Ayat 19

0
0
Deskripsi

Happy reading ^^

Ayat 19


 

Terkadang, Aurora sangat ingin menjadi Andra, atau setidaknya anak laki-laki––agar papanya mau peduli dan memberikan perhatian kepadanya. Harun sangat mendamba anak laki-laki. Ketika mama kandung Aurora dinyatakan tidak bisa hamil lagi setelah Aurora lahir, hal itu membuat Harun memilih untuk menikah lagi dengan cinta pertamanya––Nita––mamanya saat ini.

12  tahun yang lalu …

“Ara, anak Mama harus jadi gadis yang baik, ya? Nurut sama Papa. Ara mau janji, kan, buat nurut sama Papa?”

Aurora––gadis kecil berkepang dua itu menatap mamanya disertai senggukan. “Jadi benar kata Papa, kalau Mama mau ninggalin Ara sama Papa?” Ayunika––wanita berkerudung pashmina itu mendekap putrinya begitu erat. Ada yang harus dilepaskan, padahal hati tidak pernah menginginkannya.

“Mama akan selalu ada di hati Ara. Ara juga akan selalu ada di hati Mama. Nanti, kalau––” wanita itu merasa begitu sesak ketika akan mengatakannya, hatinya sungguh nyeri. “Kalau ada Mama baru, kamu jangan nakal. Kan ada yang gantiin Mama buat jadi Mama baru Ara. Jadi Ara enggak boleh sedih.”

Aurora menggeleng kuat. “Ara enggak mau, Ara cuma punya satu Mama! Nanti Mama pulang, kan?”

Ayunika mengusap air mata di pipinya, kemudian mengurai pelukannya, lantas menatap lekat mata Aurora dengan tangan memegang kedua bahu gadis kecil itu yang kini wajahnya sudah memerah dengan dipenuhi deraian air mata. “Ara harus jadi anak baik.”

Itu pesan terakhir Ayunika sebelum meninggalkan Aurora. Setelah mengatakan itu, Ayunika tidak pernah kembali, tidak pernah datang dan menemui Aurora barang satu kali. Kini Aurora paham, mengapa papanya menggugat cerai Ayunika dan memilih menikah lagi dengan Nita. Alasannya adalah Andra. Aurora mengerti, untuk melanjutkan bisnis keluarganya, Harun tidak membutuhkan anak perempuan, tetapi anak laki-laki. Sedangkan ketika beberapa kali hamil setelah melahirkan Aurora, Ayunika dinyatakan keguguran dan mengakibatkan kerusakan rahim. Hal itu membuatnya mau tidak mau, rahim wanita itu harus diangkat. 

Jika boleh memilih, Aurora lebih ingin menjadi anak laki-laki, agar kedua orang tuanya tidak perlu bercerai dan papanya tidak perlu menikah lagi, maka Aurora akan mendapatkan perhatian penuh dari sang papa begitu juga mamanya.

Meskipun begitu, Aurora tetap bersyukur atas apa yang Allah berikan untuknya. Dia yakin Allah memberikan yang terbaik untuk setiap hamba-Nya. Kadang manusia menginginkan sesuatu padahal itu belum tentu baik untuknya, dan sesuatu yang tidak diinginkan barangkali adalah yang paling baik untuknya. Aurora hanya perlu percaya kepada Allah azza wa jalla.

Aurora menghela napas, hatinya kembali sesak ketika mengingat mamanya. Gadis itu menatap angkot yang berhenti di depannya. Ketika memasuki angkot, Aurora dibuat terkejut oleh kehadiran Ben yang duduk manis disertai senyuman andalannya di pojok. Aurora hendak kembali turun, tetapi ketika melihat jam pada pergelangan tangannya, bisa-bisa dia terlambat. Mau tidak mau, akhirnya Aurora masuk dan duduk di ujung yang lainnya, membuat keduanya berhadapan.

Jika masih ada tempat kosong selain di depan Ben, Aurora akan memilih duduk di sana, daripada sepanjang perjalanan ke sekolah dia harus duduk berhadapan dengan Ben.

Sepanjang perjalanan, baik Ben maupun Aurora tidak ada yang bicara. Suasana hanya diisi oleh obrolan beberapa penumpang lain di angkot dan suara klakson serta bisingnya kendaraan di jalanan. Akan tetapi, sepanjang perjalanan itu pula, melalui ekor matanya Aurora dapat melihat Ben yang terus tersenyum dengan sesekali melirik ke arahnya.

Aurora pikir, apa laki-laki itu tidak lelah terus tersenyum? Orang lain bisa salah sangka dan menganggapnya tidak waras. Aurora memalingkan wajahnya, salah tingkah.

Angkot berhenti di halte depan sekolah. Aurora bergegas turun dan Ben mengikutinya. Ben mengejar Aurora hingga memasuki area sekolah.

“Ara, tunggu!”

Aurora terus berjalan tidak berhenti dan berusaha mengabaikan Ben.

“Ara!!”

Aurora mengepalkan kedua tangan di sisi tubuhnya. Banyak pasang mata memperhatikan mereka. Aurora tidak tahu apa yang orang-orang pikirkan tentangnya, tetapi dia tidak suka jika harus menjadi pusat perhatian. Dengan Ben, Aurora selalu menjadi santapan lezat mata-mata yang memandang penuh rasa penasaran, seolah dia adalah bahan gosip yang sangat menyenangkan.

“Aku pikir perkataanku kemarin mampu membuat kamu berhenti mengusik hidup aku, apa aku perlu memberimu tamparan yang lebih keras?”

Ben berdiri di depan Aurora, tetapi laki-laki itu malah menampilkan senyumnya. “Gue memang suka sama lo, tapi apa kita enggak bisa kalau seenggaknya temenan? Gue bakal senang kalau punya teman yang bisa mengajak gue pada hal-hal baik.”

“Kita memang teman satu angkatan, tapi untuk membawa hal baik, aku rasa kamu salah mencari orang. Kalau dosa itu berbau, bauku akan sangat busuk sampai kamu enggak akan mau berdekatan denganku. Jadi aku minta, jangan usik aku lagi.”

“Bukannya manusia hidup itu harus tolong-menolong? Gue minta bantuan sama lo, tapi seenggak mau itu lo nolong gue, Ra?”

Aurora menatap sekeliling, banyak pasang mata yang memperhatikan mereka. Aurora pikir, mungkin banyak yang menganggap Aurora adalah orang yang tidak tahu diri, karena ada orang yang minta tolong kepadanya, tetapi dia menolaknya mentah-mentah.

“Pacar kamu udah nungguin. Sebaiknya kamu selesaikan dulu masalah kamu.” Bukan tanpa alasan Aurora mengatakan hal itu. Dari kejauhan Aurora dapat melihat raut marah Brenda kepadanya dan Ben.

Ben mengikuti pandangan Aurora, terlihat Brenda yang berjalan menuju ke arahnya dengan tatapan tidak suka. Aurora memilih pergi. Aurora sangat tidak ingin berurusan dengan Ben, tetapi Ben selalu saja mencari urusan dengannya.

“Ben! kamu ngapain ngomong sama dia?” tanya Brenda menunjuk Aurora yang berjalan menjauh dengan tatapan tidak suka.

“Suka-suka gue lah!” Ben berjalan meninggalkan Brenda. Sangat malas berurusan dengan gadis ini.

Brenda mengejarnya. “Ben, aku enggak suka kamu dekat sama cewek selain aku,” ungkapnya.

“Ck, ribet lo! Hak lo apa ngatur-ngatur?!” kata Ben sewot.

“Aku itu pacar kamu,” tekannya.

“Jadi kalau pacar boleh ngatur, gue boleh dan enggak deket sama siapanya?” Brenda mengangguk.

“Gue lupa kalau pacaran cuma bawa dampak buruk. Kalau gitu, kita putus, fast, kan?” setelah mengatakan itu dengan tanpa rasa bersalahnya, Ben melenggang begitu saja.

“Ben! jangan bercanda!” Brenda mengejar Ben.

“Gue enggak lagi ngelawak.”

“Aku enggak mau putus sama kamu!”

“Bodo amat, Amat aja enggak bodo.”

Brenda berhenti mengejar Ben, gadis itu menatap punggung Ben yang kian menjauh. Hatinya sungguh sakit. “Aku selalu ngejar kamu, tapi kamu enggak pernah mau aku kejar. Kalau pun kamu mau, kamu selalu lari dengan kecepatan yang enggak akan mampu aku ikuti. Cinta memang aneh, ya, Ben? Semakin aku kejar, malah semakin jauh dia berlari.”

***

Aurora berjalan bersama Indira dan Jannah dari masjid usai salat zuhur hendak ke kelasnya. Aurora melihat Ben yang sedang berjalan seorang diri. Tanpa sadar, Aurora meremas roknya, merasa sedikit gugup.

“Kalian ke kelas duluan, ya, aku ada urusan sebentar.”

“Urusan apa, Ra?” tanya Jannah penasaran.

“Ada pokoknya, kalian ke kelas aja dulu.”

Setelah memastikan kedua temannya pergi, Aurora berjalan menghampiri Ben meski ragu-ragu.

“Benny.”

Ben menghentikan langkah saat seseorang memanggilnya dari belakang. Ben berbalik dan mendapati Aurora di sana. Lelaki itu tersenyum seketika.

Aurora mengulurkan tangannya, memberikan sebuah kertas yang dilipat kepada Ben. Ben menerimanya. Setelah menyerahkan kertas tersebut, Aurora pergi tanpa sepatah kata. Ben mengernyit. 

“Aneh,” ungkapnya.

Lelaki itu membuka lipatan kertasnya, membaca isi surat tersebut dengan kernyitan yang makin lama makin banyak muncul lipatan.

Ben melihat selembar kertas berwarna biru muda di tangannya itu dengan perasaan campur aduk, dadanya bergemuruh. Kertas berisi untaian kalimat itu berhasil merobohkan segala harapannya. Berharap kepada manusia ternyata semenyakitkan ini. Ben rasanya ingin memutar waktu saat dia belum mengenal Aurora. Ben menyesal telah terbuai akan asmara bernama cinta. Ben ingin memutar waktu saat dirinya acuh tak acuh terhadap rasa bernama cinta.

Untuk Sang Al Kafirun

Q.S Al-Kafirun:6

دِينِ وَلِىَ دِينُكُمْ لَكُمْ

 “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.

Kita beda, aku harap kamu mau memahami itu.

(aurora)

Ben memandang kertas di tangannya dengan bimbang. Apa yang Aurora tulis di sana sejatinya benar, tak ada yang salah. Ben saja yang terlalu berharap bahwa apa yang tertulis di sana adalah salah.

Seseorang menepuk pundak Ben dari belakang. Saki berdiri mengangkat satu alisnya kepada Ben. “Diem-diem bae.”

Ben menghela napas, memasukkan surat dari Aurora ke saku celananya sembarang. “Gue habis patah hati untuk yang kesekian kali.”

Keduanya berjalan menuju kelas. “Patah hati karena putus sama Brenda? Bukannya lo yang mutusin, kok lo yang patah hati? Atau lo udah jatuh cinta sama Brenda?” Saki sudah tahu fakta bahwa Ben dan Brenda sudah putus. Bahkan kabar itu merebak hampir keseluruh warga sekolah. “Gue dengar Brenda izin pulang tadi. Ada yang bilang karena putus dari lo, dia patah hati lagi, dan milih pulang. Izinnya sakit. Sakit-sakit-sakit hati jadi alesan, hadeeh.” Saki menepuk jidatnya, merutuki tingkah remaja zaman sekarang. Patah hati karena laki-laki seperti esok tak ada hari lagi.

Sorry, ya. Ogah banget gue patah hati karena adiknya Bintang kecil. Dan soal dia pulang karena sakit hati gue putusin, udah risiko. Salah siapa mau pacaran sama gue,” ujarnya santai.

“Terus, lo patah hati karena apa?”

Mau tidak mau, Ben merogoh saku celananya, menunjukkan selembar kertas dari Aurora kepada Saki. Saki hanya tersenyum setelah membaca isinya. “Idaman banget Aurora itu.”

Ben menggeplak lengan Saki hingga membuat laki-laki itu mengaduh. “Biasa aja kali. Gue tahu lo suka sama Aurora, dan masalah Aurora suka atau enggaknya, enggak akan merubah apapun kalau udah masalah keyakinan.”

Ben menunduk, menendang kerikil di depannya. “Terus gue harus gimana? Walaupun dia enggak suka sama gue, tapi kan masih bisa temenan. Dianya enggak mau.”

“Kalau mau mendekati manusia, dekati dulu Penciptanya, Pemiliknya. Kami berkeyakinan, bahwa semua yang ada di dunia dan alam semesta ini hanya milik Allah. Sejatinya manusia itu enggak memiliki apapun karena semua yang ada adalah milik Allah. Kalau kata Imam Syafi’i, jangan mencintai orang yang tidak mencintai Allah, kalau dia berani meninggalkan Allah apalagi meninggalkanmu? Percaya, deh, yang seagama aja berat, apalagi beda? Mungkin Aurora mikirnya gitu.”

“Tapi kan kita bisa temenan. Bukannya berteman enggak boleh pilih-pilih?”

“Berteman memang enggak boleh pilih-pilih. Gue yakin Aurora bukan orang yang pilih-pilih buat berteman sama seseorang. Mungkin, ini mungkin ya. Mungkin dia cuma mau jaga hatinya aja, biar enggak ikut jatuh kayak lo. Kayak yang gue bilang tadi, kalau kami jatuh cinta sama yang seiman aja berat, apalagi yang beda? Seamin tapi enggak seiman, duh, berat, Ben. Gue yang bayangin aja ngelu.”

Ben kembali menghela napas. Saki yang melihatnya hanya merangkul Ben dan menepuk-nepuk pundaknya sembari berkata, “Nama mertua abang gue Sabar, jadi lo harus sabar,” katanya dengan raut yang sangat menjengkelkan.

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Ayat 20
0
0
Happy reading ^^
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan