Ayat 22

0
0
Deskripsi

Happy reading ^^

Ayat 22


 

Selama ini, Ben tidak pernah menganggap suatu hari adalah hari yang buruk dan penuh kesialan. Ben tidak akan pusing memikirkan dia terlambat datang ke sekolah dan berakhir dengan hukuman dari Pak Juan atau Bu Atun. Ben tidak akan pusing jika gerbang sekolah sudah ditutup ketika dia datang terlambat dan berakhir dengan bolos sekolah, pergi jalan-jalan ke mana pun dia mau, nongkrong sana-sini. Hari-hari itu tidak pernah Ben anggap suatu kesialan. Ben malah menganggapnya suatu keberuntungan karena dia menjadi bebas di luar sekolah, sebab tidak ada aturan di sana.

Akan tetapi pagi ini ada yang berbeda. Lebih tepatnya setelah dia mengenal Aurora, Ben jadi memiliki alasan untuk datang ke sekolah selain karena perintah dari ayahnya. Hari ini Ben menganggap hari yang penuh kesialan. Ban motornya bocor dan Ben harus mencari bengkel untuk setidaknya menitipkan sepeda motornya di sana.

“Pake segala bocor! Lo kira enak apa, dorong body segede pesumo dan seberat tronton kayak lo?!” 

Ben menendang ban motornya yang bocor dengan penuh kekesalan. Mau tidak mau, Ben segera mendorong motornya ke bengkel terdekat, yang untugnya tidak terlalu jauh.

Usai menyerahkan sepeda motornya ke bengkel, Ben bergegas mencari angkot. Ben tahu, waktunya masih lumayan banyak untuk tidak menemukan gerbang sekolah yang ditutup. Akan tetapi, ada ihwal penting yang ingin Ben lakukan sesampainya di sekolah nanti. Dia ingin menemui Pak Ali dan menanyakan sesuatu.

Begitu memasuki angkot, Ben terkejut ketika melihat Aurora yang sedang duduk anteng dengan membaca buku pelajaran tepat menghadap pintu masuk. Aurora pun tak kalah kaget. Ben tersenyum dan duduk di depan Aurora, di dekat pintu.

Assalamu’alaikum.”

Masih terkejut dengan kehadiran Ben yang tiba-tiba masuk angkot, Aurora kembali dikejutkan dengan salam dari Ben. Aurora mengerjap beberapa saat.

Wa ‘alaikum.”

Ben mengernyit mendengar jawaban Aurora. Setahu Ben, ketika upacara bendera dan Pembina upacara memulai pidato dengan salam, jawabannya tidak seperti yang Aurora ucapkan beberapa detik lalu. Ben menelengkan kepalanya, keheranan. Beberapa penumpang lain sibuk dengan dirinya sendiri, hanya wanita tua yang duduk di sebelah Aurora yang menatap Aurora dan juga Ben dengan senyuman.

“Kok enggak kayak biasanya?” Ben menatap Aurora yang kembali fokus dengan buku pelajarannya sembari bergumam.

“Ara.”

Aurora menatap Ben sekilas, lalu kembali fokus pada buku di tangannya.

“Kenapa lo pilih angkutan umum ketika lo bisa berangkat pakai kendaraan pribadi?” tanya Ben berusaha mencari topik. Dapat Ben lihat Aurora menghela napas, kemudian menutup buku pelajarannya. Hilang sudah fokusnya untuk mempelajari materi sejarah yang nanti akan diadakan evaluasi harian.

Ben bukannya merasa bersalah, malah nyengir lebar karena berhasil merebut atensi Aurora dari buku pelajarannya.

“Dengan kita pakai kendaraan pribadi, hanya akan menambah polusi udara yang dapat merusak lapisan ozon, dan ujungnya pemanasan global. Setidaknya kalau pakai kendaraan umum, kita bisa berkontribusi buat bumi ini. Kita di bumi itu numpang, ibarat kita numpang tinggal di rumah orang lain, apa iya kita bakal merusak tempat tinggal orang yang sudah memberi kita tumpangan tempat untuk tinggal? Kalau bumi cepat rusak, apa enggak kasihan sama anak cucu kita kelak karena enggak bisa ngerasain apa yang kita rasakan sekarang?”

Ben menatap takjub, perkataan panjang Aurora begitu lugas dan jelas. Apa yang Aurora katakan mungkin hanya kalimat sederhana dan pasaran yang sering didengarnya sejak SD. Sejak sekolah dasar, Ben juga diajarkan untuk merawat dan melestarikan bumi, bagaimana bahayanya pemanasan global, seperti apa efek rumah kaca dan semua jenis polusi yang ada. Tapi dari kalimat Aurora tadi, setidaknya adalah sebagai pengingat agar Ben tidak lupa. Terkadang manusia memang begitu, hal-hal sederhana yang amat penting sering dilupakan, atau malah sengaja dilupakan.

“Kalau gitu, gue juga mau berkontribusi buat bumi ini.” Ben menatap Aurora mantap. Ben jadi berpikir, apa salahnya berbuat baik?

“Gue baru sadar kalau ternyata rumah kita searah, Ra.”

Aurora tidak menjawab, gadis itu menatap jalanan ramai di luar angkot.

“Arah pulang aja kita searah, jangan-jangan masa depan kita juga sama searah, Ra?”

Sungguh, kali ini Aurora rasanya ingin masuk ke tong besar dan menutupnya rapat-rapat agar tidak ada yang mengetahui keberadaannya. Karena jujur, Aurora sangat malu mendapat tatapan geli dari beberapa penumpang yang kebetulan mendengar percakapan keduanya.

Ben benar-benar keterlaluan.

***

Loro ati iki … tak mbarno karo tak nggo latihan … sok nek wis oleh gantimu, wis ra kajok aku … mergo wis tau, wis tau jeru …

Aurora menghela napas, hanya mampu geleng-geleng kepala melihat keramaian kelasnya yang menjadi konser dadakan.

Mbiyen opo?!!

Mbiyen aku jek betah, suwe-suwe wegah … nuruti kekarepanmu sansoyo bubrah … mbiyen wis tak wanti-wanti, ojo ngasi lali … tapi kenyataannya pergi …

Aurora memilih keluar kelas diikuti oleh Jannah dan Indira. Beginilah suasananya, ketika sebentar lagi akan diadakan evaluasi mata pelajaran sejarah, mereka malah bernyanyi-nyanyi ria. Jika dinasihati agar belajar, mereka akan bilang, “Belajar udah, sebelum ujian cuci otak dulu biar fresh.”

Aurora duduk lesehan di depan kelas bersama Indira dan Jannah. Beberapa anak perempuan dan anak pintar lainnya juga melakukan hal yang sama, belajar di depan kelas sembari lesehan.

“Nanti pulang sekolah kumpul rohis, kan, Ra?” tanya Jannah. Aurora mengangguk.

“Jannah, udah dibilangin, kalau panggil Aurora jangan Ra, aku jadi suka ikut nengok.” Indira mencebik sebal.

“Indira kan udah dipanggil Dira, Aurora Rora. Ya apa salahnya?”

“Belakangnya sama-sama Ra. Yang dipanggil satu, yang nengok semua.”

“Apasih kalian, udah belajar-belajar, waktunya tinggal sepuluh menit,” tegur Aurora, melerai kedua temannya yang malah memperdebatkan nama panggilan. Dari dulu masalah nama panggilan tidak kelar-kelar.

“Indira, sih!”

“Kok malah nyalahin aku?” Indira tidak terima.

“Udah-udah. Apa nama pelabuhan yang Jepang bom milik pangkalan militer Amerika?” Aurora mengalihkan topik.

“Tanjung Perak.”

“Hih ngadi-ngadi, Jannah! Yang bener Pearl Harbour!”

Aurora tertawa melihat perdebatan kecil kedua sahabatnya. Mungkin, nanti ketika mereka sudah lulus, akan merindukan masa-masa di mana mereka berdebat mengenai panggilan nama, mungkin mereka akan merindukan rasanya duduk lesehan di depan kelas sembari belajar mepet untuk ulangan atau ujian. Mungkin mereka akan rindu belajar bersama-sama seperti saat ini.

***

Sejak lima menit yang lalu, Ben hanya memberikan cengirannya kepada Pak Ali. Saat ini murid dan guru itu ada di serambi masjid sebelah selatan, kawasannya jamaah laki-laki.

Pak Ali menelengkan kepalanya, menatap Ben keheranan. Pak Ali melihat Ben yang meraba tengkuknya sendiri, khas orang sedang gugup dan salah tingkah.

“Kamu ini kenapa? Daritadi katanya mau ngomong sesuatu sama saya. Ditunguin kok malah kayak orang yang lagi jatuh cinta aja.” 

Pak Ali tersenyum, sembari padangannya melihat sekitar yang cukup sepi karena baru masuk istirahat pertama, dan jarang yang ada salat dhuha, hanya ada beberapa murid yang bersimpuh di sajadah untuk menemui Sang Khaliq. Salah satunya adalah Saki. Dan Ben ikut dengan alibi ingin menemani Saki, padahal ada niat terselubung––berharap ketemu Aurora. Bukannya Aurora yang didapatinya, malah Pak Ali. Ben tidak melihat Aurora waktu dhuha ini.

“Bener, kan, kamu lagi jatuh cinta?”

Ben nyaris melotot mendengar tebakan Pak Ali.

“Pak Ali cenayang, ya?”

“Huuus!! Saya masih seorang hamba yang lebih percaya Tuhan, ketimbang hal-hal begituan.”

Ben meringis, “Bercanda, Pak.”

“Jadi bener, kamu lagi suka sama gadis?”

“Iya masa saya jatuh cinta sama bujangan, Pak, ngeri atuh.”

“Haha, lagi jatuh cinta sama siapa?” tanya Pak Ali menanggapi santai. Membiarkan anak muridnya mencurahkan isi hatinya, alias curhat kepadanya.

“Saya jatuh cinta, tapi sama orang muslim, Pak.” Ben melirihkan suaranya.

Pak Ali menatap Ben dengan tatapan yang tidak dapat Ben deskripsikan. Akan tetapi kemudian Pak Ali tersenyum dengan menepuk pundak Ben.

“Iya terus kenapa kalau jatuh cinta sama perempuan muslim?”

Ben keheranan mendapati reaksi Pak Ali yang biasa saja, seolah pernyataan Ben beberapa saat yang lalu bukanlah sesuatu yang patut dipusingkan.

“Pak Ali enggak kaget?”

“Kenapa harus kaget? Jatuh cinta itu adalah hal yang lumrah, sudah jadi fitrahnya setiap manusia.”

“Tapi saya suka sama perempuan muslim, Pak.”

“Enggak ada yang salah dengan kamu jatuh cinta, sekalipun itu dengan orang yang berbeda keyakinan dengan kamu. Yang salah adalah ketika kamu mengimplementasikan rasa cinta kamu kepada hal yang salah. Misalnya dengan berbuat zina. Zina juga banyak macamnya, bukan cuma dua orang yang bukan mahram melakukan hubungan suami istri. Bukan cuma itu. Ada zina mata ketika kamu memandang si dia dengan tatapan memuja dan dipenuhi syahwat. Ada zina pikiran ketika kamu selalu memikirkan si dia yang bukan mahram, yang haram bagi kamu. Itu dalam agama kami, Ben. Hanya saja kepercayaan setiap orang itu berbeda, dan dogma-dogma serta doktrin-doktrin, pun aturan dalam setiap agama itu berbeda. Dan kami menghargai itu, menghargai mereka yang tidak menyakini ajaran kami.”

Pak Ali suka ketika Ben serius mendengarkan apa yang diucapkannya. Memandang Ben, Pak Ali seperti melihat seorang pejuang yang berjuang mencari apa yang ingin ditemukannya. Memandang Ben, seperti melihat orang yang haus akan ilmu. Padahal sepengetahuannya, dulu Ben hanyalah si pembuat onar yang suka bolos dan melawan guru, si tukang rusuh yang berani jotos sana-sini. Dan jatuh cinta memang dapat merubah perilaku seseorang, kan?

“Ditahun akhir dakwah Rasulullah salallahu ‘alaihi wasallam di kota Makkah, kaum kafir Quraisy berputus asa dengan perkembangan Islam. Tapi, itu enggak menahan mereka untuk meningkatkan permusuhan kepada Rasulullah salallahu ‘alaihi wasallam. Sebagai usaha terakhir, mereka memberikan tawaran kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, bila engkau ingin jadi yang paling berkuasa maka akan kami angkat. Kami kumpulkan harta kami agar engkau menjadi yang paling kaya diantara kami. Engkau pun akan kami nikahkan dengan perempuan manapun yang engkau inginkan. Semua untuk engkau, asalkan engkau berhenti memburukkan tuhan-tuhan kami dan menyebutkan kelemahannya. Andai engkau tidak berkenan dengan penawaran itu, maka bagaimana dengan sesuatu yang lain? Setahun ini kami akan menyembah Tuhan engkau, setahun berikutnya, engkau menyembah tuhan-tuhan kami?” Maka Allah menurunkan surah Al-Kafirun.”

Pak Ali membacakan surah Al-Kafirun, kemudian beserta artinya.

“Katakanlah (Muhammad), wahai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.”

Ben ingat selembar surat yang pernah Aurora berikan kepadanya. Ayat keenam surah Al-Kafirun.

“Dalam ayat ini Allah mengajari kita yang dimaksud dengan toleransi. Bahwa agamamu adalah agamamu dan agamaku adalah agamaku. Kita tidak saling mengganggu. Maka jika aku meyakini sesuatu, itu bukan artinya memaksa kamu harus meyakini hal yang sama. Bukan juga berarti, ketika engkau meyakini sesuatu maka aku harus mengikutinya. Kalau kata orang zaman now, gak harus seragam, kan? Orang kan beda-beda.”

Pak Ali menoleh ke samping, Ben termenung dengan menunduk.

“Sudah mau bel masuk, kamu enggak ke kelas?”

“Nunggu Saki, Pak,” jawab Ben masih dengan menunduk menautkan kedua tangannya.

Pak Ali menengok ke arah pintu masjid, dan terkejut melihat Saki yang sedang berjongkok serta menyembulkan kepalanya, sementara badannya bersembunyi di balik pintu.

“Sudah selesai, Saki?”

“Lanjut, Pak,” sahutnya tanpa sadar.

Begitu menyadari dirinya ketahuan sedang mencuri dengar, Saki segera berdiri dan menghampiri Pak Ali disertai cengirannya.

“Maaf, Pak, saya enggak maksud nguping.”

“Awas, orang yang suka nguping––”

Stop, lo enggak perlu ngomong, gue udah tahu apa yang mau lo omongin!” Saki mengangkat tangan kanannya ke udara, meminta Ben untuk berhenti bicara.

Ben mendengkus.

“Jadi Ben lagi jatuh cinta sama siapa?” 

Pak Ali bertanya menatap Ben dengan senyuman jahilnya.

Saki menatap Ben dengan senyum misterius, kemudian beralih menatap Pak Ali.

“Sama anak rohis, Pak!

***

Siapa nih yang suka sama Saki? 

Ternyata cepu juga anaknya hahahah

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Ayat 23
1
0
Happy reading ^^
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan