
Happy reading ^^
Ayat 15
If you fall in love with the glow of the moon, the sparkle of the stars and the aesthetic of the sun, how could you not fall in love with the Creator of them all?
-themuslimahclub-
Ben menghentikan Ferrari hitam yang dikendarai, kembali membaca alamat rumah pada gawainya. Lalu Ben menatap bangunan megah tertutup gerbang yang menjulang tinggi di depannya. Laki-laki itu keluar untuk memencet bel, dan tak lama seorang satpam keluar.
“Ada yang bisa saya bantu?”
Ben menunjukkan alamat di ponselnya, “Ini benar alamatnya?”
Setelah melihat, satpam dengan nama Ijo pada seragamnya itu mengangguk. “Benar, Mas.”
“Saya mau ketemu sama Pak Harun, ngantar berkas ayah saya. Adyasa Abadi.” Ben mati-matian menahan tawanya karena mengetahui satpam di hadapannya itu bernama Ijo. Mulut Ben sangat gatal untuk bertanya, Pak, kalau punya saudara perempuan, ada yang namanya Pink enggak?
Ben pikir, mungkin ketika memberi nama, orang tua Pak Ijo terinspirasi dari buta ijo, kolor ijo atau hulk mungkin. Ben buru-buru mengenyahkan pikiran ngawurnya. Dalam hati berteriak, Ara satpam lo pengen gue warnain ijo beneran!!
“Sebentar.” Pak Ijo masuk dan tampak bicara melalui interkom di pos. Tak lama satpam itu kembali dan membukakan gerbang. “Silakan, Mas. Bapak nunggu di dalam.”
Ben mengendarai mobilnya, memasuki pelataran rumah bergaya mediterania itu. Ben berdecak kagum. “Ara, lo tuh anaknya orang kaya, tapi lo enggak banyak gaya. Gue makin salut.” Jika sebelumnya Ben akan menyangkal habis-habisan perasaannya, kini tidak lagi. Dia suka, ya bilang suka.
Baru saja Ben keluar mobil, dia melihat seorang gadis dengan bennie pink dan pakaian yang serba pink itu sedang duduk di ayunan taman depan rumah. Lengkap sudah, tadi Pak Ijo dan sekarang Mbak Pink. Ben mengedikkan bahunya tak acuh, tetap berjalan tanpa menyapa. Akan tetapi, Ben tidak menyapa, malah gadis yang Ben ingat namanya Amanda itu menghampirinya dengan senyuman. Menyapa Ben dengan begitu ramah.
“Kamu yang waktu itu di halte, kan? Kok ada di sini?”
Ben tak menghiraukan Amanda, laki-laki itu kembali berjalan.
“Oh iya kita belum kenalan. Aku belum tahu nama kamu.”
“Memangnya gue peduli?” ketus lelaki itu.
Ben memencet bel dan tak lama seorang wanita dewasa berkerudung instan membuka pintu. Sementara Amanda masih mengekor di belakang Ben.
“Kamu anaknya Pak Adyasa, kan?” Ben mengangguk. “Ayo masuk.”
Ben mengikuti wanita itu, membawanya ke ruang tamu yang luas, terdapat lampu gantung besar, serta vas-vas besar di sudut ruangan. Ben melihat seorang laki-laki seusia ayahnya tengah duduk di sofa beludru dengan seorang anak laki-laki yang Ben taksir masih duduk di bangku sekolah dasar. Anak laki-laki itu memegang pena dan buku, diperlihatkan bukunya kepada pria dewasa di hadapannya.
“Pa, Andra enggak bisa ngerjakan yang ini.”
“Minta diajarin sama Mbak Ara dulu, Papa ada tamu.”
Ben dapat melihat Andra mencebik, lalu pergi dari sana, berjalan menaiki tangga. Ben masih memperhatikan Andra hingga hilang di balik pintu yang Ben tebak adalah kamar Aurora. Ben mengangkat satu sudut bibirnya, tak dinyana, Aurora dipanggil Ara jika di rumah. Ben kira hanya dirinya yang memanggil gadis itu dengan sebutan Ara.
“Andra, anak kedua saya. Dia sedikit manja,” ujar Harun tiba-tiba, membuat Ben mengalihkan atensinya kepada laki-laki itu. “Silakan duduk.”
Ben duduk pada sofa empuk di sana, kemudian menyerahkan map cokelat yang berisi salinan kontrak kerja sama kepada Harun.
“Saya disuruh Ayah untuk mengantar map ini.”
“Ayah kamu sudah mengabari, terima kasih sudah mau mengantarnya.”
Ben mengangguk, “Sama-sama, Om.”
Ben––jika sudah urusan pekerjaan, sifat berandalnya tidak akan dia keluarkan sembarangan. Bisa-bisa semua rekan kerja ayahnya membatalkan kerja sama karena ulah Ben.
Di sisi lain, Amanda di dapur melihat tantenya dengan senyuman. “Tante Nita, biar Amanda aja yang bawa ke depan.”
Wanita itu mengangguk. “Hati-hati.”
Amanda membawa nampan berisi minuman dan biskuit. Setelah meletakkan minuman dan camilannya, Amanda ikut duduk pada salah satu sofa yang kosong. Gadis itu menatap Ben dengan senyuman yang tak luntur dari bibir pucatnya.
Harun yang melihat keponakannya mendadak tersenyum lebar mengernyit heran. Baru kali ini dia melihat Amanda tersenyum begitu dan nampak ceria.
“Dia siapa, Om?” tanya Amanda.
“Anak rekan kerja Om.”
“Namanya, Om,” tekan gadis itu.
Ben memutar bola matanya malas.
“Tanya sendiri, lah.” Harun menggoda Amanda. Laki-laki itu dapat melihat raut berbeda dari Amanda ketika menatap Ben. Harun bisa langsung menebak bahwa Amanda menyukai Ben.
“Enggak mau jawab.”
“Memangnya kamu udah tanya?”
“Dua kali, dan enggak dijawab.”
Harun tertawa. “Benar, Ben?”
Ben meringis canggung. Cewek edan, umpatnya dalam hati. Ben datang kemari berharap bisa bertemu Aurora, tapi yang didapatnya malah perempuan lain. Ekspektasi memang sering tidak sesuai dengan realita yang dialami.
“Oh, nama kamu Ben? Salam kenal Ben,” ucap gadis itu ramah, tak lupa senyumannya.
Ben mengangguk dengan senyum yang dipaksakan. Laki-laki itu mengalihkan pandangannya, dan dia mendapati Aurora yang menuruni anak tangga. Ben merekahkan bibirnya terang-terangan tanpa mempedulikan Harun dan Amanda yang masih ada di sana.
Aurora yang melihat Ben ada di ruang tamu rumahnya, terkejut bukan main. Pikirannya jadi berkelana ke mana-mana, menerka-nerka segala kemungkinan mengapa Ben ada di rumahnya, mengapa Ben tahu alamat rumahnya, dan segala macam pertanyaan memenuhi pikirannya. Aurora kembali melanjutkan langkah menuju dapur hendak mengambil minum dan camilan untuk Andra yang sedang mengerjakan tugas sekolahnya di kamar Aurora.
Sekembalinya Aurora dari dapur dengan membawa nampan di tangannya, Harun memanggil Aurora.
“Ara, Ben katanya teman sekolah kamu, kok enggak disapa? Jangan buat Papa malu karena kamu bersikap sombong sama teman sekolah kamu!” hardik Harun.
Aurora mengeratkan genggaman pada nampan di tangan, mendengar ucapan pedas papanya. Perlahan gadis itu menarik sudut bibirnya secara paksa. Hal yang sangat sulit Aurora lakukan adalah berpura-pura, tapi keadaan selalu memaksanya untuk berpura-pura.
“Hai, Ben. Ngapain ke sini?” tanya Aurora basa-basi, masih bicara di tempatnya berdiri. Enggan menghampiri, atau nanti bisa bertambah panjang urusannya.
Ben mengerjap, “Ketemu lo.”
“Apa?!” Harun dan Amanda bertanya serempak, terkaget.
Ben kembali mengerjap, menyadarkan dirinya, “Maksudnya ketemu papa lo, ngantar berkas. Iya berkas.” Ben tersenyum, merasa salah tingkah di hadapan semua orang, ditambah Nita yang baru datang dari dapur juga ikut menyaksikan. Salahkan Ben karena mempermalukan diri sendiri.
“Oh, kalau begitu aku ke kamar dulu. Kalau udah selesai, jangan lupa langsung pulang.” Aurora menekan kata pulang, menegaskan usiran secara tidak langsung dan secara halus.
Tanpa menunggu jawaban, Aurora bergegas menuju kamarnya. Aurora kembali merutuki Ben dalam hati. Bisa-bisanya laki-laki itu berkata bahwa ingin bertemu Aurora di hadapan papanya. “Sabar, Ara. Kalau kata Saki, nama mertua abang gue Sabar, jadi gue harus sabar.” Aurora bermonolog.
Ben memang sangat tidak terduga. Tiba-tiba ada di rumahnya, tiba-tiba berkata hal nyeleneh di hadapan papanya. Dan tiba-tiba membuat Aurora jadi salah tingkah sendiri. Keinginan untuk tidak berurusan dengan Ben semakin membukit dalam diri gadis itu. Ben adalah orang pertama yang harus dia jauhi.
Sekeras apapun Aurora menolak, dia tetap memikirkan apa yang sore tadi Ben katakan kepadanya. Ben menyukai Aurora. Bohong jika Aurora tidak terusik sama sekali. Inginnya menyangkal apa yang pernah dia dengar dari Ben tentang pengakuan rasa sukanya kepada Aurora, tetapi bagaimanapun juga, Aurora tetaplah perempuan. Fitrahnya wanita itu perasa. Jika Aurora memilih diam dan menyangkal, hal itu karena dia hanya berusaha membentengi diri agar tidak menelan kecewa dikemudian hari.
Aurora menatap Andra yang sedang tengkurap di ranjangnya. Aurora menyayangi adiknya. Nama lengkapnya Andra Prameswara. Tetapi, ketika dia menyayangi, di sisi lain hatinya, dia menyimpan luka jika melihat bocah kelas 6 SD itu.
“Mbak, udah ini. Benar, enggak?” Andra menyodorkan bukunya, memperlihatkan hasil kerjaannya kepada Aurora.
“Udah benar. Asal kamu rajin latihan soal aja, pasti bisa ngerjain.”
Andra hanya mengangguk-angguk sok cool, lalu mencomot biskuit yang Aurora bawa tadi, kemudian duduk di sofa dan menyalakan televisi.
“Kok malah nonton tivi, tidur sana!” Aurora mematikan televisinya.
“Mbak Ara enggak asyik. Pantesan jomlo. Enggak pernah ada yang kasih surat cinta, ya?”
“Kamu masih kecil, enggak usah bahas cinta-cintaan, belajar aja yang benar biar ujian nanti dapat nilai bagus.”
Andra bangkit. “Andra saranin, cari cowok, Mbak. Oh iya, yang di bawah tadi tamu Papa lumayan ganteng loh, cuma aneh aja tampilannya, rambutnya diwarnain, kalungan, antingan. Tapi tetep good looking, Mbak.” Andra mengacungkan jempolnya, lalu menarik ibu jarinya itu dengan jari telunjuk membentuk angka tujuh ke bawah dagu. Andra nyengir lebar disertai kedipan matanya.
Aurora mendorong tubuh Andra untuk keluar kamarnya. “Enggak boleh pacaran. Pacaran itu mendekati zina. Lebih baik mencegah daripada jadi zina beneran. Awas aja kamu berani pacaran!” Aurora menutup pintu ketika Andra sudah benar-benar keluar dari kamarnya.
Aurora jadi terpikirkan tadi soal perkataan Andra mengenai surat cinta. Benar, Aurora memang tidak pernah mendapatkan surat cinta dari laki-laki. Paling mentok dapat surat hanya panggilan wali murid ke sekolah untuk rapat pembahasan biaya sekolah. Terkadang Aurora heran, sudah mengajak wali murid untuk rapat dan merundingkan besaran biaya bulanan sekolah, tapi pada akhirnya tetap keputusan ada pada pihak sekolah dan wali murid hanya bisa menyetujui apa yang sudah ditetapkan.
Aurora keluar menuju balkon kamarnya, menyangga tubuhnya pada pembatas. Matanya menerawang ke atas melihat bulan dan bintang yang saling bersaing menunjukkan siapa-siapa yang memiliki cahaya paling terang. Aurora jadi teringat dengan salah satu postingan pada akun Instagram di berandanya, if you fall in love with the glow of the moon, the sparkle of the stars and the aesthetic of the sun, how could you not fall in love with the Creator of them all?
Aurora merasa tertampar, dia kembali diingatkan bahwasanya, semua bentuk keindahan yang ada di dunia ini ada Pencipta-nya, dan bagaimana kita bisa mencintai ciptaan-Nya tanpa mau mencintai Pencipta-nya? Dan itulah mengapa setiap cinta pada makhluk ada kecewanya, sementara cinta kepada Khaliq, tidak akan kita temukan kecewa. Trust with Allah and we’re getting in peace.
Aurora yang sedang menatap langit, dikagetkan dengan kerikil kecil yang mengenai pembatas balkon hingga menimbulkan bunyi nyaring antara batu dengan besi. Aurora melihat ke bawah dan melihat Ben berdiri di sana dengan cengirannya. Aurora melotot. Gadis itu bertanya-tanya mengapa Ben tahu letak kamarnya? Sedangkan jika dilihat dari luar, letak balkon kamarnya itu ada di sisi kanan rumah.
Ben melambaikan tangannya kepada Aurora. Aurora buru-buru berbalik, masuk ke kamar sebelum ada orang yang melihatnya. Gadis itu menutup tirai jendelanya. Aurora kembali dikagetkan dengan dering ponselnya. Panggilan telepon dari nomor tidak dikenal.
Aurora baru menggeser tombol hijau, suara seseorang yang sangat ingin dia hindari malah terdengar, mengalun begitu mesra di gendang telinganya. Sepertinya akal sehat Aurora bermasalah hingga menganggap suara Ben terdengar mesra di telinganya.
“Bilangin makasih ke Andra karena udah berbaik hati kasih nomor lo.”
Aurora buru-buru memutuskan panggilannya, dan tanpa ragu memblokir nomor Ben.
Jika mengingat drama Korea yang sekarang sempat menjadi momok pembicaraan para pecinta drakor, ketakutan Aurora seperti ekspresi Cheon So Jin ketika mendapat telepon dan teror dari orang misterius.
***
Andra ini memang tipikal calon adek ipar yang baik deh kayaknya hahaha
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
