
Deskripsi
Chapter-chapter akhir.
TAMAT
8,457 kata
Dukung suporter dengan membuka akses karya
Pilih Tipe Dukunganmu
Sudah mendukung?
Login untuk mengakses

Selanjutnya
DEK AYA (Tamat)
13
11
Cerita Receh tapi menggemaskan.Genre: Komedi Romantis***Bab 1 – 15 bisa dibaca gratisBab 16 – 25 (tamat)Selamat membaca dan terima kasih atas dukungannya🙏 Bab 11 Aku ingat sore itu pukul 15.55 wib. Seorang perempuan muda turun dari motor matic-nya, persis saat aku baru selesai menyapu halaman. Cuaca sedang bagus dan cerah. Hanya saja kemarau kali ini, angin terlalu banyak, membuat semuanya jadi cepat sekali berdebu. Aku juga ingat warna helm yang dikenakannya — begitu eye shocking, kata anak jaman sekarang. Kuning cetar. Kontras dengan raut wajahnya yang lembut nan anggun. Perempuan itu berjalan gemulai menghampiriku yang berdiri di bawah pohon kersen dengan pulasan lengkung alis berwarna coklat tua yang sudah memudar. Biasalah, kalau sudah sore begini, satu per satu riasan wajah akan perlahan luntur, entah kena keringat atau kena gesekan benda lain. Meski begitu, tak sedikit pun mengurangi kecantikan wajahnya. Ia mirip model iklan sampo yang kerudungnya menarinari lembut ditiup angin. Entah bagaimana, aku sering mengira kerudungnya lah, yang dikeramasi produk sampo itu, sementara rambutnya sendiri, sudah keramas atau belum, tak ada yang tahu. Kiosnya dikontrakin ya, Mbak? tanyanya seraya menjabat tanganku dengan genggaman hangat. Aku tersenyum, mengangguk dan menyambut uluran tangannya. Ya. Dalam hati aku tersenyum geli, pada kenyataan; orang-orang yang datang, selalu bertanya untuk sesuatu yang tak perlu dijawab. Seperti pertanyaan template usang. Jelas-jelas kiosku tertera tulisan Dikontrakan dengan huruf besar-besar, toh tetap saja pertanyaan itu muncul. Mungkin untuk alasan semacam inilah basa-basi terpaksa diciptakan. Ah, siapa peduli, yang penting semoga saja kali ini kiosku laku. Boleh saya lihat dalamnya. Tentu saja. Aku meletakkan sapu lidi di batang pohon dengan tumpukan daun kering di bawahnya, dan bersiap mendampinginya melihat-lihat kios yang sudah dua bulan ini kosong. Ia sempat kikuk ingin membuka sepatunya ketika masuk kios. Pakai saja, Dik, debunya banyak. Dari samping, aku melihat matanya tampak berkaca-kaca. Kupikir, mungkin karena ia mengendarai sepeda motor. Biasalah, kena debu atau angin yang terlalu kencang. Kasihan, perempuan semampai berparas cantik ini beberapa kali sampai harus mengusap mata dengan ujung kerudung biru lautnya. Aku jadi khawatir, jangan-jangan, pas di jalan tadi, matanya kena serangga atau apalah begitu. Aku pernah mengalaminya, dan percayalah, itu perih sekali. Adek kena serangga ya? Matanya sampai merah, berair gitu, mau cuci muka dulu barangkali? Lah, kok, perempuan ini malah makin mengusap matanya, dan terus mengusap, karena air matanya tak bisa dibendung. Mengalir terus. Saat itu juga aku langsung tahu, sebenarnya perempuan ini bukan terkena serangga, tapi sungguh-sungguh menangis. Atau, jangan-jangan dia berhenti dan bertanya tentang kios untuk alasan saja, hanya karena ingin menumpahkan air matanya di sini, mungkin saking tak kuat menahan perasaan sedih sambil berkendara di jalan. Akan aneh, berkendara sambil menangis. Melihat situasi ini tentu saja aku jadi bingung harus bersikap bagaimana. Mau bertanya kok sungkan, tidak bertanya, kok, canggung. Alhasil aku diam, tapi canggung. Maafkan saya Mbak, saya nggak bisa tahan ini. Saya juga nggak tahu, malah nangis gini, katanya. Saya ngerti Dek. Kalau gitu biar saya tinggalkan adek sendiri dulu, biar lega, kataku mencoba mengerti dengan memberinya ruang. Jangan Mbak, saya memang sungguh-sungguh tertarik kios ini. Saya ini baru dicerai suami. Saya mau bangkit dan mulai hidup baru. Saya mau usaha kecilkecilan. Mudah-mudahan rezeki saya, bisa berjodoh dengan kios ini. Saya cuma masih merasa sedih saja, jadi maafkan, Mbak harus melihat saya menangis, urainya. Sebenarnya aku masih merasa canggung menentukan sikap, aku tidak mengenal perempuan ini dan kaget juga ia bicara blak-blakkan tentang masalahnya, tetapi sebagai sesama perempuan, aku jatuh iba padanya. Ia melakukannya, pasti saking tidak kuat menanggung kesedihan. Ia benar-benar sedang sedih, tapi harus segera menata hidup dan move on. Aku bisa merasakan bagaimana beratnya membangun puing-puing yang hancur dari awal. Saya akan senang kalau bisa jadi jembatan rezeki Adek. Biar saya ambil minum untukmu, sambil Adek melihat-lihat. Terimakasih Mbak, saya memang haus, sahutnya berusaha tersenyum, tapi malah kelihatan tersipu malu. Aku masuk kedalam membuatkan secangkir teh hangat, juga membawa beberapa persediaan camilan. Perempuan itu kelihatan senang aku bawakan teh hangat, dan tampak lebih tenang setelah minum beberapa sesap. Kemudian kami mengobrol seputar kios, juga melakukan tawar menawar harga. Kelihatan sekali perempuan ini sungguh-sungguh tertarik, karena kami tak terlalu alot bernegosiasi. Lagi pula dia seperti bukan tipe perempuan yang ngotot. Perangainya terlihat lembut dan anggun. Bodoh sekali laki-laki yang menyia-nyiakannya. bisikku dalam hati. Mah, kunci mobil ditaruh di mana, sih, tadi abis pakai, kan? Terdengar suamiku berseru dari luar. Aku merogoh saku pakaian, Iya, Pah sama aku, Terdengar suara langkah khasnya menuju ke mari. Langkah dengan suara sandal yang diseret. Menyebalkan, tetapi jutaan protesku sia-sia, ia tak bisa mengubah kebiasaannya itu. Suamiku malah balik protes dengan mengatakan, protesku salah tempat dan waktu, seharusnya aku protes ketika ia masih kecil. Mana bisa mengubah kebiasaan yang berurat-akar sejak bocah. Aku malas berdebat, sebab ia pasti akan menyerang balik; pada cara bicaraku yang terlalu cepat, atau Mana, Mah? kata Suamiku, kepalanya menyembul dari balik tembok dinding rolling door. Praaaangg! Tiba-tiba cangkir yang dipegang perempuan itu jatuh. Aku refleks melompat oleh pecahannya yang terlempar dekat ke kaki ku. Matanya yang sembab tampak tertegun. Eh bukan, lebih tepatnya terbelalak kaget menatap Suamiku. Kutengok Suamiku juga begitu. Dia pun sama kagetnya. Mulutnya separuh menganga. Mereka berdua seperti sedang melihat sosok hantu satu sama lain. Perlahan raut wajah suamiku berubah. 2 Melihat mereka saling tatap dengan ekspresi aneh, aku langsung tegur suamiku.
Pah, kok malah bengong, sih. E, e, iya, kirain nggak ada tamu, jawabnya cengar-cengir tak jelas, sebelum akhirnya berlalu dari kios setelah menerima kunci.
Pandanganku beralih pada perempuan cantik yang baru saja memecahkan cangkirku. Kenapa Dek, kok segitu kagetnya lihat suami saya.
Dia mendadak seperti orang linglung, saya cuma kaget, sekaligus tak sangka suami Mbak kok mirip sekali sua ... maksud saya mantan suami saya, cuma beda di anu ... mantan saya lebih muda, suami Mbak sudah ubanan dan banyak kerutan, perutnya juga buncit sementara Suami saya tidak. Maafkan saya pecahin cangkirnya ya, Mbak, saya kaget.
Aku manggut manggut mengerti setelah dia menjelaskan panjang lebar. Jadi gimana Dek, mau depe sekarang? tanyaku mengalihkan ekspresinya yang kembali murung.
Dia menatapku lekat, lama sekali. Aku kembali bingung dan mulai bosan bolak-balik bingung. Tiba-tiba dia menangis tersedu. Bahunya sampai terguncang-guncang karena sesegukan. kemudian dia menutupi wajah dengan telapak tangannya. Mau tak mau aku bingung lagi.
Lho kok Adek nangis lagi, kataku terbawa sedih.
Dia tidak menjawab cuma mengangkat sebelah tangannya, seolah ingin bicara, sebentar Mbak saya nggak bisa ngomong. Aku coba memahami saja dan mengusap punggungnya untuk sekadar menenangkan dia. Melihat air mata sederas itu, dan sampai sesegukan, pasti sesuatu menyesakan dadanya, sampai-sampai untuk bicara saja tak sanggup —- tentu merontokan hati yang melihatnya. Kesedihannya sangat dalam, karena dia betul-betul terlihat tidak berdaya, lemah dan sangat rapuh. Saking terhanyutnya aku sampai berbisik dalam hati, 'Ya Allah kuatkanlah hati Adek ini, tegarkan jiwanya, lapangkan dadanya menerima ikhlas.'
Krossssak gedebug!
Tiba-tiba suara gaduh dari samping kios membuyarkan doaku. Siapa disitu? Papah, ya?
Iya, nih, Mah, siapa, sih, yang naruh kayu sembarangan, Papah kan jadi terantuk, teriak Suamiku menjawab tanpa menampakan wajah.
Loh, katanya mau pergi, kok masih di situ? seruku lagi. Iya, ini juga mau pergi. Oke, hati-hati ya, Pah. Oke, Mah.
Setelah itu aku cuma mendengar langkah kakinya menjauh. Maaf, ya, Dek, kataku tak enak, karena telah membuat percakapan gaduh tadi. Perempuan cantik itu mengangguk anggun.
Tiba-tiba air mukanya perlahan berubah. Muramnya dia tanggalkan, sekarang yang ada hanya tatapan tajam dan keras, sekeras dia menyeka air mata di pipinya. Begitu kerasnya, aku takut pipi mulusnya lecet. Lalu, dengan tegas, eh, tapi agak marah sih, jika kuperhatikan nadanya.
Dia bilang, Saya harus kuat, kan, Mbak, nggak boleh lemah. Oke, saya mantap ambil kios ini! Tangannya merogoh tas. Dikeluarkannya beberapa lembaran uang kertas dari dompet warna abu-abu miliknya, Ini Mbak depe-nya, dua hari lagi saya lunasi, pas, saya masuk, katanya tegas sambil menyerahkan uang.
Tak ada lagi air mata. Atau wajah yang murung, berganti wajah yang berapi-api. Mungkin tekadnya sudah bulat untuk menyambut lembaran baru hidupnya. Tapi, saking semangatnya malah agak kebablasan, jadi seperti wajah penuh kemarahan.
Iya, Dek, semoga berkah, ya. Sebentar, saya bikinkan kuitansi, kataku. Tidak usah Mbak, saya percaya sama Mbak, besok saja pas saya masuk, sekalian dengan pelunasan.
Oh gitu, baiklah Dek. Saya pamit, ya, Mbak. Saya mau siapkan perang mulai malam ini?
Perang? tanyaku tak mengerti.
Iya, mbak, mulai sekarang saya harus berperang melawan kesedihan dan move on! serunya.
Kaget juga aku melihat semangat menggebunya sampai membuat suaranya nyaris berteriak seperti itu. Harus Dek, harus bisa! jawabku ikut semangat.
Terimaksih dukungannya Mbak, saya pamit dulu, pungkasnya sambil memasukan kembali dompetnya. Sesuatu melayang sebelum dompetnya masuk. Seperti selembar pas foto.
Itu suaminya, Dek, coba lihat seberapa mirip sama suami saya, sih.
Dia buru-buru pungut lembar serupa pas foto itu. Ah, sudah nggak penting lagi, nggak mirip-mirip amat seperti yang Mbak duga kok, saya saja yang lagi kacau, katanya seperti terburu-buru. Aku hanya mengangguk mengerti, lalu mengantarnya ke sisi trotoar, di mana motornya terparkir.
Ketika tubuhnya menghilang, giliran aku sekarang yang penasaran dengan gambar itu. Entah lah, sepertinya aku merasa pernah melihatnya di mana, begitu. Tapi buru-buru aku tepis pikiran aneh-aneh itu. Lagi pula, aku cuma melihat sekilas gambar serupa pas foto itu.
*** 3 2 hari kemudian Pagi-pagi sekali Adek cantik nan anggun itu sudah datang bersama mobil pick up sewaan. Membawa banyak barang seperti, etalase dan lain-lain. Oya, nama Adek itu Gayatri. Keren kan namanya, seperti nama istri satu-satunya Raden Wijaya. Cuma Gayatri yang memberi keturunan pada sang Raja Majapahit. Maka dari itu, Gayatri berhak atas tahta Raja sepeninggal Raden Wijaya. Tapi dia memilih mundur dari hingar bingar dunia. Cewek hebat ya, tidak silau kilau duniawi. Sepertinya nama itu memang cocok disandang Adek penyewa kios ku ini. Dek Gayatri minta dipanggil Aya saja.
Hari ini dia terlihat lebih ceria di banding dua hari yang lalu. Aku bisa melihat semangatnya meskipun matanya tampak masih sembab —- semalaman pasti dia menangis. Tapi aku yakin, setelah sibuk dengan kios sotonya ini, perlahan lukanya akan sembuh. Aku jadi ingin sekali sotonya laris manis, dan mendoakannya diam-diam. Tak ada ruginya juga buatku mendoakannya, kalau laris, kan kiosku akan panjang di sewa Dek Aya.
Dia tak langsung buka di hari pertama kepindahannya, tapi lebih banyak menata sedemikian rupa barang-barangnya. Dari mulai lesehannya yang ditata cantik dengan bantal duduk warna maroon, serta meja-meja yang dialasi kain warna senada. Dia juga menggantung beberapa barang hias yang membuat kiosnya jadi bagus dan nyaman untuk disinggahi. Nah, pas ingin memasang lampu baru dengan yang lebih terang, Dek Aya agak kesulitan. Dia takut kesetrum atau apa, sementara tukang yang membantunya sudah keburu pulang.
Sudah, biar Suamiku saja yang bantu ya, sebentar saya panggilkan.
Aduh jangan Mbak beneran, yang lain saja.
Dia kelihatan kikuk bagaimana begitu. Aku pikir karena mungkin tak enak ngerepotin. Tapi aku memaksa, karena tak ada orang lain juga yang bisa membantunya di jam menjelang magrib seperti ini. Maklum ini kota kecil. Pas magrib tak enak rasanya minta tolong orang.
Jangan, Mbak, biar besok saja, toh belum resmi buka, nanti saja kalau pas mau buka. Dia buru-buru menyambung kalimatnya yang sempat menggantung tadi.
Ya sudah bilang saja nanti kalau butuh, biar Suami saya saja yang bantu pasang lampunya. Iya Mbak gampang nanti, terimakasih.
Aku pun pamit karena hari tambah gelap. Sampai di dalam rumah aku bilang Suamiku, Pah Dek Aya yang sewa kios baru itu, besok tolongin pasangin lampu, dia mau tukar sama yang lebih terang katanya.
Duh Mah, cari yang lain saja deh, lagian ngapain sih Mamah terima dia, bikin repot kayaknya orangnya.
Ya ampun si Papah, orang dimintain tolong begitu saja kayak disuruh ngangkat gunung, apa sih susahnya ganti lampu.
Suamiku tak menjawab, tapi sejak kemarin dia memang sering gelisah. Seperti banyak pikiran. Mungkin sedang banyak masalah di pabrik. Oya, aku belum cerita, selain tiga kios, kami juga memiliki pabrik Tahu. Tidak besar tapi Alhamdulillah cukup menyangga penghidupan kami selama ini. Produksi kami biasanya untuk kulakan para pedagang pasar di sini, beberapa pasar kecamatan lain malah. Aku semakin yakin kalau suamiku sedang ada kendala urusan pabrik, ketika esoknya dia sudah berangkat pagi-pagi sekali, pukul enam lewat sedikit —- lebih pagi dari Dek Aya yang datang dengan belanjaan penuh di motor maticnya. Sampai sore sekali suamiku baru pulang. Biasanya, pukul tiga atau empat sudah santai di rumah, tapi kali ini matahari sudah hilang cahaya senjanya, suamiku baru muncul. Saat dia pulang, aku sedang membantu Dek Aya memasang spanduk. Dek Aya yang memaku, aku yang memegangi ujung spanduknya.
Pah tolongin maku sini, seruku ketika melihat Suamiku datang dengan motornya. Pabrik kami memang tidak terlalu jauh dari sini.
Anu Mah, mau mandi keburu malam, nanti saja, ya, ujarnya ingin cepat-cepat ngeloyor pergi. Secepat itu juga aku mencegahnya.
Eiitt, sebentar aja, nggak lama juga, cuma maku kok.
Akhirnya Suamiku mengalah dan mendekat ke arah kami. Tanpa membuka helm, Suamiku mengambil alih paku beserta godamnya dari tangan Dek Aya. Wajah Dek Aya mengeras. Mungkin dia sungkan juga.
Buka napa sih Pah helmnya, jadi aneh liatnya. Biar saja nanggung, jawabnya singkat, lalu memulai memaku.
Sekonyong-konyong Dek aya bersenandung, tak terlalu jelas, tapi suaranya lumayan merdu dan lembut. Mungkin Dek Aya sedang mencairkan suasana agar lebih terkesan hangat dan akrab. Lagunya juga sedang hits di radio-radio. Aku sering mendengar lagu milik Didi Kempot itu, cuma judulnya tidak tahu. Lagunya kurang lebih begini 'Koyo ngene rasane wong kang nandang kangen Rino wengi atiku rasane peteng Tansah kelingan kepingin nyawang Sedelo wae uwis emoh tenan Cidro janji tegane kowe ngapusi Nganti sprene suwene aku ngenteni Nangis batinku nggrantes uripku Teles kebes netes eluh neng dadaku sakno... sakno... Dudu klambi anyar sing nang njero kamar Nanging bojo anyar sing mbok pamerke aku.'
