The Maid Story

79
0
Deskripsi

Cerita ini pernah dimuat di Wattpad, ditarik ke sini supaya yang baca cukup orang dewasa aja. Oce? Berhubung ini proyek cerita iseng, gegara Winny pengen coba nulis cerita agak dewasa tapi dulu masih abal-abal banget, maklumin aja kalo recehnya kelewatan. Uhuy.

Blurb:

Karin adalah seorang gadis Indonesia yang terpaksa bekerja sebagai pelayan di Australia untuk mengumpulkan uang demi kesembuhan orang tuanya dan biaya kuliah adiknya. Namun, majikannya yang tampan dan seksi, Sir Martin Casey, jatuh cinta...

##CHAPTER 1. MEMULAI (START OVER)

Karin menghela napas berat saat melangkah masuk ke dalam bangunan megah yang memiliki pekarangan luar biasa luas itu. Dia sudah di sini, tempat kanguru berlompatan dengan bebas, dan kelinci sempat menjadi hama--Karin tidak bisa membayangkan bagaimana mungkin mahluk seimut kelinci bisa jadi hama--dan berada jauh dari keluarganya.

Dieratkannya pegangan pada gagang koper travelnya, lalu tersenyum gugup pada pria baya keturunan Aborigin yang menyambut rombongannya di depan. Selain dia, ada beberapa orang lain dari Indonesia yang akan bekerja di sini sebagai pelayan dan pemetik anggur serta buruh pabrik, mereka semua menunjukkan kegugupan yang sama. Atau ... itu hanya perasaan Karin?

"Selamat datang, para pegawai baru." Pria baya Aborigin itu menyapa dengan bahasa Inggris beraksen khas. "Selamat datang di Casey Mansion. Saya Erick Unaipon, kepala pegawai di sini. Saya harap kalian akan kerasan bekerja. Mari, saya tunjukkan lebih dulu tempat kalian menaruh barang masing-masing."

Sambil berkata begitu, Tuan Unaipon berjalan mendahului para pelayan baru dengan wajah-wajah penasaran itu, dan masuk ke dalam salah satu bangunan di sayap kiri bangunan terbesar yang merupakan rumah utama. Karin hampir tersandung saat dia tergesa-gesa berjalan mengikuti Tuan Unaipon, tapi salah satu calon pelayan pria, kenalannya waktu di kelas persiapan, menahan lengannya hingga Karin bisa tetap berdiri dengan tegak. Karin menatap pemuda bernama Didi itu penuh terima kasih.

"Makasih," bisiknya.

Didi tersenyum, dan mengangguk. Dia membantu Karin menarik kopernya yang sempat melenceng, lalu berjalan mendahului. Karin memegang dadanya sendiri. Ah ... pemuda itu memang tidak tampan, tapi senyumnya sangat memesona. Karin menyukainya.

Tuan Unaipon membawa para calon pegawai itu ke sebuah bangunan besar dengan belasan kamar di dalamnya. Ada dapur dan ruang berkumpul sendiri, dan lima buah toilet di bangunan itu, yang tampak bersih dan terjaga. Dengan gesit dan sistematis, Tuan Unaipon memberitahukan kamar mereka, dan menyuruh orang-orang yang antusias itu untuk membereskan barang masing-masing, lalu berkumpul di ruang berkumpul dalam sepuluh menit

Karin mendapatkan kamar di sisi kiri bangunan, di bagian wanita. Sebuah kamar kecil yang rapi, dengan sebuah lemari berukuran sedang. Meja rias kecil, ranjang kecil, serta sebuah kursi dan meja di sisi ranjang. Dengan sigap dia mengeluarkan barang-barangnya, dan mengaturnya dengan rapi di lemari. Beberapa keperluan pribadi, diletakkannya di meja rias, dan dalam waktu kurang dari sepuluh menit, dia pun siap. Bergegas dia menuju ke ruang berkumpul, dan menjadi wanita pertama yang lebih dulu hadir. Didi sudah duduk di situ, dan tersenyum manis kepadanya.

Kira-kira satu menit kemudian, seluruh calon karyawan sudah hadir, dan Tuan Unaipon mulai membagikan tugas. Saat memberikan lembaran tugas pada Karin, beliau menatapnya lama.

"Nona Karin, saya akan bicara lebih banyak dengan Anda setelah ini. Jadi kalau semua sudah bubar dan mulai bekerja, Anda harus menunggu lebih dulu," katanya dengan nada yang meskipun tegas, tapi juga terdengar lembut.

"Baik, Sir." Karin menjawab patuh.

Tuan Unaipon tersenyum kebapakan. "Kau hanya akan memanggil Sir pada Sir Casey, Nona. Karena dia memiliki gelar itu saat masih tinggal di Inggris. Sedangkan untukku, kau bisa memanggilku Erick," katanya.

Karin mengangguk. "Baik Erick," koreksinya.

Erick terlihat puas dan meneruskan memberi instruksi pada semua. Dia memerintahkan mereka mengikuti para pelayan yang sudah lebih senior ke pos masing-masing. Saat di ruangan itu hanya tertinggal Karin, Erick pun mendekatinya sambil membawa selembar kertas di tangannya

"Nona Karin, tugasmu akan lebih berat dibanding yang lain, karena kau akan mengurus bagian utama rumah di mana Sir Casey tinggal. Beliau bukan orang yang sabar, dan sangat keras. Tapi, dia adil. Selain rincian tugas yang ada dalam panduanmu, kau mungkin sesekali melakukan tugas tambahan, dan kami akan memperhitungkan itu sebagai lembur. Kau mengerti?"

Karin mengangguk. "Mengerti, Erick."

Erick tersenyum. "Aku sungguh berharap kau adalah orang yang sabar. Aku membutuhkannya. Dari apa yang kubaca di profilmu, kau cukup cerdas. Jadi tolong, lakukan yang terbaik, ya."

"Ya, Erick."

"Kau punya pertanyaan?"

Karin menatap Erick, dan menyukainya. "Kalau permintaan, boleh?"

"Permintaan apa?"

"Uhmm ... aku harap kau memanggilku Karin. Boleh, kan?"

Erick tersenyum kebapakan. "Tentu saja, Karin. Dan tanyakan apa saja, aku pasti menjawab."

Karin melebarkan senyumnya. "Terima kasih," katanya tulus.

Erick bertepuk tangan. "Sekarang, mari kita mulai tugasmu. Aku sendiri yang akan jadi pelatihmu."

*******************
Karin menyeka keringat yang mengucur di dahinya, dan menarik lori berisi alat kebersihan yang dia pakai untuk membersihkan ruangan-ruangan di rumah utama bersama dengan beberapa pelayan lain dan juga Erick. Saat sedang menuju ke ruang baca, tiba-tiba Erick memanggilnya. Cepat, Karin mendekati pria baya itu.

"Ya, Erick?"

Erick menyeka keringat di lehernya, terlihat lelah. "Bisakah kau menggantikanku membersihkan kamar Sir Casey? Beliau sedang mandi saat ini, dan kau harus bergegas,"

"Oh ... baik, aku ke sana."

"Ingat yang sudah kuajarkan." Erick mengingatkan. "Dan terima kasih karena membantuku."

Karin tersenyum lebar. Dia sangat menyukai Erick yang baik hati.

"Aku pergi."

Erick tersenyum sendiri melihat antusiasme Karin yang lugu di usianya yang dua puluh tujuh tahun. Mirip seorang bocah.

Kamar pribadi Sir Casey adalah sebuah ruangan luas yang besarnya mungkin tiga kali lipat keseluruhan rumah Karin di Indonesia. Saat masuk ke dalam kamar itu, tidak terlihat tanda-tanda ada orang di dalam, dan Karin memang berharap agar dia tidak bertemu Sir Casey dulu hari ini. Dia masih takut kalau sampai melakukan kesalahan di awal kerja.

Diedarkannya pandangannya ke seluruh ruangan, dan memutuskan untuk membersihkan ruangan itu dari bagian di mana rak buku besar dengan berbagai buku bacaan yang berat berada. Karin lupa, buku adalah kelemahannya, dalam sekejap dia tenggelam dalam ke langsung saja dia lengah dan tak menyadari keadaan di sekeliling.

Satu demi satu buku itu dilapnya dengan penuh kasih sayang. Dia bahkan bersenandung kecil, seolah sedang meninabobokan seorang anak kecil. Dan saat semua buku sudah bersih, rak bukupun menjadi sasarannya. Penuh kekaguman dia mengusapkan lap kainnya ke permukaan kayu yang berkilat. Disemprotnya polish dengan hati-hati, lalu diusapnya dengan lembut. Dan saat dia asyik melakukan itu, sebuah suara teguran dengan aksen yang enak didengar, membuatnya terlonjak di tempat.

"Lama-lama rak kayu itu akan orgasme karena usapan tanganmu, Nona."

Tergesa Karin memutar tubuhnya untuk melihat siapa yang menegur, dan dia langsung memejamkan mata saat berhadapan dengan orang itu. di sana, berdiri seorang pria sangat tampan dengan tatapan setajam pisau dan tubuh seindah pahatan patung dewa Yunani, menatapnya tak berkedip. Pria itu hampr telanjang, hanya mengenakan handuk ungu yang menggantung begitu rendah di pinggulnya.


 

 

##CHAPTER 2. MAN IN PURPLE TOWEL

"Uhm... owh...eh... maaf, Sir. Saya tidak mendengar Anda barusan." Karin berkata cepat dengan mata tertutup.

Pria tampan itu, Sir Martin Casey, menatapnya dengan kening berkerut. "Apa kau tahu kalau tidak sopan bicara pada seseorang dengan mata tertutup?" tanyanya dingin.

Karin tergesa-gesa membuka matanya lebar-lebar, dan menelan ludah gugup. "Maaf, Sir."

Sir Martin Casey berdiri di hadapannya dengan lengan disilangkan di dada. Tubuhnya yang kokoh setengah telanjang dengan handuk berwarna ungu yang menggantung rendah di pinggul, dan dari kulitnya yang tampak sedikit basah tercium harum sabun yang segar dan merangsang indra penciuman Karin. Pria itu menatap Karin intens, membuatnya takut melemparkan pandangannya ke arah lain. Wajahnya memerah dan terasa panas.

"Kau salah satu dari pelayan baru itu." Martin Casey berkata. Dia berjalan ke arah lemarinya, dan membuka pintu lemari yang lebih besar dari pintu rumah Karin, lalu memasukinya. Dilepasnya handuk yang tadi dia pakai, dan ditaruhnya di sebuah rak rendah dekat pintu lemari. Spontan Karin melengos ke arah lain, sebisa mungkin tidak melihat ke area terlarang sang majikan.

"Kemarilah." Martin berkata sambil meraih selembar bokser, dan memakainya. Setelah itu dia berdiri memandang deretan kemeja yang semuanya tampak mahal. Tampaknya dia sama sekali tidak canggung meski berdiri hampir telanjang di depan seorang perempuan asing.

Takut-takut dan sambil melihat ke arah lain, Karin mendekat.

"Ya ... sir?"

Martin menelengkan kepalanya. "Ada apa denganmu?" tanyanya heran.

Karin menunjuk dadanya. "Saya, Sir?"

Martin memutar bola matanya. "Apakah ada orang lain di sini?" Dia balik bertanya.

Karin menggeleng keras-keras. "Tidak ada, Sir," jawabnya. Refleks dia kembali menutup matanya.

Martin mengerutkan kening lalu mengerti. "Ah.... kau tidak pernah melihat orang telanjang?" tanyanya.

Karin kembali menggeleng. "Tidak, Sir."

Sebuah senyum tipis muncul di bibir Martin. Dia memiringkan kepalanya, lalu menghampiri gadis yang berdiri canggung di depannya. "Buka matamu," perintahnya.

Karin membuka matanya, dan langsung merasakan wajahnya memanas. Dengan satu alis diangkat, Martin menunduk hingga wajahnya jadi sedemikian dekat dengan wajah Karin.

"Bagaimana dengan pacarmu? Kau tidak pernah melihatnya telanjang?" tanyanya lagi, ada nada usil di suaranya.

Karin menggeleng cepat, hingga tak sengaja, dahinya mengenai hidung Martin yang mancung. "Tidak, Sir," jawabnya.

Martin menatapnya geli. "Kau ini tinggal di dunia seperti apa?" tanyanya heran.

Karin mengerjap cepat. "Di dunia yang berbeda dengan Anda, saya rasa, Sir," jawabnya jujur.

Martin masih menatapnya, melihat bagaimana gadis itu dengan susah payah berusaha menahan rasa malu, dan dia pun mundur. Dia kembali mengarahkan tatapannya ke barisan kemeja. Meneliti dengan saksama barisan kemeja mahal dan apik yang tergantung di sepanjang lemari.

"Kau harus terbiasa sekarang, Nona ...?" Suaranya yang seksi menggantung.

"Karin, Sir."

"Karin. Kau harus terbiasa mulai sekarang, karena aku tidak mau mengubah kebiasaanku untukmu. Ini kamarku, aku kadang tak berpakaian di sini karena cuaca panas. Lagi pula, biasanya Erick menunjuk karyawan laki-laki untuk membersihkan tempat ini. Jadi, tolong cepat belajar."

"Ya, Sir."

"Oh ... aku ingin kau membersihkan isi lemari ini. Jangan sampai ada sedikit pun debu menempel, dan jangan ada satu pun barang berpindah. Mengerti?"

"Mengerti, Sir."

Martin mengambil sehelai kemeja putih bergaris tipis biru navy, lalu berjalan ke arah barisan celana dan blazer yang berderet rapi. Penuh keingintahuan, Karin menjenguk ke dalam lemari, atau bisa dibilang ruang pakaian itu, dan ternganga kagum. Ratusan kemeja, celana panjang, dan jas serta jaket berderet rapi, mirip seperti displai di konter pakaian mahal.

Saat Martin meraih blazer berwarna abu-abu pasir, dan celana yang sewarna dengannya, Karin mulai beraksi dengan membersihkan rak di bagian atas lemari, yang berisi tumpukan kaus berwarna-warni. Dia memindahkan setiap tumpukan dengan gesit ke atas tumpukan lainnya, membersihkan ambalan rak, lalu mengembalikan tumpukan itu ke asalnya, dan seterusnya. Martin yang berbalik setelah mendapatkan yang dia mau, tertegun melihat dia bekerja.

"Kenapa kau tidak menunggu sampai aku selesai, baru kau bersih-bersih di sini, Karin? Atau kau memang senang berada bersamaku di dalam lemari, dalam keadaanku setengah telanjang?" Dia bertanya dengan nada dingin.

Gerakan tangan Karin terhenti. "Oh... maaf, Sir. Aku...." Dia kebingungan mau menjawab apa.

Martin menghela napas. "Teruskan, aku akan keluar, dan berpakaian di dekat ranjang," katanya sambil berjalan keluar.

Karin mengangguk gugup. Dalam hati mengutuki kebodohannya. Merasa takut kalau Sir Casey akan menganggapnya tidak kompeten, dan memulangkannya ke Indonesia. Dia sangat butuh pekerjaan ini!

Di dekat ranjang, Martin meletakkan bawaannya, lalu mulai memakai pakaiannya satu demi satu. Saat selesai, dia menjenguk ke dalam lemari dan melihat Karin, yang dengan tampang tertekan, masih membersihkan bagian dalam lemarinya. Entah kenapa, di benaknya yang biasa beku dan tak pedulian, timbul rasa iba melihat betapa gadis muda itu kelihatan cemas. Martin sadar, mungkin Karin takut dipecat.

"Kau tidak usah stres begitu. Aku tak akan memecatmu hanya karena kekonyolan begitu. Tapi, lain kali, pakailah logikamu. Kalau kau tidak nyaman di sekitar laki-laki yang sedang berpakaian, jangan ada di situ," katanya dengan nada lebih lunak dari kalimat terakhirnya.

Martin seperti mendengar Karin mengembuskan napas lega saat kalimatnya selesai. Timbul rasa geli di hatinya. Namun, melihat gadis itu masih merona karena malu, Martin mendadak merasa aneh. Ada rasa tidak nyaman yang timbul di benaknya, dan dia pun bergegas pergi.

Malamnya, Karin sedang menikmati istirahatnya sambil membaca sebuah bacaan ringan, ketika telepon di meja dekat ranjangnya berbunyi. Hati-hati dia mengangkat gagang telepon dan mendekatkan ke telinganya.

"Halo?"

"Datanglah kemari."

Karin termangu. Perintah itu pendek, tapi dia tahu itu siapa. Berat dia menghela napas, lalu mengganti pakaian tidurnya segera dengan seragam, dan bergegas menuju ke kamar angker milik majikannya yang sama angker.

"Masuk!"

Suara Sir Casey terdengar tegas saat Karin mengetuk pintunya.

Ragu, Karin membuka pintu itu dan masuk dengan takut-takut. "Sir? Ada yang harus saya kerjakan?" tanyanya dengan suara sedikit keras karena tidak melihat pria itu.

Tiba-tiba pintu toilet terbuka, Sir Casey keluar dari situ dengan tubuh basah dan handuk ungunya yang menggantung rendah di pinggul.

"Ya. Bawa semua pakaian yang ada dalam keranjang di toilet, dan bakar. Aku tidak ingin melihatnya ... oh ... dan aku ingin kau bersihkan juga kamar tamu di bawah. Singkirkan semua bekas apa pun di situ, dan tutup mulutmu," perintahnya dengan suara dingin.

Karin meneguk ludah. Kenapa sih pria ini suka sekali telanjang? Memangnya tidak dingin?

"Ya, Sir," jawabnya, dan langsung menuju ke toilet. Diambilnya pakaian dalam keranjang di toilet, dan mencium bau muntah di situ. Dia mengernyit. Apakah Sir Casey masuk angin? Sambil menutup hidungnya, dia memasukkan pakaian Sir Casey yang tadi dipakainya, ke dalam kantong sampah, lalu membawanya keluar. Tepat saat dia melewati pintu toilet, dilihatnya pria itu sedang melepaskan handuk, sambil melihat ke arah lain. Kemudian pria bertubuh indah itu melemparkan handuknya kepada Karin, dan berjalan sambil telanjang menuju ranjang tanpa mempedulikan Karin yang langsung memejamkan mata berusaha untuk tidak melihat tubuh kokoh yang mirip pahatan patung Yunani yang sering dilihatnya dalam buku yang sering dia baca.

"Kau tidak perlu memejamkan mata. Aku tahu kau ingin melihatku." Pria yang aslinya berasal dari Inggris itu berkata dengan nada mengejek.

Karin merinding mendengar kalimatnya, dan berlari terbirit-birit ke luar dengan kantung sampah di tangannya. Tak diduga, kelakuannya itu membuat Martin yang biasanya angkuh, terkekeh sendiri.

"Pelayan yang aneh. Aneh, tapi menggemaskan," komentarnya, sebelum naik ke ranjang, dan menarik selimut. Diraihnya sebuah map berisi profil lengkap Karin dari atas meja dan dipelajarinya. Selesai membaca, dia meraih teleponnya, dan memutar sebuah nomor.

"Aku suka pelayan baru itu, Erick. Biarkan dia mengurusku menggantikanmu."


 

 

##CHAPTER 3 SHOW-OF  EMPLOYER

Karin sedang merapikan ranjang Sir Casey, saat pria itu keluar dari toilet. Lagi. Kali ini handuknya berwarna putih, tapi berukuran lebih kecil hingga hanya menutup sedikit bagian intimnya.

Karin menghela napas. Nasib. Dia yang selama ini polos, tidak pernah terlibat sama sekali dengan pria, kali ini malah berurusan dengan seorang pria yang jelas-jelas bukan levelnya. Bukan hanya dari status dan sebagainya yang jadi embel-embel pria itu, tapi terutama dari pengalaman. Sir Martin Casey jelas sangat menyadari pesonanya. Dia tampan, kaya, dan tubuhnya menimbulkan liur bagi setiap wanita yang melihatnya.

Tapi, masalahnya, Karin di sini untuk bekerja, bukan untuk berkhayal yang terlalu tinggi. Pria itu jelas mempersulit pekerjaannya dengan mondar-mandir di sekitar Karin tanpa busana. Demi apa pun, Karin bahkan belum pernah melihat gambar kelamin pria kecuali gambar teknis dalam buku biologi sewaktu dia SMA, dan kemarin dia disuguhi pertunjukkan live!

"Apakah Anda akan berpakaian dulu, Sir?" tanyanya sambil meletakkan selimut baru di atas ranjang.

Sir Casey mengangkat sebelah alisnya, dan Karin bersumpah, gerakan itu lebih seksi bahkan dibanding tubuh pria itu yang telanjang.

"Ya? Kenapa? Kau ingin menontonku?" Martin bertanya balik.

Cepat, Karin menggeleng, "Tidak, Sir. Saya akan keluar dulu sampai Anda selesai," jawabnya.

Martin mengamatinya. Sebuah senyum muncul di bibirnya yang indah.

"Begitu banyak wanita yang akan memberikan apa pun hanya untuk menelanjangiku, dan kau malah bersikap seolah aku menjijikan?" tanyanya sambil mendekati Karin.

Karin menahan napas. "Bukan begitu, Sir," bantahnya. "Anda kemarin bilang kalau saya tidak nyaman berada dekat pria yang sedang berpakaian, sebaiknya saya menyingkir, bukan?"

Kini Martin berdiri hampir tanpa jarak dengan Karin yang masih menahan napas. "Apakah kau tidak nyaman denganku?"tanyanya lagi.

Karin mengerjap. "Mmm...."

"Tidak usah dijawab. Pergilah ke luar sebentar, sampai aku memanggilmu."

Karin mengangguk cepat dan langsung berlari keluar. Martin menahan tawa melihat kepolosan gadis itu dan menggeleng-geleng.

"Ya ampun ... dia bahkan menahan napasnya," katanya geli.

******************************
Karin memutuskan kalau Sir Casey adalah orang yang berbahaya bagi jantungnya dan sangat mengerikan. Pria itu memang sangat tampan dengan tubuh mengundang, tetapi dia suka sekali pamer. Pria itu memanggilnya ke kamar tadi pagi, hanya untuk bertanya di mana Karin menaruh pakaian yang dia suruh bakar semalam. Ya ampun.... apa dia lupa perintahnya pada Karin? Sudah begitu, dia bahkan hanya memakai bokser putih yang tidak menyembunyikan bentuk apa pun yang dibungkusnya, sambil berbaring di ranjang dengan gaya mengundang. Karin bahkan melihat sesuatu yang meonnjol sangat besar di bagian depan bokser itu.

Bagaimana dia tidak ketar-ketir?

Apa sebetulnya yang membuat majikannya itu aneh begitu? Apa dia tidak diajari sopan santun oleh orang tuanya? Kenapa dengan nyamannya dia telanjang di depan lawan jenis yang bukan apa-apanya? Apa dia tidak takut jadi korban pelecehan? Zaman sekarang kan banyak juga laki-laki yang jadi korban pelecehan. Hhhh....

"Apa yang membuatmu mengerutkan keningmu yang cantik itu, Karin?" Erick bertanya sambil merobek rotinya. Saat itu dia dan Karin baru punya kesempatan untuk makan siang setelah pontang-panting melayani tuan mereka yang entah kenapa, hari ini memutuskan makan siang di rumah.

Karin mendongak, lalu mulutnya mengerucut. "Aku bingung, Erick. Sir Casey sering sekali memanggilku ke kamarnya, padahal dia sedang, mmm...."

"Sedang apa?" Erick bertanya dengan tertarik.

Karin mengusap tengkuknya. "Kau jangan bilang siapa-siapa, ya. Sir Casey sering sedang tidak berpakaian saat aku di situ," jawabnya masam.

Erick mengangkat alisnya. "Hm... tapi beliau kan ada di kamarnya sendiri. Apa yang aneh kalau tidak berpakaian?" Ia bertanya lagi.

Kali ini Karin menggaruk kepalanya. "Memangnya itu tidak aneh?" Ia balik bertanya.

"Tentu saja itu normal, Sayang. Semua laki-laki, malah mungkin semua orang, laki-laki ataupun perempuan, biasanya merasa bebas saat ada di kamar mereka sendiri."

"Tapi ada orang lain di situ, Erick. Lawan jenisnya! Aku! Kalau suamiku telanjang di depan perempuan lain, dalam kamar kami, aku pasti akan...." Karin menghentikan kalimatnya, mencoba mencari kata yang tepat.

Erick tersenyum geli melihat wajah gemas Karin.

"Jangan bilang kau membayangkan Sir Casey sebagai suamimu, Sayang," godanya.

Karin membelalak. "Tentu saja tidak!" Tukasnya. Dia merinding sendiri. "Aku tidak mau membayangkan itu … aku takut kepadanya."

Erick terkekeh. "Apakah menurutmu dia tidak menarik?" tanyanya lagi.

Karin berpikir. "Menurutku … dia itu sangat menarik," jawabnya, sebelum kembali menyambung. "Tapi dia juga ceroboh. Kalau seandainya aku berniat jahat, aku bisa mengambil fotonya, lalu menyebarkan di internet untuk memerasnya, kan?"

Erick menggeleng-geleng. "Setelah itu kau masuk penjara. Sir Casey bukan hanya kaya, tapi juga berpengaruh. Saat masih tinggal di London, dia sangat dekat dengan perdana menteri, dan juga ratu Inggris. Di sini pun dia dekat dengan perdana menteri dan beberapa orang di parlemen juga kepolisian. Dia pasti tidak akan melepaskanmu kalau kau melakukan itu," katanya.

Karin menatapnya dengan tatapan mencela. "Mana mungkin aku melakukan itu, Erick. Itu jahat dan tidak bermoral. Aku hanya bilang, seandainya," sahutnya sengit.

Erick kembali terkekeh. "Ya. Aku tahu, Sayangku. Kau adalah gadis yang baik, aku tahu itu."

*********************
"Dia bilang begitu?" Martin bertanya sambil menyeringai.

"Ya. Dia bilang begitu," Erick menjawab sambil meletakkan satu gelas air putih dan teko di nampan ke atas meja. "Dan yang membuatku bingung, Martin, kenapa kau mengganggunya begitu?"

"Kenapa kau mengira aku mengganggunya?" Martin bertanya sambil tersenyum jahil. Dia mengambil gelas dan meminum airnya.

Erick menatapnya. "Aku mengenalmu sejak lahir, aku tahu kapan kau sedang tidak menjadi dirimu sendiri," jawabnya tenang.

Martin tertawa. "Aku tidak sengaja, Erick. Tapi saat melihat reaksinya berbeda dengan banyak wanita, entah kenapa aku jadi … yah, begitulah. Dan semuanya berlanjut," akunya jujur.

"Jadi sekarang kau betul-betul cuma iseng dan bermain-main dengannya?" Erick langsung menebak.

Seringai melebar di bibir Martin.

Erick menghela napas. "Kalau kau menyukai gadis itu dan ingin mempertahankannya bekerja di sini, jangan buat dia ketakutan. Dia stres setiap kali melihatmu pamer badan," pintanya.

Martin mengangkat alisnya. "Bukankah seharusnya dia gembira? Tidak semua perempuan kuizinkan mengetahui properti berhargaku, dan saat ini dia satu-satunya yang melihat pertunjukkan langsung setiap hari," katanya pongah.

Erick cemberut. "Tentu saja dia berbeda. Dia bukan perempuan lain yang akan meneteskan liur melihatmu. Ayolah, aku menyukainya, Martin. Aku tidak ingin dia kabur karena ketakutan padamu."

Martin mengangkat bahunya. "Dia tidak akan kabur, Erick. Dia akan terbiasa, dan selanjutnya dia akan seperti wanita lain yang menginginkan untuk kubawa ke tempat tidur," ujarnya melecehkan.

"Dan kalau itu terjadi, apa yang akan kau lakukan?" Erick memotong.

Martin tertegun. Dia menatap Erick untuk beberapa detik, lalu mengerjap. "Well ... karena aku belum pernah mencoba perempuan seperti Karin, mungkin aku bersedia memberikan kesempatan itu. Selama dia tidak akan mengusikku lebih dari yang bisa kutolerir."

Erick tersenyum. "Aku rasa pesonamu tidak sebesar itu pada Karin, Martin. Tolong, bercanda boleh saja, tapi jangan kelewatan dan membuatku kehilangan asisten yang bagus," pintanya.

Martin tidak menjawab, melainkan berjalan ke arah jendela. Sambil menghela napas, Erick pun pamit dan keluar dari situ.

"Aku tidak akan melewati batas, Erick. Kau tahu itu," Martin berbisik seperti pada diri sendiri.


 

##CHAPTER 4. HE WANTS HER!                                   

Karin menghela napas berat, dan menengadah menatap sinar bulan yang berwarna kemerahan. Dadanya sesak. Dia rindu pada ayah ibunya yang sedang sakit, pada Riana, adiknya, yang terpaksa putus kuliah agar bisa menjaga keduanya, dan Cici, kucing kecilnya yang nakal. Dia rindu rumahnya, dan semua temannya. Tanpa terasa, air mata mengalir dari kedua mata indahnya.

"Mama, Papa, Riana, Karin kangen. Apa kabar kalian di sana? Semoga keadaan kalian sudah lebih baik. Tunggu Karin, ya. Karin pasti bawa uang banyak untuk pengobatan kalian, dan bayar semua utang." Dia berkata sambil terisak.

Kembali Karin menghela napas, lalu meraih ke dalam saku celana pendeknya dan mengambil ponsel di situ. Diusapnya penuh sayang foto orang-orang yang dia kasihi di dalam ponsel. Dia tidak menyadari kalau ada seseorang yang berdiri di belakangnya.

Untuk beberapa saat orang itu memandangi Karim dengan tatapan aneh. Diperhatikannya tengkuk gadis itu yang terbuka dan menunjukkan helaian rambut halus yang lepas dan memberikan kesan seksi, orang itu menelan ludah. Lalu matanya beralih pada pundak rapuh gadis itu, turun pada lekuk pinggangnya yang terlihat begitu ramping, dan pinggulnya yang bulat dan padat. Orang itu terpana, gadis ini benar-benar memiliki bentuk tubuh yang menakjubkan. Mungil, tapi berisi.

Pelan orang itu mendekat, lalu berdeham. "Ehem!"

Karin terlonjak dan menoleh. Matanya membesar, dan dia buru-buru berdiri. "Uhm ... Sir Casey. Selamat malam, Sir."

Martin menatapnya tajam, dan memiringkan kepala. Dia suka dengan yang dia lihat, seorang gadis cantik dan mungil yang sedang bersiap untuk tidur. Tanpa seragam kaku yang biasa dia pakai, dan hanya mengenakan kaus putih tipis yang membentuk tubuhnya, dan celana pendek katun lembut yang sangat cocok dengan kepolosan gadis itu.

"Selamat malam, Karin. Kau belum tidur?" tanyanya.

Karin menggeleng gugup. Tergesa-gesa dia menghapus air matanya. "Uhm ... saya baru akan tidur, Sir, hanya saja ... malam ini panas sekali dan saya sedang gelisah," jawabnya.

Martin Casey mengangkat alisnya. "Gelisah? Hal seperti apa yang bisa membuat gadis kecil dan manis sepertimu gelisah?" Dia bertanya sambil mendekat, lalu duduk di bangku yang tadi diduduki Karin.

Karin cemberut. "Hanya tubuh saya yang kecil, Sir. Tapi saya sudah sangat dewasa. Di negeri saya, pada usia ini kebanyakan sudah menikah. Uhm … saya gelisah karena saya merindukan keluarga saya. Masih lama rasanya saya bisa ketemu mereka lagi," jawabnya.

Martin menatapnya, lalu memberikan tanda padanya untuk duduk juga di sebelahnya.

"Duduklah," pintanya.

Karin mengerjap. "Tapi, Sir...."

"Apa begitu seramnya aku buatmu sampai kau takut duduk di sebelahku?" tanya Martin sambil menyilangkan lengannya di dada.

Karin meneguk ludahnya. "Bukan begitu. Hanya saja…."

"Hanya saja, apa?"

"Anda majikan saya. Apa kata orang kalau melihat saya duduk di sebelah Anda?"

"Biarkan saja. Aku yang menyuruhmu duduk, kan?"

Karin menggaruk tengkuknya. Ragu, dia pun duduk di sebelah Martin, sambil berusaha menjaga jarak. Martin menatapnya dengan intens hingga Karin merasa rikuh.

"Kau mencintai keluargamu?" Ia bertanya.

Cepat, tanpa ragu, Karin mengangguk. "Sangat," jawabnya.

Martin ikut mengangguk. "Lalu kenapa kau meninggalkan mereka? Kenapa kau tidak bekerja di negaramu sendiri?"

Karin langsung berubah muram. "Sesuatu terjadi, dan aku membutuhkan uang banyak, Sir. Dengan pendidikanku, gaji yang bisa kudapatkan di negaraku tidak akan mencukupi. Sebetulnnya, aku juga terpaksa bekerja di luar negeri," jelasnya jujur.

Martin makin intens menatapnya. "Kau gadis yang cantik. Kenapa tidak kau jual tubuhmu seperti beberapa tenaga kerja dari negerimu yang bekerja di Hongkong ataupun Timur Tengah? Kau pasti akan mendapatkan uang banyak."

Karin melemparkan tatapan mencela. "Jalan keluar macam apa itu? Itu tidak bermoral dan hanya menghina martabatku sebagai perempuan," katanya pedas.

Martin mengangkat sebelah alisnya. "Apa kau mengatakan kalau mereka yang menjual tubuhnya adalah orang yang tidak bermoral?" tanyanya. “Sekalipun mereka tidak punya pilihan?”

"Selalu ada pilihan. Pilihan yang mereka ambil tidak bermoral. Seseorang harusnya bisa menghormati diri sendiri," jawab Karin dengan tegas.

"Bukankah banyak tenaga kerja dari negerimu atau negeri-negeri miskin lain yang akhirnya menjual diri di negeri orang? Buktinya, banyak anak terlahir dari hubungan dengan para majikan." Martin memprovokasi.

Wajah Karin mengkerut marah. "Itu tidak benar! kau terlalu memandang rendah pada kami. Kebanyakan dari mereka dilecehkan dan tidak bisa melawan, itulah sebabnya mereka terpaksa pasrah. Sering kali hukum di negara tempat mereka bekerja tidak berpihak pada perempuan pekerja migran," sergahnya.

Martin menatap wajah Karin yang memerah dengan penuh hasrat. Gairah dalam dirinya bangkit. Gadis itu cantik sekali saat sedang marah begitu, batinnya.

"Kalau kau tahu itu adalah resiko pekerja migran sepertimu, kenapa kau nekat datang ke sini?" tanyanya dengan suara serak.

Karin termangu sebelum menjawab. "Karena setahuku, hukum di sini tidak merugikan kami. Dan aku tahu kalau aku terlindung."

Martin masih memandangnya intens sebelum kemudian tersenyum. "Kau benar. Hukum kami melindungi pekerja asing. Tapi, kalau pekerja itu sendiri yang memilih untuk melakukan hubungan seksual dengan sukarela, maka majikan tidak akan dihukum karenanya."

Karin mengerutkan kening. "Itu sudah pasti, kan? Karena sifatnya konsensual, bukan?" tanyanya ragu.

Martin mengangguk. “Benar.”

Karin ikut mengangguk.

"Pernahkah kau berpikir ingin melakukannya? Misalnya … kalau kau tertarik pada seseorang?"

Cepat Karin menggeleng. "Tidak! Aku hanya akan tidur dengan suamiku!"

Martin terperanjat. "Kau punya suami?" tanyanya kaget.

Karin menggeleng lagi. "Belum. Maksudku, aku hanya akan tidur dengan laki-laki yang jadi suamiku, nanti," jawabnya.

Martin menghela napas lega, lalu memandangnya lagi.

"Tidak ada seks sebelum menikah, eh?"

Karin mengangguk. "Ya."

"Jadi kau masih perawan? Belum pernah tidur dengan pacarmu?"

"Tentu saja belum. Ah, kenapa anda harus bertanya hal-hal begini, Sir?"

Martin menatapnya tepat ke manik mata. "Kenapa? Aku membuatmu tidak nyaman?" tanyanya sambil meraih sejumput rambut Karin yang terlepas dari kuncirnya.

Karin terlonjak dari duduknya. Dia berdiri dan berkata gugup. "Mmm ... hari sudah malam, dan saya rasa Anda juga sudah lelah. Mungkin sebaiknya saya kembali ke kamar saya. Selamat malam, Sir."

Tergesa-gesa Karin beranjak, tapi, baru beberapa langkah dia berhenti dan berbalik.

"Saya rasa sebaiknya Anda juga tidur, Sir," ucapnya tulus. "Anda sungguh-sungguh kelihatan lelah."

Martin mengangkat alisnya, jenaka. "Menurutmu begitu? Sayangnya saat ini aku sedang ingin melakukan kegiatan lain. Bercinta misalnya. Kau berminat menemaniku?" godanya.

Karin membelalak, spontan dia berputar lalu melarikan diri secepat yang dia bisa. Di tempatnya, Martin tertawa terbahak-bahak.

"Ya Tuhan. Gadis itu benar-benar menggemaskan." Martin menghela napas. Sial! Kini dia malah menginginkan gadis mungil yang sekarang dia ketahui masih perawan itu! Sudah dipastikan, malam ini dia akan terpaksa mandi air yang sangat dingin.


 

 

##CHAPTER 5. BRITTANY SCOTT

"Namanya Brittany Scott. Dia cantik sekali, bukan?" Erick berkata pada Karin yang memandang wanita cantik berambut pirang dengan tubuh indah yang sedang mencium pipi Sir Casey dengan penuh kekaguman.

Karin mengangguk sambil tetap memandangi wanita secantik bidadari itu. Mulutnya sampai ternganga melihat betapa berkilaunya kulit Miss Scott saat memantulkan sinar matahari yang menembus jendela.

"Iya, dia cantik sekali," katanya, membenarkan.

Erick tersenyum sinis. "Dan luar biasa jahat. Jangan dekat-dekat padanya, Karin. Dia akan menyulitkanmu. Menyingkirlah sebisa mungkin selama dia di sini," nasihatnya.

Karin mengerutkan kening. "Masa sih, Erick? Orang secantik itu bisa jahat?" tanyanya ragu.

Erick hanya tersenyum, lalu mengusap lembut kepala Karin. "Entah kau tinggal di dunia macam apa, karena orang jahat bisa berupa apa saja, Sayang. Berhati-hatilah," pesannya, lalu beranjak.

Karin mengangkat bahu, lalu meneruskan pekerjaannya, memasukkan buah-buah apel yang baru dia petik ke dalam keranjang. Erick memang menyuruhnya memetik beberapa buah apel yang matang untuk ditaruh di meja kerja Sir Casey, karena pria itu suka makan apel saat sedang bekerja. Setelah jumlah apel yang dia petik cukup, Karin pun membawa keranjang apel itu masuk. Dia sempat bertemu pandang dengan Ms. Scott, dan dengan sopan sedikit membungkukkan tubuh untuk memberi hormat padanya, lalu pada Sir Casey yang tidak sedikit pun melepaskan pandangan darinya sejak tadi. Setelah itu dia pun meneruskan langkahnya untuk menyelesaikan tugas.

"Pelayan baru?" Brittany bertanya pada Martin yang masih memperhatikan sosok Karin yang menghilang di balik dinding selasar.

Martin mengangguk. Dia kembali mengalihkan perhatian pada Britt, panggilan gadis cantik yang seolah parasit, terus saja mengganggu kehidupannya.

"Katakan padaku, Britt, kali ini apa?"

Britt mengangkat satu alisnya. "Oh ... ayolah, Martin. Haruskah kau sesinis itu? Aku cuma rindu padamu, apa itu tidak boleh?" katanya dengan nada semanis madu.

"Rindu padaku? Kau menghina kecerdasanku. Kau hanya rindu pada uangku dan kartu kredit platinumku bukan?"

Britt tertawa renyah. "Kau yang menghina dirimu sendiri, Martin. Apakah menurutmu hanya uang dan kartu kredit yang menarik dari dirimu? Apakah menurutmu six pack dan sesuatu di antara kedua kakimu kurang menarik bagi perempuan? Bagiku?" godanya sambil tangannya terulur dan menyentuh paha Martin yang kokoh, lalu mengusapnya dengan provokatif.

Martin hanya tersenyum sinis, lalu meminum anggurnya. Dia tidak perlu menanggapi kalimat Brittany karena dia tahu kalau faktanya dia adalah salah satu pria yang paling diinginkan. Sayang, tidak ada wanita yang dia inginkan lebih dari sekadar teman tidur saat ini. Belum.

*********************

Karin tersenyum dan melambai pada Didi yang balas tersenyum padanya. Bersemangat, Karin melangkah mendekati pemuda pendiam itu dengan membawa nampan berisi makanan di tangannya dan menyapa.

"Hai, Didi. Kau sedang sibuk?"

Didi menggeleng. "Tidak. Aku baru mau istirahat." Dia menunjukkan nampan serupa dengan milik Karin. "Kau?"

"Aku juga. Ayo kita makan sama-sama. Sudah beberapa waktu di sini tapi kita tidak pernah mengobrol karena sepertinya kau sibuk di pabrik."

Sambil berkata begitu dia duduk di sebelah Didi. Lalu mulai memisahkan sepotong roti dan menaruhnya di nampan Didi.

"Ini. Makanlah. Aku tahu kau butuh lebih banyak nutrisi dibanding aku karena kau harus mencari seseorang, kan?" Karin berkata ceria.

Wajah Didi berubah murung. "Aku sudah menemukannya, Karin." Ia berujar.

Karin melebarkan matanya. "Oya. Sungguh? Wow! Bagus dong kalau begitu? Jadi kalian bisa...."

"Dia menolak bertemu denganku."

Karin terdiam. Didi menghela napas, dan matanya menerawang.

"Aku begitu merindukannya. Anak kami merindukannya, dan dia malah bersenang-senang di sini dengan laki-laki lain. Aku melihatnya."

Karin tidak bisa berkata apa-apa. Ragu, dia mengulurkan tangannya, lalu mengusap punggung Didi lembut. Memberikan penghiburan, dan Didi tersenyum kepadanya.

"Aku tidak apa-apa. Setidaknya aku tahu kenapa dia tidak memberi kabar sedikit pun pada kami. Aku kira dia hanya tidak bisa pulang dan mengalami kesusahan, tapi ternyata ... ya sudahlah."

"Hei, kamu pasti bisa melewati ini. Kalau kau memang mencintainya, sabarlah menunggunya.”

Didi menggeleng. "Tidak. Begitu kontrakku selesai, aku akan langsung pulang dan menceraikannya. Itu permintaannya, dan hanya itu yang bisa kulakukan."

Karin mengangguk penuh simpati. "Semua akan membaik, Didi. Jangan khawatir."

Tak disadari keduanya, Martin Casey melihat kejadian itu saat mengantar kepergian Brittany keluar. Wajah dinginnya langsung berubah masam, karena entah kenapa, dia tidak suka melihat keakraban kedua pegawainya itu.

"Ada apa?" Britt bertanya sambil mengelus lengan atas Martin.

Martin menoleh padanya. "Tidak ada apa-apa. Kenapa?" Ia balik bertanya.

Britt tersenyum culas. "Kau menatap pelayan baru itu dengan tatapan lapar. Apa kau menginginkannya?" Dia bertanya penuh selidik.

Martin tersenyum mengejek. "Sampai saat ini, Britt, kepalamu yang cantik itu tidak pernah dipergunakan dengan semestinya. Haruskah kau cemburu dengan semua makhluk berjenis kelamin perempuan yang kebetulan sedang kupandangi?" Dia balas bertanya.

Britt mengangkat bahu. "Well ... aku akan terus cemburu sampai kau menyelipkan cincin di jemariku, Martin," katanya anggun.

Martin tersenyum sinis. "Kau tahu itu tidak akan terjadi, Britt. Lupakan saja," ujarnya sedikit menghina.

Dengan langkah panjang dia mendahului menuju mobil Britt yang diparkir dekat air mancur. Seorang sopir sudah berdiri sambil memegangi pintu yang dibukanya.

Britt mengerucutkan bibirnya. "Pasti kau masih mengingat Kate, perempuan jalang itu, bukan?" gerutunya.

Martin langsung menunjukkan wajah keras. "Ya. Kate mengajariku tentang kaumnya, yaitu, tidak ada perempuan yang bisa dipercaya. Termasuk kau."

Wajah Britt memerah, dan tanpa menjawab lagi dia langsung masuk ke dalam mobil. Sang supir menutup pintu setelah dia masuk, dan sesudah menyentuh topinya sedikit sebagai penghormatan pada Martin, pria bertubuh langsing itu masuk ke bagian pengemudi, dan mobil pun meluncur.

Martin langsung berbalik dan berjalan menuju ke rumah kembali. Langkahnya terhenti saat berdiri di depan bagian sayap gedung tempat para pekerja. Ada perasaan seperti diremas melihat Karin yang tampak merangkul Didi dengan akrab, dan dia tidak suka perasaan ini.

*********************
Karin mulai menghafal jadwal kegiatan Sir Martin Casey, terutama waktu mandi dan tidurnya, agar dia tidak memergoki pria itu lagi dalam keadaan tidak pantas. Namun, rupanya Sir Martin tahu strategi Karin itu, dan merasa penasaran dengan kelakuan pelayan yang satu itu. Dia bingung, saat wanita-wanita sekelas Brittany Scott begitu tergila-gila kepadanya, gadis polos itu malah seperti ketakutan.

Jadi, malam ini Martin yang baru menyelesaikan pekerjaannya dengan komputer, berencana untuk menjahili gadis polos itu. Entah kenapa, menggoda Karin sepertinya telah menjadi semacam kesenangan terbaru untuknya, membuatnya terhindar dari rasa bosan, dan seolah membuatnya kecanduan. Padahal, sebelum bertemu Karin, Sir Martin adalah seorang pria aristokrat menyebalkan yang angkuh dan kaku. Tidak pernah peduli pada sekelilingnya, apalagi hanya pada seorang pelayan. Karin betul-betul membuatnya menjadi bukan dirinya sendiri. Atau ... justru inilah dia yang sebenarnya?

Sebuah gerakan di depan ruang kerjanya memberitahu Martin kalau Karin sedang menuju ke kamarnya untuk bersih-bersih. Bergegas Martin bangkit dari kursinya, lalu keluar dan mengikuti sosok mungil berpinggul padat itu. Ya. Martin sangat menyukai bentuk pinggul Karin. Dia juga menyukai bentuk payudaranya yang membusung, cukup besar untuk tubuh mungilnya, tapi tidak terlalu besar untuk membuatnya berlebihan. Dia juga suka melihat betis Karin yang membulat dan melekuk tajam di bagian pergelangannya, membuat gerakan kakinya terlihat lincah dan gesit, dan dia sangat suka bibir Karin yang terlihat mengerucut tiap kali salah tingkah. Intinya, dia suka semua yang ada pada diri gadis Asia itu.

Dia mungkin mulai gila, tapi, apa pedulinya?

Tanpa suara dia mengikuti Karin yang memasuki kamarnya, lalu dengan sistematis, mulai membersihkan ruangan itu. Penuh rasa tertarik, Martin memperhatikannya sambil bersandar di ambang pintu, sebelum dengan langkah tanpa suara, mendekati Karin yang dengan sangat serius, membersihkan rak buku besar. Dihapusnya jarak antara dirinya dengan Karin yang masih belum menyadari kehadirannya, dan dia membungkuk, hingga napasnya menyapu rambut lembut di pelipis Karin, lalu berbisik serak.

"Sudah kubilang, rak itu bisa orgasme jika kau mengusapnya seperti itu."


 

 

##CHAPTER 6. IS IT TRUE THAT HE IS BEING NOSY?

Karin tersentak di tempatnya, dan tanpa sengaja menyentakkan tubuhnya ke belakang hingga membentur tubuh Martin yang keras. Dia membeku saat Martin menyelipkan lengan di bawah lengannya dan menarik pinggangnya hingga merapat ke tubuhnya sendiri.

"Ah ... baumu menyenangkan," bisiknya dengan nada rendah.

Karin masih membeku. Untuk beberapa saat otaknya seperti hanya terdiri dari jaringan lembek tanpa sel-sel syaraf dan pembuluh darah. Lunak, hampa, tidak mampu mencerna apa yang sedang terjadi. Sampai kemudian hidungnya bisa menerima rangsang dan mencium aroma maskulin Sir Martin yang begitu memabukkan. Perlahan, kesadaran seolah mengaliri syarafnya, membuatnya bisa merasa saat bibir hangat Sir Martin mulai menyusuri lehernya yang basah oleh keringat, sementara tangan pria itu merangkul erat pinggangnya, tepat di bawah payudaranya yang sensitif.

Cepat Karin menginjak tempurung kaki Sir Martin dengan sol sepatu cepernya, dan saat pria itu merenggangkan rangkulan di pinggangnya, secepat kilat Karin meloloskan diri dari lengan pria itu, keluar dari kungkungannya, dan membuat jarak yang lumayan. Sir Martin dengan santai memutar tubuhnya, dan menatap Karin yang kini berdiri sambil menatapnya dengan mata membelalak dan sikap waspada.

"Apa yang anda lakukan, Sir?" Karin bertanya gugup.

Martin menaikkan satu alisnya dengan ekspresi geli.

"Apa? Aku hanya menahan tubuhmu agar tidak jatuh karena kaget barusan," jawabnya santai.

Karin berkedip cepat. "Tapi ... mulut Anda di leher saya ...."

Martin mengangkat bahu. "Itu adalah posisi wajar, Karin. Kau menyentakkan tubuhmu ke belakang, ke arahku. Wajar kalau aku memegangimu agar tidak jatuh, dan karena lenganku melingkari pinggangmu, maka wajahku dekat dengan kepalamu dan menempel di lehermu. Itu adalah sesuatu yang wajar."

Karin mengerutkan kening. Dia memperhatikan Martin dengan seksama. Mulai dari ujung kepalanya, sampai ujung kakinya, lalu kembali lagi ke kepalanya. Seperti sedang mengukur. Senyum geli muncul di bibir Martin.

"Kenapa kau melihatku seperti itu? Oh ... apakah kau sedang membayangkan aku telanjang seperti yang biasa kau lihat?" tanyanya menggoda.

Karin membesarkan matanya. "Sembarangan! Saya sedang mengukur tinggi Anda, Sir. Dan menilik tinggi Anda yang … yang jauh sekali dari saya, apa yang Anda bilang tadi itu tidak mungkin! Bibir Anda tidak mungkin ada di leher saya kalau bukan karena Anda sengaja menunduk!" katanya dengan anda emosional.

Martin mengangkat satu alisnya. "Kau ... menuduhku?" tanyanya dengan suara serak sambil berjalan mendekati Karin dengan cara yang sangat mengintimidasi.

Karin melangkah mundur sambil menelan ludah. Dia langsung terbelalak panik saat kakinya membentur meja pendek dekat sofa, sementara sambil menyeringai mengerikan, Martin terus mendekatinya.

"Katakan, Nona Karin, apa kau sedang menuduhku berbohong?" Martin bertanya sambil terus memojokkan Karin.

Karin tergagap. "Saya ... uhm ... maaf ... bukan begitu, Sir...."

"Bukan? Lalu bagaimana? Kau. Menuduhku. Dear. Jangan membantah."

"Saya ... saya tidak menuduh ... tapi...."

"Tapi apa? Apakah aku harus membuktikan kepadamu bahwa aku tidak dengan sengaja mencium lehermu? Karena jika aku tidak membuktikannya, maka kau akan tetap berkeras kalau aku memang melakukannya dengan sengaja."

"Oh ... apa maksud Anda?" Karin bisa merasakan kakinya gemetar. Apalagi saat ini Martin sudah berdiri menjulang di hadapannya, hampir tidak berjarak.

"Maksudku? Tentu saja kita harus merekonstruksi kejadian tadi, untuk meyakinkanmu kalau aku tidak bersalah."

"Uhm ... saya rasa...."

Martin meletakkan dua tangannya di bahu Karin, lalu dengan lembut dia memutar tubuh gadis itu hingga membelakanginya. Seperti robot, tubuh Karin bergerak sesuai keinginan Martin. Dia kini berdiri dengan kaki gemetar di antara meja di depannya, dan tubuh Martin Casey yang keras di belakangnya. Napasnya tersentak saat merasakan punggungnya kini menempel dengan otot-otot menakjubkan di balik kemeja Martin, meski begitu, dia hanya bisa diam saat merasa lengan-lengan kuat pria menyusup di bawah lengannya, lalu melingkari pinggangnya.

"Ini yang kulakukan tadi agar kamu tidak jatuh, Nona Karin. Aku melingkarkan lenganku ke sini...."

Lengan Martin kini menarik tubuh Karin hingga makin melekat dengan tubuhnya. Karin menahan napas, tetapi itu tidak mencegah aroma maskulin Martin yang menggiurkan menyeruak masuk dalam indera penciumannya. Saat itu dia bisa merasakan lengan Martin yang menyentuh bagian bawah payudaranya, sementara sesuatu yang keras menyodok bokongnya. Karin menelan ludah. Situasi ini berbahaya. Mungkin inilah yang terjadi pada para TKI hingga mereka mengalami pelecehan seksual. Tapi, demi apa pun, dia malah merasakan sesuatu dalam dirinya bangkit. Otaknya menyuruh dia kabur, tapi bagian lain dirinya yang tidak dia kenali, tapi ternyata jauh lebih kuat, memerintahkannya untuk menikmati keintiman ini. Membuatnya kebingungan. Apa yang harus dia lakukan?

"Lalu .... " Suara seksi Martin kembali berbisik di telinganya, "karena saat aku menahanmu seperti ini, aku pun bisa mencium baumu yang ... hm, lezat."

"Sir...."

"Dan tanpa bisa kutahan, aku pun menunduk, dan mencicipi kulitmu Asin ... tapi lezat."

"Sir ...tolong ...."

"Tolong apa, My Karin?" Bibir Martin kini mengulang apa yang tadi dilakukan sebelumnya. Mengecupi leher Karin.

Karin merinding. Semua rambut halus di tubuhnya berdiri menerima perlakuan Martin itu. Gemetar di tubuhnya makin menjadi, saat lengan Martin bergeser dan mulai mengusap perut Karin. Membuat Karin tersengal oleh sebuah rasa asing yang mendesak dari dalam dirinya. Seolah ada sesuatu di dalam perutnya yang bergulung-gulung mendesak untuk keluar.

"Kumohon, Sir." Dengan setengah kesadaran yang tersisa, Karin berusaha menyuarakan kewarasannya.

"Apa yang kau inginkan?" Martin bertanya. Napasnya memberat, dan Karin bisa merasakan kalau pria itu juga sama tersengalnya dengan dia. "Kau ingin aku menyentuhmu lebih?" sambungnya dengan suara serak, dan tangannya kini mulai merayap ke bagian membusung di dada Karin. Menangkup keindahan yang tertutup oleh pakaiannya, dan dengan perlahan meremasnya penuh kerinduan. Seolah itu adalah hal yang paling dia ingin lakukan. Seperti dia telah menantikan itu selama hidupnya.

Karin melenguh merasakan jemari yang perkasa itu memperlakukan bagian dirinya yang sangat sensitif dengan penuh kelembutan, tapi setitik—hanya setitik, tapi cukup baginya—kesadaran dan akal sehat, membuatnya sekuat tenaga melawan hasratnya sendiri.

"Sir ... kumohon ... kita tidak bisa...."

Kalimat patah-patah itu seperti sebuah kilat menyambar, mengembalikan kesadaran Martin. Tubuhnya menjadi kaku, dan jemarinya langsung melepaskan apa yang ada dalam tangkupannya, dan dia berjalan mundur. Karin yang masih berada antara sadar dan tidak, jatuh terbungkuk, dan menumpu tubuhnya ke meja. Mencoba mengumpulkan kesadarannya, di saat Sir Martin menatapnya dengan penuh rasa bersalah.

Ya Tuhan, apa yang dia lakukan? Gadis di hadapannya ini adalah sebuah perwakilan dari kata polos dan suci, dan dia sedang mencoba menjamahnya? Orang macam apa dia?

Perlahan, Martin kembali mendekati Karin, lalu meraih tubuh mungilnya, hingga Karin terpekik kaget. Tanpa kesulitan Martin membawanya menuju sofa, lalu mendudukkannya di situ. Kemudian, pria jangkung itu berjongkok di hadapannya dan menatap Karin dengan tatapan teduh.

"Kau benar. Tuduhanmu memang benar, My Karin. Aku memang sengaja melakukannya. Tolong jangan marah," pintanya dengan kalimat bernada membujuk.

Karin menatapnya balik dengan dua matanya yang besar dan berkilau.

"Ke … nap … pa... Anda melakukannya, Sir?" tanyanya dengan gagap.

Martin menghela napas. Sebuah senyum permintaan maaf terbit di bibirnya. "Maaf, aku hanya iseng. Rasanya menyenangkan mengganggumu," jawabnya jujur.

Wajah Karin langsung cemberut. "Anda tidak boleh iseng dengan cara begitu, Sir. Tindakan itu bisa dimasukkan dalam pelecehan," katanya.

Martin kembali tersenyum. "Kau benar. Maafkan aku, ya? Aku tidak akan melakukan itu lagi jika kau tidak mengizinkan aku."

Karin menatapnya. Setelah beberapa saat dia mengangguk. "Baiklah."

Martin menghela napas. Dia bangkit dan berjalan menuju ke kamar mandinya. "Aku akan mandi, Karin. Teruskan pekerjaanmu," perintahnya.

"Ya, Sir."

Seperti pengecut Martin melarikan diri ke kamar mandinya, dan mengunci pintu seolah itu adalah satu-satunya cara untuk menyembunyikan apa yang akan dia lakukan selanjutnya.

Ya. Dia akan melakukan hal yang dia benci sebelumnya, hal yang tidak pernah dia lakukan karena dia tak pernah kehabisan stok wanita yang bersedia menyenangkan dirinya. Memuaskan dirinya sendiri dengan tangan. Menyebalkan!


 

 

##CHAPTER 7. JEALOUSY

Karin merasakan kalau Martin benar-benar menjaga jarak darinya. Pria itu tidak pernah lagi berada terlalu dekat, atau mencoba untuk bicara dengannya. Jika secara tidak sengaja berpapasan, maka Martin akan segera menghindar dan bagi Karin, hal itu malah membuatnya jadi serba salah.

Di satu sisi Karin merasa lega, karena dengan menjauh, Martin telah memberikan ruang baginya untuk bernapas. Namun, di sisi lain, tanpa dia duga, dia merasa kehilangan. Sejak berada dalam kondisi yang sangat intim terakhir kali dengan majikannya itu, dan membaui aromanya yang jantan dan menggoda, Karin sadar kalau dia telah merasakan sesuatu yang lain pada Martin. Ya. Dia telah melihat Martin dengan cara seperti wanita lain melihat pria itu.

Karin harus mengakui, Martin memang memikat. Wajahnya yang tampan, dengan jenis ketampanan yang akan disebut wanita normal sebagai jantan, tidak imut atau indah. Tubuhnya yang terjaga, dengan otot-otot yang keras pada tempat yang tepat, membuatnya memenuhi kriteria menggiurkan, belum aset pribadi di antara kedua kakinya yang akan membuat perempuan mana pun bermimpi kotor tentangnya. Bahkan kalau mau jujur, pria dengan orientasi menyimpang pun mungkin memiliki hasrat jika melihat Sir Martin Casey dalam keadaan telanjang.

Sedangkan Karin, meskipun memiliki karakter polos, dia tetaplah seorang wanita dewasa dengan hasrat yang normal dan sehat. Jika sebelumnya Karin ketakutan tiap kali memergoki Sir Martin telanjang, tapi sekarang, sejujurnya Karin malah sesekali berfantasi tentangnya. Dan, bila itu terjadi, maka Karin akan melihat ke kiri dan ke kanan untuk memastikan tidak ada yang mengetahuinya karena wajahnya akan memerah karena malu. Seperti saat ini.

"Apa yang kamu pikirkan, Karin?" Suara pria yang dikenalnya, membuat Karin serentak menoleh karena kaget.

"Ah ... Didi. Kamu mengagetkanku," rajuknya. Dia memberikan tanda pada Didi untuk duduk. "Sini, duduklah."

Didi tersenyum sambil meletakkan piringnya di atas meja, lalu duduk di samping Karin.

"Apa kamu sedang memikirkan sesuatu yang menyenangkan sampai wajahmu memerah begitu?" Didi kembali bertanya.

Karin merengut. "Kepo! Kamu mau tahu aja!" omelnya malu.

Didi terkekeh. "Habisnya... kelihatan banget tahu, enggak? Muka kamu merah, terus mata kamu enggak lepas dari bos kita waktu dia lewat tadi. Hayooo … jangan-jangan kamu suka sama Sir Martin, ya?" godanya.

Karin mengerjap cepat, sementara wajahnya terasa panas luar biasa. "Didi! Jangan ngomong sembarangan! Kalau ada yang dengar bagaimana?" omelnya. "Lagi pula ... aku bukannya suka sama Sir Martin, kok."

"Kita kan ngomong bahasa kita, memang ada yang ngerti? Terus, kalau aku salah, kenapa kamu bisa tersipu-sipu gitu kayak abege jatuh cinta kalau lihat dia?"

Karin merengut lagi. "Jangan sembarangan ngomong, Didi. Sir Martin itu bukan level aku. Lagian … kamu kan tahu kalau aku di sini untuk kerja. Supaya aku bisa bayar biaya rumah sakit ibuku, dan perawatan ayahku di rumah."

Didi tersenyum. "Maaf. Aku cuma bercanda, Rin. Aku ngerti, kok. Kamu itu anak yang baik untuk orangtua kamu, mereka pasti sayang banget sama kamu, dan mereka beruntung punya anak kayak kamu," katanya tulus.

Karin balas tersenyum. "Mereka memang sayang sama aku, dan itu bikin aku kuat menghadapi apa pun. Tapi, kalau aku lagi kangen banget sama mereka, kadang aku merasa ... sedih dan enggak kuat. Padahal kontrakku masih lama. Sembilan bulan lagi, lho."

"Sabar, Rin. Kalau sudah waktunya kamu juga pasti pulang." Didi menghibur.

Karin menatapnya, dan sebuah pemikiran terlintas. "Di, bagaimana istri kamu? Sudah bicara lagi sama dia?" tanyanya.

Didi langsung terlihat muram. "Dia masih belum mau bicara denganku, Rin. Aku enggak ngerti. Kalau ada yang harus marah, itu aku, kan?" Ia bertanya seperti pada diri sendiri.

Karin menatapnya prihatin. "Pasti ada alasannya untuk segala sesuatu, Di. Coba kamu yang sabar. Aku yakin semua pasti baik-baik saja kalau kamu sabar. Lagi pula ... kamu kan enggak bisa kemana-mana, jadi kenapa enggak kamu coba terus dekati dia?"

Didi menghela napas. "Enggak tahulah, Rin. Aku rasanya sudah capek sama sikapnya. Mungkin yang perlu aku kerjakan ya cuma itu. Pasrah."

"Jangan cepat menyerah." Karin membujuk. "Beri dia waktu."

Didi menatapnya. "Tapi aku capek, Rin," bantahnya.

Karin tersenyum lembut, dan menepuk bahu Didi dengan hangat.

"Segalanya akan baik-baik saja, Di," hiburnya dalam bahasa Inggris.

Didi balas tersenyum. "Mudah-mudahan," sahutnya.

Dari luar sayap bangunan tempat mereka bercengkrama, Martin Casey melihat interaksi keduanya dengan perasaan aneh yang sangat mengganggu. Dia tidak suka bahasa tubuh kedua rekan kerja yang menunjukkan keakraban itu, dan benaknya bertanya. Ada hubungan apa antara kedua orang tersebut?

*******************
Martin membaca berkas tentang Karin sampai berulang kali, dan akhirnya mengerti, kenapa wanita polos seperti Karin akhirnya terdampar di tempat itu sebagai pekerja asing.

Karin adalah anak pertama dari dua bersaudara. Ayahnya mengalami kecelakaan saat Karin masih SMA, dan adiknya masih SMP, hingga Karin terpaksa mengambil alih tanggung jawab ayahnya yang menjadi cacat dan hanya bisa duduk di kursi roda dengan bekerja sebagai seorang pramuniaga. Ibunda Karin membantu dengan berjualan makanan, tetapi sejak tiga tahun lalu beliau malah terkena gagal ginjal hingga beban Karin makin bertambah. Dia bekerja di beberapa tempat sekaligus, dan adiknya membatalkan masuk universitas agar bisa menjaga kedua orang tuanya. Kedua bersaudara itu tidak pernah sempat menjalin hubungan dengan pria karena mereka begitu sibuk untuk bertahan hidup. Jelas terlihat betapa dekat hubungan keluarga itu satu sama lain.

Martin menghela napas. Keluarga yang manis, begitu tulus dan saling mendukung satu sama lain meski keadaan mereka sulit. Berbeda sekali dengan kehidupan keluarga Casey yang penuh dengan intrik. Meski berlimpah kekayaan sejak dulu, tapi anggota keluarga Casey tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki dan selalu menginginkan lebih. Termasuk Martin.

Serakah dan ambisius memang sifat natural keluarga Casey, sebesar apa pun Martin ingin mengingkarinya. Martin sendiri pernah jatuh akibat ambisinya yang besar, ambisi yang akhirnya membuat dia kehilangan istri dan anaknya bertahun-tahun lalu.

Martin menghela napas. Sebenarnya, ada apa dengan dirinya? Kenapa dia tidak bisa menyingkirkan sosok mungil tapi seksi pelayannya yang polos itu dari pikirannya? Apa yang sudah dilakukan gadis itu hingga dengan lancangnya sekarang dia menguasai sebagian besar ruang di kepala Martin, bahkan mungkin di hatinya juga?

Bunyi ketukan pintu membuat Martin tersentak dari lamunan. Dia mengangkat kepala dan melihat ke pintu.

"Masuk!" perintahnya.

Pintu terbuka, dan sosok yang baru dipikirkannya muncul di situ, menatap dengan mata besarnya yang berwarna gelap.

"Here comes the devil," bisik Martin dalam hati.

"Sir, boleh aku membersihkan ruang kerjamu sekarang?" Karin bertanya sambil menyeret lorinya.

Martin menatapnya. "Ya," jawabnya pendek, lalu menutup berkas tentang gadis itu, dan meraih berkas dokumen pekerjaannya.

Karin berjalan memasuki ruangan dengan lorinya, dan entah kenapa, sosok mungilnya yang menyeret sebuah lori berisi peralatan pembersih, tiba-tiba terlihat lucu di mata Martin, dan tanpa bisa ditahan, tawanya spontan terlepas. Karin menoleh kepadanya dengan heran.

"Ya, ampun, Karin. Apakah kau sedang bermain dengan mobil mainanmu?" Martin bertanya geli.

Karin menatapnya tak mengerti. "Sir?"

Martin menunjuk lori Karin. "Kau dan lorimu, mirip bocah yang sedang bermain dengan menarik-narik mobil mainannya."

Karin melihat ke lorinya, dan sesaat kemudian, wajahnya menunjukkan pengertian. Dia pun ikut tertawa geli.

"Ah ... Sir. Imajinasi anda luas sekali," katanya sambil menuju ke satu sisi favoritnya. Rak buku.

Martin memperhatikannya dengan saksama, dan menghela napas. Sejak kejadian terakhir yang begitu intim antara dirinya dan Karin, dia sudah berusaha untuk menjauh dari gadis itu, karena khawatir tidak bisa mengendalikan diri. Namun, dia tidak bisa menyangkal, tubuhnya seperti punya keinginan sendiri. Saat gadis itu sedang bekerja, atau sedang melamun, bahkan saat dia sedang berbicara dengan temannya, pria Asia yang berwajah manis itu, Martin seperti selalu tertarik ke arahnya. Bagaikan magnet yang tertarik pada kutubnya, begitulah kira-kira Martin menggambarkan keadaan dirinya. Dan … dia menyerah.
 

##CHAPTER 8. I AM NOT A PROSTITUTE!

Perlahan Martin bangkit dari kursinya, lalu mendekati Karin. Saat dia sudah benar-benar berada di belakang gadis itu, aroma feminin Karin yang lembut, dan harum rambutnya yang seperti bau buah-buahan menyeruak, menerobos indera penciumannya, dan langsung menyerbu syaraf di otaknya. Sekali lagi, melumpuhkan keinginannya untuk menjaga jarak. Lagi pula, bagaimana dia bisa menjaga jarak, jika segala yang diinginkannya ada pada gadis mungil ini?

Perlahan, Martin meletakkan tangannya di pinggang Karin yang langsung membeku, lalu menarik tubuh gadis itu hingga membentur tubuhnya yang keras. Dirangkulnya pinggang gadis itu erat, dan dengan impulsif dia menyurukkan wajahnya ke tengkuk Karin dan menghirup dengan rakus aroma yang memabukkan dari gadis itu.

Karin merinding dan menyadari apa yang terjadi. Kejadian waktu itu terulang lagi, dan kali ini Martin sengaja melakukannya.

Karin panik. Dia sadar jika dia tidak melarikan diri kali ini, maka akan sangat sulit baginya untuk kembali. Jika waktu itu Martin mampu menarik diri dan mencegah apa pun yang mungkin terjadi, kali ini belum tentu bisa. Karena kali ini Karin sadar, tubuhnya pun bereaksi cepat dengan sentuhan Martin.

"Sir...." Dia berusaha mengingatkan Martin, meski dia sendiri tidak yakin, mengingat suara yang keluar dari tenggorokannya malah berupa desahan.

"Ssstt ... diamlah, My Karin." Martin berbisik. Napasnya yang panas mengembus kulit leher Karin, membuatnya menggigil karena hasrat yang terbangkitkan tanpa bisa dikendalikan.

"Sir...." Karin masih mencoba, mengandalkan kesadaran yang sudah menipis. "Apa yang Anda lakukan?"

Martin menggerakkan lengannya, lalu mengambil lap dan botol penyemprot dari tangan Karin, dan meletakkannya di bagian kosong rak. Kemudian, dengan lembut dia meremas jemari gadis itu, berusaha menenangkannya. Satu lengannya yang lain mengeratkan rangkulannya di pinggang Karin, menariknya hingga Karin bisa merasakan setiap tonjolan yang keras di tubuhnya.

"Apa yang kulakukan?" Martin berbisik sambil menyusuri kulit leher Karin dengan mulutnya yang basah. "Aku tidak tahu, My Karin. Aku hanya...." Kalimatnya terputus-putus karena bibirnya makin rakus menikmati permukaan yang meremang di leher Karin.

"Sir?" Karin merasakan kakinya lemas, dan dia merosot di tempatnya berdiri, tapi, lengan kuat Martin menahan tubuhnya dan dengan sekali sentak, tubuh Karin berputar menghadap Martin yang menatapnya dengan mata menggelap.

"Kau membuatku gila." Martin berkata dengan nada rendah, lalu menunduk dan meraup mulut Karin dengan mulutnya, membuat Karin lagi-lagi merosot di tempatnya berdiri. Namun, Martin menjaga gadis itu tetap berdiri. Dia bahkan sedikit mengangkat tubuh Karin yang mungil agar mulutnya bisa menguasai mulut mungil yang kewalahan mengikuti gerakannya itu.

"Ya Tuhan ... ini ciuman pertamamu." Martin terengah berbisik di bibir Karin yang sama terengahnya dengan dia.

"Sir...."

Perkataan Karin kembali terputus, karena Martin melumat lagi bibirnya dengan bernafsu. Karin yang memang baru pertama kali berciuman, gelagapan karena serangan Martin, terlebih saat pria itu menggigit bibir bawahnya lembut, hingga Karin mengerang memberikan kesempatan lidah Martin menerobos masuk dan menari dengan erotis di rongga mulutnya.

Detik demi detik berlalu, dan Karin mulai menanggalkan kesadarannya. Matanya terpejam, dan kini dia hanya mengandalkan indra perasanya. Telinganya mendengar decapan berliur mulutnya yang bergulat dengan Martin, dan tubuhnya meremang saat merasa tangan Martin yang semula memegang tangannya, kini menyusuri belakang tubuhnya, mengusap ke atas dan ke bawah, terus dengan tekun, sementara tangan yang satu menekan tengkuk Karin, menjaganya agar tidak berpaling.

Tangan Karin sendiri kini mencengkeram lengan kemeja Martin, sementara terdorong instingnya, tubuhnya makin melekat dengan tubuh Martin. Setiap sel di tubuhnya berteriak penuh damba saat bertemu dengan setiap otot keras yang juga merindukannya, dan Karin merasa ada benda keras yang buas, tiba-tiba menyodok perutnya.

"Oh ... Tuhan." Martin mengeluh, saat melepaskan Karin dan melihat bagian bibir merah muda itu kini membengkak karena ulahnya. Lembut, Martin mengusapnya dengan ibu jari, lalu mengecup sudutnya, berpindah ke garis rahangnya, dan sekali lagi Karin terbuai. Dia tidak menyadari saat pria itu melepaskan tali celemeknya, menurunkan resleting gaunnya, dan menyingkap gaun seragamnya itu hingga memperlihatkan kulit pundaknya yang mulus.

"Kau milikku, My Karin. Hanya milikku." Martin menggeram, lalu menunduk dan mengecup pundak Karin yang tersentak merasakan bibir hangat dan basah itu menyentuh lembut kulitnya yang tidak pernah tersentuh siapa pun kecuali dirinya sendiri. Gamang, tangan Karin bergerak serabutan mencari pegangan, dan menemukan tepi ambalan rak yang langsung dia cengkeram hingga buku jarinya memutih.

"Sir...." Suara Karin tersengal, dan Martin kian menjadi. Dia menurunkan gaun berbahan tebal dan kaku berwarna hitam itu, dan meloloskan tangannya melalui lengan Karin yang mengikuti gerakannya dengan mata memburam karena nafsu, hingga kini gaun itu berkumpul di pinggangnya yang ramping, dan menyisakan suatu tampilan tubuh atas yang mulus dengan sepasang payudara indah yang padat, terbungkus dalam bra warna hitam sederhana.

Mata Martin menggelap. Tangannya gemetar saat terulur dan menyentuh harta Karin yang selalu diimpikannya itu. Jemarinya yang besar, kini menangkup lembut gumpalan kenyal yang hangat itu, dan meremasnya hati-hati dari luar bra tebal yang menjadi penghalang terakhir, dan saat itu Karin menggelosor lemas, dan jatuh terduduk.

Martin membungkuk, lalu meraih tubuh Karin, memeluknya dengan posesif dan membawanya ke sofa besar dekat rak, lalu meletakkan tubuh setengah telanjang itu di situ.

"Milikku." Kembali Martin bergumam kasar. Dia menyentakkan kemejanya, lalu melemparkannya ke sembarang tempat. Dengan tergesa dia juga menanggalkan celana panjangnya, sekaligus bokser Calvin Klein biru navy-nya hingga menyisakan tubuh sepolos bayi baru lahir, dan membuat mata Karin membelalak., kesadaran menyambar seperti kilat, dan dia membuka matanya.

"Sir... tidak!" serunya. Lemah, tapi jelas.

Martin menatap Karin dengan tatapan tersesat.

"Kau milikku!" geramnya kasar.

Karin menatapnya, dan mendadak rasa takut menyerang. Dia mendorong tubuh telanjang Martin, lalu dengan kaki gemetar dia bangun dan berdiri. Tergesa-gesa dia membetulkan pakaiannya yang sudah tidak keruan, sambil berusaha memalingkan wajah dari tubuh menggiurkan Martin yang telanjang.

"My Karin." Martin memanggil. Suaranya serak dan mendamba.

Karin tidak berani menoleh. "Maaf, Sir. Saya di sini untuk bekerja, bukan untuk bersenang-senang," katanya dengan suara bergetar.

Terdengar embusan kasar napas Martin. "Kau tidak perlu berpikir tentang itu. Kumohon ... biarkan aku memilikimu, dan kau tidak perlu khawatir lagi tentang keluargamu. Aku akan menanggung mereka," bujuknya.

Tepat saat itu Martin tersadar kalau telah mengucapkan kalimat yang salah. Ketika mengatupkan mulutnya, dia melihat tubuh Karin yang menegak kaku, dan bahkan hawa dingin penuh kemarahan yang menguar dari sikapnya, mampu menyentuh setiap sel tubuh Martin yang seketika menggigil.

"Maaf, saya bukan pelacur," katanya sebelum berlari meninggalkan ruangan itu sambil membekap mulutnya untuk menahan tangis, dan Martin yang terhempas dalam penyesalan.


 

 

##CHAPTER 9. INSULTED

"Kau tidak seharusnya melakukan itu pada Karin, Martin!" Erick berkata marah. Wajahnya yang berkulit gelap, makin terlihat gelap hingga ke telinganya.

Martin memalingkan wajahnya, tidak ingin mengkonfrontasi kepala pelayan, yang juga sahabatnya itu.

Pagi itu Martin berangkat pagi-pagi ke kantornya, dan tak disangka, Erick menyusul hanya untuk memarahinya masalah Karin. Padahal, setelah kejadian itu, Martin masih disiksa oleh perasaan bersalahnya.

"Ini sama sekali bukan urusanmu, Erick," katanya dingin.

Erick meradang. "Bukan urusanku? Aku yang memilihnya untuk bekerja di rumah induk dan melayanimu. Aku yang merasa yakin kalau kau akan memandangnya sebagai karyawan yang harus kau perlakukan dengan profesional. Sekarang kau bilang itu bukan urusanku? Aku akan mengirimnya ke pabrik. Dia akan bekerja di sana seperti seharusnya," putusnya.

Martin menoleh, dan ikut emosi. "Siapa kau berani mencampuri urusanku?" serunya marah.

Erick menatapnya tak gentar. "Siapa aku? Menurutmu, siapa aku?" tanyanya. Dengan anggun kepala pelayan itu memutar tubuhnya dan berniat meninggalkan ruangan itu, tapi Martin mengadangnya.

"Kau tidak akan mengirimnya ke pabrik, Erick," geram Martin.

Erick menatapnya tanpa gentar. "Oya. Pecat saja aku," katanya tenang.

"Erick! Gadis itu akan kelelahan di pabrik, dan mungkin karyawan di sana tidak akan bersikap baik padanya!"

"Setidaknya di sana dia akan terlindung darimu, Martin."

"Ya, Tuhan, Erick! Aku tidak memaksanya! Kami... memang terhanyut, tapi aku tidak memaksanya!" Martin menjelaskan dengan frustrasi.

"Kau tidak memaksanya, tapi kau memengaruhinya! Karin adalah gadis yang polos, dia seorang pekerja keras yang mementingkan keluarganya lebih daripada dirinya sendiri. Tidak sepantasnya kau memanfaatkan kepolosannya itu, Martin."

"Tapi aku bukan ingin memanfaatkannya, Erick."

"Memancingnya untuk meresponsmu, lalu menawarkan uang saat dia sadar kalau dirinya hampir terjerumus? Kau memperlakukannya seperti pelacur, Martin!"

"Aku tidak berniat melakukan itu! Aku bersumpah! Aku hanya tidak ingin dia terbebani oleh masalah keluarganya terus menerus, saat seharusnya kami sedang menikmati diri masing-masing."

"Tetapi, menawarkan uangmu untuk tubuhnya, sebagai pengganti kesadaran? Kau menghinanya, Martin!"

"Arrgghhhh!" Martin menjambak rambutnya sendiri, lalu meninju dinding hingga buku jarinya berdarah.

"Aku tahu aku salah, tapi aku juga tidak tahu kenapa aku melakukan itu, Erick!" teriaknya.

Erick menatapnya dan melihat kalau majikannya benar-benar frustrasi. Dia mengerutkan kening, dan mengamati Martin baik-baik.

"Martin, sebetulnya kenapa sampai kau harus membujuknya untuk tidur denganmu? Ada banyak wanita yang akan rela melakukannya bagimu, lalu kenapa harus Karin? Kenapa seorang pelayan yang biasanya bahkan tidak kau pandang sedikit pun?" tanyanya hati-hati.

Martin menatapnya dengan tatapan seolah tersesat. "Kau tanya aku? Aku sendiri tidak tahu Erick," jawabnya putus asa.

Erick terdiam, berpikir beberapa saat, lalu menarik napas. "Apa kau jatuh cinta pada Karin, Martin?" tanyanya hati-hati.

Martin mengangkat wajahnya dan menatap langit-langit ruangan. "Demi Tuhan, aku tidak tahu," jawabnya lemah.

Di balik pintu ruang kerja Martin, Brittany yang baru saja datang, sempat mendengar buntut percakapan itu. Dia mengerutkan kening. Karin? Bukankah itu nama pelayan yang membuat Martin terlihat aneh akhir-akhir ini karena seolah seluruh perhatiannya terfokus pada perempuan itu?

Sial! Setelah semua yang dilakukan Brittany untuk mendapatkan Martin, kini seorang pelayan malah membuat Martin berpaling? Tidak akan dia biarkan!

************************
Semalaman Karin menangis, menyesali kebodohan yang hampir dia lakukan, dan lebih dari itu, dia menangis karena perkataan Martin yang sudah menyakiti hatinya. Demi apa pun, dengan jujur dia mengakui, dia tertarik pada pria itu, dan dia yakin pria itu tertarik padanya dari segi fisik, bukan karena perasaan. Namun, itu tidak memberikan hak pada Martin untuk menghargai tubuhnya dengan uang bukan?

Karin sudah cukup merasa terhina dengan kecerobohannya, hingga hampir dia kehilangan mahkota yang sudah dia jaga selama ini. Lalu, kalimat Martin bukan hanya menghinanya, tapi juga menghancurkannya. Membuatnya merasa, jika sampai Martin menidurinya, maka alasannya hanyalah karena dia bisa dibeli, dan setelah itu dibuang. Itu kejam sekali.

Saking sedihnya, Karin sampai tidak bisa menghentikan air matanya yang mengalir sejak semalam, hingga Erickpun bertanya dengan khawatir kepadanya. Meski merasa jengah, tetapi karena pria baik hati itu memaksa, Karin pun bercerita juga. Hanya saja, dia tidak berani berharap Erick akan membantunya, mengingat Erick juga sama-sama seorang pegawai sepertinya.

Bagai sedang bermimpi Karin melakukan pekerjaannya setengah hati, dan dia tidak menyadari saat seorang wanita teramat cantik, tahu-tahu sudah berdiri di depannya.

"Ups, maaf." Karin berucap saat tak sengaja hampir menabrak wanita itu. Dia mengangkat wajahnya, dan matanya bertemu dengan mata hazel Brittany Scott yang dirias seperti mata kucing.

Brittany tersenyum tipis, dan entah kenapa Karin mendapat kesan kalau senyum itu tidak sampai ke matanya.

"Tidak apa-apa. Sir Martin di kamarnya?" Brittany bertanya.

Karin menggeleng. "Tidak, Miss. Sir Martin masih di kantor," jawabnya.

Brittany mengangguk anggun. "Baiklah. Aku akan menunggunya di sofa kalau begitu," katanya sambil berjalan ke sofa, lalu duduk.

Karin mendekatinya lalu bertanya. "Anda ingin minum sesuatu, Miss?"

Brittany mengangkat kepalanya, dan menarik bibir sinis. "Ya. Aku ingin scotch dan es, tapi kuharap orang lain yang memberikannya padaku. " Dia memberi tatapan menghina pada Karin, mulai dari kepala hingga kaki. "Orang lain yang lebih bersih darimu."

Karin mengerjap, dan untuk sejenak dia terpaku. Wajahnya terasa panas, dan dengan terpaksa dia mengulas senyum. "Tentu. Saya akan minta orang lain mengambilkan untuk Anda."

Dengan perasaan tersinggung yang dengan baik dia simpan, Karin menarik lorinya meninggalkan ruangan itu. Di luar ruangan dia bertemu dengan karyawan wanita lain, dan memintanya agar mengambilkan minuman untuk Miss Scott.

"Kenapa bukan kau sendiri yang melakukan?" Pelayan bernama Alma itu bertanya tidak senang.

Karin tersenyum meminta maaf. "Maaf, tapi Miss Scott tidak mau kalau aku yang melakukannya," jawabnya.

Alma mencebik, kemudian berlalu untuk melakukan yang diminta. Karin menghela napas. Entah kenapa, kelihatannya Alma benar-benar tidak menyukai dia. Padahal, Karin tidak pernah mengusik wanita cantik itu sedikit pun.

Berusaha tidak mengambil hati akan perlakuan Alma, Karin menyeret lorinya kembali menuju ke sayap bangunan khusus pelayan. Saat dia mengangkat kepala, dilihatnya mobil Martin yang sedang memasuki gerbang rumah. Karin menghela napas, lalu mempercepat langkah untuk menghindari pria itu. Sayangnya, Martin sempat melihatnya menghindar, dan tak diingininya, ada rasa teriris di benak Martin melihat gadis itu tidak ingin bertemu dengannya.


 

 

##CHAPTER 10. RUSTLING

"Kalung itu ada di dalam tasku, dan ingin kuperlihatkan padamu, Martin. Aku hanya meninggalkannya sebentar ke toilet, dan dia hilang!" Brittany berteriak histeris. Wajah cantiknya merah padam dan dia terlihat sangat marah.

Martin berdiri dengan tangan di pinggang. Ekspresinya terlihat frustrasi. Siapa yang tidak? Baru saja sampai dari tempat kerja, malah disuguhi kejadian seperti drama, Brittany yang mengatakan kalungnya hilang, dan menuduh dua pelayannya. Untung, Erick juga sudah ada di rumah dan dengan sigap langsung membantunya menenangkan perempuan itu yang tampakny sudah siap membunuh Karin.

"Oke ... oke ... kita sedang mencarinya, Britt. Kau jangan panik dulu, oke?" Martin menenangkan.

"Harus ketemu, Martin. Itu warisan nenekku, oke? Kau harus memeriksa dua pelayan itu, pasti salah satu dari mereka yang mengambil. Aku yakin! Mereka tampak mencurigakan, apalagi perempuan satu itu!" Brittany berkata dengan nada berapi-api, telunjuknya terarah pada Karin yang tertunduk tetapi kulit wajahnya terlihat merah karena menahan emosi.

Martin menghela napas. "Jangan sembarangan menuduh. Saat ini Erick sedang memeriksanya, oke?" katanya lelah. Sudut matanya melihat ke arah Karin dan merasa tak tega karena gadis itu terpojok.

Telepon berdering di atas meja, dan Martin bergegas berjalan menuju ke situ. Diangkatnya gagang telepon dengan kasar.

"Ya?"

Terdengar suara Erick yang murung di seberang sana. "Aku menemukannya di dalam lemari Karin, Martin."

Martin terpaku.

************************
"Saya tidak melakukannya, dan saya tidak takut jika harus dilaporkan ke polisi." Karin berkata pelan dengan suara bergetar tapi tetap tegas. Di sebelahnya, Alma mencibir.

Brittany membelalak. "Kau! Dasar pelayan lancang! Sudah jelas benda itu ditemukan di dalam lemarimu!" serunya emosional.

Karin menghela napas dan menatap Brittany lurus. "Saya tidak tahu kenapa benda itu bisa di kamar saya. Bukan saya yang mengambil, dan sampai kapan pun saya tidak akan mengakuinya."

Brittany berderap mendekatinya, lalu melayangkan tangan hendak menampar Karin, tapi dengan sigap Martin menangkap tangan itu.

"Oke, cukup, Britt. Aku ambil alih dari sini," katanya tenang. “Kau pasti tidak ingin jatuh dalam tindakan penganiayaan tenaga migran, bukan?”

Brittany menatapnya. "Jangan cegah aku! Dia harus membayar perbuatannya, Martin!" sahutnya pedas.

"Jika dia melakukannya, maka dia akan membayar perbuatannya di penjara. Tapi, sebelum itu, Erick akan memeriksa rekaman CCTV dulu untuk memastikan siapa pelaku sebenarnya."

Keterkejutan tampak di wajah Brittany. "Rekaman CCTV? Oh...."

"Sekarang pulanglah, aku akan membereskan semua."

Brittany menelan ludah. Beberapa saat dia memandang berkeliling, lalu menegakkan tubuhnya. "Baiklah. Tolong pastikan semua terungkap, dan perempuan ini harus masuk penjara," katanya angkuh.

Martin mengangguk, lalu meraih mantel Brittany. Dengan lembut dia membantu Brittany bangkit, dan memakaikan mantelnya, lalu mengantarkan wanita itu sampai pintu. Brittany masih sempat melemparkan tatapan penuh kebencian pada Karin, sebelum menghilang di balik pintu.

Martin tercenung sejenak di dekat pintu, sebelum berbalik dan menghampiri Karin yang masih berdiri kaku di tempatnya.

"Ada yang ingin kau katakan, Karin?" Martin bertanya.

Karin mengangkat dagunya. "Tidak, Sir," jawabnya. Pelan dan tegas.

Martin menatapnya. "Kau bisa dipenjara karena ini, kau tahu?" suaranya terdengar gamang.

Karin mengerjapkan matanya yang mendadak basah. "Saya tahu, tapi tetap, saya tidak melakukannya," katanya dengan penuh keteguhan.

Martin masih menatapnya lama, lalu menghela napas. Dia menoleh kepada Alma dan menyuruhnya pergi, meninggalkan ruangan itu. Meski sekilas dia sempat melihat Alma yang tampak linglung, berbeda sekali dengan saat awal yang sepertinya yakin kalau Karin akan dinyatakan bersalah. Perempuan itu malah sempat melihat sekeliling, dan itu membuat Martin curiga.

Hening selama beberapa saat, sebelum kemudian terdengar langkah mendekat disusul kehadiran Erick yang datang dengan membawa sebuah tablet. Tatapannya tajam kepada Martin, membuatnya mengerti dan mengangguk.

“Karin, kembalilah ke kamarmu dan tunggu di sana. Jangan berpikir untuk melarikan diri karena itu akan lebih menyulitkanmu,” katanya kepada Karin.

Karin mengangguk lemah dan beranjak. Dia memandang pada Erick yang memberinya anggukan, dan sebuah harapan terbit di benaknya. Semoga Erick bisa membantunya. Dia tidak bersalah, Erick pasti percaya kepadanya.

*****

“Sudah kau periksa?” tanya Martin kepada Erick yang sedang menggulir di tablet.

Erick mengangguk. “Sudah,” jawabnya. “Sebentar kutunjukkan.”

Martin berkacak pinggang. “Untunglah kita memasang CCTV rahasia tanpa setahu siapa pun, terima kasih pada kewaspadaanmu, Erick.”

Erick mengerutkan kening sambil memeriksa tampilan rekaman CCTV di tablet. “Itu karena kau sering mengomel soal pencurian dan berujung salah tuduh, makanya aku mengambil tindakan ini.”

“Aku benci pencuri, kau tahu itu.”

“Ya, aku tahu. Coba kau lihat ini.” Erick menyodorkan bagian rekaman di mana seseorang sedang mengambil sesuatu dari tas Brittany.

Martin mengerutkan kening. “Itu bukan Karin,” ujarnya ragu.

Erick mengangguk. "Benar, ini Alma. Pelayan yang sama-sama dituduh oleh Nona Scott.”

Tanpa sengaja, Martin mengembuskan napas lega. Dia senang sekali karena bukan Karin yang melakukan perbuatan paling dibencinya itu, mencuri. Meski ragu, tadi dia sempat terpengaruh oleh Britt karena bagaimanapun, wanita itu adalah sahabatnya dan Karin baru saja dikenalnya—meski, telah membuatnya jatuh hati. Kini, setelah jelas kalau Karin sama sekali tidak bersalah, tentu saja dia merasa lega. Namun, dia mengetatkan rahangnya saat menyadari satu hal. Ternyata memang terjadi pencurian.

“Kalau pelayan yang satu itu yang mencuri kalung Britt, bagaimana kalung itu bisa ada di lemari Karin?” gumamnya.

Erick tercenung. “Kurasa, wanita itu meletakkannya di lemari Karin untuk memfitnahnya," tebaknya.

Martin mengertakkan giginya marah. "Kurang ajar sekali! Bagaimana bisa pikirannya sejahat itu? Proses dia, Erick. Pastikan dia membusuk di penjara," perintahnya.

Erick tampak ragu. "Tunggu, Martin. Kita harus tahu dulu kenapa dia memfitnah Karin. Pasti ada alasan yang membuatnya melakukan itu," katanya.

Martin menatap penuh amarah. "Aku tidak peduli. Dia merusak nama perempuan yang aku pedulikan, maka dia harus membayarnya," tukasnya.

Erick balik menatap Martin. "Masalahnya, aku merasa kalau kejadian ini tidak sesederhana itu! Aku yakin Ms. Scott juga terlibat," katanya berkeras.

Martin menatap Erick dengan mata memicing. "Apa maksudmu, Erick?" tanyanya dengan nada tidak suka.

Erick menghela napas. "Semua wanita yang dekat denganmu selalu mengalami hal yang sama. Kesialan. Termasuk Kate."

"Erick, apa kau coba mengatakan kalau sahabatku, Britt, ada di belakang semua ini?"

Erick mengangguk, ekspresinya penuh tekad. "Dia menyebabkan pertengkaranmu dengan Kate, hingga Kate emosi dan terjadilah musibah kecelakaan. Dia juga membuat Pamela Andrews trauma hingga meninggalkanmu. Bukan hanya itu, dia juga menyingkirkan siapa pun yang terlihat terlalu dekat denganmu, termasuk sekretarismu hingga mau tak mau kau menyewa sekretaris pria. Dan kini, Alma memfitnah Karin, sedangkan kau sangat membenci pencuri. Untuk apa Alma membuatmu membenci Karin?"

Martin tercenung. "Aku tahu kadang Britt memang ... keterlaluan. Tapi..."

"Buka matamu, Martin. Logika sederhana saja, apa mungkin Alma tahu Ms. Scott membawa sesuatu yang berharga kalau tidak diberi tahu? Kau lihat sendiri, Ms. Scott sempat berbicara dengan Alma sebelum pergi ke kamar mandi, dan Alma kemudian mengambil kalung itu tanpa mencari-cari dulu, seolah-olah sudah tahu kalung ada di mana. Ms. Scott terlibat, aku yakin. Apa kau akan biarkan Karin mengalami hal buruk hanya karena perempuan itu tidak suka kau memberinya perhatian lebih? Aku tahu kau menyukai Karin, Martin.”

Martin tercenung. Penjelasan Erick masuk akal dan tak terbantahkan. Tentu saja dia tidak ingin sesuatu terjadi pada Karin, untuk pertama kalinya dia sungguh-sungguh jatuh cinta, dan dia tidak akan melepaskan cintanya demi apa pun. Bahkan untuk Britt, wanita yang dulu pernah menjadi obsesinya.

"Baiklah, Erick. Kau benar. Lakukan apa pun yang perlu. Tapi jangan biarkan apa pun terjadi pada Karin," putusnya.

Erick mengangguk. "Pasti. Aku akan melakukan apa pun, Martin. Tapi … katakan satu hal, apa kau mengaku menyukai Karin seperti dugaanku?" Dia mengangkat alis, jenaka.

Martin tertegun, mencoba meraba hatinya. Apakah dia menyukai Karin? Sudah jelas, malah mungkin lebih dari itu.Dia hanya perlu memastikan sesuatu.


 

 

##CHAPTER 11. RECONCILLIATION

Karin memasuki ruang kerja Martin dengan perasaan campur aduk. Saat tadi Erick memberi tahu kalau sang majikan memanggilnya, Karin sudah menyiapkan diri untuk kemungkinan terburuk sekalipun. Dia sadar, sebagai pekerja migran posisinya tidak menguntungkan, apalagi barang bukti kejahatan ditemukan di tempatnya. Namun, apa pun yang terjadi, dia akan tetap berpegang pada apa yang dia tahu benar.

“Anda memanggil saya, Sir?” tanyanya kepada Martin yang duduk di kursinya.

Martin mengangguk, menatap gadis Asia yang kini berdiri di tengah ruangan itu dengan intens. “Bagaimana perasaanmu?” Dia balik bertanya.

Karin termangu. Kenapa sang majikan malah menanyakan itu? Oh, jangan-jangan Martin bertanya itu karena sedang mengukur kesiapan Karin menghadapi polisi. Berat, dia menghela napas.

“Saya tidak baik-baik saja, Sir, tapi sampai kapan pun saya akan tetap mengatakan kalau saya tidak melakukan pencurian itu. Saya memang tak bisa membuktikan kalau saya tidak bersalah, tetapi tak masalah, yang penting saya tahu hati nurani saya bersih.”

Tatapan Martin meredup. Ekspresinya terlihat lega dan dia bangkit, lalu perlahan mendekat dan berdiri di depan Karin. Beberapa saat dia menatapnya, kemudian meraih tangan Karin dan meremasnya. Terkejut, Karin balik menatapnya.

“Syukurlah kau masih tetap tegar dan tidak mudah diintimidasi, My Karin. Aku sempat cemas kau akan hancur dan merasa sedih sampai tidak mampu bertahan dengan kebenaranmu,” katanya lembut.

Karin mengerjap tidak mengerti. “Sir … apa maksud Anda?”

Martin tersenyum. “Aku tahu kalau kau tidak bersalah, My Karin. Erick sudah memastikannya untukku.”

Karin termangu. “Maksud Anda?”

Martin merapikan helaian rambut yang jatuh di pelipis Karin dan menyelipkannya di belakang telinga gadis itu. suaranya terdengar begitu lembut saat bicara. "Aku belum minta maaf padamu untuk kesalahanku kemarin," katanya, mengubah topik pembicaraan.

Karin makin bingung. "Sir?"

“Tentang kejadian tempo hari, saat aku mencumbumu dan mengatakan kalimat yang telah menyakiti hatimu. Karin, aku sungguh menyesal. Aku tidak bermaksud mengatakannya, tetapi, tidak sengaja sekalipun, itu tetap salah. Maafkan aku.” Martin menatap tepat ke matanya, membuat Karin mampu melihat kalau pria itu betul-betul menyesal.

Untuk beberapa saat Karin terdiam, tak tahu harus mengatakan apa, dan dia menahan napasnya saat Martin menariknya ke dalam pelukan.

"Aku tidak pernah berniat melecehkanmu, apalagi menganggapmu pelacur. Tidak sama sekali. Aku hanya merasa kehilangan diriku sendiri tiap kali kau ada di sekitarku. Aku gila setiap kali melihatmu bersama pegawai laki-laki itu, dan ketika berada berdua denganmu saja, yang kuinginkan hanyalah memelukmu, memilikimu, dan menjadikanmu bagian dari diriku sepenuhnya. Katakan aku tidak waras, katakan aku bodoh, tapi kau sudah mencuri kewarasanku, sejak bokong mungilmu itu bergoyang didepanku untuk pertama kalinya."

Dalam pelukan Martin, Karin merasakan wajahnya memanas. Kedua tangannya terapung di udara, gamang tak memiliki pegangan.

Martin mengeratkan pelukannya. "Karin ... My Karin, aku begitu ingin memilikimu, apakah aku salah? Katakan padaku. Apakah aku salah?" tanyanya.

"Sir .... " suara Karin tersekat. "Anda membuatku tidak bisa bernapas."

Martin tertegun dan tersadar. Dia merenggangkan pelukan, tapi tidak melepaskan Karin. "Maaf," ucapnya.

Karin mengangkat kedua tangannya, lalu meletakkannya di dada Martin. Mendorongnya sedikit hingga memberi jarak bagi tubuh mereka. Berat Karin menghela napas, dan tindakannya itu membuat dadanya menekan dada Martin yang merasakan setiap sel di tubuhnya begitu mendamba.

"Sir ... Anda sudah berjanji pada Ms. Scott untuk memastikan siapa pencuri kalungnya," Karin mengingatkan. Berusaha tidak teralihkan dari masalah yang sebenarnya. Kenapa tiba-tiba Martin malah membicarakan masalah kejadian itu?

Martin menatapnya. "Oh... tentang pelaku pencurian itu. Aku dan Erick sudah menemukan pelakunya. Kau jangan khawair," katanya penuh keyakinan.

Karin menatapnya dengan mata membesar. “Benarkah? Syukurlah.”

“Ya. Tapi, ada satu hal yang perlu kukatakan soal pencurian lain di rumah ini, Karin. Kali ini aku merasa yakin, kau pelakunya.”

Karin termangu. "Apa maksudmu, Sir?"

"Ya, kau pencuri, My Karin. Pencuri hatiku, pikiranku, kewarasanku, dan hasratku ... kau mencuri semuanya hingga tidak tersisa sedikit pun."

Karin kehilangan kata, dan wajahnya memerah mendengar perkataan Martin. Saat itulah Martin yakin, dia sudah punya jawaban untuk pertanyaan Erick. Dia menyukai … bukan hanya itu, dia jatuh cinta pada Karin.

Lembut dia memegang dagu Karin, lalu mendongakkan wajahnya. Kemudian dia menunduk dan memagut bibir Karin yang masih bengkak sisa cumbuannya kemarin.

Karin membeku. Bibir Martin yang lembut dan hangat, menekuni bibirnya dengan cara berbeda dengan sebelumnya. Kali ini Martin begitu lembut, begitu hati-hati, dan sepertinya ingin menunjukkan pada Karin apa yang dirasakannya untuk gadis itu. Karin pun memejamkan matanya saat dirinya semakin terbuai oleh kelembutan Martin. Tenggelam dalam hasratnya hingga kemudian dia kehabisan napas, dan mendorong Martin sedikit untuk melepaskan diri.

"Sir.... " dia berujar di antara sengal napasnya. "Kita tidak boleh...."

Martin menariknya dalam pelukan kembali, dan membenamkan wajah gadis itu di dadanya.

"Sstt ... kumohon. Biarkan aku merasakanmu, My Karin."

"Tapi, Sir...."

"Jangan menolakku. Kumohon. Aku menginginkanmu. Aku ingin menjadi kekasihmu."

"Sir ... aku pelayanmu, dan aku orang asing."

Martin melepaskan pelukannya mendengar kalimat Karin itu.

"Itu bukan masalah bagiku, asal kau menerimaku." Martin berkata sungguh-sungguh sambil memegang bahu Karin. "Katakan padaku, My Karin, apakah kau menginginkanku seperti aku menginginkanmu?" tanyanya dengan mata menatap langsung ke mata Karin.

Karin mengerjap. "Kenapa kau menginginkan aku, Sir? Ada banyak wanita yang bisa kau dapatkan, tapi aku...."

Martin memegang kedua pipinya, memaksa Karin agar menatap matanya juga.

"Karena aku hanya jatuh cinta padamu, My Karin. Bukan wanita lain. Jadi, maukah kau menerimaku?" ucapnya penuh kesungguhan.

Karin mengerjap. "Sir?"

Martin kembali memagut bibirnya yang manis dan membuat Karin terbuai lagi. Memanjakan bibir lembut yang telah diperawani olehnya, dan telah dipastikan hanya akan menjadi miliknya, hingga lagi-lagi gadis itu kehabisan napas dan melepaskan diri.

"Sir...."

"Martin, My Karin. Kau boleh menyebut namaku sekarang. Bukan Sir, tapi Martin. Kekasihmu, dan laki-laki satu-satunya untukmu. Karena aku akan memastikan kau tidak akan bisa lepas dariku."

Wajah Karin kembali memerah. "Tapi Sir…."

Martin memegang dagunya lagi. "Martin. Katakan, Sayang, Martin."

Karin mengerjapkan matanya dan wajahnya tersipu makin parah. "Martin ... aku...."

"Katakan kau menerimaku. Katakan kau adalah kekasihku, dan aku kekasihmu."

"Aku... aku...."

"Kumohon."

Mata coklat Karin menggelap, dan dia mengerjap beberapa kali.

"Aku...."

Martin memusatkan perhatiannya pada manik hitam di iris coklat itu.

"Kau menginginkanku, My Karin? Ya atau tidak?"

"Uhm...."

"Ya atau tidak?"

"Uh ... ya."

Bibir jantan tetapi lembut milik Martin tidak menunggu untuk kembali menggumuli bibir hangat yang begitu manis milik Karin, saat mendengar jawaban jujurnya. Ketika pria itu melepaskan pagutan dengan sedikit menarik bibir bawahnya, wajah Karin sudah seperti udang rebus karena merahnya.

"Bibirmu akan selalu menjadi candu bagiku, My Karin. Dan aku akan memastikan kau selamanya akan merasakan bibirku sebagai candu bagimu," bisik Martin di bibir Karin.

Karin tertunduk. Demi apa pun, perkataan Martin benar-benar membuatnya melayang tinggi sekali.

"Sir...."

Martin menatapnya penuh teguran, membuat Karin kembali tersipu.

"Uhm, Martin, aku senang kau percaya padaku, tapi, apa yang akan kau katakan pada Ms. Scott? Kurasa, dia yakin sekali kalau aku mencurinya, dan aku takut dia tidak percaya pada fakta sebaliknya,” katanya penuh kekhawatiran.

Martin menatapnya dengan tatapan lembut. "My Karin, jangan khawatirkan tentang itu. Itu urusanku dengan Britt, okay? Kau duduklah diam dan tunggu sampai aku membereskan semua."

Karin merasa hatinya hangat. "Ah Martin. Terima kasih," ucapnya, lalu mengeratkan pelukannya di tubuh kekar Martin.

Martin tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia merengkuh Karin dengan segenap perasaannya, dan kembali menciumnya dengan ciuman yang lebih lama, lebih dalam, dan lebih panas.

Sekarang tinggal membereskan masalah dengan pencuri sebenarnya, dan juga Britt. Kalau perempuan yang selama ini dia anggap sahabat itu memang ada di belakang Alma, maka Martin tidak akan ragu lagi.

*******

Erick yang masih sibuk menekuni tabletnya, mengangkat kepala saat Martin memasuki ruangan bersama dengan Karin yang tampak malu-malu. Jail, dia tersenyum menggoda. "Jadi, kalian sudah berdamai?" tanyanya.

Martin tersenyum lebar, dan menoleh kepada Karin. "Tentu. Aku memintanya menjadi kekasihku, dan dia menerima," jawabnya bahagia. Karin tertunduk di sebelahnya.

Erick tertawa senang. "Apakah kau sudah menemukan jawaban dari pertanyaanku?"

Martin mengangguk yakin. "Ya. Aku jatuh cinta pada Karin, Erick."

Erick tersenyum. "Ah, sudah kuduga. Aku senang sekali. Kalian berdua memang adalah pasangan yang sangat cocok.”

“Terima kasih.” Martin menghela Karin dan menyuruhnya duduk. “Kau sudah memanggil perempuan itu dan suaminya?”

Erick mengangguk. “Sudah. Sebentar lagi mereka datang, itu dia….”

“Kalau begitu, langsung saja, Erick.”


 

 

##CHAPTER 12. CLARIFICATION AND WARNING

Karin mendengarkan penuh simpati saat Alma menyelesaikan ceritanya. Wanita itu ternyata istri Didi, dan sejak melihat Didi yang bersikap begitu manis pada Karin di hari pertama kerja, Alma merasa sangat cemburu. Dia marah pada Didi dan menolak untuk memberikan kesempatan pada Didi untuk bicara. Dia juga memupuk kebencian pada Karin, terlebih dia terus melihat bagaimana suaminya dan Karin terlihat makin akrab. Itulah sebabnya dia mengaku kalau dia menyukai laki-laki lain hanya untuk menyakiti Didi, dan dia bersedia disuruh Brittany untuk menjebak Karin supaya Martin memecatnya.

"Aku marah sekali sampai tidak terpikir kalau mungkin saja kau tidak bersalah Karin. Aku sama sekali tidak berpikir jernih, karena dulu Didi pernah secara tak sengaja menyakitiku hingga aku trauma," katanya sambil menangis. Didi yang duduk di sebelahnya, mengusap punggungnya penuh sayang.

"Maafkan aku Alma, dulu aku memang salah. Aku tidak akan menyalahkanmu jika ingin membalasku." Didi berkata sedih.

Alma memeluknya dan menangis di dada Didi.

Karin merasa terenyuh. "Tidak apa, Alma. Aku memaafkanmu. Kamu cuma salah paham."

"Dia akan tetap masuk penjara." Suara dingin Martin memotong percakapan itu. "Siapa pun yang melakukan kejahatan seperti itu harus membayar dengan setimpal, My Karin."

Didi dan juga Alma saling berpandangan mendengar panggilan Sir Martin Casey yang biasanya begitu angkuh pada Karin. Mereka menatap Karin dengan tatapan bertanya, lalu Alma meluruh, dan kembali menangis.

"Aku memang salah. Aku pantas dipenjara," katanya sambil sesenggukan.

Karin menatapnya tak tega. Apalagi saat Erick kemudian meminta Alma pergi untuk menyerahkan diri pada polisi, dan Didi mengikutinya dengan sedih.

Beberapa saat hening. Ragu, Karin bangkit dan mendekati Martin yang duduk dengan anggunnya sambil memandangnya dengan tatapan menggoda. Karin berdiri di depannya, lalu menelan ludah.

"Sir... Martin, bisakan kau maafkan dia? Kasihan dia, menurut Didi mereka punya anak, kasihan anaknya juga," pintanya. “Aku sedih sekali kalau dia dihukum. Kumohon?”

Martin menaikkan satu alisnya. "Tentu aku bisa menolongnya kalau aku mau, My Karin. Tapi, apa yang aku dapat jika melakukan itu?" tanyanya dengan mata bersinar licik.

Karin meneguk ludah. "Aku ... memangnya kau mau apa, Martin?" Ia balik bertanya, ragu.

Martin menatapnya. "Aku mau dirimu," jawabnya dengan suara mantap.

Karin menelan ludah lagi. "Uhm ... tapi….”

Martin mengulurkan tangannya, meraih tangan Karin lalu menariknya hingga jatuh di pangkuan. Dengan gesit Martin mengubah posisi Karin yang tadinya menyamping jadi menghadapnya dengan kedua kakinya yang terbuka, membuat rok gaunnya tersingkap hampir mengekspos seluruh kulit pahanya yang kuning langsat. Panik, Karin menarik-narik roknya, tapi Martin meraih wajahnya dan menciumnya dengan buas.

Sejenak Karin terlupa pada roknya yang tersingkap, dan tangannya berpegangan erat di lengan Martin yang keras. Ciuman Martin kembali membuatnya melayang hingga melupakan sekelilingnya, dan Martin tidak menyia-nyiakan keadaan itu. Dia meraup rakus bibir Karin yang benar-benar telah menjadi candu baginya, melumatnya seperti tidak akan ada hari esok, dan menyentuh setiap bagian tubuh yang bisa disentuhnya. Bisa dirasakannya Karin mengerang saat dia meremas gumpalan kenyal di dada gadis itu, dan Martin menyeringai bangga di bibir Karin.

"Tunggulah sebentar, My Karin. Aku akan menyelesaikan semua dan tidak akan ada lagi yang membuatmu bersedih," bisiknya serak. “Tapi, setelah itu aku mau kau menjadi milikku selamanya.”

Karin membeku, dia menjauhkan diri sedikit, dan melihat kesungguhan di mata tajam itu. Air mata haru merebak begitu saja, dan dia mengangguk.

Martin pun kembali mencium gadis itu dengan gemas.

*****

"Aku tidak mengira kau bisa melakukan hal serendah itu, Britt. Aku tahu kau dangkal, tapi tidak tahu kalau sedangkal itu." Martin berkata dingin pada Brittany yang menatapnya dengan wajah pura-pura tak bersalah.

"Aku sama sekali tidak mengerti maksudmu, Martin." Brittany menyahut, meski dengan suara tak yakin.

Martin menatapnya tajam.

"Tidak mengerti? Membayar salah satu pegawaiku untuk memfitnah orang lain. Apa maksudmu? Di mana akal sehatmu? Kau pikir aku tidak akan mengetahuinya?" semburnya pedas.

"Itu tidak benar! Aku...."

"Aku punya semua bukti yang diperlukan untuk mengirimmu ke penjara, Britt. Semua bukti kalau kau telah membayar Alma untuk memfitnah Karin."

Brittany terdiam. Beberapa saat ada kegalauan berkecamuk di wajah cantiknya, sebelum kemudian ekspresinya berubah menjadi angkuh. "Oh ya? Kau punya bukti katamu? Katakan padaku, Martin. Apakah kau percaya aku akan melakukan hal begini pada seorang pelayan? Jangan menyanjung pelayanmu terlalu tinggi!" katanya sinis.

Martin menatapnya. "Ya. Aku percaya. Kau wanita yang bisa melakukan apa pun, sayangnya caramu kali tidak bisa kutoleransi lagi," balasnya tak kalah dingin.

Brittany ternganga. "Apa maksudmu, Martin?" tanyanya dengan suara melengking.

Martin mendekatinya, lalu menaunginya dengan tubuhnya yang tinggi besar, membuat Brittany mampu merasakan kemarahan yang menguar dari sikap tubuh pria itu.

"Aku tahu apa yang kau lakukan pada Pamela, pada Brianna, dan beberapa perempuan lain yang dekat denganku. Aku juga tahu apa yang kau lakukan pada Kate sebelum dia meninggal, dan kali ini aku muak. Perbuatanmu pada Kate tidak termaafkan, tapi aku tidak bisa sepenuhnya menyalahkanmu karena aku juga bersalah di situ. Aku terpancing olehmu. Tapi … kali ini tidak lagi."

Brittany terperangah. "Kau menuduhku dengan itu semua? Aku tidak...." bantahannya tak selesai karena Martin menukas.

"Diam! Tidak usah menyangkal, karena kenyataannya aku punya bukti untuk semua. Tapi untuk sekarang, aku pastikan padamu, aku tidak akan berdiam diri jika kau sedikit saja mengusik Karin. Aku akan pastikan kau menyesal," Martin mengancam dengan suara rendahnya yang mengerikan.

Brittany mengerjap beberapa kali.

"Kau mengancamku? Kau mengancamku demi seorang pelayan asing?" tanyanya dengan suara bergetar.

"Ya." Martin menjawab tenang. "Karena aku mencintai pelayan wanita asing ini. Aku tidak akan membiarkannya merasa tidak nyaman sedikit pun karenamu."

Air mata menyembul di pelupuk dengan iris hazel nan indah itu. Wajah Brittany memucat dan bibirnya bergetar saat bicara.

"Kau mencintaiku, Martin. Kau hancur saat aku menikah dengan Andrew.... kau membalasku dulu dengan menikahi Kate, tapi kini kita sama-sama bebas. Kecuali jika kau memperhitungkan rasa bersalahmu yang konyol itu pada Kate! Kau mencintaiku, dan aku siap untuk mencintaimu juga, Martin! Jangan balas aku lagi dengan kekonyolan soal pelayan ini!"

Martin menatapnya datar. "Maaf mengecewakanmu, Britt. Aku tidak pernah mencintaimu. Kau hanya obsesi masa mudaku. Masa ketika aku masih bodoh dan suka bersaing," katanya dingin.

"Itu tidak benar! Kau hanya tidak bisa menerima kalau aku sempat meragukanmu. Kau mencintaiku, Martin. Aku tahu itu." Brittany berkeras. Wajahnya benar-benar menyedihkan dengan air mata berlinang yang melunturkan maskaranya hingga menimbulkan aliran berwarna hitam di pipinya.

Martin menghela napas. "Tidak, Britt. Mundurlah, aku tidak ingin menghinamu, tapi tidak segan melakukannya jika kau mengusik Karinku. Mengerti?"

Selesai mengatakan itu Martin memutar tubuhnya dan meninggalkan Brittany yang luruh di kursinya sambil mengertakkan gigi karena marah. Setelah beberapa saat berkubang dalam kemarahan, dia sadar, Martin serius. Dan jika dia ingin selamat, maka dia harus menjauh dari Karin, musuhnya.

"Aarrrggh...! Sial kau pelayan berengsek!" teriaknya, merasa kalah.



 

 


 

##CHAPTER 13. I LOVE YOU MRS. CASEY! END

Martin melihat Karin sedang melakukan kegiatan favoritnya saat dia tiba di rumah. Membersihkan rak buku. Dia geli sendiri melihat bokong mungil Karin yang memang bergoyang tiap kali sedang bekerja, dan yang paling lucu adalah saat dia sedang berurusan dengan rak buku. Terkadang Martin sampai bingung sendiri, apakah dia harus cemburu dengan benda mati seperti rak buku?

Perlahan, tanpa terdengar, dia melangkah mendekati Karin. Lalu tiba-tiba dia menarik tubuh Karin hingga membentur tubuhnya sendiri, dan membuat gadis itu memekik kaget.

"Jika ada yang ingin kau buat orgasme, maka itu aku, My Karin. Jangan rak buku." Martin berbisik serak di telinga Karin, sebelum kemudian menggigit lembut daun telinganya.

Karin merinding dan berusaha melepaskan diri, tapi tubuh mungilnya tidak berdaya melawan Martin yang bahkan untuk ukuran orang Inggris besar dan tinggi. Tentu saja tidak berpengaruh sedikit pun, dan Martin tertawa geli melihat kelakuannya.

"Ish ... Sir, tolong lepaskan." Karin mencoba mengurai lilitan lengan Martin di pinggangnya.

"Sir?" Martin mengulang.

Wajah Karin memanas. "Maaf ... Martin."

Martin mengurai rangkulannya hanya untuk membalik tubuh Karin. Dengan tubuh besarnya dia mendesak Karin hingga gadis itu terpaksa menempel di rak buku. Lembut Martin menelusuri pipinya dengan punggung telunjuk, sementara satu tangannya bertumpu di rak, di atas kepala Karin.

"Ada apa antara kau dan rak buku? Kenapa kau begitu bergairah saat sedang membersihkannya, hingga aku merasa cemburu karenanya, hm?" Martin berbisik lembut.

Karin tertunduk malu. "Aku menyukai buku," jawabnya jujur.

Martin menyentuh dagunya, membuatnya mendongak hingga mata mereka bertemu.

"Kau suka buku? Kukira kau suka aku," godanya.

Wajah Karin memerah, membuat Martin gemas dan menunduk untuk mencium lembut bibirnya.

"Gadis mungilku yang cantik, selalu tersipu untuk apa pun, membuatku sungguh berharap bisa membuka semua pakaianmu saat ini juga dan melihat apakah kau memerah di sekujur tubuhmu," bisik Martin di bibir Karin.

Karin tersurut malu seperti seekor siput yang menarik diri ke dalam cangkangnya. "Kenapa kau harus selalu bicara tentang itu. Aku...."

"Kenapa? Apa kau tidak ingin melakukan hal yang sama? Membuka pakaianku dan melihat apa yang bisa dilakukan oleh setiap otot di tubuhku padamu?"

Wajah Karin makin memerah. "Uhm...."

Martin terkekeh. "Percakapan tentang sensualitas bukan hal yang biasa kau lakukan, ya?" tanyanya sambil mengambil sejumput rambut Karin, lalu memilinnya dengan jari.

Karin tersipu dan mengangguk.

Martin menatapnya lama. "Apa kau memercayaiku sekarang, My Karin? Bahwa aku akan memperlakukanmu dengan baik?" tanyanyà.

Karin mengerjap, lalu mengangguk.

"Apakah kau mau menyerahkan dirimu padaku, membiarkanku membuatmu bahagia, dan meraih puncak kepuasan?"

Karin mengerjap lebih cepat. "Aku ... aku ... belum, belum bisa memberikan diriku padamu, Martin," katanya gugup.

Martin berkedip. "My Karin, kenapa?"

"Aku ...." Karin memberanikan diri menatap Martin. "Aku hanya bisa menyerahkan diriku pada suamiku. Rasanya tidak adil jika aku tidak menjaga kesucianku untuknya, maaf."

Martin menatapnya. "Apa kau mengatakan, aku hanya bisa mencintaimu, memberimu kepuasan, membuatmu orgasme lagi dan lagi dan lagi, hanya jika aku menikah denganmu?" tanyanya dengan suara rendah.

Karin mengerjap. "Aku ... aku tidak akan memintamu melakukan apa yang tidak kau mau," katanya cepat.

Martin menatap manik matanya. "Begitukah? Lalu kau akan memintaku melakukan apa, My Karin? Melepaskanmu?"

Tak diingininya, wajah Karin berubah murung. "Kalau itu yang jadi keputusanmu."

Martin memegang rahangnya dengan sedikit keras, lalu melumat bibirnya dengan penuh emosi. Hingga Karin bahkan bisa merasakan asin darah di antara liurnya. Pasti ada bagian mulutnya atau mulut Martin yang tergigit saking bernafsunya Martin melumat bibir bahkan seluruh bagian mulut Karin. Hingga saat akhirnya Martin melepaskan pagutan, Karin sampai megap-megap kehabisan napas.

"Aku tidak akan melepaskanmu, My Karin. Tidak setelah kau mengobrak abrik hidupku, mengerti?" Ia berkata mengancam.

“Tapi ….”

“Menikahlah denganku. Aku akan memberikan segalanya untukmu, Karin.”

Karin mengerjap cepat, untuk sejenak tidak tahu harus bicara apa. Namun, Martin tidak membiarkannya terus menerus ragu. Dia kembali melumat bibir Karin yang harus rela membiarkan Martin mengklaim mulutnya sebagai miliknya seorang.

*********************

"Ibu, ayah, dan adikmu akan baik-baik saja. Pengacaraku sudah mengurus semua dengan baik." Martin berkata sambil meletakkan jasnya di gantungan.

Karin berbalik dari posisinya yang semula sedang melihat keluar jendela.
Wajahnya terlihat murung.

"Mereka sempat marah karena aku tidak meminta restu lebih dulu pada mereka sebelum memutuskan menikah," katanya.

Martin menghampiri dan memeluknya.

"Jangan khawatir. Mereka pasti mengerti. Memang berat mengetahui kalau putri yang begitu mereka sayangi tidak akan selalu bersama mereka lagi, tapi kau sudah dewasa. Setiap keluarga pada akhirnya akan siap," hiburnya.

Dalam pelukannya Karin mengangguk. "Tapi … aku boleh kan sekali-sekali pulang untuk menjenguk mereka, Martin?" tanyanya.

Martin melepaskan pelukannya untuk menatap mata cokelat gelap Karin.

"Tentu saja boleh, My Karin. Mereka keluargamu. Kalau mereka mau, mereka bisa tinggal di sini," katanya lembut.

Karin tersenyum bahagia. "Terima kasih, Martin. Mereka mungkin tidak mau tinggal di sini, dan hanya akan berkunjung sesekali. Tapi terima kasih, kau baik sekali."

"Apa yang tidak akan kuberikan untukmu? Kau sudah memiliki semua dari diriku."

Karin tertunduk malu. Saat itu Martin meletakkan lengannya di punggung dan belakang lutut Karin, lalu menggendongnya dengan sangat mudah, hingga Karin terpekik. Tergesa-gesa, wanita mungil itu berpegangan di leher Martin agar tidak jatuh.

"Kau ringan sekali, My Karin. Ringan seperti bulu." Martin berkata sambil membawa tubuh Karin ke kamarnya.

Malu-malu Karin menyembunyikan wajahnya di dada Martin. Membuat Martin terkekeh.

"Tersipu seperti biasanya. Oh ... aku tak sabar ingin melihat rona itu di seluruh tubuhmu," bisiknya seksi.

Karin makin memerah, dan mencubit dada Martin yang keras, meski itu percuma. Otot-otot yang bertonjolan itu tidak bisa dicubit saking kerasnya. Martin malah makin terkekeh.

"Ah  My Karin. Kau membuatku makin penasaran. Harusnya kau letakkan tanganmu nanti di antara kakiku, bukan di situ, Sayang," godanya sambil menuju ke ranjang.

Karin memekik malu, dan mengeratkan pegangannya di leher Martin yang tertawa girang melihat kelakuannya. Lembut dia membaringkan Karin di ranjang, dan dia sendiri menaungi tubuh mungil itu dengan tubuhnya yang besar. Lembut disusurinya wajah Karin yang tersipu dengan ujung jarinya.

"Kekasihku yang manis, yang tidak memikirkan diri sendiri dan mencintai keluarganya lebih dari dirinya. Masih perawan di usia dua puluh tujuh, suci untukku sendiri. Sungguh aku sangat beruntung. Aku tidak sabar menerima cintamu di sekujur tubuhku ... menerima kelembutanmu di setiap sel yang melekat di tulangku, tapi aku takut akan menghancurkanmu. Apa yang harus kulakukan?" tanyanya lembut dan seksi.

Karin merasakan wajahnya panas, tapi sebuah dorongan yang kuat dari dalam dirinya membuatnya berani, dan dia menyentuh bibir Martin dengan jemarinya yang gemetar.

"Perlakukan aku dengan lembut, Martin," pintanya.

Martin tersenyum. "Apa pun untukmu, My Karin," sahutnya. Dia menunduk lalu memagut bibir merah jambu yang merekah dan selalu siap untuknya. Melumatnya hingga terpuaskan, dan mengulumnya hingga membengkak. Lidahnya menerobos masuk, dan dengan erotis menari bersama lidah Karin yang kini telah terbiasa, dan mampu mengimbangi setiap gerakannya. Membuat Martin dengan terpukau melepaskan dirinya karena kehabisan napas.

"Oh ... kau cepat belajar, Sayang," komentarnya kagum.

Karin menatapnya dengan wajah merah. "Dan kau sudah tua," sahutnya sambil menjilat bibirnya yang bengkak.

Martin mengangkat sebelah alisnya. "Oya? Mari kita lihat apa yang bisa dilakukan otot-otot tua ini padamu, Nyonya," godanya sambil menanggalkan kemeja yang dikenakan.

Karin meneguk ludah. Oh ... otot-otot yang indah itu, terlihat begitu keras, padat, dan warnanya seperti tembaga yang berkilat. Dan … semua itu miliknya!

"Suka melihat otot-otot tuaku, Nyonya?" Martin bertanya sambil melepaskan kancing celana panjangnya, lalu meloloskan celana berbahan mahal itu dari kedua kaki jenjangnya, menyisakan selembar bokser Calvin Klein putih yang tidak menyembunyikan apa yang disimpannya.

Wajah Karin memanas melihat Martin yang hampir telanjang dan begitu bergairah untuknya. Dia seperti terbakar saat pria setengah telanjang itu membungkukan tubuh untuk mencium bibirnya.

"Kau tahu, bibirku akan merasakan dirimu seluruhnya, My Karin. Aku mungkin sudah tua, tapi kau akan tetap takluk di antara kedua kaki orang tua ini," bisiknya serak.

Karin gemetar oleh antisipasi. Dia tahu tidak ada jalan kembali. Monster buas sudah dibangunkan, dan hanya dirinya yang bisa meredam kebuasan monster itu. Sedikit takut Karin bergeser, tapi tangan kuat Martin menahan tubuhnya.

"Oh, tidak My Karin, kau tidak akan kemana-mana sampai kau berteriak lagi dan lagi karena kepuasan," ancamnya dengan suara rendah.

Karin mengiba. "Kumohon ... aku ... takut."

"Sssst ... jangan takut. Kau tidak perlu takut." Sambil berkata begitu Martin mencium bibirnya. Memberikan ketenangan dan janji, sekaligus ancaman dan bahaya. Saat Karin terhanyut oleh gerakan erotis bibirnya, Martin meloloskan gaun pengantin putih Karin melalui kedua lengannya tanpa disadari Karin. Bahkan ketika Martin sedikit mengangkat pinggulnya untuk meloloskan gaun itu sebelum melemparnya entah ke mana.

Cumbuan, embusan napas memburu yang saling berkejaran, sentuhan di kulit yang telanjang dan basah oleh keringat, kecupan lembut tanpa henti, membuat Karin melambung dalam kenikmatan. Dia tak menyadari kalau sekarang sudah sepenuhnya tanpa batasan dengan pria tampan, yang dengan lembut menekuni tubuhnya, memberikan kepuasan yang belum pernah dirasakannya. Saat dia sepenuhnya siap, Martin berbisik lirih tapi bisa didengarnya

"Aku mencintaimu, Nyonya Casey.” Lalu menyatukan diri sepenuhnya dengan Karin.

TAMAT

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Diana - Sang Pemburu Badai: Bab 1-3
28
0
Ayahnya terbunuh saat sedang melakukan investigasi berita, dia sendiri mengalami kekerasan dan harus kehilangan tunangan yang meninggalkannya. Namun, Diana tak mau menyerah kalah. Dia meneruskan jejak sang ayah menjadi seorang jurnalis, tak peduli risiko pekerjaannya begitu besar.Saat menginvestigasi sebuah berita eksklusif tentang pelanggaran prosedur pelobian yang melibatkan suap seksual di gedung perwakilan rakyat, jatuh seorang korban. Diana pun sadar, ada kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang jauh lebih besar dari yang dia duga. Tangan tak kasat mata akan selalu berusaha menghalanginya mengungkap tabir rahasia gelap kekuasaan. Saat akhirnya dia menjadi begitu dekat, mereka yang terusik melawan balik. Bahaya pun mengancam bukan hanya keselamatannya, tapi juga orang-orang yang dia pedulikan.Bersama para sahabat, serta petugas polisi bernama Tyo yang mencintainya, Diana memilih untuk tidak menghindari badai yang datang. Dialah yang akan memburu badai itu lebih dulu.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan