
PART1 NODA LIPSTIK DI BAJU SUAMIKU
Malam terasa begitu dingin. Angin yang bertiup menerpa pepohonan dan melambaikan dedaunan nan elok. Hari ini suamiku berjanji untuk pulang. Setelah dua minggu lebih berada di salah satu cabang restoran karena ada sedikit masalah. Sebenarnya jadwal kepulangannya seharusnya seminggu yang lalu. Namun karena terkendala sesuatu hal mengharuskan tinggal untuk beberapa lama lagi.
Aku mengelus perutku yang mulai membesar. Kehamilan yang kelima ini terasa lebih berat, Berbeda dengan kehamilan sebelumnya. Kali ini badan lebih mudah letih. Apalagi Arya, suamiku jarang berada di rumah. Sejak enam bulan yang lalu dia harus keliling restoran kami yang sudah mempunyai 7 cabang di berbagai kota. Hal itu tentu membuat suamiku semakin sibuk. Walau sebenarnya ada yang bertugas mengelola yaitu orang kepercayaan suamiku. Namun suamiku akhir-akhir ini lebih suka untuk mengontrol secara langsung. Aku tidak masalah, yang penting semuanya baik-baik saja.
Dari seminggu yang lalu, perasaanku selalu tak enak. Ada rasa yang tidak nyaman muncul dari dalam dada
Takut terjadi apa-apa dengan suamiku. Saat kuhubungi manager resto yang ada disana, dia menjawab selama satu minggu suamiku tak berada di sana. Aku ngotot dengan argumenku bahwa suamiku ada disana selama seminggu yang lalu karena sedang mengatasi masalah. Namun jawaban pria itu meyakinkanku tak ada masalah yang berarti. Aku semakin panik, dan mulai berfikir tak jelas.
Ting tong. Bel berbunyi dan membuyarkan lamunanku. Kuayunkan langkah menuju pintu utama. Suamiku muncul dari balik pintu. Senyumnya terlihat manis sekali. Tak terlihat lelah di matanya. Seolah baru saja mengalami sesuatu hal yang menggembirakan.
Aku mencium punggung tangan suamiku dan mengambil travelbag dari tangannya.
“Kau baik-baik saja, Sayang? Bagaimana dengan si dede?” tanya Mas Arya sambil mengelus perutku..
“Aku baik-baik saja, Mas. Aku sangat mengkhawatirkanmu.”
“Aku baik-baik saja. Anak-anak mana?”
“Sudah tidur.“
“Oh, ya sudah.“
“Mau aku siapin makan?”
“Enggak usah, aku sudah makan tadi. Aku cape mau tidur.”
“Ayo!” menggandeng lengan suamiku. Aku mencium wangi parfum yang tidak biasa. Hal ini bukan menjadi kebiasaannya. Biasanya saat pulang dari bepergian, tak ada bau parfum yang masih melekat. Namun kali ini, aku merasakan ada perbedaan. Tubuh suamiku begitu wangi dan terlihat sangat tampan. Wajahnya yang terbiasa dipenuhi jambang dan kumis tipis, kini bersih dan menambah ketampanannya. Walau sudah berusia empat puluh tahun, suamiku masih terlihat muda.
“Oh, ya, mas. Kita punya tetangga baru lo. Orangnya masih muda dan sangat cantik<” Ucapku sambil menaiki anak tangga satu persatu.
“Oh, ya! Rumah yang sebelah mana? Apa kau sudah bertemu dengannya? Dan dia cerita apa saja padamu?” suamiku menghentikan langkahnya. Dia menatap wajahku dengan seksama, lalu mengajukan pertanyaan yang beruntun.
“Iih nafsu amat sih nanya’nya.”Aku mencubit lengan suamiku sambil tersenyum.
“Mmm, enggak sih, biasa aja,” jawab suamiku sambil berlalu.
“Sebelah rumah kita persis. Yang dulu aku bilang ingin membelinya supaya bisa dijadikan satu dengan rumah kita. Anak kita kan banyak. Tapi kamu bilang katanya belum ada uang. Ya, sayang banget sudah kebeli orang.”
“Sudahlah! gak usah bahas hal itu lagi. Aku baru pulang, cape!” Mas arya berlalu. Dia terlihat sangat marah. Entahlah padahal aku juga tidak berkata yang menyinggung perasaannya. Mungkin saja dia sedang sensitif.
Kami sampai di dalam kamar. Aku langsung menyiapkan piyama untuk suamiku. Sementara suamiku ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.
***
POV ARYA WIGUNA
Aku mematung di depan cermin. Berkali-kali mengusap wajah kasar. Apa yang harus aku katakan pada Miranti, kalau rumah itu memang sudah aku beli, tapi bukan untuknya. Dan bagaimana kalau dia sampai tahu jika tetangga baru itu adalah istriku yang berarti madunya. Kenapa juga aku menerima persyaratan yang tidak masuk akal dari Stefani. Saat dia meminta mahar rumah yang ada di sebelah Miranti, aku menyetujuinya tanpa berfikir panjang.
Bodohnya aku saat dia memintanya aku terbuai dengan tubuh moleknya yang dengan sukarela diserahkan kepadaku. Aku tak peduli dia gadis atau bukan. Bagiku dia sangat menggairahkan. Stefani tahu aku menggilainya. Bukan hanya tubuhnya yang sexy, kemahirannya di atas ranjang benar-benar membuatku tak bisa lepas darinya. Satu hal yang tak pernah aku dapatkan lagi dari Miranti. Aku akui aku tergila-gila padanya.
Sangat berbeda dengan Miranti. Diusianya yang sama denganku, sudah tidak menggairahkan. Tubuhnya yang bergelambir sana sini sangat berbeda dengan tubuh Stefani yang masih padat dan kencang. Apalagi dia sudah melahirkan berkali-kali membuatku malas menyentuhnya. Jangankan menyentuhnya, melihat dia membuka pakaian saja aku tak bernafsu.
Sekarang, apa yang harus aku katakan pada Miranti. Cepat atau lambat dia pasti akan mengetahuinya. Apalagi mulut Stefani itu tak bisa dipercaya. Dia bisa saja berbicara sendiri kepada Miranti tentang pernikahan kami.
“Oh Tuhan, apa yang harus aku lakukan?” Aku meremas rambutku. Rasanya pusing tak terkira.
“Aku tak bisa meninggalkan Stefani karena dia gairah hidupku. Aku juga tak mungkin meninggalkan Miranti karena dia assetku. Kalau Miranti sampai mengetahui pernikahan keduaku di saat yang tak tepat, bisa-bisa dia menendangku dari hidupnya.”
Kupejamkan mata sejenak, mengenang kembali betapa indahnya bulan maduku bersama Stefani. Pulau dewata, disanalah aku dan Stefani mengikat janji. Dulu menjadi impianku dan Miranti untuk bisa mengikat janji suci disana. Namun dulu karena terkendala masalah biaya, hingga kami memutuskan untuk acara sederhana saja di rumah Miranti. Hucu, rasanya menyebalkan.