Ya ampun suaramu merdu, Dek, lagi ngetop itu lagunya. Kok bisa pas liriknya ya, tapi Dek Aya janji kan mau PERANG, ujarku memberi penekanan kata perang untuk memberinya semangat.
Gubraaaag!
Tiba-tiba Suamiku terjatuh dari kursi yang diinjaknya sebagai tumpuan.
Waduh Pah, hati-hati dong, nggak apa-apa kan, Pah?
Nggak! Nggak apa apa, makanya Mamah jangan suruh-suruh kalau lagi capek gini, Papah kan juga butuh move on, capek Mah sama ruwetnya di pabrik.
Widih pake bahasa move on segala. Suamiku sebenernya kesal, tapi aku melihatnya malah kocak. Lha gimana, dia bicara setengah kesal gitu, tapi pakai helm full.
Ya maaf, Pah, jangan bilang gitu nggak enak sama Dek Aya, nanti dianggap Papah nggak ikhlas nolongnya, ujarku jadi canggung. Apalagi melihat ekspresi Dek Aya yang wajahnya jadi merah padam. Dia pasti malu sudah membuat susah induk semangnya.
Eh, Suamiku juga tak ada basa-basinya bilang apa kek gitu. Malah ngeloyor pergi begitu saja tanpa pamit. Untung spanduknya sudah terpaku sempurna.
Maafkan lho Dek Aya, Suami saya memang begitu orangnya suka ceplas-ceplos. Aslinya baik, kok, dia cuma akhir-akhir ini sedang pusing urusan pabrik saja, kataku mencoba menjaga perasaannya.
Rata-rata laki-laki memang gitu kok, Mbak, saya maklum, mereka suka saklek.
Iya benar, kadang-kadang saklek, jawabku.
Kami terkekeh bersama. Aku merasa lega dia bisa santai lagi. Cuma, cara dia tertawa agak aneh kalau diperhatikan. Lebih seperti seringai sinis dibanding terkekeh. Jadi agak mengganggu kemolekan wajahnya yang cantik rupawan. Tapi sudahlah, bukan kah tak ada gading yang tak retak.
Tiba-tiba suara Suamiku lamat-lamat terdengar. Dia menyanyi lumayan keras, apalagi kamar mandi kami memang tak terlalu jauh dengan Kios. Cuma ... suamiku memang suka bernyanyi di kamar mandi, tapi kayaknya tidak pernah sekeras itu. Ah, biarlah dia melepas suntuknya. Pergilah kau pergi dari hidupku Bawa semua rasa bersalahmu ... Aku terkikik geli, sudah ya Dek Aya, saya pamit, mau siapkan makan malam dulu, kataku sambil tersenyum simpul karena mendengar suara suamiku bernyanyi barusan.
Iya Mbak, makasih ya, jawabnya pendek. Tapi aduh matanya berkaca-kaca lagi, wajah murung itu seperti mendadak datang.
Tuh kan katanya mau perang, kok mau nangis lagi, ayo PERANG! seruku menguatkan
Iya Mbak, PERANG kita! Yesss! Gitu dong, sipp!
*** 4 Gelagat Suamiku makin lama makin aneh. Entah kebetulan atau tidak, aku sering menangkap hal ganjil, terutama sikapnya terhadap Dek Aya. Suamiku sepertinya kurang suka Dek Aya. Beberapa kali Suamiku sering terpergok menghindar jika berpapasan dengan Dek Aya.
Pernah suatu waktu, di hari Minggu pagi, ketika dia sedang asyik di halaman dengan hobi berkebunnya. Seperti biasa, Suamiku selalu ceria merawat tanaman-tanaman kami. Kadang sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Suaranya memang fals, tapi aku selalu suka caranya menikmati akhir minggu. Dia terlihat lebih santai dan semeleh kata orang Jawa, dibanding hari-hari lainnya.
Namun, semua itu mendadak lenyap ketika Dek Aya datang membawa sapu. Karena Kiosnya terletak di tengah, jadi dia lah yang sering membersihkan daun-daun kersen kering yang sering mengotori teras sampingnya. Terasnya itu sejajar dengan halaman kami, dimana tanaman-tanaman tumbuh dengan subur.
Bayangkan, padahal Suamiku sedang menyirami tanaman-tanaman itu, bisa-bisanya dia langsung melepas selang air begitu saja yang sedang menyala. Lantas wajahnya sengaja dipalingkan dengan gerakan kasar dari pandangan mata Dek Aya — yang pasti juga tak sengaja menatap Suamiku. Suamiku langsung ngacir, tanpa sempat mematikan kran air, masuk ke dalam rumah dan tak keluar lagi sampai sore. Sekali.
Yang kedua saat mereka mau tak mau berpapasan lagi, pas Suamiku mau menyeberang beli sesuatu ke toko kelontong depan, dan Dek Aya juga pas mau ke belakang kios untuk mengambil peti kemas berisi bahan untuk keperluan sotonya. Suamiku tak bisa menghindar sama sekali. Waktu itu secara reflek dan hampir bersamaan, mereka saling membuang muka. Tingkah mereka benar-benar seperti anak kecil yang sedang bermusuhan.
Nah, yang ketiga, justru terjadi padaku. Waktu itu aku mau mengangkut sampah rumah, ke depan, ke tempat tong penampungan sampah. Di pinggiran tong sampah itu lah, tanpa sengaja aku temukan sobekan foto hitam putih, tapi tidak lengkap. Beberapa potongannya sudah hilang. Tahunya bahwa foto itu tak lengkap, ya, pas aku iseng menyusun kembali sobekannya itu. Kupandang berlama-lama sambil menyusun sobekan-sobekan itu. Bagian mata hanya seperempat, hidung setengah, hanya bagian bibir, pipi dan kening saja yang utuh. Semakin lama menatap foto itu, aku makin terpengaruh ucapan Dek Aya kalau foto yang disobek-sobek itu adalah foto mantannya yang mirip Suamiku. Memang mirip juga sih kalau diperhatikan. Terutama lekukan bibir, pipi dan keningnya.
Lagi apa Mbak, kok jongkok di tempat sampah? Suara Dek Aya langsung membangunkan aku dari aksi pengamatan ini.
Eh ini Dek nggak sengaja lihat sobekan foto, kayaknya punya Dek Aya, deh, jadi iseng nyusun lagi gambarnya, habis penasaran, jawabku tersipu karena malu kepergok.
Ya ampun Mbak, saya waktu itu memang sedang kacau. Jangankan suami Mbak, monyet sekalipun kalau malam itu ada, pasti saya anggap mirip mantan Suami saya, kata Dek Aya, lalu tergopoh memunguti sobekan foto itu, lalu disobeknya lagi jadi potongan kecil, kemudian semakin kecil lagi.
Habis penasaran, Dek, kata ku masih merasa malu.
Sepeninggal Dek Aya yang kembali ke kios — ada sepasang anak muda datang, tiba-tiba rasa cemas mulai menyergapku pelan-pelan. Bagaimana kalau benar mirip? Atau, Ah, jangan-jangan Suamiku ... Dadaku langsung berdebar, apa iya? Masak sih? Bagaimana bisa? Pikiranku mendadak gaduh sendiri. Maklum, kalian tahu lah dinamika orang berumah tangga itu, meleng sedikit saja, apapun bisa terjadi. Ish, amit-amit! Astagfirullah ...
Begitu semrawutnya suasana hati, aku memutuskan menanyakan langsung pada Suamiku saat itu juga. Tidak langsung mengumbar kecurigaanku, tapi nyerempet-nyerempet dulu lah.
Pah, kenapa sih kayak kelihatan nggak suka sama Dek Aya? Suamiku diam saja, matanya sedikitpun tidak beranjak dari tumpukan faktur.
Pah!
Suamiku menoleh, Perasaan biasa aja deh, Mah, Papah cuma malas terlalu dekat sama yang sewa kios, jaga jarak aja. Nggak cuma sama dia, yang lain juga, biar saling sungkan satu sama lain, jawabnya santai, masih tanpa menoleh.
Tapi Mamah nggak sengaja melihat potongan foto bekas mantannya Dek Aya yang disobek-sobek, dan mirip sekali wajah Papah, kataku.
Suamiku tertegun. Tangannya berhenti menekan-nekan kalkulator. Kemudian bengong, dan menatap kosong. Ekspresinya tidak bisa ku pahami.
Pah! panggilku. Iya, foto apa sih, nggak usah aneh-aneh deh, kata Suamiku. Kali ini matanya mengarah padaku. Sekilas aku melihat kertas yang dipegangnya bergetar.
Ih, tuh Papah gemetar lagi, sudah berhenti, jangan ngurusin kerjaan terus, sih. Stres nanti. Sudah sini istirahat nonton tv, kataku.
Suamiku tidak membantah. Dia kemudian membereskan segala macam faktur dan mendekat ke sofa, dan duduk di sampingku.
Mbak, assalamualaikum, di dalam nggak? seru sebuah suara dari arah pintu dapur. Suara yang kukenali sebagai suara Dek Aya. Aku pun beranjak kesana.
Iya, ada apa, Dek?
Maaf lho Mbak mengganggu, bisa pinjam sendok garpunya dua pasang saja. Saya cari bungkusan karton sendok yang baru saya beli, kok ya, nggak ketemu, pas ramai lagi, katanya dengan wajah rikuh.
Nggak papa, pakai saja sementara punya saya, sampai punya Dek Aya ketemu. Aku pun cepat-cepat mengambil sendok di laci, takut pelanggannya menunggu terlalu lama.
Kamu tuh, ya, jangan coba-coba ganggu pabrik saya, kita sudah tak ada kerjasama lagi, urus saja urusan masing-masing!
Suara Suamiku tiba-tiba menggelegar dari arah ruang tengah. Aku dan Dek Aya reflek menengok ke ruang tengah sampai leher kami menjulur bersamaan di balik partisi pemisah ruangan tengah dengan area dapur. Ternyata Suamiku sedang menelepon seseorang. Wajahnya kelihatan marah sekali. Itu pasti urusan genting, begitu pikirku.
Saya pamit dulu Mbak, nggak enak sudah di tunggu yang mau makan, ujar Dek Aya terburu-buru. Aku mengangguk. Aku masuk kembali ke ruang tengah setelah menutup pintu dapur. Suara Dek Aya yang bersanandung masih bisa kudengar jelas. Yowis ben nanana sing galak ( biarin deh nanana tuh galak) Yowis ben sing omongane sengak ( biarin deh omongannya sengak) Sering nggawe aku susah (sering bikin aku susah) Tapi aku wegah pisah ( tapi aku nggak mau pisah)
Aku mengulum senyum mendengar nyanyiannya. Di sisi lain, juga merasa senang dia sudah kelihatan tegar. Hampir tak pernah ku lihat matanya berkaca-kaca lagi. Sementara itu, suamiku baru saja selesai melakukan pembicaraan lewat teleponnya. Tapi di wajahnya masih menyisakan marah. Aku jadi tak enak hati memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan seputar foto itu.
Setelah aku pikir-pikir lagi, ngapain juga aku ngurusin sobekan wajah yang jelas-jelas tak lengkap. Hanya menduga-duga, yang aku sendiri bahkan meragukan kebenarannya. Tapi perempuan memang begitu, kadang terlalu sensitif dengan dugaan negatif. Mudah tersugesti omongan yang belum tentu kebenarannya, hanya karena kebetulan ini lah, kebetulan itu lah, iya kan? Jadi aku membiarkan saja waktu Suamiku memutuskan masuk kamar dan tak jadi menonton televisi bersama. Biar lah, dia menenangkan hatinya sendiri, setelah tadi marah-marah entah kepada siapa. Toh, sedetik kemudian aku sudah terpaku pada trailer seri terbaru di netflik Wu Assassins.
*** 5 Sikap aneh suamiku dan Dek Aya, makin hari makin tidak bisa diabaikan. Aku sudah dibuat keheranan, dan keheranan itu kemudian meningkat menjadi kecurigaan. Bagaimana bisa tidak suka pada seseorang tanpa sebab? Ditanya pun tak pernah memuaskan, selalu bilang, 'ah mungkin itu perasaan Mamah.' atau 'banyak kok orang tak suka, karena ya, tak suka saja, seperti orang tak suka makan pete lah, jengkol lah, masa mau dipaksakan suka?' Atau, jawaban-jawaban sejenis lainnya. Helo ini orang ya, bukan makanan. Kecuali orang bisa dimakan juga, baru bisa ngomong, 'oh, oke orang itu nggak enak dimakan, soalnya bau pete, bau jengkol atau bau ikan asin.' Ya kan?
Ish, lama-lama aku senewen juga. Puncaknya ketika Dek Aya mengeluhkan plafonnya ambrol diterjang kucing yang berantam. Dia bilang takut tikus bisa masuk kios dari atas eternit, kalau malam itu juga tak segera diperbaiki, atau setidaknya ditutup sementara apa, begitu. Wajar lah Dek aya khawatir, kios dia kan memang berisi bahan makanan.
Nah, pas aku minta tolong Suami untuk menutup sementara pakai kardus tebal — kebetulan aku punya bekas kemasan LED yang masih tersimpan rapih di gudang, eh dia menolak.
“Tunggu saja sampai besok, Papah suruh Pak Amat memperbaiki pakai plafon betulan, bukan karton, jadi ndak kerja dua kali,” gitu katanya.
Kujelaskan kekhawatiran Dek Aya, dia menggerutu, 'perempuan manja nggak sabaran.' Baru lah setelah aku ngomel-ngomel panjang lebar, akhirnya dia mau juga. Setelah perdebatan alot —- setelah alasan nggak enak badan lah, pusing lah dan alasan aneh-aneh lainnya. Semua alasan itu aku tolak mentah-mentah.
Intinya, suami ku maunya tinggal tempel karton pakai lakban, sementara yang mengukur dan menggunting jadi tugasku. Ya sudah, aku setuju saja, mumpung dia mau, kan? Eh tidak, ada satu lagi. Aku harus memastikan Dek Aya harus berada di luar kios, selama Suamiku menempelkan karton dan tak usah pakai nyanyi-nyanyi segala, bikin ilfil dengar suara sembernya, begitu katanya. Dalam hati aku tertawa, kayak yang suaranya sendiri bagus saja, nadanya saja ngiri nggak, nganan juga nggak. Sok-sokan.
Ya sudah, saat Suamiku masuk kios dengan tangganya, aku giring saja Dek Aya keluar, pura-pura tanya tentang teras depan kiosnya yang rencananya mau dia tambahkan canopy biar agak teduh, katanya.
Nah, namanya lengah, tetap juga kecolongan nih, Dek Aya sempat senandungkan lagu apa gitu, yang liriknya: Yang kumau ada dirimu, tapi tak begini keadaannya Baru sampai situ, Suamiku sudah kasih kode batuk-batuk. Terus batuk-batuk kencang. Suaranya terdengar dibuat-buat seolah kasih perintah, 'Suruh berenti nggak!' Padahal, aku sudah langsung nyerocos tanya ini dan itu, biar Dek Aya tidak jadi bersenandung. Lagi pula aku sudah berhasil juga kok menghentikan nyanyiannya, eh Suamiku kok ya, malah bilang, Gini aja ya Mah, nggak usah di dobel lakban-nya, kan besok di perbaiki juga kan? Papah rasanya mual pengin muntah, nih,
Disitu emosiku memuncak. Itu sindiran yang sudah kelewatan menurut ku, dan kasar sekali. Aku tak terima rasanya. Bagaimana pun itu kata-kata yang tak pantas ditujukan pada perempuan, bagaimana pun tak sukanya. Keterlaluan itu namanya, meskipun Dek Aya belum tentu mengerti juga sindiran itu ditujukan padanya. Tapi kan aku tahu, karena sebelumnya aku dan Suamiku sudah ada pembicaraan tentang urusan nyanyi-nyanyi-nya Dek Aya. Jelas aku paham sindiran itu untuk siapa. Dan itu tak bisa diterima. Saat itu lah kemarahanku justru cikal bakal timbulnya kecurigaan yang tadi kubilang di awal.
Langsung malam itu dan saat itu juga, untung pas jam tutup kios, jadi aku bisa leluasa bilang, Dek Aya bisa kita ngobrol bertiga di teras saya, yuk. Bertiga Mbak?
Iya, bertiga, saya, Dek Aya dan suami saya Mas Hen, jawabku mantap.
Seketika wajah Dek Aya kebingungan. Ah, sudah kepalang tanggung, aku ingin segalanya serba jelas, biar kedepan tak terulang hal-hal aneh. Yang sama sekali tak pantas dilakukan orang dewasa. Aku juga tak peduli sorot tajam Suamiku, terlihat jelas merasa ... keberatan.
Kok sama Papah sih, kalian berdua saja lah, kelit suami ku menyusul tatapannya yang tajam menghujam.
Nggak Pah, semua harus jelas mulai sekarang, nggak bisa begini terus-terusan, ayo kita ke teras! tegasku, memaksa.
Giliran Suamiku yang kaku, tegang dan juga bingung. Nah benar kan, ini pasti ada sesuatu, kalau tidak kenapa wajahnya harus setegang itu. Wajah Suamiku bisa seperti itu, hanya terjadi jika ada tagihan jatuh tempo dari suplayer, tapi kas di pabrik lagi kosong. Persis. Cuma kepanikan yang bisa membuat wajah Suamiku ekspresinya begitu. Tak akan salah dugaanku. Kugiring mereka layaknya petani menggiring bebek di sawah. Melihat dari belakang, betapa mereka kikuk satu sama lain. Tapi ini harus dilakukan. Aku bukan tipe orang yang suka menebak-nebak, menerka-nerka layaknya para penggila togel yang mereka-reka angka ‐—sampai orang gila saja diajak diskusi. Semuanya harus terang benderang, tak boleh ada yang ditutup-tutupi.
Untuk menjaga hal-hal yang tak diinginkan, aku minta kesediaan Dek Aya membuat teh hangat untuk kami bertiga. Bisa saja aku yang membuatnya, tapi mana berani ambil resiko mereka cakar-cakaran?
Aduh ini teh buatanmu, enak sekali Dek Aya, jadi ingat teh khas Jogja yang nasgitel itu, terimakasih ya, jadi terobati kangen saya sama Jogja.
Sama-sama Mbak, kesukaan mantan saya juga itu Mbak, jawabnya sumringah.
Mah! potong Suamiku tiba-tiba. Ish jiiiaaan, Mas Hen ini lho, selow sedikit kenapa sih. Muka ditekuk-tekuk kayak lumpia, ocehku dalam hati.
Aku berdehem dua kali.
Jadi gini, saya mulai terganggu sama sikap Dek Aya dan Mas Hen. Dari pada saya Suudzon, saya mau serius tanya, kalian ini sebenarnya punya masalah apa? Jangan berkelit dengan bilang nggak ada apa-apa. Saya saksikan sendiri tingkah kalian berdua seperti kucing sama anjing. Jadi mending to the point saja, jangan berbelit-belit, sebetulnya kalian punya masalah apa?
Mereka terdiam beberapa saat. Saya menunggu, tapi, Lho kok diamnya lama.
Sudah terus-terang saja, ada apa? tanyaku sekali lagi. Dia ini lho gara-garanya! tunjuk Suamiku Gara-gara Mas Hen nih! seru Dek Aya.Mereka saling tunjuk dan bicara nyaris tabrakan. Satu-satu jelasinnya, coba Dek Aya dulu.
Dek Aya tiba-tiba menarik nafas panjang, sudut mata mulai berkaca-kaca.
Gara-gara Mas Hen, hidup saya jadi berantakan,
Belum selesai Mas Hen sudah memotong. Enak saja salah-salahin orang. Siapa juga suruh—
Mas Hen belum habis bicara, Dek Aya tabrak omongan Mas Hen. Ya iya lah, semua kalau disambung-sambungin juga gara-gara situ!
Ya nggaklah! Sudah, sudah! seruku mulai kesal. Mereka berdua seperti kehilangan sosok orang dewasa. Benar-benar seperti anak kecil.
Sudah aku saja yang tanya. kataku tegas. Mereka pun diam. Jadi sebelumnya, kalian memang sudah saling kenal?
Mereka mengangguk, lalu kepala mereka tertunduk nyaris bersamaan.
Kenal sebelum Dek Aya sewa kios di sini? Mereka mengangguk lagi.
Dadaku berdebar tak karuan. Jemari mendadak gemetaran. Ada perasaan cemas menggerayangi pelan-pelan. Lidahku juga mendadak kelu. Sesuatu seperti mengganjal di tenggorokan. Kuraih cangkir teh, kuteguk sampai tandas. Tapi kemudian aku malah terdiam. *** 6 Aku menarik nafas panjang sampai dua kali demi meredakan gemuruh dada yang kacau. Bukan apa-apa, selama ini aku dan suamiku selalu terbuka dalam hal apa pun. Tak pernah main sembunyi-sembunyi, apalagi rahasia-rahasiaan. Betapa kagetnya kalau ternyata mereka sudah saling bertemu sebelum ini, tanpa pernah kutahu. Rasanya kok, seperti ada jarum kecil menusuk-nusuk di dalam hati.
Aku coba ingat-ingat barangkali saja aku yang lupa. Tapi makin diingat, makin merasa lupa. Eh, bukan, aku memang tak pernah dengar nama Gayatri disebut sebelumnya. Aku ingat semua cerita mantan-mantannya, tapi tidak ada nama Dek Aya. Jadi tahu kan, rasanya?
Papah kok nggak pernah cerita tentang Dek Aya? kataku setelah susah payah meredam perasaan yang berkecamuk. Suamiku terdiam dan menunduk, dia mungkin sedang menyusun kata-kata, agar aku tidak merasa bagaimana begitu.
Jadi gini Mbak Eeeiitt, yang ditanya aku, bukan kamu, jadi lebih baik kamu diam, hardik Suamiku pada Dek Aya. Papah sebenernya mau cerita, tapi gimana ya, bilangnya, itu kejadian memalukan, sih.
Ealah ngomong aja lama amat, kalau nggak bisa, biar aku saja, gerutu Dek Aya. Langsung disambut mata suamiku yang membesar, disusul bunyi pssssttttt dari bibirnya.
Duh rasanya malah makin tidak karu-karuan. Satu per satu dugaan demi dugaan mulai menari-nari di kepalaku. Cenut-cenut rasanya.
Mamah ingat nggak waktu kejadian Papah pulang larut, sekitar jam dua pagi? Yang Mamah panik karena hape Papah tak bisa dihubungi?
Aku mengangguk lemah. Selemas tungkai kaki ku yang mendadak seperti tak bertulang. Jadi Papah sama Dek Aya malam itu?
Iya Mbak, jadi, Diam kenapa sih, kamu kan belum ditanya!
Ya Tuhan, sanggupkah aku hadapi ini. Tolong ... jeritku dalam hati, sambil memejamkan mata, saking risaunya.
Waktu itu Papah lewat Jalan Flamboyan, nah, lihat orang ini nih, katanya sambil menunjuk pakai kepalanya, tanpa mau melirik ke arah Dek Aya, dia lagi bersimpuh gitu di pinggir jalan, dengan motor yang tergeletak juga di sampingnya,
Waktu itu saya berkendara sambil melamun, nggak liat ada potongan besi, jatuh deh saya, Mbak.
Suamiku mendengus.
Namanya malam-malam liat perempuan jatuh, Papah pikir awalnya korban tabrak lari. Jadi Papah berenti, maksudnya mau menolong. Papah pinggirin motor dia di trotoar—
Dipinggir pohon beringin Mbak, sambung Dek Aya. Suamiku mendelik tak suka.
Nah Papah tanya kondisinya, katanya nggak bisa bangun, haassh sekarang Papah nggak percaya.
Enak aja emang nggak bisa bangun, kakiku terkilir tahu! potong Dek Aya sengit. Suamiku tak gubris.
Papah tolonglah dia naik ke trotoar, dipapah gitu, soalnya rawan juga kalau di pinggir jalan. Nah pas lagi dipapah gitu,
Grudug, grudug, tahu-tahu mobil Satpol PP berhenti di dekat motor saya yang terjatuh tadi mbak. Sebagian orang satpol PP itu berlari mengejar ke arah kanan, dan dua orang lain nangkap aku sama mas Hen Mbak! Ngeri pokoknya!
Hah! Aku terperanjat, lalu mereka seperti berebut ingin bicara. Tapi Suamiku menyalip seperti sedang mengendarai motor dengan tarikan gas pol.
Saat itu Papah baru sadar, kalau jalan Flamboyan kan, tempat mangkal nganu, kan, Mah?
Tempat mangkal cewek gituan. kata ku lirih. Suamiku mengangguk.
Padahal jelas-jelas banyak Satpol PP yang lari ke arah utara, dan itu agak jauh lho, kok, ya, yang dua itu malah nangkep saya sama Mas Hen, ujar Dek Aya berapi-api.
Suamiku mendengus lagi.
Terus? Ya gitu Mbak, kita di angkut, dipaksa naik mobil Satpol PP. Saya sampai nangis-nangis bilang kaki saya sakit. Hih, malah mereka pikir saya akting. Sakit hati ini, Mbak. Sudah sakit, di arak pake mobil terbuka sama perempuan-perempuan begituan, aduh malunya, Mbak.
Papah juga di angkut? Suamiku hanya mengangguk dengan ekspresi sebal.
Terus, Pah? Ya, gitu, Papah di introgasi, 'lagi nawar ya? Kena berapa? Mau main di mana? Di losmen atau di tikar?' rasanya pengen nonjok mulutnya!
Kamu, Dek?
Sama Mbak, malah dibilang gini, 'kalau lagi operasi jangan pakai jilbab, nanti perempuan baik-baik yang berjilbab beneran, rusak namanya gara-gara kamu. Sakit banget mbak, seribu satu alasan meyakinkan kayak apa juga, nggak dipercaya, malah temannya nambahin, 'eh tapi memang suka ada yang berfantasi cewek berjilbab sih, ya?' ih, rasanya pengen cakar itu brewoknya, Mbak! wajah Dek Aya merah padam.
Terus bisa pulangnya gimana?
Ini nih, Mbak, saya benci sama Mas Hen, tuh, di sini, suara Dek Aya melemah. Wajahnya mendadak muram. Tiba-tiba tangisnya pecah.
Setelah selesai di kasih pembinaan atau apalah. Bukan pembinaan tapi nasihat panjang lebar: jangan gini lah, jangan gitu lah, disuruh kerja halal segala macam, akhirnya kita semua boleh pulang. Karena kaki saya sakit, Mas Hen menyarankan untuk menelepon Suami saya, bukannya inisiatif panggilin taxi, kek, atau gimana, malah suruh telepon Suami. Tangis Dek Aya campur aduk dengan emosi.
Lho salahnya di mana, harusnya suamimu, lah yang ngurus, masak aku? balas Suami ku Sewot.
Lha kan Mas Hen tahu, saya sama suami waktu itu sedang urus cerai, bahkan dua hari setelah kejadian malam itu, adalah sidang pertama dimana akan diupayakan perdamaian! kata Dek Aya sengit. Jangan pura-pura lupa, aku cerita ketika antri di periksa.
Saya mana tahu urusan begitu, saya mikir kamu ada Suami, ya Suamimu yang harus urus, lagian kamu juga mau nelepon Suamimu, kok, nyalahin aku. Suamiku langsung buang badan membelakangi Dek aya sambil bersidekap.
Lha wong saya panik, nggak bisa mikir jadi ya, ikut saja waktu situ suruh telepon Suami. Tapi tahu nggak Mbak, gara-gara saya kegaruk Satpol PP, yang tadinya Suami mulai ragu bercerai dan bahkan sudah mau di ajak islah di pengadilan, jadi berantakan semua! Dia malah curiga; saya putus asa dan jual diri. Ya Allah Mbak, coba bayangkan, pekiknya dengan suara sesegukan yang makin keras, sampai bahunya terguncang-guncang. Aku langsung luruh dan iba. Kupeluk Dek Aya berusaha menenangkan.
Papah kok nggak pikir panjang sih, ucapku menyayangkan.
Lho Mamah kok, jadi bela dia, harusnya salahin Suaminya yang nggak mikir panjang, main emosi!
Lho coba Papah sendiri, yang nggak bermasalah saja nggak berani cerita kejadian ini sama mamah, pakai alasan motornya kenapa lah, gitu, sambungku.
Nah, tuh denger, gimana aku dengan keadaan yang lagi diujung tanduk, eh malah disuruh ngasih tahu, salah siapa coba! sambar Dek Aya. Masih sesegukan.
Takdir itu namanya! Belum tentu juga kalau tidak diberi tahu cerainya batal.
Mendengar itu Dek Aya langsung meraung. Suamiku mulai tak nyaman, dia meneguk habis tehnya yang sudah dingin, lalu nyelonong ke dalam rumah tanpa permisi.
Tinggal aku yang sibuk menenangkan Dek Aya. Kubujuk dia untuk bersabar. Aku bilang ada benarnya juga kata Suamiku, kalau sudah takdir mau dilawan seperti apa, ya, sulit.
Tapi kan Allah benci orang bercerai Mbak, dan peluang rujuk kami sedang terbuka ketika islah di pengadilan agama. Aku menarik nafas. Ikut merasa sesak. Mulai sekarang aku harus lebih hati-hati lagi bicara. Salah sedikit hatinya pasti koyak.
Tak baik kita berburuk sangka sama jalan takdir. Meskipun jalannya mau belak-belok kayak apa pun. Kita mungkin cuma belum ketemu hikmah saja dibalik takdir yang Dek Aya terima. Bersabar, Dek, bersabar lah.
Setelah ngobrol panjang lebar — sebenarnya sih aku lebih banyak mendengar keluh kesahnya, lama-lama Dek Aya tenang sendiri. Dek Aya cuma sedang tidak punya kekuatan terhadap beban hidup yang ditanggungnya. Itu sebabnya, mungkin dia perlu Mas Hen sebagai bentuk pelampiasan rasa sesaknya. Aku mulai paham sikapnya itu sekarang. Bagaimana pun seseorang perlu waktu untuk mengurai kekusutan hidup, atau mengembalikan kekeruhannya, sebelum benar-benar bisa melihat secara jernih dan lapang dada.
Lalu, foto itu?
Tiba-tiba aku mengingat trntang sobekan itu.
Itu karena mas Hen tidak bawa KTP malam itu dan hanya ada foto itu di dompetnya, jadi dia serahkan itu ke Petugas. Diketawain lah dia sama orang-orang itu. Eh, salah satu dari mereka malah berbisik ke saya, 'nih buat kenang-kenangan kamu saja.' Saya gak bisa mikir waktu itu, malah nurut saja disuruh masukin foto itu ke dompet.
Aku tertawa sampai mata berair dan terpaksa cepat-cepat menahan diri dan memghentikan tawa karena Dek Aya menangis keras lagi.
Ya Allah, kuatkan hati Dek Aya dan orang-orang yang tengah mengalami hal serupa. Lapangkan kemudahan mereka menemukan arti kesabaran dan keikhlasan yang harus ditelannya.
*** 7. Duda Baru Sejak kedatangan penghuni baru di rumah yang juga baru selesai di bangun, di samping rumahku itu, banyak ibu-ibu dari komplek belakang, sering hilir mudik di dekat sini. Entah itu sekadar lewat dan membeli sotonya Dek Aya, atau memang sengaja berkunjung untuk pura-pura ngobrol denganku. Kenapa aku bilang pura-pura, karena sebelumnya memang hampir tidak pernah ibu-ibu komplek belakang itu, bertamu kemari selain pas lebaran saja, itu pun tidak lama. Atau, paling basa-basi sedikit kalau pas berpapasan di gang atau di pasar. Oh, atau kalau pas ada undangan pengajian, selamatan dan lain-lain. Cuma itu. Tapi sejak duda baru itu jadi tetangga baru ku, ampun deh, mereka menjadi ramah sekali sama aku. Tak jarang mereka membawa sesuatu di mangkok sebagai alasan kemari. 'ni lho Jeng barusan aku bikin seblak, cobain deh.' atau 'aku baru coba resep baru ni Jeng, menurutmu enak, nggak?' dan seterusnya dan seterusnya.
Anehnya, mereka tak pernah mau masuk ke dalam rumah jika dipersilakan. Semua memilih mengobrol di teras. Mata mereka tak henti melirik ke halaman samping rumah Duda baru yang belakangan ku ketahui bernama Mas Boni. Tak sengaja mendengar percakapan, sewaktu dia mendatangi Mas Hen yang sedang asik di kebun halaman depan.
Dia pernah datang memperkenalkan diri sebagai penghuni baru —- pindahan dari Jakarta. Menurut penuturannya, Mas Boni (kayak nama kucing ya) sengaja mengajukan diri sebagai Manager Produksi pabrik Boneka kota kecil ini. Perusahaan Boneka tempatnya bekerja memiliki dua pabrik, satu di Cikarang dan satunya di sini. Dia bilang ingin hidup baru dan menjauh dari hiruk pikuk kota besar selepas perceraiannya. Dia jual semua asetnya di Jakarta, setelah pembagian harta gono-gini, dia membeli tanah kosong di sebelah rumah ku itu, lalu membangunnya. Kebetulan juga pabriknya memang tidak jauh dari sini, hanya berjarak kurang lebih lima kilometer.
Dia hidup berdua saja dengan putri cantiknya yang baru berusia tujuh tahun. Pas, masuk SD ketika pindah kemari. Oya, dia dibantu asisten rumah tangga juga sih, untuk menjaga anaknya selama ia bekerja.
Kata ibu-ibu komplek belakang, Mas Boni itu ganteng banget, mirip Doni Damara. Buatku sih biasa saja, oke lah, manis, tapi kalau dibilang ganteng banget ya, tetep gantengan Suamiku. Tapi ini benar, bukan hanya aku, Dek Aya juga sama bilang begitu, Mas Boni memang manis, tapi bukan ganteng, jadi ibu-ibu itu saja yang lebay.
Cuma kadang aku ingin sekali Mas Boni dan Dek Aya bisa berjodoh. Sepertinya cocok. Mas Boni duda, dek Aya Janda. Satunya Manis, satunya cantik. Mas Boni kalem, Dek Aya anggun, meskipun sedikit kekanak-kanakan. Entah lah, di mataku sepertinya mereka itu klop. Tapi, sikap Dek Aya biasa-biasa saja pada Mas Boni. Matanya tidak berbinar cling seperti ibu-ibu itu komplek ketika melihat Mas Boni —- beberapa kali ia makan soto bersama anaknya di situ. Dek Aya tidak lantas mendadak senyum-senyum genit ketika berbalas sapa dengan Mas Boni. Pokoknya lain sekali dengan tingkah ibu-ibu komplek belakang. Lempeng saja begitu. Biasa-biasa saja.
Padahal kuperhatikan anaknya terlihat dekat dengan Dek Aya. Sering main ke sini. Dek Aya sering membantu, Helda, nama anaknya itu; mengambil buah kersen yang berwarna merah. Pernah juga membantunya mengerjakan PR di kios sotonya. Helda terlihat suka mengobrol dengan Dek Aya. Kalau sudah begitu, aku melihat Dek Aya keibuan sekali. Padahal Dek Aya belum dapat momongan selama menikah dengan mantan suaminya. Ah, sayang sekali, Dek Aya kelihatan biasa biasa saja pada Mas Boni. Mereka malah sering saling mengejek. Nyek-nyekan. Seperti kejadian suatu pagi, saat Mas Boni akan mengantar Helda berangkat ke sekolah.
Ya ampun Mas Bon, masa itu badge sekolah Helda dijahit tangan gitu, mending kalau rapih.
Mas Boni menggaruk-garuk kepalanya, anu Dek, si Mbok sudah pulang semalam ketika saya ingat ternyata badge seragamnya belum dijahit. Tanya-tanya orang juga tidak ada yang tahu di mana ada tukang jahit, jadi terpaksa saya jahit sendiri pakai tangan.
Sudah bawa ke sini cepat, mumpung masih ada waktu, saya punya mesin jahit portable kecil. Untung belum sempat saya bawa pulang.
Aku terkekeh melihat hasil jahitan mas Boni. Silang-menyilang benangnya ngawur, njlujur tak jelas. Pokoknya acak-acakan. Belum lagi warna benang yang dipakainya kontras. Merah!
Apa nanti nak Helda nggak terlambat sekolah, dek Aya? Nggak Mbak, masih sempat. Helda pernah cerita masuknya jam tujuh tiga puluh.
Kami bertiga, aku, Mas Boni, Helda berdiri mengelilingi Dek Aya yang sigap mengambil cutter, mesin jahit portable (kecil banget seperti mainan) dan mencolokkan kabelnya ke listrik. Kemudian, dengan telaten tapi cepat Dek Aya mulai mendedel jahitan tangan Mas Boni. Sementara itu, Helda sibuk mengunyah roti tumpuknya dengan hanya berkaus singlet. Diam dan anteng. Tak sampai lima belas menit, badge sudah tertempel rapih. Dek Aya tersenyum puas melihat hasilnya.
Wah boleh juga Dek Aya, itu kebetulan ada kameja sa— Belum selesai Mas Boni bicara, Dek Aya sudah memotong.
Aaiish nggak, nggak! Enak saja, jahitan saya mahal?
Waduh, saya bayar berapa buat badge ini kalau begitu?
Sejuta! Hah! Serius? Iya serius! Ini pemerasan namanya! Ya biar, kalau tidak mau, ya sudah saya dedel lagi nih. Waduh jangan! Nggak bisa ditawar gitu? Nawar berapa? Sepuluh ribu. Ish miskin banget! Ya sudah bayar saya pakai es krim rasa coklat dan vanila, pungkas Dek Aya sambil mengedipkan sebelah matanya kepada Helda.
Kok saya curiga, kalian berkomplot, kata Mas Boni tertuju pada Helda dan dek Aya. Matanya memicing.
Mau saya dedel, nih! Seru Dek Aya siap-siap dengan cutternya.
Eh, jangan! Oke, es krim box dua rasa; vanila dan coklat, oke nanti pulang kantor sudah siap!
Mas Boni berjalan menuju mobilnya sambil menunggu dek Aya membantu Helda memakai kembali seragamnya. Setelah Mas Boni menghilang, Helda tiba-tiba memeluk dek Aya.
Makasih es krimnya ya, Tan, katanya dengan mata berbinar. Lho kok nggak makasih buat badge seragamnya? Nggak Tan, es krimnya aja! Teriaknya sambil melambai dan berlari menyusul ayahnya. Aku merinding lihat pemandangan ini.
Lho Mbak kok berkaca-kaca, kayak mau nangis gitu? tanya Dek Aya terarah padaku.
Indah banget Dek, membayangkan seandainya kalian,
Tuh, mulai lagi deh, nggak, nggak, Mbak, masih takut saya urusan kuwan kawin, nanti saja kalau hati saya sudah tenang, potongnya tegas. Aku menarik nafas kecewa.
Tapi kayaknya baik lho Mas Boni itu, seperti tipe yang nggak pernah aneh-aneh gitu, kataku masih usaha.
Mbak jangan samakan semua laki-laki, sama baiknya seperti Mas Hen. Meskipun Mas Hen nyebelin, ujarnya tersenyum.
Tapi feeling saya kok bilang Mas Boni juga baik, kayak mantep aja gitu orangnya, pasti cocok kalau sama Dek Aya,
Kalau mantep, kok bercerai hayo, goda Dek Aya.
Ya, kan kita nggak tahu mereka cerai sebabnya apa, siapa tahu lantaran istrinya?
Mbak, ndak baik pagi-pagi ghibah, sahut Dek Aya mencubit lenganku.
Astagfirullah. Tapi, memang ganteng sih, Dek, Mbak! Aku terkekeh, lalu pergi melenggang dari kiosnya.
***
8 Tergopoh Dek Aya menghampiriku yang sedang menikmati semangkuk bakso dari penjaja gerobak yang biasa lewat tiap sore. Udaranya segar, matahari juga teduh dengan warna keemasan menjelang senja. Tapi wajah Dek Aya tidak seteduh sore ini.
Mbak tolong saya, itu—-. ucapnya tergagap. Dia bicara antara berbisik juga histeris.
Ada apa, dek Aya? jawab ku dan segera menaruh mangkok.
Itu perempuan yang sedang makan soto di tempat saya, anu—- nafasnya tersengal, Dek Aya seperti kesulitan meneruskan kalimatnya.
Tenang sedikit Dek. Perempuan siapa yang sedang makan soto di tempatmu?
Dek Aya menarik napas panjang, lalu secepat kilat meneguk air mineral di gelasku. Aku cuma melongo. Dek Aya bukan tipe perempuan ngasal setahuku. Jadi dia menyambar minumanku pasti karena saking gugupnya.
Ya ampun maaf Mbak, kenapa tangan saya refleks serobot gelas Mbak ya?
Nah, kan apa kubilang.
Nggak papa, siapa perempuan itu?
Wah kacau, dia mengaku tunangannya Mas Ruly. Dada saya langsung seperti terbakar begini Mbak. Saya harus bagaimana, Mbak?
Mas Ruly itu mantan suami Dek Aya seingatku.
Kok bisa dia ke sini, mau apa? Dia mau jenguk temannya ke Rumah Sakit Zedina. Itu yang dekat situ. Dia mungkin kelaparan habis pulang kantor, jadi mampir makan dulu. Kok ya ndilalah ke kios saya. Yungalah .. kenapa gak ke lotek Bude Tati, malah lebih dekat ke Rumah sakit. Kok ya, ke sini itu lho. Nada Dek Aya berkecepatan tinggi dengan ekspresi sangat gelisah.
Lho kok dia tahu Dek Aya mantan istri tunangannya? Lho ya nggak tahu, wong dia seperti mengamati, terus bilang gini, 'mbak kamu namanya Gayatri ya?' aku main ngangguk saja. Terus dia terbahak tak percaya gitu, 'ya ampun dunia sempit sekali, saya kok bisa ketemu mantan istri tunangan saya.' gitu katanya. Aku mak tratap rasanya, Mbak, langsung rasanya itu, nggak karuan. Kutinggal saja dia ketika makan, terus ke sini. Aku mesti gimana ini Mbak.
Dek Aya sampai kacau berkalimat. Baru kali ini dia menyebut dirinya aku, bukan saya lagi. Begini toh kalau orang sedang kalut. Baru tahu aku.
Dek Aya yang tenang, jangan perlihatkan ke kalutanmu. Santai saja seperti tak berpengaruh apapun. Tak peduli perempuan itu mau bilang apa. Terus?
Ya sudah begitu. Oke.
Dek Aya beringsut lalu berjalan cepat kembali ke kios. Tapi belum sampai dia sudah balik badan dan berjalan cepat ke arahku lagi.
Tapi Mbak, mending Mbak temani saya, deh. Nanti pura-pura mau makan soto gitu. Lho saya kan sedang makan bakso. Dek Aya terdiam beberapa saat.
Ya sudah bawa saja mangkuk baksonya, pura-pura minta kecap atau apa, ayolah Mbak tolong saya. Giliran aku terdiam menimbang. Mbak?
Iya, iya nanti saya nyusul, jawabku, tak tega juga lihat tampang memelasnya.
Ah sekarang saja, nanti Mbak berubah pikiran, repot saya.
Ya, Rabb. Aku terpaksa berdiri membawa mangkuk bakso dan menyusul beberapa langkah di belakangnya. Dua kali kepalanya menoleh ke belakang, seolah dia takut kehilangan jejakku.
Mana Dek kecapnya? ujarku begitu menempati salah satu mejanya.
Ya, sebentar aku bikinin Mbak.
Hah! Kok kecap dia bikin juga. Tapi aku diam saja. Kusapu sekilas wajah seorang perempuan muda yang lesehan tak jauh dariku. Berkerudung motif bunga warna peach. Seperti tahu diperhatikan. Perempuan itu pun menoleh ke arahku. Buru-buru kulempar mangkok, eh maksudku senyum hangat sambil sedikit mengangguk. Dia membalas dengan anggukan dan senyum serupa.
Wajahnya bulat menggemaskan, sepintas lebih sintal dibanding Dek Aya. Kuperkirakan umur mereka juga tak beda jauh, pertengahan dua puluhanlah. Cantik juga, hanya perempuan ini kelihatan lebih periang sepertinya.
Ini Mbak silakan, suara Dek Aya melumerkan pengamatanku. Betapa kaget ketika melihat mejaku sudah tersedia semangkuk soto persis di sebelah mangkuk baksoku.
O, jadi ini menu baru soto kecapnya Dek Aya? ujarku mengulum senyum geli.
Dek Aya seketika sadar, dan menepuk keningnya dengan ekspresi paling aneh yang pernah kulihat. Begitu gugupnya dia sampai rencana memberi kecap untuk baksoku berubah jadi semangkuk soto. Dek Aya bungkam tanpa sepatah katapun selain wajah gugup yang teramat kaku, memandangi mangkuk soto di hadapanku. Mau tak mau aku harus menyuap isinya. Seketika aku langsung ingat timbangan badan di kamar. Fiuuuh.
Dek Aya langsung ambil tempat duduk di depanku. Wajahnya tegang. Aku jadi iba melihatnya begitu. Kuberi kode lewat ekspresi, agar dirinya tenang dan santai. Dia mencoba, tapi gagal. Yungalah.
Lumayan enak sotonya Mbak Gayatri, atau saya yang kelaparan ya, ujar perempuan itu, seraya melekatkan tisu di beberapa bagian wajahnya yang berpeluh.
Ih memang enak kok Mbak, maaf Mbak siapa kalau boleh tahu? sambarku.
Heni, Mbak ...,
Nay nama saya. Memang enak kok, yang datang kebanyakan cowok-cowok keren orang kantoran gitu. Astaga aku ini ngomong apa, sih.
O, saya mau ajak tunangan saya besok ah kesini. Biar dia tahu juga, Mbak Gayatri sudah move on. Sudah menjalani hidup dengan normal. Tidak seperti yang dia khawatirkan. Habis dia selalu merasa bersalah bikin Mbak patah hati, gitu katanya. Tapi yang namanya jodoh, panjang atau pendek kan rahasia Illahi ya, Mbak. Yang penting silaturahmi tetap baik, bukan begitu Mbak Gayatri?
Wajah Dek Aya makin tegang. Perlahan aura murung menjalar pelan. Sudut matanya mulai beriak bening. Wah gawat, aku harus ambil alih sebelum matanya benar-benar tumpah air mata.
Tapi sotonya mahal, lho? Ish apa coba aku ngomong tak jelas begini.
Oh ya? Berapa punya saya Mbak Gayatri? tanya Heny.
Dek Aya hendak buka mulutnya, tapi refleks, entah kenapa aku bisa lebih cepat. Lima puluh ribu semua Mbak. kata ku menjawab.
Mata Dek Aya membesar seolah ingin melempar keluar isinya. Aku mengerjap cepat beberapa kali, berharap dia menangkap trik ku.
Wow, mahal juga untuk semangkuk sederhana dan di warung sederhana ini. Tapi tak apa, akan saya bayar, katanya berusaha menyembunyikan keterkejutan harga fantastis yang barusan di dengarnya.
Heny menyerahkan lembaran uang yang dicabutnya dari dompet berwarna hitam. Dompet yang seperti sengaja dibuka lebar-lebar satu sisinya, di mana sebuah pas foto hitam putih seorang laki-laki terpampang jelas. Aku melirik Dek Aya setelah melihat foto itu. Dek Aya mengangguk seperti mengerti tatapanku. Betul juga orang di foto itu mirip Mas Hen. Tidak mirip benar-benar. Struktur rahangnya berbeda, lengkung alis dan bibirnya juga berbeda. Jika harus kugambarkan, mungkin seperti kalian melihat Andika Pratama dengan Nicholas Saputra, atau Mike Lewis denga Nino Fernandez, bisa juga Tesa Kaunang dan Rina Nose. Mereka mirip di beberapa angle. Apalagi melihat dalam bentuk pas foto pula. Aku jadi seperti melihat foto Mas Hen di surat Nikah sepuluh tahun lalu, ketika melihat foto itu.
Ya ampun Mbak mahal bener kasih harga, serunya begitu Heny berlalu dengan sepeda motornya.
Biarin saja, Biar kapok dan nggak jadi bawa mantanmu kesini, gegayaan mau pamer segala, alasan silaturahmi, hasssh.
Terus kalau beneran nekat juga ternyata besok mereka datang, gimana dong Mbak, Dek Aya mulai panik lagi.
Aku terdiam beberapa saat. Ya sudah, besok dek Aya pakai pakaian terbaik, dandan yang cantik dan pasang wajah selow, tapi .. kita sesungguhnya siap PERANG!
Wajah Dek Aya berubah drastis. Oke kita PERANG!
Aku tersenyum senang dengan memberinya kepalan semangat. Lalu pamit karena aku perlu timbang badan, setelah semangkuk soto itu akhirnya habis juga. Samar-samar aku mendengar dek Aya bersenandung seiring langkahku menjauh. Karena ku selow, sungguh selow Sangat selow, tetap selow Santai, santai, jodoh gak akan kemana Oke, Selow Dek, meskipun di setiap ujung lirik yang kamu nyanyikan itu, aku dengar isakan tangis. Semangat!
*** 9 Aku nyaris loncat karena terkejut. Bagaimana tidak, aku sedang asyik mengaduk rawon yang sedang kumasak. Sebenarnya tidak sungguh-sungguh rawon sih, karena yang aku pakai jenis daging tetelan, bukan daging bagian brisket seperti layaknya sebuah rawon. Mehong ya say. Yang penting rasa rawonnya tetap dapat biar pun pakai tetelan. Lagi asyik-asyiknya menunggu masakan ku matang, Dek Aya muncul dari pintu dapur.
Mbak aku gak bisa tidur semalam, baru lelap jam tiga pagi. Sampai terlewat subuhnya karena bangun jam tujuh. Langsung mandi dan berjam-jam saya dandan. Gimana menurut Mbak?
Mulut ku ternganga tanpa diminta. Aku melihat Dek Aya dandan menor sekali. Alis yang mendadak tebal, dengan lengkung yang tidak sama kanan dan kirinya, pakai eyeliner hitam pekat yang membingkai garis matanya, dan eye shadow dengan gliter mencolok! Dek Aya juga Menggunakan gaun panjang. Baju dengan warna dan model lebih pas dipakai untuk ...
Dek Aya mau kemana, kondangan?
Kan, Mbak bilang kemarin pakai pakaian terbaik dan dandan yang cantik.
Astaga, tapi nggak begini juga Dek. Bisikku dalam hati.
Tapi cantikmu kok, hilang? Dan pakaianmu terlalu cetar. Kan dek Aya tetep jualan soto, bukan mau kondangan? ujar ku hati-hati.
Yah, jelek ya, Mbak? sahutnya sambil menghentakan kaki dan mempertontonkan raut wajah kecewa.
Nggak jelek, cuma sedikit berlebihan. Maksudku dandan natural saja, terus pakai pakaian yang dulu disukai mantanmu. Kecuali memang mantan suamimu suka yang model agak menor begini.
Lha, lha, lha, dek Aya malah ndeprok di ubin. Lalu memainkan kuku-kukunya.
Nggak sih Mbak, dia suka aku dandan tipis-tipis gitu, tapi lihat tunangannya kemarin pakai full make up, aku jadi nggak mau kalah rasanya. Makanya aku make up-an juga, katanya agak lirih bagaimana gitu.
Oke, begini saja, Mbak bantu dek Aya make up, sementara saya selesaikan rawon ini, Dek Aya balik sebentar ke rumah dan bawa beberapa potong pakaian yang kira-kira pas buat seorang penjual soto sekaligus disukai dia, gimana?
Dek Aya langsung bangkit. Ada Mbak, sebentar ya, saya pulang, ambil dulu.
Dia langsung ngeloyor pergi dari dapur. Sebelum punggungnya menghilang, aku teriak, Bawa beberapa potong ya, biar ada pilihan.
Ya! serunya tanpa menoleh.
Tahu tidak setelah itu, kehebohan demi kehebohan pun terjadi. Pertama, dengan pede-nya dia menunjukan sepotong baju tidur warna pink pias berbahan kaos dengan gambar Winni de pooh besar, dan itu langsung dipakai begitu kami berada di kamar tidur ku.
Ini nih, Mbak yang paling dia suka, katanya aku seperti anak gadis belasan, ujarnya riang sambil berputar riang. Aku memutar mata jengah.
Ya nggak bisa dong Dek, pakai ini. Masak jualan pakai baju tidur.
Tarian lenggoknya terhenti seketika. Oh iya ya, jawabnya terkekeh.
Akhirnya setelah memilih, kita sepakat baju yang akan dikenakannya adalah terusan coklat model over all, dengan balutan kaos panjang warna gading serta kerudung coklat creamy. Simple, elegan tapi ada kesan kekanak-kanakan.
Kedua, aku menghapus semua make up beratnya. Aku mau dandani dia seringan mungkin, tapi punya garis tegas di matanya yang memang indah. Dengan eyeliner coklat tanah pasti akan menajamkan kekuatan mata indahnya.
Tapi baru sampai melukis separuh alisnya, Dek Aya sudah diteriakin Mas Wahyu penjual kios buah di sebelahnya, karena ada pembeli. Jadi dia lari dan meladeni pelanggannya dengan alis separuh! Begitu terus, bolak-balik dengan riasan yang belum lengkap lainnya. Aku tidak bisa membayangkan reaksi orang yang membeli sotonya saat itu. Tidak berani membayangkannya sungguh.
Dan seluruh riasan yang sempurna cantiknya itu tetap saja akhirnya dihapus, karena sampai Ashar dan mandi sore, musuh-musuhnya belum juga datang. Lha, iyalah, mereka kan sama-sama bekerja. Niat amat makan sotonya di jam ngantor. Aku sudah bilang, kalau pun mereka datang pasti selepas jam kantor, atau pas makan malam malah. Tapi dek Aya bilang, setidaknya sedia payung sebelum hujan.
Setelah mandi sore, Dek Aya tetap bertahan dengan over allnya, kaosnya saja yang diganti warna hijau pupus. Dia juga melakukan make up tipis-tipisnya sendiri, tetap patuh dengan saranku untuk membingkai matanya dengan warna coklat. Ia tampak segar, cantik dan kelihatan percaya diri. Bagooos!
Tapi ternyata dia tidak sepercaya diri itu juga, rupanya. Sekitar jam tujuh malam, dia tergopoh menghampiri aku dan Mas Hen yang sedang duduk-duduk di teras menikmati kopi putaran terakhir hari ini.
Mau ngapain lagi si ribet satu itu Mah, bisik Mas Hen.
Papah ni lho, rempong kayak ibu-ibu komplek aja deh.
Suamiku cuma nyengir tanggung, lalu berdiri dan masuk ke dalam. Dia memang begitu, tak suka nimbrung urusan perempuan. Paling tak betah nongkrongin obrolan ibu-ibu. Dia bilang, obrolan perempuan itu banyak dan penuh. Tapi isinya tidak ada. Ish!
Ayo Mbak, cepetan mereka datang! Serunya melengking tertahan.
Lho ya, sudah hadapi saja, selow Dek, ingat, Selow, jawabku menyemangati.
Lho lho lho Dek Aya malah menangis, air matanya jatuh cukup deras.
Temenin nggak! Kalau nggak aku mau pulang!
Waduh gawat, panik sedang menyerang dia lagi. Aku langsung berdiri. Iya Mbak temani! Tapi Dek Aya berhentilah nangis, bagaimana mau perang kalau petarungnya cengeng begitu!
Aku nggak mau nangis, tapi ini keluar sendiri, Mbak. Aduh mana Mas Ruly kelihatan ganteng Mbak, rambutnya model baru, aku harus bagaimana? Nah mulai ber-aku lagi, fix dia kacau galau.
Tenang, tarik nafas dalam, hembuskan pelan-pelan. Dek Aya ikut petunjuk ku, tapi pas hembuskan napas dia malah tersedu. Iya bunyi tangis yang jelas, hu, hu, hu, gitu, bahunya sampai turun naik. Tapi dia coba ulang lagi, tarik napas ... Eh, malah bukan tersedu lagi. Malah terhuaaa. Duh apa ya bahasanya tangisan yang sampai mewek bunyinya huuuaaaaa huuuaaa ... pokoknya gitu lah.
Aku terang saja ikut panik. Aku tidak mau melihat dek Aya terkesan lemah di depan mereka yang ... ish ngapain juga pake datang segala. Tidak ada kerjaan lain saja, bongkar ubin kek atau apa lah. Lakinya juga mau-maunya digiring ke sini. Laki-laki macam apa begitu tak punya tepa selira. Emosi ku jadi naik.
Cukup Dek, masak tega melihat diri sendiri kelihatan tak berdaya gitu, sementara mereka enak-enakan menikmati bahagia? Mau diinjak-injak bahagiamu sama mereka? Kalau mau, ya sana sendiri, Mbak nggak ikut-ikut!
Dek Aya langsung mencubit sejumput kain bajuku, lalu ditarik-tarik macam anak kecil yang rewel.
Jangan mbak ... ayo ikut aja. Ikut lah Mbak, tolong, mereka berdua, aku sendiri, nggak imbang Mbak. Tolong ikutlah Mbak, rayunya dengan air mata berlinang.
Kalau kamu mau Mbak ikut, hapus itu air mata! Harus tegar! Kuat! kata ku tegas.
Dek aya buru-buru menghapus air mata dengan ujung kaos lengannya, lalu mendongakan kepalanya. Tapi hanya bertahan dua detik. Setelah itu air matanya deras lagi. Agh, aku kesal luar dalam.
Gimana dong Mbak aku nggak mau, tapi ini keluar terus huaaaa. Yaah mewek lagi.
Otakku berfikir keras mencari jalan menghentikan tangisnya. Begini saja, binatang apa paling kamu benci, nggak suka banget liatnya? Um monyet Mbak! Oke, anggap si Heni itu seekor monyet yang lagi ditenteng-tenteng mantan mu itu, bisa? Coba bayangkan dulu! perintahku lagi.
Dek Aya terdiam dengan mata terpejam beberapa saat. Tiba-tiba dia tertawa tergelak. Dalam hati Astagfirullah ampuni hamba, menghina mahluk mulia mu dengan padanan monyet. Tapi hamba kehabisan akal ya, Allah.
Oke Mbak, sebentar, Dek Aya menghapus lagi air matanya.
Iya, air mata nggak keluar lagi! berhasil Mbak, ayo kita perang!
Nah gitu! Tapi sebentar aku ambil kaca mata gelap untukmu Dek! seruku berlari ke dalam.
Lho kok pakai kaca mata, ini kan malam-malam Mbak? tanyanya keheranan menerima sun glasses lensa coklat.
Sudah pakai saja, siapa tahu bayangan monyet di kepalamu lepas tiba-tiba.
Siap Mbak, PERANG KITA! Loh lha iyesss!
*** 10 Dek Aya kelihatan mantap berjalan tanpa kehilangan gemulainya. Bahunya tegak, dagunya diangkat, dia melenggang seperti geboy maung kata orang sunda, atau orang Jawa bilang macan luwe. Padahal baru lima menit lalu dia mewek. Tapi lihat sekarang, dia adalah Srikandi. Senjatanya memang bukan panah; cuma kacamata gelap, dan tekad yang membaja, apes-apesnya, jika tekadnya tiba-tiba melorot, setidaknya dia masih punya tameng kacamata. Berjaga-jaga, siapa tahu air matanya tumpah lagi.
“Kok lama sekali Mbak Gayatri, kita sudah kelaparan lho ini, ya nggak Zhenk?’ seru Heny ketika melihat kami muncul.
Hah, Zhenk? Dia manggil tunangannya Seng? Kalau pun dia tak sanggup beli genteng, bagusan asbes kemana-mana. Ini malah seng ck, ck.
”Kita bungkus saja Hen,” jawab si Seng pelan. Wajahnya tertunduk menatap layar ponsel yang hanya digeser-geser. Ia membuat barisan aplikasi itu cuma mondar-mandir tanpa kepastian.
“Maaf saya sakit perut tadi, saya buatkan segera.”
Bohong sih, tapi metafor yang bagus juga menurutku.
“Saya satu juga Dek Aya,” pintaku. Aku harus makan juga lah, dari pada kelihatan aneh nimbrung di sini, ya, kan? Meskipun hati menjerit membayangkan timbangan.
“Iya Mbak.”
“Jangan salah paham lho Mbak Gayatri, kita cuma berniat menjalin silaturahmi, nggak ada maksud apa-apa,” tutur Heny.
Sementara itu si Seng makin kencang menggeser-geser layar menu utama.
“Iya saya paham, sangat paham. Mbak Heny nggak usah khawatir.”
Suara Dek Aya lembut, tapi aku terbelalak melihat tangannya menaruh satu sendok teh muncung garam, di salah satu mangkok. Aku cepat-cepat berdehem. Takut juga mangkukku diberi garam segitu banyaknya. Untunglah itu tidak terjadi. Tapi aku tetap perhatikan kemana mangkuk itu disajikan. Jika ke mejaku, jelas tak akan kusentuh satu suap pun. Wow ternyata mangkuk itu di hadiahkan pada Heny. Hampir tak mampu kusembunyikan senyum ku yang paling ngiblis. Astagfirullah.
“Dek Aya kemudian menyajikan dua gelas air bening untuk ku dan Heny, serta satu teh nasgitel andalannya pada Mas Ruly Seng. Setelah itu, dek Aya mengambil posisi duduknya dengan satu meja dengan ku.
“Maaf Mbak Gayatri, sekarang minumnya Mas Ruly selalu air putih kalau sedang makan.”
“Sudah tak apa, ini bagus. Cuaca malam ini cukup dingin,” serobot Mas Ruly buru-buru.
Melihat wajah kurang sreg Heny, Dek Aya saat itu juga menyajikan segelas air putih untuk si Seng. Mereka kemudian mulai sibuk dengan sajian di atas mejanya. Kecuali Mas Ruly yang masih begitu menikmati teh nasgitelnya. Beberapa kali hidungnya seperti menghirup wangi teh melati sebelum menyesapnya dengan mata terpejam. Aroma teh terseduh air panas itu memang kuat, bahkan aku sampai seperti merasa menyicipinya juga.
“Wah Mbak Gayatri pengin kawin ya, agak asin soto saya kali ini.”
Aku nyaris tersedak, tapi kok ya sempat-sempatya bilang, “Iya benar itu, sama duda ganteng. Ganteng banget malah, seperti Doni Damara.”
Lha malah Si Seng yang ujug-ujug tersedak, ia terbatuk-batuk sampai matanya merah.
“Aduh pelan-pelan dong Zhenk, minum air putihnya coba,” ujar Heny seraya mengusap pelan punggungnya.
Dek Aya langsung mengalihkan pandangan dengan kasar ke arahku, sedetik setelah ia melihat Heny mengusap tunangannya. Aku bisa melihat matanya mulai menahan tidak mengerjap. Cuping hidung dan garis bibirnya juga mulai membuat gerakan aneh. Dia pasti mau menangis lagi. Cepat-cepat aku melotot tegas ke arahnya. Lalu kukatakan kepadanya tanpa suara, hanya gerakan bibir. ‘Ingat M O N Y E T!’ Dek Aya pun terpejam. Kemudian menarik nafas panjang.
“Aku nggak apa-apa, kamu terusin saja makan mu Hen,” ujar Mas Ruly sedikit menghindar sentuhan tangan Heny. Masih beberapa kali batuknya mengganggu, sebelum akhirnya ia meneguk air putih dan batuknya pun mereda.
“Wah selamat ya, kapan-kapan kenalkan Doni Damara-mu ya Mbak Gayatri, siapa tahu kita bisa berbagi gedung pelaminan bersama.” Si Heny tertawa sendiri. Apaan sih, bikin ‘joke’ garing banget. Dipikir penganten sunat apa bisa barengan.
“Wah calon Dek Aya kaya raya, mana mau berbagi gedung, Mbak Heny nih, bisa aja,” selorohku sok asyik.
“lho dapat calon orang kaya kok masih jualan?” balasnya dengan senyum mengejek.
“Soalnya Dek Aya nggak suka ongkang-ongkang kaki. Diem terus, tanpa ada yang bisa dikerjakan bikin badan pegel-pegel, ya kan Dek Aya?”
Yee yang ditanya malah bengong seperti menahan napas. Tiba-tiba Mas Ruly berdehem beberapa kali. Itu cukup menghentikan aku dan Heny saling nyinyir.
“Apa kabar Ibu, Ya, apa beliau sehat?”
Untuk pertama kalinya Mas Ruly menatap langsung dek Aya. Entah kenapa malah jantungku yang berdebar. Aku menatap dek Aya, ah, andai riasan matanya tak kacau balau gara-gara mewek, seharusnya mereka bisa saling menatap tanpa terhalang kacamata coklat gelap itu.
“Alhamdulillah, Mas, Ibu sehat, Abah bagaimana masih sering ngilu tidak lengan kanannya?”
Mas Ruly tersenyum. Buset senyumnya alamak nendang jantung bener deh.
“Masih, tapi sudah tidak sesering dulu, setelah mencoba rebusan daun sirsak. Yaya masih sering ajak ibu ke pantai tidak, terapi asmanya jangan putus lho.”
“Masih kok Mas, terima kasih perhatiannya.”
Heny kelihatan mulai gelisah. Aku merasa jahat sekali, malah senang melihat wajah Heny tak nyaman begitu. Apalagi pas Mas Ruly memanggil dek Aya dengan nama manis YAYA. Tanggung sebenarnya, harusnya tambah NG. Mendadak wajah Heny langsung berubah masam. “Ayo Mas kita pulang, soto ini keasinan. Aku nggak bisa makan.”
Mas Ruly mengangguk. Sebelum berdiri, ia menyesap tehnya lagi perlahan. Juga sambil memejamkan matanya seperti tadi.
“Berapa Mbak Gayatri?” tanya Heny.
“Sudah Mbak nggak usah, kemarin Mbak bayar terlalu banyak. Sudah cukup itu,” jawab Dek Aya. Ia kemudian ikut berdiri. Seketika Heny langsung mendelik ke arahku. Secepat itu juga aku langsung menatap plafon.
“Maaf lho keasinan,” nada Dek Aya terdengar sungguh-sungguh menyesal.
“Nggak apa-apa Mbak, saya paham perasaanmu.”
Lihat, sok banget si Heny! Aku kesal benar dengarnya. Tapi aku tak punya kata-kata tajam untuk membalasnya. Sial!
“Ayo, Hen,” sambar Mas Ruly berusaha menghalau situasi canggung ini.
Mereka pun beranjak pergi. Sementara dek Aya berdiri seperti tersihir mantra batu. Karena kaku mematung. Dek Aya memandang kosong ke arah luar. Aku jadi iba dan sedih. Aku sangat mengerti situasi di dalam hatinya.
Langkah Heny masih terdengar di selasar, dari bunyi sepatu hak tinggi yang dikenakannya. Suara ketukannya seperti menambah galau seperti yang tergambar di mimik Dek Aya.
Tapi baru beberapa langkah, dan itu belum jauh, aku mendengar suara pelan Mas Ruly di luar. “Kamu duluan, tunggu di mobil, aku balik sebentar ketinggalan, nih kuncinya.”
Ketika Mas Ruly kembali masuk Kios, posisi dek Aya masih berdiri terpaku di tempat yang sama. Dia pasti tidak mendengar suara pelan Mas Ruly barusan. Jelas, suara di hatinya lebih ribut, jadi dia sibuk. Makanya, Dek Aya seperti tersentak kaget begitu Mas Ruly muncul lagi di hadapannya.
“Yaya, tolong terima ini, kapan-kapan aku akan berkunjung ke sini sendirian, boleh ya?” ujar Mas Ruly sambil menyodorkan beberapa lembar uang ratusan ribu.
“Nggak usah Mas, aku nggak bisa terima ini,” tolak dek Aya sambil mendorong tangan Mas Ruly kembali.
“Tolong terimalah, Yaya simpan saja kalaupun tak ada keperluan,” desak Mas Ruly menjulurkan lagi tangannya ke depan.
“Jangan Mas.” Dek Aya mendorong lagi.
“Ayolah biar tenang hatiku.” Mas Rully Menjulur lagi.
Melihat kejadian ini, jadi seperti melihat dua orang yang sedang melakukan adegan menggergaji. “Ayo Zheyeng cepetan!” teriak Heny dari luar.
“Iya,” sahut Mas Ruly.
“Ayolah Yaya terimalah niat baikku,”
Dan mereka menggergaji lagi. Hadah hadah.
Akhirnya Dek Aya tak bisa menolak lagi karena Mas Ruly pakai kata pamungkas, ‘untuk bantu ibu.’
Saat ituah tiba-tiba ...
“Ini Dek Aya es krim pesanannya.”
Jeng jeng jeng! Mas Boni tiba-tiba nongol di depan kios dengan sekotak es krimnya. Si ganteng, eh tidak, masih gantengan suamiku. Sang Doni Damara itu pun datang di saat paling dramatis ini. Aksi gergaji pun usai.
“Eh Mas Doni Damara-nya Dek Aya datang!”
Entah apa yang merasuki aku sampai berteriak begitu semangatnya menyambut Mas Boni. Yang jelas pekikan ku cukup membuat Mas Ruly berpaling ke arah mas Bony. Dan yang oaling menegangkan adalah ketika Mas Ruly menatap tajam ke arah Mas Boni. Sementara Mas Boni planga plongo dengan mimik tak jelas. Ish! Mas Ruly terus menatap keras sambil melangkah keluar dari kios. Nyaris saja mereka saling beradu bahu.
Jeng jeng jeng! ***
11 Sejak kejadian malam itu, Dek Aya jadi banyak diam. Tidak murung, tapi aku kehilangan keceriaannya, juga senandungnya ketika mengikuti lagu yang sedang diputar di kiosnya —- biasanya pagi-pagi, saat ia sibuk mempersiapkan diri untuk buka kios. Tidak ada lagi senyum mengembang dari bibirnya dan sinar mata penuh optimisme. Entah lah, aku melihatnya seperti kehilangan semangat. Kehilangan daya tempur move on-nya. Aku masih ingat, tatapan matanya begitu menyala-nyala waktu menyatakan diri perang terhadap segala keterpurukan hidup, dan siap berlaga memenangkan tujuan move on-nya. Aku tidak bisa bantah kenyataan, jika tahap ini lah, tahap paling rapuh kebanyakan perempuan. Perempuan sering kali ketika menyatakan diri siap move on, sesungguhnya dia tidak benar-benar siap. Perempuan kadang butuh sembuh dari luka hatinya lebih dulu, atau harus ikhlas benar, sebelum siap bertemu mantan. Jika fase ini lewat, baru lah bisa -— tidak merasakan apa-apa lagi andai tiba-tiba ketemu mantan, selain cuma ... mantan. Dan proses ikhlas itu fase terberat. Kecuali kita sudah ketemu gantinya. Fase ini akan lewat dengan cepat seperti angin. Wuuuzzzz.
Tadinya aku berharap Mas Boni bisa membuat dek Aya masuk “jalur cepat” itu tadi, tapi sayang aku tak melihat ada percikan Dewi Amor di mata dek Aya. Tapi mending lah, setidaknya dek Aya masih tidak kehilangan selera humornya ketika nyek-nyekan (saling ejek) dengan Mas Boni.
Seperti sore ini ketika dek Aya duduk di teras denganku. Katanya sih, ingin menemaniku minum kopi. Dan itu benar-benar cuma menemani, sebab tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Setiap aku mengajaknya membicarakan sesuatu, dia hanya menjawab singkat-singkat: Iya. Tidak. Ho, oh. He, eh. Lama-lama aku menjadi sungkan. Alhasil kita berdua cuma duduk membisu. Dek Aya tenggelam dalam pikirannya dengan pandangan hampa ke arah kebun. Semoga sih, dia bisa berenang.
Nah dalam situasi ‘wagu’ seperti itu, muncullah mas Boni dan anaknya.
“Ini gimana sih yang jualan soto, diteriakin nggak dengar, kita mau makan, masak harus keliling dulu cari penjualnya. Malah leha-leha di sini.” sungut Mas Boni.
“Ah masa sih teriak, aku nggak dengar tuh, Mbak Nay dengar tidak?”
Aku spontan menggeleng, karena aku juga tidak mendengar.
“Beneran, tanya Mas Wahyu sana,” kata Mas Boni ngotot.
“Tanya aja sendiri, ngapain aku tanya-tanya Mas Wahyu.”
“Yee, gimana sih, mau melayani nggak nih, kalau nggak kita ke Bu Sis, ya, Nak?” Helda yang ditany malah menggeleng. Tawa Dek Aya pecah seketika. Aku senyum-senyum senang akhirnya bisa melihat wajahnya semringah lagi.
“Kok gitu sama ayah sih Nak.”
“Makan sini saja, Mas Boni, biar ganti suasana, sambil lihat kupu-kupu, tuh.” Iming-imingku sebenarnya ditujukan pada Helda. Dan benar saja, Helda langsung kelihatan antusias.
“Wah boleh juga.”
Dek Aya langsung berdiri “Sebentar kubuatkan ya?”
“Oke Sip.” “Oh ya, minumnya apa, nih?’ “Coba deh teh nasgitelnya Mas Bon, mantap,” selorohku. “Um, boleh deh.” “Aku air putih ya, Tan,” sambung Helda. “Siap.”
Ketika sedang asyik-asyiknya kami bercengkrama menemani Mas Boni dan Helda makan, tiba-tiba sebuah mobil Van hitam memperlambat laju, lalu berhenti dan parkir persis di depan Kios Mas Wahyu. Bukan hal yang aneh jika ada mobil melaju cepat atau lambat, terparkir atau tidak, di depan sana. Karena memang di depan kios-kiosku adalah jalan besar, yang menjadi berbeda adalah siapa yang turun dari sana. Yaitu, Mas Ruly!
Andai kugambarkan ekspresi dek Aya saat itu, ibarat seseorang yang baru saja menghalau mendung dengan tawa renyah. Iya, baru saja, lalu mendadak beku lagi, seperti diawal kami terbengong-bengong sebelum kedatangan mas Bony dan Helda. Wajahnya tegang mebatap Mas Ruly yang berjalan gagah dan tenang ke arah kami. Ia melepaskan kaca mata dengan ‘bergaya’ seperti gerakan yang diperlambat, dalam sebuah adegan film. Setelan yang digunakan adalah kemeja lengan pendek dengan potongan yang memberi ruang untuk menonjolkan bentuk bidang dadanya, bahu dan lengan kokohnya, serta perut ratanya. Tidak besar sekali, tapi itu jelas hasil olahan gym.
Mas Ruly menangguk sopan dari kejauhan begitu menyadari keberadaan kami. “Dek Aya, itu,” kataku tanpa bisa berpaling dari pandangan langka dan memukau di depan sana.
“Itu apa?” jawab dek Aya. Dari nadanya jelas dia pura-pura tak paham.
“Ya itu.”
Lalu kita terdiam. Sementara Mas Ruly mulai melangkah mendekat. Aku berdebar. Lho kok aku yang berdebar?
“Dek Aya, itu,” “Itu Apa?” “Ya, itu.” Hadeh.
“Ini apa-apaan sih.”
Suara Mas Boni langsung membuyarkan sesuatu yang sudah membuat aku dan Dek Aya tersihir. Mas Boni bergantian menatap aku, lalu dek Aya dalam ekspresi bingung. Posisi mas Boni memang membelakangi jalan raya. Wajar dia tidak tahu apa yang terjadi.
“Bagaimana ini, Mbak?” tanya dek Aya dengan mimik panik yang berusaha dia sembunyikan.
“Ya sudah temui toh, mau gimana lagi, masa mau di bacok?”
“Hah!” seru Mas Boni. Aku buru-buru menggeleng, “bukan Mas Boni, tapi itu,” kataku sambil menunjuk dengan sudut mata.
Dek Aya berdiri, dan melangkah mendekati Mas Ruli, yang juga sedang berjalan ke arahnya. Langkah mereka terhenti di tengah-tengah jalur conblock, lintasan mobil masuk yang terhubung ke garasiku.
“Siapa dia?’ bisik Mas Boni. “Mantan suami dek Aya,” jawab ku tanpa berpaling, serta suara berbisik-bisik.
“Oh.”
Aku langsung konsentrasai menatap Mas Ruly dan Dek Aya. Mereka berdiri terpaku saling diam. Mas Ruly pasti menunggu dipersilakan ke kios sotonya. Sementara Dek Aya terlalu tegang untuk berlaku wajar sebagaimana orang kebanyakan yang memperlakukan tamunya.
“Yaya, aku ada perlu sama kamu,” kata Mas Ruli akhirnya menyerah menunggu dipersilakan.
“Perlu apa, ya?” jawab Dek aya sambil terus meremas jemarinya sendiri. Berani taruhan, tangannya itu pasti dingin sekali.
“Kenapa sih Dek Aya nggak bawa dia ke kiosnya, masak ngobrol berdiri begitu,” bisik Mas Boni.
“Itu tandanya dia ngeblank lagi,” jawabku. “Kok ngeblank?” “Wah ceritanya panjang, Mas.” “Masalahnya aku jadi nggak enak sendiri, dengar pembicaraan mereka,” katanya.“Ya sudah anggap saja rejeki. “Hah!”
Aku tak acuh pada reaksi mas Boni, sudah terlanjur ikut deg-degan menyaksikan adegan dua orang yang berdiri itu.
“Apa kita harus berdiri begini Ya?” tanya Mas Ruly.
“Terus gimana, jongkok? Ya udah ayo,” jawab Dek Aya seraya menekuk lututnya siap berjongkok.
Aku dan Mas Boni serempak memutar mata, “Kacau bener tuh orang,” gumam Mas Boni.
“Loh, ya jangan. Lugumu itu lho Ya, nggak ilang-ilang,” seloroh Mas Ruly dengan senyum dikulum.
“Ya sudah, begini juga tak apa. Begini Ya ...,” Mas Ruly melirik ke arah kami sebelum melanjutkan kalimatnya. Aku buru-buru sok sibuk bicara dengan Helda.
“Abah tanya-tanya Yaya terus, pengen ketemu katanya.”
Dek Aya tercenung cukup lama sebelum menjawab. Dalam hatiku bergumam, boleh juga trik Mas Boni nih.
“Aduh gimana ya, aku nggak enak soalnya,” Dek Aya menggantung kalimatnya. Matanya kemudian melirik Mas Boni.
“Soalnya kenapa Ya?” “Kita kan sudah bukan siapa-siapa lagi Mas, aku juga punya tunangan, nggak enak sama dia, aku harus minta izin sama dia,” ekor mata Dek Aya menunjuk mas boni. Reflek kutendang kaki Mas Boni.
“Aw!” pekiknya. Waduh terlalu keras rupanya.
“Apa sih, Mbak?” seru Mas Boni dengan suara tertahan.
“Biar aku yang izin sama dia,” ujar Mas Ruly cepat.
Langkahnya kemudian menghampiri kami. Aku dag dig dug tak karuan, campur kebelit pipis segala.
“Assalamualaikum semua,” sapanya, cool.
“Alaikumsalam,” jawab aku, Helda dan Mas Boni nyaris serempak.
“Perkenalkan saya Ruly, mantan S-U-A-M-I-nya Yaya,” tuturnya. Melemahkan kata mantan dan menekan sedemikian rupa kata suami seraya mengulurkan tangan.
Mas Boni malah planga-plongo tak jelas. Kutendang kakinya lagi. Dia mendelik. Tapi mendeliknya lupa ditujukan kepadaku. Alhasil dia mendelik malah ke arah Mas Ruly. Tapi, reaksi Mas Ruly malah menaikkan dagu dan menggenggam erat jabat tangannya. Seperti meremas kuat malah. Soalbya mas Boni agak meringis, seperti menahan sakit. Mendelik dan meringis adalah mimik dia paling wagu (tidak jelas) menurutku.
“Saya mau minta izin, Dek Aya diperkenankan untul menjenguk Abah saya,” ujarnya. Aku malah melihat Mas Ruli tidak sedang meminta izin, karena penekanan katanya seperti seorang bos pada bawahannya. “Anu,saya bukan ...,”
Gawat, dia mau bilang bukan tunangannya. Kutendang kuat-kuat lagi kakinya. Mata dia melotot seketika.
“Maksud saya bukan tidak boleh, tapi Abah itu siapa?”
Bagooos, Mas Boni! Teriakku dalam hati.
“Abah itu sebutan untuk ayah saya. Ayah saya saat ini sedang di rumah sakit, beliau ingin bertemu Yaya.
Eh, mas Boni planga plongo lagi. Ish, aku gemas. Kutendang sekali lagi. Tapi kok, aku menendang angin? Ketika aku tengok ke kolong meja bundarku, ternyata kaki Mas Boni sudah disingkirkan dan menjauh dari jangkauanku.
“Boleh nggak Mas Boni?’ terpaksa aku bicara juga akhirnya. Siapa juga yang mau menunggu planga-plongonya selesai.
“Boleh sih, tapi terserah Dek Aya,” jawab Mas Boni gagap.
“Terima kasih Mas!”
*** 12 Jadi seperti itu lah kejadiannya. Tanpa bisa dihindari, akhirnya dek Aya sepakat menjenguk Abahnya Mas Ruly dengan syarat aku diperkenankan ikut, dan Mas Ruly ternyata tidak keberatan sama sekali. Aku lah yang sebenarnya keberatan ikut. Bukan apa-apa, merasa tidak enak saja harus masuk terlalu jauh ke urusan pribadi mereka, meskipun aku kepo juga. Tapi dek Aya memaksa. Dia merasa tenang jika aku ikut bersamanya. Lagi pula, setelah dipikir-pikir ulang, kalau aku tidak ikut, siapa coba yang bisa ceritain sama kalian nanti, hayo. Kalau masalah kepo sih bisa lah ditekan, aku kan sudah pertengahan tiga puluhan, sudah dewasa untuk menentukan bagaimana seharusnya bersikap dewasa. Begono ... Silakan mari mari yang mau muntah.
Disepakati aku dan Dek Aya akan menjenguk keesokan harinya pukul sembilan pagi. Tadinya Mas Ruly ingin sore itu juga, hanya, Juminten yang biasa membantu Dek Aya aplusan jaga kios, tak bisa dihubungi. Ya, sudah akhirnya diputuskan esok paginya. Lagi pula Dek Aya perlu mempersiapkan mental bertemu mantan mertuanya, ya, kan? Ketemu mantan suaminya saja dia kikuk tak habis-habis, apalagi mau langsung pergi berduaan. Keesokan harinya. Kami menyusuri koridor rumah sakit dengan langkah pendek-pendek dan diupayqkqn setenang mungkin. Raut wajah dek Aya juga lebih santai dibanding kemarin sore. Wajahnya tampak segar berbalut kerudung warna peach selby, juga jumpsuit over all berbahan denim warna biru tua dengan lapisan dalam kaos putih. Jadi kelihatan modis dan lebih muda dari umurnya. Hmmm, aku jadi curiga.
Begitu sampai di ruang perawatan VIP, seorang pria renta terbaring lemah dengan infus serta selang oksigen. Matanya sayu. Tapi begitu melihat Dek Aya, matanya langsung bercahaya dan juga senyumnya yang mengembang sempurna, melukis garis-garis kerut di wajahnya yang memancarkan kewibawaan. “Gayatri anak ku, kemari nak, abah rindu,” sapanya seraya menjulurkan lengan ke depan.
Dek Aya mempercepat langkah untuk mendekat ke tempat tidurnya, “Abah, Aya ngga suka Abah di sini, cepat sembuh, cepat lah pulang.” Dek Aya meraih tangan kanan orang tua yang dipanggilnya Abah itu, lalu mencium punggung tanggannya berkali-kali. Amat takzim. Dek Aya bahkan tidak dapat membendung air matanya. Aku menjadi tahu kalau Dek Aya punya hubungan dekat dan hangat dengan mantan mertuanya. Ia tidak terlihat dibuat-buat. Dek Aya bahkan tidak sungkan merajuk kepada mantan mertuanya itu, karena telah abai menjaga kesehatannya. Mertuanya juga tampak sayang sekali kepadanya, terlihat dari caranya mengelus lembut kepala dek Aya sampai berkali-kali.
“Sudah tidak usah khawatir Abah cuma kecapaian, kemarin habis bedah balong ada orang yang mau hajatan jadi ikan Abah diborong,” (menguras kolam dengan maksud mengambil ikannya)
“Lho, Mas Saman memangnya kemana?”
“Istrinya kan melahirkan, jadi tidak bisa bantu Abah. Sudah lah, dokter bilang juga Abah cuma kelelahan. Kamu kok tidak pernah mampir ke rumah Nak, padahal Abah rindu dibuatkan sotomu itu.”
Dek Aya mendadak mendelik tajam ke arah Mas Rully. Ada hal yang dipertanyakan di dalam sorot mata Dek Aya. Sementara Mas Ruly hanya menggaruk kepalanya dan tertunduk.
“Abah ingin soto ya, biar Aya carikan sekitar sini saja kalau begitu,” ujarnya sambil beringsut dari kursi.
“Tidak tidak Nak, Abah barusan sudah sarapan. Maksud Abah nanti kalau Abah sudah diperbolehkan pulang.”
“Oh kalau begitu, biar nanti Aya titipkan Mas Ruly. Sekarang Aya sudah buka so ...,”
Belum selesai Dek Aya bicara, Mas Ruly langsung menyambar, “Abah sudah minum obat?”
Abah menengok ke arah mas Ruly dan mengangguk. Lalu kembali matanya di arahkan pada Dek Aya, “Bilang apa tadi Nak?”
“Aya mau bilang; Abah, biar pun kita sudah tidak,”
Lagi-lagi omongan Dek Aya terjeda karena Mas Ruly memotong, “Abah sebaiknya jangan banyak pikiran kalau mau cepat sembuh,” kata Mas Ruly seperti tergesa-gesa.
Kulihat Dek Aya mengernyitkan kening. Lalu dengan polosnya berkata, “jadi Abah belum tahu kalau Aya sama Mas Ruly sudah,”
Mas Rully nyamber lagi, “Sudah anu Bah, Yaya sudah positif mengandung!”
“Hah!” serempak aku dan Dek Aya ternganga, dan berseru histeris. Tidak dengan Abah yang malah tersenyum lebar.
“Alhamdulillah, akhirnya setelah sekian lama kalian menunggu, Allah menjawab doa-doa kita. Ini hadiah buat Abah Nak, Abah senang bukan main.”
Wajah Abah benar-benar terpancar bahagia. Begitu bahagianya sampai butiran air mata menggenang di kedua matanya. Sementara itu, Dek Aya terpatung kaku dengan mata membesar bulat penuh -—menatap tak percaya pada Mas Ruly. Mas Ruli lalu mendekat ke samping Dek Aya dan merengkuh bahu Dek Aya. Ada gerakan menolak, tapi Mas Ruli meremas ujung bahu Dek Aya.
Perlahan ada butiran bening yang mengalir pelan di dekat hidung mungil milik Dek Aya. Raut wajah sedih yang berbeda, dengan tangis khawatir ketika tadi ia bertemu Abah pertama kalinya. Ini kesedihan yang lain. Seperti nelangsa.
Perlahan aku mulai mencerna ketidak-beresan ini. Aku yakin Mas Ruli sedang menutupi perceraiannya dengan Dek Aya di depan Abahnya. Dengan kata lain, Abahnya belum tahu kalau mereka sudah bercerai. Tapi mengapa ia tak ceritakan terlebih dulu pada Dek Aya sebelum sampai di ruangan ini? Kenapa? Atau, mungkin kah dia takut pada reaksi dek Aya, jika diceritakan kalau Abahnya ternyata belum tahu perceraian mereka. Mas Ruli takut dek Aya akan menolak mentah-mentah ajakannya menjenguk Abah? Entah lah, yang jelas aku jadi ikutan tegang dengan situasi di ruangan ini.
“Abah maafkan, Aya Abah,” ucap lirih Dek Aya. Tangisnya makin tak terbendung saat meraih tangan Abah dan menjatuhkan wajah yang berurai air mata di sana.
“Lho ini berita bahagia, kamu kok malah minta maaf, Nak?” Abah terkekeh, juga dengan sisa-sisa air mata.
“Maafkan Aya kalau selama ini nggak bisa jadi menantu yang baik, atau kurang berbakti sama Abah, maafkah juga kalau Aya tak bisa jadi is ...,” Kalimat dek Aya menggantung lagi —- tertahan sesegukan tangisnya. itu cukup membuatku menahan nafas tegang. Kulihat Mas Ruli tak hanya tegang, tapi wajahnya mendadak berubah pucat. Mas Ruly sudah pasrah.
Dalam situasi genting seperti itu, tiba-tiba sebuah suara memecah kesyahduan ruangan ini.
“Ya ampun Zheyeng, dihubungi sulit sekali, aku pikir kenapa-kenapa, untung aku tanya bu Ratmi, katanya Bapak gerah, kok nggak bilang sih.”
Heny!
Jantungku rasanya melorot ke lantai saking terkejutnya. Aku yakin semua orang di ruangan ini, kecuali Abah, pasti menatap kebingungan. Gila, tidak pakai assalamualaikum, main tabrak saja nih cewek. Lihat-lihat ‘sikon’ kek. Makiku dalam hati.
“Lho ngapain kamu sampai sini, Hen?” pertanyaan panik. Kata-katanya meluncur begitu saja dari mulut Mas Ruly yang semakin pucat pasi. Suaranya bergetar aneh.
“Lho ini kan weekend, katanya kita mau ...,”
Tak sempat Heny menyelesaikan kalimatnya, dek Aya tiba-tiba menaikkan sandaran kepalanya yang semula bertumpu di punggung tangan Abah. Matanya masih basah air mata. Ia menatap nanar dan sekilas-sekilas pada Heny, kemudian kembali lagi pada raut wajah Abah yang menatap Heny dengan pandangan tidak mengerti.
“Semoga kehamilan saya ini bisa memperbaiki segalanya ya, Abah, mohon doakan saya dan Mas Ruly Abah,” kata Dek Aya dengan tekanan kalimat penuh emosional. Tapi itu cukup membuat Abah mengabaikan Heny.
“Pasti Nak, pasti abah doakan yang baik-baik. Jaga kandunganmu untuk Abah ya, Abah sudah tak sabar ingin menimangnya.”
“Hah! Siapa yang hamil?” Heny bertanya entah pada siapa, yang jelas wajahnya perlahan memerah. Aku sudah tidak bisa bayangkan, bahkan melihat wajah Mas Ruly pun sungkan. Rasanya aku tidak tega pada semua orang di ruangan ini. Ada satu sisa kesadaran ku untuk berusaha mengatasi situasi yang amat menegangkan ini. Kesadaran sebagai ... mungkin satu-satunya orang yang masih bisa melihat jernih. Aku mendekat pada Heny, lalu memegangi tangan dan pinnggangnya sambil berusaha menggiringnya ke luar ruangan.
“Tolong Mbak Heny, bersabar lah, Abah sedang sakit, jangan bawa permasalahan apapun di ruangan ini, sebaiknya kita keluar. Ayo bicara sama Mbak,” bisikku pelan di dekat telinganya.
Lewat bahasa tubuhnya, Heny berusaha melepaskan diri dari aku.
“Tolong mengertilah, Mbak, bersabar lah saya mohon, setelah ini Mbak bisa tanya sepuasnya sama Mas Ruly. Tapi kali ini saja tolong percaya sama saya, ayo ikut saya Mbak, kita bicarakan ini di luar,” bisikku selembut mungkin, agar hatinya tak terluka.
Setidaknya detik ini, aku memerlukan kedewasaannya untuk bisa menyikapi situasi yang mungkin sangat mengejutkannya. Mengejutkan siapa pun sebetulnya. Hanya kematangan sikapnya yang dibutuhkan saat ini, dan alhamdulillah, akhirnya Heny mau juga di ajak ke luar ruangan. *** 13 Perjalanan hidup Dek Aya terbilang pelik. Banyak hal yang terpaksa dia telan tanpa sempat mengunyahnya lagi. Ibarat keselek biji kedondong; mau dimuntahkan susah, ditelan juga sakit. Pernah membayangkan tidak, mengapa kehidupan kita kadang sulit kita kendalikan, padahal ini tentang hidup kita sendiri, ya, kan? Jangan bicara kuasa Allah yang maha besar dulu, Tak ada kekuatan yang bisa melawan kalau itu, Bos besar menggenggam takdir, sementara kita menggenggam kuaci.
Tapi, disadari atau tidak, kita hidup di dunia ini, tidak sendiri. Andai kita hidup sendiri, mungkin bisa hidup kita atur semau sendiri. Sayangnya kita bersinggungan dengan hidup dan keinginan orang lain juga. Jadi seperti pusaran angin puyuh gitu. Kalau apes tersapu badai, kalau beruntung ya kita bisa berpegangan dan selamat dari badai. Bukan berarti kita terpaksa berlarut-larut dalam tanda-tanya penuh kegetiran itu tadi. Dek Aya buktinya, ia masih bisa menikmati kelucuan-lucuan di balik segala pusaran yang membuatnya pening dua puluh satu keliling. Percaya atau tidak, jika kita merasa bundet bin ruwet dengan segala permasalahan hidup, atau terombang-ambing keikhlasan yang sebelumnya masih gamang, antara ikhlas dan tidak, terkadang dengan berani melepaskan dan pasrah, atau jika perlu abaikan. Justru cara seperti itu akan menuntun kita pada jalan keluar yang sebelumnya gelap untuk ditemukan. Seperti melempar dadu ke udara; kita pasrahkan saja kepada angin, tekanan grafitasi dan sistim probabilitas untuk menentukan angka apa atau berapa yang muncul ketika dadu itu jatuh di hadapan kita. Pokoknya terserah pada situasi di luar diri kita (ingat, kita kan sudah bundet).
Cara ini terbukti ampuh ketika dek Aya sudah pasrah dengan masalah keruwetan yang terjadi di rumah sakit tempo hari. Eh, tiba-tiba suatu malam, kira-kira pukul delapan, persis ketika Dek Aya bersiap-siap tutup kios, tahu-tahu Heny datang dengan wajah amat sedih dan kuyu. Tak nampak lagi make up cetar di wajahnya. Dia datang nyaris tak dikenali, ya, karena tanpa make up itu tadi. Anggap Heny adalah dadu. Oke? Aku tahu banget kejadian ini karena Dek Aya minta izin numpang ngobrol di kursi teras rumahku dengan Heny. Tentu saja, sekadar teh aku suguhkan untuk mereka sebagai tuan rumah. Setelah itu aku menarik diri karena rasanya tak pas saja kalau ikut nimbrung, meskipun mereka tak keberatan, bahkan menawarkan untuk bergabung. Tapi ini masalah mereka, aku tidak berhak ikut campur apalagi ikut nguping. Tapi ... bohong ha, ha. Lah gimana ... obrolan mereka terdengar jelas sampai ke ruang TV kok. Mas Hen sampai risih dan memilih masuk kamar. Situasi yang membuat aku dilema antara; nonton Netflik atau menguping. Tentu saja, aku memilih menguping. Nonton juga percuma suara mereka menari-nari di udara. Akhirnya, aku pindah ke sofa di dekat jendela, di mana mereka sedang berbincang-bincang. Sebelumnya, aku sengaja mengganti cahaya lampu ruang tengah ini dengan lampu redup. Lalu, hati-hati menyibak sedikit gorden agar relnya tidak bersuara. Nah kalau begini yang di luar tidak akan melihat jelas ke dalam, tapi aku bisa melihat jelas ke luar. “Mbak Gayatri pasti lelah mau istirahat, maaf saya ganggu malam-malam ya,” kata Heny dengan suara serak dan mata yang sembab. “Iya nggak apa-apa Mbak, ada hal penting apa memangnya, Mbak?” suara Dek Aya terlihat tenang. Tumben. “Berhari-hari saya sulit tidur, Saya memikirkan tentang berita kehamilan Mbak tempo hari,” ujarnya pelan. Tak nampak lagi wajah yang sebelumnya amat percaya diri. “Sebaiknya Mbak Heny tanya Mas Ruly saja,” jawab Dek Aya mengambang. “Sudah, tapi dia tidak mau jawab, dia bilang aku diminta mundur dulu sampai masalah dia dengan Abah dan Mbak Gayatri selesai,” “Kamu mau suruh mundur?” “Nggaklah!” jawab Heny nge-gas. Weeits Dek Aya sudah ber-kamu-kamu. Heny pun tak mau menyerah begitu saja rupanya. “Ya sudah maju terus saja!” balas Dek Aya agak ketus. “Perasaan tadi saya tanya tentang kehamilan itu, kan?” “Kalau saya nggak mau jawab gimana?” “Ya nggak bisa gitu, ada hati yang dipertaruhkan di sini,” “Lho, kan, saya nggak merasa ikut taruhan.” Iki uopoh, mereka ini lagi bicara apa sih. Sebal aku mendengarnya. “Ini bukan tentang merasa ikut taruhan atau tidak, Mbak kan, perempuan juga, bagaimana rasanya terombang-ambing.” “Lha gimana, masak saya harus bikin perahu?” “Kok Perahu?” “Lha itu tadi kamu bilang terombang-ambing.” Heny mendengus pelan. Aku tahu dia menahan kesal, “Mbak.” “Nggih.” Heny menarik nafas,“nggak begitu lah, saya ini serius, tidak sedang bercanda,” “Lho, apa kamu lihat saya tertawa terbahak-bahak?” Heny kali ini mendengus dengan suara cukup keras. “Saya harus pakai bahasa apa agar Mbak Gayatri mengerti,” Mereka berdua terdiam, seperti sedang mengeja pikiran masing-masing. Dua hembusan nafas kasar Dek Aya mengawali kalimatnya kemudian. Fix malam ini mereka adu mendengus. “Kita memang sama-sama perempuan, dan kita terhubung masalah dengan orang yang sama, tapi masalahku sama Mbah Heny jelas berbeda. Ruang atau kamar kita berbeda. Saru (nggak sopan) kita masuk kamar masing-masing Mbak. Karena kamar adalah ruang pribadi, jadi Mbak salah alamat jika bertanya sama saya. Sebaiknya Mbak Heny tuntaskan dengan Mas Ruly. Yang jelas dan nyata; saya dan Mas Ruly sudah bercerai. Itu saja bahasa saya, terserah kalau Mbak bisa paham atau tidak saya tidak akan menjelaskan apa-apa lagi.” Uwow! Aku tak menyangka sama sekali, Dek Aya bisa bicara segamblang dan setajam itu. Aku hampir saja berdecak kagum untuknya. Dalam kondisi tertentu, seorang Dek Aya ternyata tidak selugu yang aku bayangkan. “Apa sulitnya sih, tinggal jawab hamil atau tidak?” Mbak Heny terdengar mulai naik pitam. “Kalau saya jawab soal itu saya nggak dapat nilai juga, ngapain saya jawab. Ini bukan ujian nasional, toh?” Jawab Dek Aya tak kalah ketus. Tapi apa hubungannya dengan ujian nasional coba. Ck. “Mbak Gayatri hamil?” Mbak Henny keukeuh mendesak. “Tanya saja Mas Ruly!” “Mbak Gayatri pengen balik sama Mas Ruly?” “Tanya saja Mas Ruly!” “Atau jangan-jangan Mbak sengaja menjebak Mas Ruly dengan mengaku hamil, agar lamaran ke saya batal?” Heny terlihat makin emosional. Dek Aya langsung terdiam. Wajahnya menegang menahan marah. “Kamu nggak sopan tahu nggak!” “Emang nggak! Situ mau apa?” tantang Heny. “Pengen lambemu ta suwek (Sobek)!” “Coba aja kalau berani!” tantang Heny. “Nggak Ada gunting disini, kalau ada udah tak sobek?’ “Sobek, Apa?” “Ini!” jawab Dek Aya memegang lengan bajunya, dan sreeetttt! disobek beneran itu bajunya! Setdah. “Buat apa?” “Buat nutup lambe suwekmu itu!” “Kamu ngancam?” Bentak Heny. “Aku sobek baju bukan ngancam, lah lambe memang suwek, nek nggak suwek gimana kamu bisa ngomong! Ternyata bodoh juga kamu ya?” “Sebodoh-bodohnya aku, nggak pake ngaku-ngaku hamil demi mendapatkan Mas Ruly kembali,” jawab Heny dengan senyum mengejek. “Sebodoh-bodohnya aku, nggak akan merengek-rengek nanya sama mantan istrinya, dengan mata bengkak dan suara serak habis meratapi nasibnya yang malang,” balas Dek Aya telak. Cuping hidung Heny kembang-kempis menahan amarah. “Move on mbak Gayatri, move on-lah, biarkan Mas Ruly jalani hidupnya dengan tenang.” “Lha kamu pikir saya nggak laku apa?” “Mana buktinya? Yang saya tahu malah terhembus isue hamil,” “Oke sebentar.” Dek Aya menengok ke arah rumah, ke arah kaca, di mana aku sedang deg-degan level dewa. “Mbak Nay, sini, Mbak!” teriaknya. Terang saja aku terperanjat. “Sudah, keluarlah Mbak, aku tahu Mbak Nay nguping di situ!” Bajigur kok Dek Aya tahu sih, aseeeeem. Buru-buru aku beringsut ke teras. “Mbak ini urusan hidup dan mati, tolong panggil tunangan ku Mas Boni, biar Mbak ini tahu kalau hidupku tak segetir dia,” ujar Dek Aya. Wajah-wajah di depan ku ini sudah termakan api amarah. Dua-duanya sedang saling menjatuhkan satu sama lain. Mereka memperebutkan posisi superior-nya entah untuk apa. Aku sedih melihat kondisi ini. “Mbak?” panggil Dek Aya tak sabar melihat aku malah terbengong-bengong. “Sebaiknya kalian tenang dulu, semua kan bisa dibicarakan baik-baik nggak perlu lah saling menyudutkan satu sama lain. Mbak Heny juga seharusnya jangan memaksa Dek Aya menjawab sesuatu yang bisa jadi, ia sendiri perlu penjelasan juga dari yang bersangkutan, yaitu Mas Ruly. Semua Jawaban sebetulnya ada di tangan Mas Ruly,” “Tapi Mas Ruly sulit sekali diajak komunikasi urusan ini Mbak Nay, apalagi ini menyangkut segala isu hamil lah, siapa yang nggak kemput-kemput, coba,” sahut Heny mulai menurunkan tensi. “Iya, Mbak paham. Cuma jangan juga Dek Aya jadi sasaran kegundahan mu, padahal semua jawaban ada di Mas Ruly. Begini saja saya ada akal.” Aku pun kecuwas-kecuwis, berbisik pada mereka berdua tentang rencana ku. Seperti dugaanku, mereka akhirnya setuju dengan rencana ku mengakhiri segala keruwetan tak jelas ini dan Heny mau juga dibujuk untuk pulang setelah kuyakinkan sedemikian rupa. Aku dan Dek Aya sampai harus mengantarnya ke lintasan conblock, dimana motornya terparkir demi memastikan ia benar-benar mau pulang. “Asem, baju kesayanganku sampai sobek begini,” keluh Dek Aya ketika berjalan mengantar, sekaligus berniat pulang sekalian ke rumahnya. “Iya nanti saya ganti, gitu aja repot,” sahut Heny tanpa menoleh. “Susah ini dapetnya, apa sanggup kamu?” “Apa susahnya sih nyari yang begitu?” “Eh, sana kalau bisa, wong ini dapat give away dari sese-artis terkenal. Kono moro neng Jakarta ndodok lawange artis kae, nek ra diketak satpam,” (sana nyamper ke Jakarta ketuk pintu rumah artis itu kalau nggak digetok sama satpam-nya).
Heny melengos kecut. *** 14 Hari yang mendebarkan pun datang. Mas Ruly akhirnya bersedia datang memenuhi undangan Dek Aya. Ia rela menutup kios sotonya satu jam lebih cepat dari biasanya, demi menuntaskan masalah yang membelit seperti ular. Dek Aya juga sudah meminta izin padaku untuk menerima Mas Ruly di kursi teras, tentu saja aku mengizinkan. Dari pada mengundang fitnah menerima Mas Ruly di kiosnya, karena harus menutup rolling door. Soalnya kalau tidak ditutup, orang akan keluar masuk, karena dipikirnya masih buka, sedangkan mereka berdua perlu pembicaraan serius, dan tidak terganggu orang yang berniat membeli soto. Ya sudah, akhirnya Dek Aya memutuskan tutup dan menumpang di terasku. Aku sempat mengusulkan di rumahnya saja, cuma dek Aya bilang, bakal sulit meminta pengertian Ibunya. Akan banyak pertanyaan nantinya, dan masalah ini tentu akan menggelisahkan Ibu. Jadi lebih baik mereka selesaikan ini dengan tenang dan dewasa. Itu artinya, aku bisa ... nguping! Eh tunggu, tapi ini juga Dek Aya yang minta, siapa tahu ada hal yang tak diinginkan terjadi, aku kan bisa melerai.
Tahu tidak rasanya waktu Dek Aya bilang begitu? Serasa aku menjadi tokoh Avangers. Jagoan yang punya kekuatan melerai, bahkan mendamaikan, halah. Bagaimana kalau kita kasih nama buat tokoh baru avangers berikutnya? Uhm, kita sebut saja Lady of Peace? Woy jangan tertawa dulu, bisa jadi itu tokoh super hero penting. Penting di jaman milenial yang penuh konflik ini, dimana semua orang berlomba menunjukan kekuatan super dan superiornya, tapi tidak ada satu pun tokoh yang mampu mendamaikan, iya kan? Buat apa saling merasa jago, tapi hanya ingin saling mengalahkan. Hebat memangnya kalau sudah bisa mengalahkan? Tak peduli lawanmu bonyok-bonyok. Pokoknya menang. Bodo amat mau bener atau salah. Pokoknya menang. Memang sih, sedari kecil kita diajari; kalau yang benar pasti menang, tapi kita lupa diajarkan; yang salah bisa lakukan apapun untuk menang, dan menang!
Tak ada kehebohan mematut penampilan kali ini. Dek Aya tampil apa adanya, tanpa make up malah. Aku sih maklum, siapa pun jika dihadapkan masalah ruwet seperti yang dialaminya, boro-boro sempat mikir dandan, atau pakai pakaian keren. Bahkan kalau tidak ada yang protes bau, mandi pun pasti malas.
Sementara itu, mas Ruly sih tetap kelihatan keren, walau datang cuma berkaus crewneck warna kelabu polos, dipadu celana basic jeans. Rambutnya tersisir rapi ala wet look. Dia berjalan tenang ketika digiring ke kursi teras, didampingi Dek Aya yang membawa dua mug bening berisi teh yang tampak mengepul itu. Saat itu tepat pukul tujuh lebih dua puluh delapan menit ketika ku tengok jam dinding.
Sesaat mereka berbasa-basi sedikit tentang kabar masing-masing. Tak lupa Dek Aya juga menanyakan perkembangan kesehatan Abah.
Lalu.
“Jadi gini Mas, tentang kejadian di rumah sakit itu.” “Yaa, aku tahu kamu pasti kaget,” Mas Ruly menarik nafas dalam dan panjang. Sementara Dek Aya menunggu kelanjutan kalimat Mas Ruly yang mengambang barusan.
“Maaf ya, aku panik waktu itu. Aku juga tak punya keberanian bilang sama Yaya sebelumnya, kalau Abah memang belum tahu kalau kita bercerai.”
“Lho kenapa Abah nggak diberi tahu?” Helaan nafas Mas Ruly terdengar berat sebelum menjawab, “gimana mau kasih tahu, baru diajak duduk Abah sudah ribut mau ketemu Yaya tentang okra yang baru di tanamnya-lah, atau sibuk menanyakanmu karena ada jamur di batang tanaman lain lah, atau pupuk ini, pupuk itu, aku kan jadi sibuk bikin alasan. Lama-lama jadi lupa mau ngomongin kondisi kita,” keluh Mas Ruly. Dek Aya hanya tersenyum.
“Ya wajarlah lah Mas, Abah kan tahu background pendidikan ku memang urusan tanaman dan sejenisnya.”
“Itu dia, dan puncaknya pas di rumah sakit itu, Abah ribut sekali tanya terus tentang Yaya. Sampai aku kesal, nyaris saja mau langsung bilang, tak pakai basa-basi lagi, kalau kita sudah berpisah. Eh Abah malah bilang, ‘setelah mendiang Ibu, cuma Yaya yang telaten merawat Abah, ngingetin Abah,' dan juga merasa cocok dengan hobi berkebunnya. Abah bahkan sampai bilang, menantu lainnya nggak ada yang setulus dan setelaten Yaya katanya. Aku kan jadi urung lagi mau cerita kalau kita sudah pisah. Sulit banget Ya, bukan aku tak mau cerita tentang kita sama Abah.”
Dek Aya terdiam dan tertunduk memainkan ujung kain lengan bajunya. Berani taruhan pasti dia mewek.
“Bukan salah menantu lainnya juga, mbak Sri dan mbak Jen kan, punyak anak. Anaknya masih kecil-kecil lagi, ya pasti nggak sebanyak waktuku dampingi Abah, Mas.”
“Iya aku sih paham. Tapi kalau ku pikir-pikir lagi, omongan Abah ada benarnya juga. Mbak Sri sama Mba Jen memang hormat sama Abah, tapi mereka hormat sebatas menantu pada mertuanya, sementara Yaya lebih seperti memperlakukan ke Ayah sendiri kalau kulihat. Suka ngomel-ngomel kalau Abah terlalu asik di kebun dan lupa makan. Yaya sampai harus menelepon Pak Samin tiap hari untuk urusan itu, ya kan?”
Dek Aya hanya mengangguk tanpa menoleh ke arah Mas Ruly, karena terlalu sibuk menghapus air mata dengan ujung lengan bajunya. Nah, apa kubilang, mewek kan dia.
“Aku kan sudah di tinggal Ayah sejak SMP Mas, wajar aku jadi dekat sama Abah. Seperti dapat figur Ayah gitu. Tapi Mas tiba-tiba bilang aku hamil juga salah,” jawab Dek Aya lirih.
“Itulah, Aku kan, jadi repot waktu itu, spontan aja karena panik. Yang terlintas di kepala cuma itu,” sahut Mas Ruly dengan mata mengembara ke langit gelap.
“Njuk gimana sekarang coba.” “Ya mbuh, Ya.” “Lho ya nggak bisa mbuh gitu. Kalau Mas mbuh aku jadi bingung,”
“Ndodok (jongkok) aja kalau bingung.” Dek Aya cemberut.
“Nggak Lucu tahu.” “Ya emang, aku kan pengusaha, bukan pelawak.”
“Pengusaha juga perlu lucu.” “Aku ya sudah berusaha, tapi garing.”
“Garing ya di angkat, gosong nanti kalau kelamaan di jemur.” “Nggak lucu, Ya.”
“nggak lucu kok, Mas ngikik.”
“Lho aku cuma kasihan sama kamu, kalau nggak ketawa.”
“Mana ada orang kasihan tertawa, ada juga nyantunin. Begitu cara beramal.”
“Lho aku ya kasih amal tertawa, siapa tahu kamu butuh buat leluconmu, meskipun garing.”
“Amal kok kasih tertawa nggak mutu blas.”
Tanpa sadar aku memutar mata. Ternyata mereka sama-sama wagu (konyol).
“Lho memangnya Yaya pengin di kasih amal apa?”
“Amal sholeh.” “Lho aku ini ya sholeh lho, sekarang lima waktuku tak pernah di qodho-qodho lagi, nggak tahu kan kamu, Ya?” “Terus aku harus jempalitan sambil uwow gitu?
“Iya dong, jal sekarang,” tantang Mas Ruly.
Tiba-tiba Dek Aya melakukan gerakan-gerakan tangan, seperti tarian, eh bukan, seperti gerakan silat, lalu berujung mengembangkan tangan di dagu, seperti kelopak bunga dan membulatkan matanya, kemudian berseru,”Uwooow!”
Ini apa-apaan coba konyol nggak habis-habis. Eh Mas Ruly malah terkekeh melihat aksi Dek Aya. Hadah hadah.
“Jelek tampangmu, Ya,” balas Mas Ruly masih terkekeh.
“Tapi ngangenin kan?”
Mas Ruly mengangguk,”Iya.”
“Ngangenin tapi dicerai juga,” usik Dek Aya.
“Ya, gitu lagi. Kita sudah janji nggak mau bahas ini lagi.” “Iya maaf Mas keceplosan.”
Tiba-tiba.
Seseorang dengan motor matic hitam masuk ke lintasan conblock dan berhenti di sana. Aku terperanjat. Dua orang di teras itu juga pasti terkejut. Jantungku langsung berpacu kencang. Ngapain itu Heny datang! Harusnya bagian dia besok, setelah pertemuan Dek Aya dan Mas Ruly malam ini rampung. Lha ini mereka masih acara wagu-waguan kok malah datang kesini.
Waduh gawat! Ini benar-benar gawat! Dek Aya dan Mas Ruly bahkan belum sampai pada pembicaraan inti. Justru itu bagian terpenting dari rencana yang sudah disepakati malam itu. Aduh gimana ini. Terus-terang aku panik sejadi-jadinya. Saking paniknya, aku sampai bingung. Aku sempat berdiri, lalu hendak keluar, tapi balik lagi ke jendela. Terus berdiri lagi, jalan lagi ke pintu, tapi balik lagi, begitu terus sampai kebelet pipis.
Sementara itu, dengan tenang Heny membuka helm, begitu mesin motornya mati. Menaruhnya di spion dan melenggang dengan senyum yang mengembang ramah. Seolah tak terjadi apa-apa. Wajahnya cantik dengan make up komplit. Tubuhnya yang sintal tampak molek di balut busana indah warna pastel. Suara high hill-nya menambah irama langkahnya makin terlihat seperti irama kaki pragrawati di panggung cat walk.
Dan dua orang yang di duduk di teras hanya menatapnya terkesima. Diam dan beku. Detik-detik mendebarkan itu makin meningkat ketika Dek Aya mulai bolak-balik menengok ke jendela, ke tempatku menguping. Melihat itu, aku malah seperti dapat tekanan berat — rasanya jauh melampaui ketika dibebani target deadline jaman aku bekerja dulu. Aku sudah merancang ini sebaik dan sedamai mungkin bagi mereka bertiga, tapi kenapa Heny melanggar perjanjian? Di sinilah, di tengah gemuruh debaran yang memuncak peranku sebagai tokoh Avangers baru di uji. Aku sang avanger “Lady Peace” harus menghadapi perangnya dengan berani. Aku langsung bergegas dengan mata beringas menuju ... kamar mandi! 15
Sekembalinya aku dari kamar mandi, kulihat Heny sudah duduk di antara Dek Aya dan mas Ruly. Anehnya mereka semua bungkam tanpa kecuali. Satu huruf pun tak ada yang keluar dari bibir mereka. Bahkan sekedar bertegur sapa saja tidak. Wajah mereka tidak setegang tadi, tapi kesan kaku masih tergambar jelas di raut mereka —- meskipun Dek Heny berusaha keras terlihat santai. Terus bagaimana ini?
Aku mulai mempertimbangkan apakah bergabung atau tidak untuk mengatasi situasi ajaib di luar sana. Kalau aku keluar, kok ya lancang gitu, karena sesungguhnya tidak ada alasan apapun yang bisa membuat keberadaan ku kelihatan wajar di antara mereka bertiga. Kalau tak keluar, mereka kok, kayak robot semua. Mau sampai kapan mereka saling membisu begitu.
Sampai suara Dek Aya akhirnya memecah hening, “Sebentar aku buatkan minum untuk kamu, ya?’ ujarnya lembut tanpa tekanan emosional seperti pertemuan mereka sebelumnya.
“Terimakasih,” jawab Heny mengannguk.
Sementara itu, mas Ruly mengernyitkan alis sambil menatap Dek Aya. Aku tak tahu artinya apa.
“Sebentar,” pamit dek Aya. Tubuh rampingnya lalu bangkit dan berlalu dari hadapan mereka.
Tapi loh loh loh .. ia bukan menuju kiosnya, malah menuju dapur ku. Saat itu juga aku langsung melesat ke dapur dengan kecepatan cahaya. Cahaya lilin, sih. Nyaris aku bertabarakan dengan dek Aya di belakang partisi. Setdah cepat juga dia bergerak. Dek Aya pasti lari begitu pandangan mereka terhalang tembok.
“Gimana nih, Mbak?” “Iya, ngapain juga sih si Heny pake kesini segala. Dia kan tahu giliran kamu dulu, baru besoknya dia,” sahutku. “Itulah.”
Kami pun berjalan menuju sofa dimana aku tadi “mendampingi” dek Aya dari dalam. Hanya kami memilih agak menjauh dari kaca.
“Ya sudah kamu tidak usah bikin minum, biarkan saja mereka mau bagaimana. Dek Aya tunggu saja disini.” “Begitu ya?” “Iya begitu saja lah. Kalau Heny tidak sabar menunggu bagiannya, ya sudah, biarkan saja dia ambil bagianmu,” jawabku ngasal.
“Betul juga, kalau saya ngotot juga buat apa ya, Mbak, toh, secara legal saya kan sudah bukan apa-apanya Mas Ruly lagi.”
“Bukan hanya itu, predikat selow harus tetap di sandang kamu. Selow hadapi apa pun, kondisi apa pun, berada dimana pun. Setuju?”
“Setuju banget Mbak, biarpun hati merintih pedih, harus selow,” katanya.
“Lho kok merintih pedih, sih?” “Ya Alloh Mbak, lihat, mas Ruly, tambah ganteng aja, liat bodynya sekarang, belum lagi rambut barunya, juga wanginya yang tadi sempat tercium, seger,” serunya berbisik sambil mata merem-melek.
Aku susah payah menahan tawa agar tidak meledak, ”Halah sepuluh tahun lagi juga dia kayak Mas Hen,”
“Jadi maksudnya bakal jelek juga?”
“Ish, Mas Hen jelek-jelek begitu di hatiku tetep paling ngguanteng, kamu saja yang memang terlanjur ilfill sama Mas Hen,” kataku pura-pura nyolot.
“Ngganteng dari mananya hadeh, aneh begitu.” Dek Aya terkekeh. “Ngguanteng itu lihatnya jangan pake mata Dek, tapi pake ini,” kataku sambil menepuk dada.
“Alhamdulillah istriku pancen oye,”
Seketika aku dan Dek jempalik kaget karena tiba-tiba mendengar ada suara bas nan menggema. Kami serempak menoleh ke arah belakang sofa — dekat meja makan, Di sana lah suamiku terlihat sedang mengunyah semangka.
“Papah ni loh ngaget-ngageti.” “Salah sendiri, lampu pake dinyalain remang-remang, sampai nggak tahu sekeliling, dasar para penggosip.”
“ini bukan gosip, enak saja, ini tentang kelangsungan martabat hidup orang banyak,” sanggah dek Aya sengit. “Hash, lebay,” cibir Mas Hen.“Ah susah emang ngomong sama orang nggak jelas!” “Ya iyalah nggak jelas, karena lampunya redup, coba kalau dinyalain, semuanya akan terang benderang, ini lihat—-” ujar Mas Hen sambil ngeloyor ke arah saklar lampu. “JANGAN! seru kami serempak. Mas Hen tertawa. Lalu berjalan ke kamar, eh, tapi ia balik lagi dan menepuk saklar. “JANGAN!” ulang kami lagi kompak. Dan ternyata Mas Hen hanya menggoda. Suamiku itu menepuk bagian tembok di sebelah saklar. Tidak benar-benar saklarnya. Dia tertawa terpingkal-pingkal sambil masuk kamar. Puas sekali. “Tuh liat, kayak gitu kok ngguanteng, Mbak!” Aku mengangguk geli, “Lho lha iyess. Justru itu.” Dalam jeda kesunyian, sedetik setelah tawa kami terhenti. Samar-samar terdengar isakan dari arah luar. Aku dan Dek Aya saling pandang. Seolah berada dalam oleh frekuensi yang sama, sesuatu menggerakan kami untuk menghampiri sofa di dekat jendela itu tanpa di komando. “Nggak begini juga caranya Zheyeng,” lirih suara Heny terdengar kemudian, sesaat kepalaku dan kepala Dek Aya saling beradu. Tapi kami memilih tidak mengaduh. “Aku nggak seneng terus di mata-matai seperti ini, Hen. Rasanya aku seperti penjahat perang. Masalahku dengan Gayatri di rumah sakit tidak sesederhana kamu memandang dan menyimpulkan sendiri begitu. “Perempuan memang begitu kan zheyeng, lebih mengandalkan feeling dibanding laki-laki. Tapi kebanyakan justru dari feeling itu segala kebusukkan terungkap.” Mas Ruly mendadak menajamkan sorot matanya, “Feeling juga bisa menyesatkan pada prasangka. Kamu sqlah, bukan Gayatri yang mengaku-ngaku hamil demi menggagalkan hubungan kita. Tapi aku yang terpaksa berbohong demi Abah,” sanggah Mas Ruly sengit. “Aku nggak ngerti Zheng, makanya jelasin,” rengek Heny.“Kan aku sudah bilang, tunggu sampai aku selesaikan keruwetan ini. Kasih aku ruang. Mundurkan langkahmu dulu, jangan maunya mendesak terus, apalagi mengutit aku sampai sejauh ini. Lihat, sekarang malah Gayatri yang kasih kita ruang, padahal aku yang bikin gara-gara di rumah sakit tempo hari.” Mas Ruly terdiam sebentar. Ia meraih mug tehnya dan meminum beberapa tegukan sebelum melanjutkan. “Aku kesini demi menjelaskan semuanya. Eh malah kamu buntuti aku. Sudah berapa lama kamu sembunyi untuk menguping?” “Aku nggak sembunyi Zheng, aku langsung datang ke sini?” “Dari mana kamu tahu aku di sini kalau tidak membuntuti?” Heny terdiam. Dadaku berdebar kencang, Kencang sekali. Mati aku! Akulah biang keroknya. Tangan dek Aya tiba-tiba menggenggam. Dia sepertinya tahu kekhawatiranku dan berusaha menentramkan. Tapi aku sudah terlanjur cemas. “Uhmm ... aku tidak membuntuti. Feeling yang menuntunku ke sini, dan feelingku kali ini benar, kan?” Aku langsung bernafas lega. Jago berkelit juga Heny. “Bukan berarti feeling mu yang benar,” ujar Mas Ruly sambil membenarkan posisi duduknya yang tak salah sama sekali. Akhirnya meluncur ulang dari bibirnya; penjelasan tentang berita hamil dek Aya yang di dengar Heny di rumah sakit tempo hari. Heny tak bisa sembunyikan kesedihan mendengar betapa dekatnya Dek Aya dengan Abah. Matanya berkaca-kaca, tapi tak ada tetesan yang jatuh. “Jadi Zheng ingin kembali sama Gayatri?” tanya Heny setelah seluruh cerita tuntas diceritakan. “Ya nggak sesederhana itu juga lah, Hen, kamu ini lho, ah. Dek Aya saja sudah punya tunangan toh?” Sekilas kulirik Dek Aya yang sedang menunduk sambil memilin ujung bajunya. “Katanya Zheyeng sayang sama aku dan dek Rosi,” ujar Heny dengan nada memelas. “Aku memang sayang anak mu seperti anak ku sendiri, itu juga salah satu alasanku jalan sama kamu.” Air mata Heny akhirnya tumpah, “terimakasih Zheyeng, ini kata-kata yang paling menenangkan aku. Jadi kekhawatiranku salah kan kamu ingin kembali pada Gayatri?” Mas Ruly menarik nafas panjang. “Sudahlah Hen, kasih saja aku waktu menyelesaikan kekacauan yang ku buat ini. Mengertilah.”“Aku sebenarnya ingin menyampaikan berita, sejak rencana kita jalan-jalan weekend kemarin itu, eh malah timbul masalah ini,” sela Heny. “Berita apa?” Heny menegakkan punggunnya lalu menatap Mas Ruly lekat, dengan pandangan yang sulit diterjemahkan. “Berita apa Hen?” ulang Mas Ruly “Sebenarnya,” Heny menggeser-geser duduknya, “sebenarnya, aku mau bilang kalau aku ... aku ha...mil zheng.” Mata Mas Ruly membulat besar, sebesar mata ku juga yang terkejut mendengar ini. Dek Aya juga. Dia bahkan sampai menutup mulut dan menggelenggelengkan kepalanya karena kaget. “Hamil gimana Hen, coba ulangi? “Ya, hamil ... hamil anak kamu, ingat waktu kita kelepasan sekali saat di rumahmu waktu itu.” “Iya aku ingat waktu itu, tapi kita cuma sekali kan Hen?” tanya Mas Ruly ingin diyakinkan. “Iya sekali, dan itu pas masa subur, Zheyeng,” ujar Heny gelisah. Wajah Mas Ruly mendadak tegang, perlahan wajahnya mulai berubah kaku. Dia seperti antara terpana dan tergagu. Aku tidak bisa gambarkan, karena adegan di luar sana menegangkan sekali.“Aku tak sangka benar-benar tak sangka Hen.” “Iya aku juga Zheyeng,” potong Heny. Tiba-tiba Mas Ruly berdiri. “Itu bukan anakku Hen, sepertinya hubungan kita harus berhenti di sini. Aku tarik janji ku melamar kamu Hen.” Aku dan Dek Aya bebarengan menutup mulut dan saling tatap dengan mata melotot, lalu terpana melihat Mas Ruly pergi dari teras membawa wajahnya yang memerah dengan langkah cepat. Ia tidak peduli Heny tergopoh mengejar dan memanggilnya berulang-ulang. Tubuh Mas Ruly tak bergeming, menoleh pun tidak. *
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan