
Seorang pria terbaring tak berdaya, tubuhnya lumpuh namun pikirannya terus hidup, membawa ingatan-ingatan lama yang manis sekaligus pahit. Dalam kesunyian, ia menulis puisi sebagai cara melawan luka batin dan kesepian, meski ia tahu puisinya tak akan pernah dibaca oleh siapa pun. Di sela-sela suara cicak yang mengiringi keheningan, ia bertanya-tanya tentang makna cinta dan pengorbanan.
Kenangan masa lalunya terus menghantui, terutama tentang seorang gadis yang mencintainya dengan tulus namun akhirnya...
Bab - 01 Sendiri Lagi.
Kali ini, aku terbaring lagi. Terbaring dalam kesunyian yang membuatku tak bisa bangkit lagi. Sama sekali berbeda seperti waktu itu, kali ini aku tak dapat menggerakkan tanganku, menaikkan kakiku, atau menggoyangkan pinggulku. Kali ini, aku benar-benar tak bisa bergerak, kecuali mengedipkan mata dan sesekali melirik ke sekitar yang selalu sepi. Tak pernah kutemukan siapa-siapa di sini. Namun, telingaku belum tuli, belum tertutup dari suara-suara yang sempat menggoda dan mengejekku dalam kelemahanku. Juga pikiranku belum lumpuh untuk mencernanya, untuk mengutuki mereka yang mencela.
Seakan percuma aku berkata kepada mereka yang terus mencelaku, lebih baik kusimpan niatku untuk meraba diriku sendiri, menggali pikiranku yang dalam. Saat berada dalam fase ketidakberdayaan ini, mengapa bayangan-bayangan itu muncul di pelupuk mataku? Bayangan-bayangan itu tidak menggangguku, tetapi kala aku melihatnya, aku menjadi teringat akan masa laluku. Dan hal itu selalu membuatku jatuh ke dalam nuansa-nuansa yang amat kudambakan, namun tak pernah bisa kugenggam, seperti sapuan angin yang selalu meloloskan diri.
Cinta yang katanya indah menurut para pujangga, bagiku hanyalah fatamorgana. Apa yang kualami seperti berjalan di pekatnya malam tanpa sebatang lilin sebagai penerang, atau seperti menggamit lembutnya tangan seorang putri di dalam dunia mimpi. Manisnya sungguh menggoda, namun bekasnya tiada pernah kurasa. Hanyalah kekosongan yang kupahami, dari tebalnya lembaran-lembaran kisahnya yang tiada pernah terputus.
Bagiku, cinta itu seperti buih ombak yang selalu mendamba bibir menawan sang pantai. Begitu amat ia kejar, namun ia malah menghilang selepas mengecupnya. Begitu juga dengan cintanya, seorang gadis lugu yang mencintaiku, si laki-laki payah yang tak berguna. Hanyalah hangat nafasnya yang tersisa sesaat tangan-tangan kasar itu menyasar pundaknya yang tak bersalah.
Begitu mudahnya orang-orang itu menilai sesuatu, menilai diriku yang punya kemungkinan untuk berubah. Tetapi apa daya diriku yang tidak bisa berbuat apa-apa di hadapan mata mereka yang seperti anak panah, kurelakan dirinya pergi ketimbang ia harus menderita bersama laki-laki payah yang tak bisa melindunginya.
Baru kurasakan kebenaran dari perkataan sang kakek yang telah lama tiada, bahwa dunia orang dewasa tak semenyenangkan apa yang dahulu kubayangkan ketika masih kanak-kanak. Dunia dewasa ini malah lebih mengerikan dari sekedar namanya yang melambangkan ketenteraman, kerukunan, dan keluasan. Seolah-olah dunia menyusut seiring bertambahnya usiaku. Bahkan dunia yang dahulu kupandangi dengan sorot mataku yang rabun, serasa lebih luas dari apa yang kupandangi sekarang ini. Bahkan untuk mendapatkan seorang teman baik saja, butuh berbulan atau bertahun untuk bisa mempercayainya. Butuh ribuan bukti untuk mengonfirmasi bahwa dia memang teman sejati. Terkadang juga butuh melibatkan pertikaian yang tiada habis-habisnya untuk bisa saling terbuka.
Pengkhianatan karena cinta dan kerasnya batu pikiran yang sulit diterjang membuatku seakan lupa siapa diriku yang sebenarnya. Dari dahulu hingga sekarang, aku selalu menganggap diriku sebagai laki-laki lemah yang payah, tetapi banyak mendapat cinta dari mereka yang tak sengaja melirikku. Akan tetapi, kerasnya bebatuan terjal pikiran itu sering kali membuatku lepas kendali menjadi seorang pria yang serupa monster, siap melibas siapa saja yang ada di depannya. Aku sama sekali tidak ingin menjadi seperti itu, seperti sosok yang mengerikan untuk dilihat apalagi untuk ditemani. Tetapi mengapa bebatuan terjal itu selalu menghalangi, selalu membuatku luka dan mengucurkan darah? Dan karena itu jugalah saat ini aku terbaring lemah di atas ranjang yang ringkih, tanpa teman yang menemani, tanpa lubang ventilasi yang menyejukkan ruangan ini.
Ada setumpuk pertanyaan yang selalu menggelayut di kepalaku, tentang mereka yang tak peduli, tentang mereka yang sulit memahami sekitarnya. Mengapa manusia selalu berprasangka satu sama lainnya, yang akan menimbulkan peperangan di kemudian hari? Mengapa manusia tidak bisa saling percaya untuk membantu sesama? Mengapa manusia harus diperintah untuk berbuat baik yang berdampak kepada sekitar dan juga dirinya? Mengapa sulit sekali kita memahami bahwa apa yang kita perbuat akan kita terima?
Tiada sanggup kuberbuat banyak untuk dunia yang terlalu luas bagiku, terlebih dengan kaki dan tangan yang lumpuh. Hanya bisa kubergumul dalam pikiranku saja, tanpa ada yang tahu bagaimana isinya, seperti apa keluhannya. Akan tetapi, aku yang telah sadari bahwa aku akan seperti ini, telah menuliskan beberapa puisiku untuk mereka.
Puisi-puisi itu sama halnya seperti dedaunan kering yang jatuh berguguran di pinggir jalan, tak ada yang memperhatikan dan tak jua ada yang mau memungutnya. Puisi-puisi itu mirip seperti sampah, yang ditulis dengan darah yang dirangkai dengan rasa kecewa. Namun bagiku surat-surat itu sama pentingnya dengan sisa waktu yang aku punya. Oleh karenanya, kupertaruhkan nyawa bagiku bisa menulisnya.
Puisi-puisi itu bagai jelmaan diriku sendiri, yang terbangun dari keluh kesahku, dari kekecewaanku juga dari pertobatanku. Aku tak berharap ada orang yang mengerti akan maksud dari puisi-puisiku yang tercela itu, tetapi tujuanku menulis lembaran-lembaran itu hanyalah untuk mengosongkan benakku yang rasanya telah tersesaki oleh wacana-wacana tak berguna yang memberatkan laju pikiran. Jadi bisa dibilang juga, bahwa surat-surat ini adalah pelapang hatiku yang sempit.
Dalam detak waktu yang terus melaju meninggalkanku yang sekarat, mungkin salah satu penghibur diriku kini hanyalah menikmati hela nafasku yang terputus-putus. Bahkan suara renyah gelak tawa sang cicak pun terasa lebih berarti dari mimpi-mimpi megah yang telah kususun selama ini dalam angan. Serasa suara tawanya dapat mengusir sepi di sini, padahal kutahu bahwa tawanya itu tengah mengejekku yang lemah. Tetapi sama sekali aku tidak dendam terhadap cicak-cicak yang tengah menggosipiku itu, karena kutahu aku memang pantas untuk ditertawai, dianggap tak berarti.
Pada sudut pandang yang terbuka, mungkin seharusnya aku mencontoh gelak tawanya yang renyah, karena itu lebih baik kurasa daripada terus meratapi diri yang nyaris mati. Setidaknya senyumanku akan terkenang pada wajah pucatku jikalau aku mati cepat, bukan muka cemberutku apalagi yang lebih buruk dari itu. Mungkin, mungkin itu akan menjadi akhiran yang lebih baik.
Sebenarnya, sejak dari kecil, aku tergolong anak yang suka senyum walau melarat kantong keluargaku. Dan kata mereka juga, mukaku yang sederhana ini susah untuk dilupa, bagai lengkung pelangi sehabis hujan yang mengesankan karisma putra sang dewa. Namun, seiring berlalunya waktu, karisma itu perlahan meluntur seperti karat besi di pagar-pagar rumah orang kaya yang terbengkalai.
Bukan aku tak ingin kembali seperti dulu kala—yang ceria—yang seakan ganasnya bunyi guntur dan kilauan cahayanya tak mampu menyurutkan semangatku untuk membela cita-cita yang aku sendiri pun tak tahu bagaimana nasibnya kelak. Akan tetapi, melalui puisi-puisi yang telah kutuliskan dengan susah payah, kuharap itu akan meringankan beban yang masih terasa menancap di pundak ini. Dan satu-satunya harapanku terhadap puisi-puisi itu adalah agar bundaku yang telah rapuh menjadi ringan kembali seperti sedia kala, seperti saat masa-masa indah itu menyapa.
Sekarang, dalam keheningan yang meraja, pikiranku mengembara ke berbagai sudut ingatan. Terbaring tak berdaya, setiap kenangan melintas seperti parade hantu-hantu masa lalu. Wajah-wajah yang dulu akrab, senyuman yang pernah menghangatkan hati, semuanya berkelebat dalam kesendirian ini. Setiap memori membawa serta rasa pahit dan manis, mengingatkan pada kehidupan yang pernah begitu penuh dengan harapan.
Namun, apa yang tersisa sekarang? Kesendirian ini begitu menyiksa, seolah-olah dunia mengabaikanku. Padahal, dulu aku berpikir bahwa dengan semangat dan ketulusan, aku bisa menaklukkan segala tantangan. Ternyata, dunia tidak bekerja seperti itu. Realitas lebih keras dan dingin, tidak peduli pada mimpi-mimpi yang runtuh.
Aku kembali mengingat gadis itu, yang cintanya seharusnya bisa menyelamatkanku dari kegelapan ini. Tetapi, seperti buih ombak yang menghilang selepas mengecup pantai, cintanya pun memudar, terkikis oleh realitas yang keras. Aku ingin sekali mempercayai bahwa cinta itu memang ada dan benar ada, tetapi Mengapa itu terasa sulit sekali. Dan kini, di atas tubuhku yang sudah lemah ini, ada seseorang yang sedang menangis sesenggukan sambil meratapi dirinya.
Bab - 2 Harmoni Yang Hilang.
Pada saat-saat kritis seperti ini, biasanya seseorang akan senantiasa mengingat kenangan-kenangan manis bersama keluarga maupun orang tuanya. Akan tetapi aku malah tidak ingin mengenangnya, karena saat kumengingatnya, rasanya seperti aku mengungkap kisah lama yang membuatku semakin gelisah.
Tepat pada saat aku dilahirkan, sang mentari mengusir gelapnya malam dan memurnikan indra penglihatan. Tetapi saat itu, seakan aku tak bisa melihat apa-apa kecuali air mata yang menggenang di pipi ibuku yang penuh kesedihan. Aku lahir ke dunia, namun ayahku malah tiada tiga tahun setelahnya. Bahkan adikku, dia telah yatim ketika dia dilahirkan. Aku sudah tidak mencontoh ayah, kecuali dari cerita-cerita tentangnya.
Aku sama sekali tidak menyesali karena aku terlahir dari hati yang luka. Malahan aku sangat peduli dengan semuanya yang menganggapku ada. Kecuali ibuku, dan semua orang yang menganggapku serupa hantu. Ada orangnya, namun tak membekas pendapatnya.
Ibuku adalah orang yang sangat baik, dia selalu menyuapiku disaat aku masih kecil, dia selalu menyisir rambutku, dan dia juga selalu menjadi orang pertama yang membangunkanku di kala warna jingga Sang Fajar mengelus wajahku. Dia adalah orang yang tak pernah telat memperingati aku untuk jangan lupa makan sebelum aku bepergian. Dan dia juga adalah orang yang paling mencemaskanku di saat aku terlambat pulang. Akan tetapi aku masih merasa janggal atas semua sikap baiknya padaku, karena dia tak pernah ada untuk mendengarkan suara hatiku, pengalaman bermainku, apalagi sebaris keluhku.
Aku selalu merasa sangat bersyukur mempunyai seorang ibu yang baik seperti dia. Dan aku pun sama sekali tidak malu mempunyai ibu seperti dia yang senang membantu sesama dan selalu mengibarkan senyumannya, walau kutahu dia tengah merasakan kecewa. Namun alangkah senangnya apabila seorang anak pun bisa menjadikan ibunya sebagai temannya juga untuk berbagi cerita guna memahami satu sama lainnya.
Seperti seorang gelandangan, begitulah nasibku saat di rumah tanpa seonggok telinga terbuka yang mau menampung cerita dan keluh kesahku. Dan seperti sebatang pohon kelapa yang tak pernah dijamah oleh hangat sinar mentari yang menghidupkan, maka dirinya akan layu dan mati secara percuma. Begitu juga dengan keadaan kejiwaan seorang anak yang terlantar oleh sisi keegoisan orang tuanya, maka karakter aslinya tak akan pernah diketahui apalagi terbentuk sesuai harapannya.
Saat kubalik memoriku ke masa sekolahku dulu, kuingat ibuku selalu menuntut aku untuk menjadi si nomor satu, tanpa dia mau tahu apa kesulitanku dan apa kegemaranku. Seringkali aku tersesat dalam menentukan minatku di sekolah, karena aku terlalu mempertimbangkan minat ibuku. Dan sering juga aku merasa kecewa karena apa yang kuminati diberi nilai rendah, sementara mata pelajaran yang tidak terlalu kukuasai, mendapat kepantasannya. Ibuku selalu tersenyum di kala dirinya melihat nilai-nilaiku, sedangkan aku malah mengurung diri setelah itu. Rasanya aku seperti menghianati diriku sendiri ketika aku merenungi nilai-nilaiku, karena aku tahu aku tidak ada di situ.
Ibuku selalu berkata, "Tugasmu adalah sekolah, sekolah, sekolah. Dan biar Ibu yang mengurus semuanya." Namun di saat aku tak bisa apa-apa karena selalu dilarang olehnya untuk berbuat sesuatu, dia malah selalu memarahiku dan tak jarang memakiku. Sesungguhnya aku merasa bingung sekali dengan jalan pikiran ibuku, sebenarnya dia ingin dibantu tetapi dia selalu melarang anak-anaknya untuk ikut campur. Dan pada akhirnya, dia malah marah sendiri karena terepotkan oleh pekerjaannya. Dan pada akhirnya juga aku pun berpikir, apakah ini yang membuat kelak anak-anak di kemudian hari menjadi anak-anak yang pemalas, manja, dan penakut untuk melangkah maju?
Dari kecil aku disekolahkan dan sampai besar pun begitu. Akan tetapi mengapa ketika kumengutarakan suatu kebenaran yang kudapati dari sekolah maupun tumpukan buku yang aku baca, dengan mudahnya ibu dan orang-orang yang usianya lebih tua dariku memuntahkannya begitu saja? Seperti mencicipi jenis makanan yang baru dikenali lidahnya, mereka mengeluarkannya secepat mereka menjilatnya. Aku bertanya-tanya di dalam kepalaku sendiri, apa yang telah salah dari hidupku ini? Saat masa kecil aku diam saja tetapi aku yang salah. Dan sekarang di saat usiaku menjelang dewasa, ketika kuberbicara aku juga yang salah dan dihindari. Aku sama sekali tidak memahaminya, tentang pikiran mereka, tentang realita yang sesungguhnya. Apakah memang realita yang seperti ini sudah lama terjadi? Atau memang aku yang buta karena lama terbungkus buku-buku sekolah yang membuat mataku buta dari realita yang sebenarnya?
Semakin aku membela pengetahuan yang kubawa dan kuyakin itu benar, semakin keras kudihempas oleh bantahan mereka yang menghancurkan keberanian. Bahkan suatu ketika aku malah hampir terusir dari kampung kelahiranku sendiri, hanya gara-gara aku mempertanyakan kegunaan suatu tradisi lama yang sudah tak relevan lagi untuk diterapkan. Mumpungnya di saat itu ada ibuku yang membela aku habis-habisan untuk mencegahku agar tak diusir oleh mereka. Namun saat di rumah, ibuku malah menangis dihadapanku seolah memohon untukku tak lagi menentang mereka.
Saat itu aku merasa sangat dilematis sekali atas apa yang kualami. Bukankah sewaktu kita disekolahkan dan mencari ilmu seluas-luasnya bahkan kalau bisa sampai menjejaki kaki di negeri-negeri orang yang nan jauh di sana hanyalah untuk bisa memperbaiki negeri atau kampung kita sendiri atas beberapa hal yang belum kita kuasai? Tetapi mengapa setiap kali anak muda berbicara, suaranya malah senantiasa dimentalkan sebelum bibirnya merapat? Lalu untuk apa kita disekolahkan mahal-mahal dan dikirim ke sebuah negeri yang jauh, jikalau pada akhirnya ide-ide baru itu hanyalah akan menjadi tumpukan batu yang tak berguna?
Saat terlalu keras batu pikiran yang ingin aku pecahkan, sementara palu yang aku punya tak memadai walau hanya membuatnya gompal, saat itulah aku memutuskan untuk pergi sendiri dari halaman rumahku meninggalkan semuanya, termasuk wajah ibuku yang mengandung rasa bersalah. Tak ada siapa-siapa yang mengantarkanku sampai ke gerbang desa, selain hanya lembayung senja yang selalu mengikutiku. Biarlah hanya dia yang menuntunku menemukan sisi dirinya yang lain yang terbit dari arah yang sama sekali berbeda dengannya. Biarkan aku terbakar oleh panasnya yang menyala-nyala. Dan biarkan aku bebas dengan segala wacana yang masih berkelebat di dalam kepala.
"Maafkan aku ibu, jikalau aku akan menjauh darimu. Biarkan aku meniti jalanku sendiri, ke dunia yang lebih terbuka, ke tanah lapang yang masih menerima setitik embun yang merana."
Tidak ada yang kukhawatirkan ketika ku pergi dari rumah, karena ibuku mungkin telah merelakanku. Walaupun kuduga hatinya kecewa karena aku tak menjadi apa yang diinginkannya. Tetapi inilah aku yang sebenarnya - yang ingin mencicipi pahit dan getirnya rasa kehidupanku sendiri.
Aku yang sekarang bukanlah bocah yang selalu menurut dengan apa yang kau perintah. Aku yang sekarang bukanlah aku yang bisa kau arahkan meskipun aku tersiksa dan tak mampu mengungkapkannya karena kau adalah ibuku. Tetapi harus kuakui tak semua apa yang kau perintahkan adalah buruk, tak semua yang kau terapkan padaku tak mempunyai nilai yang berarti. Entah mengapa saat aku bersamamu dan juga mereka yang terlalu gampang menuding seseorang, aku merasa berada di dalam penjara, yang melumpuhkan kaki dan tanganku juga pikiranku.
Dalam hatiku aku akan selalu menghormatimu dimanapun aku tinggal dan dengan siapapun aku beratap. Sekali ibu, kau adalah ibuku. Salamku untukmu ibu. Dan kutitip Sofia adikku yang manja namun sangat perhatian itu.
Bab - 3 Dua kutub yang berjauhan.
Tono kakakku, laki-laki tinggi besar sainganku. Apabila diibaratkan, kami ini serupa dua kutub yang saling mengisi, dua sisi dari satu mata uang yang senilai. Tetapi itu dulu, sedangkan kini dia sudah berubah, hingga aku tak lagi mengenali siapa dirinya.
Dulu, Tono adalah segalanya bagiku. Dia adalah sosok pelindung yang tangguh, seorang laki-laki yang selalu berdiri di antara aku dan para pembully di sekolah. Tubuhnya yang besar dan kekar bagaikan benteng kokoh yang melindungiku dari serangan kata-kata maupun sentuhan kejam. Tangan-tangannya yang kuat sering kali memukul mundur siapa pun yang berani menggangguku. Dan meskipun dia adalah orang yang pendiam serta cuek, tetapi kehadirannya selalu bisa membawa rasa aman. Dia adalah satu-satunya yang bisa membuat masalah-masalah berat menjadi terasa ringan, seperti kapas yang tertiup angin musim panas.
Tak hanya tangguh dalam bertarung, Tono juga adalah anak yang cerdas. Bahkan kecerdasannya setara dengan kejernihan air bening yang jatuh dari cangkir. Bagi ibu, dia adalah harapan satu-satunya yang diandalkan untuk mengangkat harkat dan martabat keluarga setelah ayah pergi. Kepergian ayah meninggalkan lubang besar dalam hidup kami, menjadikan keluarga kecil kami tak lebih dari sekumpulan manusia yang tak berharga di mata orang-orang desa. Tanpa ayah, kami dianggap tak punya suara, tak memiliki pengaruh, meski kami berpotensi menyatukan kembali tali persaudaraan yang merenggang di antara keluarga.
Ibu sangatlah menaruh harapan besar pada Tono, bahkan sampai mengabaikan aku dan Sofia yang padahal kami berdua juga adalah anaknya. Aku sempat iri pada segala yang didapat Tono, tapi cepat-cepat kutepis perasaan itu, karena dia memang layak. Dia unggul dalam matematika dan selalu menjadi murid terbaik, sementara aku hanyalah anak yang payah dalam hitungan, lebih suka berimajinasi dengan puisi dan cerita. Tono adalah sosok yang teratur, hidupnya bagaikan deretan angka yang pasti, sementara hidupku kacau dan berantakan.
Seiring waktu, jarak antara kami semakin lebar. Ketika kami menginjak remaja, dia lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah, alasan sekolah yang jauh kerap kali menjadi pembenar jarak di antara kami, sekalipun aku menaruh kecurigaan lain. Aku berusaha untuk mengerti perubahan sikapnya, tapi rasa sepi itu tetap ada. Dulu, meski cuek, tetapi dia masih rela menyisihkan waktunya walau hanya untuk sekedar menyapa singkat sembari memperlihatkan deretan gigi putihnya. Tapi sejak masuk SMA, dia berubah. Tak ada lagi sapaan, apalagi obrolan.
Kehidupan di rumah pun berubah. Tono pulang hanya untuk berganti baju, makan, lalu pergi lagi, lalu pulang menjelang tengah malam. Saat menyaksikan perubahannya, Ibu seakan menangis dalam diam, menahan air mata yang hanya bisa kulihat dari sudut mataku saat aku memperhatikannya. Beberapa kali ibu menasihati Tono, tapi yang ia dapat hanyalah bantahan dan kemarahan.
Dulu, Tono itu adalah anak yang sangat taat pada ibu. Apapun yang diperintahkan oleh ibu, dia selalu melakukannya tanpa syarat. Tetapi kini, dia seolah menjadi mirip seperti aku yang dulu sering membantah, sementara aku kini yang merasa prihatin melihat ibu yang kerap bersedih. Aku menduga pergaulan yang salah membuat Tono berubah, menjauh dari kami dan hanya memilih teman-temannya. Hampir setiap hari dia menghabiskan waktu di luar, meninggalkan kami dengan keheningan yang mencekam.
Suatu sore menjelang malam, aku memutuskan untuk mengikutinya, ditemani Josep yang merupakan satu-satunya teman setiaku. Kami menguntit Tono dan teman-temannya hingga ke pos bambu di ujung desa, tempat yang terkenal angker. Walau ketakutan, karena kami bersembunyi di semak-semak dan di antara pepohonan rindang yang menyeramkan, tetapi kami terus mengintai mereka dari kejauhan. Dan walau si Josep yang ketakutan sempat beberapa kali memintaku untuk pulang, tetapi aku tetap memaksanya untuk tetap tinggal - sampai aku bisa mendapat sesuatu yang memuaskan rasa penasaranku. Dan benar saja, setelah beberapa saat kami bersabar, akhirnya aku dapat melihat Tono menenggak sebotol minuman keras dengan sangat menikmati. Hatiku hancur, tapi tak ada yang bisa kulakukan. Aku tahu aku harus melaporkan ini pada ibu, tapi aku juga tahu ibu mungkin tak akan mempercayai atau menegur Tono. Karena apalah artinya omongan anak kedua yang lebih payah dari kakaknya, maka akan berakhir sia-sia.
Hari demi hari berlalu, dan Tono semakin tenggelam dalam kebiasaan buruknya. Meskipun nilai-nilainya di sekolah tetap baik, tetapi kelakuannya semakin jauh dari harapan ibu. Aku beberapa kali menyaksikannya mengulangi perbuatannya yang tercela, dan rasa sakit itu semakin dalam. Aku tak tahu harus berbuat apa, bahkan diam saja pun rasanya percuma, hingga tibalah pada suatu pagi yang tak biasa, Tono duduk bersama kami untuk sarapan. Keheningan menyelimuti, tradisi yang ditanamkan oleh ayah, untuk menikmati makanan dalam diam. Namun di tengah-Tengah keheningan itu, Tono malah tiba-tiba meminta tambahan uang jajan.
Mendengar itu Ibu pun terkejut, tetapi dengan lembut dia mencoba menjelaskan tentang keadaan ekonomi keluarga yang sedang sulit. Wajah Tono menunduk lesu, tetapi dapat kulihat matanya penuh dengan kekecewaan. Namun yang tak terduga yang keluar dari mulutnya selanjutnya ialah. Dia malah mengancam akan berhenti sekolah jika permintaannya tidak dipenuhi. Ibu dan Sofia kembali terkejut, sedangkan aku sama sekali tidak, karena sesungguhnya aku sudah memprediksikan ini sebelumnya.
Aku berhipotesis, di saat pergaulan yang menuntut dia untuk bergaya hidup foya-foya, maka di saat itulah dia akan memerlukan biaya lebih untuk bisa mengimbanginya. Dan untuk bisa mencapai itu, maka ada dua cara yang harus Tono tempuh, yaitu meminta uang jajan tambahan atau dia harus mencuri hak orang lain.
Dan lagi Ibu mencoba menjelaskan dengan sejujur-jujurnya hingga ia hampir meneteskan air mata, tetapi dengan keras Tono terus mendesak. Aku yang tak tahan melihat ibu tertekan, seketika menggebrak meja untuk menghentikannya. Namun Tono tak terima dan memukulku, yang mengakibatkan pada pagi itu terciptalah sebuah perkelahian diantara dua saudara - hingga para tetangga yang melihat kami pun berdatangan memisahkan kami karena Ibu tak sanggup Lagi. Dan semenjak saat itu, hubungan kami memburuk. Tak ada lagi tegur sapa selayaknya adik kakak, karena yang ada hanyalah kehampaan.
Saat Ibu bersedih hati, warungnya pun semakin sepi, sementara Tono jarang sekali pulang. Dan sikapnya yang demikian membuat Ibu semakin gelisah, serta bertanya-tanya tentang apa yang dilakukan anaknya di luar sana - hingga suatu hari datanglah sebuah kabar dari kepala desa bersama polisi, terkait Tono yang ditangkap karena berpesta minuman keras dan terlibat dalam pencurian. Ibu pun ambruk serentak ketika mendengar kabar itu, dan aku segera membawanya ke kamar.
Ibu merasa sangat kecewa sekali, anak yang dulu dibanggakannya kini mencoreng nama keluarga. Dulu, dengan bangga ibu memamerkan prestasi Tono, tetapi kini dia tak sanggup menghadapi tetangga. Tono yang dulu sempurna, kini malah menjadi beban. Dan akhirnya aku harus bekerja lebih keras sembari sekolah untuk bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari dan menebus Tono dari hukumannya atas permintaan ibu.
Beberapa bulan berselang Tono akhirnya dibebaskan, tetapi dirinya kini telah menjadi bayang-bayang masa lalu yang tak bisa kulupakan. Setiap kali melihatnya, aku teringat akan masa-masa indah yang telah hilang. Meskipun begitu, aku tetap berharap suatu hari nanti, dia akan kembali menjadi Tono yang kukenal, sosok yang kuat dan cerdas, yang bisa membawa kebahagiaan bagi keluarga kami.
Hingga saat itu tiba, aku akan terus berusaha, berjuang demi ibu dan Sofia, menjalani hidup dengan harapan bahwa segala sesuatu akan berubah menjadi lebih baik.
Tono mungkin telah berubah, tapi kenangan akan dirinya yang dulu tetap tersimpan dalam hati, seakan memberiku kekuatan untuk menghadapi segala tantangan yang datang. dan Sekalipun kini dia sudah menjadi hampir mirip seperti kedebong pisang yang tidak memiliki semangat hidup, tetapi sesungguhnya dari dialah aku belajar untuk bisa menjadi seorang laki-laki sejati. Tidak mudah berubah dan terus melangkah sekalipun menderita demi kemaslahatan bersama, itulah laki-laki sesungguhnya.
Bab - 4 Air mata senja.
Seraut wajah manis nan ceria, yang terakhir kali kulihat menitikan air mata. Mungkin dia adalah satu-satunya orang yang paling bersedih hati ketika telah kuputuskan diriku untuk pergi. Hanyalah seraut wajah itu yang kuingat setelah beberapa kilometer langkahku meninggalkan rumah, karena bagiku berat sekali menitipkan dirinya kepada tangan-tangan yang tak bisa mengerti perasaan orang lain, sekalipun mereka adalah keluargaku sendiri. Dan aku pun berjanji dalam setiap langkah yang telah kuambil, bahwa kelak ketika aku telah berhasil nanti, akan kuberikan singgasana terbaik untuknya.
Sofia namanya, adikku yang lugu namun tak cupu. Dia bagaikan bunga mawar merah yang baru mengembang, yang memiliki pesona wanita sekaligus kegigihan seorang pria. Seakan tiada lelah dan tiada capeknya dirinya kuamati, meski dia telah banyak menerima tugas dari sekolah dan membantu ibu seharian. Dan ketika malam menjelang, dia pun harus menunaikan kegiatan mengajinya di surau bersama teman-temannya.
Sofia memang tidak memiliki postur tubuh sejenjang aku maupun Tono, kakakku, tetapi dengan kemungilannya dia malah seringkali mengalahkan aku dan kakakku dalam hal kegigihan. Bisa dibilang aku adalah anak yang lumayan pemalas, dan aku akan bergerak apabila aku telah mendapat perintah mendesak. Sementara Tono, kakakku, juga tak jauh berbeda denganku, dia terlihat mirip seperti gedebong pisang rubuh yang tak memiliki motivasi untuk hidup sekalipun otaknya lumayan cerdas. Tetapi Sofia, adikku ini, sama sekali berbeda dari kedua kakaknya yang pemalas.
Selain ibu, Sofia adalah orang yang paling memiliki kesibukan yang padat di rumah. Dia bahkan tak pernah membantah apabila dia mendapat perintah dari ibu, meski kutahu bahwa dia sebenarnya tidak terlalu menyukainya. Sebab ibu seringkali menyuruhnya pada waktu-waktu yang kurang tepat. Semisal di saat Sofia baru saja pulang sekolah, yang seharusnya dia beristirahat tetapi ibu malah selalu menyuruhnya dengan sorot mata yang penuh dengan penekanan.
Mungkin tak ada orang lain selain aku yang memahami penderitaannya yang tak pernah ia ungkapkan, karena memang orang-orang rumah selalu menutup telinganya dari sebuah keluhan yang tak perlu menurut mereka. Tetapi aku selaku orang yang paling dekat dengannya, selalu ingin menyediakan telingaku untuk sebaris keluhnya yang tak pernah keluar dari benaknya kecuali kepadaku.
Sempit sekali waktu yang dipunyanya untuk dirinya bisa bercengkrama dengan teman-temannya, karena di umur belianya, Sofia harus menjadi pengganti ibu menunggu warung apabila ibu tengah ada urusan yang harus ia selesaikan. Sementara aku dan kakakku harus bersekolah dari pagi hingga menjelang sore baru tiba di rumah, maka dari itu Sofialah yang harus menjadi pengganti ibu melayani warung yang ibu kelola. Namun walau Sofia hanya memiliki sedikit waktu untuk bermain di luar rumah, teman-teman sejatinya, hampir setiap hari juga mengunjungi rumah, dan mengajak Sofia untuk bermain bersama sembari menunggu warung yang sepi akan pengunjung.
Gadis mungil nan pemberani, yang mungkin kelak akan menjadi wakil dari sosok wanita pejuang yang menginspirasi, begitulah harapku padanya. Meski terkadang dia suka plin-plan karena dia kerap berubah pikiran dalam kurun waktu yang singkat, tetapi kepeduliannya yang tinggi terhadap orang lain adalah modal utama baginya bisa dikenang sebagai anak yang dicintai oleh teman-temannya. Kehadirannya selalu didambakan oleh teman-temannya. Bahkan dengan kehadirannya pula, suasana hati mereka pun seketika menjadi ceria terbawa oleh raut wajahnya yang tak pernah terlihat pundung dan resah. Dan bahkan tanpanya, suasana rumah yang serupa kuburan pun tak akan pernah ramai jikalau tiada kehangatannya. Dia adalah harapan kami yang sesungguhnya, maka dari itu ketika dia sakit, rasanya kami sekeluarga pun merasakan sakit yang sama.
Apapun yang Sofia inginkan, aku selalu berusaha untuk bisa mewujudkannya, walau terkadang itu kerap menguras isi celenganku yang kurawat dengan susah payah. Tetapi demi senyumannya tetap merekah, maka apapun itu haruslah bisa kutempuh. Dia memanglah anak yang tidak terlalu menonjol dalam bidang akademis, tetapi karena dia mempunyai kegigihan dan tekad yang kuat dalam meraih sesuatu yang dia inginkan, maka semua keunggulan nilai akademis itu tidaklah perlu baginya. Karena sebuah kegigihan dan tekad yang kuat itulah, yang akan menjadikan dirinya berharga suatu saat nanti. Karena banyak sekali anak-anak yang nilai akademisnya tinggi saat di sekolah, di akhir hidupnya dia malah terkenal sebagai anak yang manja, dan pemalas kuadrat.
Seakan-akan berbicara dengan teman dekatku, ketika kuhabiskan beberapa waktuku berbagi kisah dengannya. Dan memang itulah prinsipku, walaupun dia adalah adikku, tetapi aku tidak mau menerjemahkan kata itu sebagai orang yang dapat kusuruh-suruh dengan sewenang-wenang, atau sebagai orang yang harus selalu menghormati pendapatku dan mematenkannya. Bagiku, walaupun dia adalah adikku, tetapi dia juga adalah temanku, yang setara denganku, yang boleh memakiku apabila memang terbukti aku yang salah. Mungkin bagi sebagian besar orang, pemikiran demikian akan dinilai salah atau juga bodoh. Tetapi menurutku, pendapat semua orang itu adalah sama, adalah sesuatu yang tidak boleh dinilai hanya dari statusnya saja. Tetapi pendapat itu haruslah bisa dinilai dari kaidah-kaidah yang termuat di dalamnya.
Tahun demi tahun pun berlalu. Dan dia yang kukenal lugu kini telah menjadi seorang gadis yang rupawan wajahnya, dan mungkin juga telah banyak disukai oleh pria-pria. Namun aku selalu menekankan padanya, bahwa janganlah kamu bermain dengan cinta, kalau kamu belum memahami apa itu cinta yang sebenarnya. Sebab aku tak mau dia menjadi seperti orang-orang yang dimabuk kepayang karena manisnya cinta, sampai-sampai dia melupakan jati dirinya sendiri, dan hanyut dalam gelombang pergaulan bebas yang tak berujung. Dan aku tak mau apabila dia sampai begitu.
Tak seperti penampilan masa kecilnya yang terlihat agak kecowoan, Sofia yang beranjak remaja sangat anggun hampir serupa dengan penampilan ibuku. Tetapi karakternya yang gigih dan tak mudah menyerah, masih melekat di dirinya. Mungkin itu juga akan menjadi ciri khas dari dirinya, sebagai penanda bahwa dia adalah adikku yang sesungguhnya.
Sewajarnya seorang kakak sungguhlah ingin menjaga adiknya dengan sekuat tenaganya meski itu harus mempertaruhkan nyawa. Tetapi aku malah tak bisa lebih lama bersamanya, karena sendi-sendiku terasa melumpuh ketika aku berada di kalangan keluarga dan kampungku. Rasanya ingin juga kubawa Sofia ikut bersamaku ke kota, tetapi aku sadar, bahwa itu tidak mungkin. Sebab aku juga belum tahu pasti bagaimana nasibku sendiri di kota. Oleh karena itu dengan sangat berat hati, kutitipkan dia untuk sementara direngkuh kuasa ibuku.
Masih kuingat kata-katanya sebelum aku pergi menjauh, ''Apapun yang terjadi tetap kirimi kami kabar. Dan apapun yang terjadi, kembalilah ke sini meski itu hanya sesaat.'' kata-katanya itu tak kujawab dengan lisanku, tetapi hanya kupersembahkan senyuman terbaikku untuknya. Dan di dalam hatiku aku berjanji, bahwa aku akan kembali pada suatu hari nanti, dan akan kubuat senyuman bangga di wajah ibu karena telah mempunyai anak sepertiku. Dan untuknya, adikku yang tercinta, akan kubawakan dia singgasana yang megah agar dia menjadi ratunya.
Semakin memudar senja di sore itu, maka bayang wajahnya pun semakin tak bisa aku kenali. Namun tetes air matanya yang menggenang di pipinya, masih bisa kulihat dengan jelas sebagai bukti pedihnya. Sementara bayang-bayang yang lain yang ada di belakang tubuhnya, hanya dapat kukenali sebagai sosok hitam yang menggelantung di antara redup cahaya senja yang menerjang mereka. Itulah yang kuingat. Dan itulah yang harus kuwujudkan dengan tekad.
Sejauh ini, kehidupanku di kota ibarat petualangan di hutan belantara yang penuh dengan duri dan jebakan. Keringat dan air mata menjadi sahabat setia yang menemani langkah-langkahku. Kadang, ketika malam datang dengan gelapnya yang pekat, aku merindukan kehangatan rumah dan senyuman Sofia. Namun aku tak bisa mundur. Janji yang kuucapkan dalam hati di setiap langkahku, haruslah bisa menjadi nyala api yang membakar semangatku.
Bab - 5 Lebih dari sekedar nilai matematika
"Anak pintar di sekolah seringkali menjadi satu-satunya yang terasing, tanpa banyak teman." Sayangnya, pernyataan ini benar adanya dalam hidupku. Ruang kelas seolah sepi, sementara yang lain asyik dengan kelompoknya. Sedangkan aku hanya sebatang kara, yang dikelilingi oleh buku-buku yang seakan menertawakan kesendirianku. Terkadang,aku merenung, apakah ini kutukan bagi mereka yang menumpuk ilmu pengetahuan, hanya untuk sendirian dan dilupakan setelah pengetahuannya terkuras.
Hanya dia, Josep si laki-laki jenjang berambut ikal yang suka rela mau menjadi temanku yang setia, tanpa rasa minder atau takut pada kecerdasanku. Meskipun terkadang aku kerap memarahinya karena telah membuatku lama menunggu, tetapi dia masih menjadi yang paling setia menemaniku. Sistem dunia kadang tak masuk akal, yang kita inginkan menjauh, yang tak terduga muncul menghiasi hidup.
Pertama kali aku bertemu dengan dia, yaitu pada saat pendaftaran murid baru di sekolah dasar. Bersama emaknya, Josep terlihat kumuh dan tak terurus. Pakaiannya yang kebesaran, rambut gondrong dan sendal karetnya yang tak cukup, semua itu tampak janggal sekali bagi sebagian besar orang. Bahkan karena penampilannya yang demikian, Josep malah sempat menjadi bahan tertawaan orang-orang yang melihatnya. Akan tetapi yang uniknya, Josep seakan tidak terpengaruh oleh semua tertawaan itu. Aku tak tahu, apakah dia mungkin lebih cerdas dalam mengelola emosi, sehingga dia tidak membiarkan perlakuan negatif memengaruhi dirinya. Atau apakah dia tidak mengerti bahwa orang-orang sedang merendahkannya?
Ketika langkahnya semakin mendekat, tanpa diminta, dia duduk dan mencengiriku, dan aku juga spontan balas mencengirinya. Walau penampilannya tak serapi deretan giginya yang putih, tetapi ada satu hal yang aku suka darinya, ya itu dia sama sekali tidak memiliki bau badan yang menyengat, seperti kebanyakan anak pada umumnya yang memiliki bau badan seperti domba ataupun bau gosong karena terpapar matahari. Siang itu u, layaknya dua orang sahabat yang sudah mengenal lama, kami saling mengobrol dengan akrabnya, seperti tak ada batasan kedua orang yang baru pertama kali bertemu. Dan sekalipun orang-orang di sana tengah mencemooh kami dengan gumaman mereka yang jahat, Namun seperti tak ada takutnya, kami berdua malah terus menyoroti wajah-wajah yang mencoba membuly kami dengan sikapnya. "Kenapa orang-orang itu ya? Mereka semua keliatan kaya domba, cengar-cengir padahal nggak ada yang lucu," ucap Josep yang sempat menggoyahkan perutku. "Gak tau," jawabku singkat. Mendengar perkataannya yang demikian,hal itu sontak membuatku bertanya-tanya, apakah benar dia adalah anak yang cerdas dalam mengelola emosi, atau memang dia adalah anak yang bodoh.
Selama beberapa saat, Josep masih melongo dan matanya masih tak berkedip, mengamati orang-orang yang bergumam mencemoohnya. Aku tak tahu apa yang sedang Josep pikirkan, tetapi aku tahu kini wajah-wajah itu menunduk malu saat sorotan mata tajam Josep menghantam mereka.
Aku tertegun melihat kejadian itu. Josep berhasil menundukkan orang-orang yang merendahkannya hanya dengan tatapan beringasnya. "Sekarang mereka malah menunduk layu, seperti tanaman yang jarang disirami aja. Kenapa di zaman sekarang banyak orang aneh yang gampang berubah ya," katanya. Sempat aku merasa aneh sendiri ketika mendengar perkataannya tadi, tetapi harus kuakui, dari kata-katanya itu seakan membuktikan bahwa terkadang berpura-pura bodoh itu memanglah perlu. Namun, hidup di sekolah bukanlah satu-satunya medan perjuangan.
Di dunia luar, lingkungan masyarakat juga punya andil besar dalam menggambarkan kerumitan kehidupan. Sering kali, orang-orang cenderung menilai buku dari sampulnya. Tak hanya anak-anak, bahkan orang tua turut menertawai penampilan Josep yang sangat tidak seirama dengan namanya. Bully menjadi sesuatu yang amat merajalela, seperti masyarakat yang tampaknya enggan melihat perbedaan. Reaksi tubuhnya lekas menerjemahkan seisi kepalanya, dan dari dekat, hal ini benar-benar terasa. Orang-orang pintar di negeri ini kerap mengkritisi perilaku kurang bijak masyarakatnya, tapi aku yang tak sepenuhnya mengerti pikiran Josep, melihatnya tetap bersikap biasa dan malah menjabati mereka yang menertawainya.
Semenjak hari pertama aku bertemu dengannya yang begitu mengesankan, sampai sembilan tahun kemudian, aku dan Josep tetap bersama dan selalu satu sekolah. Aku tak peduli dengan apa yang orang lain katakan tentang pertemananku dengan Josep yang seakan kekal, asalkan bau badannya tidak merusak indra penciumanku yang lugu, selama itulah dia akan tetap menjadi temanku. Tidak ada persyaratan yang rumit untuk menjadi temanku; asalkan badannya tidak bau dan tidak juga banyak mengeluh, itu sudah pasti aku terima dengan sukarela.
Josep adalah sosok yang unik. Walau dia tergolong anak yang susah menghapal, apalagi memahami teori kompleks, tetapi dia memiliki otak yang sangat kreatif, terutama dalam bidang negosiasi dan mencuri waktu luang hanya untuk selonjoran sampai sore di tanah lapang menatap langit. Aku juga tak tahu kenapa dia selalu betah melakukan kebiasaan seperti itu setiap hari. Seperti tiada bosannya dia menatap langit yang selalu mencueki segalai curhatannya mengenai bapaknya yang entah di mana dan sudah memiliki istri berapa, Tetapi dia selalu rutin melakukannya. Sekali lagi, itu hanya perkiraanku yang berusaha menebak apa yang sedang bergejolak dalam benaknya saat dia tengah melamun panjang.
Josep adalah anak yang memiliki nasib yang hampir mirip denganku. Kami berdua sama-sama kehilangan sosok seorang ayah sejak kecil. Tetapi yang membedakan antara aku dan Josep adalah bahwa Josep masih bisa melihat sosok bapaknya yang katanya mirip dengannya. Sayangnya, satu-satunya hal yang paling dia ingat dari sosok bapaknya hanyalah ketika bapaknya meminta izin kepada emaknya untuk menikah lagi, dan itu menimbulkan perang yang lebih mengerikan dari perang mana pun yang pernah terjadi di dunia. Oleh karena itulah Josep berkeras diri untuk menjadi seorang laki-laki sejati yang tak akan pernah menghianati cintanya meski nyawa taruhannya.
Josep, anak kampung lugu yang memiliki banyak sekali variasi imajinasi di dalam kepalanya. Walau dia tak pandai memecahkan soal-soal matematika di sekolah, dia malah mahir sekali dalam menghitung lembaran-lembaran uang hasil berjualannya, Yang kuanggap itu sama cerdasnya. Katanya, soal-soal matematika yang rumit itu tidak membuat kita kaya, karena yang membuat kita kaya adalah jualan. Maka dari itu, dia sama sekali tidak memusingkan nilai matematikanya di sekolah, karena yang penting baginya adalah kepuasan langganannya dengan pelayanannya sehingga mereka akan kembali membeli barang dagangannya lagi.
Sebenarnya, dalam hatiku sempat merasa iri dengan kehidupan yang dijalani oleh Josep yang bebas dan asyik dengan segala kesibukannya berjualan. Emaknya sangatlah perhatian terhadapnya, tidak seperti ibuku yang selalu menekanku untuk selalu menjadi juara di sekolah. Yah, meskipun dari penekanan-penekanan itu aku menjadi anak yang berprestasi di sekolah, tetapi bayaran untukku bisa menebusnya sangatlah besar. Aku tidak punya teman selain Josep, selalu disirikin oleh mereka yang tak mampu bersaing, dan selalu dimanfaatkan oleh anak-anak yang badannya lebih besar dan lebih kuat untuk menconteki hasil kerjaku. Belum lagi dengan semua waktu yang kuperlukan guna menanam semua pengetahuan itu di dalam kepalaku, tak jarang juga aku salah menebak apakah sudah malam ataukah masih senja. Bahkan untuk bermain dengan Josep pun aku harus sudah mengerjakan PR-PR ku yang tak kupahami mengapa para guru itu seakan memaksa kita untuk mempelajari sesuatu yang sudah kita pelajari di kelas. Bukankah itu mubazir?
Pernah juga aku bertanya pada diriku sendiri. Memangnya apa pentingnya sekolah itu? Karena pada kenyataannya, orang-orang kaya di negeri ini malah banyak yang berasal dari mereka yang tidak menamatkan perguruan tinggi. Dan banyak dari mereka yang telah menamatkan perguruan tingginya pun memiliki profesi yang tidak sesuai dengan bidang yang mereka ambil. Ada yang bersekolah tinggi teknik mesin, malah jadi motivator. Ada yang bersekolah tinggi hukum, malah menjadi stand-up comedian. Dunia ini memang penuh misteri, yang oleh karenanya Frank Abagnale, si penipu ulung, pun bisa menyesali perbuatannya.
Dari banyaknya pengalaman bermainku bersama Josep, semuanya hampir tampak tak berkesan menurut penalaranku. Karena kami berdua hanya menghabiskan waktu kami dengan bermain sepeda menjelajah desa-desa, kemudian memancing di sungai, setelah itu merenung sembari menatap langit sesaat menjelang malam. Tetapi sebenarnya ada satu momen yang tak terlupa dari Josep yang tak pernah aku kira akan terjadi padanya.
Suatu sore, saat aku dan Josep tengah dalam perjalanan pulang, tiba-tiba kami berdua tak sengaja bertemu dengan bapak Josep yang sedang berkendara sambil membonceng perempuan muda yang mungkin dari raut wajahnya, perempuan itu berumur sekitar dua puluhan. Mata kami pun saling bertemu dengan mata bapak Josep yang sedang berkendara pelan, bahkan kala itu mulut Josep sempat mengucapkan nama bapaknya dengan nada ragu atau canggung, aku tak tahu. Tetapi yang kusaksikan sore itu, bukannya menyapa balik anaknya, bapak Josep malah memalingkan muka lalu menarik tali gasnya dalam-dalam. Terlihat saat itu Josep sangatlah kecewa, sebab sapaannya diacuhkan oleh sang bapak yang notabene masih hidup dan bertempat satu kecamatan dengan Josep, tetapi dia tak pernah menemui Josep apalagi menanyai kabarnya.
Mungkin tak mau tertangkap basah olehku, cepat-cepat Josep mengusap air matanya yang belum sempat terjatuh lalu membisu sampai ke rumah. Dan ketika sampai di rumah, otakku malah tak berhenti mengulang kejadian tadi, lalu berusaha mencoba menerka-nerka apa yang sejak dulu mungkin dirasakan Josep.
Dalam keheninganku aku selalu bertanya-tanya tentang apa yang kualami sore ini bersama Josep sepulang sekolah. Apakah lebih menyakitkan hidup tanpa ayah sejak dilahirkan, atau sejak kecil ditinggalkan oleh seorang ayah yang memilih mendua? Ya, meskipun aku tak tahu apa yang menjadi alasan dari bapaknya Josep mendua emaknya dan meninggalkannya tanpa kembali, pasti rasanya sakit sekali. Dia tahu bapaknya masih ada, tetapi dia juga tak mendapat perhatiannya.
Josep itu mirip sekali dengan barang dagangannya, yaitu ikan. Dia tak mau memperlihatkan air matanya meski dia tengah terluka. Dan itulah salah satu alasan kenapa aku memilihnya sebagai temanku. Walau dia tak memiliki keunggulan dalam bidang akademis, tetapi dia gigih dan tak mau membuat orang-orang terdekatnya susah walau dia juga sebenarnya membutuhkan. Mungkin cuma aku yang mampu mengerti sedikit tentang dirinya sebagai teman terdekatnya, oleh karena itu dia adalah sosok yang sulit untuk dilupa.
Dari Josep, aku mengerti akan makna dari kata pertemanan, sebab dia selalu bisa memasang kedua matanya saat menilaiku yang kerap meragu. Bukan rambut ikal dan kaki jenjangnya yang membuatku selalu teringat padanya, tetapi senyumannya yang seakan abadi itulah yang mampu merengkuh memoriku. Semoga di desa dia baik-baik saja dengan segala usaha ternak ikannya yang lama ia rintis, sebab sudah lama aku tak bertemu dengannya semenjak terakhir aku pulang sebelum aku dibungkam tak boleh bersuara. Sekali lagi, dia adalah sosok yang telah banyak memberi pelajaran kepadaku, tentang kegigihannya, ketulusannya, dan prinsip-prinsip hidupnya. Senang rasanya aku telah dipertemukan olehnya dalam kisah kehidupan yang singkat ini; mungkin sampai ku mati dia akan selalu terpatri di dalam hati.
Bab - 6 Bau apek dan harapan bus kota
Sebagai seorang yang pemalas, anehnya hal yang paling tidak aku sukai adalah menunggu. Ironisnya, saat aku bermalas-malasan, tanpa disadari aku malah sedang menunggu sesuatu yang bahkan tak kuketahui itu apa. Dan sialnya, setengah dari hidupku malah kuhabiskan dalam penantian yang sia-sia.
Saat berdiam diri, dan hanya disibukkan untuk memperhatikan jarum jam yang seolah berjalan dengan kecepatan siput, rasanya seperti penyiksaan. Mata yang mulai mengantuk, dagu yang semakin menunduk, dan keringat bercucuran di bawah sengatan matahari yang terik. seolah hal itu membuatku merasa tak lebih dari sekadar seonggok manusia tak berguna. Mengapa bus menuju kota selalu datang terlambat? Barangkali lebih baik jika aku memilih berjalan kaki berkilo-kilometer, daripada menjadi patung hidup bermuka badut yang hanya menatap jalanan dengan harapan kosong.
Lelah berdiri, aku duduk kembali menanti. Demikian siklus itu berulang dalam penantianku. Aroma tubuhku yang semula seharum embun pagi kini telah berubah menjadi bau matahari yang menyengat, lebih tepatnya bau apek kata orang bilang. Mataku yang tadinya bersinar penuh harapan, membayangkan kehidupan yang lebih baik di kota, perlahan memudar cahayanya, terselubung debu jalanan. Rasa putus asa pun mulai merayapi sendi-sendi tubuhku, karena hingga tiga jam lamanya aku menunggu, barulah kudengar suara deru mesin bus yang dinanti-nanti.
Kernet bus melambaikan tangan, menyuruhku segera naik dan menjadi penyokong tebal isi dompetnya. Namun karena kekecewaanku atas keterlambatan itu membuatku melangkah dengan malas, sembari bergumam dalam hati, “Nanti, saat perjalanan kedua menuju jantung ibu kota Jakarta, aku tak mau lagi menjadi penumpang bus kota yang tak pernah konsisten dengan waktunya. Nanti, aku akan menggunakan mobilku sendiri, agar bisa kuatur waktuku sendiri, dan biar bisa kuberi wewangian kusendiri. Sebab, selain pengap dan sesak, bau di dalam bus pun sangat beragam dan mencekam. Tetapi sebenarnya yang paling mencolok adalah bau tubuhku sendiri, ditambah aroma makanan setengah tercerna yang keluar dari mulut penumpang yang mabuk perjalanan.”
Meski memuakkan, perlahan aku mampu melewati tubuh-tubuh yang bergelantungan di tiang tengah bus yang berjalan terhuyung. Menuju ruang sempit di pojokan, kuharap itu lebih baik daripada semua ruang sempit lainnya di dalam bus. Di celah pojok itu, kudapati wajah-wajah yang tampak meyakinkan untuk tidak memuntahkan sepiring makanan setengah tercerna dari perut mereka.
Penantianku di pojok sempit bus membawa pikiranku melayang, membayangkan kehidupan di kota yang lebih cerah. Namun, kenyataan berbicara lain. Jalanan yang penuh sesak, udara yang pengap, dan suara bising klakson seringkali memecah lamunanku. Aku bertanya pada diri sendiri, apakah segala penantian ini sepadan dengan mimpi-mimpi yang ku perjuangkan?
Mengingat kembali setiap detik yang terbuang dalam penantian, aku mulai menyadari betapa rapuhnya harapan yang kugantungkan pada kehidupan di kota. Setiap menit yang berlalu seolah merampas sepotong kecil dari jiwa yang semula penuh semangat. Detik-detik yang berdetak perlahan seperti memutar kembali kenangan masa lalu, saat aku masih dipenuhi mimpi dan ambisi.
Dalam penantian itu, ada sesuatu yang lebih dari sekadar menunggu. Ada rasa penyesalan, kebingungan, dan kegelisahan yang merayap. Seperti seorang musafir yang tersesat di padang pasir, aku merasa terjebak dalam lingkaran waktu yang tak berkesudahan. Hanya ada jarum jam yang terus berputar, mengingatkanku pada keterbatasan manusia dalam mengendalikan nasib.
Mungkin, dalam perjalanan ini, aku harus belajar menerima ketidakpastian dan menemukan arti dalam setiap penantian. Seperti pepatah mengatakan, "Hidup adalah perjalanan, bukan tujuan." Penantian mungkin adalah bagian dari perjalanan itu sendiri, yang kelak akan mengajarkanku untuk lebih sabar dan menghargai setiap momen, betapapun kecil dan tak berarti tampanya.
Enam orang yang duduk tenang di belakangku, seolah mereka sama sekali tak terganggu oleh guncangan bus yang melewati jalan mendaki pegunungan dan suara riuh obrolan serta bebauan yang seakan merusak penciuman, mereka tetap bersikap santai sambil matanya menikmati pemandangan hijau yang melambai-lambai. Seorang bertopi putih dengan sepatu hitamnya yang mengkilap yang paling dekat keberadaannya dengan tempat ku berdiri, sambil selonjoran, dia sangat menikmati sekali perjalanannya, seolah tak mungkin ada kejadian buruk yang menimpanya dalam waktu dekat ini. Terlebih orang yang duduk disebelahnya, yang mungkin dia adalah orang yang paling santai dari semua orang yang dapat ku amati di dalam badan bus ini, sebab dia tak pernah membuka matanya sejak ketibaanku meski suara desing serta ramai orang berbincang sangatlah bising memenuhi telinga. Orang yang ketiga dan keempat ku duga mereka adalah satu keluarga, sebab tiada berhenti mereka bercakap mengenai memusiman di desa mereka, serta lapakplapak jualan yang sudah menantikan mereka di kota. Orang kelima adalah orang yang paling sibuk dari semuanya, matanya seakan tak lelah menatap sang henpon mengeluarkan buyi yang sama. Namun orang keenam adalah yang paling mengundang tanyaku, wajahnya murung sepanjang waktu, seperti orang yang tengah memikirkan sesuatu yang berat, yang harus ia pikul sendirian tanpa seorang sehabat yang menasehatinya agar tetap kuat.
Bayi digendongannya pun seakan dapat merasakan kegelisahan hati sang ibu, dia tak diam seolah terusik oleh desing senapan yang menembus jantung seseorang. Mungkin malu atau dirinya tak mau apabila ada seseorang yang tau akan keluh kesahnya, ibu itu sempat beberapa kalli ia menundukan kepala sembari mengusut air matanya. Namun semua usahanya sama sekali percuma di hdapan mataku yang telah menangkap semua aksinya, karena aku tak pernah memalingkan mataku darinya yang telah mengundang tanyaku yang Tiada tercegah. Otakku pun menduga-duga sekiranya apa yang tengah dialami oleh ibu beranak satu itu, apakah dia sedang ada masalah dengan keluarganya, atau dia malah sedang melarikan diri dari suaminya yang telah menyiksanya. Pikiranku begitu liar menerka-nerka tentang sosok ibu muda yang memepetkan dirinya kesebongkah kaca hitam transparan bus yang dinaikinya, sampai aku tak sadari bahwa kini mobil pun malah sudah masuk ke dalam lambung kapal yang begitu luas dan di padati barisan-barisan mobil lainnya yang terparkir rapih.
Padahal saat ini bukanlah untuk yang pertama kalinya aku keluar pulau dan memasuki lambung kapal yang amat lebar, tetapi entah mengapa setiap kaki-kakiku menapak di atasnya, aku selalu merasakan kekaguman yang begitu meriah di hatiku, Mungkin selain menara monas yang ku kagumi sebagai karya tangan anak manusia yang teramat cerdas dan begitu teranpilnya, lambung kapal inilah yang amat ku nikmati sentuhan kreatifnya dalam perspektifku yang masihlah dangkal dalam dunia trapeling atau arsitektur megah.
Seiring langkahku yang gontai menyusuri keluasan kapal, sepanjang itulah telapak kakiku terus merasakan linu karena getarannya yang juga bergelombang. Suara riuh obrolan orang-orang yang lewat, senantiasa mengisi udara dan membuatku sedikit mual. Meski begitu, aku masih ingin menjelajah seisi kapal, dan mencoba menemukan sudut-sudut yang mungkin dapat mengusir kebosanan.
Pemandangan laut lepas yang terbentang luas itu memang selalu bisa menggoda mata, seolah menyihir dengan warna birunya yang berkilauan. Mungkin sama denganku, orang-orang yang berkumpul di tengah geladak itu juga terpukau oleh keindahan laut lepas yang membawa ketenangan dan kebebasan. Bahkan beberapa dari mereka pun malah ada yang menyibukkan diri mereka dengan berfoto ria, mengabadikannya, tertawa bersama dan berbagi cerita, yang anehnya mengapa hal itu malah membuatku semakin sendirian, padahal aku tengah berada di keramaian.
Tak lama setelahnya, aku merasa perutku mulai berbisik meminta jatahnya. Dan aroma lezat yang terus berdatangan, mendobrak-dobrak lubang hidungku yang memang sudah longgar, seakan menjadi penyiksaku yang benar-benar nyata. Sebab jangankan untuk membeli sepotong daging di restoran mewah yang terpampang megah di depanku, untuk memikirkannya saja aku merasa tak mampu. Sebab uangku tak sebanyak mereka yang lahap mengunyah berpotong daging itu dengan susahnya. Sebab mungkin keperluanku di minggu-minggu selanjutnya akan lebih membuatku terpuruk, jikalau aku sampai membelinya sekarang.
Daripada sepotong daging yang sulit kujangkau dengan isi kantong ku yang tipis, lebih baik aku melahap sepotong roti yang ada di tasku, guna mengganjal sekantong lambungku yang juga tipis. Yah, walaupun rasanya roti itu tak seenak potongan-potongan daging yang terpanggang hangus, tetapi ketika sudah kenyang, rasanya semua permasalahan itu lekas menghilang. Dan kini, aku malah merasa terpanggil oleh hangatnya sinar mentari sore yang mulai menurun ke ufuk barat.
Segera aku menuju ke dek terbuka, yang di mana matahari menyinari segalanya dengan warna jingga yang mempesona. Beberapa orang memilih berjemur ria, mencoba merasakan lembutnya sentuhan sang mentari senja di kulit mereka, sementara yang lain ada yang tertengadah, mungkin sedang menikmati keajaiban warna-warni indah yang melukis angkasa. Tak ingin ketinggalan keseruan, akhirnya aku memilih berdiri di pinggir geladak kapal. Pagar besi pembatas yang kuat memberikan rasa aman, sementara angin laut lagi lagi membelai wajahku yang lusuh. Dan sementara kapal terus melaju melintasi lautan yang membiru, pandanganku tetap berusaha mengimbanginya, menjelajahi horizon yang seolah tak berujung.
Seiring laju sang kapal yang gagah menerjang ombak, otakku malah mulai berandai-andai, mencoba melampaui batas waktu dan kejemuanku. Apa yang akan kupulangkan dari perjalanan ini? Bagaimanakah rasanya menemukan sebuah pulau yang belum pernah dikunjungi oleh orang? Dan akankah namaku menjadi Legenda seperti Columbus yang mampu memetakan dunia.
Sementara matahari semakin merunduk ke pelukan sang laut, aku yang masih sendiri merasa semakin terhubung dengan keindahan alam dan kebebasannya yang hadir di atas geladak ini. Entah mengapa aku menjadi sangat tenang, ketika kuperhatikan ombak-ombak yang bergulung itu mengejar bibir pantai. Dan serasa fenomena itu seakan menggambarkan kehidupan yang sebenarnya, yang terus bergerak, yang dimana ketika kita sudah sampai ketepian, kita malah menghilang. Namun ketika aku sedang mencoba memaknai fenomena alam yang tersaji di depan mataku, lagi-lagi kebisingan itu malah mendatangiku. Kali ini kebisingan itu berasal dari seorang ibu muda yang sebus denganku, yang kini tengah menangis haru, di pinggir dek kapal meluapkan emosinya.
Meskipun angin dan gemuruh ombak kerap menyamarkan suaranya, tetapi aku tetap bisa menangkap serpihan perbincangannya. Kata-kata yang penuh kemarahan dan kekecewaan meluncur deras dari bibirnya yang gemetar. Dapat kudengar ia terus berbicara mengungkapkan penyesalannya yang mendalam, terkait pernikahannya yang dianggap sebagai kesalahan besar. "Menyesal aku yang pernah setuju menikah denganmu, laki-laki jahat yang tidak bertanggung jawab, yang suka menyakiti dan memfitnah istrinya sendiri. Kamu adalah laki-laki yang paling buruk yang pernah ada, yang pernah aku temui!!" Sungguh aku tak tahu dengan apa yang telah diperbuat oleh suaminya terhadapnya, tetapi apabila dilihat dari wajahnya yang penuh kedukaan, kurasa ibu itu memang benar sedang mengalami kekecewaan yang begitu mendalam.
Setiap kata yang terlontarkan oleh kepedihannya, seolah-olah hal itu membuat hatiku pedih juga. Bahkan anak bayi yang ada di gendongannya pun seakan mengerti dengan apa yang dirasakan oleh sang ibu, dia terus menangis, terus memberontak, dan mungkin juga dia akan menghajar bapaknya jikalau dia bisa.
Saat lama aku memperhatikannya, seakan rasa empati tumbuh seiring air matanya yang terus berjatuhan. Aku pun bertanya-tanya, mengapa aku mudah sekali bersedih ketika melihat orang lain sedih? Mengapa aku mudah sekali iba kepada orang lain, padahal dia bukan siapa-siapa? Apakah ini karakter yang baik, ataukah ini sebaliknya?
Seiring pertanyaanku yang terus mengalir, aku juga mempertanyakan hal lain. Mengapa di negeri ini banyak sekali orang yang tidak bertanggung jawab kepada keluarganya? Mengapa begitu banyak laki-laki yang dengan mudahnya menelantarkan anak-anak mereka? Jikalau mereka memang tidak sanggup berkomitmen dalam suatu hubungan pernikahan, kenapa tidak dari awal mereka memutuskan untuk Sendiri saja? Bukankah dengan begitu tidak ada satu pihak pun yang Tersakiti?
Semakin aku memikirkan perihal ibu itu, pikiranku malah terlempar jauh Kepada kisah hidup Josep yang pahit. Ditinggalkan oleh ayahnya yang pergi tanpa jejak. Hidup merana dengan segudang pertanyaan tentang sikap ayahnya, yang seakan tiada pernah ada jawabnya. Belum lagi ketika dia dibully di sekolah tanpa adanya sosok pelindung seorang ayah, pastilah hidupnya terasa sangat hampa. Namun sebenarnya Josep itu adalah anak yang aku kagumi, karena dia pernah berkata, "Sepi dan sendiri itu mirip seperti terik dan hujan, yang akan mereda juga. Semua ini hanya untuk sementara." kata-kata itu selalu terngiyang dibenakku, yang mungkin suatu hari nanti akan kupakai sendiri.
Sebenarnya, pemandangan ibu muda itu tidak hanya mengusik hatiku saja, tetapi mungkin itu juga membuka luka lama negeri ini yang banyak menyimpan cerita serupa, yang dimana tanggung jawab sering kali diabaikan. Banyak anak yang tumbuh tanpa bimbingan orang tua yang penuh kasih, tanpa pelukan hangat di malam yang dingin. Nasib mereka mungkin sama seperti anak dalam gendongan ibu muda itu, terombang-ambing dalam kerasnya kehidupan, mencari perlindungan dari dunia yang kerapkali kejam.
Lagi -lagi, aku berpikir, andai ada yang bisa kulakukan untuk mengubah keadaan ini. Apakah mungkin dengan kata-kata, aku bisa menyentuh hati mereka yang terluka? Apakah hanya dengan sentuhan sederhana yang didasari cinta, seseorang bisa menawarkan pedih hatinya?
Bab - 7 Jakarta di Bali kabut
Pada pagi hari yang masih merah, kini aku tiba di tanah Jakarta, sebuah kota yang terkenal akan kesibukannya. Namun pada pagi ini wajahnya terlihat hening sekali, seperti tak ada kehidupan yang mampir di ruas-ruas jalannya. Kabut tipis yang memeluk bangunan-bangunan tinggi, seolah menjelma selimut yang merahutkan detil-detil kota. Sendiri aku melangkah di atas trotoar yang basah, mungkin hampir dari setiap jejakku telah menjadi catatan singkat di permukaannya.
Suasana sepi di kota ini seakan memberikan sebuah kesempatan untukku bisa menikmati eloknya lebih jauh. Gedung-gedung pencakar langit yang kokoh seakan menyapa dengan megahnya, namun tetap terbungkus dalam misteri kabut yang memeluknya erat. Lampu-lampu jalan yang masih menyala seakan bertindak sebagai penuntun di dalam selubung kabut, menciptakan lintasan cahaya samar yang menambah nuansa magis pagi hari.
Pada keheningan pagi hari ini, suara langkah kaki dan hembusan angin seakan menjadi irama pengantar yang lembut. Mungkin akan jarang sekali orang merasakan ketenangan di tengah Jakarta yang sangat sibuk dan juga padat, tetapi di pagi ini, aku merasa Jakarta begitu istimewa dengan segala kemegahannya. Ditambah berseliwerannya aroma kopi dari sebuah warung kopi yang baru terbuka sedikit pintunya, seakan itu melengkapi ciri khas nuansa kota. Begitupun juga dengan para pedagang-pedagang kaki lima yang baru mulai menjajakan barang dagangannya, seolah-olah memberikan sentuhan asri pada wajahnya.
Seusai beberapa saat aku berpetualang dalam diam memperhatikan suasana kota yang jarang sekali kudapat, kini warna merah jingga pun perlahan memudar menjadi kuning keemasan, seakan memberikan tanda bahwa waktu siang sedang bersiap untuk menyapa dunia. Jendela-jendela gedung mulai terangkat tirainya, mengungkapkan potret interior yang masih terlelap. Walaupun pandanganku masih sedikit terhambat oleh kabut yang semakin menipis, tetapi aku masih mengagumi kecantikan Jakarta, dengan segala ciri khasnya tersendiri.
Seiring tingginya jejak sang mentari yang baru terbit di ufuk timur, aku pun berkeinginan untuk pergi ke sebuah terminal, guna mencari angkutan umum sederhana yang bisa membawaku ke pusat kota Jakarta. Di tengah kesibukan suasana terminal yang dipenuhi lalu lintas, kini aku tetap melangkah di atas trotoar, di antara deretan mobil-mobil yang beragam kegunaannya. Mulai dari dia yang paling besar, yang muatannya pun paling banyak, yaitu bus antar kota, dia yang cukup sedang ukurannya, yaitu metro mini, hingga kepada dia yang paling nyentrik, yaitu becak motor dan bajai, yang bergerak dengan dinamis yang menanti serta mencari penumpangnya sendiri. Deru mesin dan klakson menjadi simfoni kehidupan di dalam ruang ini, mungkin juga bisa dibilang dia seperti jantung pergerakan di tengah kota, salah satu pusat ekonomi bagi banyak orang.
Kulihat di sekitarnya pun banyak bertaburan beragam individu yang mungkin mewakili keberagaman suku di Indonesia, seakan Terminal ini menjadi sebuah panggung besar bagi mereka yang bertaruh nasib dalam perantauannya. Dan seakan menjadi satu bagian integral yang tak terpisah dari rutinitas terminal, gambaran dari para sopir angkutan yang sedang siaga mengawasi calon penumpangnya, atau dia yang sedang terlelap dengan selembar koran yang menutupi wajahnya. Namun bukan hanya para sopir bus atau angkutan umum saja yang dapat ku temui di sana, tetapi banyak dari pedagang asongan yang tengah melangkah mantap menjajaki barang dagangannya, cukup berseliweran juga. Anak-anak penjual koran pun banyak berlalu lalang, yang dengan gesitnya mereka menyusun lembaran-lembaran surat kabar itu, yang kelak akan mereka tawarkan kepada para pelanggannya. Bahkan tukang semir sepatu yang matanya selalu waspada memperhatikan sepatu-sepatu usang pun banyak juga di terminal itu, yang seakan matanya tak lelah menilai sepatu mana yang akan diberinya sentuhan rapih dan warna hitam yang mengkilap. Namun yang membuatku lebih penasaran bukanlah terkait beberapa profesi di atas, melainkan profesi yang baru kutangkap dengan mataku kali ini.
Selain mereka yang berjuang untuk mendapatkan sekepal uang dengan keringat maupun barang dagangan mereka, tetapi di terminal ini juga ada yang bisa mendapatkan uang tanpa barang dagangan atau jasa yang dijual, yaitu para pencopet liar. Tetapi meski tidak membawa barang dagangan atau jasa yang dijual, mungkin merekalah yang mendapat untung paling besar.
Profesi yang satu ini adalah profesi yang paling ahli dalam menyamar. Biasanya dengan pakaian yang tidak mencolok dan penampilan yang biasa, mereka menyatu dengan kerumunan seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian terminal. Namun bagi mereka yang teliti, sungguhlah dari tajamnya pandangan dan getaran kecil di tubuh mereka, seakan itu memberikan petunjuk bahwa mereka memiliki agenda tersembunyi di balik wajah polos mereka.
Langkah mereka ringan, meluncur di antara penumpang tanpa meninggalkan jejak yang mencolok. Mereka mengikuti aliran orang tanpa menarik perhatian, bergerak seperti bayangan yang tak terlihat. Para pencopet ini pun sangatlah handal dalam melihat celah-celah kecil di antara kerumunan, yang kemudian menghilang seketika mereka sudah menyelesaikan agendanya. Tetapi tujuanku di sini bukanlah untuk memperhatikan mereka saja, tetapi aku ingin memilih sebuah angkutan yang bisa membawaku ke pusat monumen terbesar di Jakarta.
Setelah beberapa menit memilih dan memilah angkutan umum mana yang paling pas dengan isi kantongku, akhirnya pilihanku Jatuh pada Metromini. Mungkin ini adalah keputusan pragmatis yang tak bisa kuhindari, karena kalau aku memiliki budget lebih, mungkin bukan Metromini yang aku pilih. Tetapi apa salahnya memilih Metromini, asalkan bisa sampai ke tempat tujuanku, maka apapun itu akan kuambil.
Dengan malas karena sudah terbayang akan apa yang aku alami di dalam sana,, mau tidak mau aku pun harus tetap melangkah, memuat ke perut Metromini yang sesak. Udara di dalamnya bercampur aduk dengan bau yang sulit diuraikan, tetapi yang ku kenali berbagai bebauan itu serupa aroma keringat bercampur dengan asap knalpot, bau rempah dari bungkusan makanan, dan jejak parfum murahan. Bau-bau ini adalah penghuni setia angkutan umum di semesta kota, yang telah menjadi saksi bisu dari jutaan perjalanan sehari-hari.
Suara mesin yang menderu menjadi latar belakang yang kurang mengasyikkan, ditambah riuh percakapan penumpang yang ramai. Sekalipun aku malas, tetapi kali ini aku malah tertarik untuk mencoba memfokuskan perhatian pada suara mereka, tetapi yang terdengar hanyalah potongan-potongan kata yang tak sepenuhnya jelas. Seperti suara anak-anak yang merengek, orang tua yang berbicara dengan aksen daerah, dan pengamen jalanan yang melantunkan lagu dengan gitar tuanya yang Fals. Dan sayangnya hal itu malah membuatku menyesal, karena aku sudah mempertaruhkan sedikit waktuku untuk sesuatu yang tak bisa kucerna sepenuhnya.
Wajah-wajah penumpang di sekitarku seolah mengisahkan narasi yang rumit. Semisal seorang ibu yang menggendong anaknya dengan raut wajah yang penuh tanda tanya, yang seakan dia sedang memikirkan tentang bagaimana kelak dia bisa membesarkan anaknya, di tengah tuntutan kota besar yang acap kali menguras akal sehat. Di pojok lain, seorang pria paruh baya dengan wajah lelah, seperti seseorang yang selalu merindukan kasur, yang sayangnya tak pernah dia dapat. Setiap tatapan dan setiap kerutan di dahi mereka, seolah memancarkan pergulatan hidup yang mudah sekali ditebak walau hanya dari luarnya saja.
Daripada aku memusingkan mereka, Lebih baik aku mengarahkan pandanganku keluar, melihat-lihat kota Jakarta yang selalu bergerak, seolah tidak pernah tidur. Gedung-gedung tinggi menjulang di kejauhan, bayang-bayangnya jatuh di atas jalan yang dipenuhi kendaraan. Di antara gedung-gedung itu, terselip warung-warung kecil, pedagang kaki lima yang menggelar dagangannya di trotoar, dan anak-anak yang bermain tanpa peduli akan kebisingan sekitar.
Waktu seperti berjalan lambat di dalam Metromini, namun setiap detiknya terasa padat dengan segenggam pengalaman yang lumayan menjemukan. Dan beberapa pengalaman dari setiap hentakan saat bus melewati lubang di jalan, setiap gesekan ketika penumpang lain berdesakan masuk atau keluar, semuanya memberikan sensasi yang berbeda. Dan Karena itulah, ketika akhirnya tiba di Monas, aku pun turun dari Metromini dengan perasaan campur aduk dan kepala yang sedikit keleyengan.
Dari kejauhan, monumen itu tampak seperti penjaga setia kota Jakarta yang tangguh dan kokoh, yang menyimpan kenangan dan cerita dari masa lalu hingga masa kini. Sebenarnya aku pun masih heran, kenapa dari jauh-jauh aku malah memilih untuk datang ke Monas? Memangnya apa yang akan aku dapat darinya? Tetapi meski begitu, mungkin harus ku cari sendiri jawabannya dengan terus melangkah lebih jauh, menjelajahi keseluruhan sudutnya.
Bab - 9 Kontrakan 3*3 M mimpi 1000 meter
Terselip di antara deretan rumah-rumah petak yang tampak seperti benteng yang sedang menanti kehancurannya, terdapat sebuah kontrakan berukuran 3 x 3 meter yang kurasa cukup untukku, sekalipun aku meragukannya. Bagi kebanyakan orang, tempat sekecil ini mungkin adalah mimpi buruk, tetapi bagi diriku, ini adalah sebuah keberuntungan. Konyol mungkin terdengar, tetapi memang hanya kontrakan inilah yang memberi harga yang masuk akal di dalam kepalaku dan juga kantong tipisku. Karena memang sudah hampir 200 kali aku mencari sebuah kontrakan yang masuk ke dalam perhitungan budgeting ku yang pas-pasan, dan hanya dialah yang terpilih.
Setiap kali aku bertemu dan bernegosiasi dengan seseorang yang memiliki kontrakan, entah mengapa aku selalu merasa seperti sedang diadili oleh hakim yang tidak tahu belas kasihan. Sebelum aku berkata, pastilah mereka akan menatapku lekat dari ujung kaki sampai kepala, seolah-olah mereka bisa mencium aroma keputusasaanku. "Lagi nggak ada diskon. Harga udah pas semua nih?" kata mereka, Sambil mengacungkan jari mereka seperti menuding sebuah kesalahan yang pernah kubuat.
Sampai 200 kali aku diperlakukan demikian, hingga akhirnya aku terdampar di sini, di sebuah kontrakan sempit yang penuh retakan, coretan, dan kebisingan. Temboknya yang kusam jika bisa berbicara, mungkin akan menjerit meminta belas kasihan untuk direnovasi, atau dipoles sedikit lagi. Dan retakan-retakan yang tersebar hampir disekujur permukaannya, layaknya luka-luka perang yang tak kunjung sembuh walau sudah beribu tahun lamanya. Belum lagi di saat sinar matahari yang menyusup masuk melalui celah-celah dinding, hal itu seakan menciptakan pola mengerikan di lantai yang kusam. Namun yang lebih membuatku terasa tersiksa bukanlah hanya sekedar goresan dan retakan di dindingnya, tetapi adanya sekumpul keluarga yang beranak 16, yang hampir setiap hari mereka selalu berkeluyuran di depan pintu kontrakanku, bercanda dan berkelahi hanya sekedar memperebutkan kaleng-kaleng bekas sebagai mainan terbaik mereka.
Suara tawa dan tangisan mereka seperti orkestrasi kacau yang terus-menerus mengalun. Kebisingan itu seperti badai yang tak pernah reda, menghantam kesunyian yang aku dambakan. Hampir tidak ada ketenangan di siang hari di kontrakanku ini, kecuali di saat tengah malam menjelang, barulah di sana aku bisa menenangkan diri. Rasanya aku seakan bisa mendengar suara napasku sendiri dikala mereka sudah terlelap di dalam mimpi, yang seolah hal itu dapat mengingatkan bahwa aku masih hidup, meski hanya sekedar eksistensi.
Sudah hampir dua minggu lamanya aku tinggal di Jakarta, namun belum ada satupun panggilan dari perusahaan atau pabrik-pabrik yang kutitipkan ijazah SMA-ku pada mereka. Rasanya seperti dunia telah memutuskan untuk menutup pintunya rapat-rapat, meninggalkanku di luar dalam kedinginan dan ketidakpastian. Dan hampir setiap pagi pula, aku akan bangun dengan antusias yang tinggi, berharap akan ada surat kabar yang membawa kabar baik bagi nasib lamaranku yang sudah tersebar luas. Akan tetapi sayangnya semua pagi itu terasa sama saja, selalu sepi dari kabar-kabar yang menggembirakan, persis serupa makam yang kusam mencekam. Dan hampir bisa dipastikan seperti pada malam-malam sebelumnya, aku hanya bisa melongo, sambil merenungi nasibku yang terkesan bodoh dan ceroboh.
Hembusan angin malam tak lagi terasa menyenangkan, seolah membawa bisikan-bisikan halus yang menggoyahkan hati. "Aku ini memang anak yang bodoh. Karena aku sudah berani memutuskan untuk merantau ke Jakarta, tanpa perhitungan yang rinci dan terencana!" Demikian bisikku kepada malam, yang hampir tiada jawabnya untukku yang memerlukan.
Tiada henti aku menyalahkan diriku sendiri, yang telah salah menafsirkan kota Jakarta sebagai tempat yang paling tepat untuk mengubah nasib, tetapi kini malah aku yang dibuat babak belur oleh segala tuntutanya. Uang setengah juta rupiah yang kutabung selama enam tahun seakan menjadi bahan tertawaan kejam dari biaya hidup yang melambung di kota ini. Dan kontrakan sempit yang kini kuhuni, begitu kontrasnya dengan rumahku di kampung yang lebih luas sedikit plus tak pengap. Akhirnya sepanjang malam itu, aku hanya bisa meratapi lembaran ijazah SMA ku yang seperti tak berdaya menghadapi pasar kerja yang ketat di Jakarta.
Dalam kerumitan ini, pikiranku malah selalu melayang ke sebuah koran yang tadi pagi aku beli, yang isinya dipenuhi oleh berita-berita kriminal, dan tipu muslihat orang-orang jalanan. "Haruskah aku menjadi seperti para pencopet dan pembegal yang berlalu di jalanan Jakarta yang keras ini? Atau apakah aku harus berpura-pura menjadi dia yang sakit dipinggir jembatan, dengan sebuah mangkok keramik yang berisikan uang recehan?" Pikirku dalam kekacauanku. BeginilahJakarta, yang ternyata tak seindah imajinasi dan harapanku. Kehidupan yang menantang, seakan memaksa setiap orang untuk tampil dengan lebih berani, lebih tangguh lagi, dan tentunya lebih picik kalau perlu.
Saat Kepalaku terasa pusing karena terlalu banyak memikirkan sesuatu yang tak perlu, kuputuskan untuk beranjak dari suasana luar kontrakan yang dingin, mengambil segelas air dari galon butek yang menjadi satu-satunya barang hiasan dikontrakanku yang sempit ini. Pelan-pelan aku menyeruputnya, sambil berusaha menciptakan ketenangan dalam diri yang semakin tenggelam dalam ketidakpastian.
Sudah hampir 2000 kali pikiranku melayang ke berbagai ide dan cara untuk segera mendapatkan uang. Namun, realitas yang kutemui menampar keras, menjegal sejengkal keinginan dan ambisi yang menggebu di dada. "Pintar di atas kertas tak selalu berarti di hadapan kenyataan yang pahit dan sulit." Demikian komentarku yang tengah kecewa.
Dua minggu menjauh dari keluargaku di desa, serasa sudah lama sekali aku terlantar sendirian di suasana kota yang tak kukenal. Dengan gampangnya, dulu aku hampir setiap hari selalu berusaha menegakkan keputusanku untuk merantau ke Jakarta demi meraih cita-cita. Namun, semakin dalam aku terjerumus dalam kehidupan kota, semakin jelas terasa hancurnya impianku. Apakah aku harus kembali, sedangkan aku sudah terlanjur mengatakan bahwa aku akan sukses di Jakarta, dan aku juga sudah menentang pandangan kuno mereka.
Tidak, aku tidak akan kembali, karena jika aku sampai kembali, pastilah aku akan dihujani makian, diolok-olok karena aku sudah gagal, dan mereka akan menyebutku 'si culun' yang hanya bisa bicara besar dan kembali dengan ekor yang menjuntai di antara kedua kakinya.
Kembali aku meneguk segelas air putih di tanganku, berharap mereda semua overthinking ku. Kuluaskan pandanganku ke sekitar, menyoroti tembok-tembok kontrakan yang dipenuhi coretan dan retakan, yang seakan mencerminkan betapa rapuhnya hidupku saat ini. Kesenjangan antara impian dan kenyataan semakin terasa dalam pandangan sekitar yang tak seindah harapanku.
Kuambil lagi beberapa lembar koran bekas yang tadi pagi kubaca, sebagai pengalihan dari overthinking yang kini kuderita. Sambil duduk aku menyelami setiap kata, dan sekali lagi kutumpukan harapku padanya.
Terus ku balik dan ku bolak lembaran koran itu sampai aku jenuh, sampai rasanya mataku tak sanggup lagi Untukku buka karena saking lelahnya. namun di ujung lelah itu, aku malah menemukan beberapa baris iklan lowongan kerja, yang entah sudah berapa kali aku lewati keberadaannya yang hampir tak terjamah oleh mataku yang rabun, karena memang letaknya yang berada di pojok halaman.
"Apakah Anda memiliki senyum yang bisa menyinari ruangan bahkan di hari paling mendung? Apakah Anda mampu membawa lima piring sekaligus tanpa menjatuhkan satu pun (atau setidaknya tanpa menjatuhkan lebih dari satu)? Jika ya, maka kami mencari Anda!
Restoran kami sedang membuka lowongan untuk posisi waiters/pelayan yang super keren. Gaji? Tenang, cukup untuk membuat dompet Anda tersenyum. Pengalaman? Jika Anda pernah mengambil gelas dari rak tanpa memecahkannya, itu sudah cukup! Kami lebih menghargai semangat dan kepribadian Anda daripada pengalaman kerja yang bertahun-tahun.
Kami butuh seseorang yang bisa tetap tenang meski tamu meminta es teh manis tanpa es atau kopi hitam dengan susu. Seseorang yang bisa mengubah suasana tegang menjadi tawa dengan satu kalimat cerdas.
Di sini, Anda bukan hanya pelayan, tetapi juga seniman yang membuat setiap kunjungan tamu menjadi pengalaman tak terlupakan. Jadilah bagian dari tim kami yang penuh tawa dan cerita seru. Jadi, tunggu apa lagi? Kirimkan lamaran Anda dan tunjukkan bahwa Anda adalah pelayan super yang kami cari!
P.S. Jika Anda bisa memetik gitar atau bernyanyi lagu romantis, itu bonus tambahan yang kami tidak akan tolak!" Hampir terkekeh aku dibuai oleh barisan iklan ini, yang memberikan syarat tak lazim seperti pada lowongan-lowongan kerja lainnya yang pernah kutemui. Tetapi jika memang restoran ini bisa membuat suasana dompetku menjadi bahagia persis seperti apa yang dikatakannya, apa boleh buat mungkin inilah jalannya.
Bab - 10 Dilema lowongan kerja
Memang benar lokasi dan persyaratan yang ditawarkan di dalam iklan lowongan kerja ini memang sangat cocok untukku. Tetapi ternyata, restoran tersebut merupakan restoran Chinese, yang di mana jikalau aku sampai menjadi karyawannya, berarti aku juga harus bersentuhan dengan daging babi. Dan daging babi itu, adalah sebuah larangan terbesar dari keyakinanku. Sontak tubuhku terlempar kembali ke kasur tipis yang terhampar di belakangku, sedangkan pikiranku terus berkutat pada iklan lowongan kerja itu yang kini seakan menjadi petaka.
"Gimana ini ya?" Keluhku mendesak, "Apa harus kuambil tawaran dari lowongan kerja ini atau enggak? Tapi, bukannya kalau kita nggak mencicipi daging babi itu nggak masalah ya?" Telisikku lebih mendalam, atas dilema yang kualami. "Lagi pula mengapa banyak orang di negeri ini sangat amat fanatik sekali dengan daging babi atau daging anjing, yang padahal banyak di sekitar mereka juga orang-orang yang malah melanggar hukum haram itu sendiri, seperti minum-minuman keras, berjudi, menipu dan memfitnah, serta bermain wanita. Terkadang aku juga sering kali merasa bingung dengan segala pemikiran mereka yang demikian. Tetapi sekarang aku sudah memutuskan, asalkan nggak diminta untuk mencicipi daging babi itu, aku akan mencobanya. Ya, daripada aku kelaparan dan mati di kota orang, lebih baik aku melayani mereka sekalipun aku enggan melayaninya." mungkin terkadang, untuk bisa bertahan di situasi yang sulit, kita juga perlu melanggar sesuatu yang menjadi prinsip diri.
Padahal aku masih muda, tetapi Mengapa untuk melangkah saja rasanya berat sekali. Mungkin bagi mereka yang melihat gaya berjalanku yang mirip seperti orang tua, yang tiada hentinya mengeluhkan soal punggungnya yang sulit untuk diluruskan, maka mereka akan bertanya. Siapa pemuda itu? Mengapa penampakannya nyari seperti kayu kering yang tergeletak di pinggir jalan dan tertinggal?
Aku juga tak tahu mengapa aku seperti ini. Entah apakah karena aku yang selalu mengeluhkan tentang hidupku, yang tanpa sepengetahuanku itu malah menggiringku menjadi sosok yang rentan, atau ada hal lainnya? Tetapi yang pasti selama meniti langkahku menuju restoran yang menjanjikan pekerjaan untukku, aku malah tak berhenti memikirkannya yang seolah sedang mengkoreksi kesalahanku sendiri.
Sendirian di tanah perantauan tanpa teman atau saudara sebagai penopang sebuah curhatan, itu memanglah melelahkan. Dan baru aku tahu, ternyata menopang beban pikiran Sendirian itu jauh lebih berat ketimbang kita mencurahkan seluruh tenaga fisik untuk bekerja seharian menjadi buruh bangunan. Mungkin itu juga sebabnya banyak orang yang mati dalam sepi dan kesendirian, karena memang begitu menyiksa rasanya, apabila hidup tanpa seorang teman.
Bising suara knalpot yang menggerung kencang melewatiku, seakan menjadi penyatu antara pikiranku dengan langkahku.Namun karena itu, aku malah bisa melihat raut wajah yang tetap ceria, sekalipun panas dan debu jalanan menerpa wajahnya. Mondar-mandir seolah tak ada lelahnya, seorang tukang parkir itu terus memarkirkan kendaraan-kendaraan dengan sabarnya Tak jauh dari situ, pandangankupun tertuju pada para tukang sapu jalanan yang juga terlihat ceria. Walaupun kulit mereka terbakar teriknya matahari dan keringat yang bercucuran deras, tetapi hal itu seakan tak menghalangi senyuman untuk tetap terukir di wajah mereka. "Kenapa aku ini? Kenapa aku bisa merasa Iri kepada mereka yang tetap bisa bahagia, sekalipun hidup mereka lebih susah? Seharusnya aku bisa lebih bermakna dari orang-orang itu, bukan seperti ini. Tetapi, apa arti dari makna itu sendiri?" Selama aku disibukan dengan beberapa pertanyaan di dalam benakku, ternyata sudah selama itulah aku melangkah dan kini aku sudah bisa melihatnya. Sebongkah bangunan merah berwarna khas restoran Chinese di pinggiran jalan yang dipadati orang-orang berlalu-lalang, mungkin di sanalah tempatku menaruh harapan selanjutnya.
Dadaku terasa berdebar kencang sesaat aku berdiri di depan restoran yang tertera dalam koran semalam. Meski tergolong masih pagi karena baru jam 10.00, tetapi restoran ini terlihat ramai pengunjungnya. Hampir tak ada meja yang tersisa di dalam, bahkan para pelayannya pun terlihat sangat sibuk membawa nampan-nampan berisikan makanan. Dan ketika kuamati banyak dari tamu-tamu itu yang berpakaian mewah dan elegan yang juga dilengkapi dengan sejumlah perhiasan di sekujur tubuh mereka, sontak hal itu malah membuatku merasa ragu. Apakah penampilanku yang kikuk dan kampungan ini akan bisa diterima menjadi seorang pelayan di tempat ini?
Pikiran negatif melanda benakku, memproyeksikan pengalaman penolakan di pabrik-pabrik dan di toko grosir yang pernah ku lamar. Pagi itu nyaris aku pun membalikan badan mengurungkan niatku untuk bisa mendapatkan kerja di tempat ini. Namun, sepersekian detik pikiranku malah menolak Niatku, dan mencoba memberanikan diri untuk mempertaruhkan keberuntunganku di tempat ini.
Saat pintu restoran terbuka, seolah Aku tengah melangkah di sebuah portal yang membawaku masuk ke dalam dunia yang jauh berbeda dari suasana kontrakanku yang sempit dan pengap. Atmosfer di dalamnya dipenuhi oleh deru Irama musik yang menenangkan, diiringi oleh percakapan meriah para pengunjung yang seakan tidak membosankan.
Dinding-dindingnya yang dihiasi beragam motif etnis yang rumit dan juga amat teliti, seakan menghadirkan warisan tradisional yang kental. Ukiran-ukiran kayu dengan pola-pola khas, seperti "Longevity Shou" yang melambangkan kebahagiaan dan umur panjang, serta "Double Happiness Xi" yang menjadi simbol kebahagiaan dalam pernikahan, turut menghiasi dinding dengan penuh makna.
Seni kaligrafi yang menawan menggambarkan aksara Cina yang indah, seperti karakter "Fu" yang mengandung makna keberuntungan dan kemakmuran. Tiap goresan tinta tampaknya membentuk kisah panjang yang mengandung makna mendalam.
Benda-benda antik seperti "Ming Dynasty" vase dan "Qing Dynasty" perabotan tradisional diposisikan dengan indah di dinding, menambah kekayaan visual ruangan. Lukisan-lukisan klasik seperti "Along the River During the Qingming Festival" seraya menciptakan suasana yang sarat sejarah.
Warna merah yang melambangkan keberuntungan dan emas yang melambangkan kemakmuran mendominasi palet warna, lagi-lagi hal itu senantiasa bisa memberikan harmoni visual yang mempesona. Pola-pola seperti "Cloud and Dragon" yang melambangkan keberuntungan dan kekuatan, serta "Lotus" yang melambangkan kebersihan dan kesucian, juga tak terlupa tersaji di sana.
Seolah-olah panorama yang dimuat pada dinding-dinding itu senantiasa mempersembahkan nuansa yang memberikan kedalaman pengalaman, membiarkan para pengunjung meresapi nilai-nilai masa lalu yang terwujud dalam setiap ornamennya yang ditempatkan dengan penuh kecermatan.
"Sungguh sangat memukau tempat ini." Gumamku yang nyaris seperti anak hilang di tengah restoran yang menghadirkan seni-seni indah. Belum lagi di saat kuluaskan pandanganku ke sekitar, dan menyoroti sebuah papan menu besar memajang ragam hidangan dengan presentasi yang mengundang selera. Dim sum yang terlihat seperti karya seni, ayam panggang yang memikat, bebek Peking, dan aneka hidangan laut yang terlihat segar dan menggiurkan, seakan itu mampu memikat indera perasa. Tetapi satu pertanyaanku. Di mana daging babinya? Apakah dia disembunyikan? Atau memang aku yang tidak tahu?
Aroma rempah-rempah dan masakan yang matang sempurna menyelimuti udara, sejenak hal itu dapat membuatku lupa dari pertanyaanku mengenai daging babi sebelumnya. Dan seketika pula hal itu malah membuat perutku lapar, namun segera kupinggirkan rasa lapar itu. Karena aku tahu seberapa banyaknya duitku saat ini, aku tak mungkin bisa makan di tempat seelegan ini, kecuali aku menjadi karyawannya yang bisa makan semaunya dari berbagai menu yang dihidangkan sekalipun itu adalah makanan sisa.
"Bukan, bukan kayak begini. Aku ke sini bukan untuk terpesona oleh segala sajian yang dipersembahkan oleh restoran ini, tetapi aku ke sini Ingin Melamar menjadi seorang pelayannya. Maka dari itu harus kutemukan dia, seseorang yang patut dipanggil bos di tempat ini yang akan ku mulai darinya." Kataku dalam hati, saat aku mencoba menarik diri kembali ke kenyataanku yang rumit ini.
Dari jauh, resepsionis itu terlihat rapih mungkin juga baik. Rambutnya tersisir rapi, alisnya kereng serta dandanan berdasi dengan baju putih dan rompi hitam yang halus melingkupi tubuhnya,, seakan menambah keyakinanku bahwa dia pantas untuk ditanyai. "Kak. Seaya mau tanya, apa di sini ada lowongan kerja?" Tanya aku dengan sopan, namun reaksinya malah nyaris seperti para juragan kontrakan yang Ku tanyai apakah di sini ada kontrakan kosong atau tidak.
Matanya seketika melotot, menelanjangi penampilan diriku yang memang kuno. "Tunggu sebentar." Jawabnya singkat, sembari memasang wajah masam yang begitu tidak mengenakkan. Ternyata aku sudah terkecoh dengan penampilannya yang tidak sebanding dengan sikapnya yang terasa dingin dan judes. Dan kini, jari telunjuknya yang lentik menunjuk ke arah tangga untukku naik ke atas dan berbicara dengan HRD.
Dengan kepala sedikit tertunduk sebagai bentuk sopan, aku melangkah menuju anak tangga yang jumlahnya tak seberapa banyak. Namun, setiap langkahku terasa berat dan lambat, seolah-olah ada beban berat yang memperlambat gerakanku.
Pikiranku terus menerawang, mencoba membayangkan seperti apa sosok yang akan aku temui nanti. Jika resepsionisnya saja memiliki gaya bicara yang judes, maka bayangan tentang atasannya mungkin lebih parah. Di khayalanku, muncul gambaran sosok dengan kepala botak, perut buncit, dan dahi yang keriput karena beban pikiran yang menumpuk. Namun dari peristiwa tadi aku sadari, bahwa penilaian awal bisa jadi menipu, dan kebenaran mungkin berbeda dari bayangan semacam itu.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
