
Bingung akutuh mau ngetik apa, jadi aku kasih semangat aja yakkk, semangat bacanya hehe
Ayat 10
Jangan sampai, niat lupain mantan lo juga buat lo lupa gimana rasanya jatuh cinta, Ben. Jangan sampai hati lo keras, apalagi mati.
Saki
Ben berjalan dari parkiran menuju kelas dengan ransel dan gitar akustik di punggungnya. Ben mengikuti ekstrakurikuler musik, tapi makin ke sini makin malas, jadi dia hanya mengikuti pelajaran wajibnya saja. Suatu keajaiban seorang Benua Utara berangkat sepagi ini, biasanya laki-laki itu berangkat paling pagi jam tujuh kurang dua menit, menit-menit gerbang akan ditutup. Tapi karena semalam dia pulang cepat dan tidur cepat, oleh sebab itu jam setengah tujuh dia sudah ada di sekolahan.
Ben melihat punggung seorang gadis berkerudung lebar. Ben hapal ransel kulit berwarna biru dengan bandul boneka koala kecil yang digunakan gadis itu––milik Aurora. Ben mempercepat langkah, menyejajarkan langkahnya dengan Aurora. Dan tentu hal itu tak luput dari perhatian beberapa murid lain. Adalah hal tabu dan langka seorang Benua Utara menghampiri perempuan, bahkan sampai laki-laki itu disebut anti perempuan. Tapi walau begitu, tetap saja banyak gadis menghampirinya dan menyatakan suka bahkan cinta.
“Putri Aurora.”
Aurora mempercepat langkahnya, dan Ben ikut mempercepat langkahnya.
“Udah aku bilang, jangan panggil Putri Aurora!” katanya ketus.
“Oh iya, lupa. Aku kan panggil kamu Ara,” ujarnya bergaya dengan bahasa ‘aku-kamu’.
Aurora tidak menghiraukannya, dia terus menatap ke depan, berjalan lebih cepat.
“Jalannya pelan-pelan dong, kayak dikejar setan aja.”
“Memang.”
Ben melotot, terlongong mendengar gumaman Aurora.
“Jadi bagi lo, gue ini setan?”
“Kapan aku ngatain kamu setan?”
Aurora ini diam-diam ngeselin. Ben mendenguks.
“Kamu ngapain ngikutin aku? Pergi sana! Kelas kita jauhan.”
“Kelas jauh enggak apa-apa, yang penting dekat di hati.”
Aurora melirik Ben, Aurora pikir ada yang aneh dengan laki-laki itu. Tidak penting mengurusi Ben yang makin hari makin aneh dan tak terduga. Apalagi bersikap tidak biasanya kepada Aurora. Gadis itu tidak ingin dekat-dekat dengan laki-laki, apalagi Ben. Dia hanya tidak ingin terjebak. Aurora melarang dirinya sendiri untuk jangan dulu bermain asmara, Aurora hanya ingin lebih mencintai Allah sebelum mencintai hamba-Nya. Kenapa pikirnnya ke sana, cinta-cintaan? Aurora menggerutu dalam hatinya, menyadari tingkahnya jadi asing. Dan itu gara-gara Ben. Aurora memang tidak boleh berdekatan dengan Ben, dia harus menjauhi laki-laki itu.
Keduanya telah sampai di depan kelas Aurora. Banyak yang melihat mereka dan berbisik-bisik, mulai dari mereka yang berseliweran ataupun yang sedang duduk-duduk di depan kelas. Aurora dan Ben berhenti di depan kelas.
Aurora memandang Ben tidak suka, tetapi kemudian dia mengembuskan napasnya, beristighfar. Sepertinya dekat-dekat dengan Ben ada baiknya juga, dia jadi sering beristighfar. Seperti tadi saja ketika baru dipanggil oleh Ben di jalan, Aurora menyebut nama Allah. Memang, dasarnya setiap apa yang terjadi––seburuk apapun hal itu, pasti akan membawa kebaikannya sekaligus walaupun hanya satu kebaikan. Kadang, manusianya saja yang kurang bersyukur dan berujung menyalahkan takdir, bahkan Allah, hanya karena sesuatunya terjadi tidak sesuai dengan harapan mereka.
Apalagi, orang yang mengatakan Allah tidak adil. Sesungguhnya orang itulah yang tidak adil kepada Allah dan kepada dirinya sendiri. Dia tidak adil karena menghakimi Allah––Sang Pemilik Keadilan itu sendiri. Dan dia tidak adil karena membiarkan dirinya menghakimi Hakim paling adil. Allah jelas Mahaadil. Dia menakar segala sesuatunya tanpa cacat. Dia selalu menampakkan keburukan tanpa lupa menampakkan kebaikkannya.
Ben tersenyum melihatnya, Aurora menundukkan pandangan dan kembali beristighfar. Kali ini keluar dari mulutnya, membuat Ben mengernyit.
“Kenapa?”
Aurora menggeleng, kemudian bergegas masuk kelas. Baru dua langkah melewati pintu, Aurora mendapati beberapa teman kelasnya ada yang manjat kursi di dekat jendela.
“Ngapain kalian?” tanya gadis itu melihat Jumadi dan beberapa teman laki-laki lainnya, yang perempuan juga ada. Mereka langsung turun dari kursi, berhamburan begitu kepergok.
Mereka nyengir.
“Lihat pemandangan di pagi hari yang penuh berkah ini. Besok kan minggu, jadi sekarang hari terakhir kita di sekolah pada minggu ini.”
Jumadi menggeplak kepala Yudi.
“Halah!” Jumadi memandang Aurora. “Lo ngapain sama Ben?” tanyanya. Mereka menjadi pusat perhatian.
Aurora mengembuskan napasnya. “Enggak ada apa-apa, kok.”
Aurora bejalan ke mejanya, duduk di bangku, berusaha bersikap biasa saja, seolah tidak terjadi apa-apa. Baru Aurora mendudukkan dirinya, Jannah yang duduk di sampingnya memberondong pertanyaan perihal dia dan Ben.
“Ra, makin hari, Ben makin sering deketin kamu! Waktu itu di masjid udah dua kali. Dan sekarang, kamu berangkat sama Ben?”
“Jannah, tadi itu kita cuma kebetulan ketemu di lorong, aku enggak tahu, ngapain dia ngikutin sampai ke kelas.”
Jannah tampak berpikir, mengetuk-ngetuk meja dengan jemari lentiknya. “Jannah penasaran. Jangan-jangan Ben suka sama kamu, Ra?”
Pertanyaan Jannah itu cukup mengusik hati dan pikiran Aurora.
***
Ben menuju kelasnya, di tengah jalan, ada seorang gadis yang mencegat jalannya. Ben mengangkat satu alisnya melihat seorang gadis tak berkerudung ditemani dua teman lainnya yang berkerudung.
“Apa?”
“Kak, nanti setelah pulang sekolah, ada waktu luang?” tanya gadis tak berkerudung itu. Dan dari sana Ben tahu bahwa dia adalah adik kelasnya.
“Enggak.”
Setelah mengatakannya dengan ketus, Ben berjalan begitu saja meninggalkan ketiga gadis tersebut.
Di depan kelas, Ben disambut oleh teman-temannya dengan nyanyian-nyanyian oleh grup band dadakan––percampuran antara anak-anak kelasnya dan anak kelas sebelah.
“Gitar, Ben!”
Ben menyerahkan gitarnya kepada Bima, membiarkan laki-laki itu untuk memainkannya. Sementara Ben ikut duduk di antara mereka, dekat Saki.
“Saki, lo pernah suka sama cewek?” tanya Ben tiba-tiba. Beruntung tidak ada yang mendengarnya selain Saki, lantaran suara berisik nyanyian teman-temannya.
Saki cukup terkejut dengan pertanyaan Ben. Akhir-akhir ini, Saki pikir memang ada perubahan yang signifikan dari Ben, terutama soal perempuan.
“Lo kira gue enggak normal, sampai enggak pernah suka cewek?” ketusnya.
“Lo kan jarang banget bahas soal cewek. Sad girl aja lo enggak pernah mau bahas. Gue kira lo belum puber.”
“Lo tuh, puber jilid dua.”
Saki ini memang kelihatannya saja agamis, pemuda hijrah, pandai memberi nasihat, terlihat cukup berwibawa dalam penyampaiannya ketika memimpin rapat organisasi, tapi mulutnya pedas banget.
“Najis banget, lo! Mending dong, puber jilid dua, daripada lo enggak puber-puber.”
Saki dan Ben, kalau sudah bertukar argumen dan bicara hal yang cukup sensitif bagi keduanya, kata-kata pedas pasti terlontar dengan mudahnya. Tapi mereka tidak pernah benar-benar sampai terbawa emosi. Jika ada yang sudah terlihat urat lehernya, pasti salah satu akan memilih untuk mengalah. Itu namanya pertemanan. Mengalah bukan berarti kalah, justru dialah pemenang sesungguhnya.
“Astaghfirullah, mertua abang gue namanya Sabar, jadi gue harus sabar.”
“Lo enggak punya abang, heh!”
“Bodo amat. Yang jelas gue udah puber, dan gue pernah suka cewek.”
Ben hampir terbahak melihat raut wajah Saki yang semakin bete’ dan suaranya bernada ketus.
“Rasanya gimana?”
“Katanya lo udah punya mantan, ya lo harusnya paham gimana rasanya suka sama cewek, Ben.”
Ben terkekeh, benar juga.
“Saki, yang namanya mantan tuh, udah enggak boleh lagi gue inget-inget. Ibarat mantan itu makanan, kalo udah gue makan, ya habis, jadi tinja, dan dibuang ke jamban.”
“Jorok banget lo!”
“Mantan kan memang jorok.”
“Tapi gitu juga, lo pernah suka, mendamba, dan mencintai. Lo pernah sayang. Kalo lo bilang mantan itu kotoran, sama aja lo pernah mencintai kotoran.”
“Udah lah, males bahas mantan, lagian kan cuma masalalu. Lupain aja.”
Saki menepuk pundak Ben, “Gue enggak tahu kisah cinta lo sama mantan lo itu gimana, sampai lo kelihatan banget enggak suka. Tapi jangan sampai, niat lupain mantan lo juga buat lo lupa gimana rasanya jatuh cinta, Ben. Jangan sampai hati lo keras, apalagi mati.”
***
“Kalian mau ke tempat tongkrongan dulu enggak apa-apa, gue mau urus masalah Bintang.”
Teman-temannya menatap Ben.
“Lo yakin mau sendirian?” tanya Toriq.
“Udah kalian tenang aja. Gue bisa atasi ini sendiri. Kalian tunggu aja hasilnya.” Ben tersenyum misterius.
Ben pergi meninggalkan teman-temannya. Ketika baru melewati gerbang, dia melihat Aurora yang berjalan menuju halte. Terlintas sebuah ide di kepalanya. Ben membelokkan arah menuju halte. Banyak orang menunggu di sana karena hari belum terlalu sore.
Ben berdiri di samping Aurora, sembari memainkan gawainya.
“Kamu ngapain di sini?” tanya Aurora, bertanya lebih dahulu. Beberapa ada yang memperhatikan Ben, mereka merasa heran karena tidak pernah melihat Ben menunggu di halte sebelumnya.
“Kepo.”
Aurora beristighfar. Aurora tidak akan bertanya lagi, biarkan saja Ben berbuat sesukanya. Toh, apa pedulinya sampai bertanya kepada Ben? Dia pikir, Ben ke sana karena menghampirinya, begitu? Aurora terlalu percaya diri.
Gadis itu memilih diam.
Angkot datang dan Aurora masuk begitu saja tanpa mempedulikan Ben. Tanpa di duga, Ben ikut masuk, laki-laki itu duduk di hadapan Aurora, berhimpit-himpitan dengan banyak orang. Beberapa murid Triguna Utama memperhatikan Ben dengan berbagai macam tatapan.
Aurora diam saja, mengabaikan Ben. Sesekali gadis itu melirik Ben yang ternyata sedang memperhatikannya. Hal itu membuat Aurora merasa tidak nyaman, apalagi banyak orang di dalam angkot, beberapa murid SMA Triguna Utama menatap Ben dan Aurora terang-terangan.
Hingga perlahan penumpang mulai turun dan hanya tersisa Aurora, Ben dan dua orang ibu-ibu yang membawa kantong belanjaan.
Aurora tidak tahan untuk tidak bertanya, tapi dia tidak boleh bertanya, nanti dibilang kepo lagi, dan Aurora tidak suka itu.
“Lo enggak mau tanya gitu sama gue?” tanya Ben tanpa diduga.
“Tanya apa? Buat apa juga aku tanya? Nanti dibilang kepo lagi,” ketusnya.
Ben terbahak, menarik perhatian dua ibu di sana untuk memperhatikannya. Dan Ben tidak peduli itu.
“Baperan banget jadi orang.”
Ini yang paling Aurora tidak suka. Bukannya minta maaf karena mengatainya kepo, malah tambah mengatainya baperan. Aurora memilih diam tidak menggubris, tidak peduli Ben mau berkata apa, semerdeka laki-laki itu saja.
“Ara.”
Keterdiaman Aurora membuat Ben kembali bersuara.
“Ya udah gue turun.”
Aurora terkesiap. Sebenarnya Ben itu kenapa? Aurora tidak habis pikir dengan jalan pikiran laki-laki itu. Tindak-tanduknya benar-benar sulit dimengerti oleh akalnya.
Tiba-tiba gencar menghampiri Aurora, mengajaknya ngobrol, dan sekarang malah ikut naik angkot dengan Aurora. Lalu tiba-tiba berkata akan turun dari angkot begitu saja.
“Mang berhenti!”
Angkot berhenti, Ben memberikan uang kepada sopir angkotnya, lalu sebelum benar-benar keluar, Ben mengedipkan satu matanya kepada gadis itu. Hal itu tak luput dari perhatian kedua ibu-ibu di sana.
Aurora dengan segera memalingkan wajahnya ke samping, tapi malah mendapati respon ibu-ibu di sampingnya tersenyum menggoda kepada gadis itu. Ingin mengumpati tingkah Ben, tapi Aurora memilih beristighfar.
Dari luar, Aurora masih dapat melihat Ben tampak melambaikan tangannya ke arah Aurora ketika angkot mulai berjalan.
Ben melambaikan tangannya kepada Aurora. Senang juga menggoda gadis itu. Ada euforia tersendiri ketika menggoda Aurora. Ben pikir, karena dia sudah lama tidak melakukan hal itu––menggoda perempuan, itulah sebabnya Ben kembali merasakan kesenangan yang berlebihan.
Ketika sedang jatuh cinta, otak akan memproduksi dopamin ekstra, bahan kimia yang membuat seseorang gembira berlebihan. Apa Ben sedang jatuh cinta? Ketika ditanya seperti itu, tentu saja Ben akan menyangkalnya. Ben hanya tertarik, bergitulah dia menanamkan asumsi dalam otaknya. Laki-laki itu menggeleng, hatinya meresah.
“Gue enggak mungkin jatuh cinta,” sangkalnya pada diri sendiri.
Ben berjalan ke arah rumah sakit dengan santai. Laki-laki itu tanpa bertanya kepada resepsionis, sudah tahu ruangan mana yang akan dikunjunginya. Ketika sampai di ruangan yang ditujunya, Ben mengetuk pintu, hanya formalitas atas kesopanan. Jangan remehkan laki-laki berkalung metalik ini, meskipun penampilan dia urakan, layaknya berandalan di pinggir jalan, sopan santun juga dia masih bisa melakukannya.
Begitu masuk, seseorang berteriak memanggil namanya dengan riang gembira.
***
Kalo jatuh cinta mah jatuh cinta aja ya gak? Ketawa setan buat Ben
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
