
Pernikahan Wasiat 1 ada di Wattpad.
Tapi, langsung baca yang ini pun gak apa-apa.
Part Pembuka
‘Az Kakek mohon … jagalah dia. Dengan itu janji Kakek sudah terpenuhi.’
‘Namanya Emilia. Anaknya baik, dan Kakek ingin kamu menikahinya.’
Mata yang sebelumnya terpejam itu terbuka perlahan. Menatap nyalang langit-langit berwarna putih yang terpampang di atasnya. Tangannya bergerak, mengusap kedua matanya bergantian. Basah. Dirinya menangis lagi. Kepalanya menoleh ke arah samping, untuk memastikan sesuatu.
“Masih belum bangun, hm?” Azhar mendekatkan mulut pada sudut bibir wanita itu. “Selamat pagi,” ujarnya diikuti dengan kecupan singkat di sana.
Tidak ada reaksi apa-apa. Masih sama dengan hari-hari sebelumnya. Wanita itu hampir mirip seperti mayat, dingin dan pucat. Tetapi Azhar tidak akan mengeluh. Ada beberapa kejadian yang mengajarkan Azhar untuk selalu bersyukur dengan situasi yang selalu dihadapi.
Seperti saat ini. Meski Emilia belum sekalipun membuka mata sejak melahirkan anak-anak mereka, masih ada sisi baik yang bisa Azhar syukuri. Ia bersyukur, Emilia-nya masih bisa bertahan sampai sekarang. Nadi wanita itu masih berdenyut, dan fungsi jantungnya masih berjalan. Dokter hanya menyatakannya koma, bukan meninggal.
Azhar tidak akan sanggup jika harus kehilangan perempuan itu untuk kedua kalinya. Dulu kehilangan Emilia mungkin hanya kehancuran yang dirasakannya, tetapi jika sekarang mungkin kehancuran akan dilengkapi dengan kegilaan. Tidak hanya dirinya, tetapi dua malaikat kecilnya juga masih membutuhkan kehadiran wanita itu.
Kehilangan Emila yang pertama, ketika Aulia menculiknya sampai Emi dinyatakan meninggal. Itu kehancuran terberat yang menimpanya pada saat itu. Tapi Tuhan masih mau berbaik hati pada Azhar, Ia masih menjaga Emilianya.
Tidak akan adil jika Emilia diambil oleh-Nya begitu saja sedangkan Tuhan tau, Emilia pernah berjuang mati-matian untuk mempertahankan pernikahan mereka. Kini giliran Azhar yang harus berjuang, menyelamatkan Emilia. Menjaga supaya detak jantung wanita itu tetap berada dalam titik stabil. Hukum alam memang harus selalu adil bukan?
Ada konsekuensi dari setiap tindakan. Ada karma dari setiap kejahatan. Ada pahala dari setiap kebaikan dan ada manis dari setiap kesabaran (?). kesabaran yang dijalaninya kini pasti akan berbuah manis juga pastinya. Pun dengan perjuangannya sekarang. Bisa diartikan sebagai balasan untuk kebaikan yang pernah Emi lakukan dulu.
Azhar turun dari ranjang. Membenarkan letak selimut bekas tidur mereka sampai tertata rapi menyelimuti badan Emi seorang. “Kakak pulang dulu sayang. Akan Kakak sampaikan salammu pada anak-anak kita.”
Kembali Azhar mencium Emi, kali ini pada keningnya. Cukup lama, sampai air mata itu kembali memenuhi penglihatannya. Tidak ada kata-kata yang bisa Azhar ucapkan sebagai bentuk dari kerinduannya pada wanita ini. Ia menyesal. Ia marah. Ia membenci dirinya yang egois dulu. Azhar akan terima jika nantinya wanita ini membencinya. Satu hal yang tidak akan pernah Azhar izinkan. Wanita ini meninggalkannya.
Kecupan itu mewakili semua perasaannya. Semua tersalur dari sana berharap Emi bisa merasakannya juga.
“Darren akan menjagamu untuk hari ini.”
“Ya. Dan gue udah di sini dari subuh.”
Azhar berbalik, menoleh ke asal suara. Ada Darren disana. Duduk selonjoran pada sofa putih dekat jendela. Tatapannya fokus pada layar smartphonenya, sedangkan tangan yang bebasnya ia gunakan memasukan keripik singkong ke dalam mulutnya.
“Ck.” Azhar berdecak. Pantesan aja kelakuannya nyeleneh. Kebanyakan ngonsumsi yang renyah-renyah sih jadi isi otaknya juga ikutan renyah.
“Apa sih. Cak ck cak ck. Kalau mau pulang—pulang aja sono. Gue gak perlu di sambut, suer Az.”
“Bangke.” Satu kata yang sangat sempurna untu menyambut kehadiran Kakak ipar kecilnya itu.
“Sesama bangke gak boleh saling ngatain. Mending ngaca sama-sama yok.” Darren memamerkan senyum sinisnya.
“Gak harus. Gantengan gue. Dunia tau itu.”
“Seketika langit cerah menjadi mendung. Awan putih berubah gelap. Suara petir bersahutan dari arah yang satu dengan arah yang lainnya. Hujan pun turun dengan derasnya. Dunia menangis, menangisi kegantengan Azhar yang tidak bermanfaat.”
“Serah Ren serah.” Azhar sudah tidak tertarik untuk menimpali kegilaan Darren. Ia sudah melangkahkan kakinya ke dalam toilet. untuk sekedar membasuh muka dan gosok gigi.
“Az. Ponakan-ponakan gue apa kabar?”
“Baik.” Azhar muncul dari pintu toilet dengan wajah yang lebih fresh.
“Bagus deh. Ada perkembangan apa aja? Lo udah ajarin apa aja. Naik motor? Bawa mobil? Gigit-gigit—“
“Gue pulang dulu Ren. Kalau ada apa-apa sama Emi langsung kabari gue aja.” Azhar telah selesai berganti pakaian. Yang asalnya kaus oblong menjadi kemeja bekas pakainya kemarin sore. Terlihat laki-laki baru saja memasangkan kancing kemejanya.
“Sialan. Gue dikacangin.” Darren mendengus.
“Receh sih.”
“Padahal gue bokek kan. Receh aja kagak punya.”
“Udah jomblo, bokek pula. Tidak ada kemirisan yang lebih memprihatinkan dari itu. Tidak ada. Banyak-banyakin sabar Bang….” Azhar menepuk pundak Darren sebelum mengambil ponselnya yang tergeletak begitu saja di atas meja.
“Sampe rumah nanti kirimin foto si kembar ya. Buat jadiin foto profile di pesbuk.”
Azhar menghentikan sejenak langkahnya yang sudah sampai di dekat pintu. Ia menoleh untuk menimpali ucapan Darren. “Ya. Kalau sempet.”
***
BAB 1
Hari masih sangat pagi ketika Azhar memarkirkan mobil di pekarangan. Pun dengan keadaan rumah, masih sepi. Hanya ada dua orang pekerja yang tengah beres-beres. Tanpa banyak membuang waktu Azhar bergegas menaiki anak tangga dan masuk ke dalam kamar anak-anaknya.
Di sana ada Zahra yang masih tidur diapit oleh anak-anaknya. Azhar menepuk-nepuk pipi adik perempuannya itu pelan. “Ra … Zahra. Bangun.”
“Zahra….” Azhar sedikit menarik pipi adiknya dengan keras. Membangunkan Zahra termasuk kedalam salah satu cobaan di setiap paginya. Adiknya itu sangatlah kebluk, harus mempunyai kekuatan extra untuk membangunkannya.
“Nggghhhh….”
Tuh, kan. Azhar menghela napas panjang begitu melihat Zahra yang malah mengubah posisi tidurnya. Menepuk-nepuk Zahra yang tengah tidur sama saja seperti memberikan usapan lembut, dan akan semakin mengantarkannya ke dalam dunia mimpi lebih dalam.
Azhar sudah tahu itu. Tetapi ia tidak tega jika harus membangunkan Zahra dengan cara kasar. Memukul atau menyiram dengan air misalnya. Bagaimanapun juga Azhar masih membutuhkan bantuan dari adiknya ini. Zahra sudah menjelma sebagai sosok ‘Adik multi fungsi’ nya. Tidak hanya menjadi seorang adik, pada saat-saat tertentu Zahra juga bisa menjadi Babby sitter, sekretaris, dan partner diskusi tentang perkembangan anak-anaknya. Berkat Zahra, Azhar jadi banyak tau mengenai apa yang baik dan tidak baik untuk perkembangan anak-anaknya.
Bunda Fatma sempat menawarkan untuk membantu menjaga kedua anaknya itu, tetapi Azhar menolak. Alasannya simple, ia ingin menjadi Ayah yang layak dimata anak-anaknya. Dan untuk bisa sampai ke titik itu Azhar membutuhkan Zahra di sampingnya. Anggap saja sebagai pembelajaran juga bagi Zahra, supaya jika memiliki anak nanti sudah tidak terlalu kaku lagi.
Kembali pada keadaan saat ini. Tujuan Azhar membangunkan gadis itu, agar Zahra berpindah tempat ke kamarnya dan Azhar yang akan menggantikan posisi Zahra tadi. Menemani anak-anaknya tidur sebelum berangkat ke kantor.
Tetapi tidak ada tanda-tanda Zahra akan membuka matanya. Ya sudah lah. Sebaiknya Azhar membersihkan diri dulu sambil nunggu Zahra terbangun dengan sendirinya.
Sebelum keluar dari sana, Azhar menyempatkan diri memperhatikan wajah anakn-anaknya yang masih terlelap. Keduanya sama-sama menggemaskan. Masa lucu-lucunya. Setiap harinya selalu ada saja perkembangan yang ditunjukannya, dan Azhar tidak pernah melewatkan moment perkembangannya itu sekalipun.
Ia yang menyaksikan sendiri bagaimana anak-anaknya bisa tengkurap untuk pertama kali. Bagaimana saat mereka bisa menepuk-nepukan kedua tangannya, dan bagaimana lucunya Azilo saat pertama kali bisa memukul kepala Azila. Saat itu wajah Azila memerah, ia terkejut tetapi tidak menangis. Hanya menatap Azhar kemudian menundukkan kepalanya.
Azila Azhari Pratama dan Azilo Emilio Pratama. Azila si pendiam, dan Azilo si pecicilan—eh ralat deh, Azilo si super aktif. Replika dari dirinya dan Emilia ada pada kedua anak itu. Semoga saja Emi menyukai nama yang diberikan Azhar pada anak-anak mereka.
Azhar sempat menceritakannya, tetapi tetap saja Emi tidak merespon apapun. Wanita itu tetap memejamkan mata, seakan dunia yang dilihat di alam bawah sadarnya lebih indah dari dua kehidupan yang telah dilahirkannya.
Tidak berhenti pada masalah nama. Masih banyak yang Emi lewatkan dari kehidupan anak-anaknya. Emi tidak sempat melihat bagaimana pertama kali mereka tersenyum. Bagaimana Azila menangis jika menginginkan sesuatu dan bagaimana Azilo bisa menyebut kata ‘Mama’ untuk pertama kalinya.
Tidak adil bukan? Azhar yang merawat, menjaga, mengganti popok, memandikan, menyuapi makan, membuatkan susu, memenuhi kebutuhan mereka. Tetapi yang keluar pertama kali dari bibir mungil mereka itu justru panggilan ‘Mama?’
Tidak. Azhar tidak marah pada mereka. Ia hanya marah pada dirinya sendiri karena masih belum bisa membuat Emi sadar. Padahal sudah delapan bulan berlalu dari saat Azila dan Azilo lahir ke dunia ini.
Bukan waktu yang singkat untuk melewati semuanya. Dan bukan waktu yang singkat juga bagi Azhar untuk mempelajari semuanya. Entahlah, dari keadaan ini apakah dirinya harus bersyukur atau mengeluh.
Bersyukur karna dirinya bisa menjadi sosok Ayah yang pantas. Dan mengeluh karna tidak bisa memberikan kasih sayang yang lengkap untuk anak-anaknya.
***
“Papa berangkat kerja dulu ya sayang.” Azhar mengecup pipi anak-anaknya bergantian.
“Iya Papa. Daaaaaa….” Zahra yang menjawab dengan menirukan suara anak kecil. Ia mengangkat tangan Azila dan Azilo kemudian menggerakannya, melambai pada Azhar.
Mereka tengah bermain di ruang tengah. Bunda Fatma masih sibuk di dapur, membereskan bekas sarapan semua anggota keluarga. Sedangkan Ayah Aldo sudah berangkat ke kantor lebih dulu. Di rumah ini hanya ada mereka berempat, karena Nenek Sari dan Diandra sudah pindah ke panti.
“Kak Az….” Zahra memanggil.
“Ya?”
“Nanti siang aku bawa anak-anak ke kantor ya. Bunda mau nengok Kak Emi, dan aku gak mau sendirian di rumah.”
“Kamu nanti berangkat sama?” Azhar menaikkan sebelah alisnya.
“Berangkatnya ya sama supir lah. Tapi nemuin Kak Az-nya sendiri.”
“Lah tadi bilangnya sama anak-anak, gimana sih?”
“Hiiihhh … Emang sama anak-anak. Maksudku, yang jaga merekanya aku sendiri gitu. Elah masa gitu aja gak ngerti.”
Azhar menyunggingkan senyum tipis setelah melihat kekesalan di wajah adiknya. Ia tahu kok maksud Zahra bagaimana, dirinya hanya sedikit usil pada adiknya itu.
“Ya udah. Kakak tunggu. Kalau ada apa-apa kabari.”
Zahra mengangguk. “Nanti sekalian belanja ya Kak. Popok sama susu si kembar udah mau habis.”
“Ok. Udah kan? Kalau udah Kakak berangkat dulu. Udah hampir telat.” Terakhir, Azhar mengusap kedua kepala anak-anaknya bergantian setelahnya ia berlalu tepat ketika Zahra menganggukan kepalanya.
“Hati-hati Papa!”
Azhar terkekeh mendengar teriakan dari dalam rumah. Satu hal yang ia lupakan, adik multi fungsinya sudah menjelma jadi anak-anakannya juga. Zahra—zahra. Azhar menggeleng sebelum memasuki mobilnya.
***
“Besok hari kelahirannya.” Bima—Ayah mertua Azhar mengambil berkas yang telah Azhar tandatangani. Wajar, karena anak perusahaan yang dikelola Bima sekarang merupan milik Azhar.
Azhar mengangguk. Ia sudah tahu dan akan selalu mengingatnya.
“Mendiang Kakek Firman sempat memberikan ini pada saya sebelum membawa Emi dari rumah waktu itu.” Dengan ragu Bima menyodorkan sesuatu di hadapan Azhar. Selembar foto yang sudah usang. Azhar mengambilnya dan hanya memperhatikannya dalam diam.
“Pasti Azhar akan bahagia melihatnya. Sebentar lagi dia akan bertemu dengan malaikat kecil yang telah menyelamatkan nyawa adiknya. Itu yang mendiang katakan ketika menyerahkan foto itu pada Papa.”
“Ini….” Suara Azhar bergetar. Ibu jarinya bergerak mengusap permukaan foto itu. “Dia….” Azhar sudah tidak bisa mengontrol kata-katanya.
Di sana ada empat orang anak. Dua laki-laki dan dua perempuan. Salah satu diantara laki-laki itu ada Azhar ketika umur sepuluh tahun. Laki-laki yang satunya juga sama seumuran dengan dia. Masing-masing dari keduanya sama-sama menggendong anak perempuan. Azhar menggendong Zahra, dan laki-laki itu juga menggendong anak yang seumuran dengan Zahra.
Tanpa sadar Azhar menyunggingkan senyumnya. Perempuan yang seumuran dengan Zahra itu tengah tertawa lebar memamerkan gigi ompongnya. Jangan lupakan juga poni doranya. Azhar akan selalu mengingatnya. Bagaimana tidak, dia adalah malaikat kecil yang telah menyelamatkan nyawa Zahra dulu.
“Ya. Dia Emilia. Kakek Firman menyebutnya malaikat kecilnya Azhar. Laki-laki yang menggendongnya Kakak keduanya, Banyu. Di sampingnya ada kamu, bersama Zahra.”
Untuk sesaat aliran darah pada tubuh Azhar seakan terhenti. Tetapi jantungnya semakin berpacu dengan cepat. Ia mendongak, mencari jawaban dari ucapan Papa mertuanya itu.
“Kamu yang meminta pernikahan itu, Az. Bukan kami,” Bima melanjutkan.
Ya. Sekarang Azhar juga mengingatnya….
***
AZHAR POV
Flashback…
15 tahun yang lalu
Kakek membawa kami sekeluarga ke sebuah pesta ulang tahun. Katanya sih ulang tahun cucu kerabatnya yang berumur tiga tahun. Entah itu benar atau cuman katanya aja, karena begitu tiba di sana aku tidak terlalu memperhatikan keadaan sekitar. Lagipula anak yang berdiri di balik kue ulang tahun ada beberapa orang jadi aku tidak tahu anak mana yang berulang tahunnya.
Setelah acara tiup lilin dan potong kue usai, aku membawa Zahra terpisah dari orang-orang yang tengah berpesta itu. Karena jujur saja, aku tidak terlalu suka dengan keramaian dan untungnya si Zahra ini tidak menolak begitu aku bawa.
Ayah dan Bunda entah dimana. Mungkin mereka sibuk mengobrol bersama orang tua yang lain.
Kini aku dan adikku sudah duduk di bawah pohon besar yang rindang. Letaknya tepat di sebrang jalan rumah yang mengadakan pesta ulang tahun itu. Dari sini kami bisa melihat siapa saja yang keluar masuk dari rumah itu. Bagus lah, setidaknya jika Ayah dan Bunda mencariku nanti aku tinggal melambaikan tangan dari sini.
Tangan kecil Zahra menarik-narik ujung bajuku. “Kak asss…, hiks. Aku enda mau disini.” Kulihat wajah adikku ini sudah memerah, matanya sudah berkaca-kaca, aku yakin sebentar lagi tangisannya akan pecah.
Aku mengeluarkan sesuatu dari saku celana dan menyodorkannya pada Zahra. Sebuah lego doraemon berukuran kecil. Pasti keadaan seperti ini—Zahra tidak sejalan denganku—Akan mendatangiku. Jadi aku memastikan untuk membawa barang yang sekiranya bisa membuat Zahra lupa akan kesedihannya.
“Kakak kata Mama enda boleh main di cini, kemalin kak ales nakal, manjat-manjat ke atas cana.”Seorang anak perempuan dengan mulut yang belepotan cream dari kue yang di makannya sudah berdiri di hadapan kami. Kepalanya mendongak, tangannya menunjuk ke atas pohon. Aku dan Zahra pun kompak mengikuti arah tunjuknya.
“Tuh, liat ada daan yang patah. Kata mama kalo daan itu jato kena olang. olang itu akan beldalah-dalah.” Memang benar di atas sana ada dahan yang patah. Ukurannya cukup besar. Tapi kenapa bisa patah?
“ Ayo pelgi dali cini. Kita ke lumah ku aja. Aku punya banyak kue pibesde loh.”Anak kecil yang kuperkirakan seumuran dengan Zahra itu kembali memasukan kue ke dalam mulutnya. Kue potongan terakhirnya.
Kini tangan kecil yang masih berlumuran dengan cream dari kue tadi sudah menarik paksa tangan Zahra. Tentu saja perlakuan yang sedikit kasar dan tiba-tiba itu membuat Zahra terkejut. Alhasil tangisan yang memekakan telinga tidak bisa dihindari lagi.
Tangisan Zahra semakin kencang. Tetapi anak kecil itu tidak peduli, tetap menarik tangan adikku sampai tubuh Zahra sedikit-sedikit menjauh dariku. Aku bangkit, bergegas menghampiri keduanya.
“Hei apa yang kamu lakukan pada adik saya? Lepas—“
BUGHHHH!
Aku menoleh ke asal suara. Di sana, di tempat yang kududuki bersama Zahra tadi sudah tergeletak sebuah dahan pohon yang besar. Benar. Dahan pohon yang ditunjuk anak kecil berbaju pink tadi akhirnya jatuh juga.
Tangisan Zahra sudah tidak terdengar kembali. Aku menoleh untuk memastikan keadaannya. Kulihat keduanya terdiam, sama sepertiku tadi menatap ke arah batang pohon yang jatuh.
Tatapanku berhenti pada anak kecil berponi dora yang memakai gaun pesta berwarna pink itu. Semuanya berkat dia. Nyawaku dan Zahra selamat berkat dia. Karena sedetik saja, aku telat melangkah dari sana mungkin aku sudah tertimpa dahan itu, dan aku tidak sanggup membayangkan apa yang terjadi padaku kedepannya.
“Zahra sayang. Kamu nggak apa nak.” Itu suara Bunda dan adikku sudah berada di gendongannya.
Sepasang tangan mengusap pundakku. Aku mendongak. “Ayah?” aku berucap pelan. Ayah mengangguk seraya berujar. “Lain kali lebih berhati-hatilah.” Aku mengangguk.
“Lia enda kenapa-napa mama. Mama jan nanis. Malu kan.” Suara itu berhasil menarik perhatianku. Seorang wanita tua sudah berjongkok dihadapan anak perempuan berponi dora tadi dan memeluk anak itu dengan erat.
“Sudah belapa kali Mama bilang. Jan main di sini. Di sini bahaya. Kenapa masih bandel huh?” Laki-laki yang seumuran dengan anak kecil itu bersuara. Tapi anak perempuan itu tidak menjawabnya.
“Kamu enggak apa-apa Li?” Anak laki-laki yang lebih besar menimpali.
“Enda Kak.”
Tanpa sadar aku ikut tersenyum juga ketika anak kecil yang sempat kumarahi tadi menggelengkan kepalanya pelan. Padahal ia masih dalam pelukan Mamanya, Mungkin?
“Mama bental.”
Ternyata benar wanita itu Mamamnya.
Anak kecil itu melepaskan pelukan Mamanya. Kepalanya menengok kesana-kemari. Dan pergerakannya terhenti begitu menatapku. Kaki kecilnya bergerak, berjalan ke arahku. Dia mengambil tanganku dan menggoyang-goyangkannya pelan. Biar apa?
“Kaka enda papa?”
Mendengar suaranya yang lembut khas anak-anak dan pertanyaan yang dikhususkan untukku, membuatku merasa bahagia. Aku berjongkok, mensejajarkan tinggi badanku dengannya. Entah dorongan dari mana tetapi tiba-tiba saja tubuhku bereaksi. Tanganku bergerak dan membawa tubuhnya ke dalam pelukanku.
Senyumku melebar kembali. Senyuman pertama yang aku berikan untuk orang lain selain keluargaku. “Terimakasih malaikat kecilku.” Bisikku yang hanya didengar olehnya.
Keesokkan harinya, aku meminta pada Kakek supaya berkunjung lagi ke rumah Malaikat kecilku itu. Tapi Kakek menolak dengan alasan keluarga malaikat kecilku sudah pindah ke luar kota.
Aku belum berhenti membujuk Kakek sampai di sana. Hampir setiap waktu aku merengek, meminta pada Kakek supaya berkunjung ke rumah Lia yang baru. Ya. Kalau aku tidak salah dengar, seseorang pernah memanggilnya Lia bukan? Semoga saja itu beneran namanya.
Rengekan yang aku lakukan tidak pernah Kakek kabulkan. Alasannya Kakek sibuk dan tidak ada waktu untuk pergi ke luar kota.
“Terus kapan? Nanti lia-nya keburu lupa sama aku.”
“Sabar ya Az. Semoga aja kita bisa ke sana secepatnya. Atau nggak, kamu bisa pegang kata-kata Kakek yang ini. Kalau Kakek tidak bisa membawamu ke sana, Kakek janji akan membuat dia datang ke sini hanya untuk kamu. Bagaimana?”
Meski cemberut tetapi kepalaku mengangguk.
Kakek melanjutkan. “Tapi janji, gak pake bolos-bolos sekolah lagi. Kalau kamu bolos Kakek tidak akan—“
“Nggak akan Kek. Az janji.” Aku menarik tangan Kakek dan mengaitkan jari kelingkingku dengan kelingking keriputnya.
“Gitu dong. Ini baru Azharnya kesayangan Kakek.” Kakek mengacak-ngacak pucuk kepalaku dengan terkekeh pelan.
Memasuki usia tujuhbelas tahun, kepercayaanku pada Kakek mulai pudar. Lia yang aku nanti tak kunjung dia datangkan. Aku tidak berani untuk menanyakan, aku takut diledek sama yang lain nantinya. Sepertinya yang mengingat malaikat kecilku cuma aku aja. Yang lain mah biasa saja, apalagi si Zahra. Gak kebayang deh nanti ledekannya kayak apa.
Dari sanalah aku terobsesi dengan semua orang yang bernama Lia. Dan nama Aulia masuk ke dalam salah satunya.
Flashback End…
BAB 2.
AZHAR POV
Tidak ada janji yang tidak Kakek tepati, termasuk membawa Emilia ke hadapanku. Tetapi, haruskah keadaan yang mempertemukan kami keadaan yang buruk. Tidak bisakah ketika Kakek membawanya, semuanya baik-baik saja? Kenapa juga harus terjadi kecelakaan itu.
Oke. Aku tahu itu Takdir. Tetapi ketika menyuruhku menikah, tidak bisakah Kakek mengatakan hal lebih dari sekedar ‘Menikahlah dengannya Az, dengan itu janji Kakek sudah terpenuhi.’ Setidaknya sampai dia mengatakan ‘Dia malaikat kecilmu.’ Singkat, namun ketiga kata itu bisa merubah segala pikiran burukku terhadap gadis kecil itu.
“Astaga. Gue ini sebenarnya kenapa?” Mataku terpejam merasakan sakit dikepalaku akibat dari jambakan pada rambut yang kulakukan. “Harusnya gue berterimakasih bukan malah menyalahkan Kakek.”
Kakek tidaklah salah. Apapun yang Kakek amanahkan harusnya bisa aku jaga dengan baik. Menikahi Emilia, itu berarti bertanggung jawab atas hidup wanita itu juga. Sebagai laki-laki yang baik, harusnya aku tidak menyembunyikan dia dari semua orang. Setidaknya aku bisa memperlakukannya dengan baik lah, bukan malah membencinya.
Sudahlah. Kenapa aku harus membahas kebodohan itu lagi. ‘Fokus pada ulang tahun Emi nanti malam Az. Hadiah apa yang bakal kamu persiapkan untuknya?’
Meski dia masih belum membuka matanya, tetapi tidak ada salahnya aku mempersiapkan sesuatu untuk merayakan hari kelahirannya. Hari yang bersejarah juga dalam hidupku, karena di tanggal itu juga aku bisa mengenal sosok malaikat kecilku. Maka moment ini tidak seharusnya aku lewatkan.
Kuambil kembali foto yang tergeletak dihadapanku, foto yang diberikan Papa Bima beberapa saat lalu. Berkali-kali sudah aku memandangi foto ini, tetapi aku tidak merasa bosan sedikitpun.
“Siang Pa—“
“Siang Papa.”
“Itu tugas gue. Jangan ikut-ikut.”
“Sttt sayang. Gak baik ngomong kasar di depan bayi-bayi.”
Aku mendongak, menatap Ken yang sudah meletakkan jari telunjuknya di depan bibir Zahra. Sedangkan tangan yang satunya tengah menahan berat badan Zilo yang berada dalam gendongannya. Sejak kapan mereka di sana?
“Gak ada sayang-sayang. Gak ada.”
“Eh, siapa bilang—“
“Selesain urusan rumah tangga kalian di rumah. Jangan di kantor gue.” Aku bangkit, mengitari meja dan berjongkok di depan trolly bayi. Di dalamnya ada Azila yang masih terlelap.
“Kak Az. Ih.”
Zahra meletakkan paper bag di atas meja kerjaku, kemudian dengan kaki yang dihentakkan ia berjalan menuju sofa jangan lupakan juga bibir cemberutnya.
“Loh. Babby tunggu. Ini Az, pegangin Zilo.”
Dengan tiba-tiba Ken meletakkan Zilo ke atas pangkuanku. Aku mengarjap untuk sesaat, menatap Zilo yang sudah memerah dan aku yakin sebentar lagi tangisnya akan pecah.
Aku bergegas bangkit seraya menenangkan anakku ini, setidaknya jika Zilo menangis jaraknya tidak terlalu dekat dengan Zila. Bibir Zilo yang bergerak bersiap untuk menangis itu terhenti setelah mendengar suara Zahra.
“Ngapain sih deket-deket.”
“Aku kan sayang kamu.”
“Sana ah sana.”
“Gak mau.”
“Zilo suka?” Bisikku di telinga Zilo. “Sama … Papa juga.” Dan ucapanku berhasil membuat Zilo bertepuk tangan. Padahal aku sangat yakin, Zilo bertepuk tangan bukan untuk merespon ucapanku melainkan karena pertengkaran tikus dan kucing yang tengah di tontonnya.
“Stop Zilo. Jangan ketawa. Ini nggak lucu.” Zahra bersiap untuk bangkit tetapi Ken menahannya.
“Jangan pergi. Tetap di sini. Biarkan dia sama Papanya.”
Aku meringis jijik mendengar ucapan Ken yang mendramatis.
“Hiii Ken. Gak boleh pegang-pegang. Gak boleh … Kak Az….” Aku hanya mengedikkan bahu ketika melihat Zahra memberikan tatapan memohonnya.
“Dih jangan pura-pura jijik gitu dah beb. Padahal ya Az, tadi di mobil tuh kita romantis loh. Momi dedi momi dedi-an. Iya kan beb?”
“Gak ya. Gak!”
“Pasti dimata orang-orang yang nggak tau kedua bocah anak itu anak lo, pasti mereka ngira gue sama Zahra ortunya.”
“Lo yang anter Zahra ke sini Ken?”Aku berjalan kembali mendekati trolly untuk meletakkan Zilo di sana. “Jangan ganggu Kakak yang masih tidur oke.” Aku memberikan pisang mainan ke tangan Zilo. Anak itu mengerjap lucu sampai kedua gigi susu yang baru tumbuhnya terlihat jelas. Tanpa sadar tanganku bergerak, mencubit pelan pipinya. Betapa menggemaskannya anakku ini.
“Iyap.” Suara Ken terdengar, mungkin untuk menimpali pertanyaanku yang tadi.
Jadi? Mereka beneran satu mobil? Sulit dipercaya. Aku mengangguk samar. Ya sudahlah, apa urusannya denganku.
“Bunda yang maksa. Dan aku sebagai anak baik, yang selalu taat kepada perintah Bunda dengan sangat-sangat berat hati harus mengiyakannya. Bapak supirnya, disabotase Bunda. Kasian sekali Ayah. Istri tercintanya ada main sama—“ ucapan Zahra mengudara setelah aku menatapnya dengan sinis.
Adikku itu tidak berubah sedikitpun, tidak bisa mengontrol ucapannya sendiri dan itu malah akan semakin membuat Ken menyukainya. Lihatlah sekarang, dengan senyum manis yang terukir dari bibir Ken—mungkin itulah yang ada di pikiran orang-orang ketika melihatnya, tetapi di mataku senyum itu sangat menjijikan—laki-laki itu menatap Zahra tanpa berkedip.
“Lanjutkan beb.” Ken semakin cengengesan. Zahra mendengus sebal.
“Ayo anak-anak. Kita makan di kantin aja.” Aku sudah beranjak mengambil paper bag yang Zahra letakkan tadi. Isinya masakan Bunda untuk makan siangku. Aku belum membukanya, tetapi aku bisa mengetahuinya dari aroma yang keluar dari sana.
“Ayo.” Zahra sudah berdiri di belakang trolly, bersiap mendorongnya.
Aku melirik Ken yang masih duduk di sofa. “Gak ikut lo?”
Ken bangkit dengan menghembuskan napas kasar, kemudian berujar. “Gak deh. Gue ada urusan. Paling cuman nganter kalian. Yuk.” Langkah Ken terhenti di sebelah Zahra dengan tangan yang hampir memeluk pinggang adikku itu, sebelum sampai Zahra sudah menepisnya pelan.
“Gak boleh pegang-pegang,” Zahra berujar.
“Kalau cium-cium?”
“Gue gorok lo.” Sebelah tanganku sudah memelintir telinga Ken.
“Njirrr. Sakit bangke. Ini bukan gorok woy.” Seketika dering ponsel dari saku celana Ken memenuhi ruanganku. “Nah, lo denger itu? Lepasin, kuping gue mau dipake dulu.” Tangan Ken sudah terangkat, memamerkan ponselnya. Baiklah.
Menatap layar ponsel Ken diam beberapa saat, kemudian ia melirik Zahra. Keduanya berbicara lewat tatapan masing-masing, setelah Zahra mengangguk barulah Ken mengangkat panggilan tersebut. Ada apa ini? Tumben mereka kode-kodean. Pasti ada yang tidak beres.
“…”
Ken memutar langkahnya untuk menjauhi kami. Dengan sigap aku menyusulnya. Zahra sempat menahanku, tapi aku menepisnya pelan. Reaksi Zahra yang demikian semakin menambah kecurigaanku.
“Iya Bun. Kami masih di kantor Kak Az—“ Tanpa peringatan, aku mengambil alih ponsel dari tangan Ken. Kalau posisinya Bunda tidak lagi di Rumah sakit sih aku juga tidak bakalan melakukan tindakan yang tidak sopan begini. Mungkin aku akan lebih memilih menjitak kepala Ken karena masih saja memanggil Bundaku dengan sebutan Bun.
Perlu kalian tahu, Ken tidak pernah memanggil Mamanya dengan sebutan Bunda, jadi aku tahu pasti siapa Bun yang dimaksud oleh Ken di sini. Pasti Bundaku.
Aku meletakkan jari telunjuk di depan bibir, memberi isyarat supaya Ken tidak membuka suara. Tapi Ken tidak bisa di ajak kompromi sekarang.
“Balikin pon—“ Terpaksa aku membungkam mulut Ken menggunakan tanganku yang bebas.
“Tante tahu, di sana ada Azhar Kan? Jadi Tante akan menyuruhmu diam saja dan Zahra bukan pilihan yang tepat kalau di ajak bicara sekarang…” Aku menelan salivaku dengan susah payah. Kenapa perasaanku jadi tidak enak begini?
“Bunda. Ponsel Mas Ken di tangan Kak Az.” Teriakkan Zahra membuat kedua mataku terpejam dengan harapan semoga Bunda tidak mendengarnya. Sejak kapan Zahra berada di pihak Ken?
“Pelan-pelan beb. Zila jadi kebangun tuh.…” Ken melepaskan diri dan mendekat kea rah Zila sampai berjongkok di hadapan trolly bayi. Loh, kok?
“Cup-cup-cup-cup, ayo Zila pinter, bobo lagi ya sayang.” Oke, abaikan dia.
“Dengerin Tante Ken, kondisi Emi semakin kritis. Sebentar lagi Dokter akan melepas alat-alat penopang hidupnya, harapan terakhirnya hanya sentuhan fisik dari anak-anaknya. Jadi, bisakah Tante minta bantuanmu sekali lagi? Tolong bawa anak-anak sama Zahra ke sini, secepatnya. Jangan beritahu Azhar dulu, sampai kita berhasil mengembalikan kondisi Emi menjadi stabil dengan keberadaan anak-anaknya itu. Kalau tetap tidak berhasil, baru kita beritahukan Azhar.”
Klik.
Aku sudah tidak tahan lagi mendengarnya, jadi kuputuskan untuk menutup panggilan secara sepihak. “Apa maksudnya ini?” Aku menatap Zahra dan Ken bergantian.
“Aku bisa jelasin.” Zahra berjalan ke arahku. “Sebenarnya tadi Bunda ngabarin kami kalau—“
“Kalian mau bikin gue gila secara perlahan hah?”
Kemarahan yang kutunjukan membuat Zahra memundurkan kembali langkahnya dan berakhir di belakang punggung Ken, meminta perlindungan. Giliran Ken yang mendekat, jangan lupakan juga Zila yang sudah menangis dalam gendongannya.
“Iya lo udah gila. Ngapain juga lo harus marah-marah kek gini hah. Bukannya--“
“Bacot lo.” Aku mengambil alih Zila dari tangannya, kemudian bersiap untuk mengambil Zilo tetapi Zahra menghentikanku dengan berujar. “Biar aku yang bawa Zilo. Kakak mau bawa mereka ke Rumah sakit kan?”
“Pake mobil gue aja.” Ken bersuara kembali.
***
Di dalam mobil….
“Gimana perasaan Kak Az?” Zahra yang memang duduk di jok depan menoleh ke belakang, ke arahku. Aku memangku Zila sedangkan Zilo bersama Zahra. Di sebelah Zahra ada Ken yang tengah fokus mengemudi.
Mendengar pertanyaan Zahra, otomatis aku memalingkan tatapanku ke luar jendela. Pertanyaan bodoh macam apa itu? Tentu saja perasaanku tidak karuan, bagai benang kusut. Dan kedua manusia dewasa itu masih bisa-bisanya menampilkan raut wajah biasa-biasa saja. Tampang-tampang bersalah karena sudah merahasiakan sesuatu dariku tidak terlihat di wajah mereka. Cih, dasar.
Benar-benar menguji kesabaran bukan?
Setelah aku tidak menjawab pertanyaan Zahra, tidak ada lagi yang berani membuka suaranya kembali. Hanya celotehan-celotehan kecil dari Zila-Zilo yang menemani kami sampai mobil milik Ken ini terparkir di tempat tujuan, Rumah sakit.
Aku turun lebih dulu, dan menyempatkan diri mengambil Zilo dari pangkuan Zila. “Biar gue aja.”
“Kak….”
“Kakak baik-baik aja Ra….”
“Idih. Siapa juga yang nanya.” Ken menimpali.
“Diem, gue lagi males ngomong sama lo … Ayo sini Zilo sayang, sama Papa.”
“Kasiin anak itu beb, nanti kamu bisa bawa aku.”
“Gue bilang—“
“Gue gak ngomong sama lo ya.” Ken memotong ucapanku dengan nada sinis.
Kini masing-masing tanganku sudah menggendong Zila dan Zilo. Aku memasuki Rumah Sakit terlebih dahulu, meninggalkan Zahra yang masih menemani Ken mencari lahan parkir yang pas.
Aku berjalan secepat yang aku bisa, mengabaikan berat yang membebani tanganku, mengabaikan tangis ketakutan yang keluar dari bibir kedua anakku. Mungkin mereka terlalu terkejut dengan apa yang kulakukan kini. Untuk saat ini fokusku tidak tertuju pada anakku karena pikiranku terus saja mengulang ucapan Bunda beberapa saat lalu.
Tidak. Aku tidak akan menyerah di sini, tidak akan mengeluh atas informasi yang belum jelas faktanya seperti apa. Keyakinan Emilia kembali di sisiku lebih besar daripada aku harus kehilangannya. Harusnya tidak ada faktor yang membuat kondisinya kembali kritis, Dokter sudah memastikan itu. Dia hanya menyuruhku untuk menunggu beberapa saat lagi, ya beberapa saat lagi.
Tiba di depan ruang perawatan istriku, aku menghentikan langkahku sejenak. Aku baru sadar kalau tangisan kedua anakku sudah terhenti, entah sejak kapan. Ini pertama kalinya aku membawa mereka ke sini, untuk bertemu Ibu kandungnya. Karena sebelum ini Dokter dan pihak Rumah sakit tidak menyerankanku untuk membawa keduanya.
‘Bantu Papa. Jangan biarkan Mama pergi, oke….’
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
