya kau bisa mengubur luka lamamu. Mengenai biaya, itu menjadi urusan mamah. Kau tak perlu mengeluarkan uang sepeserpun. Yang penting kamu bahagia.” Mamah menangkup pipiku denan kedua tangannya.Aku tersenyum dan mengelus lengan mamah. “Bagiku, yang penting kebahagiaan mamah.”“No. Kebahagiaanmu lebih penting. Untuk apa mamah bahagia, tapi tidak denganmu. Kau yang akan menjalaninya, bukan mamah.”“Apa menurut mamah, mila gadis yang tepat untukku?”“Kenapa kau tanyakan itu? Sudah jelas dia pilihan mamah. Pasti dia wanita terbaik untukmu.”“Mamah yakin?”“Seratus persen yakin.”“Kalau ternyata ....” kuhentikan ucapanku. Aku tak ingin melihat kebahagiaan berubah menjadi kesedihan. “Kalau ternyata apa?” wajah mamah seketika berubah masam.‘Gak penting. Aku mau ketemu mila dulu ya. Dah mamah. Mmuach” kukecup pipi tembemnya lalu meninggalkannya. Aku berada dalam kebimbangan. Benar-benar simalakama. Bergegas mencari mila.  Seseorang menunjukkan tempat di mana mila berada. Tanpa menunggu lama, kuauunkan kakiku menuju ke sana.Membuka pintu. Kulihat ada beberapa orang yang sedang menemaninya. Rupanya ini ruang make up. ‘Maaf, bisa tinggalkan kami sebentar?” tanyaku kepada orang yang tengah menemani mila.“Baik, pak.”Setelah mereka pergi, kuputar kursi yang di duduki oleh mila hingga kami saling berhadapan. Dia terlihat sangat cantik. Tapi sayangnya tak membuatku tertarik. Kecantikannya hanya semu. Sayang kelakuannya minus.“Mila, kenapa acara pertunangan bisa berubah menjadi pernikahan? Siapa yang merubahnya? Jawab pertanyaanku!” tanyaku padanya. Mila tersenyum dan mengelus dadaku. Kutepis tangannya dengan kasar. ‘Sayang, bukankah kau bahagia?”“Tidak! Karena kau sudah menghianatiku.” Aku melangkah menuju jendela dan menatap keluar.“Apa maksudmu?”“Rio. Kau mengenalnya bukan?” tanyaku tanpa melihat ke arahnya.“Ri-rio siapa? aku tak mengenalnya.” Walau tak kulihat wajahnya, dari suaranya yang gemetar sudah pasti merasa gugup.“Jangan membodohiku. Batalkan pernikahan kita sekarang, atau kubongkar perselingkuhanmu itu!”“Tidak mungkin sayang. Akad nikah sudah akan di mulai. Kau hanya terhasut omongan orang yang ingin menghancurkan hubungan kita.” “Bagaimana dengan Dave hotel. Indra resort, villa di puncak dan masih banyak lagi. Semua video sebagai bukti tersimpan rapih. Kau lupa aku seorang pengacara, hingga berani menghianatiku? Aku bisa menghancurkan hidupmu kalau aku mau!” aku menunjuknya dengan kasar.“Kau mengancamku?”“Bukan sekedar ancaman. Akan kulakukan kalau kau tak menuruti keinginanku!”“Kau pasti salah paham.”“Aku tidak salah paham! Kau bahkan menghidupi pria itu dengan uangku! Aku diam bukan karena bodoh. Bahkan kau sengaja menjebakku dengan pernikahan ini. Kalau bukan karena mamah, sudah lama kutendang kau dari hidupku! Cepat lakukan apa yang kumau!”“Kalau aku tidak mau?”“Seharusnya kau sadar diri. Untuk apa menikah dengan orang yang tak menginginkanmu.”“Aku tak peduli. Yang penting kau mampu membahagiakanku dengan hartamu. Aku tak butuh cintamu. Bahkan aku bisa mencari kesenangan dengan pria lain seperti yang sedang kulakukan. Kau takkan bisa menghentikanku. Apa kau lupa mamahmu punya penyakit jantung? Apa jadinya kalau beliau shock bahkan sampai meninggal!” jawaban mila membuatku kesal.“Tutup mulutmu! Aku sudah memintamu secara baik-baik. Kalau kau tak mau, aku akan membongkar aibmu di depan semua orang!” aku kembali engancamnya. Wanita ini benar-benar seperti ular yang siap menggigit siapa saja sesuai keinginannya.“Lakukanlah sayang. Aku tidak takut dengan ancamanmu. Aku yakin kau tak punya bukti apapun! Dan akulah pemegang kunci kehidupanmu. Mamahmu sangat menginginkanku menjadi menantunya. Dia pasti mau melakukan semua permintaanku. Termasuk menikahkan kita segera!”“Aku takkan membiarkan ini terjadi!”“Akan kubuktikan kepadamu. Kita menikah atau membongkar aibku, tapi mamahmu meninggal!”Mila pergi meninggalkanku. Aku takkan membiarkan ancamannya menjadi kenyataan. Kutarik lengannya hingga dia hampit terjatuh.“Berani kau mengganggu mamahku, akan kukejar kau walau ke ujung dunia!”‘Silakan, aku tak takut sayangku.” Mila menepuk pipiku. Lalu mengibaskan tangannya hingga terlepas dari cengkeramanku. Sial wanita itu benar-benar menantangku. Kita lihat saja nanti, siapa yang akan menang.Kuambil ponsel dari saku celana. Segera menghubungi anak buahku.“Roy, apa pria itu sudah datang?”“Sudah pak.”“Kau atur sesuai dengan kesepakatan kita. Lakukan sekarang. Sepuluh menit lagi acara di mulai.” Kumatikan ponsel. Aku bisa saja membatalkannya sekarang. Namun aku tak ingin mengesankan kalau aku menentang mamah, dengan membatalkan rencana yang telah disusun dengan matang. Tak ingin orang yang melahirkan menganggapku sebagai anak durhaka. Aku harus memakai sedikit permainan untuk menghentikan pernikahan ini. Semoga saja tidak terjadi apa-apa dengan mamah. Kreett. Pintu terbuka. Seorang wanita masuk dan mengabarkan kepadaku acara akan segera di mulai. Aku diminta untuksegera  kesana. Aku mengiyakan. Kemudian memutar otak untuk sedikit mengulur waktu.Mengedarkan pandangan dan terhenti pada pintu yang berada di belakangku. Senyumku mengembang. Ternyata Alloh juga tak merestui pernikahanku dengan mila. Buktinya aku menemukan jalan keluar. 13-12-11. Tanggal yang paling ku benci. Ternyata tak salah aku memilih kembali tanggal dan bulan yang sama. Mudah-mudahan akan bernasib sama seperti pernikahanku dengan miranti dulu.Tanpa berpikir panjang, lalu memutuskan untuk menyelinap dari pintu belakang.Entah aku berada di ruang apa. Sepertinya ini tempat untuk menyiapkan makanan dari pihak catering. Aku tak peduli. Mengayunkan langkah menuju kerumunan para tamu. Sambil terus mengamati keadaan sekitar. Hingga tanpa kusengaja, aku menabrak pramusaji yang sedang membawa gelas berisi minuman. Praang. Pecahan gelas berserakan. Minuman yang berada di dalamnya tumpah dan membasahi lantai. Suara yang begitu keras membuat para tamu melihat ke arah suara. Sial, aku bisa ketahuan. Sudah bersusah payah untuk bersembunyi, malah terjadi ‘kecelakaan’ seperti ini. Aku mendengus kesal. Kali ini aku ingin melampiaskan kekesalanku pada wanita yang memakai seragam catering dan memakai topi.“Dasar tak becus kerja! Percuma saya bayar mahal kalau pelayanan kalian tak maksimal! Memalukan!” aku membentak wanita yang terus memunggungiku. Bahkan cenderung seperti menyembunyikan wajahnya dariku.“Ma-maaf, pak.”Tunggu. Aku seperti tak asing dengan suaranya. Kucoba untuk bergeser dan melihat wajahnya. Namun, wanita itu ikut menggeser tubuhnya dan terus berusaha menyembunyikan wajahnya. Walau aku begitu marah dan emosi, tapi dia seperti tak merasa takut. Ada sesuatu yang aneh. Karena penasaran, kuambil topi yang menuttupi wajahnya. Rambutnya yang hitam tergerai. Hanya melihat rambutnya saja, aku tahu siapa dia. Ini saatnya aku menimpakan kekesalanku pada orang yang membuat emosiku meninggi.“Miranti?! Apa kau sudah jatuh miskin. Hingga bekerja menjadi pelayanku?” kutarik lengannya yang sedang memunguti pecahan kaca.“Aw,” dia mengaduh saat tangannya terkena pecahan gelas. Aku segera menolongnya dengan mencabut serpihan kaca yang menancap pada jari telunjuknya. Lalu mengambil sapu tangan di saku dan membalutnya.“Ada apa ini. Kamu anak baru, sudah membuat kekacauan.” Ucap seorang wanita yang datang  menghampiri kami. Sepertinya dia penanggungjawab catering. “Saya mohon maaf atas kejadian ini.”“Suruh dia bekerja dengan hati-hati.”Aku lalu meninggalkan mereka. Tak kusangka miranti sampai nekat menyamar sebagai seorang pelayan. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Tanpa sengaja aku melihat mendung di wajahnya. Mungkinkah dia terluka dengan pernikahanku. Tapi kenapa dia berpura-pura tak menginginkanku. Kalau saja dia mengatakan  masihmencintaiku. Tanpa menunggu rencanaku berjalan, aku pasti membatalkan pernikahan ini dengan usahaku sendiri. Akan kuberi pengertian kepada mamah. Sayangnya, miranti tak menginginkanku. Biarlah akan kusiksa perasaannya dengan berpura-pura bahagia.Aku membalikkan badan. Miranti seorang diri. Aku putuskan untuk mendekat kearahnya. Mengamati wanita yang kucintai masih terlihat membersihkan lantai. Aku melipat kedua tangan di depan dada.“Miranti. Terimakasih kau telah mengingatkanku. Aku sadar, bahwa aku juga harus bahagia. Kau lihat’kan calon pengantinku? Dia sangat cantik bukan? Melebihi kesempurnaanmu. Untung saja kau menolakku. Kalau tidak, mungkin aku akan menyesalinya seumur hidupku.”Aku tersenyum dan menatapnya. Penasaran dengan reaksinya. Beberapa saat aku menunggu, tak ada reaksi apapun dari miranti. Hanya sesekali kulihat dia menyeka airmata. Entah apa arti airmatanya. “Fajar, mamah cari-cari dari tadi. Rupanya kamu ada di sini. Ngapain sih?” Aku menoleh kearah suara mamah. Wanita yang paling kusayangi terlihat sangat mencemaskanku.“Aku tadi haus.” Jawabku sekenanya.‘Kan di depan banyak minum. Atau kamu bisa minta di ambilkan. Semua orang mencarimu. Mamah khawatir.”“Sudahlah. Ayo kita ke sana. Kupeluk pundak mamah dan menuntunnya ke depan. Aku menoleh ke belakang. Miranti sudah tak terlihat. Dengan cepat dia menghilang dari pandanganku. Sekarang saatnya bertarung dengan nasib. Aku pasrah dan akan mengikuti takdir yang harus kujalani. Kalau memang mila jodohku, perniakahan ini pasti tetap terjadi. Walau aku sudah bersusah payah untuk mencegahnya. Kalau bukan jodoh, pernikahan ini takkan pernah terjadi.55. TAMU ISTIMEWA UNTUK MILAFAJARMamah mengantarku hingga sampai di tempat yang sudah dipersiapkan untuk ijab kabul. Langkahku terhenti tepat di hadapan mila. Gadis licik itu menatap dengan senyum penuh kemenangan. Aku tak pernah mencintainya. Walau begitu dia sudah menggunakan hartaku hingga ratusan juta. Bukan aku tak mengerti kalau dia matre. Hanya perlu mengulur waktu untuk membuka kedoknya. Kalau bukan demi mamah, kuharamkan hartaku untuknya. Duit segitu tak ada artinya bagiku. Sama sekali tak ada penyesalan. Anggap saja untuk membuang sial.“Sudah, pandang-pandangannya diteruskan nanti saja.” Mamah menyubit lenganku dan menyadarkan dari lamuanan. Aku hanya tersenyum kecut menanggapi gurauannya. Menatap wajah mamah yang penuh kebahagiaan. Rasanya tak tega untuk membuatnya terluka. Mengecup punggung tangannya dengan penuh cinta. Lalu menatap wanita paruh baya yang masih terlihat awet muda.“Mamah bahagia?” tanyaku kembali ingin memastikan kebahagiaannya.“Jelas. Mamah takkan mengajukan pertanyaan yang sama. Karena pasti jawabannyapun akan sama.” Wanita pengisi separuh jiwaku itu menepuk-nepuk lenganku.“Maaf. Bisa kita laksanakan ijab kabul sekarang. Ini sudah terlambat hampir satu jam dari jadwal. Saya masih harus menikahkan beberapa pasangan lagi setelah ini.” Ucap pak penghulu. “Baik, pak. Kami mohon maaf. Ayo sayang, duduk di sebelah calon istrimu.” Mamah menuntunku hingga duduk bersebelahan dengan penghianat yang sama sekali tak kuinginkan.Shiit, kenapa lama sekali pria itu belum muncul juga. Aku tak bisa menikah dengan mila. Aku harus lepas dari jebakkan ini. Tapi bagaimana caranya. Aku benar-benar kehabisan akal.Prosesi acara sudah di mulai. Pembawa acara juga sudah menyapa para tamu. Aku benar-benar geisah. Berkali-kali menyugar rambutku tanda kegelisahanku. Sialnya gadis di sampingku menatapku dengan penuh kemenangan.“Aku yang menang. Mila tak pernah dikalahkan.” Bisik wanita menjijikkan itu di telingaku.“Kita lihat saja nanti. Siapa yang akan jadi pemenangnya.” Jawabku dengan berbisik pula. Mengepalkan jemari tanda kemarahan. Aku sendiri tak yakin dengan apa yang kuucapkan. Rasanya seluruh jalan telah tertutup. Walau seluruh rencana sudah tersusun rapi, tapi entahlah. Hingga sekarang belum ada tanda-tanda mereka akan muncul. Bahkan tim dokter yang akan menangani mamah jika terjadi sesuatu juga sudah kupersiapkan dengan baik. Sayangnya tetap saja membuat hatiku tak tenang.Baru pertamakalinya aku merasa akan dikalahkan. Selama berhadapan dengan lawan pada persidangan, belum pernah aku merasa kalah sebelum bertarung. Kini menghadapi seorang mila bisa membuatku jadi seperti pecundang. Sebenarnya bukan mila penyebabnya. Tapi keluarga besarku dan juga mamah. Mereka yang membuatku tak bisa bertindak gegabah.“Ini baru permulaan. Mamahmu sudah ada dalam genggamanku. Dia akan menjadi bonekaku, termasuk juga dirimu.”“Jangan mimpi, mila. Tak ada bangkai yang tak tercium baunya. Walaupun kau menyimpannya dengan rapih.”“Omong kosong. Bangkai yang wangi. Dan membuat orang senang.”“Dasar gila.”Percuma ngomong dengan orang yang tidak waras seperti dia. Hanya membuang energi saja.“Pak fajar. Silakan anda menjabat tangan ayah dari mempelai.”Aku terkejut mendengar ucapan pak penghulu. Keringat dingin tiba-tiba muncul. Kenapa hingga detik terakhir tak jua ada keajaiban. Aku tak rela jika harus menghalalkan wanita licik ini. Dia tidak boleh menang. Namun apa yang bisa kulakukan. Haruskah aku berlari atau mengungkap aib mila dengan mulutku sendiri. Tanpa bukti, takkan ada orang yang mempercayaiku. Apalagi klienku banyak yang hadir. Reputasiku bisa hancur seketika jika mereka menganggap ucapanku adalah sebuah kebohongan. Takkan lagi ada yang mau memakai jasaku. Benar-benar dilema.“Nak, fajar. Ayo genggam tangan bapak.”Kembali aku dikagetkan oleh suara dari ayah mila. Pria itu pasti penuh semangat. Dialah yang mengajari mila untuk menguras hartaku. Ibunyapun tak jauh beda. Benar-benar keluarga yang tak tahu malu. Jelas saja dia tak sabar untuk punya menantu sepertiku. Mungkin dia pikir aku sebodoh itu. Bisa dimanfaatkan untuk menguras hartaku.Padahal kalau dihubungkan, kami masih saudara jauh dari mamah. Benar-benar tega menghianati saudaranya sendiri.“Ayo pak fajar.”Kali ini suara pak penghulu. Aku tersenyum kearahnya seraya menganggukkan kepala. Sejenak menatap ke arah panggung. Tak ada seorangpun yang tampak di sana. Pemain musik yang akan menghibur para tamu juga belum terlihat. Aku menghela nafas. Tak ada salahnya untuk berdo’a dan menunggu keajaiban pada detik terakhir.Aku masih membiarkan tangan pria matre itu menggantung. Walau wajahnya mulai berubah kesal. Ttetap saja dengan sabar menunggu aku menyambutnya. Aku merasakan tangan di sentuh dengan halus. Lalu mengangkat tanganku dan menempelkan pada telapak tangan calon mertuaku. Dengan kuat pria di hadaanku menggenggamanya. Aku tahu siapa yang membantu hingga tanganku terulur. Tak berani aku membantah atau menolaknya. Bisa-bisa wanita yang telah melahirkanku itu marah besar. Aku hanya bisa menatap ke arahnya yang kembali duduk bersama para tamu undangan.Aku menatap wajah mila. Gadis itu tersenyum penuh kepalsuan. Aku tahu apa yang ada dalam pikirannya.“Bapak ikuti ucapan saya ....”Aku menundukkan kepala dan tak berkonsentrasi dengan ucapan pak penghulu. Lantunan do’a masih kupanjatkan untuk meminta sebuah keajaiban.“Pak fajar. Pak fajar.”‘Oh. I-iya.” Jawabku gugup dan menatap ke arah pak penghulu.“Pak fajar yang konsentrasi ya. Kita ulang prosesnya lagi dari awal.” Ucap pak penghulu. Untung saja beliau sabar.Waktu telah habis. Aku benar-benar tak bisa menghindar lagi sekarang. Mungkin memang mila adalah jodoh yang sudah ditetapkan untukku. Tak ada yang sia-sia saat sang pencipta sudah menggariskan takdir hidup kita, pasti rencana Alloh yang terbaik untuk kita.Tanpa sengaja pandangan mataku menatap miranti yang berada di antara para tamu undangan. Wajah itu bersimbah airmata. Rasa sakit pasti menghinggapi sanubarinya. Tahukah kau mir. Rasa yang sama saat aku melihatmu bersanding dengan arya dulu. Ini bukan ajang balas dendam. Kau tahu aku menginginkanmu. Sayangnya, kau menolakku. Ini murni bukan kesalahan dariku. Tapi kebodohanmu yang berpura-pura tak mencintaiku.Dengan perasaan yang bercampur aduk. Terpaksa aku harus mengikrarkan sumpah pernikahan. Menarik nafas panjang, lalu membuangnya perlahan. Bismillah. Akan kutunaikan kewajibanku untuk membahagiakan ibuku.“Saya terima... nikah dan ....”“Tunggu!”Terdengar suara seorang pria menghentikanku. Aku dan seluruh tamu undangan mengarahkan pandangan kepada pria yang berdiri di atas panggung. Para tamu undangan saling berbisik dan ingin tahu apa tujuan pria itu menghentikan prosesi pernikahan. Tapi tidak dengan diriku. Dewi fortuna tengah berpihak kepadaku. Ternyata do’aku tak sia-sia. Sang maha pencipta mengabulkan do’aku. Kini aku tinggal menunggu drama yang akan dimainkan.“Rio?!”Aku menatap wanita yang ada di sampingku. Wajahnya memucat. Dia juga menutup mulutnya dengan telapak tangannya. Rupanya dia tak menyanga akan mendapatkan kejutan yang sangat istimewa.“Kau mengenalnya?” bisikku lirih di telinganya.Tiba-tiba tanganku di tarik paksa oleh mila untuk menjauh dari para tamu. Di sudut ruangan dia menghentikan langkah dan menghempaskan tanganku dengan keras. Dia bahkan tak peduli dengan riuh suara. Seandainya saja dia tak membawaku untuk menjauh, mungkin saja mereka tak akan berpikiran macam-macam. Dasar mila memang bodoh. Otaknya baru bisa berpikir kalo harus ngabisin duit.“Ini pasti ulahmu’kan? kau licik. Aku takkan membiarkan rencanamu berhasil.” Mila memukuli dadaku . Diamenatapku dengan sorot mata berapi. Aku menanggapinya santai dan memutar bolamataku. “Rencana apa sih? Aku tak mengerti, zayang.” Jawabku dengan senyum penuh penghinaan. Kupegang tangannya lalu kuhempaskan. Kemudian membereskan pakaian yang kusut karena ulah sang bidadari kesasar. Aku memasukkan telapak tanganku pada saku celana sembari terus mengamati Rio dan wanita yang berada di hadapanku secara bergantian.“Aku tak sebodoh apa yang kau pikirkan. Rio pasti lebih mendengar perintahku daripada kau!” mila menunjukku dengan kasar. Amarah terlukis pada wajah cantiknya. “Dengan alasan apa? Tubuhmu?”“Tutup mulutmu! Kita akan buktikan. Kau yang akan menyesal atau kau yang hancur!”“Salah ngomong lo. Enggak ada pilihan lain emang? Pilihan untuk lo apa?” tanyaku kembali hingga membuatnya bertambah murka.“Kau ....” mila mengepalkan tangan. “Kau akan menyesal, fajar. Nyawa mamahmu berada di tanganku!”‘Emang lo Tuhan?” jawabku santai. Aku sangat menyukai permainan ini. Mila seperti kebakaran jenggot.“Aachh. Awas kau!” mila meninggalkanku. Dia berlari kecil menuju panggung. Bahkan dia tak peduli dengan gaun indah yang melekat pada tubuhnya. Dia mengangkat gaun untuk memudahkan langkahnya.Aku membuntutinya. Tanpa kusadari, mamah sudah berada di sampingku. Beliau terlihat sangat cemas.‘Fajar. Ada apa? Siapa pemuda itu? Kenapa mila kelihatan cemas.” Tanya mamah beruntun.“Kita lihat saja nanti mah. Sebentar lagi, mamah akan mendapat jawabannya.”“Mamah tahu ini pasti ulahmu’kan? kau ingin membatalkan pernikahan ini. Pasti kau masih berpikir tentang mantanmu itu. Jangan membuat mamah malu fajar. Tolong, hentikan permainanmu. Apa kamu mau mamah mati karena jantungan? Iya?!” Mamah  menangis dan memukuli dadaku. Aku meraih tubuhnya ke dalam pelukanku.“Gak mah. Fajar sayang banget sama mamah. Tapi tolong, dengarkan apa yang akan pemuda itu ucapkan. Juga bukti yang akan di perlihatkan.” Mamah melepas pelukanku.”Bukti apa? Apa kau lebih percaya kepada orang yang tak kau kenal itu? Apa kau sudah tak menyayangi mamahmu ini, hingga akan membuat mamah malu?”“Mah, fajar sayang banget sama mamah. Fajar juga tidak tahu rencana pernikahan dan akan mengundang tamu sebanyak ini. Setahuku hanya semacam intimate party. Tapi ternyata yang di undang sebanyak ini. Fajar merasa dijebak oleh oleh mila.”“Bukan mila. Tapi mamah. Semua ini mamah yang mempersiapkan. Pokoknya mamah gak mau tahu. Kau harus penuhi keinginan mamah untuk tetap menikah dengan mila. Atau mamah akan bunuh diri!” mamah berteriak histeris. Kembali kuraih tubuhnya dalam pelukan. Aku merasakan tubuh mamah lebih berat. Sepertinya mamah merasa lemas hingga terasa lebih berat saat aku menopang tubuhnya.“Mah tolong jangan berkata seperti itu. Fajar sayang sama mamah. Aku gak mau kehilangan mamah.” “Mau di taruh di mana muka mamah. Mamah malu fajar, mamah malu.” Mamah semakin erat memelukku. Dia memukuli punggungku untuk melampiaskan kekesalannya.“Aku janji. Kalau setelah mamah melihat video yang akan di putar, masih menginginkan aku menikahi mila. Aku janji akan menikahinya tanpa mengajukan syarat apapun. Bisa saja aku menikahi mila tanpa membuka kedoknya. Tapi itu tidak adil untukku dan juga mamah. Bagaimana, mamah setuju?”Mamah menganggukkan kepala. Beliau sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Aku menarik kursi dengan kaki lalu mendudukkan mamah. Wanita yang aku sayangi masih larut dalam tangisan. Seluruh keluarga besar mendekati mamah dan mencoba memberi kekuatan. Semoga keadaan mamah akan baik-baik saja.56. MEMBONGKAR KEDOK MILAFAJARMemperhatikan mila yang terlihat memarahi pria yang bernama Rio. Namun pra itu hanya menundukkan kepala. Tak ada sepatahkatapun yang terucap dari bibirnya. Padahal aku tahu persis. Kalau mila sedang marah, ucapannya tak terkontrol dan sangat menyakitkan. Pria itu hanya terlihat sesekali menghela nafas panjang sambil memejamkan mata. Terkadang mengurut dadanya. Ini pasti sulit untuknya. Kemarahan mila yang meledak-ledak membuat siapapun yang berhadapan dengannya pasti ingin melayangkan tangan kepada wanita tak ber etika itu. Penghuni kebun binatang pasti keluar dari mulut kotornya.Mila menyerobot microfone yang berada di tangan Rio, lalu menyuruh pria itu pergi. Rio tidak pergi. Dia hanya mundur beberapa langkah. Mila mulai berbicara menggunakan pengeras suara. Aku ingin tahu apa yang akan di bicarakannya.“Tolong, jangan percaya apapun yang akan dikatakan oleh pemuda itu! Dia hanya pengamen jalanan yang tidak berguna. Tolong security, usir pemuda itu!” mila menunjuk kepada Rio dengan angkuh.. Seenaknya saja dia menghina orang lain. Padahal dia itu kekasihnya sendiri.  Sikapnya yang arogan justru memperlihatkan sifat aslinya. Selama ini dia pasti cape berpura-pura baik di depan orang. Terutama mamah yang terlalu percaya dengan mulut manisnya.Inilah saatnya mengambil peran. Aku akan berpura-pura tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi.‘Tunggu. Tidak bisa begitu.” Aku mendekat ke arah panggung dan berhadapan dengan mila..“Aku yang mengundangnya. dia tamu istimewa yang akan menghibur kita semua.”“Bohong. Kau pasti sudah merencanakan hal yang buruk untukku!” Mila membanting microphone. Emosinya semakin tak terkendali. Dia justru menguliti dirinya sendiri. Sudah berdandan seperti bidadari, tapi kelakuan seperti iblis yang menakutkan.“Hal buruk apa? Kau yang mempermalukan dirimu sendiri. Dia itu penyanyi. Jangan berpikir macam-macam. Sudahlah, biarkan dia untuk menghibur kita.” Aku masih berpura-pura. Kulihat wajah mila semakin merah padam.“Mila, kemari nak. Dia itu cuma mau nyanyi. Kenapa kau ketakutan seperti itu. Fajar gak mungkin bohong. Kalau dia nakal akan kujewer kupingnya. Tante yang akan melindungi kamu.”Terdengar suara mamah tak jauh dari jangkauanku. Usapan lembut pada lenganku menandakan beliau berada di sisiku. Memejamkan mata dan membalas usapan lembutnya. Bimbang mulai menyelimuti hati. Wanita di sisiku terisak. Akankah tega untuk membuatnya dirundung duka mendalam. Mampukah aku menghentikan tangisnya setelah kejadian ini. Menjadi durhakakah kalau aku tak memenuhi keinginannya. “Aku pegang janji tante. Kalau tante tak bisa melindungiku, akan tahu akibatnya!”Beraninya dia mengancam orang yang kusayangi. Dasar tak tahu terimakasih. Beginilah sifat asli manusia yang muncul saat terdesak.“Sayang, apa yang kau katakan pada tante?” kulihat bibir mamah gemetar dalam berucap. Jiwanya pasti terguncang, saat tahu calon menantu yang terlihat baik bersikap sebaliknya.“Fajar. Gara-gara kamu, mila jadi berani sama mamah. Kau minta maaf padanya sayang, supaya dia tak lagi marah pada mamah.”Mamah memohon kepadaku. Kubawa tubuh mamah ke dalam pelukanku. “Tenang saja. Semua akan kembali seperti semula.”Mataku nyalang menatap ke arah wanita sialan itu. Gigiku gemerutuk menahan amarah.‘Mila! Berani kau menyentuh mamah walau hanya seujung kuku, kupastikan hidupmu berakhir di jeruji besi!”  kekesalanku mulai memuncak.“Rio. Cepat jalankan tugasmu dengan baik! Aku tak sabar melihat wanita yang sudah mengancam ibuku menangis darah meratapi penyesalannya. Bahkan kedua tangannya tak mampu  menutupi wajah untuk membuang rasa malunya!”Kepala mengepul dan terasa hampir meledak. Luapan emosi membuatku tak bisa berpikir jernih. Keadaan yang memaksaku untuk menjadi kejam. Seandainya dia tak mengancam mamah, mungkin aku masih bisa mengendalikan emosi.“Fajar. Kau sudah keterlaluan. Kami dengan ikhlas memberikan putri semata wayang kami kepadamu. Tapi perlakuanmu justru seperti ini. Jeng, bisa didik anak gak sih?” ibu mila berusaha melindungi anaknya. Wajar saja. Sayangnya ucapannya yang menyudutkan mamah kembali membuat emosiku bergejolak.“Kalau tahu akan begini. Takkan pernah kuijinkan mila untuk menjadi istrimu!” Satu lagi orang yang membela mila. Dasar keluarga penipu. Ayah, ibu dan anak sama saja. Tak sabar rasanya untuk membuka kedok mereka.“Kita lihat saja nanti. “Putar videonya sekarang! Dan perhatikan wajah pria itu baik-baik!” aku menunjuk kepada rio. Memutuskan memotong rencana untuk mendengarkan rio bernyanyi. Emosi yang telah menyelimutiku hingga membuatku tak sabar ingin segera membuat keluarga mila malu.“Fajar. Ada apa sebenarnya? Kenapa bisa jadi kacau seperti ini?”‘Mah. Aku tetap memegang janjiku. Aku akan tetap menikahi mila kalau mamah masih menginginkannya.” Mencoba menenangkan orang yang sangat kucintai.Aku menyapu pandangan hingga kesegala penjuru. Semua mata tertuju kepada layar putih berukuran besar. Sebentar lagi, kalian takkan bisa membohongi keluargaku. Video pertama mulai di putar. Gambar pertama yang terlihat adalah ranjang dengan sprei berwarna putih. Beberapa detik tak terlihat ada aktifitas. Pada menit berikutnya barulah gambar yang mengejutkan semua orang. Dimana terlihat aktifitas orang dewasa yang tengah memadu kasih. Aku membuang muka. Walau hanya sekilas sudah membuatku mual dan jijik. Seketika suara riuh menggema. “Tidak mungkin! Ini semua fitnah! Semua sudah direkayasa oleh fajar@”Mila berteriak seperti orang kesetanan. Dia berusaha merusak layar dibantu oleh kedua orangtuanya. Untung saja security behasil menghentikan aksinya. Hujatan dan caci maki di arahkan kepada mila dan keluarganya.“Ooh.” Tubuh ibu luruh ke lantai. Bobot tubuhnya yang di atas rata-rata membuatku kesulitan untuk membopongnya. Saudara dari papah yang berperawakan tinggi besar membantu untuk mengggendong mamah. Namun mamah menggelengkan kepala. Beliau menginginkan melihat bukti yang lainnya. Mamah memegangi dadanya sambil meringis menahan sakit.Aku memanggil tim dokter yang sudah kupersiapkan dengan maksimal. Mereka akan membawa mamah keruang perawatan sementara. Mamah bersikeras untuk tetap tinggal. Walau tak mampu untuk berkata, airmata yang terus mengalir melukiskan kesedihan yang luar biasa. Beliau terus memegangi kakiku. Akhirnya aku ikut duduk di lantai menemani beliau.Mila dan keluarganya masih terus berteriak dan memaki. Namun dia sudah aman berada di tangan security handal. Satu video lagi cukup untuk membungkam mereka. Walau masih banyak lagi video lain, bagiku dua saja sudah cukup untuk membuka kedok mereka.Video kembali di putar. Aku akan menyimak dengan seksama. Walau pernah melihatnya, tapi tetap membuatku ingin melihatnya lagi. Untung saja anak buahku bekerja dengan sempurna. Sangat sulit untuk bisa mendapatkan bukti tersebut. Anak buahku bekerjasama dengan pegawai hotel yang mereka sewa, hingga bisa memasang kamera pada kamar yang sudah di booking oleh mila.Video kedua berisi tentang percakapan mila dan kedua orangtuanya. Terlihat biasa tapi tidak dengan percakapannya.“Gimana rencana kita selanjutnya pah?” tanya ibu mila kepada suaminya.“Sebaiknya kau membujuk mamahnya fajar untuk segera menikah denganmu, mila. Kau ‘kan menantu idamannya. Semua yang kau inginkan pasti akan dipenuhi olehnya.” Jawab ayah mila.“Mmm. Oke. Kalau memang itu yang terbaik. Walau sebenarnya mila gak suka sama si gendut yang cerewet itu. Bodoh banget. Maunya dikibulin sama aku. Males banget berurusan sama orang yang terlalu banyak menuntut. Dasar b*bi gendu t. Apalagi si pengacara songong  itu. Udah lapuk masih aja sok cari perawan. Males deh kalau harus ngelayanin dia sebagai suami.”“Kau harus sabar. Setelah si gendut memberikan seluruh warisan kepada suamimu. Tendang saja mereka keluar dari hidupmu. Dan kita akan menjadi orang kaya. Duuh rasanya gak sabar ingin menjadi orang kaya. Gak harus pura-pura kaya. Padahal kita miskin. Cape tahu harus pura-pura terus.” Jawab ibu mila.“Itu sih gampang. Bisa mila urus. Malesnya tuh ngadepin si bujang lapuk itu lo, mah.”“Lo kan banyak duit. Apa sih yang gak bisa dilakuin pake duit. Kau bisa bayar berondong sesuka hatimu.”“Hentikan. Aku tidak kuat lagi.” Suara mamah terdengar begitu lemah. Lalu tubuhnya terkulai lemah.  Segera aku menyuruh untuk menghentikannya. Keadaan mamah sangat mengkhawatirkan dan membuat panik. “Tante, bangun tante.” Suara yang sangat kukenal. Perasaanku membawa netraku menuju kearah suara. Miranti. Dia terlihat begitu cemas. Tanpa menunggu perintahku dia ikut bersama tim dokter untuk menyelamatkan mamah. Rupanya dia masih menghawatirkan orang yang paling kucintai. Setidaknya aku sedikit terhibur dengan keadaan ini.“Fajar. Kau keterlaluan. Aku akan balas perbuatanmu. Kau akan menyesal karena berurusan denganku!” teriak mila sembari memukuli lenganku.“Diamlah! Aku akan mengurusmu nanti... security, usir mereka dari sini!”Aku melangkah tergesa meninggalkan mereka. Tak penting mengurusnya sekarang. Bagiku yang terpenting adalah keselamatan mamah.Aku berusaha masuk ke dalam ruang perawatan. Namun tak ada yang mengijinkanku masuk kesana. Aku tak peduli dan terus memaksa dengan mengetuk pintu berkali-kali. Tak ada yang bisa menghalangi langkahku. Tak mungkin aku membiarkan wanita yang sangat kucntai berjuang sendirian. Akulah yang menyebabkan semua ini. Dan harus bertanggungjawab sepenuhnya.Menghentikan aksi saat sentuhan halus mendarat di bahuku. Walau tanpa bersuara sentuhan dari jari lembut sangat kukenal. Bahkan aku sangat merindukannya. Membalikkan badan dan segera mendekap erat. Aku ingin bersandar pada bahunya. “Mir, mamah. Ini semua salahku.”“Kau tidak salah. Jangan menyesali. Kita berdo’a saja untuk kesembuhan mamah.”“Jangan tinggalin aku, mir. Aku membutuhkanmu.”‘Iya. Aku janji akan selalu di sampingmu.”Usapan halus jemari miranti pada punggungku, sedikit membuatku tenang. Janjinya juga membuatku lebih bersemangat. Terdengar pintu di buka. Segera aku mendekat ke arah seorang perawat yang baru saja keluar.‘Suster, bagaimana keadaan mamah saya?”“Kondisi pasien menurun. Kita harus segera membawa ke rumah sakit, untuk mendapatkan perawatan yang lebih baik. Kalau tidak segera tertangani dengan baik, akan membahayakan nyawa ibu anda. Kami sudah mempersiapkan semuanya. Sebentar lagi mobil ambulance akan segera sampai.”“Tidak mungkin! Kalian pasti bohong  dan tidak berusaha dengan baik. Mana dokternya?!” aku berteriak seperti orang kesetanan.“Tapi memang itu yang terjadi, pak. Dokter masih berusaha menolong pasien. Beliau sudah berusaha yang terbaik. Permisi.”“Maafkan, dia suster. Beliau sangat terguncang.” Ucap miranti.“Tidak apa-apa bu.”Aku segera masuk ke dalam. Kulihat kondisi mamah yang masih tidak sadarkan diri. Menyingkirkan orang yang ada di sekitar mamah. Tak peduli mereka marah dengan apa yang kulakukan. Mamah pasti membutuhkanku. Aku harus selalu ada di sampingnya.“Tolong anda tunggu di luar! Saya tidak bisa berkonsentrasi untuk menangani ibu anda!” ucapan dokter itu tak kudengarkan. Namun tiba-tiba saja ada yang menarik tubuhku lalu membawa keluar. Aku terus meronta dan teru memanggil mamah. Aku tak ingin kehilangan mamah. Biar nyawaku saja yang ditukar dengan nyawa mamah. Seharusnya aku saja yang meninggalkan dunia ini. Tak rela kalau mamah yang harus menanggung kesalahan yang telah kulakukan.“Mamaaahh!” kembali meneriakan namanya. Terasa jiwaku ikut merasakan sakit yang di derita. Tuhan, tolong sembuhkan mamah. Berikan aku kesempatan untuk membahagiakannya. Walau harus menikah dengan mila akan kulakukan. Demi kenbahagiaan wanita yang sangat kusayangi. 57. BUKTI KEKUATAN DO’AMIRANTI Tak tega melihat keadaan fajar. Dia begitu terguncang. Tak henti buliran bening terus mengalir dari kelopak matanya yang sembab. Setengah jam yang lalu kami tiba di rumah sakit. Tante farida langsung di bawa ke ruang IGD. Aku menemani fajar yang tengah mengalami duka yang mendalam. Dia sangat gelisah. Sesekali berdiri mencoba mengintip dari balik pintu yang tertutup rapat. Tak mendapatkan apa keinginannya dia duduk kembali. Berusaha mengintip, lalu duduk lagi. Begitu seterusnya. Selama perjalanan hingga saat ini, fajar tak pernah melepas tanganku barang sedetikpun. Genggaman tangannya makin erat. Walau terkadang aku merasakan sakit pada jemariku, tak mengapa. Rela hanya meringis menahan sakit. Saat dia bangkit, aku harus mengikutinya. Begitu pula saat dia duduk.Dokter keluar dari ruang perawatan dan mengabarkan kalau tante farida harus masuk ke ICU. Kesadarannya makin menurun. Tubuhnya memerlukan alat bantu untuk memantau keadaannya. Fajar makin histeris. Dia memukul tembok dengan begitu keras, hingga tangannya berdarah.“Fajar. Hentikan. Kemarahan takkan membuat ibumu pulih seketika.” Aku berusaha memegangi lengannya.“Lalu apa yang harus kulakukan? Mamah seperti ini gara-gara aku!” fajar berteriak dengan keras.“Ini rumah sakit. Jangan membuat keributan yang bisa mengganggu ketenangan pasien di sini. Berdo’a. Itu yang harus kau lakukan.”Fajar menarik tanganku dan hendak membawaku pergi. Namun aku menghentikannya saat melihat tubuh tante farida yang terbaring lemah di bawa menuju ruang ICU.Fajar kembali histeris. Dia hendak berlari untuk menahan suster yang membawa mamahnya. Sekuat tenaga aku menahan tubuh fajar untuk tak melakukan tindakan konyol itu. Aku kewalahan. Untung saja aku di bantu oleh saudara dari fajar. Pria itu membantu menenangkan keponakannya.Fajar mulai tenang. Aku mengajaknya untuk pergi ke kantin. Namun dia menolak dan lebih memilih untuk pergi ke masjid di area rumah sakit. Dengan sabar aku memenuhi semua keinginannya. Tiba di masjid, kami langsung mengambil air wudhu di tempat yang berbeda. Rasanya sejuk sekali kala menyentuh air dan membasuhkan ke beberapa bagian tubuh. Pori-pori yang kering dengan gembira menyerap air. Tubuh dan pikiran segar kembali.Setelah itu, kami sholat berjama’ah. Fajar menjadi imam. Ayat suci berkumandang dengan merdu. Walau sesekali suaranya bergetar menahan duka dalam tangis. Suara pria keturunan arab itu sangat indah dan menggetarkan jiwa. Imamku itu terlihat begitu sempurna. Imamku? Ups. Aku salah menyebutnya. Maksudnya imam sholatku. Ah, aku salah bicara. Entah kenapa bibir ini sangat lancang menyebut fajar sebagai imamku. Namun terasa begitu indah kala aku menyebutnya tadi.Menepis pikiran yang makin ngelantur. Aku telah selesai melaksanakan kewajiban ibadahku. Sambil melipat mukena, aku menatap punggung pria yang masih terlihat khusyuk dalam do’a. Berzikir lalu berdo’a begitu seterusnya hingga tiba waktu sholat berikutnya. Aku tetap saja menemaninya. Jujur saja aku sangat menginginkan sosok suami yang seperti fajar. Sangat sempurna sebagai sosok suami. Sangat berbeda dengan Arya. Belum pernah sekalipun dia menjadi imam sholat untukku dan anak-anak. Membimbing kami adalah tugasnya sebagai kepala keluarga. Namun dia tak melakukan kewajibannya itu. Haach, kuhela nafas panjang untuk membuang himpitan dalam dada. Kala mengingatnya dadaku terasa sesak.Sudah dua waktu sholat kami berada di masjid. Fajar masih saja khusyuk dalam do’a. Dia benar-benar menginginkan ibunya sembuh. Do’a yang di panjatkan dengan sungguh-sungguh, insya Alloh akan terdengar hingga pemilik alam semesta. Pintu langit akan bergetar dan menyampaikan harapan dari seorang hamba yang meminta dengan merendahkan diri di hadapan sang pencipta.Aku memegangi perutku yang berbunyi cukup keras. Sepertinya cacing dalam perutku kelaparan. Kulihat jam yang menempel pada dinding masjid. Pukul lima sore. Pantas saja perutku terasa sangat lapar. Hanya kopi dan sepotong roti yang mengisi perutku di pagi hari. Kulihat fajar masih terus berdo’a. Apa perutnya tak merasa lapar. Mau aku tinggalkan, kasihan dia sendiri. Bisa-bisa dia cemas mencariku. Kembali memegang perut. Rasanya lapar sekali. Memutuskan untuk keluar mencari kantin untuk membeli makanan sebagai pengganjal perut.Belum juga aku keluar dari area masjid, terdengar bunyi ponsel dari dalam tas. Sepertinya itu bukan nada dering dari ponsel pintarku. Membuka tas dan mencari sumber bunyi. Ternyata ponsel fajar yang di titipkan padaku. Tertulis nama om farid. Apa aku biarkan saja atau mengangangkatnya siapa tahu penting. Namun apa pantas menerima telepon dari ponsel orang lain tanpa seijinnya. Bimbang melanda. Kulihat ponsel tak menyala lagi. Artinya sudah di putus dari si penelpon.Tring. Satu pesan masuk lewat aplikasi berwarna hijau. Tanpa harus membuka, aku hanya menyentuh layar dari atas ke bawah, sudah bisa membaca pesan singkat. [Mamahmu sadar...]Hanya itu yang mampu ku baca. Aku tersenyum bahagia. Harus segera memberitahu kabar baik ini kepada fajar. Dia pasti akan sangat senang. Alhamdulillah, do’a nya yang begitu khusyuk di kabulkan oleh Alloh swt. Merinding seluruh tubuhku. Ternyata Alloh benar-benar mengabulkan do’a seorang hamba yang benar-benar memohon kepadaNYA. Dengan segala kesempurnaan, sangat mudah bagi Tuhan sang pencipta alam untuk mengabulkan do’a para hamba yang hanya berharap kepadaNYA saja.Ups. Hampir saja aku terlupa untuk memberitahu fajar. Segera berlari menuju tempat di mana fajar masih berdo’a. Aku membisikkan kabar di telinganya.‘Tante farida sudah sadar.”“Benarkah?!” fajar memekik dan menatapku tak percaya. Untung saja jama’ah tidak begitu ramai, hingga tak banyak menggangu orang  yang sedang beribadah. Kuanggukkan kepala. Ups. Fajar memelukku. Aku tak menyangka dia akan melakukannya. Segera kudorong tubuhnya dengan perlahan.“Ayo, kita temui mamahmu. Hapus airmatamu. Jangan memperlihatkan kesedihanmu di hadapan tante farida.”“Iya.”Fajar menggandeng tanganku dan berlari kecil menuju ruang ICU. Aku kesulitan mengimbangi langkahnya yang begitu cepat. Badan dia enak kecil. Sedangkan aku, hampir dua kalilipat bobot saat masih gadis. Tak bisa mengikutinya. Bisa-bisa jantungku copot.“Fajar. Lepasin tanganku.” Aku menghentikan langkah. Nafasku naik turun tak beraturan. Dada terasa sesak.“Aah cemen lo. Makanya kurusin badan biar gak kaya kebo.”Hach? Dia sudah mulai lo gue lagi nih. Duh alamat sarapnya mulai kumat nih. Pasti ada aja ucapannya yang bikin kesal. Walau dia menghinaku tetap saja dia menungguku yang sedang kesusahan mengatur nafas.“Halah, biar gue kaya kebo, lo juga demen’kan?” jawab gue dengan mencebik kesal. Lalu berjalan dengan cepat meninggalkannya.“Bodo amat. Cepetan ayo, ah. Lambat banget jalannya kaya siput.” Fajar mensejajarkan langkahnya denganku.“Issh.” Aku kesal dan berpura-pura akan memukulnya. Namun tetap saja dia tak meninggalkanku. Dengan sabar megikuti langkahku yang kata dia seperti siput. Seperti biasa tangannya tetap menggandengku. Dalam hati aku tersenyum bahagia. Rasanya tenang dan damai berada di dekatnya.Saat berjalan aku mengamati setiap pintu dan membaca tulisannya. Mataku membulat saat melihat ruangan yang tertutup dengan tulisan kamar mayat. Iih tiba-tiba bulu kudukku merinding. Mana udah mau magrib. Aku mengedarkan pandangan. Perasaanku mengatakan seolah-olah ada yang berjalan mengikutiku. “Fajar, lo lihat dong kamar sebelah kanan yang tadi kita lewati.”“Mana?” tanya fajar cuek.“Itu. Berhenti sebentar makanya.” Aku menunjuk ke ruangan yang sangat menakutkan menurutku.Fajar menatap kearah ruangan yang kutunjukkan. “Oh itu.” Jawabnya singkat.“Kok Cuma gitu.” Jawabku kesal.“Lalu gue harus jawab wow gitu.”“Jangan becanda deh. Ntar kemasukan tau.”“Lo kali yang demen di masukin.” “Iih dasar bujang lapuk. Dibilangin jangan becanda.” Aku mencubit lengannya dengan kesal.“Ya gue harus ngapain, jelek.” Fajar mencubit daguku. Membuat wajahku terasa hangat. Aku menundukkan kepala dan tersipu malu.“idiih malu-malu embek.” Fajar mendekatkan wajahnya ke arahku.“Jangan becanda mulu. Lo baca dong tulisannya apa.” Sahutku dengan berpura-pura kesal untuk menutupi perasaan yang sesungguhnya.“Oke. Kamar sarana untuk menghadap Tuhan YME.”“Iih yang bener bacanya.” Kucubit lengannya dengan gemas.“Emang bener. Lo mau duluan? Ntar gue daftarin.”“Iih ngeselin banget deh.” Aku mencubit lengan fajar berkali-kali dengan kesal. Dasar kalau sudah mulai kumat bikin kesel aja kelakuannya. “Mir. Awas ada yang ngikut di belakang lo.”Ucapan fajar benar-benar membuatku ketakutan. Tanpa sengaja aku langsung memeluk pria iseng di hadapanku itu.“Mir. Lo jangan cari kesempatan dong. Gue kan masih SMP.” Bisisk fajar nakal di telingaku.Segera kulepas pelukanku. Entahlah kenapa aku terasa malu. Biasanya aku tak pernah seperti ini. Tanpa menjawab sepatahkatapun aku meninggalkannya. Mempercepat langkahku supaya tak terkejar olehnya. 58. TAK BISA MEMAAFKANFajar masuk ke dalam ruang perawatan untuk menemui sang bunda tercinta. Karena pengunjung yang di batasi hanya boleh untuk satu orang, aku menunggu di luar bersama saudara fajar. Aku berdiri di depan pintu. Wajah tante farida sangat pucat. Beberapa selang infus dan berbagai alat bantu kesehatan menempel pada tubuhnya. Monitor untuk memantau perkembangan jantungnya juga terlihat di sana. Ngeri rasanya membayangkan kalau berbagai alat itu terpasang pada tubuhku. Iih, aku mengedikkan bahu.Kenapa tante farida memalingkan wajahnya dari putranya. Padahal fajar dengan begitu bahagia menyambut kesembuhan mamahnya. Bahkan saat fajar menyentuh jemari wanita lembut itu, selalu di tarik kembali. Pasti ada yang tak beres ini. Melihat ke sekeliling. Suster penjaga terlihat sepi. Kuptuskan untuk menyelinap ke dalam dan bersembunyi.Aku mengendap-endap dan bersembunyi di balik gordyn pembatas.. Memasang telinga dan berusaha untuk menguping pembicaraan.“Mah, fajar minta maaf. Tolong maafin fajar.” Kulihat fajar mencoba berkali-kali memegang tangan mamahnya, tapi di tepis dengan kasar. Tante masih memalingkan wajah. Hanya isak tangis lirih yang terdengar.“Mah, maafin fajar. Kalau mamah mau fajar menikah dengan mila, fajar rela. Demi mendapatkan maaf dari mamah. Aku mau melakukan apapun yang penting mamah bahagia.”Aku juga merasakan kesedihan fajar. Saat permintaan maaf di tolak oleh orang yang kita cintai, rasanya begitu mengecewakan. Namun tante farida juga tidak salah. Yang di inginkan hanya satu, yaitu kebahagiaan putranya. Apalagi di usia fajar yang sudah matang belum mendapatkan jodoh. Cucu yang di idamkan belum juga tercetak oleh sang putra semata wayang. Wajar saja beliau bersikap seperti itu. Apalagi dia baru saja merasakan malu yang luarbiasa karena ulah sang putra. Aku juga tidak menyalahkan fajar yang ingin membongkar kedok wanita yang tidak tulus mencintainya. Bahkan berselingkuh di belakang fajar. Sangat tidak pantas yang telah di lakukan oleh seorang wanita yang akan di pinang.Saat aku sedang berkonsentrasi melihat ke arah mereka, dokter dan perawat datang. Mereka menatap sekilasheran ke arahku. Kutndukkan kepala. Namun mereka tak menyapa atau memperingatkanku. Mumpung mereka sedang sibuk, lebih baik aku keluar dengan cepat sebelum ketahuan oleh fajar.Membuka pintu dan menutupnya kembali dengan sangat hati-hati. Ku elus dada. Ah lega rasanya tak ketahuan. Aku menoleh ke arah omnya fajar dan tersenyum sembari menganggukkan kepala.“Fajar mana?”‘Masih di dalam, om.”jawabku singkat.“Tolong pamitkan sama fajar, om mau pulang dulu. Mau istirahat. Nanti kesini lagi.”“Iya, Om. Nanti saya sampaikan.” Jawabku.Pria tegap itu mengayunkan langkah hingga menghilang dari pandangan.Kudengar pintu di tutup dengan kasar membuatku terjengkit. Fajar keluar dari ruangan dan menyugar rambutnya. Wajahnya terlihat sedih. Dia lalu mengmabil tempat duduk di sampingku. Takada sepatahkatapun yang terucap. Dia menyatukan jemarinya dengan kedua siku yang bertumpu pada kaki. Lantas menundukkan kepala. Ingin aku tanya penyebabnya. Namun tak berani. Lebih baik menunggu sampai dia berbicara sendiri.Sekian detik tak ada yang membka pembicaraan. Kami larut dengan pikiran masing-masing. Sekilas melirik ke arah pria di sampingku. Wajahnya memang sudah tak sesedih tadi. Namun tetap saja murung dan tak bergairah. Sangat berbeda dengan fajar yang biasa ku kenal. Ceria bahkan terkadang cenderung tak tahu malu jika bersamaku. Kini dia terasa asing bagiku.“Mir.”Aku tersentak saat fajar memanggil namaku. Merasa gugup karena dia menoleh ke arahku pada saat diriku sedang memperhatikannya. Memalingkan wajah untuk membuang rasa gugup.“Lo kenapa sih. Kayak lagi kesambet gitu.” tanya fajar. Membuatku makin gugup.“Enggak apa-apa.” Jawabku singkat.“Lo bisa bantuin gue gak?”“Untuk?”“Mintain maaf gue sama nyokap.”“Kenapa nyuruh gue? Lo aja sendiri.” Ucapku pura-pura tidak tahu.“Udah tadi.”“Terus?”“Mamah gak mau maafin gue.” Jawab fajar dengan tatapan menerawang.“Kok bisa. Apa ... kau sudah mencobanya?” tanyaku masih berpura-pura tidak tahu kejadian sebenarnya.“Gak usah banyak nanya deh. Lo mau gak bantuin gue?”‘Bukan gue enggak mau. Tapi ....”“Jadi lo gak mau?!” fajar meninggikan suaranya dan memotong pembicaraanku. “Lo jahat ya mir. Gue cuma minta tolong untuk bantu ngomong ke mamah. Itu doang. Gue gak minta lo untuk berdarah-darah karena babak belur di hajar orang seperti apa yang gue lakuin sama lo.” Fajar menunjuk wajahku dengan kasar. Dia sangat marah. Aku tak menyangka kalau dia akan semarah ini. Mungkin saja perasaannya sedang sensitif.Fajar bangkit dan meninggalkanku. Dia melangkah menuju kamar perawatan. Aku mengejar, lalu menahannya, tepat pada saat dia memegang handle pintu.‘Tunggu dong. Masa gitu aja marah. Kaya anak perawan lagi pms.” Kataku dengan sedikit becanda untuk mencairkan suasana.“Gue lagi serius. Menjauhlah kalau tak bisa membantu gue.” Fajar tak menghiraukanku. Dia benar-benar marah dan meninggalkanku seorang diri di luar. Menjelang magrib membuat bulu kudukku berdiri. Merinding kalau mengingat ruang ini tak jauh dengan ruang mayat. Iih, aku mengedikkan bahu. Segera masuk menyusul fajar,Kulihat fajar sedang duduk di kursi dekat ranjang pasien. Memegang tangan mamahnya dan mengecupnya. Usahanya benar-benar gigih. Walau mamahnya tetap saja memejamkan mata. Aku tahu tante farida tidak tidur. Dia hanya tidak mau berbicara dengan fajar. Samar terlihat sudut mata tante basah. Hatinya pasti masih sangat terluka.Aku akan mencoba untuk membantu fajar. Siapa tahu tahu tante farida akan mendengarkan ucapanku. Setahuku beliau adalah orang yang sangat baik. Kepada orang lain saja dia pemaaf, apalagi untuk anaknya sendiri. Mungkin saja hanya rasa kesal yang membuatnya enggan bertemu dengan fajar.“Fajar. Makan dulu. Lo’kan belum makan sedari tadi.” Aku mencoba membuka pembicaraan. Kalau fajar sedang kesal, aku harus pandai-pandai merayunya supaya tidak keterusan.“Makan mulu pikiran lo. Mau makan apa? Kursi, atau kabel?!” jawab fajar dengan ketus.“Jangan nyolot gitu dong. Santai aja kali.” Jawabku dengan mencebik.“Miranti. Itu kamu, nak?”Suara tante farida mengagetkanku. Kulayangkan pandangan ke arahnya. “Tante, sudah sadar.” Aku tersenyum ke arahnya. Wanita itu mengembangkan tangannya dengan lemah.“Mah. Tolong maafin aku.” fajar menggeserku, lalu memeluk mamahnya. Namun fajar terlihat sangat kecewa dengan sikap mamahnya, karena sang ibunda tercinta mendorong tubuhnya dengan lemah.“Mir, peluk tante, nak.” Tante farida mengembangkan tangannya mengarah kepadaku. Kali ini gantian aku yang menggeser tubuh fajar dengan menjulurkan lidah mengejeknya.“Dasar kebo.” Kupingku medengar ucapan fajar. Biarin aja sepuasnya dia ngomong.Kupeluk tante farida. Wanita paruh baya itu menangis sembari mendekapku erat. Aku membiarkannya melepas kesedihan pada pundakku. Tanganku memberi isyarat kepada fajar agar menjauh. Mungkin saja tante farida ingin bercerita tanpa ada putra kesayangannya itu.Fajar mengambil kursi dan menjauh. Walau tak tahu persis, aku yakin keberadaan fajar pasti tak jauh dariku. Kulonggarkan pelukan. Menghapus airmata tante dengan jemariku.“Tante masih sedih?” tanyaku dengan hati-hati. Menarik kursi dan duduk menghadap ranjang. Tante farida hanya menganggukkan kepala. Airmata masih terus membasahi pipinya.“Tante masih marah sama fajar?”kembali mengajukan pertanyaan dengan hati-hati.Tante farida menggelengkan kepala. Tanpa jawaban. Hanya isak tangis yang terdengar.“Lalu kenapa? Apa ada yang ingin tante cerita denganku?”“Tante ... tidak marah. Tante hanya menyesal.”“Karena?”“Kenapa fajar tidak cerita tentang mila sebelumnya. Kalau saja dia cerita, tante tidak mungkin memaksanya menikah dengan mila. Tante sayang banget sama fajar. Tante ingin dia bahagia.”“Mah, fajar juga sayang banget sama mamah.”Tiba-tiba fajar datang dan langsung memeluk mamahnya. Bahkan dia dengan sengaja menggeser kursiku.“Kamu bohong. Kalau kamu sayang sama mamah, kau pasti takkan mempermalukan mamah seperti ini. Apa kau ingin mamah mati karena serangan jantung? Itu’kan yang kau mau?!” suara tante farida meninggi. Beliau memukuli punggung putranya.“Enggak mah. Sumpah. Fajar tidak ingin mamah meninggal. Fajar ingin mamah bahagia.”“Mau di taro di mana muka mamah fajar? Mamah malu.”Fajar melonggarkan pelukan. Dia memegang lengan sang bunda. “Mah. Tolong katakan padaku. Apa yang bisa aku lakukan supaya mamah bisa memaafkan aku. Bisa mengembalikan keadaan seperti semula. Dan mamah tidak malu lagi.”“Hanya ada satu jalan.”“Apa itu? Apa mamah masih menginginkan aku menikahi mila?”“Bukan.”“Lalu?”“Kau tetap harus menikah secepatnya.”“Dengan siapa?”“Mir. Tolong carikan jodoh untuk fajar.”“Hach. Aku?!” aku menunjuk ke arahku. Permintaan apa ini. Sangat mengejutkan dan tak mungkin kulakukan. Masa aku harus mencari jodoh untuk pria yang kusayangi. Yang benar saja tante. Memijit kening untuk menghilangkan sakit kepala yang tiba-tiba menyerang.“Iya. Tante percaya padamu. Pilihanmu pasti yang terbaik dan takkan mengecewakanku.”“Jangan sembarangan nyuruh dia, mah.” “Emang kenapa?” tanyaku ketus.“Lo suka asal. Ntar cowok ganteng gini, lo kasih mak lampir.”“Terus, lo maunya yang kayak gimana?” jawabku dengan menyolot. Orang ini benar-benar bikin gue naik darah. Ngajak berantem terus.“Sudah. Jangan berantem. Pokonya tante tidak mau tahu. Kau harus carikan jodoh untuk fajar, mir. Titik. Atau kalian berdua mau aku kena serangan jantung lagi.”Tante farida memejamkan mata. Aku tahu dia hanya berpura-pura tidur. Aduh, bagaimana ini. Apa yang harus kulakukan. Bagaimana kalau ancaman tante farida terjadi. Aku pasti akan merasa sangat bersalah. Oh Tuhan, tolong bantu aku.59. PENOLAKANSaat aku merasa bimbang, tiba-tiba saja fajar menggenggam jemariku begitu erat. Aku membulatkan mata ke arahnya dan mencoba melepas jemariku. Namun genggaman tangan fajar makin erat. Tatapan fajar yang begitu tajam ke arahku membuatku makin gugup. Aku berusaha untuk menarik tanganku. Dengan menunjuk ke arah tante farida sebagai isyarat supaya dia melepaSku. Walau aku telah memberikan kode, pria songong itu tetap saja tak melepas jemariku. Sorot matanya begitu tajam menghunjam dada. Terlihat sangat serius. Tak ada wajah santai seperti tadi. Aku tak tahu apa yang ada dalam pikirannya.“Miranti, fajar. Kalian sedang apa?!”Sangat erkejut mendengar suara tante farida dengan nada tinggi. Seandainya ada cermin mungkin saja wajahku memucat. Ketakutan jelas tergambar di sana. Tak berani menoleh ke arah tante farida. Aku menundukkan kepala. Masih berusaha untuk melepas tanganku. Namun tetap saja usahaku tidak membuahkan hasil. Menundukkan kepala, tak berani menatap wajah wanita berhati mulia itu. Sebaik apapun beliau pasti akan marah kalau melihat sesuatu yang menurutnya tak pantas. Sejauh ini mamahnya fajar hanya tahu hubungan kami sebatas sahabat. Dan aku juga wanita yang telah bersuami. Tante tak tahu apa yang terjadi dengan rumah tanggaku. Bisa saja beliau berpikir yang macam-macam.Kalau saja beliau tahu, fajar mulai mengincarku lagi. Pasti wanita di hadapanku ini akan marah. Biarlah aku rela jika  dia akan memuntahkan emosinya kepadaku. “Fajar! Jangan melampaui batas. Miranti itu sudah bersuami. Kalau nanti suaminya tahu bagaimana? Lepaskan tangannya!” suara wanita itu memang lemah. Namun terasa seperti halilintar yang siap menyambarku. Tubuhku terasa kaku. Aku juga merasakan jemari fajar yang semula hangat berubah menjadi dingin. Apa dia juga merasakan hal yang sama sepertiku. Kalau dia juga ketakutan, mengapa masih nekat menggenggam jemariku. Aku tahu fajar juga mengerti kalau mamahnya belum tertidur. Namun dia tetap saja nekat.“Mah. Fajar mau ngomong sesuatu sama mamah. Tapi mamah jangan kaget ya.”“Ngomong apa?! Cepat katakan!”“Mamah ingin miranti mencarikan jodoh untukku’kan?”“Iya.”“Dan pilihannya juga selalu tepat’kan?”“Iya.”“Apalagi, kalau ... miranti sendiri yang jadi calonnya.” Ucap fajar dengan hati-hati.Aku benar=benar terkejut mendengar apa yang baru saja terucap dari bibirnya. Tubuhku tiba-tiba terasa kaku. Sangat sulit digerakkan. Tak berani menatap wajah tante walau hanya untuk melihat ekspresinya.“Maksud kamu?”“Maksudku ... aku mau melamar miranti, menjadi istriku.”“Fajar, aaaghhhh ....”Terdengar tante mengerang kesakitan. Aku menatap ke arahnya. Wanita itu memegangi dadanya yang kesakitan.“Mamah, kenapa?” fajar terlihat sangat panik. Begitu juga dengan diriku. “Mir, tolong panggil dokter.”“Iya.”Aku segera memencet tombol yang ada di dinding. Karena tidak sabar segera keluar dan mencari pertolongan. Aku ke ruang perawat untuk menghubungi mereka. Dengan sigap perawat segera pergi menuju ruang perawatan. Salah satu lagi menghubungi dokter jaga. Aku mengekor suster yang berjalan sangat cepat. Sulit terkejar. Bobotku yang mencapai tujuhpuluh kilo lebih tak bisa menandingi kecepatannya. Pantas saja fajar sering menyebutku kebo. Bobotku memang sangat berat.Aku berdiri di depan pintu sembari mengatur nafas yang tak beraturan. Kulihat suster sedang menangani tante. Mengukur tensi darah dan mengotak-atik beberapa selang infus yang terpasang.Tak berapa lama dokter datang dan memberikan penanganan yang terbaik. Dokter seperti mengatakan sesuatu kepada suster. Suster itu keluar. Tidak berapa lama kembali dan membawakan obat untuk tante.  Entah obat apa. Yang aku tahu obat itu di masukkan di bawah lidah. Lalu mulut tante kembali terkatup. Nafas tante sudah terlihat lebih teratur. Mungkin saja oksigen sudah berfungsi dengan baik. Ah sok tahu sekali sih.Kulihat dokter berbicara dengan fajar. Pria songong itu menganggukkan kepala berkali-kali. Entah apa yang dikatakan oleh dokter hingga fajar seperti menyetujui semua ucapannya.Kondisi ibu sudah mulai stabil. Walau beliau masih memejamkan mata.Fajar berjalan menuju pintu keluar bersama dokter. Aku sedikit menjauh dan duduk di bangku ruang tunggu. Menundukkan kepala saat dokter dan suster melewatiku.“Mir. Ayo masuk.”“Iya. Dokter tadi naruh apa di bawah lidah tante?” tanyaku penasaran.“Oh itu obat untuk menurunkan tensi dan mencegah serangan jantung. Tensi darah mamah tadi tinggi sekali. Lebih dari dua ratus. Kata dokter harus benar-benar di jaga. Jangan sampai kaget dan emosi.”“Apa karena ucapan lo tadi?”‘Entahlah.” Fajar menaikkan bahunya.“Ayo masuk.”Fajar menggandeng tanganku kembali hingga menhadap sang bunda. Sebenarnya aku sudah menolaknya. Bukan fajar namanya kalau tidak memaksakan kehendak. Dia tipe lelaki yang tidak bisa menunda untuk melakukan sesuatu ataupun pekerjaan. Baginya semua selesai dengan cepat lebih baik. Memang benar. Namun ini urusannya dengan nyawa orang yang sangat dia cintai. Seharusnya fajar bisa lebih berhati-hati. Sulit sekali merubah sifat keras kepalanya itu.“Mah. Fajar minta maaf. Tapi tolong ....”“Fajar. Jangan bicarakan apa-apa dulu. Biarkan tante farida istirahat.” Kupotong pembicaraan fajar. Tak ingin terjadi hal yang lebih buruk lagi dengan wanita yang sangat aku sayangi.‘Enggak, Mir. Aku ingin mamah tahu secepatnya. Itu akan lebih baik.’‘Tapi fajar ....”“Mamah ingin bicara denganmu fajar. Hanya denganmu.”Ucapan tante farida penuh penekanan. Sangat menohok. Aku juga bukan anak kecil yang tak harus di usir untuk kedua kalinya. Berusaha membalikkan badan. Namun fajar menahan. Dia  menginginkan diriku untuk bertahan di sini.Kali ini aku harus keluar. Menepis tangan fajar dengan kasar. Lalu mengambil langkah seribu sembari meneteskan airmata. Aku berhenti di depan pintu. Lalu meluruhkan tubuh ke lantai. Hatiku terasa sakit sekali. Baru beberapa menit yang lalu, tente farida masih bersikap baik padaku. Namun seketika dia seperti memusuhiku saat putranya mengemukakan keinginannya untuk mempersuntingku. Aku menyadari siapa diriku. Memang tak pantas untuk bersanding dengan putra semata wayangnya. Namun apa salahnya kalau aku menyayangi putranya. Aku juga manusia yang punya rasa cinta terhadap makhluknya. C intaku ini juga bukan dosa. Cintaku tumbuh saat rumahtanggaku hancur. Hubunganku telah kandas dengan suamiku. Dan penyebabnya dia sendiri.Aku melihat ke dalam. Penasaran dengan apa yang akan di bicarakan fajar dan mamahnya. Menghapus airmata dan memutuskan untuk menyelinap dan bersembunyi. Mudah-mudahan keputusanku tidak salah untuk menguping pembicaraan mereka. Aku harus memantapkan hati dan bersiap dengan segala kemungkinan terburuk sekalipun. Semoga saja, fajar mampu meyakinkan mamahnya.Aku berdiri dan membuka pintu denan sangat hati-hati. Kemudian bersembunyi di balik gordyn seperti yang kulakukan tadi. Kembali memasang kuping untuk menajamkan pendengaran.“Mah, tolong dengerin penjelasan fajar dulu.”“Kau pasti mengarang cerita. Perceraiannya terjadi pasti karena perselingkuhan kalian! mamah sangat benci dengan yang namanya perselingkuhan!”“Mamah salah paham.”“Jangan menggangu istri orang, nak. Jangan bikin mamah malu!”“Fajar gak ganggu istri siapapun. Ceritanya panjang. Satu yang pasti, aku tak pernah menggangu kebahagiaan miranti. Perceraian itu terjadi karena kesalahan suaminya. Arya sekarang di penjara.”“Oke. Taruhlah kau tidak salah. Apa kau lupa, miranti itu sudah punya anak empat. Apa kau sanggup memenuhi kebutuhan mereka?”“Apa mamah meragukan kemampuanku?”“Apa kau ikhlas? Kalo mamah tidak. Kau punya segalanya. Bahkan kau bisa mendapatkan artis papan atas jika kau mau. Jangan sampai menyesal seumur hidup karena kau salah memilih istri.”“Yang kucintai itu cuma miranti. Bukankah mamah menyukainya? Dia wanita baik. Itu’kan kata mamah.”.“Dia memang baik tapi bukan untuk menjadi menantuku. Kau ingat kalau miranti pernah meninggalkanmu saat kalian akan menikah dulu? Hal itu bisa saja terulang.”“Berbeda mah. Kalau dulu ....”“Sama saja! Pokoknya mamah tidak setuju titik.” “Mah, fajar juga ingin bahagia.”“Mamah juga ingin kau bahagia.. Tapi buan dengan miranti.”“Hanya miranti yang aku cintai, mah. Tolong, mengertilah.”“Jangan membantah mamah. Keluar. Mamah mau istirahat!”“Maah ....”“Keluar! Aaarghh.”Kudengar tante farida mengerang kesakitan. Tubuhku lemas seketika. Aku sudah menangkap seluruh pembicaraan mereka. Apa yang dikatakan tante benar. Aku memang tak pantas menjadi istri fajar. Dia punya segalanya. Sedang siapa diriku ini. Hanya seorang janda yang punya empat anak.Sakit sekali. Hatiku seperti di koyak taring harimau buas. Tanpa bisa kucegah, airmata luruh. Menggigit bibir menahan suara tangis supaya tak terdengar. Namun semakin kutahan dadaku terasa makin nyeri. Kuremas dadaku yang meninggalkan lara di dalam sana.“Mir? Lo masih di sini?!”Suara fajar mengagetkan diriku. Tanpa menyadari pria itu sudah berdiri di hadapan. Mungkin saja suara tangis yang menuntunnya mengetahui persembunyianku.Tanpa menjawab pertanyaann, segera keluar dan membawa lara hati yang kian perih. Tak peduli dengan suara fajar yang terus memanggil namaku. Tetap saja berlari menjauh. Tak peduli dengan dinginnya hembusan angin malam. Tak peduli dengan ketakutan saat melewati kamar mayat. Lara hati menutup seluruh ketakutanku. Biarlah kubawa pergi luka hati ini. 6O. KEPUTUSAN TERBERATMIRANTIKuhentikan pelarianku di hamparan rumput. Tanah lapang ini akan menjadi saksi betapa hancurnya hatiku. Taman di area rumah sakit dalam keadaan sepi. Adzan magrib berkumandang, menandakan hari akan berubah menjadi gelap. Begitu juga dengan kehidupanku. Langkah terseok menuju masjid yang tak jauh dari tempatku berdiri. Aku ingin mengadu kepada sang pencipta. Namun kaki terasa berat untuk melangkah. Lunglai dan tak bertenaga. Mencoba kembali melangkah, tapi tidak berhasil. Tubuh terasa terpaku. Aku hanya bisa menangis. Kenapa garis hidup begitu kejam. Saat kebahagiaan menghadang di depan mata, tapi tak mampu kugapai. Tubuh berguncang. Membiarkan airmata menetes sesuka hati. Aku seorang diri. Tak ada yang akan melihatku sebagai wanita yang cengeng. Sedikit mengeraskan suara tangisan. Hati ini sangat lara.Suasana yang sepi dan mencekam, tak kupedulikan. Tak takut menghadapi apapun. Bahkan hantu bergentayangan sekalipun tak mampu membangkitkan rasa takut di hatiku. Semua rasa tertutup oleh luka yang menganga.Pada saat aku sedang larut dalam tangis, dikejutkan oleh tepukan halus pada bahuku. “Aw.” Spontan aku terpekik. Siapa yang menyentuh bahuku. Mungkinkah makhluk kasat mata yang merasa terganggu dengan tangisanku. Bulu kuduk seketika merinding.Kembali kurasakan tepukan di bahuku. Bukan, lebih tepatnya seperti tangan yang menempel di bahu. Aku benar-benar ketakutan. Tubuh bergetar. Berusaha lari, tapi tak bisa. Seolah tubuhku kehilangan tenaga, melebihi yang kurasakan tadi. Kali ini dibarengi dengan ketakutan yang berlebih.“Ampun, hantu ... jangan ganggu saya.” Menjatuhkan tubuh ke atas tanah dan menundukkan kepala.“Mir, ini gue. Bukan hantu.”Kudengar suara pria yang sangat ku kenal. Kini sentuhan halus terasa di kedua pundakku. Kuberanikan untuk menatap ke arah suara. Iya, dia memang fajar. Tunggu, mungkin saja aku yang sedang berhalusinasi. Bahkan bisa saja dia hantu yang terlihat seperti fajar di mataku. Aku mundur perlahan.‘Kau bukan fajar. Kau hantu. Tolong, jangan ganggu saya. Saya mohon.”“Mir. Ini gue beneran. Lihat dong kaki gue. Ini. Napak’kan di tanah.” dia menghentakkan kakinya di tanah. “Benar itu lo?”“Iya ini gue.”Aku menatap matanya dengan tajam. Siapa tahu berubah menjadi merah. Ternyata tidak. Mata itu tetap berwarna coklat. Kini aku yakin kalau dia memang fajar. “Ngapain lo kesini?”“Ya ngikutin kamu, lah.”“Untuk apa?”“Mau lo apa?! Ngamar?” canda fajar. Namun kali ini candaannya membuatku kesal.“Apa maksudmu? Kau pikir aku wanita murahan? Walau aku seorang janda, tapi tak serendah itu!” aku benar-benar kesal dibuatnya.“Sorry. Becanda, kok. Gak ciyuss. Ayo, kita sholat dulu.” Fajar mengulurkan tangan kepadaku. Aku tak merespon. Mencoba mengatur nafas. Tak ingin terlarut lagi dalam buaian palsu. Saat aku sudah merasa di atas angin, kini harus terhempas begitu saja ke atas tanah. Sakit dan teramat sakit. Mencoba untuk tenang dan terlihat tegar.“Fajar. Mulai saat ini, tolong jangan ganggu gue lagi.” Ucapku dengan sangat berat. Rasanya tak rela ucapan itu kelaur begitu saja dari bibirku. Namun harus kulakukan supaya takkan kecewa lebih dalam lagi.“Kenapa, Mir?”“Kau pasti sudah tahu alasannya.”‘”Kau mendengar pembicaraan aku dan mamah?”“Iya.”Fajar menyugar rambutnya lalu mengepalkan tangan dan di tempelkan di depan bibirnya. Dia terlihat gelisah. Beberapa saat menundukkan kepala lalu membuang pandangan jauh. Kuperhatikan semua gerak-geriknya. Dia terlihat gelisah.Fajar duduk di bangku taman. Kedua kakinya terus di gerakkan. Aku tahu dia sedang dalam keadaan gelisah. Satu sisi dia peduli dengan mamahnya. Satu sisi aku tahu dia sangat mencintaiku. Pilihan yang sangat berat. Aku mengambil posisi duduk di hadapannya. Kugenggam tangannya yang berada di meja. Tangan itu terasa sangat dingin. Mencoba memberikan sedikit kehangatan dengan menggosokkan tangan lalu menggenggam jemarinya.“Fajar, gue ....”“Sst. Jangan katakan apapun. Tolong, beri aku waktu untuk bisa meyakinkan mamah.” Tatapan matanya sangat serius.‘Tidak. Kau satu-satunya harapan dari mamahmu. Kau sumber kebahagiaannya. Turutilah apa kata tante farida. Menikahlah dengan yang lebih pantas untukmu.”“Hanya kamu yang pantas untukku.”‘Tidak, bukan aku.”“Kamu!”“Bukan!”“Mir, aku mencintaimu. Menikahlah denganku. Hanya denganmu aku bisa bahagia.”“Kebahagiaanmu bukan bersamaku. Kita tidak bisa memaksakan perbedaan kita yang terlalu jauh. Kau begitu sempurna di mataku. Aku tak layak untuk bersanding denganmu.”“Kata siapa? kau yang paling layak untuk mendampingiku.”“Kau tahu’kan aku sudah punya empat orang anak. Aku takut tak bisa membahagiakanmu, tak bisa memenuhi kebutuhan biologismu. Aku tak ingin kau kecewa.”“Aku tak peduli. Yang kuinginkan hanya dirimu. Tak peduli dengan kebutuhan biologisku.”‘Kau belum pernah berumah tangga, hingga dengan mudah mengatakan hal itu. Kenapa Arya mencari wanita lain, itu karena aku tak bisa memenuhi kebutuhannya dengan baik. Makanya dia mencari wanita yang lebih sempurna daripada aku. Aku tak mau itu terjadi lagi.”“Itu sih alasan arya saja. Dia memang bukan pria setia.”“Apa kau bisa menjamin kesetiaanmu saat kita sudah berumahtangga nanti?”“Iya. Aku janji.”“Dulu arya juga begitu. Tapi kini semua ucapannya itu palsu.”“Aku tidak begitu. Yakinlah kepadaku. Aku akan membahagiakan dirimu, mir.”“Kau lupa aku sudah punya anak? Kebahagiaan bukan hanya milikku. Tapi juga anak-anakku.”“Kau tahu’kan aku dekat dengan mereka?”“Iya. Tapi hanya sebagai om nya saja. Bukan papahnya.”“Mir. Tak ada orang yang bisa menggantikan kedudukan seorang papah ataupun mamahnya. Orang lain yang akan mengisi hidup orangtuanya akan tetap menjadi orang lain. Tapi harus di ingat tak selamanya tanpa ikatan darah itu tak bisa menyatu.”“Sudahlah fajar. Jangan memberiku harapan lebih. Ada yang lebih penting yang harus kau lakukan. Sekarang, kau pikirkan saja kesehatan mamahmu. Penuhi keinginannya. Buat beliau bahagia.”‘Terus, bagaimana dengan kebahagiaanku. Siapa yang akan memikirkannya? Apa aku tak berhak menentukan kebahagiaanku sendiri?”Fajar makin erat menggengam jemariku. Kulihat netranya mulai mengembun. Tak kuasa  melihat kesedihannya. Aku tak mampu menjawab pertanyan. Dadaku mulai sesak. Kucoba menghela nafas. Sekuat tenaga aku menahan airmata yang mulai menggenang di kelopak mata. Walau dalam keadaan gelap, aku yakin fajar juga melihat cairan bening di mataku.  Perlahan mencoba melepas genggaman tangannya.“Inilah garis takdir yang harus kita lalui. Kita harus ikhlas menjalaninya.”“Bagaimana aku harus ikhlas. Dulu, arya. Kemarin mila. Sekarang mamah. Masalah satu selesai datang lagi satu masalah. Selalu begitu. Kapan aku bisa bahagia?”“Jangan pernah menyalahkan takdir.”“Aku tidak menyalahkan. Kenapa begitu berat. Cinta kita sangat berliku. Bahkan di usia kita yang tak lagi muda masih saja sulit untuk bersatu. Aku tidak mengerti dengan semua ini. Tolong, beriahu aku, apa yang harus kulakukan untuk mendapatkanmu?!” “Maaf. Aku harus pergi. Tolong jangan temui aku lagi.”Kuayunkan langkah dengan cepat meninggalkan cintaku. Walau terasa berat, tetap saja mengerahkan seluruh tenaga. Hatiku yang hancur lebur bagai timah yang terbakar. Panas dan pedih. Langkahku belum begitu jauh saat fajar mengalungkan kedua tangannya di leherku. Dagunya yang panjang di sandarkan pada bahuku.“Jangan pergi, mir. Aku mohon. Menikahlah denganku. Berikan aku kebahagiaan.”“Maaf tidak bisa. Ini memang keputusan terberat. Tapi yang terbaik untuk kita berua. Aku harap kau mengerti. Semoga kau bahagia.” Dengan bibir bergetar aku mengucapkan kalimat yang teramat sulit bagiku. Keputusan ini tak mudah. Namun aku tak boleh egois. Masa depan fajar tak boleh hancur. Harapan tante farida berada di pundaknya. Aku melepaskan diri dan berlari sekuat tenagaku. Mudah-mudahan saja fajar tak mengejar. Aku harus bisa lepas dari bayang-bayangnya,“Miranti! Menikahlah denganku atau aku takkan menikah seumur hidupku! Miranti!!”Suara fajar bergetar. Dia pasti sangat terluka dengan keputusanku. Menghentikan langkah. Ada rasa iba dalam hatiku. Tak ingin dia membujang seumur hidupnya. Dia juga berhak untuk bahagia. Namun apa yang bisa kulakukan untuk menolongnya. Membalikkan badan untuk melihat ke arah fajar. Dia menelungkupkan badannya di atas rumput. Tak tega melihatnya. Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengannya. Siapa yang akan menjaga.Aku harus tega. Hanya waktu yang bisa menyembuhkan luka. Keyakinan mengatakan, kalau fajar pasti mudah untuk melupakanku. Dia punya segalanya. Kebahagiaan pasti dengan mudah di raihnya.Perlahan kuayunkan langkah meninggalkan cintaku. Harapan kutinggalkan di sini. Impian yang indah musnah seperti debu yang tertiup angin. Hanya bisa menangis dan menangis. 61. KONDISI FAJARFAJARSudah hampir satu bulan aku mengurung diri dalam kamar. Tak ada aktifitas apapun yang kulakukan. Tak peduli dengan segudang pekerjaan yang harus kuselesaikan. Kini semua tak ada artinya untukku. Karier yang cemerlang, bisnis yang berkembang pesat serta pundi-pundi yang tak terhitung jumlahnya. Aku tak peduli lagi. Untuk apa semuanya kalau tak bisa membuat hidupku bahagia. Dari dulu aku selalu berkorban untuk kebahagiaan orang lain. Termasuk kebahagiaan miranti bersama arya dan juga mamah. Hidupku selalu dipenuhi dengan pikiran untuk kebahagiaan orang lain. Tapi tak pernah terpikir untuk kebahagiaanku sendiri.Hingga usiaku yang sudah berkepala empat masih saja kebahagiaan tak sudi menghampiriku.Harta tak berguna lagi. Untuk apa aku giat mencari harta kalau tak ada pendamping yang bisa membuatku bahagia. Keinginan mamah sudah kupenuhi. Yaitu tidak menikah dengan wanita yang sangat kucintai. Biarlah mamah bahagia dengan keputusanku. Semoga beliau tak menuntutku untuk menikah lagi dengan wanita pilihannya. Bukankah aku sudah mengatakan padanya kalau aku takkan menikahi miranti atau siapapun. Yang artinya aku akan membujang seumur hidupku.Terserah orang akan menilaiku apa. Seorang pengacara yang cemen, bodoh atau terlalu bucin. Suka-suka merekalah. Bagiku inilah duniaku saat ini. Tanpa akses internet ataupun bertemu dengan orang luar. Seluruh pekerjaan sudah di tangani oleh om taufik. Aku tak mau disibukkan lagi dengan dunia luar. Pintu dan jendela selalu kututup rapat. Tak ingin  melihat matahari terbit ataupun gelapnya malam. Hidupku sudah gelap, tak perlu disinari oleh cahaya mentari. Hatiku juga telah membeku seperti es.Tiga ponsel pintarku yang berharga puluhan juta sama sekali tak pernah kusentuh. Televisi dan alat elektronik lainnya semua ku keluarkan. Aku tak ingin ada akses apapun yang bisa menghubungkanku dengan dunia luar.Pintu terbuka. Tanpa melihat aku sudah tahu siapa yang datang. Pasti mamah. Dia pasti akan membujukku untuk mau makan dan sebagainya. Segala kompensasi yang beliau tawarkan semua ku tolak. Wanita yang kusayangi itu sering menangis melihat keadaanku sekarang ini. Apa aku frustasi, stress atau gila. Tidak. Aku masih waras. Hanya saja aku tak punya lagi harapan. Semangat hidupku sudah mati. Aku seperti jiwa yang tak bernyawa. Kebahagiaanku hanya satu, melihat mamah kembali sehat dan bahagia. Itu saja sudah cukup bagiku.“Fajar, makan dulu ya. Sedikit saja.” Kuacuhkan mamah yang menyodorkan makanan untukku. Seperti biasa, tak ada jawaban apapun untuknya. Sebulan penuh aku tak bersuara. Entah bagaimana dengan pita suaraku. Mungkin saja sudah tak bisa keluar suara secara permanen. Aku tak peduli. Biarlah semua terjadi. Tak masalah. Bahkan kalau Tuhan mengambil nyawaku saat ini, rasanya diriku sudah siap. Mungkin inilah yang terbaik untukku.“Nak, ayo makanlah. Bicaralah pada mamah, jangan diam terus seperti ini.”Mamah mulai terisak. Sudah terbiasa. Mamah pasti akan menggunakan senjatanya untuk membujukku. Dulu airmata mamah adalah senjata ampuh untuk meluluhkan hatiku. Tidak untuk saat ini. Bagiku airmata itu hanya airmata buaya. Pemilik airmata yang hanya memikirkan kebahagiaan dirinya saja, tidak dengan anaknya.Kurebahkan tubuh di atas ranjang. Lalu memunggungi mamah. Hampir sebulan aku tidak pernah mandi apalagi beribadah. Aku bahkan tak pernah berpikir lagi tentang dosa. Kamar yang kutempati juga tak pernah dibersihkan. Aku selalu melarang asisten rumah tangga untuk membersihkan kamar. Biar semua menjadi kotor dan berdebu. Seperti hidupku yang sudah tak berguna lagi. Tak ada akses cahaya apapun dalam kamar ini. Entah lampu ataupun matahri. Aku tak ingin tahu tentang siang dan malam. Bagiku sama saja. Tetap gelap.Mamah semakin terisak. Dia terus meminta maaf padaku dan bertanya kepadaku apa yang di inginkannya. Semua sudah terlambat. Kalau saja dulu dia menjadi orang searif ini, mungkin beliau takkan pernah kehilangan fajar yang dulu. Mungkin dia tak tahu kalau aku tak memerlukan apa-apa lagi. Aku hanya ingin menjemput kematianku seorang diri. Tuhan pasti sudah mempersiapkan bidadari untukku di syurga. Apa aku sudah gila? Mungkin iya. Hari sebelumnya aku masih mau makan walau sedikit. Semakin kesini aku semakin tak bersemangat untuk hidup. Sekitar dua hari ini tak sesuap nasipun masuk kedalam perutku. Jangan tanya lapar atau tidak. Mungkin tubuhku sudah kebal oleh rasa sakit hingga tak merasa lapar.“Fajar. Mamah janji akan membuatmu bahagia, nak.” Mmah mengecup keningku. Tetesan air hangat terasa di keningku. Dulu aku tak pernah membiarkan airmata itu mengalir. Airmata mamah sangat berharga. Tak boleh ada satu orangpun yang menyakiti mamah hingga memicu keluarnya airmata itu. Kalau sampai hal itu terjadi, akan berhadapan denganku. Mamah keluar dan menutup kembali pintu kamar. Kulanjutkan kembali merajut mimpi panjangku. Semoga saja takkan ada hari esok untukku. Aku merindukan para bidadari yang akan membawaku ke nirwana. Indah sekali rasanya.Memejamkan mata dan melajutkan mimpiku. Hanya satu keinginanku, tak ingin melihat matahari terbit di esok hari. Menyusul papah mungkin hal yang terbaik untukku. Beliau satu-satunya orang yang mengerti diriku. Seorang pria yang paling baik di dunia. Seandainya papah masih ada, aku pasti takkan seperti ini. Dia pasti akan menuruti semua keinginanku. Papah, aku merindukanmu. Memeluk guling dan memejamkan mata. ***MIRANTIAku termenung sembari menatap hamparan rumput liar yang tumbuh di pekarangan rumah ayah. Sejak kejadian itu, aku belum berani pindah ke rumahku. Walau seluruh surat tanah berada dalam genggamanku, tapi trauma penganiayaan yang kualami belum bisa kulupakan sepenuhnya. Rasanya tak percaya suami yang selama ini menemaniku tega berbuat demikian. Sedih sekali kalau mengingatnya.Untung saja ada fajar kala itu sebagai pelipur lara. Hatiku yang terkoyak seperti mendapat angin segar. Namun sayangnya, kebahagiaan itu tak berlangsung lama.Om surya sudah mengabarkan, kalau gugatan perceraian sudah di kabulkan oleh hakim. Artinya aku sudah resmi menjadi seorang janda. Hubunganku dan arya sudah selesai. Hanya tinggal menunggu surat tertulis yang akan aku buktikan pada dunia kalau aku sudah resmi menjadi seorang janda. Apa aku bahagia? Iya. Sangat bahagia bisa lepas dari anusia jahat sepertinya. Ada juga sisi kesedihan. Saat dua putraku mempertanyakan keberadaan ayahnya. Awalnya sulit menjelaskan. Untung saja kedua kakaknya membantuku untuk memberi pengertian.Proses perjalanan hidupku sangat berliku. Untung saja orangtua dan fajar memberikan support yang luar biasa untukku dan juga anak-anak. Tanpa mereka, mungkin aku sudah tiada.Fajar. Menyebut nama itu membuat dadaku bergetar. Sedang apa dia di sana. Saat aku bertanya kepada om surya, beliau menjawab fajar tidak pernah hadir dalam persidangan selaku kuasa hukum. Menurut informasi dia sedang berada di luar negeri. Seluruh pekerjaannya di handle oleh om taufik, adik mamahnya.Kini sudah hampir sebulan aku tak bertemu dengan fajar. Entah bagaimana kabarnya. Mungkin saja dia sedang berbahagia dengan wanita pilihan mamahnya. Mencoba tersenyum walau terasa pahit.Pernah beberapa kali menghubunginya, ponselnya juga tidak aktif. Mungkin saja dia mengganti nomernya sementara saat berada di luar negeri. Tapi kenapa dia tak pernah menghubungiku walau sesaat. Jujur, aku merindukannya. Hari-hari yang kujalani terasa hambar. Tak ada gairah dalam hidup semenjak kami berpisah. Dunia terasa gelap. Makan tak enak, tidur tak nyenyak. Mungkin aku yang bodoh. Keputusanku sendiri yang ingin meninggalkannya. Namun kenapa hatiku tak mampu untuk segera melupakannya mungkin cintaku terlalu besar untuknya.Sering aku berselancar di dunia maya hanya untuk membuka sosial media miliknya. Tetap sama.Tak pernah ada postingan baru. Mungkin saja dia sengaja mengganti nomor ponselnya supaya aku tak bisa menghubunginya lagi. Begitu juga dengan tak adanya postingan terbaru pada media sosialnya. Mungkin dia tak ingin aku melihat kebahagiaannya. Dia ingin melupakan diriku untuk selamanya. Namun kenapa aku justru sebaliknya, tak bisa melupakannya walau sedetikpun.“Mir. Ada tamu.” Terdengar suara lembut ibu. Aku menoleh ke arahnya.“Siapa, bu?” tanyaku pada ibu.“Mamahnya fajar.”“Hach? Mamahnya fajar? Untuk apa dia ke sini, bu?” berbagai pertanyaan berkecamuk dalam pikiranku. Berusaha menbak-nebak ada urusan apa beliau kemari. Bukankah aku sudah tak menggangu putranya lagi seperti keinginannya. Lalu untuk apa lagi beliau datang kemari.Ibu tersenyum kepadaku. Beliau pasti sangat tahu apa yang kurasakan saat ini. Semuanya sudah kuceritakan pada ibu. Bahkan ibu yang selalu memberikan semngat kepadaku untuk menjauhkan diri dari fajar.“Ibu tidak tahu. Lebih baik kau temu saja.” Ibu membelai rambutku dengan lembut. Terasa sangat damai jika berada di sampingnya.“Gak mau, bu. Malas.” Aku merengek manja.“Tidak boleh begitu. Kita harus menghargai setiap tamu yang datang ke rumah kita. Asal, tujuannya baik.”“Kalau mamahnya fajar tujuannya gak baik gimana?”“Contohnya?”“Ya ... mungkin saja tante mau memarahin aku.”“Kenapa? Apa kamu baru saja melakukan kesalahan kepadanya?”“Enggak, sih.”“Ya sudah. Temui sekarang.”“Takut, bu. Ibu saja yang temui. Bilang aku lagi pergi.”“Hei. Sejak kapan ibu mengajarkanmu untuk berbohong?” jawaban ibu sangat menohok. Tenggorokanku terasa kering dan sulit untuk menelan saliva.“Tapi ....”“Gak ada tapi-tapian. Cepat, temui sekarang.”“Aahh ibu. Aku gak mau.”Aku merengek manja seperti anak kecil. Tetap saja ibu menggandeng lenganku menuju ruang tamu.Menghentikan langkah saat melihat wanita paruh baya yang berkerudung merah dan bertubuh gemuk sedang berdiri membelakangiku. Dia berjalan mondar-mandir. Terlihat sangat gelisah. Jantungku berdegup sangat kencang. Tangan terasa dingin. Mungkinkah wanita itu akan memberikan aku sebuah undangan pernikahan putra kesayangannya. Benarkan fajar akan menikah. Hatiku terus saja bergelut dengan berbagai pertanyaan, tentang tujuan wanita ini mendatangiku.Aku pasrah dengan kabar apapun yang akan kudengar dari tante farida. Semoga saja aku kuat mendengar kabar bahagia dari pria yang masih sangat aku cintai. Semoga. 62. PERMINTAAN MAAF FARIDAMIRANTI“Jeng farida. Ini, miranti. Silakan duduk.” Suara lembut ibu mengagetkan tante farida yang terlihat sangat gelisah. Aku memejamkan mata, lalu  menundukkan kepala. Tak berani berhadapan langsung hingga bersembunyi di balik punggung ibu.Alangkah terkejutnya saat tubuhku hampir saja terjatuh karena dekapan seseorang yang membuatku sesak nafas. Telingaku menangkap suara wanita yang menangis. Mencoba membuka mata. Rasanya tak percaya jika wanita yang memelukku adalah tante farida. Adakah sesuatu yang terjadi hingga membuatnya menangis.“Ada apa tante?” tanyaku dengan lembut. Ingin mengelus punggungnya, tapi kuurungkan niat. Tak berani untuk melakukannya.“Mir, maafin tante.”“U-untuk apa? Tante tidak punya salah sama aku.”Tante farida melonggarkan dekapannya. Lalu memegang kedua bahuku.“Fajar, mir. Fajar ....”“Kenapa tante? Apa ... dia akan menikah? Pasti membuat tante bahagia’kan?” tanyaku dengan bibir bergetar. Walau terasa getir, tetap mencoba untuk tegar di hadapan wanita berhijab ini.Bukan jawaban, melainkan tangisan wanita di hadapanku ini semakin kencang. Aku benar-benar bingung dibuatnya. “Duduk dulu, jeng.” Ibu menuntun tante farida untuk duduk di sofa. “Diminum dulu teh hangatnya, supaya lebih enakkan.”Dengan sabar ibu mengembilkan teh yang sudah tersedia di meja, lalu memberikan kepada tante farida. Beberapa teguk sudah berhasil masuk ke dalam tenggorokan tante. Kini nafasnya mulai teratur. Walau isak tangis masih tersisa. Keadaannya lebih baik dari sebelumnya.“Silakan cerita jeng, saya tinggal ke belakang dulu.” Ibu mengerlingkan mata kepadaku yang masih saja berdiri mematung. Aku menangkap kode dari ibu. Masih dengan rasa ketakutan mendekat ke arah tante farida, lalu duduk di sampingnya.“Mir, tante mohon, ikutlah bersama tante.”“Kemana?”“Kau lihat keadaan fajar.”“Bukankah ... fajar berada di luar negeri? Dan saya dengar juga akan menikah.”“Siapa yang mengatakan itu?”“Saya mendengar dari om surya.”“Itu tidak benar. Nanti tante jelaskan di jalan. Kita tidak punya banyak waktu. Ayo ikut tante sekarang. Percayalah, ini untuk kebaikan fajar.”‘Tapi tante ....”‘Tolonglah, demi fajar. Apa tante harus bersujud di kakimu supaya kau mau memenuhi keinginanku?”“Jangan tante.” Memegang bahu tante.farida. “Baiklah, saya pamit dulu sama ibu.”“Iya.”Bergegas mengambil tas dan berpamitan kepada ibu. Kupikir ibu akan melarang setelah tahu keputusan untuk melupakan fajar. Dugaanku salah. Wanita terbaik dalam kehidupanku selalu berfikir positif dan mendukung semua keputusanku. Bahkan beliau mendo’akan, semoga ini jalan yang di berikan oleh Alloh supaya aku bisa kembali bersama fajar. Aku hanya membalas do’a nya dengan senyuman getir.Tanpa menunggu lama, aku dan tante farida masuk ke dalam mobil.Sepanjang perjalanan tante farida tak berhenti menitikkan airmata. Tak ada penjelasan seperti janjinya. Aku tak berani menagih janji. Dari wajahnya yang mendung menyiratkan luka yang mendalam. Apa sebenarnya yang terjadi. Kenapa tante farida harus mempertemukan aku dengan fajar. Apa fajar mau menikah dengan wanita yang tak sesuai dengan impian tante farida. Lalu aku di minta untuk membantu menggagalkannya. Rasanya tidak mungkin.Kembali menatap ke arah wanita yang ada di sampingku. Masih saja tangisannya tak berhenti. Mengambil tisu lalu memberikan kepadanya.‘Tante. Sebenarnya, apa yang terjadi?” memberanikan diri untuk mengajukan pertanyaan.“Miranti. Maafkan tante.” Tante farida kembali menghamburkan ke pelukan. Sepelik apa sih permasalahan yang dihadapi. Hingga membuatnya sangat sedih. Jangan-jangan terjadi sesuatu dengan fajar. Mungkinkah nyawanya sedang terancam, ataukah berada di ujung tanduk. Berusaha menebak-nebak. Tangisan tante farida semakin memilukan. Membuat detak jantungku berpacu lebih cepat.“Tante, tolong katakan padaku. Apa terjadi sesuatu dengan fajar? Apa dia kecelakaan?” kulepas pelukan tante dan memegang kedua bahunya. Tak ada jawaban. Tante hanya menggelengkan kepala.“Apa dia terancam? Atau masuk penjara?”Tante kembali menggelengkan kepala. Benar-benar membuatku penasaran.“Lalu apa yang terjadi?”Bukannya menjawab pertanyaan. isak tangisnya semakin menjadi. Wanita ini benar-benar sangat sedih.“Apa boleh saya bantu untuk bercerita, nyonya?” sopir pribadi tante bersuara.Aku menatap tante. Wanita itu menganggukkan kepala. Artinya dia mengijinkannya.‘Tante menganggukkan kepal, pak. Silakan bapak cerita sekarang.” Pintaku dengan tidak sabar.“Pak fajar sudah mengurung diri dalam kamar selama hampir sebulan ini.”‘Kok bisa?! bukankah dia berada di luar negeri?” aku sangat terkejut mendengar penjelasannya.“Sebenarnya tidak. Kabar itu hanya untuk menutupi kalau pak fajar sedang depresi. Supaya para klien masih percaya dengan karier dan juga bisnis yang di geluti. Walau semua di handle oleh orang kepercayaan keluarga. Beliau tidak mau makan. Benar-benar menghindari akses dengan orang luar. Bapak tak punya gairah hidup. Saya juga sedih sekali nyonya.” Sopir keluarga yang sudah puluhan tahun itu terlihat sangat sedih.“Tidak mungkin. Fajar seorang pria hebat. Dia sangat kuat. Tak mungkin hal ini terjadi padanya!”‘Memang begitulah kenyataannya nyonya. Silakan tanya sama nyonya farida.”“Beneran tante?” tiba-tiba hadir rasa perih dari dalam dada. Rasa sesak dan berat seperti ada hantaman keras di dadaku.“Iya, Mir.” Jawab tante sembari menganggukkan kepala.“Kok bisa. kenapa tante?!” aku tak percaya dengan apa yang di katakan oleh sopir pribadi tante farida. Namun ibu kandung fajar sudah mengiyakannya. Artinya tak ada kebohongan di sini. Aku memperhatikan tante farida dengan seksama. Menunggu jawaban yang bisa menghilangkan rasa penasaran sekaligus kegelisahan.“Semua terjadi ... setelah tante ... melarang fajar menikahimu. Dia tak membantah. Tapi setelah itu ... dia berdiam diri. Tak mau berbicara apapun dengan tante. Dia hanya bilang tidak akan menikah seumur hidupnya. Tante pikir dia hanya becanda. Tidak tahunya ... dia serius dengan ucapannya. Tante menyesal, mir. Sangat menyesal.” Kembali tante memelukku.Aku bergeming, tak membalas dekapannya. Hatiku bagai teriris. Selama ini aku berpikir bahwa fajar sudah melupakanku dan sedang bersenang-senang dengan gadis lain. Ternyata dugaanku salah. Kenyataan berbanding terbalik. Pria yang masih aku sayangi sangat menderita. Tak rela hatiku mendengar kabar menyedihkan itu. Kelopak mata terasa panas. Dengan susah payah menahan tangis. Namun airmata tak mau berkompromi. Kelopak mataku tak mampu membendung buliran bening yang jatuh dan saling berkejaran.Tak ada sepatah katapun yang terucap dari bibirku. Rasanya tak sabar untuk segera bertemu dengan fajar. Dia tak boleh menyiksa diri sendiri. Jikalau perlu aku juga akan menemani dengan kondisi apapun. Tanpa terasa, mobil mulai memasuki pelatarn rumah megah dengan tiga lantai. Rumah yang begitu besar hanya dihuni oleh dua anggota keluarga. Jelas saja mereka sangat kesepian. Memang ada sekitar delapan asisten di sini. Namun tetap saja berbeda fungsi. Tak bisa begitu saja mencurahkan isi hati kepada mereka. Pantas saja tante farida ingin fajar segera menikah. Seandainya ada tangis bayi pasti rumah ini akan menjadi indah dan lebih berwarna. Sayangnya, impian tante farida sirna karena ulahnya sendiri.Huch, menarik napas panjang. Kenapa aku jadi menyalahkan tante farida. Bukankah wajar apabila seorang ibu menginginkan yang terbaik untuk puteranya. Seandainya saja aku berada pada posisi wanita di sampingku ini, pasti akan berbuat yang sama. Tak rela putra sematawayang yang mempunyai segalanya harus menikahi janda beranak empat. Apa kata dunia nanti. Andai umar yang menjadi fajar, aku juga tak menyetujuinya. Lalu siapa yang bersalah di sini. Apa semua salah cinta. Kenapa harus menyalahkan cinta. Rasa cinta yang hadir tak bisa di salahkan. Jangan pernah menyalahkan keberadaannya. Karena sangat beruntung bagi orang yang dipenuhi dengan rasa cinta. Ada kalanya cinta mempersatukan dua hati. Mereka termasuk orang yang beruntung karena karunia cinta di pertemukan dalam senuah ikatan suci. Bahagialah wahai engkau. Namun saat cinta harus mematahkan dua hati, hanya ada perih yang terasa.“Ayo, turun, mir.” Aku terjengkit. Suara tante farida membuyarkan lamunanku. Hanya untaian senyum getir untuk membalas ajakan tante. Tak ingin mulut ini berkata. Hati bagai tersayat kala mengingat pria yang kusayang sedang menderita.Aku turun dari mobil dan mengikuti langkah wanita di hadapanku.Saat memasuki ruang tamu dadaku berdetak lebih kencang. Tubuh terasa lemas. Tanpa terasa buliran bening kembali saling berkejaran.Tante farida menawariku minuman. Namun kutolak dengan menggelengkan kepala. Kami meneruskan langkah menaiki anak tangga satu persatu menuju lantai dua. Kamar fajar berada di sana. Saat tiba di ujung tangga, tante farida menarik lenganku sedikit menjauh. “Mir. Tante minta tolong. Sembuhkan fajar dari kehancurannya. Hanya kamu yang bisa membantunya. Tante mohon. Kau mau menikah dengan fajar. Tante merestui kalian. tante mohon, nak.” Wanita di hadapanku terus memohon. Walau suaranya terdengar lirih, tapi aku bisa mendengar getaran dalam setiap kalimat yang terucap.Menarik nafas panjang. Menatap tante dengan rasa yang bercampur aduk. Ada rasa kesal, sedih, amarah menjadi satu. Aku mengangkat dagu wanita yang terus menundukkan kepala sembari menangis. Mencoba mengungkap hal yang membuatku kesal selama ini. Semoga aku masih bisa menahan emosi.“Tante. Kenapa baru sekarang merestui kami. Setelah semua terjadi, tante meminta tolong aku untuk membantu fajar. Kenapa? Kenapa bukan psikiater saja yang membantunya. Bukan aku.” Aku tak bisa menahan emosiku. Walau nada bicaraku pelan, tapi dalam setiap kalimat terungkap kemarahan di dalamnya.‘Tante menyesal mir. Maafkan tante. Tapi fajar membutuhkanmu, bukan psikiater. Anak tante tidak gila.”“Aku sudah bersusah payah untuk melupakan fajar. Tidak semudah membalikkan telapak tangan. Aku juga hancur, tante. Bukan hanya anak tante.”‘Tapi kau lebih kuat.”“Sama saja tante. Aku juga rapuh. Aku juga merasakan hal yang sama seperti fajar. Kami menderita karena perbuatan tante. Kenapa tante tidak mencoba menyembuhkannya sendiri?”Aku melangkah dengan kesal meninggalkan tante farida. Sembari mengusap airmata di pipi. Aku mengurungkan niat untuk menengok fajar. Kekesalanku terhadap tante farida membuatku goyah. Bukan hanya itu. Aku juga tak ingin emosiku tertumpah kepada tante farida. Tak ingin menyakiti wanita yang sebenarnya berhati baik itu. Namun saat mendengar ucapannya waktu di rumah sakit, kembali membuat dadaku terasa sakit. Lebih baik memutuskan untuk menjauh darinya. 63. MEMBANTU FAJARBelum sempat aku menuruni anak tangga, tante farida sudah menarik lenganku perlahan , berusaha menghentikanku.“Mir, tante mohon. Maafkan tante. Tolonglah, hanya kamu yang bisa menyembuhkan fajar. Tolong bantu tante.”“Maaf, tidak bisa tante.” Melepas tanganku dari genggamannya. Menuruni anak tangga satu persatu dengan hati lara. Langkahku kembali terhenti saat wanita itu meghadang jalan. Aku membuang pandangan dengan kesal.“Mir. Setidaknya, ingatlah kebaikan fajar terhadapmu. Apa kau tega membiarkan dia menderita seumur hidupnya. Kau juga seorang ibu. Bagaimana kalau peristiwa ini terjadi pada anakmu. Kau pasti akan melakukan segala cara demi menyembuhkan putramu. Aku juga akan melakukan hal yang sama. Bahkan tante bersedia bersujud di kakimu.”Apa yang dikatakan tante benar. Seorang ibu pasti berani melaukan apapun demi putra tercinta, termasuk diriku. Namun tidak dengan bersujud di kaki dengan merendahkan diri. Tidak setuju dengan caranya.Aku memundurkan kaki. Tante farida tidak main-main. Beliau benar-benar berniat sujud di kakiku. Aku tak boleh membiarkannya. Memegang bahu tante dan membawanya ke dalam pelukanku. Kami berdua bertangisan.“Jangan lakukan itu tante. Aku berjanji akan membantu fajar semampuku. Aku sangat mencintainya tante.” Aku makin larut dalam tangisan.‘Tante tahu. Kau anak baik. Maafkan tante yang sudah berusaha memisahkan kalian.” kami larut dalam kesedihan.“Miranti! Kau di mana?!”Kami di kejutkan oleh teriakan fajar. Aku dan tante saling melepas pelukan. Lantas melangkah dengan tergesa menuju kamar fajar. Saat membuka kamarnya, aroma tak sedap menguar dalam kamar. Rasanya tak kuat. Ingin mengeluarkan seluruh isi dalam perut. Aku mencoba menahan dengan menutup hidung dan mengibaskan tangan.Ruangan ini sangat gelap. Walau siang hari, seluruh jendela tertutup gordyn dengan rapat. Tak ada cahaya sedikitpun yang masuk. Mencoba meraih saklar untuk menyalakan lampu. Namun tante menahanku.“Jangan.”‘”Kenapa?”“Dia bisa marah dan mengamuk.”“Bagimana aku bisa melihat keadaanya? Gelap sekali.”‘Kau dekati dia.”“Bukankah kita tadi mendengar suaranya?”‘’iya. Dia mulai berhalusinasi. Setiap tertidur selalu meneriakan namamu. Lalu kembali tertidur. Mungkin saja tadi dia mendengar suaramu.”Aku mengamati tubuh yang samar terlihat sedang merebahkan diri di ranjang. Huek, aku merasa mual. Benat-benar tidak tahan dengan bau busuk yang menusuk hidungku. Aku terus menutup hidung sembari mengibas-ngibaskan tangan. Mengayunkan langkah menuju jendela. Rasanya tidak tahan lagi. “Miranti, kau mau apa?” tanya tante dengan suara lirih. Beliau mengekor di belakangku. “Buka jendela tante. Aku gak tahan baunya.” Jawabku juga lirih.“Jangan lakuakan. Bahaya, dia bisa mengamuk.”“Tante tenang saja. Nanti aku yang bertanggungjawab.”“Kau jangan nekat Miranti. Fajar yang sekarang bukan yang dulu. Dia sedang sakit. Jiwanya sedang terganggu. Bisa bahaya.”Aku tak peduli dengan omongan tante. Fajar tetap saja fajar yang dulu. Saat bertemu denganku, dia pasti akan kembali seperti semula. Dengan penuh percaya diri aku nekat membuka semua jendela. Tak kuhiraukan tante farida yang berusaha mencegahku.“Hach,” menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Lumayan hilang rasa mual. Angin segar mulai masuk ke dalam ruangan. Matahari mulai menampakkan cahaya dalam kamar yang  di penuhi dengan jendela dan sebagian dinding kaca yang tebal. Desain kamar yang sangat indah. Aku menyukainya.“Siapa kau?!”Aku di kejutkan denga teriakan fajar di iringi dengan suara gelas yang di banting. Praank, sangat memekakan telinga. Belum hilang rasa terkejutku, aku melihat sebuah benda yang di lempar ke arahku. ‘Aw,” aku menjerit ketakutan sambil menutup wajah. Untung saja ibu menarik tanganku hingga benda itu tak mengenaiku. Namun memecahkan kaca jendela.“Tante sudah peringatkan  tadi. Tapi kamu gak percaya.”Aku melihat fajar yang mengamuk. Dia membanting benda apa saja yang ada di dekatnya. Bantal selimut semua juga di buang. Terselip rasa takut dalam hati. Namun keinginan besar untuk menyembuhkannya membuatku harus memberanikan diri. Aku hendak melangkah ke arah fajar, tapi di tahan oleh tante.“Kamu mau kemana?”“Menemui fajar tante.”“Jangan. Bahaya. Tunggu saja secuity sebentar lagi ke atas.”“Lepasin aku tante. Aku harus menghentikan fajar.”“jangan Mir.”Tante terus mencegah. Aku tak peduli dan berusaha melepaskan lengan yang di pegang sangat kencang oleh tante farida. Bergegas melangkah ke arah fajar dan berusaha memegang lengannya. Namun tenaganya sangat kuat. Dia mendorong tubuhku dengan kasar hingga aku terjatuh. Aw, tanganku terkena serpihan kaca. Sakit sekali rasanya.Terdengar jeritan tante farida. Tanpa kusadari tante farida sudah ada di hadapanku.“Berhenti fajar! Kau sudah melukai Miranti!”Tante farida terus menangis. Beliau mencoba menolong dengan mengeluarkan serpihan kaca di telapak tanganku. Aku mendesis menahan rasa sakit saat tante mencabut beberapa serpihan kaca yang menancap pada telapak tanganku.“Miranti! Itu kamu?!”Aku mendengar suara fajar. Iya, suara fajar yang lembut. Apa aku sedang tidak bermimpi. Melayangkan pandangan ke arah suara. Membulatkan mata dengan sempurna. Benar. Sorot mata elang itu menatapku dengan sangat tajam. Dulu aku sangat menyukai mata itu. Tatapan yang sangat lembut dan mempesona.  Sanggup menghipnotis setiap wanita kala menatapnya.Kini sorot matanya sangat tajam dan menakutkan. Perlahan dia mendekat ke arahku. Aku beringsut ketakutan. Menyadari jiwanya kini sedang sakit dan bisa saja melukaiku.Tante farida mengamati wajahku yang pucat. Beliau mengikuti ke arah mana tatapan mataku. Kulihat wanita di hadapanku pasti terkejut melihat putranya sedang berjalan ke arah kami. Tante farida bangkit dan mencoba menahan pergerakan fajar.“Sayang. Kamu istirahat ya. Ayo, mamah bantu kamu berbaring.” Tante memegangi tubuh fajar. Aku benar-benar takut dengan sorot matanya yang tajam dan menakutkan. Kenapa bsa jadi begini. Kasihan sekali keadaannya. Apa yang harus kulakukan untuk membantunya. Aku sendiri juga ketakutan.Aku terus mundur. Tante farida juga kewalahan. Tenaga sang putra masih sangat kuat. Dengan lembut fajar melepas dekapan mamahnya. Tak seperti tadi, dia kini terlihat lebih tenang.“Aw,’kembali tanganku terkena serpihan kaca. Sakit sekali. Kubiarkan sementara. Harus lebih fokus kepada fajar, kalau tiba-tiba dia menyerangku. Saat aku sedang memegangi lenganku, aku merasa tubuhku hampir terjatuh. Tanpa kusangka fajar memelukku dengan sangat erat. Aku ketakutan, mencoba untuk melepaskan diri.“Mir. Jangan tinggalin aku. Tolong, aku sangat mencintaimu.” Ucapan fajar membuatku menghentikan keinginan untuk melepaskan diri dari pelukannya. Merasakan cairan hangat pada bahuku. Apa fajar menangis? Apa dia sudah kembali pulih ingatannya. Dia bisa mengenali diriku. Upss, dekapannya semakin erat hingga membuatku sesak nafas. Aku mengulurkan tangan untuk meminta tolong kepada tante farida. Dadaku benar-benar sesak. Rasanya paru-paruku mulai terhambat pasokan oksigen.“Fajar, lepasin Miranti. Kasihan dia.” Tante Farida berusaha melepas pelukan Fajar sekuat tenaga. Sayangnya usahanya tak membuahkan hasil. Pelukan fajar makin erat.“Jangan pisahkan aku. Aku ingin bersamamu.” Suara fajar gemetar. Mungkinkah dia menyadari dengan apa yang dikatakannya. Itu artinya kondisinya sudah tidak semengerikan tadi. Dia juga sudah tidak mengamuk. Aku akan mencoba untuk berbicara dengannya. Siapa tahu dia mau melepaskanku.“Fajar. Tolong lepaskan gue. Gue sesak nafas. Lo mau bunuh mawar jelekmu ini, iya?”Sengaja aku mengingatkan nama pemberiannya. Mencoba untuk mempertajam kembali daya ingatnya. Mungkin saja bisa sedikit membantunya. Benar saja, fajar langsung melepas pelukannya.“Tidak. Jangan mati. Kau harus menemaniku. Kau janji akan memberiku anak yang cantik dan lucu. Kau harus memberikannya padaku. Jangan membohongiku lagi.” Fajar menangkup wajahku dengan tangannya. Sedikit demi sedikit ingatannya sudah mulai pulih. Janji itu sudah dua puluh tahun yang lalu. Saat aku akan menikah dengannya. Namun pernikahan itu harus batal gara-gara ulah Arya. Sudahlah, aku tak perlu menyesalinya lagi.Huek, kembali aku merasakan mual. Sedari tadi aku tak tahan dengan bau tubuh pria di hadapanku. Bayangkan saja sudah hampir satu bulan dia tidak mandi. Untung saja aku tak pinsan.Pelan-pelan, aku harus bisa membuatnya nyaman dulu. Supaya dia tidak mengamuk lagi.“Kalau kau menginginkan itu, kau harus mandi, dandan yang rapih lalu makan yang banyak. Supaya kau sehat. Aku akan menyuapimu nanti. Kau mau’kan?”“Iya. Aku mau. Tapi janji tidak akan meninggalkanku.” fajar mengulurkan jari kelingkingnya. Aku tersenyum dan menyambutnya. Menyatukan dua jari kelingking seperti kebiasaan kami sewaktu kecil. Aku menganggukkan kepala sembari tersenyum. Tak kuasa untuk menahan airmata. Lalu memeluk Fajar erat. “Mamah merestuimu fajar. Menikahlah dengan miranti.” Tante farida menepuk-nepuk lengan putranya.“Fajar membalikkan badan menatap sang bunda.”Benar mah? Mamah merestui aku menikah dengan miranti? Janji tidak akan menghalangi lagi hubungan kami?”“Iya sayang. Mamah janji. Yang penting kamu jangan seperti ini lagi ya. Mamah sayang sama kamu.”“Fajar juga sayang sama mamah.”Keduanya berpelukan erat. Aku sangat bersyukur fajar bisa kembali pulih dengan cepat. Ucapannya pun juga sudah seperti orang normal. Aneh juga sih, kok bisa secepat itu pulih. Kalau menurut cerita, orang yang depresi takkan semudah itu sembuh. Kenapa fajar begitu cepat.“Mah. Bisa minta tolong tinggalin aku sama miranti?” pinta fajar kepada mamahnya. Aku melihat tatapan serius pada matanya.‘Tapi ....”“Sebentar saja.”“Kau jangan menyakitinya ya, nak.”“Iya mah, aku janji.”Tante farida mengecup kening fajar lalu memeluknya sebentar. Kemudian meninggalkan kami berdua.Fajar  menutup pintu rapat lalu menguncinya.  Kenapa perasaanku menjadi tidak enak. Kondisi fajar belum stabil. Apa yang akan di lakukannya kepadaku. Mendadak, rasa takut menyelimuti hati. Aku mundur beberapa langkah saat fajar melangkah ke arahku. Sorot matanya nyalang bagai harimau yang siap menerkam mangsanya. Aku benar-benar ketakutan. Kemana harus mencari tempat berlindung. Menyesal aku membiarkan tante pergi. Bagaimana ini. Apa yang harus kulakukan kalau fajar menyakitiku. Tolonglah aku ya Tuhan. 64. PURA-PURAMIRANTI “Aw,” aku terpekik saat fajar mencekal bahuku begitu kencang. Memalingkan wajah, tak berani melihat mata bengisnya. Ingin menangis dan menjerit minta tolong. Namun suaaraku seperti tercekat di kerongkongan.Mencoba melepaskan diri sambil berusaha berteriak. Sekuat tenaga meronta dan menjerit. Suaraku mulai pulih. Sayangnya teriakanku takkan terdengar. Tiba-tiba fajar membekap mulutku. Aku makin ketakutan. Bagaimana mungkin orang sakit jiwa bisa membekap mulut seseorang. Apa dia akan memaksaku untuk melayaninya. Membayangkan saja aku sudah ketakutan. Kewarasannya sudah di ambang batas. Sulit di kendalikan. Aku terus meronta dan berteriak. Namun bekapan di mulutku sangat sulit kulepas. Tubuhku terasa lemas. Kekuatanku terasa lenyap dari tubuh. Rasanya tenaga ini tak sebanding dengan kekuatan fajar. Walau dia sudah tak makan dan minum selama dua hari, staminanya tetap terjaga. Entah apa alasannya aku juga tak tahu. Hanya bisa berpasrah diri kepada takdir. Fajar melepasku. Lalu Aku meliruhkan tubuh di lantai. Sangat ketakutan. Tubuh gemetar. Mencoba memohon kepadanya, mungkin saja dia bisa melepasku. Setidaknya membantu kesadarannya pulih. Fajar yang kuhadapi bukan fajar yang dulu. Yang penuh dengan kasih sayang dan kelembutan. Kini dia bagai monster yang siap menerkam kapan saja.Mencoba menyentuh kaki pria yang bergeming di hadapanku. Dia seperti tanpa nyawa. Tak bergerak sedikitpun. Hanya dengusan nafasnya saja yang kudengar. Aku tak berani melihat ekspresi wajahnya saat ini. Pasti sangat mengerikan. Akan kucoba untuk memeohon kepadanya untuk tak menyakitiku.“Fajar. Aku mohon jangan sakiti aku. Kalau kau menginginkanku, harus sabar. Aku akan menyerahkan diriku kepadamu jika kita sudah sah sebagai suami istri. Kau akan memiliki diriku seutuhnya. Tapi tidak dengan cara seperti ini. Tolong mengertilah, jangan memaksaku. Dosa besar kalau kita melakukannya sebelum menikah.” Aku berucap dengan bibir bergetar. Tanganku juga gemetar. Rasa takut menyelimuti hati.‘Eh, kebo. Lo pikir otak gue mesum apa? Maen sembarangan aja omongan lo!”Deg, jantungku nyaris berhenti berdetak. Suara dan gaya bicaranya persis fajar yang pernah kukenal. Bukan lelaki sinting yang ada di hadapanku. Dimana dia, dan siapa orang yang ada di hadapanku. Apa dia kembarannya fajar. Setahuku dia tak punya saudara. Apalagi saudara kembar. Sangat tidak mungkin. Lalu milik siapa suara itu.“Mir. Dungu jangan dipelihara. Ini gue, bukan hantu.”Benar-benar fajar. Suaranya sangat dekat. Tidak mungkin pria yang sedang kupegang kakinya ini adalah dia.“Eh, lepas. Bukan muhrim. Jangan pegang-pegang. Ntar na*su lo.”Berbarengan suara itu kaki yang kupegang mundur perlahan. Otomatis aku melepasnya. Mendongakan kepala. Sangat terkejut ketika melihat fajar menatapku dengan menjulurkan lidah. ‘Kamu ... fajar?!” tanyaku tak percaya. Kupandangi dari ujung kepala hingga kaki. Kuulang beberapa kali hingga memastikan bahwa itu memang benar fajar.“Ya iyalah. Masa setan. Lo pikir gue bodoh. Jadi gila karena lo?”“Jadi, lo ngerjain gue?!” Rasa emosi mulai menghampiri. Aku merasa dipermainkan.“Kagak.  Ngerjain emak gue. Biar bisa ngawinin lo.” Jawab fajar santai sambil cengengesan.“Tapi gak gini juga! Kasihan mamah lo. Beliau menangis terus memikirkan lo. Kalau jantungan lagi gimana? mau kehilangan nyokap?”“Ya gak lah. Gue sayang banget ama nyokap. Cuma dengan cara ini gue bisa ngawinin lo. Kalau gak, mana bisa.” dengan santai fajar menjawab pertanyaanku. Dia lalu duduk selonjoran di hadapanku.“Tapi caramu salah.” Aku memukuli fajar dengan kesal. Namun pria itu menangkap tanganku. Mata kami bersirobok. Tatapan matanya sangat tajam seolah siap menghunjam ke jantungku.“Apa Lo bisa nunjukin cara yang lebih baik. Nyokap gue itu susah. Dia maunya gue kawin ama cewek yang cantik, modis. Bukan kebo  kaya lo.”‘Kalo tau gue gak cantik dan modis, ngapain juga lo mau gawinin gue?” balasku dengan kesal dan melepas tanganku dengan kasar.“Nasib lo aja yang baik.  Masih mending lo gue kawinin, kagak gue kasih makan sama buaya.” Jawab fajar masih santai. Benar-benar nih orang bikin kesel aja. Sudah tahu aku lagi bicara serius, masih saja becanda.“Fajar. Gue serius. Jangan tengil.”“Ya gue juga serius.”“Iih ngeselin.” Kembali aku memukuli dada fajar dengan kesal. Namun fajar menghentikannya dengan membawa tubuhku ke dalam pelukannya.“Gue serius mau nikahin lo. Gue cinta sama lo sampai kapanpun. Gue janji akan menjaga lo dan juga anak-anak.” Fajar mendaratkan kecupan hangatnya pada puncak kepalaku. Terasa hangat dan damai. Namun tiba-tiba, huek. Benar-benar tidak tahan berada dalam pelukan pria yang baunya minta ampun. Entah sudah berapa hari dia tidak mandi. Menjijikkan sekali.“Huek ... huek.”“Kenapa? Mual denger janji gue?!”Aku menuntup lubang hidung sembari mengibaskan tangan.“Badan lo bau banget. Berapa hari  kagak mandi? Bikin pengin muntah tahu gak?”“Halah, baru segini aja bilang bau. Ini bajunya doang. Gue mah mandi tiap hari. Sini gue peluk lagi.” Fajar berusaha kembali merangkulku. Aku menolak dengan mendorong tubuhnya.“Gak mau!”Aku mendorong tubuh fajar sekuat tenaga. Namun dekapannya makin erat. Tawa renyahnya membuat perutku semakin mual. Terus berontak, tapi sayang tenagaku kalah kuat darinya. “Fajar! Keterlaluan kamu!”Seketika fajar menghentikan tawanya. Begitu juga dengan pemberontakanku. Kami memfokuskan kepada tante farida yang berdiri di depan pintu. Sorot matanya begitu tajam. Laksana kilatan bara api yang siap memusnahkan apapun yang ditemuinya.Langkah wanita itu semakin dekat.  Wajahnya tak bersahabat. “Teganya kau membohongi wanita yang telah melahirkanmu!” tante farida menunjuk putranya. Kemarahan tergambar jelas dari wajahnya.“Mah, tenang dulu. Fajar bisa jelaskan ....”Plaak, belum selesai fajar berbicara, satu tamparan mendarat mulus di pipi putra tercinta.“Mamah sudah dengar semua! Kalian berdua bersekongkol untuk mengelabuiku. Aku pikir kau wanita baik mir. Ternyata kau serigala berbulu domba!” Tante farida menunjuk kearahku. Aku menundukkan kepala tak berani menatap matanya yang mengerikan. Kemarahannya bukan hanya ditujukan kepada fajar saja, juga terhadapku. Kenapa jadi menyalahkanku. Bukankah tante sendiri yang membawaku kemari. Masa lupa kalau tadi beliau datang ke rumah dan memintaku untuk membantu fajar. Bagaimana mungkin lupa akan peristiwa yang belum satu jam terjadi. Mamahnya fajar belum pikun. Jadi tak mungkin beliau lupa.Plaak. Satu tamparan mendarat di pipi. Aku merasakan wajahku terasa panas. Kupegang pipi yang terasa sakit. Kepalaku terasa berkunang-kunang. Tamparan wanita dengan tangan yang tebal itu sangat keras.“Mah. Kenapa menampar miranti?! Dia gak salah apa-apa!” fajar berusaha membelaku. Dia bahkan memasang badan di depanku. Kedua tangannya berusaha memegangi lenganku. Dia berusaha melindungiku dari kemarahan mamahnya.Jujur aku sangat takut dan hanya menyembunyikan wajahku di balik punggung fajar. Walau aku yakin tak bersalah, tapi kemarahan tante akibat salah faham terhadapku bisa membahayakan diriku.“Jelas saja dia salah. Wanita munafik itu menghalalkan segala cara untuk bisa mendapatkanmu!”“Jangan bilang miranti munafik, mah. Aku gak terima!” jawab fajar dengan nada tinggi.“Jangan membentak mamah! Karena wanita itu kau berani membentak mamah, fajar!”“Maafkan fajar yang kelepasan. Tapi memang miranti tidak tahu apa-apa. Semua salahku. Gak adil kalau mamah juga menyalahkan miranti.“Jangan bohong. Kau tahu, saat mamah datang kerumahnya dengan menangis dan memohon untuk membantumu yang sedang terguncang. Dia berpura-pura tidak tahu. Pasti dalam hati menertawakan mamah yang memohon kepada dia! Kau sangat jahat miranti! Kau berani mempermainkan orangtua! Kau juga punya anak. Apa gak takut kualat kamu!”“Tidak, tante. Aku benar-benar gak tahu kalau fajar hanya berpura-pura. Hampir sebulan kami tidak berkomunikasi. Bahkan aku mengira fajar sudah menikah dan tinggal di luar negeri.”‘Halah. Dasar wanita munafik! Tante tak percaya padamu! Sini kamu!”Tante farida berusaha menarik lenganku. Namun fajar menepis tangan tante hingga wanita itu terjatuh. Wanita tambun itu memekik.“Mamah!”Fajar berlar ke arah mamahnya dan berusaha menolongnya. Dia lalu membawa wanita yang sangat di cintainya itu ke dalam pelukannya.‘Tante!”Aku juga berlari untuk membantu semampuku.“Pergi kamu. Mamah benci kamu!” tante berontak dan memukuli lengan putranya. Tak mampu lagi menahan tangis.“Maafkan fajar, mah. Ini semua salahku. Aku yang merencanakan ini semua dengan om taufik. Semua aku lakukan karena aku mencintai miranti. Aku tak ingin mamah menjodohkanku lagi dengan wanita di luar sana. Aku hanya mencintai miranti.”“Jadi taufik tahu?” tante farida melepas pelukan. “Iya mah. Bahkan ini idenya om. Beliau tahu kalau mamah sangat mencintaiku. Dengan berpura-pura depresi, mamah pasti akan mengabulkan semua keinginanku.”“Kalian berdua keterlaluan. Kau tak tahu’kan betapa tersiksanya mamah melihatmu menderita. Kalian sangat jahat.”“Maafkan kami mah. Aku benar-benar mencintai miranti. Hanya dengan cara ini, mamah bisa mengabulkan keinginanku.”“Mamah tidak suka dengan cara ini fajar! Mamah tak pernah mengajarkanmu untuk berbohong!”‘Fajar tahu. Makanya minta maaf. Tolong restui kami mah. Atau mamah lebih suka melihat fajar seperti tadi?”Fajar bersujud di kaki mamahnya. Aku bahagia melihat kesungguhannya dalam memperjuangkan hubungan kami. Sekaligus bangga melihatnya sangat berbakti kepada orangtua. Tak pernah mengabaikan restu dari orang yang sudah memberikan kasih sayang tanpa batas.Restu orangtua sangatlah penting. Tanpa restu dan ridhonya kehidupan kita akan selalu berada dalam kehampaan. Kebahagiaan takkan pernah menghampiri kita. Aku sangat bangga padanya. Semoga saja kelak putraku bisa bersikap seperti fajar. Aku pasti akan bangga menjadi ibu mereka. Dan aku juga akan bangga sebagai istri dari fajar, seorang pria yang berbakti kepada orantua. Bukan karena harta aku mencintainya. Namun kebaikan dan ketulusan membuatku enggan berpisah darinya.Aku terus memperhatikan sikap tante farida. Jantungku mulai berdetak kencang. Menanti jawaban darinya membuat badanku panas dingin. Aku hanya bisa berdo’a dalam hati, semoga tante merestui hubungan kami. 65. MENDAPAT RESTUMIRANTIAku bisa bernafas lega saat melihat tante memegang punggung putra tercintanya, lalu membawa kepelukan. Keduanya bertangisan haru. Tanpa terasa kelopak mataku basah. Rasa bercampur aduk dalam dada. Ada sedih, bahagia dan entah perasaan apa lagi yang berkecamuk dalam hatiku.Aku merasa ikut bertanggungjawab dalam masalah ini. Semua masalah antara ibu dan anak itu bermula dariku. Kalau saja aku tak kembali memasuki hidup fajar, mungkin tak akan terjadi kebohongan fajar. Dia pasti sudah bahagia dengan wanita lainKini, apa aku rela. Apa aku mampu melepas setelah cintamya kembali mengikat erat hatiku. Sungguh sulit untuk memilih. Pernah melakukan berbagai cara untuk melupakannya. Namun hati tak bisa dibohongi. Sesak dalam dada jika mengingat semuanya.Kembali aku memfokuskan pandangan pada ibu dan anak yang berada di hadapanku. Mencoba memasang mata dan telinga untuk mendengarkan pembicaraan keduanya.“Fajar, jangan kau ulangi lagi. Mamah bisa mati karenanya.”‘Fajar janji, mah. Takkan membuat mamah sedih lagi. Tapi tolong, restui hubunganku dengan miranti.aku sangat mencintainya.”pinta fajar dengan penuh harap. Aku melihat kesungguhan di matanya.“Apa kau benar-benar mencintainya? Bukan hanya cinta lama yang hanya sesaat mendarat dalam dadamu?” tante farida mengetuk dada fajar dengan telunjuknya.“Aku benar-benar mencintai miranti. Bahkan cinta itu belum padam sejak dulu.”“Kau takkan membuat mamah dan miranti kecewa?”“Tidak mah. Fajar janji.”“Kau harus mencintai istrimu kelak, siapapun dia. Seperti kau mencintai mamah. Apa kau bisa?”“Insya alloh. Fajar berjanji akan mencintai miranti seperti mencintai mamah.” Jawab fajar dengan mantap. Membuat hatiku trenyuh dibuatnya.“Kemarilah, mir.”Aku terkejut. Tak menyangka tante akan memanggilku. Mata kami bersirobok. Segera menundukkan kepala menghindari sorot matanya yang tajam. Tubuhku gemetar. Jemari saling meremas menandakan kegelisahanku.Aku bergeming. Ada rasa takut, grogi dan debaran yang begitu kencang. Rasa yang sama seperti pada awal aku di pertemukan dengan mamahnya fajar dulu. Persis seperti anak perawan yang bertemu dengan calon mertua. Mungkin orang akan menganggapku lebay. Namun percayalah, walau berstatus janda, pasti rasanya tetap saja seperti di awal menikah. Saat bertemu dengan calon mertua  berbagai rasa berkecamuk dalam dada.“Mir, ayo.” Sentuhan halus di tangan mengagetkanku. Aku menengadahkan kepala. Fajar tersenyum sembari menganggukkan kepala. Keraguan masih berselimut dalam hati.“Gak mau. Takut.” Jawabku setengah berbisik.“Percayalah. Aku akan selalu bersamamu.” Jawaban fajar berusaha meyakinkanku.Tanpa menunggu persetujuan dariku, fajar menggandeng lenganku dan membawanya ke hadapan wanita yang melahirkannya.Benar-benar ketakutan. Memegang jemari fajar sangat kencang, seolah takut dia akan meninggalkanku. Menundukkan wajah semakin dalam. Tangan berubah dingin. Mungkin saja wajah juga memucat. Semoga saja tante tidak akan memarahiku. Pasrah dengan apa yang akan terjadi.“Mir. Tatap wajah tante. Aku paling tidak suka berbicara dengan orang yang tak mau menatapku.” Ucap tante tegas. Suara itu terasa begitu menakutkan bagiku.“Mir. Hmm” fajar menyentuh daguku dengan lembut. Mengangkatnya perlahan hingga terpaksa tatapan mataku mengarah kepada mamahnya. Sungguh mata itu begitu menakutkan. Walau tak segarang tadi.“Tante mau tanya sama kamu. Apa kamu benar-benar mencintai anakku? Dan berjanji takkan mengecewakan dengan pergi meninggalkannya seperti dahulu?”Pertanyaan yang sangat menohok. Kuakui aku dulu memang bersalah. Tapi bukan mutlak kesalahanku. Keadaanlah yang membuatku lebih memilih menikah dengan arya. Aku tahu betapa kecewanya fajar saat itu. Hatinya pasti terluka. Namun fajar bukan sosok yang cengeng atau lemah. Dia terlihat tetap tegar dan menghadiri pernikahanku. Walau kutahu hatinya pasti hancur.“Mir, jawab pertanyaan tante. Buatlah tante percaya untuk memberikan anakku padamu.” Ucapan tante membuyarkan lamunanku. Menyadarkan bahwa aku hidup di masa kini, tapi dengan masalah yang sama. Dulu aku juga hanya bisa menangis saat menghadapi wanita baik yang berada di hadapanku. Walau tak kuduga, senyuman tulus tersungging dari bibirnya. Meskipun sang putra tercinta harus merasakan sakit hati kala itu.“Mir. Jawab tante.” Sekali lagi tepukan pada bahu membuatku terkejut. Bahkan aku sampai lupa dengan pertanyaan tante. Apa yang harus kujawab, kalau pertanyaan itu sendiri aku tak tahu.“Maaf tante. Saya lupa dengan pertanyaan yang tante ajukan.” Jawabku dengan gemetar dan menundukkan kepala semakin dalam.“Mamah tanya, apa kamu benar-benar mencintaiku dan takkan meninggalkanku?” fajar mengulang pertanyaan kembali. Merasakan kehangatan yang menjalar pada tubuh saat pria yang sangat kucintai merangkul pundak. Aku seperti mendapat kekuatan untuk menjawab pertanyaan tante farida. Bismillah. Menarik nafas panjang, lalu membuangnya perlahan. Mencoba untuk melonggarkan sesak di dada.“Saya ... tidak berani untuk berjanji. Saya pernah melakukan kesalahan besar dalam hidup saya dengan meninggalkan putra tante.”“Apa maksudmu? Kalau kau tak mau berjanji, apa yang bisa aku pegang sebagai bukti kalau kau takkan pernah membuat fajar kecewa lagi!” tak kusangka tante meninggikan suaranya. Hal itu membuat nyaliku kembali menciut.“Mir. Bisa jelaskan padaku, maksud dari ucapanmu? Apa kau tak benar-benar mencintaiku? Jawab?!” fajar mengguncang bahuku yang di pegang dengan begitu kuat hingga membuatku merasa sakit.“Aw.” Aku mengaduh dan menahan sakit pada pundak.“Sabar. Tunggu penjelasanku. Aku belum selesai bicara.” Memegang lengan fajar yang berada pada pundakku. Kemudian menggengam erat jemarinya.“Aku takut berjanji, bukan berati tak mencintaimu. Hanya akan membuktikan rasa yang ada di hatiku kepadamu. Aku sangat mencintaimu, sangat. Karena itulah tak berani berjanji. Takut membuatmu kecewa untuk yang kedua kali. Kalau memang kau ingin mempersuntingku. Lakukanlah. Aku sudah siap menjadi istrimu, asalkan kau sabar menunggu masa iddahku selesai.”“Benarkah apa yang kau katakan, sayang. Kau mau menjadi istriku?” fajar menyentuh wajahku. Aku merasakan tangannya yang gemetar. Sungguh aku tak mengerti dengan perasaannya. Mungkinkah dia juga merasakan kegugupan seperti yang kualami.“Aku siap. Setelah tiga kali masa haidku selesai, aku akan datang padamu, dan memintamu untuk menjadi suamiku. Kau mau?” kugenggam erat tangannya dan mengecup punggung tangan calon imamku. Dengan di iringi airmata aku menumpahkan segala rasa dalam dada.“Terimakasih mir. I love you.”“Love you too.”Fajar memelukku sangat erat. Dia tak malu untuk mengeluarkan airmata di hadapanku. Tangisnya kini bukan kesedihan, tapi tangis kebahagiaan.“Ehem-ehem.” Suara deheman ibu menyadarkan kami. Fajar langsung melepaskan pelukan. Dia tersipu malu. Kami seperti tak menyadari bahwa ada seorang wanita yang juga mengeluarkan airmata melihat kebahagiaan kami.“Maaf, mah. Aku ....”“Mamah juga ingin di peluk oleh calon menantuku.” Tante farida melebarkan tangannya ke arahku. Rasanya tak percaya mendengar apa yang baru saja keluar dari mulutnya. Mataku melebar sempurna. Aku menutup mulutku yang menganga lebar. Terdiam seperti patung. “Apa itu artinya ... mamah menyetujui hubungan kami?” tatapan mata fajar juga sama denganku. Aku yakin dia juga tak percaya dengan apa yang baru saja di dengar.“Iya. Mamah setuju.” Tante farida mengangguk dan tersenyum.Tanpa aba-aba, aku dan fajar menghambur kepelukan wanita yang sangat kami nantikan restunya. Kami bertiga bertangisan. Namun kali ini tangisan penuh kebahagiaan dan harapan. Sesaat kemudian, kami saling melepaskan diri.“Fajar gak percaya mah. Tolong katakan kepadaku sekali lagi.” Fajar menggenggam jemari sang bunda lalu mengecupnya penuh kasih sayang. Matanya berkaca-kaca menahan haru.“Mamah menyetujui hubunganmu dan juga miranti.”‘Terimakasih mah.” Fajar hendak memeluk mamahnya kembali. Namun tante menahannya.‘Tunggu, masih ada syarat satu lagi.”“Apa?”“Setelah menikah, Kau harus secepatnya memberikan cucu kepada mamah. Apa kau bisa berjanji untuk menepatinya?” tanya mamah dengan tersenyum.Kulihat senyum fajar yang mengembang, seketika terhenti. Lengkungan bibirnya kembali semula. Seperti terlukis sebuah kegundahan dan wajah kesedihan. Ada apa dengan calon suamiku itu. Apa dia merahasiakan sesuatu dariku. Mungkinkah dia impoten? Terlalu jauh kalau aku berpikir ke arah sana. Tak mungkin pria segagah fajar tak mampu menunaikan tugas mulia sebagai seorang suami. Lalu karena apa. Apa yang terjadi tanpa kuketahui.“Fajar. Hey ...” mamah menggerakkan tangannya di depan mata fajar. Fajar bergeming. Tatapan matanya menerawang jauh. Kembali tante menjentikkan jari di depan matanya, tetap saja fajar tak merespon.“Sayang, kamu kenapa, nak?” tante farida terlihat khawatir. Dia menggerakkan tangan fajar.“Eh, ee ... ada apa mah?” fajar gelagapan. Entahlah apa yang terjadi dengannya. Benar-benar membuatku penasaran. Aku akan mencoba menjawab pertanyaan dari tante farida.Mendekat ke arah fajar dan membisikkan sesuatu di telinganya.“Kamu lagi mikirin apa sih. Tadi tante bertanya apa kau bisa berjanji untuk memberikan cucu kepada mamah segera?” tanyaku dengan lembut. Fajah terlihat tegang. Wajahnya memucat. Walau penasaran aku tetap akan membantunya untuk menetralisir suasana. Supaya tak ada pertanyaan lagi dari tante  Apapaun yang terjadi aku harus menerima kekurangan fajar, sekalipun dia impoten. Sesak dada ini seandainya itu terjadi.“Tante. Biar aku saja yang jawab. Fajar’kan masih bujangan. Jadi malu.” Kugenggam erat jemari fajar. “Insya alloh, Kami berjanji akan segera memberikan cucu kepada tante. Iya’kan, sayang?” pertamakalinya aku kembali memanggil fajar dengan sebutan sayang setelah sekian tahun berlalu. Walau asing tapi aku menikmati panggilan sayangku padanya.“Mir, jangan mudah mengucap janji kalau belum tentu  bisa menepatinya. Kasihan mamah.”“Kenapa tidak?! Sudah jelas miranti punya anak. Artinya dia gak mandul. Sudahlah, bagi mamah janji miranti juga janjimu. Mamah pegang janji kalian.”“Mah. Fajar’kan gak janji.”“Tapi aku yang berjanji. Dan aku yang akan memaksamu untuk mewujudkan janjiku.” Aku mengedipkan mata genit dan mengerucutkan bibirku kepada fajar.”“Gila lu, mir. Begidik gue. Jijik tahu. Janda sih janda. Tapi jangan malu-maluin janda lain deh.” fajar mengedikkan bahu. Dia lalu menepis tanganku.“Jangan sembarangan ngomong. Kamu pikir mamah bukan janda?” tante berkacak pinggang di hadapan putranya. Beliau berpura-pura marah kepada fajar.“Iih. Ngeri gue.” Fajar menjauh.Aku dan tante tertawa lepas. Rasanya seperti tak ada sekat lagi antara kami. Kembali aku mengingat perubahan fajar saat ditanya tentang cucu. Sangat penasaran dengan keadaan fajar. Tak mungkin roman mukanya berubah jika tak ada sesuatu yang terjadi. Akan mencoba mengorek informasi darinya. Semoga apapun yang kuketahui nanti, takkan menyurutkan langkahku untuk membina rumah tangga bersamanya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan