CSPB S2 || "Aqila, ayo pulang" - Part 17

3
0
Deskripsi

"Aku... Aku harus... bawa Qila... dan baby king pulang...." Ethan memerintah otaknya dengan susah payah. Memaksa tubuhnya untuk bergerak.

"Qila... Qila harus pulang... ugh..."

Ethan berhasil duduk tegak, punggungnya membentur kursi kemudi dengan kasar, kepalanya mendongak, meraup rakus oksigen dengan darah segar yang tak berhenti mengalir dari sisi wajahnya.

Dia tidak boleh kehilangan kesadaran sekarang, karena jika dia kehilangan kesadaran dan gagal menjemput Aqila. Dia mungkin tidak akan bisa melihatnya lagi....

Dia tidak boleh terlambat. 

Tepat ketika jari-jari itu akan menyentuh wajahnya, Qila menghindar dengan cepat dan memelintir lengan pria itu hingga terdengar suara retakan tulang.

Tidak puas hanya memelintir tangannya, Qila menarik pria itu mendekat dan menendang perutnya dengan keras hingga terlempar membentur ujung meja.

Liam terbatuk memegangi area perut karena organ dalamnya terasa luar biasa nyeri setelah terkena tendangan mendadak yang tak pernah diperkirakan sebelumnya.
Saat akan bangkit, tanpa ampun Qila mencengkram rambutnya dan mendorong wajahnya dengan kasar hingga membentur meja.

"Sudah saya bilang, 'kan?" Aqila menarik bagian belakang kepala pria itu dengan kasar, lalu membenturkan ke meja. 
"Anda akan menyesal!"

Pria itu meringis merasakan darah mengalir dari hidungnya.

Dalam hati tidak menyangka Aqila yang elegant dan terlihat lembut ternyata memiliki ilmu bela diri sehebat ini.

Tiba-tiba, pintu terbuka.

"A-apa yang terjadi?" ucap sekretaris Qila dengan ekspresi terkejut.

Dia mendengar suara benturan keras dari ruangan CEO Liam, dan tak berharap pemandangan yang ia lihat adalah bos-nya yang membenturkan kepala seseorang ke meja. Dan ternyata itu adalah Liam!

Apa yang sebenarnya sedang terjadi?!

Aqila melepaskan cengkramannya dari rambut Liam dan berdiri tegak merapikan long-coatnya.

"Karena anda mabuk, saya akan memaafkan tindakan anda kali ini!"

"Ughh... uhuk...uhuk..."

"Tapi saya tidak akan mentolerir untuk yang kedua kali! Ingat itu!" Final Qila dan berjalan keluar pintu diikuti oleh sekretaris-nya.

Akibat insiden itu, Aqila langsung kehilangan mood untuk bekerja.

Dia benar-benar sangat marah!

Bisa-bisanya seseorang seperti dia mendapat pelecehan di tempat kerja!

Jika ini terjadi saat ia masih remaja alias masa-masa tidak punya otak, Qila pasti sudah menghajar orang itu sampai giginya rontok + patah tulang!!

Huh!!

Qila dengan kemarahan besar pergi keluar mengendarai mobilnya.

Namun tiba-tiba teringat rambutnya sempat disentuh-sentuh dan dicium-cium oleh orang mesum itu. Aqila jijik dan mencari gunting di dalam mobil, tapi tidak ada.

Jadi, dia pergi ke supermarket membeli gunting, tisu basah, dan hand sanitizer pembunuh kuman, lalu duduk di kursi taman dekat supermarket sambil mengumpat.

"Najis banget, sialan! Sial banget gue hari ini!" umpat Qila menggunting ujung rambut yang sempat dicium pria mabuk itu.

Dia benar-benar marah, dia bahkan tidak peduli jika ujung rambutnya panjang sebelah.

Hingga tiba-tiba, terdengar langkah kaki mendekat disertai suara berat yang akrab.

"Loh, Qila?!"

Aqila tertegun, segera menoleh. Iris cokelat terangnya membulat melihat seseorang yang bertahun-tahun tidak pernah dilihatnya.

"Dedeng?"

Pemuda itu tersenyum cerah. "Ternyata beneran elo. Kirain gue salah orang. Lo udah beda banget sekarang, Qil. Gue sampe nggak ngenalin lo!" kata Dedeng setelah sampai di depan Qila.

Qila melongo, sedikit tidak percaya bisa bertemu mantan anggota gengnya di sini.

"Udah berapa lama kita nggak ketemu? Enam tahun? Tujuh tahun? Waahh udah lama banget, ya" kata Dedeng sambil mengulurkan tangan. "Lo apa kabar? Sehat, 'kan?"

Setelah rasa keterkejutan hilang. Qila mengangguk. Tersenyum cerah sambil menjabat tangan Dedeng.

"Ya, gue sehat-sehat aja, kok. Lo selama bertahun-tahun ini juga apa kabar, Deng? Kenapa semua chat gue dulu nggak pernah lo balas?"

Pemuda berkulit sawo matang itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal, lalu menjawab sambil cengengesan. 
"Hehehe, sorry. Gue pulang kampung tinggal bareng nenek. Di kampung nggak ada jaringan. Makanya nggak bisa hubungi lo."

Aqila tau itu bohong, tapi dia tetap percaya saja.

Dedeng memperhatikan penampilan Qila yang 180° berbeda dari bertahun-tahun yang lalu.

Dulu, saat menjadi ketua geng. Aqila selalu berpenampilan urak-urakan khas jamet perempatan. Tapi sekarang dia terlihat seperti dari kalangan royal family.

Rambutnya dicatok dengan rapi, ujungnya bergelombang, sangat cocok dengan bentuk wajahnya. Long-coat panjang berwarna cream membuatnya terlihat seperti independent women banyak duit. Kulitnya juga putih, sehat, seolah-olah tak punya beban hidup.

Dan dia juga terlihat lebih berisi. Dedeng terpana dan tanpa sadar berkata,
"Waahh, lo beneran hidup dengan baik. Bang Jipu pasti seneng lihat lo kek gini."

Ketika nama Jipu disebut, Qila langsung terdiam.

Dedeng segera menepuk mulutnya, keceplosan. 'Cocot bangsat!" Umpatnya dalam hati.

Aqila tertawa melihat itu. "Permintaan terakhir bang Jipu nggak banget. Dia nyuruh gue jadi cewek menye-menye, bjir. Padahal kan gue lebih cocok jadi cewek badass, ya nggak?" kata Qila santuy sambil menepuk-nepuk kursi sebelah memberi isyarat Dedeng untuk duduk.

"Nggak ada salahnya juga sih. Lagian apa untungnya jadi preman seumur hidup? Suer dah, lo lebih cakep jadi wanita karir kek gini!" kata Dedeng semangat.

"Nggak seru ah jadi budak korporat. Lebih enak malak orang sebenernya," kata Qila setengah bercanda sambil mengeluarkan tisu basah dan mengelap tangannya bahkan sampai ke sela-sela jari.

"Lo ngapain dah lap tangan segitunya, kek habis ke pegang tai aja," tanya Dedeng.

"Iya, nih. Ketempelan najis gue tadi."

"...."

Dedeng memperhatikan Qila yang mulai menyeka long coat sekitar pinggangnya, lalu tertegun menyadari perut Qila terlihat besar.

"Buset, Qil! Lo... lo lagi hamil?!" Dedeng shock.

Aqila nyengir. Menyentuh perutnya membuat bulatan itu semakin jelas. "Ho'oh, udah mau masuk lima bulan."

"Anjaayy, bentar lagi gue punya ponakan. Gue tadi nggak notice soalnya ketutup sama baju lo,"

"It's okay"

"Anak siapa nih?"

"Anak selir gue lah"

"Siapa?" Dedeng kebingungan. Tapi tiba-tiba teringat sesuatu. "Eh, jangan bilang....—"

Aqila menarik turunkan alisnya sambil nyengir. "Tepatss sekali, gue nikah sama selir Sethan gue."

"Ethan? Bukannya dia udah meninggal? Gue kira tadi lo nikah sama kembarannya."

Qila memberi Dedeng side eye. "Laki gue nggak ninggoy, yak. Dia waktu itu cuma recovery aja di luar negeri."

Dedeng cengo, dia benar-benar tidak tahu sama sekali.

"Kapan lo nikah?"

"Akhir tahun kemaren"

"Kok nggak ngundang gue?" Dedeng protes.

"Heh, gue udah ngundang lo, yak. Gue nggak tau posisi lo di mana jadi gue cuma ngirim undangan lewat pesan doang. Gue udah cari lo kemana-mana tapi nggak pernah ketemu. Jadi gue mikir emang lo yang udah nggak mau komunikasi sama gue lagi." Kata Qila.

Dedeng merasa bersalah. "Hmmm sebenernya... waktu itu gue agak kesel sih sama lo. Soalnya gue masih nggak rela banget geng dugong bubar. Makanya gue balik kampung trus mutusin kontak sama lo."

Qila, "...."

"Sorry, Qil. Sekarang gue udah ngerti maksud bang Jipu nyuruh lo bubarin geng dugong. Soalnya buat kebaikan kita juga ya kan? Gue udah ikhlas."

Aqila menghela napas dan mengangguk. Menepuk-nepuk pundak Dedeng di sebelahnya.

"Yang namanya hidup pasti akan terus berjalan. Kita nggak boleh stuck di tempat yang sama terus-terusan, 'kan? Apalagi kalau itu salah."

Dedeng manggut-manggut.

"Trus lo ngapain ke sini lagi?" tanya Qila.

Dedeng tersenyum kecut. "Nenek gue meninggal seminggu lalu. Lo tau kan gue yatim-piatu, gue nggak punya siapa-siapa lagi setelah nenek gue meninggal. Jadi gue ke sini memulai hidup baru."

Qila menatap Dedeng kasihan, semakin keras menepuk-nepuk pundaknya.

"Yang sabar, ya. Yang namanya hidup pasti ada aja cobaannya."

Dedeng mengangguk. "Gue udah nggak apa-apa kok"

Qila tersenyum. "Bagus. Trus apa rencana lo kedepannya?"

"Rencananya gue mau cari kerja. Makanya gue ke sini. Tapi susah banget, bjirlah"

"Lo punya ijazah?"

"Ada sih, tapi cuma ijazah SMP"

"Lo nggak punya ijazah SMA?"

"Nggak, gue nggak tamat SMA"

"Oke, lo mau nggak kerja di kantor?"

"Jan ngadi-ngadi dah Qil. Ngidupin komputer aja nggak tahu gue caranya. Gue cari kerja yang gue bisa aja deh. Yang penting halal."

"Tenang, lo bakal di training, kok. Mau nggak?"

"Nggak mau!"

"Oke, kalau gitu lo kerja sebagai mentor akademi taekwondo aja, gimana? Kebetulan kami kekurangan master berpengalaman." Qila menyarankan lagi.

"Waahh serius? Gue bisa kerja jadi master taekwondo?" kaget Dedeng tak percaya.

"Bisa. Tapi lo masih punya sertifikat lomba sama sertifikat kelulusan, 'kan?" tanya Qila.

Dedeng mengusap ujung hidungnya dengan jempol. 
"Hoho, ada dong. Walau cuma punya ijazah SMP, tapi sertifkat gue sebagai atlet taekwondo sabuk hitam ada banyak, bahkan dipajang sama almarhum nenek gue sampai penuh dinding rumah. Hehe"

Aqila tertawa melihat ekspresi songong sahabatnya yang tak berubah.

"Tapi serius, gue bisa jadi master? Di akademi mana?"

Kali ini Qila yang dalam mode songong. 
"Gue udah bikin akademi bela diri sendiri."

"Bjir, serius?!"

"Ho'oh, nama akademinya 'Dugong Taekwondo Academy',"

Dedeng, "...."

Dan begitulah, berkat the power of orang dalam, alias si Qila. Dedeng berhasil mendapat pekerjaan layak sebagai master akademi taekwondo.

Dari siang sampai sore Qila sibuk membantu Dedeng mengurus surat-surat resmi untuk memperoleh sertifikat master dari instansi supaya Dedeng bisa bekerja sebagai profesional.

Setelah tanda tangan kontrak yang berisi slip gaji dua digit dan hak-hak profesional lainnya, Aqila mengantar Dedeng ke akademi taekwondo miliknya untuk mulai bekerja di sana.

"Qil, makasih, ya. Kalau nggak ada lo, gue pasti masih jadi gembel sampai sekarang," kata Dedeng setelah keluar dari mobil.

"Hehehe biasa aja, Deng. Itu gunanya temen, ya kan? Harus saling support."

Dedeng mengusap matanya yang berair. Di tangannya ada map berisi surat-surat yang dia urus bersama Qila tadi.

"Gue ngomong serius. Kalau nggak ada lo, gue beneran nggak tahu harus makan apa. Soalnya gue nggak ada uang, uang habis buat pemakaman nenek. Gue sama sekali beneran nggak punya uang. Qil, sekali lagi makasih, ya"

Melihat Dedeng menangis. Qila segera turun dari mobil dan memeluk Dedeng.

"Buset lo napa nangis dah. Kalau anak-anak akademi lihat ntar lo dibilang master cengeng," omel Qila sambil mengusap bahu Dedeng yang tengah sesenggukan.

Setelah Dedeng tenang, dia di bawa oleh staff menuju ruang manajer. Aqila tidak mengikuti karena dia harus pulang.

Di tengah jalan, Aqila mengendarai mobil sambil melamun.

Kini, dia mengerti kenapa Jipu menyuruhnya untuk hidup baik dan sukses di masa depan. Karena, jika dia hidup dengan baik dan sukses, dia bisa membantu orang lain seperti Dedeng.

Aqila menghela napas, matanya sedikit basah.

"Jadi ini maksud lo, bang? Lo sebenarnya mau jadi orang baik dan berguna, 'kan? Makanya nyuruh gue hidup di jalan yang bener kek gini."

"...."

Qila menelan ludah pahit. "Bodoh, kenapa nggak lo aja sendiri yang cobain jadi orang baik?"

"....."

"Kenapa harus gue?"

Dari dulu hingga sekarang, tidak peduli berapa banyak pertanyaan itu terlontarkan, Aqila tidak pernah mendapatkan jawabannya.

****
 


Setibanya di rumah, Aqila memarkirkan mobil di garasi dan berjalan memasuki pintu utama.

Saat melewati ruang tamu, Qila melihat Keysa sedang duduk memeluk lutut di sofa. Di sampingnya ada seorang gadis yang tak Qila kenal sibuk menepuk-nepuk pundak Keysa menenangkan.

"Keysa kenapa? Dia sakit?"

Begitu mendengar suara Qila, gadis itu mengangkat wajahnya. Iris hitam pekat seperti mutiara laut dalam membuat Qila terpaku sejenak.

"Kakak.... Huaaa..." Keysa berlari memeluk Qila sambil menangis sesenggukan.

Qila mengusap rambut adik iparnya. "Kamu kenapa?"

"Aku ditolak Keita lagi... Ternyata, ternyata Keita udah punya pacar.... Huaaa," tangis Keysa makin menjadi.

Qila balas memeluk Keysa, tetapi tatapannya masih terpaku pada gadis berkulit putih dengan rambut hitam pekat di depannya.

"Nggak apa-apa, nggak apa-apa jangan nangis. Selagi jalur kuning belum melengkung, masih bisa di tikung, oke?" kata Qila memberikan ajaran sesat.

Keysa mengisap ingusnya, berusaha berhenti menangis.

"O, iya" Keysa berkata masih sesenggukan. "Ini teman yang aku bilang pagi tadi. Namanya Rainy Stell—"

"Callista" potong gadis itu.

Aqila heran, sedangkan Keysa terkejut. Tatapannya seolah-olah mengatakan, 'Lo serius?'

Tapi gadis itu tidak mempedulikan dan mengulurkan tangan, berkata dengan sopan.
"Halo, Kak. Nama aku Callista, teman satu sekolah Keysa waktu di Indonesian Victorian High school."

Qila menerima jabatan tangan itu. "Aqila, aku kakak iparnya Keysa"

Gadis cantik itu tersenyum, mengangguk.

"Hmmm Callista... Callista... Kek nya nama kamu nggak asing deh. Kita pernah ketemu kah dulu?" tanya Qila sedikit membungkukkan tubuhnya menatap wajah gadis itu lekat-lekat.

Callista tersenyum, senyumnya sangat cantik dan dingin. "Aku nggak tahu. Tapi wajah kakak di mata ku juga nggak asing. Kita mungkin emang pernah ketemu di masa lalu."

Mendengar itu, Qila berusaha mengingat. Tapi tidak bisa. Rasanya dia memang pernah bertemu gadis ini...

Tapi kapan?

"O, iya. Stell— eh, Callista bawain kakak pancake dari cafe-nya loh. Kakak suka pancake, 'kan?" Keysa memotong pembicaraan mereka.

Qila menerima sekotak pancake dari tangan Callista. 
"Waaahh ini emang kesukaan kakak. Makasih ya udah repot-repot."

Gadis itu tersenyum manis. "Nggak ngerepotin kok, Kak. Kebetulan aku sering perhatiin kakak makan di Rainy Cafe, makanya aku bawain."

Melihat gadis itu biasa saja mengucapkan nama cafe-nya, Aqila tersenyum pahit dan mengusap puncak kepalanya dengan lembut.

Anak secantik ini mendapat cobaan hidup yang sangat berat di seusianya. 
Aqila benar-benar salut dia masih bisa setenang itu.

Aqila tidak tau seberapa banyak rasa sakit yang dia rasakan selama beberapa tahun ke belakang. Tapi begitu melihat dia masih sanggup berdiri sekarang, anak ini benar-benar hebat.

Setelah mengobrol hingga matahari terbenam. Callista diantar pulang oleh sopir mereka.

"Dia tinggal di mana?" tanya Qila setelah mobil yang ditumpangi Callista menghilang dari pandangan.

"Apartemen" jawab Keysa.

"Ooohh, kenapa namanya ada dua?"

Keysa tidak menjawab, melainkan berkata, "Stella biasanya nggak pernah ngasih tahu orang luar nama aslinya." Keysa mendongak menatap Qila. "Kalian pernah ketemu sebelumnya?"

Qila berpikir sejenak. "Mungkin iya, tapi kakak nggak ingat kapan."

Keysa menghela napas. "Oke deh, kalau gitu ayo masuk, kakak harus tidur. Ntar aku diamuk Kak Ethan biarin kakak main di jam segini."

Qila terkekeh sambil mengangguk dan mereka masuk ke dalam rumah.

Pukul 10 malam, Aqila selesai mandi dan berganti ke baju tidur.

Setelah selesai mengeringkan rambut, ponselnya tiba-tiba berdering. Menampilkan nama 'Selir Sethan' di sana.

Aqila menggeser ikon berwarna hijau dan tersenyum ke layar ponsel.

"Baby King excited banget. Pas tahu kamu yang nelpon, dia nendang-nendang perut aku. Nih, lihat." Qila menurunkan layar agar Ethan bisa melihat perutnya.

Ethan di layar ponsel tersenyum. Tatapannya penuh kerinduan.

Tiga bulan terakhir, Qila sengaja memberi ring tone berbeda pada panggilan Ethan. Jadi, setiap kali Ethan menelepon, begitu mendengar nada dering yang akrab, baby king akan bergerak-gerak lincah atau menendang-nendang perut Qila dengan excited. Karena dia tahu yang menelpon adalah ayahnya.

"Baby king pintar banget." Suara berat Ethan keluar dari load speaker ponsel, dipuji seperti itu baby king bergerak dan menendang-nendang semakin cepat.

"Waahhh ini pertama kalinya dia nendang sekuat ini, loh" Qila takjub mengusap perutnya. "Fiks, baby king bakal jadi atlet taekwondo hebat kayak aku!" heboh Qila.

Ethan terlihat khawatir. "Beneran? Nggak sakit, 'kan?"

Qila menggeleng. "Nggak, nggak sakit kok. Rasanya kek ada sayap kupu-kupu gerak-gerak dalam perut. Geli benget," kata Qila tertawa mengusap perutnya.

Ethan menghela napas lega.

Di seberang sana, jauh di eropa, Ethan menatap wajah istrinya di layar ponsel. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya mendengar apa yang Qila lakukan hari ini.

Qila tidak menceritakan soal insiden dengan rekan CEO-nya itu dan hanya perihal Dedeng yang dia jadikan master di akademi taekwondo.

Ethan mendengarkan dengan tenang dan menyela sesekali.

Ya, begitulah rutinitas mereka selama tiga bulan LDR. Perasaan rindu hanya diutarakan melalui layar ponsel.

Setelah mengoceh tanpa henti, Qila tiba-tiba menguap.

Ethan yang melihat itu tersenyum. "Sayang, tidur. Jangan begadang."

Qila mengangguk, mengusap matanya yang berair.
"Btw, tumben kamu cuma diam. Cape kerja, kah?"

Ethan tidak menyembunyikan rasa lelahnya, dia mengangguk dan berkata, "Cape banget, mau peluk kamu."

Aqila menjauhkan layar ponsel dan merentangkan tangannya lebar-lebar. "Sini, peluk"

Ethan hanya tersenyum melihat itu. 
Aqila di layar ponsel lebih berisi dari pada tiga bulan yang lalu. Pipinya semakin chubby, Ethan jadi gemas dan ingin sekali pulang untuk menggigit pipi putih seperti bakpao itu.

"Baby king bentar lagi mau masuk lima bulan. Kamu kapan pulang?" kata Qila dengan mata tertutup efek mengantuk. 
Suaranya parau dan santai seolah-olah menanyakan pertanyaan lewat, tidak berharap mendapat jawaban memuaskan.

Tapi, tiba-tiba Ethan berkata,

"Tiga hari lagi"

"...."

Mata Qila langsung terbuka, terduduk tak percaya. "Apa?!"

"Qil, perusahaan Abraham berhasil keluar dari masa krisis. Semua masalah di sini aman terkendali. Saham kembali normal, keadaan mulai stabil. Sayang, tunggu aku pulang, oke?" jelas Ethan panjang lebar.

Iris cokelat terang Qila melebar mendengar itu, diiringi seutas senyum haru yang perlahan-lahan terpatri di wajahnya.

Ethan melihat mata Qila sedikit berair di layar ponsel, dan lanjut menjelaskan. "Besok aku bakal ke Rusia. Ngurus kepentingan perusahaan Abraham sama petinggi-petinggi di sana sekalian ketemu Oma. Besoknya lagi, aku langsung pulang."

Aqila menghela napas panjang. Menutup wajahnya dengan dua tangan. "Aaaahhh... Akhirnya..."

"Ethan, kamu keren banget. Eh, bukan, maksud aku kalian semua keren banget. Selama ini banyak yang bilang perusahaan Abraham bakal hancur. Tapi nyatanya? Ya, usaha nggak akan mengkhianati hasil! Aku bangga banget sama kamu. Kamu benar-benar setan paling terhebat! Nggak heran keluarga kalian termasuk keluarga yang paling disegani dalam ekonomi global." Qila mengoceh dengan excited sampai ponselnya jatuh ke lantai.

Ethan terkekeh melihat itu, jarang-jarang Qila memujinya sejelas ini.

"Jadi, kamu harus baik-baik di sana, ya? Sayang? Tiga hari, aku bakal ke sana ketemu kamu sama baby king dalam tiga hari."

Qila mengangguk mantap. "Aku janji, aku bakal nunggu kamu di sini. Ethan, cepat pulang, aku kangen..."

"Aku juga."

Pipi Qila memerah mendengar itu. Tatapan Ethan di layar ponsel benar-benar sangat tulus hingga menusuk jantungnya.

"P-pokoknya pas k-kamu udah ke sini, kita ke seaworld jemput Bowbow. Bowbow harus tinggal di rumah kita." Qila gagap efek salting.

"Oke sayang"

"Trus juga kita harus pelihara hiu. Kamu dah janji kan mau bawa aku pergi beli bayi hiu."

"Oke, sayang oke. Kalau ada yang jual, ya" Ethan tersenyum.

"Kalau nggak ada yang jual kita ke laut mancing hiu. Pokoknya di istana kita harus ada hiu!"

"Siap, noted, Yang Mulia. Kamu mau apa lagi, hm? Paus orca? Ikan pari? Ikan piranha? Atau anglerfish?" Ethan tidak hanya meladeni request di luar BMKG istrinya, tapi juga menawarkan!

"Aku mau kamu"

Ethan tertegun.

"Dari itu semua, aku mau kamu"

Aqila tersenyum di tengah kebahagiaan yang dipenuhi rasa kantuk.

"Aku kangen kamu... Sayang, cepat pulang..."

Setelah mengatakan itu, kelopak mata Qila perlahan-lahan terpejam.

Hati Ethan sakit sekaligus hangat melihat itu. Jantungnya berdetak kencang, rasa rindunya kian membludak tak tertahankan.

Hubungan jarak jauh ini membuat cintanya pada Qila semakin meluap. Dia benar-benar tidak bisa menahannya lagi.

Ingin memeluknya, ingin menciumnya, mendekapnya hingga tak ada satu orang pun yang bisa menyentuhnya.

Ethan memandang wajah tidur Qila di layar ponsel, menatap bibir merah muda alaminya yang sedikit terbuka, lalu menciumnya dengan lembut.

Skip time

Tiga hari kemudian...

Setelah semua pekerjaan selesai dan perusahaan Abraham benar-benar kembali ke puncak kejayaannya. Ethan mengambil penerbangan dini hari dari Rusia ke Indonesia dan melesat ke bandara.

Sembari menunggu waktu untuk berangkat, dia bertukar pesan dengan Qila yang rupanya baru bangun tidur.

Mereka terus bertukar pesan bahkan setelah pesawat Ethan terbang sempurna di langit.

Saat penerbangan masih berlangsung, mereka melakukan panggilan video.

Ethan dengan earphone di telinga tersenyum melihat istrinya sedang mengaduk adonan dengan telaten.

"Aku bikinin pancake, mau nggak? Kebetulan dapat resep baru dari teman Keysa." kata Qila di seberang telepon.

Ethan mengangguk, tersenyum. "Boleh"

"Rasa apa? Strawberry?"

"Um"

"Hahahaha, Mama menang baby king! Papa kamu minta rasa strawberry!"

Ethan ikut tertawa melihat Qila jingkrak-jingkrak kesenangan. 
"Kamu main taruhan sama anak kita?"

"Ya, kita taruhan, nebak kamu mau dibikinin pancake rasa apa. Yang menang bakal dicium Papa Sethan duluan!"

Ethan Speechless. "Ternyata bisa komunikasi kayak gitu juga?"

"Bisa dong, aku bilang gini. 'Baby King, kalau mau nebak strawberry kamu harus nendang satu kali, kalau blueberry tendang dua kali, ya.' Dan baby king nendang dua kali!! Anak kita pintar, 'kan?" Qila excited menjelaskan.

Ethan tersenyum. "Pintar banget"

"Hehe, tapi tetap aja dia kalah. Jadi pas pulang kamu harus cium aku dulu, baru deh baby king, oke?"

Ethan tidak bisa berword-word. Aqila ini memang sesuatu.

"Nah, baby king nendang-nendang lagi. Ngamuk dia, hahahaha"

Tawa Qila yang ditransmisikan melalui earphone terdengar lembut di telinga Ethan.

Rambutnya diikat hingga mengekspos leher jenjangnya, celemek berwarna pink membuat Qila semakin terlihat manis. Perutnya sedikit menonjol dan pipinya semakin chubby.

Aaahh, Ethan benar-benar tidak sabar melihat Qila dalam mode bumil begini.

Pasti sangat menggemaskan!!

Penerbangan dari Rusia ke Indonesia memakan waktu 13 jam lebih. Butuh waktu setengah hari untuk sampai. Jadi, setelah membuat pancake, Ethan membiarkan Qila istirahat menunggunya di rumah.

Tetapi, semua tidak berjalan sesuai apa yang dia bayangkan.

Karena, tepat setelah Ethan sampai di rumah malam harinya. Dia tidak melihat Qila sama sekali.

Ethan mencari ke kantor, tapi tidak ada.

Dia mencari ke rumah keluarga istrinya, tidak ada juga di sana.

Nomor Qila tidak aktif, Keysa tidak bisa dihubungi, tak ada satupun jejak kemana mereka pergi.

Ethan ketakutan dan memerintahkan orang-orangnya untuk mencari Aqila di setiap kota.

"Qil, kamu di mana?"

Kenapa dia bisa menghilang begitu saja? Bukankah tadi siang semuanya baik-baik saja? Mereka bahkan melakukan panggilan video dan Ethan menemaninya membuat pancake!

Tapi kenapa....

Firasat Ethan benar-benar tidak enak. Napasnya bergetar.

Tiba-tiba, Ethan teringat dengan seseorang.

Bukankah tiga hari yang lalu Qila pernah bilang bahwa dia membantu teman satu geng-nya menjadi master di akademi Taekwondo?

Kalau tidak salah namanya... 'Dedeng?'

Di tengah kekalutan, Ethan mencengkram ponselnya, berusaha mengatur napas.

Detik itu juga, Ethan berhasil mendapatkan informasi kontak orang itu dan langsung menghubunginya.

Setelah tiga detik, panggilan di angkat.

"Di mana Aqila?!" Ethan sangat marah dan langsung mengeluarkan kalimat itu dengan kasar.

Tapi di detik berikutnya, Ethan tertegun.

Dia tidak mendengar suara berat pria, melainkan suara tangis yang akrab.

"K-kak Ethan?!"

Ethan terkesiap. 
"Keysa?!"

Tangis Keysa semakin menjadi-jadi begitu mendengar suara kakaknya. 
"Kak Ethan... Tolong... Tolong... Tolongin Kak Qila... d-dia... dia..." 
Keysa sesenggukan dan meraung dengan kacau.

Jantung Ethan serasa akan berhenti, tapi dia tetap berusaha tenang. 
"Keysa... tarik napas. Kamu ada di mana sekarang?"

Ethan kembali memasuki mobil dan melajukan mobilnya ke jalan raya.

"A-aku nggak tahu ini ada di mana. T-tapi dekat kok sama akademi bela diri kak Qila. Ini di gang... Ya... kita di gang... Aku nggak tau... Ini di gang apa..." Keysa menjelaskan sambil sesenggukan.

Ethan menyalakan layar monitor yang terhubung dengan mobilnya, mulai melacak posisi mereka melalui panggilan.

Setelah menemukan titik akurat, Ethan langsung melesat dengan kecepatan tinggi menuju lokasi.

"Kamu tenang dulu, kakak ke sana sekarang. Gimana keadaan Aqila? Dia baik-baik aja?" tanya Ethan yang tak sadar suaranya gemetaran.

"A-aku, nggak tahu, di sini gelap banget. Aku nggak tahu kak Qila baik-baik aja apa enggak. Dia, dia lagi berantem sama orang banyak. Kak, aku... Aku takut..."

Ethan tak kalah ketakutan mendengar itu, tangannya mencengkram stir mobil dengan kencang menyalurkan trauma masa lalu yang tak ingin ia lihat lagi.

"Kamu... sudah panggil polisi, 'kan?"

"Sudah, tapi nggak ada yang datang. Kak...t-tolong... Di sana suara pertarungannya keras banget. Ada suara benda tajam. Kak, cepat ke sini tolongin kak Qila... Aku takut..." Keysa terisak makin keras.

Ethan tak bisa berkata-kata, jantungnya serasa diremas.

Hanya satu hal yang ia inginkan.

Dia ingin sampai ke tempat istrinya dengan cepat.

Ethan menginjak pedal gas lebih dalam, menyalip tiga truk kontainer sekaligus. Alis pedangnya menyatu dengan fokus.

Namun, fokusnya terpecah lagi saat Keysa berteriak histeris.

"Kenapa?"

"Kak!! Ada darah!!"

Deg,

"ADA DARAH!! KAK QILA NGGAK SADARKAN DIRI DAN BERDARAH!!"

"...."

Keysa mengamuk pada seseorang di sana.
"K-KENAPA ADA BANYAK DARAH DI BAWAH KAKI KAK QILA! BRENGSEK! LO APAIN KAKAK IPAR GUE, HAH?!"

Ethan membeku, ponselnya jatuh dari tangannya.

Detik itu juga, masih dengan kecepatan yang amat tinggi, Ethan kehilangan kendali dan keluar dari jalur hingga menabrak pembatas jalan.

Suara dentuman dahsyat terdengar hingga puluhan meter seperti guntur.

Pembatas yang terbuat dari aluminium kokoh ambruk, bagian depan mobil berasap dan ringsek parah sampai mesinnya keluar.

Meski airbag berfungsi dengan baik menyelamatkan Ethan dari benturan. Tetap saja tidak mengcover sepenuhnya sehingga darah tetap menitik keluar dari kepala pemuda itu.

Ethan berusaha menggerakkan jari-jarinya untuk tetap sadar. 
Napasnya melemah, rasa sakit yang luar biasa menusuk seluruh tubuhnya tanpa ampun.

Kelopak mata penuh darah terbuka. 
Di luar sana sangat ricuh memekakkan. 
Suara sirine ambulan, mobil polisi, dan pengendara lain yang menyaksikan kecelakaan menyatu seperti kaset rusak.

Kesadaran Ethan hampir hilang, tetapi dia berusaha untuk mempertahankan kesadaran karena di ujung sana ada Aqila yang ingin ia bawa pulang.

"Aku... Aku harus... bawa Qila... dan baby king pulang...." Ethan memerintah otaknya dengan susah payah. Memaksa tubuhnya untuk bergerak.

"Qila... Qila harus pulang... ugh..."

Ethan berhasil duduk tegak, punggungnya membentur kursi kemudi dengan kasar, kepalanya mendongak, meraup rakus oksigen dengan darah segar yang tak berhenti mengalir dari sisi wajahnya.

Dia tidak boleh kehilangan kesadaran sekarang, karena jika dia kehilangan kesadaran dan gagal menjemput istrinya. Dia mungkin tidak akan bisa melihatnya lagi....

Dia tidak boleh terlambat.

Dengan tangan gemetar penuh darah, Ethan membuka pintu dan keluar dari mobil, mengejutkan semua orang di sana.

Tim medis mendekat ingin mengevakuasi, tetapi Ethan menghindar. 
Dia berjalan menuju gerombolan polisi dan menunjukkan kartu identitasnya.

Penampilan Ethan sangat kacau, dia sudah melepas jasnya hingga menyisakan kemeja putih dipenuhi darah.

"Instansi brengsek!!" Ethan memaki oknum polisi itu.

"Saya tahu kalian mendapat laporan tentang pengepungan dan percobaan pembunuhan di gang 504!! Kenapa kalian belum bergerak ke sana?!"

Mereka semua kebingungan dan agak terkejut dimaki seperti itu. Tetapi Ethan tidak mendengarkan penjelasan mereka. Karena, begitu salah satu dari mereka akan berbicara. Ethan membuka pintu mobil polisi yang terparkir di tepi jalan dan menarik kerah pengemudinya sampai terlempar keluar.

Lalu, tanpa mengatakan apa-apa mengendarai mobil itu menuju tempat Aqila.

Ethan mengemudi sendirian dengan tubuh berlumuran darah, di belakangnya ada mobil polisi dan ambulan mengikuti seperti pasukan.

Ethan tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya, kepalanya berdengung parah, tetapi dia tetap menjaga kewarasan bersamaan dengan rasa sakit yang tak tertahankan.

Begitu sampai di tempat kejadian, Ethan keluar dari mobil seperti orang gila dan berlari memasuki gang gelap itu sendirian.

Gang sempit dan gelap membuat napasnya sesak, setiap langkah terasa berat dan menyiksa. Semakin lama dia berlari, semakin dekat cahaya redup di depan sana.

Dia terus berlari dan berlari mengabaikan darah yang mengalir dari tubuhnya.

Hingga... langkahnya perlahan terhenti, matanya terpaku pada sosok yang amat dirindukan terbaring di tanah.

Tidak ada pencahayaan di sana, hanya sinar bulan dan pantulan polusi cahaya kota. Tetapi mata elang Ethan bisa melihat dengan jelas.

Di sana, di atas tanah yang dingin, Aqila terbaring tak sadarkan diri. Di bawah tubuhnya darah menggenang seperti mata air.

Napas Ethan tercekat, wajahnya memucat, setiap langkah yang diambil terasa berat, dia benar-benar tidak tahu apakah ini kenyataan atau mimpi buruk.

Ethan tidak bisa mengatakan apa-apa. Ingin menyangkal bahwa yang terbaring itu pasti bukan istrinya. Tetapi ketika berlutut dan melihat jari manis terpasang cincin pernikahan mereka, Ethan tidak bisa membendung air matanya lagi.

Dia melihat ke bawah, ke perut Qila yang besar, di bawah kakinya ada genangan darah. Ethan menutup mata, tidak sanggup melihatnya.

Ia... selalu terlambat...

Dengan lengan gemetar dipenuhi darah, Ethan merangkul sebagian tubuh istrinya, menyingkirkan rambut yang sejak tadi menutupi wajahnya, lalu meletakkan jari di bawah hidung untuk memeriksa satu-satunya kemungkinan harapan yang tersisa.

Napas Ethan seketika sesak tak terkendali, dengan air mata bercampur darah, Ethan mencium kening Qila penuh kesakitan dan penyesalan.

Dia sangat merindukannya, dia sangat ingin bertemu dengannya, tiga bulan berpisah, kenapa bayarannya sesakit ini?

Bukan pertemuan seperti ini yang mereka inginkan.

Bukan seperti ini...

Polisi dan tim medis datang memasuki gang. Beberapa orang tak sadarkan diri di evakuasi, sedangkan beberapa pelaku yang kabur langsung dikejar oleh polisi.

Ethan menggendong istrinya sendirian dan berlari ke luar gang,

"Sayang, tunggu sebentar..." Ethan sedikit terisak. Mengabaikan rasa sakit membelah malam dengan air mata yang menggenang.

Dia mencengkram bahu Qila dengan erat, membawanya ke dadanya, terus berlari dengan kecepatan gila.

"Kamu bakal baik-baik aja. Kamu dan anak kita akan baik-baik aja...."

Air mata Ethan jatuh, jatuh membasahi wajah dan rambut istrinya yang berlumuran darah.

"Aku janji"

· · ─────── ·𖥸· ─────── · ·


A/N

Sabar ya Than... Punya bini spek Qila emang bikin spot jantung mulu  :(

Makanya jangan ditinggal terus
.⁠·⁠´⁠¯⁠'⁠(⁠>⁠▂⁠<⁠)⁠´⁠¯⁠'⁠·⁠.
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya CSPB S2 || "Blood and tears" - Part 18
3
11
Keadaan Aqila juga tidak lebih baik. Begitu rasa sakit tak tertahankan datang dari perutnya, dia langsung roboh ke tanah, darah mengalir di antara kakinya. Tetapi seseorang dari belakang tetap menendang bagian belakang punggungnya dengan keras, membuat Qila berteriak kesakitan.AaaaarrgghhhhTeriakan itu sangat memilukan, sangat menyakitkan untuk di dengar.  Namun pukulan dan tendangan tidak berhenti. Aqila berusaha mengalungkan tangan di area perut untuk menangkis serangan.  Melindungi satu-satunya harta karun yang dimilikinya.Lo pantas nerima semua ini, Qil
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan