Ayat 3

0
0
Deskripsi

Selamat membaca kisahnya Ben dan Ara ^^

Ayat 3


 

Tidak ada yang  gampang untuk orang yang ingin sukses, semua butuh proses.

Pak Ali Syafik


 

Bukan Ben namanya kalau nurut begitu saja kepada Bu Atun untuk merapikan buku di rak-rak perpustakaan. Lelaki itu pergi begitu saja meninggalkan Tema. Lebih tepatnya, belum sempat sampai di perpustakaan, Ben sudah mengambil jalan lain. Tema yang berjalan di depan tidak tahu kalau Ben berbelok haluan menuju kantin. 

Akan tetapi sepertinya hari ini bukan sepenuhnya hari keberuntungan Ben. Dia melihat Bu Atun   dengan tubuh tambun besarnya dari arah lain hendak berjalan menuju kantin dengan membawa gunting. Ben melotot, jika Bu Atun sudah membawa gunting, rambut Ben bisa menjadi sasaran empuk untuk wanita itu mengeksplorasi kepala Ben. Seolah beliau tahu ada kemungkinan murid yang sedang dihukumnya akan melipir ke kantin.

“Anjir!” 

Ben kembali berbalik arah mengambil jalan lain. Dan kakinya berhenti di depan masjid sekolahnya. Dia memandang bangunan berkubah itu beberapa saat. Ben berpikir, Bu Atun tidak akan mengira jika Ben akan pergi ke tempat ini. Dari luar Ben melihat ada kelas yang sedang melakukan pembelajaran di dalam masjid. Tanpa pikir panjang lagi, lelaki itu masuk dan bergabung bersama kumpulan anak laki-laki kelas tersebut.

Beberapa anak lelaki memandang Ben dengan kernyitan, memandang lelaki itu dengan tatapan tidak percaya. Mereka berpikir, untuk apa lelaki ajaib di sekolah, si pentolan sekolah yang kerjaannya marah-marah kalau sudah terusik sedikit saja, berada di tempat yang bukan seharusnya?

Anak putri yang melihat, ada yang berbisik-bisik, baik mengagumi ketampanan lelaki itu atau pun berbisik sinis. Jadi, anak putra duduk di barisan sebelah kiri, sedangkan anak putri di barisan sebelah kanan dengan dipisahkan tabir yang tingginya direndahkan sebatas lutut orang dewasa.

Sedangkan Pak Ali––guru agama Islam yang memang sedang mengisi materi, terkaget melihat Ben.

“Kamu Ben, kan?” tanya Pak Ali membuat semua atensi teralihkan mengikuti perhatian sang guru.

“Iya, Pak,” jawab Ben santai, tidak terganggu dengan perhatian semua orang yang melihatnya dengan tatapan bermacam-macam. Dia tidak takut menjadi pusat perhatian.

“Kamu enggak salah kelas, kan?”

“Saya enggak boleh gabung di sini, Pak?” tanya Ben, balik bertanya.

“Bukan tidak boleh, sekarang kan jam kegiatan belajar mengajar, kamu bolos?” tanya Pak Ali lagi dengan baik dan lemah lembut, tak terpancing untuk memarahi murid nakalnya.

“Saya kan dihukum, habis dihukum saya ke sini aja, dengerin Bapak ngajar, siapa tahu saya dapat hidayah biar enggak nakal lagi.” Dihukum iya, tapi belum menjalankan hukuman, sudah pergi dari tanggung jawab. Pak Ali yang mendengar perkataan Ben tersebut, tak terlalu memusingkannya, beliau kembali melanjutkan pelajaran.

So, tadi saya menyampaikan materi sampai mana?” tanya guru agama yang cukup kekinian itu, kembali mengalihkan perhatian murid, memusatkan kepadanya.

“Hukum nikah, Pak,” jawab salah seorang, dan dia adalah Aurora.

Ben memperhatikan sang gadis, lantas mengernyit. Lelaki itu menelengkan kepala, mencoba mengingat nama gadis itu. Ben sering melihatnya tetapi tidak pernah peduli namanya. Beberapa kali saat berpapasan, Ben sempat bersitatap dengan gadis itu, dan dengan cepat dia selalu menunduk atau mengalihkan pandangannya. Ben tidak pernah peduli dan tidak pernah ingin tahu. Lelaki itu mengedikkan bahunya.

“Oke, hukum nikah. Siapa yang di sini sudah menikah? Saya. Dan siapa di sini yang sekarang ingin menikah? Saya.”

“Loh, Pak. Mau mempoligami Bu Nur? Memangnya boleh sama Bu Nur?” tanya salah seorang siswa. For you information, Bu Nur adalah istri Pak Ali, beliau juga guru di sekolah ini, pun mengajar mata pelajaran yang sama seperti Pak Ali, hanya saja mengajar murid kelas 10.

Is three. Itu artinya tiga. Jadi, yang wajib itu punya istri tiga, kalo satu itu sunah. Percaya enggak, kalau yang serakah itu perempuan, bukan laki-laki?”

“Kok gitu, Pak?” tanya salah seorang siswi, memprotes.

“Allah memberikan laki-laki lebih dari satu istri, Allah memperbolehkan poligami, bahkan bagi seorang istri yang memperbolehkan suaminya menikah lagi, jaminannya adalah surga. Tapi kebanyakan istri hanya memonopoli suaminya, maunya hanya jadi satu-satunya. Siapa yang serakah, coba?”

Semua murid terlongong, bahkan Ben sampai membuka mulutnya. “Serius, Pak?” tanya lelaki itu. Baru kali ini mendengar ada pernyataan seperti itu.

Pak Ali mengibaskan tangannya. “Saya bercanda kalau soal is three. Tapi kalau perempuan serakah, itu hanya statement seseorang, saya pernah dengar. Jangan bilang-bilang sama istri saya, kandunganya udah tujuh bulan, nanti kalau dengar beritanya saya ngomong begini bisa-bisa anak saya lahir sebelum waktunya. Astaghfriullah.” Semua murid diam membuat Pak Ali kembali bersuara, “Ketawa dong!” dan seketika semuanya tertawa walau hanya tertawa dengan paksaan.

“Oke, kembali ke materi. Seperti yang saya katakan sebelum Ben datang dan menghentikan pembelajaran untuk sesaat––”

“Jadi Pak Ali nyalahin saya?” serobot Ben tak terima, walau kenyataannya itu memang salah Ben.

“Enggak Ben, saya cuma menjelaskan, tidak menyalahkan.” Beberapa siswa tertawa melihat raut muka Pak Ali. Sedangkan Ben hanya mendengkus.

“Oke, kembali ke materi, bahwasanya nikah yang hukumnya sunah, menurut sebagian ulama berpendapat bahwa nikah hukumnya sunah itu bagi orang yang sudah mampu memberi nafkah dan berkehendak untuk menikah. Kemudian nikah yang hukumnya wajib, sesuai dengan faktor dan situasi. Contoh, jika kondisi seseorang sudah mampu memberi nafkah dan takut jatuh pada perbuatan zina, dalam situasi seperti itu wajib untuk menikah, sebab zina adalah perbuatan keji dan buruk yang dilarang Allah azza wa jalla.”

Ben mengangkat tangan, “Pak, jadi hukum menikah buat saya apa?”

Semua orang menatap Ben seketika dengan tatapan yang berbeda-beda. Pak Ali menghela napas lantas menjawab, “Memangnya kamu sudah ingin menikah?” tanya guru itu balik bertanya.

“Ya enggak lah, Pak.”

“Ya sudah, jangan dulu menikah. Ben, kamu boleh di sini, tapi mohon maaf, jangan menyelat saat saya menjelaskan materi, karena nanti akan saya berikan waktu tersendiri untuk siswa-siswi berpendapat, bertanya ataupun menjawab pertanyaan. So, can you follow my rules, Tiger?”

“Iya, Pak.” Ben tidak ada niat bertanya, dia hanya bosan diam, makanya bicara. 

“Ada dua hukum nikah lainnya, yaitu hukum nikah yang makruh dan haram. Jadi seperti apa hukum nikah yang makruh dan haram ini? Ada  yang bisa menjelaskan?” tanya Pak Ali, tetapi semuanya diam. “Belum ada yang membaca buku materi di rumah?”

“Katanya sekolah tempat untuk belajar, ya rumah bukan buat belajar dong, Kalau sekolah bukan tempat unuk tidur, maka rumah bukan tempat untuk belajar Pak. Kan murid sudah belajar di sekolah dari pagi sampai sore. Dan di rumah harus bejalar lagi? Memangnya kami robot?” Ben kembali menyanggah.

“Iya, Pak. Sistim yang begini, pemerintah mengharapkan agar pendidikan di negara ini semakin maju, tapi mungkin mereka lupa atau salah mengira. Dengan sistim yang seperti sekarang, menekan murid untuk bisa segala hal, belajar dari pagi hingga sore dan di rumah disuruh belajar lagi, bukannya kami dapat menangkap materi yang disampaikan dan kami pelajari, malah jadi buyar, Pak,” keluh Rangga, si ketua kelas yang selalu mendapat peringkat satu di kelas, bahkan terkadang pun mendapat peringkat utama paralel.

“Tuh Pak, Rangga aja yang juara kelas ngeluh begitu, lah apa kabar kami yang bukan juara kelas dengan otak pas-pasan?” sahut yang lainnya.

Pak Ali menghela napas. “Saya tahu bahwa kalian, bahkan saya dan guru-guru yang lain juga diatur oleh sistim. Tapi, guys, maybe kalo kalian di sekolah belajar dengan sungguh-sungguh, memanfaatkan waktu yang ada untuk belajar, kalian tidak perlu belajar di rumah, kalian bisa lebih santai untuk merehatkan pikiran kalian. Tidak ada yang gampang untuk orang yang ingin sukses, semua butuh proses.” 

Pak Ali memandang wajah murid-muridnya dengan tatapan prihatin. Guru itu pun tak bisa berbuat lebih selain taat pada sistim. “Oke, kembali lagi, apa ada yang bisa menjelaskan hukum nikah yang makruh dan haram?”  

Seorang gadis mengangkat tangan, dia Aurora. Ben kembali menatap, memicingkan matanya, kembali mengingat nama gadis itu, barangkali teman-temannya pernah menyebut nama gadis itu. Ben berpikir dan mengingat, tetapi lelaki itu benar-benar lupa.

“Saya juga sebenarnya tidak membaca bukunya, lebih tepatnya belum.”

“Lalu?”

“Saya pernah mendengar tausiyah dari seorang ustaz. Bahwa hukum nikah yang makruh itu apabila seseorang telah mempunyai keinginan atau hasrat yang kuat untuk menikah, tetapi ia belum mempunyai bekal untuk memberi nafkah tanggungannya. Kemudian nikah menjadi haram bagi seseorang yang mempunyai niat untuk menyakiti perempuan yang dinikahinya. Begitu sepemahaman saya, Pak. Kurang lebihnya mohon maaf.”

Pak Ali mengangguk. “Terima kasih Putri Aurora.” Aurora mengangguk dengan tersenyum canggung. Gadis itu selalu dipanggil Putri Aurora oleh Pak Ali, beliau bilang namanya seperti tokoh Disney di negeri dongeng.

Sedangkan Ben di tempatnya memicing sembari membatin, Putri Aurora?

“Ada salah satu hadis dari riwayat Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah salallahu alaihi wasallam menyuruh untuk menikah di antara mereka yang mampu ba’ah, karena menikah lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kehormatan. Dan bagi yang belum menikah, hendaknya berpuasa karena merupakan wijaa’ (pemutus syahwat).”

So, ada yang sudah kebelet nikah?”

“PAK ALI!!!” jawab mereka serempak. Guru agama itu melotot, melongok pintu keluar masjid, takut-takut istrinya datang secara tiba-tiba.

“Shuut!”

Siswa-siswi tertawa, dan materi kembali dilanjutkan, lalu diakhiri dengan bacaan Al-Qur’an oleh salah seorang murid yang Pak Ali tunjuk. “Tadi saya lupa di mukodimah tidak menyertakan bacaan Al-Qur’an, sekarang sebagai gantinya salah satu dari kalian membacakan surah Al-Qur’an Al-Baqarah ayat 8-15. Putri Aurora tolong bacakan!”

Aurora menurut saja dan membacakan surah Al-Qur’an yang diperintahkan. Ben, lelaki itu memandang Aurora yang sedang membaca kalam Allah tanpa berkedip. Di telinganya bergema lantunan yang Aurora bacakan dengan merdu nan syahdu. Hati lelaki itu bergetar cukup keras, mendadak hatinya gelisah. Ben memegang dadanya, merasa bingung dengan kegelisahannya yang tiba-tiba.

Hingga Aurora menyelesaikan bacaannya, Ben masih memandang gadis itu. Dia merasa ada keteduhan di wajah manis Aurora. Ben menggeleng menyadari telah mengakui bahwa gadis itu––manis.

Pembelajaran telah selesai dan Pak Ali mengakhirinya. Semua murid disuruh kembali ke kelas untuk bersiap pulang. 

Langkah Ben berhenti di depan Aurora yang masih duduk sedang mengikat tali sepatunya. Ada adab yang dinukil oleh sahabat nabi salallahu alaihi wasallam, bahwa memakai sepatu atau sandal yang menggunakan pengikat, baiknya dilakukan dengan duduk karena akan lebih mudah, jika dilakukan dengan berdiri bisa saja menyingkap aurat seseorang. Akan tetapi kembali kepada orangnya, jika lebih nyaman dengan berdiri asal tidak menyusahkan itu tidak apa.

Jannah yang duduk di samping Aurora menyenggol lengannya dengan tatapan mengarah kepada Ben. “Ra.”

Aurora berdeham, tak mengangkat kepalanya, masih fokus pada sepatunya. “Ada B-Ben.”

“Memang ada, anak sekelas juga tahu dia tadi gabung kelas kita.”

“Ra.”

Aurora mengangkat kepalanya dan langsung disuguhi pemandangan yang luar biasa. Seorang Benua Utara Abadi berdiri di hadapannya, menatap Aurora dengan tatapan yang sulit Aurora pahami. Gadis itu mengalihkan pandangannya dengan cepat, mundur duduknya lalu berdiri dan langsung hendak pergi meninggalkan Ben. Aurora kaget bukan main mendapati Ben tiba-tiba ada di hadapannya.

Ben menahan lengan Aurora tetapi dengan cepat gadis itu menyentaknya membuat Ben sedikit kaget. Hal itu diperhatikan banyak murid yang masih ada di sekitar masjid, bahkan murid lain dari kelasnya yang berseliweran ada yang baru hendak melaksanakan salat Ashar atau melakukan hal lain. Mereka menjadi pusat perhatian, dan Aurora tidak menyukai itu. Lain lagi dengan Ben yang santai-santai saja.

“Jangan main pegang!” peringat Aurora tidak suka.

“Kenapa?”

Aurora menatap sekitar yang memperhatikan keduanya, sedangkan Jannah yang di sampingnya terlalu takut kepada Ben, hanya diam saja. Tanpa menjawab pertanyaan Ben, Aurora pergi dengan langkah lebarnya, terus beristighfar dalam hati. Jannah menyusulnya dengan tergopoh. “Ra, tunggu!” tetapi tidak diindahkan oleh Aurora.

Di sisi lain, Ben memperhatikan punggung Aurora yang kian menjauh. Menatap sekitar yang masih memperhatikannya, Ben berdecak. “Ngapain lo semua lihat-lihat? Enggak pernah lihat orang ganteng nyamperin cewek?!!” dan seketika tatapan semua orang beralih, tak lagi menatap lelaki itu.

Seseorang menepuk pundak Ben dari belakang. Pak Ali berdiri di sana, menggleng dan tersenyum, kemudian berlalu begitu saja meninggalkan Ben.

Menyadari sesuatu Ben merutuki diri sendiri, “Ngapain gue nyamperin tuh cewek?!” Ben menggeleng, “Hiiiiih!!” lalu lelaki itu pergi dari sana, kembali ke kelasnya.

***

Tanda tanda apa ini?? 

Btw, cerita ini sudah publis duluan di Wattpad yak

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Ayat 4
0
0
Cerita ini sudah lebih dulu publis di Wattpad ya, yang mau mampir baca cerita-ceritaku yang lain silakan ke akun Wattpad Windiisna
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan