Ayat 21

0
0
Deskripsi

Happy reading ^^

Ayat 21


 

Cinta yang tulus itu enggak akan menuntut balas. Cinta itu seharusnya bikin lo bahagia. Sedangkan sama gue, lo selalu sakit hati. Yang lo rasain itu bukan cinta, Brenda. Lo cuma terobsesi sama gue. Dan obsesi itu enggak akan berhenti ketika lo benar-benar dapat apa yang lo inginkan.

Benua Utara


 

Ben menatap kepergian mobil yang ditumpangi Aurora. Setelah membantu mengobati luka-luka Ben, Aurora memilih untuk pulang. Laki-laki itu menghela napas. Ben merogoh saku celananya, mengambil gawainya di sana, lalu mengirim pesan kepada seseorang.

Monyet Afrika

Rumah sakit mana?

Pada akhirnya, Ben harus bisa mengalahkan egonya yang setinggi langit untuk menemui Brenda, berbicara baik-baik kepada gadis itu. Omong-omong soal Monyet Afrika, itu adalah nama kontak Bintang di ponsel Ben yang dia ganti beberapa hari lalu.

***

Yang pertama Ben lihat ketika memasuki ruangan Brenda adalah Bintang yang sedang membujuk gadis itu untuk makan.

“Lo harus makan buat minum obat, Brenda.”

Menyadari kedatangan Ben, Bintang bangkit lalu menghampiri laki-laki itu.

“Gue mau lo selesein semuanya.”

Ben berdecih. Jika tidak ingat nasihat Aurora beberapa waktu lalu, Ben tidak akan mau datang ke mari.

Bintang keluar. Ben mendekati ranjang Brenda. Gadis itu menatap Ben dengan senyuman sendunya.

“Aku enggak nyangka kamu bakal datang jenguk aku,” ungkap gadis itu. Bibirnya tampak pucat dan wajahnya lesu.

Ben mengabaikan ucapan Brenda, laki-laki itu memilih duduk pada bangku yang tadi diduduki oleh Bintang. Ben harus belajar mengendalikan emosinya ketika berhadapan dengan Brenda. Ben harus belajar mengalahkan egonya. Dan sejak kapan Ben jadi berpikiran untuk ‘belajar’? Ben tersenyum mengingatnya, Aurora memang memiliki dampak yang luar biasa terhadap Ben. Gadis itu mampu merubah Ben dalam sekejap. Tidak, lebih tepatnya, jatuh cinta benar-benar merubah seseorang.

Brenda yang melihat Ben tersenyum ikut tersenyum. “Makasih Ben.”

Ben mengerjap menyadari kini dirinya ada di hadapan Brenda, bukan Aurora. Ben menghela napas.

“Kenapa lo bisa masuk rumah sakit? Apa patah hati sampai buat lo kejang-kejang kena ayan?” tanya Ben sarkas.

“Aku––”

“Obat tidur lagi? Atau sekarang obat tikus? Enggak sekalian sianida lo telen sampai hilang sekalian dari dunia?” tanya Ben lebih sarkas.

Brenda melihat Ben takut. Perkataan laki-laki itu begitu kasar. Dan hal tersebut mampu menjatuhkan harga diri Brenda sebagai perempuan. Tapi dasarnya gadis itu terlalu buta, dia dibutakan oleh cinta hingga apapun yang Ben lakukan tidak akan membuatnya kesal dan marah. Buta karena cinta sejujurnya hanyalah kebodohan dan ketidakwarasan otak manusia, seolah logika telah mati.

Menyadari perkataan kasarnya, Ben kembali menghela napas. “Sorry. Gue enggak bermaksud ngomong kasar. Gue cuma geram sama kelakuan lo, Brenda. Gue kasihan sama lo. Lo nyakitin diri lo sendiri cuma buat cowok seperti gue. Masih banyak laki-laki di luar sana yang lebih layak buat lo ketimbang gue, enggak seharusnya lo terus-terusan ngejar gue. Gue enggak layak dapat perjuangan berharga lo.”

“Ben, itu karena aku cinta sama kamu. Cintaku tulus.”

Bullshit, maki Ben dalam hati. Ben pikir, tidak ada cinta tulus yang memaksakan kehendak. Cinta yang tulus itu tidak akan menuntut balas. Tapi Brenda juga tidak salah. Dia tidak sepenuhnya memaksa, gadis itu hanya terlalu berjuang keras hingga lupa hakikat berjuang sesungguhnya. Memang pada dasarnya sesuatu yang tidak sesuai dosisnya hanya akan membuat over dosis.

“Yang lo bilang cinta tulus itu, enggak sesuai sama hakikat cinta yang sesungguhnya, Brenda.” Ben kambali memaki dalam hati. Dia berbicara hakikat cinta, dia sendiri tidak paham apa itu cinta. Yang dia bicarakan kali ini hanyalah apa yang tadi dia baca di internet ketika dalam perjalanan ke rumah sakit. “Cinta yang tulus itu enggak akan menuntut balas. Cinta itu seharusnya bikin lo bahagia. Sedangkan sama gue, lo selalu sakit hati. Yang lo rasain itu bukan cinta, Brenda. Lo cuma terobsesi sama gue. Dan obsesi itu enggak akan berhenti ketika lo benar-benar dapat apa yang lo inginkan.” Mantap! Ben berbangga diri dalam hati.

“Gunanya lo nyakitin diri sendiri itu apa? Jujur, kadang gue merasa bersalah, tapi gue bisa apa? Hati gue enggak bisa gue kasih ke elo. Cinta enggak bisa dipaksa, kan?”

“Tapi aku enggak pernah paksa kamu,” cicitnya.

Wow, pembelaan yang sangat sia-sia, decak Ben dalam hati, menjadi kesal. Jelas-jelas Brenda selalu mendatangi Ben, menyodorkan cinta padahal jelas-jelas Ben menolaknya. Ingin berkata kasar, tetapi dia kembali ingat nasihat Aurora bahwa berbicara dengan perempuan itu harus dengan kelembutan.

Ben menghela napas, mencoba kembali bersabar dan terus bersabar. Ben ingin ini cepat selesai.

“Brenda, gue datang ke sini karena mau minta maaf atas semua tindak-tanduk buruk gue selama ini sama lo. Gue mau semuanya selesai. Gue ke sini mau kasih lo pengertian, kalau enggak semua yang ada di dunia ini harus sesuai sama apa yang lo inginkan. Kita udah putus, kita udah selesai. Maaf karena selama ini gue sekadar jadiin lo tameng dari setiap ancaman Bintang. Gue jadiin lo pacar buat jadiin lo tameng, Brenda. Gue enggak pernah serius soal gue jadiin lo pacar. Gue cuma butuh lo, bukan ingin. Sekali lagi sorry, gue enggak bisa menghalau itu semua,” sesal Ben. Kali ini Ben tulus mengakui kesalahannya.

Tanpa bisa dicegah, Brenda menangis. Memang mungkin semuanya harus sampai di sini. Kisah cintanya dengan Ben harus berakhir. Mungkin memang harus sampai di sini dia mencintai Ben. Brenda tidak yakin yang Ben katakan bahwa dirinya hanya terobsesi kepada laki-laki itu. Karena Brenda merasa, cintanya benar ada dan tulus untuk Ben, hanya saja caranya dalam menunjukkan cintanya itu yang salah.

***

Ben keluar dari ruangan Brenda. Setelah perbincangan panjangnya dengan Brenda, akhirnya Brenda sepakat dan mau berdamai dengan perasaannya. Dia tidak akan lagi mengganggu Ben, dia akan mulai mengikhlaskan dan menerima kenyataan bahwa Ben tidak pernah menerima cintanya. Mereka hanya akan berteman, atau bahkan menjadi orang asing.

Di bangku koridor, Bintang duduk di sana. Ben menghampiri laki-laki itu, berdiri di hadapan Bintang. membuat lelaki yang tadi sedang menunduk dengan menyatukan kedua tangan untuk menyangga kepalanya, mengangkat kepala.

Ben mendengkus, lalu ikut duduk di samping Bintang, menyisakan ruang kosong di antara keduanya.

“Lo bohongin gue, Nyet!” ketus Ben, merasa dikhianati.

Bintang mengernyit. “Maksud lo apa?!” tanyanya sewot, tidak terima tiba-tiba dituduh.

“Lo bilang Brenda sekarat. Bullshit! Orang sehat gitu dibilang sekarat. Sekarat beneran tahu rasa lo.”

“Dia memang sekarat, Sat! Dia minum parfum hampir satu botol dan sempat kejang-kejang. Lo bilang itu sehat?”

Ben terlongong. Tidak habis pikir dengan apa yang baru saja didengarnya. Brenda meminum minyak wangi hampir satu botol. Sangat tidak waras, pikirnya. Ben menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Setres adek lo. Bisanya nyusahin aja. Makanya lo jangan main ancam-ancam gue, semuanya enggak akan memanjang gini masalahnya. Lo pematiknya. Gara-gara lo gue harus repot datang ke sini.”

Bintang hanya diam mendengar ocehan Ben. Ben melirik Bintang. “Gue tagih janji lo. Masalah kita selesai. Gue enggak mau lo gangguin hidup gue dan orang-orang dekat gue. Kalau lo cowok, lo bakal tepatin janji lo. Kalau lo ingkar, itu tandanya lo monyet beneran,” cerocos Ben.

Terdengar helaan napas di samping Ben. “Gue juga enggak mau kali punya masalah soal perusahaan sama lo. Kalau soal balap gue enggak terlalu pusing, soal kerja sama dengan Praha Tbk, itu bokap gue yang paksa.”

Ben memicingkan matanya kepada Bintang yang ada di sampingnya. “Lo curhat?” tanyanya dengan tampang menyebalkan.

“Terserah lo. Gue bakal usaha buat tepatin janji.” Seletah mengatakan itu, Bintang bangkit dari duduknya, kemudian berjalan ke ruang rawat inap Brenda, meninggalkan Ben.

Ben menghela napas. Dia berharap agar tidak lagi memiliki masalah soal pekerjaan ayahnya. Ben memang biangnya masalah, tapi jika sudah menyangkut ayahnya, dia sulit mengendalikan diri. Ketika menunduk untuk mengurut pangkal hidungnya, tiba-tiba sepasang flatshoes ada di hadapannya. Ben mendongak menatap siapa yang tiba-tiba berdiri di hadapannya. Sektika tubuhnya menegang, matanya enggan berkedip dan mulutnya terkatup rapat.

Ben seketika bangkit setelah beberapa saat dalam keterdiamannya. Dadanya bergemuruh. 

“Ben, tunggu!” seorang wanita mencegah langkah Ben.

Sungguh, jantung Ben berdetak begitu cepat. Ben tidak siap dan tidak pernah siap bertemu wanita yang kini menahan tangannya. Kedua kalinya Ben bertemu di rumah sakit ini. Pikiran Ben benar-benar berkecamuk.

Wanita itu membalik tubuh Ben hingga keduanya saling bertubrukan. Wanita tersebut memeluk Ben dengan begitu erat. Ben hanya mampu mematung, otaknya mendadak tidak bisa berpikir jernih.

“Bunda kangen kamu, Ben.” Ben dapat mendengar isakan kecil lolos.

Sungguh, kali ini hati Ben serasa mencelos, jantungnya bagai copot dari tempatnya berada, darahnya berdesir hebat. Tersadar dari keterkejutannya, Ben buru-buru melepaskan pelukan wanita yang mengaku sebagai bundanya.

“Maaf.” Usai mengatakan itu, Ben berbalik dan pergi meninggalkan wanita tersebut. Ben berjalan dengan tergesa. Tak dinyana, wanita itu mengejarnya.

“Ben, tunggu! Kamu enggak kangen sama Bunda?”

Ben tidak percaya dengan apa yang kini dialaminya. Wanita itu––benar bundanya, terasa sulit hanya untuk sekadar mengakui status tersebut bagi Ben. Yang membuat Ben tidak habis pikir adalah setelah meninggalkan Ben bersama ayahnya, setelah sekian lama pergi entah ke mana bak ditelan bumi, wanita itu datang dan mengatakan rindu. Ben selama ini tidak pernah ingin mencari tahu tentang wanita yang telah melahirkannya lalu meninggalkannya begitu saja, Ben anggap wanita di hadapannya kini telah menelantarkan Ben selama bertahun-tahun. 

Terakhir Ben mendengar kabar tentang bundanya, adalah kabar yang benar-benar mematahkan hati laki-laki itu untuk yang kesekian kalinya. Ben mendengar dari ayahnya, bahwa bunda yang pernah disayanginya dengan teramat sangat telah menikah dengan pria lain. Ben pikir, apa wanita yang mengaku bundanya itu tidak memikirkan bagaimana perasaan Ben?

Maria Tirtasamita. Wanita yang dulu Ben sayangi, wanita yang menjadi cinta pertamanya, wanita yang mengajarinya berjalan, wanita yang mengajarinya bicara, wanita yang dulu memberinya kasih sayang, wanita yang dulu selalu membacakan cerita pengantar tidur untuk Ben, wanita yang dulu selalu ada ketika Ben sedih. Kini wanita itu tak pernah ada lagi di sisinya, tak lagi membujuk Ben agar mau makan, tak lagi membuatkan bekal sekolah Ben, tak lagi khawatir jika Ben pulang dengan baju kotor karena berkelahi dengan teman sekolahnya. Wanita itu meninggalkan Ben ketika laki-laki itu masih menjadi bocah ingusan di bangku sekolah dasar. Dan kini, yang selalu ada untuk Ben hanya ayahnya.

“Aku enggak pernah merindukan orang yang sudah berani meninggalkan suami dan anaknya.”

Ben enggan berbalik, laki-laki jangkung itu masih memunggungi bundanya. Ben tidak paham dengan perasaannya. Antara kecewa dan rindu bercampur menjadi satu. Tapi dalam logikanya, ego yang memenangkan kelembutan hati.

“Bunda bisa ngobrol sama kamu?” tanya Maria bergetar. Terlalu kelu untuk mengakui segala kesalahannya kepada Ben.

“Sudah malam, aku mau pulang.”

Tanpa mampu mencegah lagi, wanita itu membiarkan Ben pergi dan hanya mampu menatap punggung itu yang kini terlihat ringkih dengan tatapan penuh penyesalan.

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Ayat 22
0
0
Happy reading ^^
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan