
Chapter 14-18
Chapter 14
Di tempat lain Abi mengendari mobilnya dengan kecepatan tinggi, panggilan teleponnya selalu diabaikan oleh Zila. Yang ada dipikirannya hanya ia harus cepat sampai rumah untuk memastikan Zila tidak meninggalkannya.
Jalanan yang di laluinya cukup ramai, lalu lintas sangat padat hingga membuatnya mengumpat beberapa kali. Abi juga sering membunyikan klakson hingga membuat pengendara lain marah.
Empat puluh menit kemudian Abi sampai rumahnya. Dengan tergesa-gesa ia membuka pintu mobil dan menutupnya dengan keras.
Satpam yang bekerja di rumahnya kebetulan sedang pulang kampung, Abi kesusahan untuk membuka pagar karena dengan kondisi tergesa-gesa membuatnya hilang fokus.
Begitu pagar terbuka, Abi langsung berlari menuju pintu utama, ia mengambil kunci rumah yang selalu diselipkan di dalam pot besar dekat dengan pilar.
Saat membuka pintu rumah, hanya kegelapan yang ia lihat. Perasaan Abi bertambah tidak tenang, ia takut Zila bertindak gegabah karena kebodohannya.
"Zila... Zila..." Abi berteriak sambil berjalan menuju saklar lampu, meneliti barang-barang yang ada di rumahnya.
"Zila.. Zi!" Abi masuk ke dalam kamar, hasilnya sama. Rumahnya sepi tidak ada penghuni. Ia melihat ke arah lemari untuk memastikan Zila tidak kabur dari rumah.
Begitu membuka lemari, Abi masih melihat barang-barang Zila masih lengkap di dalamnya.
Abi bisa sedikit bernafas lega. Ia akan menunggu Zila pulang, mungkin saja istrinya itu masih dalam perjalan ke rumah.
Sesekali Abi mencoba menghubungi Zila, tapi, ponsel Zila masih belum aktif. Hingga satu jam kemudian, Zila masih tak kunjung datang ke rumah.
Abi menjadi gusar kembali, ia mengambil kunci mobilnya, ia akan menuju sekolahan tempat Zila mengajar, ia berharap istrinya kembali ke sekolah entah untuk sekedar bertemu temannya atau ada rapat guru.
Tapi sampai di sekolah, yang tersisa hanya satpam yang siap menutup pintu gerbang.
"Pak... tunggu!" Abi menghentikan gerakan satpam.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" Tanya satpam, ia kembali membuka sedikit pagarnya.
"Maaf saya ingin bertanya, apa bu Fazila sudah pulang?"
Satpam mengernyit sebentar, merasa heran dengan pria berjas yang ada didepannya.
"Maaf Pak, Bapak siapanya Bu Fazila ya?" Tanya satpam, ia tak bermaksud lancang tapi ia hanya memastikan siapa orang yang bertanya ini.
"Saya suaminya, Pak. Apa istri saya sudah pulang?" Abi menggulang pertanyaannya.
Satpam tadi bertambah heran, jika pria yang didepannya ini suaminya kenapa harus mencari istrinya disini.
"Bu Fazila sudah resign Pak. Apa bapak tidak tau?" Tanya Satpam itu hati-hati.
Abi terkejut, "Maksud Bapak, istri saya sudah tidak bekerja disini? Sejak kapan?" Suara Abi terdengar gelisah.
"Sejak dua minggu yang lalu, Pak! Permisi saya harus menutup pagarnya." Satpam itu kembali melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.
"Terimakasih."
Abi memasuki mobilnya dengan perasaan kacau. "Apa kamu sudah tau sejak lama, Zi?" Tanyanya pada diri sendiri.
Abi meremas rambutnya, "Argh Sial.. Sial.. Sial..Jangan tinggalin Mas, Zi."
Drrrttt drrttt
Abi meraih ponselnya yang berada di dashboard mobilnya. Ia sangat berharap itu Zila, namun yang ada justru panggilan dari kantor.
"Halo."
'Bapak kemana? Satu jam lagi ada meeting dengan Pak Richard dari kantor pusat.'
"Sebelum satu jam saya sudah ada di kantor."
Abi menutup panggilan itu sepihak, ia melempar kembali ponselnya ke dashboard setelah itu baru menancap gas kembali ke arah kantornya.
Meski masalahnya dengan Zila tidak kalah penting dengan meeting siang ini. Abi harus mendahulukan pekerjaannya lebih dulu.
Jika sudah menyangkut dengan Bos besar atau lebih tepatnya CEO dari perusahaannya maka Abi harus mendahulukan ini.
Richard adalah tangan kanan sekaligus seorang sekretaris dari CEO. Ia berkunjung pasti untuk memastikan jika tidak ada masalah di cabang perusahaan yang dipimpin oleh Abi.
****
Sudah setengah jam Zila sampai di tempat tinggalnya yang baru. Tempat tinggal sementara untuk menjauh dari Abi.
Tempat ini sangat kecil, hanya ada satu ruangan dan kamar mandi di dalamnya. Seperti tempat kost pada umumnya.
Zila sengaja memilih seperti ini untuk menghemat pengeluaran, gaji nya pada saat mengajar tidak terlalu banyak, apalagi saat ini dirinya masih belum mencari pekerjaan pengganti setelah memutuskan resign.
Sebenarnya uang yang diberikan Abi selalu ia simpan, tapi ia sudah terlanjur kecewa dengan yang memberi, akhirnya Zila meninggalkan Atm beserta buku tabungan itu dirumah.
Lagipula buku tabungan itu masih menggunakan nama Abimanyu, akan menyusahkan jika nanti Abi melacaknya dari transaksi yang digunakannya.
Zila juga tak sudi menggunakan uang itu, ia nanti juga tidak berniat mengambil harta gono gini dari Abi.
Semoga ia tak salah memilih tindakan ini, ia sudah memperhitungkan semuanya. Zila akan membalas perbuatan Abi dengan caranya dan usahanya sendiri, tanpa campur tangan dari uang Abi dan uang kedua orangtuanya.
Zila juga sengaja tidak memberitahu orang tuanya mengenai perselingkuhan suami dan adiknya sendiri, biarlah nanti mereka mengetahui saat semuanya sudah bisa Zila atasi.
Setelah beristirahat sejenak, Zila memilih mandi untuk menghilangkan penat. Selesai mandi, Zila membaringkan tubuhnya bersiap untuk tidur.
Nanti sore ia akan pergi berbelanja kebutuhan makanan dan juga beberapa baju untuk melamar pekerjaan besok.
Baru juga matanya terpejam, suara dari kamar sebelah membuatnya kaget.
"GUE NGGAK MAU!! JANGAN PAKSA GUE!!"
Zila mengelus dada, debaran jantungnya berdetak lebih cepat. Zila cepat-cepat bangkit dari tidurnya lalu berjalan menuju pintu.
Mendengar dari teriakan orang sebelah sepertinya orang itu membutuhkan bantuan.
Zila membuka pintu perlahan, ia mengintip dari celah pintu untuk mengamati situasi.
"Pria itu..." cicit Zila pelan.
Melihat sang pelaku membuat Zila semakin ingin membantu wanita yang baru saja berteriak.
Situasi diluar cukup sepi karena ini bukan kost-kostan padat penduduk. Akan sangat merepotkan jika terjadi sesuatu pada wanita itu. Zila harus lebih cepat bergerak sebelum terlambat.
"Lepasin atau saya telepon polisi!"
Chapter 15
"Lepasin atau saya telepon polisi!" Teriak Zila dari depan pintu kamarnya. Zila memasang wajah galak layaknya pemilik kost-kostan.
Pasangan yang saling tarik menarik itu menatap Zila dengan pandangan yang berbeda. Sang gadis menatap penuh harap kepada Zila, sedangkan sang pria menatap acuh.
Gadis bernama Mila itu segera menyentak tangannya begitu melihat pria yang memegang tangannya lengah. Setelah terlepas gadis itu segera bersembunyi di belakang tubuh Zila.
"Mbak, tolong!" Ucap Mila penuh harap. Tangannya meremas pakaian Zila, remasannya cukup kencang yang nantinya akan membuat pakaian Zila kusut.
Zila memberikan anggukan ringan tanpa berbalik badan.
"Kenapa anda menarik tangan gadis ini? Anda berniat menculik para gadis-gadis kecil ya!" Tuduh Zila.
Richard yang dituduh melotot tak terima, apalagi melihat wajah Mila yang sedang menjulurkan lidah. Mila tersenyum puas mendengar pembelaan yang diberikan oleh wanita yang ada di depannya.
"Apa saya ada tampang penculik? Apa mata anda tidak bisa melihat jika saya lebih cocok sebagai pengusaha sukses daripada penculik?" Ucap Richard beruntun.
Zila terkesiap mendengar rentetan pertanyaan dari Richard, tak menyangka jika pria yang pernah ia temui sangat cerewet.
"Lantas kenapa anda menarik tangan gadis ini?" Zila tak mau kalah.
"Itu bukan urusan anda!" Ucap Richard, ia kembali menatap Mila dengan penuh kesal.
"Mila, ayo ikut saya! Saya tidak punya banyak waktu." Lanjut Richard.
Mila melepas remasan tangannya, lalu ia berkacak pinggang. "Gue nggak mau! Mending Om pergi dari sini!" Mila sudah tidak berpura-pura lemah lagi dihadapan Zila.
Zila yang semakin tak tahu situasi memilih diam untuk mencerna.
"Saya tidak akan melepaskan kamu, Mila! Cepat kemari atau saya seret kamu!" Richard tak kalah galak.
Mila masih tidak bergeming dari tempatnya, tangannya juga masih berkacak pinggang, seolah menantang Richard.
"Oke, kalau kamu mau saya seret untuk pergi dari sini!" Richard sudah berjalan mendekati Mila, tapi, yang ada Mila justru kembali bersembunyi di belakang Zila.
"Tunggu... sebenarnya ini ada apa?" Tanya Zila yang sudah terlanjur penasaran.
Richard menghembuskan nafas berat.
"Dia... calon tunangan saya! Saya harus membawanya pulang karena dia sudah kabur dari rumah!" Richard menunjuk Mila yang sekarang memasang wajah kesal.
"Gue nggak mau tunangan sama lo! Mending lo cari cewek lain." Tolak Mila, umurnya baru menginjak 20 tahun, tapi, kedua orangtuanya sudah menjodohkannya dengan pria berusia 10 tahun diatasnya.
Richard yang hendak membalas ucapan Mila segera menutup kembali mulutnya ketika lagi-lagi Zila melontarkan tuduhan kepadanya.
"Bukannya anda sudah punya kekasih? Saya pernah melihat anda dengan kekasih anda di supermarket. Apa perjodohan anda hanya untuk menutupi aib anda?" Tanya Zila cenderung menuduh.
Alis Richard menukik tajam, ia baru saja difitnah di depan calon tunangannya sendiri oleh orang asing.
"Wah gila ya, lo! Gue makin ilfil sama lo, Om!" Mila menggelengkan kepala, ia tak sedih calon tunangannya itu sudah mempunyai kekasih, ia justru kesal karena dirinya harus bertunangan dengan orang yang sudah punya kekasih.
Richard semakin terpojok, ia melirik jam di arloji. Waktunya sudah terbuang percuma oleh kedua wanita di depannya. Rencananya tadi ia hanya ingin menjemput Mila, setelah itu ia akan meeting dengan atasannya di kantor cabang. Tapi, Mila yang keras kepala selalu membuatnya frustasi, apalagi ditambah satu wanita yang sok tahu tentang dirinya.
"Baiklah Mila, kamu bisa bernafas lega saat ini karena saya harus buru-buru pergi. Tapi, setelah urusan saya selesai, saya akan jemput kamu kembali, kemanapun kamu bersembunyi." Ucap Richard, pria itu lebih memilih mengalah daripada menghabiskan waktu terlalu banyak dengan kedua wanita aneh di depannya.
Saat sudah beberapa langkah, teriakan Mila mampu membuat Richard berhenti dan menoleh ke arahnya.
"Takut kan, lo! Sekarang gue tahu kalau lo sudah punya pacar, jadi gue nggak punya alasan mutlak buat nolak lo jadi tunangan gue!" Teriak Mila penuh semangat.
Menikah muda? No way bagi Mila, ia bahkan masih kuliah.
"Kamu tunggu saja, cepat atau lambat kamu pasti tidak bisa menolak!"
Richard berbalik badan, ia melangkah begitu lebar menuju mobilnya. Ia sangat kesal, apa tadi kata wanita asing itu, dia bahkan sudah lama putus dengan kekasih-kekasihnya. Meski masih dalam hitungan bulan, tapi, saat setuju untuk dijodohkan dengan Mila, Richard tidak sedang dekat wanita manapun.
Berbeda dengan Richard yang kesal, Mila justru bahagia. Ia sudah akan menelpon orang tuanya untuk membatalkan acara pertunangannya, tapi, Zila sudah lebih dulu menginterupsi gerakannya.
"Hm... Mila, nama kamu, Mila?" Tanya Zila memastikan jika tidak salah mendengar.
Mila mengangguk membenarkan. "Iya mbak, namaku Mila." Mila mengulurkan tangannya yang segera disambut oleh Zila.
"Saya Zila."
Setelah tangan mereka sudah tidak bersalaman, Zila terlihat bimbang, ia hendak berbicara namun tidak satu katapun terucap.
"Mila... apa kamu belum tahu jika calonmu itu seorang gay?"
"Apa?? Gay !!" Teriak Mila sebelum pingsan.
****
Sebelum jam dua siang, Kinan mengetuk pintu ruangan Abi.
Tok! Tok! Tok!
"Masuk." Titah Abi yang masih sibuk membaca dokumen yang akan mereka bahas dengan sekretaris pimpinan utama.
Kinan mendorong pintu, tubuhnya masuk ke ruangan Abi dengan tangan memegang beberapa dokumen.
"Pak Abi, sebentar lagi meeting akan segera di mulai." Ucapnya lembut. Kinan adalah sekretaris Abi, pembawaannya sangat lembut, pakaiannya juga tergolong sopan.
Wanita ini yang sempat dicurigai oleh Zila, tapi, nyatanya justru adiknya sendiri dalang dari hancurnya rumah tangga mereka.
"Oke! Saya segera menyusul." Ucap Abi masih dengan mata terus menatap layar laptop.
"Baik, Pak, saya permisi." Pamit Kinan.
"Hm." Jawab Abi
Kinan keluar dari ruangan Abi menuju ruang meeting yang tepat berada disebelah ruang Abi. Semua berkas dan bahan persentasi sudah disiapkan olehnya, untuk bagian minuman, Kinan dibantu office girl.
Lima menit berlalu barulah para manager dan juga Abi memasuki ruangan. Mereka duduk ditempat mereka masing-masing. Kursi ruangan itu tersisa dua. Menyisakan kursi CEO dengan sekretarisnya.
Biasanya meeting ringan akan dihadiri oleh sekretaris yang menjabat sebagai tangan kanan CEO saja.
Baru saja mereka duduk, pintu ruangan kembali terbuka. Abi, Kinan dan para manager segera berdiri untuk menyambut.
Dua orang pria memasuki ruangan, yang satu berwajah datar dan yang satu berwajah ramah.
Mereka yang ada diruangan cukup terkesiap, tak menyangka jika CEO mereka akan hadir hari ini.
Abi mewakili semuanya segera mendekat, tangannya terulur untuk menyapa.
"Selamat datang Pak Gavin dan Pak Richard."
Chapter 16
Satu jam sebelumnya….
Richard yang baru saja sampai di tempat persembunyian calon tunangannya, tiba-tiba mendapatkan panggilan telepon dari Gavin, atasan sekaligus sahabatnya.
"Kenapa, Vin?"
Terdengar gemerisik dari seberang telepon.
"Jemput gue sekarang di hotel xxx!" Titah Gavin.
Richard menghela nafas kesal. "Gue masih ada urusan sebentar, setengah jam lagi gue jemput. Lagian kenapa lo tiba-tiba ikut sih!" Protes Richard.
Bos nya itu, baru tadi pagi bilang jika tidak akan ikut meeting di kantor cabang, dia lebih memilih untuk merilekskan diri di hotel setelah bertemu klien pada jam makan siang. Tapi, sekarang disaat satu jam sebelum meeting dimulai, ia menyuruhnya untuk menyusul saat dirinya sedang mengurus bocah tengil yang akan menjadi tunangannya.
"Jangan lupa kalau gue adalah bosnya!"
Tut
"Sial!"
Richard menyumpah serapahi Gavin, ia menyumpahi temannya akan menjadi bucin setelah ini.
Sedangkan Gavin segera mengemasi laptopnya, jas dan kemeja yang sudah ia tanggalkan kembali ia kenakan. Niatnya untuk merefresh pikiran sudah hilang. Sepertinya dia ditakdirkan untuk menjadi musuh bebuyutan wanita.
Apapun kelakuan wanita di sekitarnya selalu membuatnya pusing.
****
"Apa?? Gay !!" Teriak Mila sebelum pingsan.
Zila segera menangkap tubuh Mila, karena tubuhnya yang tidak terlalu besar, membuatnya ikut terjatuh.
Bruk
"Awh.." Pekik Zila, posisi mereka saat ini, tubuh Mila diatas tubuh Zila.
"Mila…" Zila menggeser tubuh Mila hingga gadis itu benar-benar tidur di lantai.
"Mila… bangun, Mil!" Zila mencoba membangunkan Mila dengan menepuk kedua pipi Mila, tapi, Mila masih tidak merespon.
Zila yang panik melihat ke sekitar yang ternyata memang sepi tidak ada orang.
"Gimana ini?" Batin Zila, ia tak mungkin bisa mengangkat tubuh Mila yang sebelas dua belas dengannya.
Zila masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil minyak angin yang untungnya selalu ada di dalam tas kecilnya.
Setelah itu ia menggosokkan tangannya dengan minyak lalu ia dekatkan ke hidung Mila.
Beberapa saat kemudian, Mila mulai merespon dengan menggerakkan kelopak matanya.
"Mila.. kamu sudah sadar?"
Mila mengangguk lemah, ia sangat terkejut dengan kenyataan jika orang yang dijodohkan dengannya seorang gay. Ia semakin kecewa kepada kedua orang tuanya yang sudah menjodohkanya dengan Richard.
"Alhamdulillah.. maafkan saya, Mila." Sesal Zila.
Mila berusaha untuk duduk, ia dibantu oleh Zila. "Nggak papa, Mbak. Kalau boleh tau, Mbak tau dari mana?" Jujur saja meski kecewa, Mila tetap penasaran.
Zila gelagapan, ia hanya menduga saja. Ketemu Richard saja baru dua kali. "Hmm.. sebenarnya saya hanya menduga saja." Zila menggaruk tengkuknya.
Mila mengernyit, semakin penasaran. "Menduga gimana, Mbak?"
Mengalirlah cerita Zila saat pertama kali bertemu dengan Richard. Mulai dari Richard yang berantem dengan seorang pria di supermarket hingga Richard yang tidak mengelak ketika dirinya dituduh mempunyai pacar.
"Hmmpp." Tawa Mila meledak, tak menyangka hanya karena itu Zila menuduh Richard seperti itu.
Tapi ada bagusnya juga, Mila akan bersandiwara jika apa yang diucapkan Zila benar adanya.
Zila mengernyit, gadis ini baru saja pingsan, tapi, sekarang justru tertawa terbahak-bahak.
"Mila.." tegur Zila.
Mila menahan tawanya, tapi, mulutnya tidak bisa diam begitu saja.
"Sorry.. Mbak.." ucap Mila masih menahan tawa.
"Ada yang lucu?"
Mila mengangguk, lantas menggeleng. "Hm.. Mbak liat nggak pria yang bersama dengan Richard?" Mila memilih tidak menjawab.
"Lihat.. pria itu tingginya hampir sama dengan Richard, wajahnya dingin, tapi, tampan mengenakan jas juga sama kayak Richard."
"Itu namanya Gavin, Mbak. Dia bosnya Richard sekaligus sahabatnya. Mereka memang sering bertengkar tidak tahu tempat." Mila menjelaskan agar Zila tidak terus-terusan salah paham.
Zila menggaruk tengkuknya menahan malu. "Maaf, Mila. Saya sudah menuduh yang tidak-tidak."
"Tak apa, Mbak. Justru gue butuh bantuan."
****
Sore harinya, Zila mengajak Mila pergi berbelanja bersama. Setelah insiden tadi siang mereka jadi dekat.
Zila menemukan sosok adik di diri Mila, Mila berbeda dengan Shania yang manja. Mila sudah menceritakan kenapa ia sampai kabur dari rumah. Begitu pula dengan Zila, ia sudah menceritakan kejadian yang sudah menimpanya akhir-akhirnya.
Zila dan Mila sepakat untuk saling membantu. Mila sudah bertekad untuk membantu Zila menemukan bukti yang lebih kuat.
Mila mengambil fakultas hukum, meski belum lulus kuliah, sedikit banyak Mila tahu apa yang dibutuhkan Zila untuk menggugat cerai Abi. Bukti yang dimiliki Zila saat ini masih sangat kurang jika ingin langsung diterima oleh pengadilan.
Untuk itu Zila menunda untuk mencari pekerjaan terlebih dahulu. Ia akan fokus untuk mencari bukti kecurangan Abi.
Disisi lain, Shania uring-uringan karena panggilan dan pesan singkatnya tidak ada yang direspon oleh Abi.
Hanya pesan ancaman Abi yang didapat olehnya. Bahkan Abi tidak berniat menanyakan kondisinya. Ia sudah mengatakan kepada Abi bagaimana kerasnya tamparan yang Zila berikan.
Ia juga mengirimkan foto itu kepada Abi, tapi pesan itu tidak dibuka. Pesan terakhirnya yang dibaca hanya sebatas saat Shania memberitahu jika ia baru saja ditampar bahkan didorong hingga membentur tembok oleh kakaknya sendiri.
Saat ini Shania mendatangi Abi di tempat kerjanya. Ia menggunakan hoodie untuk menutupi bekas tamparan yang masih terlihat jelas. Ia sengaja tidak mengobatinya dulu untuk menarik perhatian Abi.
Dengan harapan besar Shania memasuki ruang kerja Abi. Di resepsionis dia sudah diberitahu jika para petinggi sedang ada meeting. Kenapa Shania bisa masuk sesukanya itu karena ia menjadi brand ambassador perusahaan, ia juga adik ipar Abi.
Shania duduk di kursi kerja Abi. Ia bosan menunggu hampir sejam tapi meetingnya tidak kunjung selesai. Sejak memasuki ruangan Shania langsung menutup foto Abi dan Zila yang selalu berada di meja kerja Abi.
Setiap mengingat kakaknya, emosi Shania meningkat, ia berjanji akan membalas kakaknya itu. Ia tidak terima wajah cantiknya membekas seperti ini. Bagi Shania, Zila adalah pengganggu kesenangannya.
Kreet
Abi masuk dengan kepala menunduk, ia sangat lelah hari ini. Ternyata Gavin lebih perfeksionis daripada Richard. Selama ini, Abi lebih sering bertemu dengan Richard dan membahas pekerjaan tanpa adanya Gavin. Tapi, hari ini Gavin datang secara tiba-tiba disaat pikirannya sedang bercabang. Abi tidak bisa terlalu fokus dengan meeting itu, ia masih memikirkan kemana perginya Zila.
"Mas…" Renggek Shania, pandangan Abi yang tadinya menunduk langsung mendongak menatap Shania dengan tajam.
"Apa yang kamu lakukan disini Shania!" Sentak Abi, ia maju hendak menyeret tubuh Shania, tapi, Shania tidak ingin kalah langsung mengalungkan lengannya pada leher Abi.
Saat Abi belum sempat mengelak, pintu kembali terbuka.
"Pak Abimanyu… Ah maaf sudah mengganggu aktifitas anda." Ucap Richard tak enak.
"Saya hanya ingin menyampaikan jika Pak Gavin ingin mengadakan pertemuan selanjutnya di cabang pusat, Permisi!" Pamit Richard.
Chapter 17
Setelah Richard keluar dari ruangannya, Abi langsung melepas kasar lengan Shania yang masih berada di lehernya.
Shania terdorong ke belakang, untungnya tidak sampai terbentur dinding. Shania sudah akan berjalan mendekati kembali dengan tatapan merengek, tapi, Abi sudah lebih dulu mengusirnya.
"Pergi kamu dari sini!" Sentak Abi.
"Aku tidak mau! Kamu harus mengobatiku, Mas! Lihatlah hasil dari kelakuan istrimu."
Bukan menurut, Shania justru terus melancarkan niatnya. Ia ingin Abi membelanya, Shania sudah terlanjur menaruh perasaan lebih kepada Abi, dan saat Kakaknya sendiri sudah mengetahui perbuatan mereka, itu akan memudahkannya mendapatkan Abi seutuhnya.
"Aku tidak peduli! Ini semua salahmu! kamu yang sudah menjebakku, Shania! Kamu harus bertanggung jawab, aku tidak mau Zila meninggalkanku karena masalah ini!"
Abi berjalan menghindari Shania, ia menyesal sudah masuk perangkap adik iparnya. Pikirannya saat ini sedang kacau, Zila pergi dari rumah, masalah pekerjaan juga belum selesai ditambah lagi kedatangan Shania yang menambah semuanya jadi rumit.
"Aku akan bertanggung jawab dengan menggantikan posisi Mbak Zila sebagai istrimu, Mas." Kata Shania lantang.
"Jangan harap kamu bisa menggantikan Zila! Aku nggak sudi mempunyai istri murahan seperti kamu!" Sarkas Abi. Mengetahui fakta jika Shania tidak merasa bersalah sama sekali membuatnya bertambah geram. Ia bingung hal apa yang akan dilakukannya untuk menghentikan tindakan Shania.
"Jangan munafik kamu, Mas! Bukan cuman aku yang butuh kamu, kamu juga butuh aku. Kamu selalu menikmatinya setiap kali kita bercinta."
"Itu bukan bercinta! Aku tidak pernah mencintaimu! Kamu yang sudah menjebakku!" Sela Abi tak terima.
"Jahat kamu, Mas! Aku tulus mencintaimu, tidakkah kamu melihat saat aku melayanimu?" Shania memulai aksinya, ia memasang wajah sedih, seolah dia lah sang korban.
Abi memandang Shania yang sudah berkaca-kaca. "Pergilah, Nia! Jangan pernah menemuiku lagi!"
"Kamu mengusirku?" Tanya Shania tak percaya.
Abi mengangguk mantap.
"Jika aku tidak bisa mendapatkanmu, jangan harap bisa bahagia dengan Mbak Zila." Shania pergi meninggalkan ruangan Abi dengan kesal. Ia menghentak-hentakan kakinya.
Brakk
Abi mengacak kasar rambut hitam pekatnya, lalu menarik dasi yang sedari tadi terasa semakin mencekiknya. Berulang kali menghembuskan nafas kasar berkali-kali. Ia harus berpikir bagaimana cara menemukan Zila tanpa harus membuat keributan di keluarga besar mereka berdua.
****
"Mbak, sudah siap?" Tanya Mila.
"Sudah." Jawab Zila dengan merapikan kembali topi yang akan membantunya untuk menyamarkan identitasnya.
Pagi hari ini, Zila dan Mila akan melakukan penyamaran untuk mencari bukti tambahan dengan mengikuti kemanapun perginya Shania.
Mereka sepakat untuk menggunakan pakaian sehari-hari yang selalu dipakai Mila. T-shirt lengan pendek dipadukan dengan hoodie dan celana jeans.
Setelah menggunakan topi mereka akan menutupnya dengan penutup kepala dari hoodie yang mereka kenakan.
"Mbak, pakai ini." Mila mengulurkan masker penutup hidung dan mulut.
"Oh iya, hampir saja kelupaan. Makasih ya, Mila." Zila menepuk pelan dahinya.
"Iya sama-sama, Mbak." Mila melihat penampilan Zila dengan takjub tak menyangka jika perempuan yang berbeda usia dengannya tujuh tahun bisa terlihat sama mudanya dengan dirinya.
"Mbak Zila cantik deh, kelihatan lebih muda." Ucap Mila dengan senyum manisnya.
"Iya dong! Siapa dulu.. Fazila!" Ujar Zila dengan menepuk dadanya bangga.
Bukannya kesal, Mila justru terkekeh dengan tingkah Zila. Kekehan Mila menular ke Zila hingga keduanya tertawa bersama.
Zila bersyukur bisa bertemu Mila disaat dirinya memang membutuhkan support apalagi tidak ada seorangpun yang tahu kondisi rumah tangganya.
"Yuk!! Ntar keburu kehilangan jejak!" Ajak Zila.
Mereka berjalan menuju garasi yang tersedia di samping tempat kost. Mila mengeluarkan kunci mobil dan menekan remote untuk membuka pintunya.
Mila memang kabur dari rumah, tapi ia juga tidak mau jika hidup susah, sehingga ia tetap menggunakan mobil yang diberikan oleh orangtuanya.
Dua puluh menit kemudian mereka sudah sampai di dekat apartemen yang ditempati oleh Shania.
Menurut Zila, Shania akan pergi jam 9 pagi. Tapi, Mereka sudah standby di dekat sana dari jam 8 pagi untuk menghindari hal-hal yang diluar prediksi.
Sejak perjalanan tadi, Mereka berdua diam satu sama lain. Tidak ada yang membuka suara, baik Zila maupun Mila. Zila sibuk dengan pikirannya tentang rencana-rencana yang sudah disusunnya. Sedangkan Mila sibuk menyetir di tengah padatnya ibu kota.
"Semoga Nia masih belum pergi." Kata Zila penuh harap.
"Aamiin."
Mereka kembali terdiam, mengamati sekitar jalan untuk memastikan mobil Shania belum keluar dari apartemennya. Sebelumnya, Zila sudah memberitahu ciri-ciri mobil Shania.
Tak lama mereka menunggu mobil Shania terlihat keluar dari apartemen. Mila mulai melajukan mobilnya mengikuti kemana arah tujuan Shania. Jika melihat arah yang dituju Shania, Zila bisa menebak jika tujuannya adalah perusahaan tempat Abi bekerja.
Jika di pikir-pikir ulang, sebenarnya Shania tidak perlu mondar- mandir datang hanya karena menjadi brand ambasador disana. Hal ini yang sebelumnya tidak pernah ditanyakan oleh Zila. Karena Zila pikir urusan suami dan adiknya hanya sebatas pekerjaan saja.
Tapi, kenyataannya berbeda dengan apa yang Zila pikirkan.
Sampai di parkiran Mila berlari mengejar Shania. Ia dan Zila berniat menaruh alat penyadap di tas milik Shania.
Setidaknya Zila harus tahu lebih dulu sejauh apa mereka berselingkuh, meski sebelumnya Zila pernah mempergoki Shania yang sedang menunggu Abi. Tapi, Bukti itu tidaklah cukup. Dari alat penyadap itu, Zila dan Mila berharap mereka merencanakan sesuatu atau bahkan berbuat lebih sehingga bisa membuat rencana mereka berhasil.
Mila semakin dekat dengan tubuh Shania, ia sengaja mendekat ke sisi Shania yang sedang memegang tas. Ia akan menempelkannya disana.
Saat sudah di dekat Shania, Mila menabrakan tubuhnya dengan keras sehingga mereka berdua terjatuh.
Bugh!
"Argh!!" Mereka kompak meringis kesakitan. Lebih tepatnya Shania karena Mila hanya berpura-pura sakit.
Setelah memastikan alatnya sudah ia masukan didalam tas Shania, Mila segera bangkit untuk membantu Shania berdiri.
"Maaf… Maaf Kak.. gue nggak sengaja!" Ucap Mila penuh sesal. Tangannya terulur untuk membantu, tapi, Tepisan yang ia dapatkan.
"Menyebalkan! Lo nggak punya mata, Hah!" Maki Shania. Ia berdiri lalu mengibaskan debu yang menempel di pakaiannya.
"Kak Shania.." Panggil Mila, matanya berbinar melihat Shania.
Shania menatap Mila dari atas sampai bawah. Pandangannya terlihat jelas jika dirinya sedang menilai penampilan Mila.
"Kak…. Gue ngefans banget sama lo." Ucapan Mila mampu membuat Shania berhenti menilai penampilannya.
Belum sempat Shania merespon, Mila sudah kembali melanjutkan ucapannya. "Gue boleh foto sama lo ya.. please!" Pinta Mila penuh harap.
Dengan angkuh Shania menerima.
"Lo nggak mau buka masker?" Tanya Shania bingung. Biasanya orang yang meminta foto dengannya untuk numpang eksis, tapi, Mila justru menutupi sebagian wajahnya.
"Gue lagi flu, Kak."
Shania sontak menggeser tubuhnya, ia sedikit menjauh, ia tidak mau repot jika sampai tertular.
"Kakak kok ngejauh? Emang gue gak layak ya foto sama Kakak." Suara Mila dibuat sedikit meninggi sehingga orang disekitar mulai melihat ke arah mereka.
Melihat orang sudah mulai berbisik-bisik Shania langsung menggeleng, lalu kembali mendekati Mila. Bagaimanapun Shania adalah public figure, ia harus bisa menjaga image nya agar tidak menurunkan pamornya.
"Buruan!" Ucapnya tidak sabar.
Mila mengangguk. Mereka melakukan beberapa pose dengan ponsel milik Mila. Setelah beberapa kali jepretan, Mila mengucapkan terimakasih.
"Terimakasih Kak.. Gue seneng banget bisa ketemu lo disini."
"Hm." Shania hanya berdehem, selanjutnya ia kembali berjalan dengan langkah yang lebih angkuh lagi.
Dalam hati ia merasa senang, ada orang yang begitu senang dengan dirinya. Setiap orang yang meminta foto atau meminta tanda tangannya selalu ia terima meski dengan gaya angkuh. Ia tak mau dinilai artis gampangan sehingga membuat image angkuh tapi tetap masih bisa diterima oleh para fansnya.
Berbeda dengan Mila yang sudah menahan rasa mual sejak dirinya menabrak Shania. Dengan susah payah Mila menyamar sebagai fans berat seorang Shania.
Sebenarnya Mila sempat panik, saat Shania beranya tentang maskernya. Untung saja otaknya encer jadi cepat punya ide lainnya.
Mila mengirimkan pesan kepada Zila, [Berhasil, Mbak]
Chapter 18
[Berhasil, Mbak]
Satu pesan masuk dari Mila membuat bibir Zila melengkung ke atas. "Alhamdulillah." Batin Zila.
Sedetik kemudian senyumnya berubah menjadi kekehan ringan. Dirinya dan Mila hanya berjarak beberapa meter saja, tapi, sepertinya Mila tidak sabar memberikan kabar baik kepadanya.
"Mila… Mila… Mbak bersyukur bisa bertemu denganmu." Gumamnya sendiri.
Zila membuka aplikasi yang terhubung dengan alat penyadap yang ada di dalam tas Shania. Sampai beberapa menit masih belum ada suara yang diharapkannya.
Zila memasang headset bluetooth di telinganya sambil menunggu Mila kembali. Zila menatap keluar, ternyata Mila sudah berjalan menuju mobilnya.
"Gimana, Mbak? Sudah ada hasilnya!" Tanya Mila antusias. Baru juga membuka pintu, tubuhnya juga belum masuk kedalam mobil.
"Astaga Mila!! Sini masuk dulu!" Zila geleng-geleng kepala, heran kenapa jadi Mila yang bersemangat.
"Hehe.." Mila nyengir. Ia masuk kedalam mobil lalu menutup pintunya.
"Gimana.. gimana, Mbak? Duh kok gue yang gak sabar nunggu hasilnya." Ucap Mila menggebu-gebu, nafasnya tidak beraturan, mungkin ia baru saja berlari saking penasarannya.
"Tarik nafas pelan-pelan.. hembuskan.. tarik nafas lagi.. hembuskan.."
"Ish kok kayak orang lahiran sih, Mbak!" Protes Mila dengan pipi menggembung.
"Hahahaha kamu lucu." Zila mencubit pipi Mila gemas.
Mila melepas tangan Zila yang masih mencubit pipi nya. "Sakit Mbak Zila!"
"Maaf.. Maaf Mila.."
Mila mengangguk saja, ia tidak marah, sakitnya juga tidak seberapa. Mila hanya senang menggoda Zila yang panik.
"Eh ini kayaknya Shania sudah sampai di depan ruangannya Abi." Zila mulai mendengar percakapan Shania dengan lawan bicaranya yang kemungkinan besar adalah sekretarisnya Abi.
"Mana satunya Mbak, Mila juga mau dengar."
Zila melepas satu sisi headsetnya kepada Mila yang langsung diterimanya. Mila memasangnya dengan tidak sabar.
****
"Maaf Bu Shania.. apa sudah membuat janji?" Tanya sekretaris Abi bernama Ratna. Ratna menghadang Shania yang ingin masuk ke dalam.
"Janji?? Untuk apa aku membuat janji! Kamu lupa siapa aku? Aku Shania, Adik iparnya Pak Abimanyu." Jawab Shania. Ia berusaha menerobos masuk ke ruangan Abi, tapi, Ratna selalu saja menghalanginya.
"Saya tidak lupa, Bu Shania! Ini permintaan langsung dari Pak Abimanyu. Beliau tidak ingin diganggu. Jika ingin bertemu harus membuat janji dulu." Ratna dengan tegas membalas ucapan Shania.
"Nggak mungkin! Aku ini adiknya. Mana mungkin Pak Abi meminta saudaranya untuk membuat janji dulu sebelum bertemu." Shania masih ngeyel tak mau kalah.
"Pak Abi tidak mengecualikan siapapun, Bu! Semua yang ingin bertemu harus membuat janji! Sebaiknya Bu Shania pergi sebelum saya panggil sekuriti!" Ancam Ratna.
Shania menggeram marah, mukanya sudah memerah, siap untuk mengeluarkan segala amarahnya. Didorongnya tubuh Ratna dengan keras hingga Ratna terjatuh.
Bugh!
"Kamu yang akan dipecat jika berani mengusirku!"
Shania membuka pintu ruangan Abi dengan kasar, ia sudah siap memprotes Abi, tapi, Ratna ikut masuk juga.
"Maaf, Pak Abi. Saya sudah melarang Bu Shania masuk, tapi, Bu Shania memaksa bahkan mendorong saya hingga jatuh."
Shania melotot mendengar Ratna mengadu pada Abi. "Mas, karyawanmu ini sungguh tidak sopan! Sebaiknya kamu pecat dia!"
Abi menghembuskan nafas kasar, ia lupa siapa yang dihadapinya saat ini. Wanita ular yang tega menjeratnya hingga pernikahannya terancam pisah.
"Ratna silahkan kamu keluar dulu!" Titah Abi.
Ratna mengangguk hormat, ia kesal dengan Shania yang sudah mendorongnya, jangankan kata maaf, Shania justru menyuruh Abi memecat dirinya.
"Baik, Pak. Saya keluar dulu." Pamit Ratna, saat sampai di depan Shania, Ratna menatap tajam Shania. Ia tidak peduli dengan identitas Shania sebagai adik ipar bos nya.
Setelah pintu tertutup Shania langsung melayangkan protes yang sudah ia tahan sejak tadi.
"Kenapa kamu menghalangiku masuk!"
"Berhentilah menggangguku Shania!! Tidakkah kau merasa bersalah sama sekali! Bahkan Zila saat ini belum kutemukan." Abi menatap nyalang ke arah Shania.
Bukannya takut, Shania justru tertawa bahagia. "Haha.. jadi Mbak Zila pergi dari rumah? Bagus dong! Aku bisa secepatnya pindah ke rumahmu tanpa harus repot-repot mengusirnya."
"Kau gila! Sampai kapanpun jangan pernah berharap bisa menggantikan posisi Zila!"
"Sudahlah, Mas! Sebaiknya kita merayakan kepergian Mbak Zila! Bagaimana kalau kita menginap di hotel seperti biasanya? Ah sepertinya lebih bagus jika kita merayakannya di rumahmu. Kita bisa melakukannya di semua tempat, di ruang tamu, ruang keluarga, dapur atau di kamarmu dengan Mbak Zila."
Abi semakin geram mendengar setiap kata yang diucapkan oleh Shania.
"Apa kau tidak punya malu? Apa sudah hilang akal sehatmu? Kau sudah gila! Kamu seharusnya pergi ke rumah sakit jiwa."
Abi meraih gagang telepon hendak memanggil sekuriti untuk membawa keluar Shania dari ruangannya. Hanya itu yang bisa ia lakukan karena ia tidak bisa mengusir Shania dari perusahaan mengingat Shania masih terikat kontrak dengan perusahaan ini.
Shania yang tau apa yang akan dilakukan Abi segera menghampiri dan menepis tangan Abi.
"Apa yang kamu lakukan!" Geram Abi.
Shania menarik tangan kanan Abi yang tadi memegang gagang telepon. Ia menaruhnya di bagian buah dada nya, tak hanya itu saja Shania juga menaruh tangan Abi tepat di bagian intimnya.
"Ahh ahhh dia merindukan tanganmu, Mas!" Shania menggesek-gesekan tangan Abi di luar dress yang ia kenakan.
Abi menarik paksa tangannya, ia menatap Shania jijik. Di dorongnya tubuh Shania keras hingga jatuh ke lantai. "Kau sangat menjijikan!"
Abi kembali meraih gagang telepon yang tadi saat ini menggantung di mejanya. Abi masih menekan kombinasi tombolnya, panggilannya juga belum menyambung, tapi, suara desahan dari dua orang yang saling bersahutan memenuhi ruangan.
"Ahh ahhh lebih keras, Mas!"
"Tekan yang lebih keras lagi ahh aahh!"
"Zila..kamu yang nikmat!"
"Ini Nia, Mas! Bagaimana apa rasanya lebih nikmat dari Mbak Zila?"
"Kamu… kamu sungguh nikmat!"
"Kenapa kamu belum menghapusnya!" Sentak Abi, ia maju mengambil ponsel Shania. Ia membanting ponsel Shania hingga hancur.
"Hahaha hancurkan saja! Aku masih punya salinannya!" Shania tertawa penuh kemenangan.
Abi mencengkram rahang Shania yang masih ada bekas tamparan dari Zila. Shania tidak meringis kesakitan, tangannya juga tidak diam saja tidak berusaha melepas.
"Aku bisa membunuhmu jika kamu terus membuat ulah!" Abi mendorong kepala Shania hingga tertoleh ke sebelah kanan.
"Bunuh saja! Aku pastikan hidupmu hancur setelah membunuhku! Kamu akan masuk penjara! Video percintaan kita juga akan tersebar luas!" Tantang Shania.
"Dasar wanita gila! Argh!" Abi berteriak kencang untuk meredakan amarahnya.
Shania hanya tertawa terbahak, ia senang Abi tersudutkan seperti ini. Ia harus benar-benar mendapatkan Abi.
****
Di dalam mobil Zila dan Mila menutup mulutnya, mereka terkejut mendengar percakapan Shania dengan Abi.
"Mila… Mbak nggak salah dengarkan?" Tanya Zila masih belum mempercayai kenyataan.
"Iya Mbak… Mila nggak nyangka Shania bisa segila itu!"
Air mata Zila tak terasa menetes begitu saja, dada nya naik turun. Ia merasa sedih juga malu mempunyai adik sehina Shania. Ia masih belum percaya jika Shania yang sudah menjebak suaminya. Bahkan mengancam akan menyebarkan aib mereka.
"Sabar ya, Mbak! Jangan menangisi orang yang sudah jahat sama kita."
Zila bohong jika ia tak sakit hati dengan kenyataan itu, bagaimanapun Zila seorang perempuan yang selalu menggunakan perasaan. Perasaannya hancur, ia kecewa kepada keduanya. Hati mana yang tidak sakit jika dikhianati oleh orang terdekatnya sendiri.
Zila mengusap kasar air mata yang membasahi pipi nya. Ia terus mensugesti dirinya sendiri untuk membuatnya kuat menghadapi permasalahan keluarganya. Setelah hatinya tenang kembali, ia menatap Mila dengan tatapan semangat seperti tadi waktu berangkat tadi.
"Kita lanjutkan rencana selanjutnya!"
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
