
Pernikahan Lily dan Jeffry telah berhasil dilaksanakan. Mulai malam ini, drama rumah tangga mereka dimulai! Kesepakatan tetap kesepakatan.
©2024 WillsonEP Seluruh hak cipta dilindungi undang-undang
Terbit : 4 Januari 2024
Chapter 3
Hari ini tepat satu bulan setelah aku menandatangani surat kesepakatan pernikahan dengan seorang Jeffry Albert Prawira. Aku tidak menyangka acara pernikahan kami berdua hari ini berjalan dengan lancar. Padahal persiapan pernikahan ini bisa dibilang serba dadakan karena waktu yang tersedia hanya 30 hari. Aku ucapkan terima kasih kepada wedding organizer yang telah menyiapkan pernikahan yang luar biasa keren. Selain itu, aku ucapkan selamat kepada kedua orang tuaku, Papa Benny dan Mama Nara yang telah berhasil menyaksikan putri satu-satunya menikah.
Aku senang bisa membuat kalian bahagia hari ini. Senyuman bahagia kalian menjadi semangat bagi Lily untuk menjalani pernikahan tanpa cinta bersama Jeffry Albert Prawira. Aku dan Jeffry baru saja tiba di kediaman Jeffry yang berada di Kompleks Pacific Place Residence A3. Ini adalah kali pertama aku menginjakan kaki di rumah ini.
“Selamat datang di rumah saya, Ly.”
“Terima kasih atas sambutannya, Jeff.”
“Sama-sama. Anggap saja rumah sendiri ya. Jangan malu-malu.”
“Baiklah, sekarang bisa tunjukkan di mana kamar saya? Saya perlu bersih-bersih sekarang.”
“Tentu, saya sudah siapkan kamar untuk kamu, Ly. Mari ikuti saya. Kamarnya ada di lantai dua.”
“Oke, thanks.”
Kami mulai menaiki tangga menuju lantai dua rumah yang begitu mewah ini. Aku yakin ini bukan rumah hasil jerih payahnya. Pasti ini adalah rumah warisan yang diberikan Papa Albert, yang sekarang sudah menjadi mertuaku.
“Ini kamar kamu, Ly. Sekarang kamu bisa masuk dan bersih-bersih.”
“Oke, thanks. Kalau kamar kamu di sebelah mana?”
“Buat apa kamu tanyakan keberadaan kamar saya?”
“Ya, tentu saya harus tahu dong. Untuk melaksanakan butir tujuh, saya harus tahu kamar kamu di mana. Kalau orang tua kita datang tiba-tiba, berarti kita harus sekamar ‘kan?”
“Betul juga. Kamar saya di sebelah sana. Kamar utama rumah ini.”
“Oh, gitu. Kalau kamar yang saya tempati kamar apa? Kamar tamu atau mungkin kamar pembantu?”
“Ya, nggaklah, Ly. Mau bagaimana pun kamu istri saya sekarang. Kamar tamu dan kamar asisten rumah tangga ada di bawah. Ini kamar kosong selain kamar utama. Di lantai dua, ada tiga kamar. Satu kamar utama dan dua kamar pendamping. Kamar pendamping ini rencananya buat kedua anak saya kelak.”
“Oh, gitu. Jadi buat anak kamu ya? Sungguh Bapak yang penuh persiapan.”
“Terima kasih pujiannya, tapi tentu bukan anak kamu ya. Jangan kepedean.”
Kepedean? Siapa juga yang kepedean?
“Siapa juga yang mau punya anak dari kamu! Sudahlah, saya mau bersih-bersih dulu.”
“Oke, Ly. Selamat bersih-bersih dan istirahat.”
Aku beranjak masuk ke kamar tersebut. Kamar pendamping yang katanya disiapkan untuk anaknya Jeffry. Tunggu dulu, kalau dia nggak mau punya anak dariku, terus dari siapa? Apa pacarnya kali? Ah, kenapa jadi kepikiran? Padahal ini sama sekali bukan urusanku sesuai butir empat menjalani hidup masing-masing.
Jadi, sekarang waktunya bersih-bersih. Ini sudah malam dan aku harus segera istirahat.
-oOo-
Keesokan harinya. Aku bangun sekitar pukul 05.00 pagi. Setelah mandi pagi, aku memutuskan pergi ke dapur menyiapkan sarapan. Suasana rumah pagi ini begitu sepi, sepertinya pria bernama Jeffry itu belum bangun. Kembali dengan chef Lily yang hari ini akan memasak nasi goreng untuk sarapan pagi ini.
Dua porsi nasi goreng spesial ala chef Lily telah dihidangkan di meja makan. Aku yakin aroma nasi goreng yang kumasak ini sudah melewati tangga dan tercium hingga kamar Jeffry.
“Wah, wah, pagi-pagi kamu sudah bangun saja, Ly. Masak apa kamu? Aromanya sampai kamar saya.”
“Iya, dong. Lily gitu loh. Memangnya kamu baru bangun! Saya masak nasi goreng.”
“Iya, terserah kamu. Saya sengaja bangun agak siang karena hari ini saya masih cuti. Kamu memangnya nggak cuti?”
“Nggak, buat apa cuti? Toh, di rumah nggak ngapa-ngapain juga.”
“Kamu benar juga. Apa saya masuk ke kantor saja ya hari ini?”
“Terserah kamu. Butir empat, pihak pertama dan pihak kedua boleh menjalani hidup masing-masing.”
“Okay, fine. Ini nasi goreng buat saya?”
“Bukan, ini buat kucing tetangga.”
“Kucing tetangga? Memangnya tetangga di sini ada yang pelihara kucing? Kamu tahu dari mana? Setahu saya di sini nggak ada yang pelihara kucing “
“Saya hanya bercanda. Ya, buat kamulah! Memang ini tidak sesuai butir empat, tapi kasihan juga kalau kamu nggak sarapan. Aku takut kamu nggak bisa masak.”
“Memang saya nggak bisa masak. Kamu tahu dari mana?”
“Mama kamu.”
“Oh, gitu. Terima kasih ya, Ly. Dari aromanya pasti ini enak.”
“Sama-sama. Selamat makan.”
“Selamat makan juga, Ly. Ternyata gini ya rasanya punya istri. Saya jadi nggak perlu order online lagi deh.”
“Ya, itung-itung biaya aku tinggal di sini.”
“Oke, saya setuju. Setiap hari seperti ini ya? Masakan kamu sesuai selera saya.”
“Tidak masalah.”
Aku sama sekali tidak keberatan harus masak setiap hari untuknya. Bagi seorang chef seperti aku ini tidak masalah kalau harus memasak ratusan menu setiap harinya. Melihat mereka menyukai masakanku, tentu menambah semangatku dalam memasak.
“Hmm … telurnya hambar. Nggak kamu kasih apa-apa ya?”
“Iya, kamu kurang suka?”
“Ya, biasanya selalu dikasih garam kalau saya.”
“Oke, noted ya! Selain itu, ada lagi yang harus saya perhatikan?”
“Saya alergi udang. Jadi jangan pernah meminta saya makan udang.”
“Oke, saya nggak akan masak menu udang buat kamu. Kalau saya masak udang di sini nggak apa-apa?”
“Nggak masalah. Asal jangan suruh memakannya.”
“Oke, oke.”
Selesai sarapan, aku langsung bersiap pergi bekerja. Aku mengganti pakaianku dan segera berpamitan dengan Jeffry.
“Kamu yakin pergi kerja hari ini?”
“Ya, kamu keberatan? Kamu mau larang saya pergi?”
“Nggak sama sekali. Kamu mau pergi ya silakan. Kesepakatan pernikahan tetap berlaku loh. Perlu saya antar, Ly?”
“Nggak perlu. Saya bisa berangkat sendiri.”
“Okay. Saya balik ke kamar lagi deh. Mau lanjut tidur.”
Jeffry langsung beranjak pergi. Tanpa berlama-lama lagi, aku langsung menaiki mobilku. Kulajukan mobil menuju Pramana Hotel di mana aku bekerja. Sesampainya aku di tempat kerja, aku segera menuju ruang ganti.
“Lah, kok kamu masuk sih, Ly? Bukannya kamu baru menikah kemaren. Santai-santai dulu lah sama suami kamu, manja-manjaan. Oh, iya gimana tadi malam? Udah unboxing?”
“Aku nggak butuh lama-lama. Lagian ini sudah tanggung jawabku sebagai executive chef di sini. Aku harus memastikan semua baik-baik saja. Kerja harus profesional, Git.”
“I know that. Memangnya suami kamu nggak keberatan?”
“Nggaklah, dia malah dukung aku 100 persen. Dia sama sekali nggak melarangku kok.”
“Jadi kamu enak ya, Ly. Kalau suami aku, udah mulai melarangku kerja. Dia nggak suka aku kerja terus, pulang malem. Katanya kasihan sama Ezra, padahal di rumah ‘kan ada ART.”
“Aku turut sedih mendengarnya. Terus gimana? Kamu mau menuruti keinginan Mas Rudy?”
“Ya, terpaksa. Aku sudah mengajukan pengunduran diri, Ly. Paling satu sampai tiga hari lagi aku di sini.”
“Ini beneran?”
“Iya, Ly.”
“Aku nggak nyangka sih. Perlu aku bicara sama Mas Rudy soal ini? Aku nggak mau pisah sama kamu, Git.”
“Percuma, Ly. Dia mau aku fokus sama Ezra. Makasih loh kamu mau bantuin aku. Biarlah mungkin ini keputusan yang terbaik. Lagian di luar kita masih bisa ketemu. Nanti kamu bisa main ke rumahku.”
“Iya, juga. Nanti aku bakal main deh ke rumah kamu.”
“Oke, aku tunggu loh. Oh, iya pertanyaan aku tadi belum kamu jawab. Gimana semalam? Udah unboxing ?”
Aku memilih untuk menghindari pertanyaan itu. Aku segera masuk ke ruang ganti untuk berganti pakaian.
“Ly, kok malah masuk? Pertanyaannya belum kamu jawab!”
“Sorry, Git. Waktu kita sudah nggak banyak. Nanti dimarahin Pak Ryan.”
“Eh, iya waktunya sisa dua menit!”
To be continued … ©2024 WillsonEP
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
