
Ayat 7
Dulu kukira mereka terlalu fanatik terhadap agama. Tapi setelah aku belajar agama, ternyata dulu aku yang terlalu fanatik terhadap dunia.
“Mau ke mana kalian?”
Ben berhenti di depan teman-temannya. Mereka hanya Saki, Toriq dan Aladin.
“Masjid, mau salat dhuha,” jawab Aladin.
“Tumben amat lo. Biasanya Saki sendirian. Lo juga Toriq.”
“Lagi dapat hidayah. Mumpung dapat, gunain baik-baik, enggak semua orang dapat hidayah.” Toriq cengengesan.
“Lo sendiri ngapain baru berangkat? Bu Heni nanyain lo yang enggak pernah masuk kelasnya, kalo udah keliatan anaknya suruh menghadap saya,” ujar Saki menirukan gaya bicara Bu Heni beberapa waktu lalu.
“Gue udah berangkat dari tadi, telat. Malah ada Monster, ngacir gue, ngumpet di masjid.” Monster adalah panggilan Ben kepada Bu Atun. “Kalian mau ke masjid, gue ikut deh.” Ben mengikuti langkah ketiga temannya.
“Ngapain?” tanya Aladin.
“Mau nyari bidadari,” celetuk Saki membuat Toriq dan Aladin bersorak. Mana mungkin, pikir mereka.
Ben tadi berpapasan dengan Aurora, dan dia yakin gadis itu juga akan pergi ke masjid. Ketika teman-temannya sedang salat, Ben hanya duduk-duduk di undakan tangga serambi masjid sebelah kanan. Tetapi matanya melihat ke dalam, melalui kaca jendela transparan, di shaf paling belakang, Ben dapat melihat Aurora sedang salat. Laki-laki itu memperhatikan setiap gerakan salatnya. Mendadak hatinya terenyuh riuh secara bersamaan.
Ben kembali mengingat percakapannya dengan Pak Ali tadi.
“Pak Ali mau bantu saya?” tanyanya, mengerjap kepada Pak Ali.
“Bantu? Apa?”
“Menemukan jati diri saya.”
Pak Ali tersenyum. “Mungkin saya bisa membantu. You can do it, Ben. Tapi perlu kamu ketahui dan kamu ingat, yang sesungguhnya bisa mencari dan menemukan jati diri kamu, ya diri kamu sendiri.” Pak Ali menunjuk dada kiri Ben dengan telunjuknya. “Kamu harus tahu dulu jati diri kamu, baru kamu akan tahu siapa Tuhan kamu. Saya harap, keinginan kamu ini benar-benar dari hati nurani kamu, bukan karena sekadar terinspirasi dari kalimat sindiran saya.”
Ben kembali mengernyit.
“We don’t know. Maybe, kamu hanya terkendalikan oleh emosi sesaat kamu karena mendengar kalimat saya. Coba tanyakan dan niatkan benar-benar dari hati kamu lagi.”
Ben menatap Aurora yang sudah selesai salat. Ben yang melihat gadis itu keluar masjid, bangkit dan berjalan menghampirinya. Aurora yang menyadarinya, celingukan melihat sekitar. Takut banyak orang memperhatikannya. Dan tak heran, tetap ada dua tiga orang yang memperhatikan keduanya. Aurora tidak suka itu. Jika dia sedang berbincang dengan orang lain, dia merasa biasa saja, sebab tidak akan ada orang yang memperhatikannya. Sedangkan Ben, seperti ada daya tarik tersendiri dari laki-laki itu, pasti ada saja yang memperhatikannya.
“Putri Aurora.”
Aurora bangkit dengan sedikit kesal, “Don’t call me like that!”
Ben tersenyum. “Oh, jadi cuma Pak Ali yang boleh, gue enggak?”
Aurora merasa tidak penting berbicara dengan laki-laki itu. Dia meninggalkan Ben begitu saja.
Ben mendengkus. Saat melihat sekitar, ada beberapa orang yang memperhatikannya. Dia kesal. Hal ini juga yang membuat Aurora tidak nyaman.
“Lo pada tuh ngapain si, ngeliatin, kayak enggak ada kerjaan lain aja! Enggak pernah lihat orang ganteng nyamperin cewek, iya?!!!” semprotnya, membuat orang-orang yang melihatnya kembali pada aktivitasnya masing-masing.
Ben berdecak. “Jadi orang kepo amat, Amat aja enggak kepo.”
“Mereka bukan enggak pernah lihat orang ganteng nyamperin cewek. Lebih tepatnya, mereka enggak pernah lihat seorang Benua Utara nyamperin cewek. Gue aja baru lihat,” sahut Toriq. Ben kembali mendengkus.
“Ya kenapa si kalo gue nyamperin cewek? Dikira gue enggak normal apa, nggak pernah nyamperin cewek?”
“Gue masih ingat, Om! Waktu lo berantem sama Tema, lo bilang selalu jijik kalo dideketin cewek!” seru Aladin. Tak sadar ikut menyudutkan Ben.
“Om-om, lambemu! Apaan lagi, jijik sama cewek itu cuma kalimat reflek karena saking keselnya sama Tema.”
“Ya abis, lo memang kayak alergi cewek, Ben,” sahut Toriq. “Kalo Brenda deketin, lo pasti ngeri dan kelihatan banget jijik. Pikiran orang mah macem-macem,” lanjutnya.
Dari kalimat Ben, ada keraguan dalam diri laki-laki itu ketika mengatakannya. Ben memang selalu muak jika berdekatan dengan perempuan. Makhluk Tuhan bernama perempuan, adalah sesuatu yang paling Ben hindari. Tapi sekarang, laki-laki itu sendiri yang menghampiri perempuan. Hal ini tidak hanya menimbulkan pertanyaan di benak orang-orang yang melihatnya, laki-laki itu pun bertanya-tanya dalam hati, ada apa sebenarnya dengan dirinya yang bertingkah lain. Dan jiwanya, merasa ketakutan.
“Apa jangan-jangan lo baru puber? Lo telat puber? Anjir, lo kan kagak sunat!” seru Aladin lagi.
Toriq dan Saki tertawa, sedangkan Ben menggeplak lelaki itu yang senang ceplas-ceplos.
“Gue juga punya mantan kali! Mana ada gue baru puber, apalagi nyerong,” ketusnya.
Nyerong itu maksudnya belok, atau dalam bahasa istilahnya, suka sesama jenis.
“Seriusan, lo punya mantan?!” tanya Toriq hiperbola.
“Adalah, mantan pacar pas SMP.”
“Kenapa putus?” tanya Aladin.
“Kepo kayak monyet!”
“Dora, Ben.”
“Bodo amat Saki. Lo juga gonta-ganti kalimat paten sesuka lo.”
“Berarti lo puber jilid dua, Ben.”
Setelah mengatakan itu, Saki ngacir, lari meninggalkan masjid lebih dulu sebelum Ben mengamukinya. Aladin dan Toriq menahan tawanya, jangan sampai meledak di depan Ben. Bisa-bisa laki-laki itu tambah ngamuk.
Ben, Toriq dan Aladin dapat melihat dari kejauhan, Saki yang berlari harus berhenti mendadak karena seorang gadis yang berlari juga ke arah laki-laki itu.
“MAMPUS LO!!! SAD GIRL MENANTIMU!!” teriak Ben dengan tawanya yang menggelegar. Disusul tawa Aladin dan Toriq yang tak kalah keras.
***
Aurora memasuki kelasnya yang ramai. Waktu istirahat hampir usai, tapi anak-anak di kelasnya masih ada yang sibuk mengerjakan dan menyalin tugas milik temannya. Tugas harus selesai sebelum guru mata pelajaran selanjutnya masuk, dan tugas sudah harus dikumpulkan di meja Bu Heni––guru Geografi yang mengajar kelas 12.
Tugas sebenarnya, deadline dikumpulkan adalah kemarin sore, pada mata pelajaran terakhir sebelum pulang harus sudah dikumpulkan di meja guru itu. Tetapi yang namanya murid, banyak saja alasannya. Entah itu tugasnya terlalu mendadak, harus mencari referensi, bahkan ada yang bilang, “Kalau dikumpulkannya sore, Bu Heni juga bakal pulang, tugasnya enggak bakal dibawa pulang buat dikoreksi, jadi mending besok aja, Bu. Kan Ibu pasti di sekolah. Biar sekalian, Ibu enak, kami juga enak.” Ada-ada saja alasannya.
Mereka mengerjakan tugas saling teriak-meneriaki.
“JUMADI! GUE DULUAN YANG BOOKING BUKUNYA INDIRA!!”
“Enak aja, gue duluan!”
“Enggak usah rebutan, kita nulis bareng-bareng!” lerai yang lainnya.
Adapun teriakan yang lain berasal dari tawa anak-anak yang sedang bermain aplikasi yang sekarang sangat viral––Tiktok. Bahkan aplikasi tersebut sampai menjadi topik dan judul sebuah sinetron di salah satu saluran televisi. Judul sinetronnya, Istriku Menelantarkan Anakku Gara-gara Kecanduan Tiktok, atau Istri Lebih Suka Joget Tiktok Daripada Joget di Depan Suaminya.
“Ulang dong! Gue masa enggak kelihatan!”
“Ya udah ulang, gerakannya sambil dibenerin tuh!”
Aurora geleng-geleng kepala melihat keramaian kelasnya. Gadis itu hanya mampu beristigfar dalam hati. Dia merasa asing di kelasnya, dia merasa asing dengan orang-orang di sekitarnya. Banyak sekali anak muda zaman sekarang mudah terbawa arus globalisasi tanpa menyaring dan memilah mana yang baik, mana yang mubah, dan mana yang buruk.
Zaman sekarang, jika ada orang yang berpakaian tertutup––menutup auratnya, malah dibilang kuno. Aurora sering dibilang kuno dan katrok oleh teman-teman dan beberapa orang lain karena memakai kerudung lebar, katanya seperti ibu-ibu mau pengajian. Padahal menutup aurat adalah kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah. Menutup aurat yang dimaksud, bukanlah membalut selayaknya celana ketat, ataupun pakaian yang terawang. Tetapi pakaian yang tidak membentuk lekuk tubuh.
Aurora selalu menolak jika ada teman-temannya yang mengajak jalan-jalan, nongkrong-nongkrong di kafe, atau melakukan hal-hal awam yang sudah tidak asing dilakukan lagi dikalangan anak muda zaman sekarang. Dari sana Aurora merasa asing dengan orang-orang di sekitarnya.
Ada salah satu hadis yang pernah Aurora dengar saat dia mengikuti kajian keagamaan, bahwasanya, Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang merasa asing.
Maksud dari hadis tersebut, yakni ketika dulu, pada zaman Rasulullah sallalahu ‘alaihi wasallam, Islam datang dalam keadaan asing. Banyak dari umat zaman Rasulullah tak percaya dengan apa yang dibawa Nabi. Islam mengalami kemajuan dan tidak terasing. Hingga diakhir zaman, Islam kembali asing, kembali aneh dikalangan orang-orang yang tidak betul-betul mengenal agama. Orang-orang yang melaksanakan sunah, malah dianggap aneh dan fanatik.
Aurora dulu juga pernah memandang orang-orang yang melakukan sunah, adalah orang yang fanatik dan berlebihan dalam beragama. Dulu dia pikir mereka yang terlalu fanatik terhadap agama. Tapi setelah dia belajar agama, ternyata dulu dia yang terlalu fanatik terhadap dunia.
Bukan berarti kini Aurora mengenal agama dengan begitu fasih. Ibarat membaca Al-Qur’an, khatam––Aurora bahkan belum membaca setengahnya. Aurora tidak seagamis dan belum setinggi itu ilmu agamanya. Aurora hanyalah salah satu dari sekian banyaknya pemuda hijrah yang masih perlu dan fakir akan ilmu.
“Aurora, temenin aku ngumpulin tugas-tugas,” Manda––salah satu temannya menghampiri.
“Iya, Ra! Kamu yang ngumpulin, biar Bu Heni enggak marah-marah, kamu kan anak kesayangannya Bu Heni! Iya enggak, slur?!” Jumadi berteriak.
Teman satu kelasnya mengiyakan dengan bersorak. Aurora mengalah dan menuruti kemauan teman-temannya. Jumadi, yang tadi berteriak––dia adalah teman kelas Aurora yang pernah terang-terangan di hadapan teman satu kelasnya meminta Aurora untuk menjadi pacarnya. Kejadiannya waktu kelas 10. Aurora baru awal-awal berhijrah, dan itu menjadi ujian berat baginya. Disaat remaja sedang senang-senangnya menjalin asmara dan bermain api cinta, Aurora harus menahannya, dia kehilangan teman-temannya. Hanya Indira dan Jannah yang mau mendekatinya dan berteman dengannya hingga sekarang.
Jika ditanya bagaimana perasaan Aurora terhadap Jumadi sekarang, dia akan berkata dengan tegas bahwa dia tidak memiliki perasaan apapun terhadap laki-laki itu. Dan jika ditanya sedang memiliki perasaan terhadap seseorang, untuk saat ini hatinya masih ingin belajar lebih mencintai Allah, urusan pasangan Aurora tidak terlalu memikirkannya. Malah, kini gadis itu takut jatuh cinta. Tidak ingin merasa kecewa dan patah hati hanya karena lelaki. Patah hatinya yang lebih menyakitkan adalah dia sulit menambah hapalan surah Al-Qur’an. Terkadang ditengah kesibukannya dalam menuntut ilmu, dia menjadi lalai untuk melanjutkan hapalannya.
Iman memang selalu naik turun. Semakin tinggi iman seseorang, semakin kecil dia memandang dunia. Ibarat naik pesawat, semakin tinggi pesawatnya terbang, semakin kecil dia melihat bumi. Bumi dan isinya akan nampak kecil tak berarti.
“Kamu yang masuk, ya? Aku enggak berani sama Bu Heni, killernya kebangetan. Kok bisa kamu jadi kesayangan guru killer, Ra?”
“Kamu ikut dong, masa aku sendirian?” Aurora menarik lengan Manda.
“Enggak, kamu sendiri aja, aku tunggu di sini.”
Manda mendorong Aurora masuk kantor guru. Gadis itu mendengkus karena lagi-lagi dia hanya dimanfaatkan. Tapi kemudian Aurora beristighfar, menganggap perlakuan teman-temannya adalah karena mereka butuh bantuan Aurora.
Di depan meja Bu Heni––Ben berdiri di sana dengan santai sembari mendengarkan guru itu menasihati. Aurora yang melihat Ben hanya mampu mengembuskan napas, dari sekian banyaknya murid di sekolah ini, Aurora pikir, kenapa harus Ben yang dia temui untuk yang kesekian kali?
“Saya heran sama kamu, kalau pelajaran saya ke mana saja? Nilai presensi kamu itu udah jeblok di buku saya. Tahu enggak si, nilai kehadiran kamu cuma ngotorin buku saya?! Saya enggak mau tahu, pada mata pelajaran saya selanjutnya, kamu harus hadir!” tegas Bu Heni.
“Dengar, enggak kamu?!”
Ben mengangguk, “Iya, Bu.”
“Awas kalo cuma iya-iya aja tapi enggak benar dilakukan! Laki-laki cuma kebanyakan janji!”
“Curhat, Buk?” tanya Ben.
“Diam kamu!”
“Saya udah boleh pergi, kan, Bu?”
Bu Heni mengibaskan tangannya. Ben berbalik dan terkejut mendapati Aurora ada tak jauh di belakangnya. Ben tersenyum.
“Hai, Putri Aurora.”
Aurora menunduk dan berjalan begitu saja melewati Ben. Dalam hati, Aurora merutuki laki-laki itu.
“Apaan itu, Putri Aurora? Kamu pacaran sama Ben?” tanya Bu Heni. Ben mendengarnya sayup-sayup. Laki-laki itu hanya tersenyum geli membayangkan wajah kesal Aurora.
***
Lololo, kalo Aurora pacaran sama Ben kenapa to, Bu?
Ada Pak Guru yang panggil Putri Aurora juga loooohh, masa Aurora pacarnya Pak Guru jugaaaa huhuhuuuu
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