Tapi kini, aku sudah memenuhi keinginanmu Miranti. Tapi bukan denganmu, melainkan dengan madumu. Stefani aku menggilaimu. Kau begitu pandai menyenangkanku. Rasanya seminggu tak cukup untuk berbulan madu. Wajahmu, tubuhmu oh Stefaniku kau benar-benar membuatku gila. Membuatku lupa kalau aku bukan hanya milikmu. Tapi ada seorang wanita hamil yang menanti kepulanganku. Shiitt, mengingat wanita hamil itu, membuatku muak.
****
POV ASMARA MIRANTI
Kupegang pinggangku yang terasa pegal. Seharian tadi aku begitu lelah. Mengurus rumah dan ke empat anak tanpa ART sangat melelahkan. Aku sudah pernah meminta untuk dicarikan ART kepada Mas Arya. Namun suamiku menolaknya secara halus. Dia bilang kalau kami harus berhemat, karena omset restoran kami sedang turun. Bahkan uang bulananku dipotong lima puluh persen.
Restoran AYAM GORENG KAMPUNG MIRANTI adalah warisan dari orangtuaku. Dulu memang hanya mempunyai dua cabang. Berada ditangan dingin Mas Arya bisa menambah lima cabang lagi. Suamiku sangat pandai dalam berbisnis.
“Mir, jangan lupa siapin baju untuk besok ya! Aku mau ke bandung selama seminggu!” seru suamiku dari dalam kamar mandi.
“Pergi lagi? Bukannya kamu baru pulang?”
“Iya, masih banyak urusan di sana! Pokoknya kamu siapin aja!”
“Iya!”
Mata terasa sangat mengantuk Ingin rasanya memejamkan mata saat ini juga.
Aku lalu membongkar pakaian kotor untuk diganti dengan yang baru. Tunggu, aku melihat ada noda seperti lipstik. Aku tak percaya dan meneteliti ulang dan hasilnya sama. Noda lipstik ada disetiap bajunya.
Aku meneliti seluruh isi koper. Saat membuka bagian resleting bagian dalam, aku menemukan alat kontrasepsi pria di dalamnya.
Deg, dadaku bergemuruh. Untuk apa dia membawanya saat bepergian. Benarkah suamiku berselingkuh. Alat itu sudah menunjukkan kalau suamiku punya wanita lain. Tidak mungkin seorang pria membawanya tanpa bersama seorang wanita. Belum lagi bekas lipstik yang ada di bajunya.
“Ohh,” Aku mendadak limbung dan hampir terjatuh. Kupegang perut yang agak mulas. Aku tak percaya dengan semua ini. Mas Aryaku adalah lelaki setia. Tidak mungkin dia menghianatiku. Tega sekali kau Mas. Kedua mata mulai mengembun. Tanpa terasa airmata jatuh menetes. Aku lemah, aku tak berdaya. Kenapa aku harus mengalami hal ini. Oh Tuhan, tolonglah hambaMu.
2. PENGHIANATAN SUAMIKU
“Miranti, kamu kenapa?” Mas Arya terkejut melihat tubuhku yang terbaring lemas di lantai sembari memegangi perut. Dia menggendong tubuhku dan membaringkan di atas ranjang.
“Miranti, bangun. Kita ke dokter ya!” Mas Arya sangat mencemaskanku. Berkali-kali dia menepuk-nepuk pipiku. Dia mengira aku tak sadarkan diri. Tubuhku memang lemas, tapi aku tetap sadar. Semua kecemasan yang Mas Arya rasakan, bagiku itu palsu. Pria yang tega menghianati istrinya adalah pria yang pandai berbohong. Semua yang dia katakan hanya palsu belaka.
Aku tak ingin membuka mataku. Ingin rasanya aku akhiri saja hidupku. Rasa sakit yang aku rasakan tak bisa terbayar oleh apapun. Jiwaku lemah, ragaku tak ingin bersahabat dengan nyawa. Pergilah kau wahai nyawaku, aku tidak ingin bersamamu lagi. Pergi lah jauh dan bawa ragaku bersamamu. Aku tak mau melihat wajah suamiku lagi. Tanpa terasa airmata menetes di pipiku. Isak tangis lirih mulai terdengar, membuat suamiku tersenyum dan memelukku.
“Syukurlah, kau sudah sadar sayang.” Mas Arya mengecup keningku lembut.
Dulu akau sangat menyukai kecupan itu. Tanpa mendapat kecupan itu mataku tak mampu terpejam di malam hari. Suamiku tahu akan hal itu dan tak pernah absen untuk mengecup keningku saat berada di sampingku. Kini kecupan itu membuatku muak. Aku jijik dengan bibirmu yang sudah ternodai karena perselingkuhanmu. Bibir yang dulu sangat aku gilai, kini aku sangat membencinya. Pasti sudah menempel noda menjijikkan dari wanita selingkuhannya itu. Sakit dan terasa bagai tersayat ribuan jarum.
Mengingat anak dalam kandungan menyadarkan bahwa aku tak boleh mati. Aku tidak boleh kalah oleh Mas Arya. Kalau aku mati, kasihan anak-anakku. Bagaimana nasib mereka berada ditangan ayah yang tak peduli pada mereka. Belum lagi kalau dia menikahi selingkuhannya. Aku tidak rela hartaku jatuh ketangannya. Aku akan mencari bukti tentang perselingkuhannya. Aku harus bisa menahan diri.
“Kamu sudah sadar? Aku cemas sekali. Kamu kenapa sayang?” Mas Arya membelai rambutku. Ingin sekali aku menepisnya. Namun aku membiarkannya untuk menutup kecurigaanku.
“Aku enggak apa-apa Mas. Aku tadi mau beresin baju-baju kamu yang ada di koper. Tapi tiba-tiba badanku lemas. Maaf, tolong kamu beresin sendiri ya? Semua sudah terlanjur aku keluarkan.
“Iya tidak apa-apa. Sebentar ya.” Mas Arya beranjak hendak meninggalkanku. Namun aku mencegahnya saat melihat tanda merah keunguan di leher suamiku. Aku tahu betul itu tanda apa. Sebagai wanita yang bersuami aku tak meragukan bahwa itu tanda bahwa suamiku benar-benar punya selingkuhan. Hancur hatiku. Bumi seakan berhenti berputar. Ku pejamkan mata sejenak.
“Ada apa?” tanya suamiku.
“Leher kamu kenapa? Apa ada yang melukaimu?”
Mas Arya terlihat gugup. Dia berusaha menutupi leher dengan tangannya. Tak ada sepatah katapun keluar dari bibirnya. Wajahnya terlihat pucat dan tangannya sedikit gemetar.
“Kamu kenapa, Mas? Sakit?” tanyaku padanya.
“Tidak, aku hanya .... “
“Kau belum jawab pertanyaanku tadi.”
“Yang Mana ya?” suamiku berpura-pura lupa untuk menutupi kegugupannya.
“Masa kamu lupa sih? Itu tanda yang ada di leher kamu?”
“Oh ini,” Mas Arya mencoba memegang leher bagian yang lain.
“Bukan, itu yang sebelah kanan.” Aku tahu suamiku terpojok. Dia tahu persis aku tak pernah meninggalkan bekas di sana. Kau sendiri yang melarangku untuk melakukan itu. Kau begitu tegas terhadapku, tapi tidak dengan selingkuhanmu. Seistimewa apa dia untukmu, Mas. Bahkan larangan terhadapku tapi tidak untuk wanita itu. Dadaku begitu sakit seperti tertindih batu yang sangat berat.
“Oh ini ... ini ....”
Ponsel Mas Arya berbunyi dan menjadi angin segar untuknya. Sejenak dia bisa menghidar dari pertanyaanku. Aku melengkungkan sudut bibir. Itu takkan berlangsung lama. Sebentar lagi akan menghujanimu dengan pertanyaan yang pasti membuatmu terpojok.
Aku memasang telinga, mencoba mencuri dengar pembicaraan mas Atya di telpon. Walau suaranya begitu lirih, tapi lamat-lamat kupingku menangkap pembicaraan yang membuatku muak.
“Iya sabar, Aku juga menginginkanmu lagi, kau sangat menggairahkan. Nanti kalau istriku tertidur, aku pasti ke rumahmu. I love your body. Mmuach”
Cuih, menjijikkan sekali. Benar-benar membuat emosi naik. Dasar pria tak tahu diri. Sudah aku angkat derajatmu dan keluargamu, masih berani berselingkuh. Tunggu saja apa yang akan aku lakukan untuk membalas perbuatanmu. Aku kembali memegangi perut yang kembali di dera rasa sakit. Anak yang ada dalam perut saja tidak terima dengan perlakuan ayahnya.
“Dari siapa? kenapa harus menghindar dariku?” tanyaku dengan pertanyaan yang kembali memojokkannya.
“Oh itu, mmm ... dari manager resto yang ada di bandung. Katanya ada sedikit masalah sih.”
“Lalu, apa dia menyuruhmu untuk ke sana?”
“Iya.”
“Baguslah. Aku ikut denganmu,” Kataku dengan santai.
“Oh, tidak usah. Kehamilanmu sudah cukup besar. Sangat berbahaya kalau harus menempuh perjalanan jauh. Aku takut terjadi apa-apa dengan anakku.” Mas Arya mengelus perutku. Dia berusaha menolakku. Aku tahu, itu hanya alasannya saja. Padahal yang sebenarnya, dia akan pergi bersama selingkuhannya itu. Menyebalkan.
“Mas, perjalanan dari jakarta ke bandung gak butuh waktu lama. Paling dua jam aja sampai. Gak akan membuatku cape. Aku juga sudah lama tidak mengontrol restoran kita. Siapa tahu dengan kedatanganku, masalah di sana bisa teratasi.” Jawabku tegas. Aku tak boleh kalah dari suamiku.
“Apa kau tak percaya lagi padaku, Miranti?” Mas Arya terlihat tak senang dengan ucapanku.
“Bukan begitu, Mas. Tidak ada salahnya’kan kalau aku juga ingin memastikan reso kita baik-baik saja?”
“Sudahlah, hari sudah malam. Tidurlah. Besok pagi sekali aku akan berangkat ke bandung. Kau urus saja anak-anak. Jangan sampai mereka terlantar.” Mas Arya tidur di sampingku dan menarik selimut, lalu pura-pura tertidur.
Dia pikir aku sebodoh itu. Dengan berpura-pura tidur, kau pikir aku akan ikut tertidur. Arya wiguna, istrimu tak sebodoh itu. Aku akan tetap membuatmu terjaga. Atau setidaknya aku yang akan terjaga sampai pagi supaya rencanamu untuk menemuinya malam ini tak terlaksana.
Ponsel suamiku berbunyi. Aku penasaran dan melirik ke arah ponsel yang dari tadi terus berada dalam genggamannya. Satu pesan masuk pada aplikasi berwarna hijau. Pesan itu terlalu panjang, hingga aku tak bisa membacanya secara lengkap. Hanya balasan pesan singkat dari Mas Arya yang dapat kubaca.
[Sepuluh menit lagi otw.]
Hanya itu balasan darinya, lalu mematikan ponsel kembali. Kau pikir akan mudah lari dariku malam ini. Tidak akan kubiarkan kau pergi dari sisiku.
“Mas.”
“Hmm.”
“Aku mau tanya.”
“Besok saja, aku sudah ngantuk.”
“Harus sekarang.”
”Besok saja.” Mas Arya menutup kuping dengan bantal.
Benar-benar membuat tensi darahku naik. Kau yang mulai memancing emosiku. Tak perlu aku tahan lagi apa yang ingin aku ketahui. Kau menantangku, Arya. Lihatlah, aku atau kamu yang akan menyesal.
Aku menarik bantal yang menutupi telinga Mas Arya dengan kesal dan membantingnya ke lantai. “Bekas lipstik siapa yang ada di pakaianmu?!” Aku mulai terpancing emosi. Suamiku benar-benar tak menghargaiku sebagai istrinya. Hanya ingin bertanya harus menunggu besok. Keterlaluan sekali dia.
Mas Arya terkejut. Dia membalikkan badan dan menatap tajam ke arahku.
“Apa maksudmu?! Jangan mengada-ada. Ini sudah malam. Tidurlah!” perintahnya. Namun aku mendengar suaranya bergetar. Dia mencoba mengalihkan pertanyaanku.
“Aku tidak mengada-ada. Semua ada buktinya.”
Mas Arya memukul ranjang. “Kamu ini cari gara-gara terus. Bikin aku malas pulang ke rumah!” Dia beranjak dari tempat tidur dan melangkah menuju pintu hendak keluar, tapi aku menahannya.
“Tunggu! Aku tidak mengada-ada. Aku punya buktinya.” Ku langkahkan kaki ke arah koper yang masih berantakan. Aku memungut kemejanya satu persatu dan memperlihatkan kepadanya.
“Ini, semua kemejamu ada bekas lipstik dengan bentuk bibir yang sama!”
Wajah Mas Arya pucat. Dia tak mengira aku akan menunjukkan bukti yang bisa memojokkannya. Tapi bukan Mas Arya namanya kalau tak bisa mengelak.
“Mungkin saja itu bekas lipstik pengunjung yang tadi sempat menabrakku.” Mas Arya menjawab dengan sekenanya. Dia mulai kehilangan rasa percaya dirinya.
“Apakah orang yang menabrakmu adalah sama, dan kejadian itu berulang hingga disetiap kemejamu menempel noda lipstik dengan bentuk bibir yang sama?!” Aku makin kesal dengan suamiku dan tak bisa lagi mengendalikan emosi.”
Mas Arya terdiam. Dia mengusap wajahnya kasar berkali-kali dan terlihat tak tenang.
“Jelaskan padaku, jangan diam saja!” Aku mengguncang bahu suamiku. Mataku terasa panas. Tanpa terbendung lagi, airmata menetes di pipi.
“Kau pasti sudah menghianatiku, Mas. Sakit hatiku, sakit Mas.” Aku terus memukul dada suamiku. Mas Arya tetap diam, lalu meraih tubuhku ke dalam pelukannya tanpa sepatah katapun. Bahkan kata maafpun tak terucap dari mulutnya, seolah perbuatannya tidak menyakitiku.
Aku melepas pelukannya dan kembali menuntut penjelasan dari suamiku. “kamu jelaskan Mas. Jangan diam saja.”
“Penjelasan apalagi. Kau sedang sensitif, jadi pikiranmu kemana-mana.” Mas Arya masih tetap mengelak. Dia tetap saja tak mau jujur.
Aku tak kehabisan akal. Ada satu lagi yang menjadi bukti terkuat. Segera kuambil alat kontrasepsi pria yang ada di dalam koper dan melemparkannya tepat mengenai wajah suamiku. Dia tersentak saat mendapati dus kecil bergambar wanita dan seorang pria yang terjatuh tepat di hadapannya.
Wajah Mas Arya kembali memucat. Dia sepertinya tak mengira aku akan menunjukkan bukti tersebut. Dia mengusap peluh yang membasahi wajahnya dengan telapak tangannya.
“Miranti, aku bisa jelaskan. Ini tidak seperti apa yang kamu duga. Itu bukan milikku aku menemukannya di toliet pom bnesin dan .... aku memungut sampah itu untuk aku buang dan .... “
“Kebohonganmu sangat tidak masuk akal. Sejak kapan kau jadi pemulung? Jawab yang jujur Mas, kau sudah selingkuh’kan? keterlaluan kamu, keterlaluan!” Aku menjerit histeris dan menangis sejadinya. Mas Arya menutup mulutku dengan telapak tangannya yang kekar supaya suaraku tak terdengar hingga keluar. Aku meronta tapi suamiku tetap membiarkanku hingga aku sesak nafas.
Tak mau menjadi korbannya, kugigit tangannya hingga terlepas darinya.
Kembali berteriak memaki suamiku. Dan tanpa aku duga Mas Arya melayangkan tangannya ke arahku. Tamparannyasangat keras hingga membuat sudut bibirku menetes darah segar. Aku terdiam dan mengusap sudut bibir. Kembali menagis dan tak percaya suamiku tega melakukannya.
“Itu peringatanku yang pertama Miranti. Jangan lagi-lagi kau berani kepadaku! Jangan keluar kamar tanpa seijinku!” Mas Arya keluar dan membanting pintu dengan keras lalu menguncinya dari luar,
Aku menjatuhkan tubuhku ke lantai. Bukan hanya pipiku yang sakit, tapi hati ini lebih sakit. Rasanya bagai ribuan anak panah yang menusuk hati. Apa salahku. Aku sudah mengurus keempat anaknya dengan baik. Aku juga selalu melayani kebutuhannya. Tapi dia begitu tega menghianatiku. Sakit sekali rasanya hati ini.
3. KEBERANIAN UMAR PUTRAKU
POV ARYA WIGUNA
Kulangkahkan kaki menuju pintu utama. Ingin segera meninggalkan rumah menuju surga baruku. Sikap Miranti benar-benar mengesalkan. Terlalu mengurusi urusan pribadiku.
Seharusnya dia tak mengusik caraku untuk bahagia. Kenapa dia harus seteliti itu mempertanyakan tentang noda lipstik itu. Wajarlah seorang suami mencari kesenangannya di luar sana kalau berada di rumah seperti dalam neraka.
Apalagi di kehamilannya kali ini sangat cerewet dan manja. Sudah tahu usia tak muda lagi masih saja hamil. Gak hamil saja aku malas pakai, apalagi dengan body yang melar seperti itu. Bisa membuat burungku tak mau bangun dan melempem kaya krupuk. Huch sebal sekali. Awas saja kalau dia berani melawanku, akan aku beri hukuman yang tak kan dilupakan seumur hidupnya.
Kuputuskan untuk pergi ke rumah istri mudaku. Sangat membahagiakan kalau aku mengingatnya. Dia adalah penyemangat hidupku. Bersamanya aku selalu gembira. Bibirnya yang ranum, tubuh indahnya yang sexi dan menggairahkan, oh benar-benar membuatku mabuk kepayang. Di usianya yang tak jauh dari usia putraku terasa sangat legit. Sulit di ungkapkan dengan kata-kata. Saat aku bersamanya, tak ingin melewatkan waktu sedetik saja untuk menyesap madu yang begitu manis. Oh aku sangat menikmatinya, sangat menggilainya.
Tak sabar untuk ke rumah Stefani yang berjarak hanya sejengkal dari rumahku. Segera membuka pintu. Bayangan indahku bersama Stefani menjadi musnah saat melihat kedua putra kembarku yang berdiri di balik pintu. Mukaku berubah masam melihat anakku yang berusia delapan belas tahun itu baru saja pulang. Kemana mereka malam-malam begini. Pasti baru pulang dari diskotek seperti kebiasaan yang kulakukan bersama stefani. Kenapa bisa hal buruk yang aku lakukan menurun kepada mereka? Bukankah mereka tidak tahu keburukanku. Ah, itu bukan salahku. Semua salah Miranti yang tak becus mendidik putraku. Percuma menyekolahkan mereka kalau hanya menjadi anak yang tak bermoral.
Kupasang wajah amarahku supaya kedua putraku takut. Entahh dengan cara apa aku harus mendidiknya untuk membuat mereka menjadi lebih baik.
“Umar, Amir darimana saja kalian tengah malam begini baru pulang? Apa kau mabuk-mabukkan dan pergi ke diskotik?!” tanyaku dengan berkacak pinggang di hadapan mereka.
“Enggak pah. Kami dari rumah om fajar ngerjain tugas. Laptop kita’kan rusak.” Jawab umar santai. Tak ada rasa takut sedikitpun kepadaku.
“Sejak kapan kau mulai belajar berbohong?!” teriakku di depan wajahnya.
“Tapi umar tidak bohong, pah. Umar bicara jujur, tanya saja sama Amir!” bantah putraku umar.
“Benar pah, Kak umar tidak bohong.” Jawab putaku Amir.
“Kalian bikin malu papah! Kenapa tidak bilang kalau laptop kalian rusak?! Minta mamahmu untuk membelikannya!”
“Umar sudah bilang sama Mamah. Tapi mamah bilang, lagi ngumpulin uang. Uangnya belum cukup untuk saat ini.”
“Alasan saja mamahmu itu. Dia sudah papah kasih duit. Minta saja padanya. Ingat, papah tidak mau kamu pergi lagi ke rumah Fajar! Papah tidak suka!”
“Tapi kenapa pah? Om Fajar orang yang sangat baik. Bahkan dia sering ngasih kami uang kok.” Jawab Umar putra sulungku. Dia lebih berani ketimbang amir. Entah sifatnya meniru siapa. Padahal miranti orang yang pendiam dan gampang dibodohi.
“Papah bilang tidak suka ya tidak suka! Aku papahmu dan turutilah perintahku!”
“Tapi mamah mengijinkan kami untuk dekat dengan Om Fajar! Dia orang yang sangat baik. Jadi papah jangan menuduhnya sembarangan!” teriak Umar di hadapanku. Anak itu benar-benar membuatku naik darah. Berani-beraninya dia membela orang lain daripada papahnya sendiri.
“Jaga bicaramu umar! Jangan berani melawan orang tua!”
“Umar tidak pernah berani melawan orangtua, kalau yang diajarkan benar! Lah ini, masa papah ngajarin umar untuk memutus silaturahmi dengan Om Fajar, teman papah sendiri! Itu kan lucu dan gak nyambung banget!”
“Umur, kecilkan suaramu! Kau sedang bicara dengan papahmu! Hormati aku!” aku makin naik pitam. Umar memang sangat berani. Bahkandia berani melawanku saat aku menghukum Miranti. Anak itu pernah memelintir tanganku saat aku menampar Miranti di depannya. Kurang ajar sekali anak satu ini. Beraninya melawan orang yang sudah berjuang keras mencari nafkah untuknya.
“Papah selalu minta di hormati. Tapi papah tidak pernah menghormati mamah dan juga menyayangi kami, anak-anakmu! Papah selalu sibuk dengan urusan di luar dan tak peduli pada kami!”
“Jaga bicaramu umar! Siapa yang mengajarimu untuk berani kepada orang tua?! Apa mamahmu yang mengajarinya?!”
“Jangan pernah salahkan Mamah. Aku sangat bangga dilahirkan dari rahim wanita seperti mamah. Tidak sepetti papah, aku bahkan menyesal punya ayah seperti papah!”
“Kurang ajar!” Tanganku mengepal. Aku sudah tak bisa menahan diri untuk memukulnya. Bukk, satu pukulan keras mengenai rahang Umar. Sengaja ku layangkan tinju untuk mendidiknya. Anak ini sungguh keterlaluan berani melawanku.
“Berhenti Mas!” ku dengar suara miranti. Aku menoleh ke arahnya yang sedang berlari menuruni anak tangga dan mendekat ke arah kami.
“Apa yang kau lakukan pada putraku?!” Miranti memukuli lenganku. Namun aku berhasil menguncinya.
“Siapa yang membuka pintu untukmu?! Aku sudah perintahkan untuk tidak keluar dari kamar!” aku benar-benar murka dengan sikap istriku yang tak menghargai perintahku.
“Tidak usah kau tanyakan itu! Satu kali lagi kau pukul anakku, aku akan hancurkan hidupmu, Arya wiguna!” aku melihat sorot mata istriku begitu mengerikan. Kilatan api kemarahn begitu nyata terlihat di sana. Belum pernah aku melihatnya seumur hidupku.nNamun aku tidak takut. Aku suaminya dan kepala rumah tangga. Siapapun tak bisa mengancamku termasuk juga Miranti.
“Aku memukul anakmu karena sudah kurangajar kepadaku! Apa kau yang sudah mengajarkan kepadanya untuk berani kepaku?!”
‘Tidak pah. Mamah tidak pernah mengajarkan kami seperti itu. Tapi sikap papah sendirilah yang membuatku berani melawan papah! Tidak sia-sia kakek memberiku nama umar. Aku harus menjadi seorang yang gagah berani sepeti umar bin khattab yang melawan kezaliman!”
“Tapi tidak dengan melawan papahmu! Makanya papah tidak suka kamu ikut acara rohani di sekolah, kalau hanya untuk melawan papah saja!”
“Cukup Mas! Jangan mengalihkan pembicaraan. Setidaknya dengan mengikuti kegiatan rohani di sekolah dia bisa tahu mana tentang kebenaran yang tak pernah di ajarkan olehmu!”
“Ya, dan umar jadi tahu, kalau ternyata tante-tante yang sering di kenalkan ke umar waktu umar masih kecil, ternyata selingkuhan papah! Dan papah berdosa besar karena sudah membohongi mamah!”
“Kurang ajar sekali umar lagi-lagi kau bicara bohong tentang papahmu!” ku layangkan lagi tinju ke arahnya. Namun istriku menghalanginya hingga aku kesal dan melampiaskan kekesalanku pada Miranti. Aku memukulnya tepat mengenai pipinya.
Aku puas telah memukulnya. Kulihat kedua putraku menolongnya. Aku hanya tertawa melihat kelemahan istriku.
“Makanya jangan berani melawanku Miranti. Kau hanya wanita lemah yang takkan mampu melawanku!”
Umar berdiri dan menatap ke arahku. Sorot matanya penuh amarah. Aku mundur selangkah. Masih teringat dalam memory otakku saat usianya masih lima belas tahun, dia pernah membantingku saat ku tampar Mranti. Tinggi badannya yang mencapai seratus delapan puluh senti dengan bobot tubuh yang proporsional membuat kekuatannya jauh melebihiku.
Dulu dia sangat menurut padaku dan berharap bisa melindungi seluruh keluargaku. Tapi kini dia seperti hendak memangsaku. Tidakkah dia lupa kalau aku ini papahnya. Aku bukannya takut. Namun melawannya pasti aku yang terkalahkan dan akan membuatku malu. Apalagi kalau stefani tahu. Bisa-bisa dia mengejek kejantananku.
4.KEDUA MANUSIA TERKUTUK
POV ARYA WIGUNA
Umar terus mendekat kearahku. Tak bisa hal ini di biarkan. Sebagai orangtua, tak boleh kalah oleh anak ingusan itu. Takkan kubiarkan anak itu menang melawanku.
“Mau apa kau, umar? Kau mau balas memukul papah?” tanyaku padanya.
“Umar tidak pernah membalas saat papah menamparku. Tapi papah sudah memukul mamah, dan aku harus membalasnya!” jawab putraku kalap.Anak nakal itu mengepalkan tangannya dan siap memukulku.
“Dia istri papah. Dan papah berhak memberinya hukuman!” jawabku tak mau kalah.
“Tapi tidak dengan memukul! Jangan pernah sakiti mamah, atau papah berhadapan denganku!” umar menekan leherku hingga sakit tak tertahankan.
“Jangan kurangajar kamu sama papah! Lepasin papah!” rasa sakit menekan seluruh syaraf leher dan juga tenggorokan, membuat kepalaku terasa berkunang-kunang. Kucoba melepaskan diri, tapi tangan juara taekwondo itu seperti besi yang sangat kuat.
“Sekarang, rasakan pembalasanku!” Umar mengarahkan tinjunya kepadaku. Kupejamkan mata dan siap menerimanya.
“Umar, jangan lakukan itu, nak!” terdengar teriakan Miranti menghentikan umar.
“Biarkan umar membalas perbuatan papah!”
“Jangan nak, dia itu papahmu. Hormatilah dia. Mamah tak pernah mengajarkanmu untuk tidak menghargai papahmu! Tenang, nak.” Miranti terlihat menenangkan umar. Perlahan, umar menurunkan tangannya. Tekanan pada leherkupun makin merenggang dan terlepas.
Aku memegangi leher yang terasa sangat sakit.
“Miranti! Kau sudah gagal menjadi seorang ibu! Kau menggalang kekuatan dengan putramu untuk melawanku! tetap saja dimataku kamu wanita lemah, walau kau menggunakan kekuatan apapun!” ancamku pada Miranti.
“Dengar, Arya wiguna!”
Aku terkesiap mendengar Miranti yang hanya memanggil namaku saja. Kurang ajar sekali dia.
“Kau mungkin berfikir aku lemah! Tapi kau lupa aku punya empat putra! Satu kekuatan mereka adalah sepuluh kekuatanku! Hanya dengan satu putra saja, kau sudah membutuhkan pertolonganku! Bagaimana kau bisa menghadapi ke empat putramu nanti, saat kau tak adil padaku!”
Miranti benar-benar membuatku kesal. Ingin rasanya memukulnya lagi. Dia memang perlu diberi sedikit pelajaran supaya tak terus membangkangku. Segera kutarik lengannya, namun umar melepas tanganku dengan paksa.
“Amir, lindungi mamah!” perintah umar kepada adiknya.
“Baik kak!” amir segera berdiri di depan miranti. Sedang umar berjaga-jaga jikalau aku akan memukul mamahnya. Baiklah, kedua anakku mulai berani melawanku. Aku akan memberi pelajaran kepada mereka nanti.
Kupandangi perut Miranti yang mulai membesar. Istriku menatap mataku dan tahu kearah mana aku memfokuskan pandanganku. Dia menutupi perutnya dengan tangannya seakan takut aku akan mencelakai anak yang ada dalam kandungannya. Aku memang tak mengharapkan anak lagi dari miranti. Empat anak laki-laki saja sudah membuatku muak terhadap mereka.
“Miranti! Aku harap anak dalam kandunganmu itu perempuan. Aku tak ingin punya anak laki-laki lagi yang hanya bisa menyusahkanku saja! Harus perempuan. Kalau bukan, jangan pernah lahirkan anak itu!” ucapku sambil pergi meninggalkannya.
“Cabut kata-katamu, Mas! Kau adalah seorang ayah! Ucapan adalah sebuah do’a!” ku dengar teriakan Miranti. Aku tak peduli. Aku takkan pernah mencabut kata-kataku. Biarlah anak itu tak pernah lahir, kalau hanya akan menyusahkanku saja.
“Mau kemana kamu, Mas?!” teriak miranti.
Masih saja ku dengar teriakannya memanggil namaku. Biarlah, aku tak perlu mempedulikan. Makanya jadi istri itu nurut sama suami, biar suami ganteng kaya aku ini gak ilang. Aku menggelengkan kepala dan semakin menikmati permainan ini. Ini baru awal Miranti, kau akan lebih menderita lagi setelah ini. Tunggu saja saatnya tiba.
Saat aku sampai di pintu gerbang, aku dikejutkan oleh seseorang yang menghadang jalanku. Wajahku memucat bagai mayat. Tak mungkin dia berani ke rumah tanpa perintahku. Lidah kelu, bibir terasa membeku tak mampu mengucap kata apapun. Sangat sulit untuk percaya dengan semua ini.
“Sayang, kenapa kau terkejut?” sapa wanita yang sangat aku gilai. Dia berpakaian begitu sexi dan transparan. Membuat gairah lelaki membludak.
“Kenapa kau datang kemari? Bisa bahaya kalau istriku tahu.” Bisikku lirih. Aku tak ingin miranti mendengarnya.
“Aku sudah lama menunggumu, tapi kau tak datang. Aku merindukanmu.” Bisik Stefani manja. Gadis berusia sembilan belas tahun itu mengedipkan sebelah mata genitnya.
“Tapi aku ....”
“Siapa Mas?” kudengar suara Miranti mendekat ke arahku.
“Mmm, ini .... anu ....”
“Oh, bu Arya. Ayo silahkan masuk.” Miranti begitu sopan menghadapi stefani. Dia belum tahu kalau wanita itu adalah madunya. Bahkan dia memanggilnya dengan nama Bu Arya seperti namanya.
“Iya, terimakasih bu. “ jawab stefani.
“Ini Bu Arya mas, tetangga kita yang baru. Beliau penghuni rumah sebelah. Dia baru saja pulang berbulan madu di bali bersama suaminya. Dan nama suaminya sama denganmu. Siapa tahu kita bisa berteman.” Miranti tersenyum. Aku tahu dia hanya berpura-pura baik di depan stefani. Aku terbatuk saat mendengar cerita Miranti. Jelas saja namanya sama, karena suaminya sama dengan suamimu. Miranti, miranti kasihan amat kamu.
“Silahkan masuk, Bu arya.”
“Terimakasih. Tapi saya cuma mau minta tolong, lampu di kamar saya mati. Saya mau minta tolong untuk menggantinya. Suami saya belum pulang, jadi saya sendiri dan tidak bisa menggantinya.” Jawab stefani tenang. Dia benar-benar pandai memainkan situasi, hingga istri bodohku percaya pada mulut manisnya.
“Oh, sebentar saya panggilkan anak saya. Dia anaknya tinggi, pasti bisa membantu.”
“Hmm tunggu!” stefani berusaha mencegah, tapi Miranti tetap saja masuk pasti untuk memanggil umar, perisainya.
“Aku menunggumu sampai lelah, kenapa kau tak datang sayang?” stefani mengalungkan tangannya di leherku dan melumat bibirku. Aku melepasnya.
“Jangan di sini. Bersabarlah, sebentar lagi mereka pasti tidur.”
“Baiklah sayang. Itu istrimu datang.”
Kami berbenah diri dan berpura-pura tak melakukan interaksi apapun.
“Mas, kamu saja yang bantu Bu Arya. Umar cape katanya.”
“Baiklah. Aku ... akan membantunya dengan senang hati.” Jawabku kilat.
Aku dan stefani saling memberikan kode dengan mengedipkan sebelah mata. Betapa bodohnya kau Miranti. Angin segar telah kau tiupkan dalam hubungan kami malam ini. Apakah kau juga tahu betapa aku sangat merindukan tubuh stefani. Aku takkan bisa tidur malam ini sebelum menjamahnya. Kau memang istri yang sangat mengerti kebutuhan suamimu. Terimakasih istri bodohku. Aku tersenyum sembari menatap ke arah Miranti.
“Kenapa kau masih diam? cepat bantu Bu Arya. Kasihan.”
“Baiklah. Mari bu Arya.” Aku mempersilahkan stefani untuk berjalan di depan. Tanpa menunggu lama aku mengekor di belakangnya. Aku bahagia, karena Miranti tak mencurigai kami sama seakali.
Setelah ku pastikan Miranti masuk dan menutup pintu, segera ku tarik lengan stefani dan mengunci pintu. Tak ingin berbasa-basi segera membawanya ke kamar dan melampiaskan kerinduan yang menghimpit dada. Terasa sangat indah dan membuatku terlena. Aku bahkan lupa akan waktu karena asyiknya permainan kami.
Saat hampir mencapai puncak terdengar bel yang berbunyi berkali-kali. Aku kesal dan marah saat kesenanganku terganggu. Lalu berniat untuk memarahi orang yang tidak sopan dengan memencet bel berkali-kali.
Namun stefani mengingatkanku, “ Sayang, biar aku yang buka pintu. Siapa tahu dia istrimu.”
“Oh Tuhan, kenapa aku bisa lupa.” Aku memukul keningku perlahan.
“Cepat kenakan pakaianmu. Itu kamu pegang lampu yang ada di meja.” Stefani segera berpakaian dan terlebih dahulu menuju dapur lalu menyalakan kompor. Entah apa yang akan dilakukannya. Aku segera berpakaian dan menguping dari balik pintu. Kulihat Miranti masuk dan terlihat sangat cemas.
“Bu Arya, kenapa pintunya di kunci? Mana suami saya?” Miranti seolah mulai curiga.
“Tadi saya dari kamar mandi, lalu memasak di dapur, jadi pintunya saya kunci. Takutnya ada orang masuk.”
“Suami saya mana?!” Miranti meninggikan suaranya. Sebelum situasinya semakin sulit, aku harus keluar dari kamar Stefani.
“Sudah selesai bu, saya pulang dulu.” Ucapku pada stefani.
“Oh iya, terimakasih pak.”
Kutarik lengan Miranti menjauh dari rumah stefani. Saat hampir mencapai pintu, Miranti melepaskan tangannya dengan paksa.
“Mas, kenapa kamu lama sekali?! Apa yang kamu lakukan dengannya?! Dia itu istri orang, jangan bikin malu!”
Beraninya Miranti berkacak pinggang di depanku. Benar-benar wanita menyebalkan.
“Tadi stop kontaknya juga rusak, jadi aku perbaiki juga. Sudahlah! males ngomong sama orang stress kaya kamu!” meninggalkan Miranti yang terus mengomel tak jelas. Aku tak peduli. Anggap saja ember bocor yang harus di buang, ha ... ha ...
Dasar wanita bodoh. Maunya aku kibulin. Bukan cuma lampu yang dibetulin, tapi pemilik rumah juga sekalian aku cash. Untung saja cuma sebentar, kalau kelamaan bisa meledak. Oh stefaniku. Sepanjang jalan menuju kamar, wajahnya selalu membayangiku. Aroma tubuhnya serasa masih melekat di tubuhku. Malam ini aku akan bermimpi indah bagai di taman surga. Aku mengunci kamar dari luar supaya istri bodohku tak masuk dan mengganggu istirahatku.
5. DATANGNYA BENALU
POV MIRANTI
Cape sekali rasanya pagi ini. Kurebahkan tubuhku pada sofa tamu. Anak-anak sudah berangkat sekolah. Artinya, pekerjaan pagi sudah terselesaikan. Untung saja putraku mau membantu pekerjaan rumah hingga tak harus menyelesaikan sendiri.
Ting tong, bel berbunyi. Dengan rasa malas, perlahan aku bangkit. Memegang perut yang sudah cukup besar. Tak sabar rasanya untuk segera melihat wajahnya. Lelaki atau perempuan sama saja. Yang penting lahir dengan kondisi sempurna, sehat dan selamat.
Ting tong, ting tong! Bel berbunyi berkali-kali hingga memekakkan telinga. Siapa sebenarnya pagi-pagi begini sudah bertamu. Mana gak sopan lagi. Huh, malas rasanya untuk membuka pintu. Bel berbunyi lagi dan pintu digedor dengan keras. Hal itu membuatku takut. Jangan-jangan ada rampok yang menyatroni rumahku.
“Ada apa sih brisik banget!” bentaknya.
“Itu mas, ada tamu. Tapi gak sopan banget.”
“Bukain dong! Punya tangan’kan?!”
“Aku takut. Kamu aja yang buka!”
“Haah, dasar istri sialan!”
Selalu saja suamiku mengumpat saat kesal. Di segera turun dan membuka pintu.
Tiga orang masuk tanpa permisi dan memaki dengan kesal. Ternyata ibu mertuaku bersama Nia, adik mas Arya dan juga Baron suaminya yang pengangguran Mau apa mereka kemari dan membawa tas koper banyak dan besar pula.
“Huuch, ada orang kok kaya gak ada! Punya kuping gak sih kamu Miranti?” ibu mertua memakiku. Aku sudah terbiasa dengan makiannya. Namun tetap saja, aku mencium tangannya.
Dulu saat masih miskin saja sudah sombong, apalagi sekarang setelah hidup bergelimang harta. Walau harta mereka dari suamiku yang berarti dariku, tapi mereka seperti kacang lupa akan kulitnya. Jangankan berterimakasih, hanya menyayangiku saja sebagai menantu juga sudah membuatku senang.
“Aku denger bu, Tapi’kan ngetuknya keras banget. Ya aku takutlah, kira’in ada rampok,” jawabku santai.
“Kurangajar kamu ngatain ibu mertuamu rampok!”
“Bukan begitu, maksudku ....”
“Sudahlah! Siapkan kamar dan juga sarapan untuk kami!” perintah ibu dengan seenaknya.
“Kamar? ibu mau menginap di sini? Berapa hari? Nia juga?” tanyaku beruntun. aku heran, tidak seperti biasanya mereka mau menginap di sini. Rumah kami memang berdekatan dan jarang sekali mereka berkunjung. Namun entahlah apa yang menjadi alasan mereka untuk datang kemari.
“Iya, rumah ibu lagi direnovasi. Jadi mereka nginep di sini sementara. Aku lupa belum ngomong sama kamu,” jawab suamiku santai.
“Renovasi? Bukannya baru di renovasi belum lama? Mau dibikin seperti apa lagi? Dan pakai uang siapa?” tanyaku kesal. Mas Arya sangat royal kepada mereka tapi pelit kepadaku dan anak-anak. Aku yakin uang yang digunakan pasti uang perusahaanku.
“Itu bukan urusanmu Miranti. Yang jelas aku bukan maling. Uang itu uang milikku,” jawab Mas Arya santai.
“Jelas ini jadi urusanku, karena kau pasti pakai uang restoran!” Aku tak mau kalah. Mas arya tak bisa seenaknya dalam menghambur-hamburkan uang. Aku harus bertindak mulai dari sekarang.
“Jaga bicaramu Miranti! Kau tidak sopan pada suamimu!” bentak ibu mertuaku.
“Iya, kurangajar sekali kamu sama mas arya. Makanya tidak salah mas arya mencari wanita lain!” seru Nia kepadaku.
“Nia!” Mas arya membentak adiknya.
“Apa maksud kamu Nia? Kau bilang tadi kakakmu punya wanita lain, begitu?!” tanyaku sembari menatap tajam ke arah Nia. Wanita menyebalkan itu menunduk. Lalu kualihkan pandanganku kepada mas arya. Dia terlihat gugup. Wajahnya memucat.
“Konspirasi apa yang sedang kalian mainkan?! Ingat ya, kalian makan dari uangku! Kehidupan kalian semua dari uangku, jadi jangan berani macam-macam!” ancamku kepada mereka termasuk mas arya.
“Jaga bicaramu Miranti! Mereka hidup dari hasil keringatku, bukan darimu!”
“Mas Aryaku tersayang! Dengar, kau begitu pelit kepadaku, aku masih diam walau aku tahu kau begitu royal kepada keluargamu, aku masih bisa terima. Tapi ingat, kalau sampai aku bisa membuktikan kau selingkuh dariku, kau akan tahu akibatnya!”
“Bisa apa kamu wanita hamil!” Baron melecehkanku.
“Diam kamu! ini bukan urusanmu!” menaikkan nada bicaraku pada pria pengangguran itu. Aku sangat membencinya semenjak dia melecehkanku saat mas arya bekerja. Pria berandalan itu berani-beraninya meremas dadaku. Sejak saat aku jijik dan tak ingin melihat bandot jelek itu. Wajahnya saja sudah menjijikkan, ditambah dengan otaknya yang mesum. Awas saja kalau berani macam-macam lagi padaku. Kau akan berhadapan dengan perisaiku.
”Hentikan bicaramu! siapkan sarapan untuk kami dan juga kamar untuk mereka!” kata suamiku penuh penekanan.
“Tidak! Kalau kalian mau, bisa masak sendiri! Aku bukan pembantu! Dan kalau kalian mau menginap di sini, tidur saja sesuka kalian! tak ada kamar di sini!” aku pergi meninggalkan mereka dengan membawa kekesalanku. Namun belum sempat melangkah jauh, mas arya menarik lenganku dengan kasar.
“Jangan kurangajar kamu! cepat sediakan makanan untuk kami atau ....”
“Atau apa?! Kau kan banyak uang, beli saja! jangan merepotkanku!”
Mas Arya mengepalkan tangan. Dia terlihat marah. Aku tak peduli. Cukup sudah aku mengalah selama ini. Kelakuan suamiku dan keluarganya sudah keterlaluan. Selama ini aku diam, tapi semakin hari semakin menjadi. Mereka makin tak menghargaiku.
“Ingat Mas, aku tak akan membiarkanmu berbuat semaumu! Kau pikir restoran itu milikmu hingga berani sekali menghambur-hamburkan uang untuk sesuatu yang tak penting! Kebutuhanku dan anak-anak saja kau abaikan, tapi kau lebih mementingkan keluargamu! Ingat, aku takkan tinggal diam!”
“Kau salah Miranti! Lima restoran yang berhasil aku kembangkan, adalah milikku! Aku yang membuatnya ada, bukan dirimu ataupun orangtuamu! Dasar bodoh, tak tahu bisnis!”
“Kau yang bodoh, mas! Dalam sebuah bisnis, cabang itu menyatu dengan pusat. Mau kau buka cabang di manapun selama masih memakai bendera yang sama, itu menjadi milik pusat. Aku akan menemui pengacara perusahaan untuk menjelaskannya kepadamu!”
Wajah suamiku merah padam. Sepertinya dia sangat marah. Aku tak peduli, semua harus kembali berada di bawah kendaliku sebelum suamiku dan keluarganya yang serakah itu menghancurkannya. Kasihan ayah dan ibu yang dengan susah payah sudah membangunnya dari nol kalau sampai jatuh ke tangan orang yang tidak tepat.
Suamiku kini sudah berubah. Dulu saat aku mempercayakan pengelolaan restoran kepadanya yang seorang pengangguran, dia begitu giat bekerja. Seluruh gajinya diserahkan kepadaku hingga bisa membeli rumah yang kami tempati dengan keringat Mas Arya. Orangtuaku bisa saja membelikan rumah kepadaku. Tapi suamiku menolak. Dia ingin membangun rumah untukku dari hasil kerja kerasnya. Aku sangat menghargai dan bangga padanya.
Kini setelah dua puluh tahun menjalani biduk rumah tangga, suamiku mulai berubah dan banyak tingkah. Awas kau mas arya, aku akan membalas semua perbuatanmu kalau kau berani menghianatiku.
“Dengar Miranti! Aku pastikan, kau takkan menang melawanku!” Mas Arya membalikkan badan dan meninggalkanku.
“Tunggu! Sudah hampir enam minggu, kau belum memberikan uang bulanan untukku. Mana?” aku mengulurkan tanganku menagihnya.
“Tak akan aku beri sepeserpun uang untukmu! Biar kau kelaparan!” Mas arya tersenyum sinis dan melanjutkan langkahnya.
Namun aku tak mau kalah. Kutarik bahunya hingga langkahnya terhenti. Hampir saja tubuhnya yang tinggi besar menimpaku.
“Miranti! Kau apakan anakku?! Berani-beraninya kau membuatnya hampir terjatuh! Dasar menantu kurangajar!” Ibu mertuaku hampir menamparku. Namun aku menahannya dengan memegang lengannya.
“Aku hanya menariknya dan ingin bertanya kenapa dia tak memberikan hakku untuk bulan ini. Itu saja!” kulepas lengan ibu dengan kasar.
“Miranti! Beraninya kau terhadap ibuku! Ingat, Selama ibu di sini, aku akan memberikan uang jatahmu kepadanya! Biar ibu yang mengaturnya! Itu hukuman untukmu Miranti!”
“Tidak bisa begitu dong! Kau tidak adil padaku! Dan aku tidak setuju mereka tinggal di sini!”
“Aku tidak peduli! Ibu, silahkan tidur di kamarku! Dan Nia kau tidur di kamar umar dan amir! Pergilah!” mas arya benar-benar keterlaluan. Dia bahkan tak memikirkan aku dan anak-anak akan tidur di mana. Dia lebih memilih ibu dan adiknya yang nyaman daripada aku dan anak-anak. Kamar hanya ada tiga tak mungkin kami berlima tidur dalam satu kamar. Tidak bisa di biarkan, aku harus melakukan sesuatu untuk mencegah mereka.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
