Cinta The Series - Masih Cinta Pertama: Bagian Dua

45
1
Deskripsi

Apakah Rara punya perasaan yang sama dengan Panji? Atau ….

BAGIAN DUA

Rara menggores tanpa minat di tablet gambarnya, dan setelah beberapa saat dia mengembuskan napas keras. Hampir sebulan sudah  dia tidak mampir ke kafe Panji karena tersadar kalau perasaan suka yang dimilikinya sudah berkembang di tahap mengerikan. Dia begitu menyukai Panji sampai tidak tahan melihat pria itu bersikap ramah kepada perempuan lain, terlebih, kepada Vanessa.

“Hhhh ….” Tak sadar, embusan napasnya terdengar begitu keras sampai salah satu rekannya mendongak ingin tahu.

“Kenapa, Ra?” tanya Eva, rekannya itu.

Rara tergagap. “Eh … enggak. Emang kenapa?” Dia balik bertanya.

Eva memiringkan kepalanya, menatap Rara dengan penuh selidik. “Kayaknya lo galau banget ya? Kenapa, sih?” Nada suaranya terdengar penasaran.

Rara melepaskan pulpen stilusnya dan bertopang dagu. Tatapannya menerawang dan dia bicara seperti sedang mengigau. “Va, menurut lo, suka sama cowok sampek hampir selama lima tahun buat cewek seumur gue itu normal, enggak?”

Eva mengerutkan kening. “Elo suka sama cowok sampek lima tahun?”

Rara tergagap, lalu berdecak. “Jawab dulu dong,” ujarnya gemas.

Eva mendengkus. “Iya, gue jawab. Normal, ah, berarti namanya bukan sekadar suka, tapi udah cinta.” Dia mencondongkan badannya melampaui dinding rendah kubikel yang membatasi tempatnya dan Rara. “Lo jatuh cinta sama siapa?”

Rara buru-buru menggeleng. “Bukan gue, temen.”

Sebelah alis Eva terangkat. “Temen?” ulangnya, tak percaya.

Rara buru-buru mengangguk. “Iya, temen dari jaman sekolah,” sahutnya sambil mengalihkan pandangan ke tablet gambar dan kembali menggores-gores dengan serius.

Eva mengamatinya selama beberapa saat, sebelum kemudian bertanya. “Ra, lo jarang ke kafe Mas Panji sekarang?”

Rara mengulas senyum terpaksa. “Gue lagi enggak punya duit, Va. Nabung buat nikahan.”

“Siapa mau nikah?” Eva keheranan.

“Guelah! Masa emak gue?”

Eva langsung berdecak. “Woles dong! Lebay lo!”

Rara mendengkus.”Bawel sih, lo!”

“Lo yang enggak jelas. Tetiba ngomong mau nikah, emang udah ada yang mau nikah sama lo?”

Wajah Rara langsung mendung. “Belum ada. Orangnya malah enggak nyadar kalo gue udah kebelet kawin, jadi belum bisa gue ajak ke KUA.”

Eva langsung cengengesan. Dasar cewek enggak jelas, kalau bicara asal bunyi, dan kalau sudah begitu, akhirnya bingung sendiri. Begitu deh Rara.

*****

Rara menghela napas berat. Total sudah dua bulan dia tidak mampir ke kafe Panji, berharap bisa menyingkirkan rasa sukanya kepada pria itu. Tapi, hari ini dia sudah mencapai batasnya. Dia rindu Panji, rindu senyumnya yang manis dan sikapnya yang hangat dan penuh perhatian. Tidak apa kalau pria yang jauh lebih dewasa itu hanya melihatnya tak lebih dari seorang pengunjung tetap kafe, yang penting dia bisa berada di dekatnya.

Dikuatkannya tekad, dipaksanya kaki yang enggan itu melangkah. Ditekannya perasaan sedih karena cinta tak terbalas, dan dengan berani dia mendatangi sang pujaan. Namun, baru tangannya terulur membuka pintu, dan kepalanya tersembul mendahului, langkahnya langsung terhenti. Tatapannya terpaku pada satu pemandangan yang membuatnya ternganga. Apa itu?

******

“Mas Panji!”

Panji  yang baru turun dari motornya terkejut setengah mati mendengar teriakan disusul kehadiran heboh Rara yang berlari cepat sampai hampir menabraknya. Sigap, Panji memegangi bahunya.

“Stop! Kamu kenapa pagi-pagi sudah berubah jadi shinkansen?” tanyanya. Rara senang dengan berbagai hal mengenai Jepang, itu sebabnya kadang Panji menyebutnya shinkansen alias kereta cepat khas negara Sakura itu.

Rara mendongak, dan wajahnya tampak merah padam karena baru saja berlari. “Mas Panji mau jadi pacarku?” tanyanya dengan napas memburu.

Panji melongo. “Apa?”

Rara mencoba mengatur napas dengan susah payah. “Jadi pacarku, yuk. Aku pasti lebih baik daripada Mbak Vanessa. Aku akan setia kok sama Mas Panji,” katanya, ekspresinya terlihat penuh tekad.

Panji terpaku, selama beberapa saat menatap wajah belia yang merah padam di hadapannya. “Ra.”

“Ya?” Rara menatap dengan mata melebar polos. 

Panji menunduk dan menatapnya tajam. “Kok kamu berani ngajak Mas pacaran?”

Rara mengerjap cepat, gugup. Panji bila melihatnya menelan ludah beberapa kali. “Aku … aku … suka sama Mas Panji.”

“Suka?” Panji mengulang dengan suara serak, bahkan Rara bisa melihat matanya yang berubah menjadi lebih gelap.

Cepat, Rara mengangguk. Canggung, dia mendorong dada Panji, sedikit menjauhkan diri darinya. “Aku suka banget sama Mas Panji, dan aku enggak rela kalau Mas Panji sama Mbak Vanessa. Kalau kalian memang pacaran, Mas harus putusin Mbak Vanessa,” katanya sambil sedikit tertunduk.

Panji mengerutkan kening mendengar nama Vanessa disebut. “Kenapa?” tanyanya, hati-hati.

Rara cemberut. “Mbak Vaness enggak setia. Aku lihat dia ciuman sama cowok di dalam kafe barusan, makanya, aku enggak mau Mas Panji dibohongi.”

Beberapa saat hening, lalu tiba-tiba Panji terkekeh. Rara kebingungan dan menatapnya jengkel. 

“Mas Panji kok malah ketawa? Enggak marah sama Mbak Vaness?” tanyanya.

Panji berusaha menahan kekehannya. “Uhm … Ra, ikut dulu yuk,” ajaknya.

“Tapi ….” Rara berusaha memprotes, tapi Panji malah meraih lengannya dan membawanya masuk ke kafe. Vanessa dan pria yang tadi dilihat Rara langsung menoleh kepada keduanya, membuat Rara cemberut karena tak suka. Kenapa mereka tidak terlihat merasa bersalah? 

Guys, gue mau ngomong sebentar.” Panji memanggil. Kedua orang yang sedang menurunkan kursi-kursi dari meja itu menoleh dan langsung mendekat.

“Ngomong apa, nih?” Vanessa bertanya sambil bersedekap. Matanya melihat ke tangan Panji yang menggenggam tangan Rara, dan sebuah senyum usil terulas di bibirnya Pria di sebelahnya melingkarkan lengan di pinggangnya, membuat Rara langsung mengerutkan kening. Ih … kok enggak takut sih?

Panji berdeham lebih dulu dan sedikit menghela pundak Rara agar maju. “Kenalin, ini pacar gue, Rara. Kami baru aja jadian.”

Rara menoleh kaget. Lho? Panji kan belum jawab apa-apa? Saat dia hendak bicara, dilihatnya wajah Vanessa dan pria di sebelahnya semringah, membuat Rara tidak jadi tersipu karena dikenalkan sebagai pacar oleh Panji. Benaknya berkecamuk karena bingung. Kenapa dia merasa kalau situasi ini aneh?

“Wah … pacar? Cantik banget pacarnya Panji,” komentar pria yang tadi mencium Vanessa, sementara Vanessa tampak tersenyum lebar.

“Cantik, dong. Panji kan seleranya bagus,” sahutnya. “Apa gue bilang, Ji? Dia suka sama elo, kan?”

Rara merasa kepalanya pusing karena bingung, dan tepat saat itu, Panji menambah kebingungannya dengan kalimat selanjutnya.

“Oh, iya, Ra. Lupa ngenalin. Ini suaminya Mbak Vaness, namanya Mas Edo. Mereka sudah menikah lima tahun lalu, dan Mas Edo baru balik ke Indonesia hari ini.”

Rara ternganga. Lalu tiba-tiba dia memekik karena malu, dan lari tunggang langgang meninggalkan tempat itu dengan Vanessa dan Edo yang keheranan, serta Panji yang terkekeh kegelian.

*******

“Rara!”

Rara yang sedang mengendap-endap, menoleh saat mendengar panggilan itu, dan langsung memucat melihat siapa sosok yang sudah menunggu dengan dua gelas kopi di tangannya. “Mas Panji?”

Panji tersenyum dan berjalan mendekat. “Mau ke mana, Pacar?”

Rara membelalak dan langsung mendekati Panji dengan langkah cepat sampai hampir menabraknya, membuatnya langsung ketumpahan kopi. Buru-buru dia menutup mulut Panji dengan tangan dan berdesis galak, meski malah terlihat imut. “Mas Panji jangan jail!”

Panji mengerjap cepat. Dia berusaha bicara, tapi hanya bisa mengeluarkan suara bergumam karena tangan Rara. Iseng, dia pun menjilat telapak tangan Rara, membuatnya buru-buru menarik tangan mungilnya dengan wajah merah.

“Mas Panji iseng, ih,” omelnya.

Panji tersenyum. Dia menyodorkan satu gelas kepada Rara, yang diterimanya dengan wajah tersipu. “Kenapa kamu menghilang beberapa hari ini, Ra?”

Rara menggeleng-geleng. “Enggak kok, aku cuma sibuk,” kilahnya.

“Sibuk? Padahal kamu habis nembak Mas, lho. Kok bisa lupa karena terlalu sibuk?”

“Mas Panji! Ih ….”

“Kenapa? Kamu enggak mau tanggung jawab setelah bikin Mas baper?”

Rara mengerucutkan bibir. “Kenapa baper? Mas Panji kan tahu, aku buru-buru nembak Mas karena salah sangka sama Mbak Vaness?”

Panji mengerutkan kening. “Lho? Jadi kamu enggak serius? Kamu bikin Mas kegirangan, tapi ternyata enggak serius? Kok tega, Ra?” katanya dengan nada kecewa.

Rara melongo. “Uhm … aku ….”

Panji menghela napas keras. “Mas kira kamu memang serius sama Mas, enggak tahunya….” Dia menggeleng-geleng, lalu berbalik dan melangkah pergi. Dalam hati dia terus merapalkan harapan. “Panggil … panggil ….”

“Mas Panji!”

Tak terkira, leganya Panji mendengar panggilan itu. Dia mengembuskan napas keras sebelum kemudian berbalik. Rara langsung berlari mendekat, tak peduli kopi di tangannya tumpah. Gadis itu berdiri di hadapan Panji dan menatapnya dengan wajah merah.

“Mas Panji suka sama aku juga?” tanyanya polos.

Panji menatapnya. “Juga? Bukannya kamu enggak serius?”

Rara tertunduk. “Aku … sebetulnya … aku suka sama Mas Panji dari lama banget. Aku serius, kok.”

Sebuah senyum terulas di bibir Panji. “Kalau begitu, kita sama dong? Sudah suka dari lama banget.”

Rara mendongak kaget. “Serius?”

Panji mengangguk. “Ya. Rara mau jadi pacar Mas?”

Rara bergoyang di tempatnya berdiri, lalu tersenyum malu dan mengangguk. “Mau.”

Panji langsung membuka kedua lengannya, dengan malu-malu, Rara pun masuk ke dalam rangkulannya. Rasanya senang setengah mati, tapi sebuah pertanyaan muncul dan membuatnya mendongak menatap wajah tampan Panji.

“Mas … Mas enggak punya perasaan sama Mbak Vaness sama sekali? Bukan cinta pertama Mas Panji gitu?” tanyanya, penasaran.

Panji balik menatapnya. “Tertarik, mungkin, tapi itu cuma sebentar. Dulu banget. Kamu cinta pertama Mas, mungkin, akan jadi yang terakhir juga. Boleh?”

Rara mengerjap-ngerjap, lalu dengan wajah merah padam dia mengangguk. “Boleh.”

Panji semringah. Ya ampun, begini rasanya kalau perasaan bersambut, sungguh menyenangkan. Tiba-tiba saja, terdengar riuh tepuk tangan dan ucapan selamat, membuat keduanya terkejut dan melihat sekeliling. Ternyata mereka masih ada di lobi gedung tempat kerja Rara, dan beberapa orang yang ada di situ, jelas mendengar semua percakapan mereka yang mirip sinetron. Muka keduanya pun merah padam karena malu, dan dengan spontan Panji menarik lengan Rara, membawanya kabur dari situ.

Rara tersenyum lebar. Meski rasanya memalukan ditonton dan disoraki orang banyak, tapi dia bahagia sekali. Panji yang menoleh dan melihat senyumnya pun langsung bertanya heran.

“Ra … kemu enggak pa-pa?”

Rara menggeleng. “Enggak pa-pa, Mas. Cuma, berasa kayak lagi syuting sinetron, habis jadian, eh, disorakin sama penonton. Jadi malu-malu gemes.”

Panji tertawa, tapi dia setuju. Rasanya seru. Ah … dia yakin, hari-hari ke depan pasti akan jauh menyenangkan, dan bersama Rara, dia tahu akan selalu bisa tersenyum.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Diana - Sang Pemburu Badai: Bab 38-40
31
2
BlurbUtomo tertawa. “Mungkin saya yang memerintahkan kematian Aryo Seto, tapi Anda yang mengirim nyawanya pada saya. Anda juga yang mencemarkan namanya sampai seluruh dunia menganggapnya sebagai noda di dunia pers. Perlu saya ingatkan? Dia sahabat Anda.”*****Bukti sudah di tangan Diana dan Tyo, gaes. cekidot.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan