Bisakah Aku Bahagia - Chapter 2

8
9
Deskripsi

Dunia Yemima serasa runtuh setelah ditinggal Nino di hari pernikahannya.

©2025 WillsonEP Seluruh hak cipta dilindungi undang-undang

Terbit : 7 Juni 2025 (Early Access), 14 Juni 2025 (Reguler)

Chapter 2 : Dunia Runtuh

Air mata Yemima mengalir deras saat ia berlari meninggalkan ruangan pemberkatan. Langkah kakinya semakin cepat, seolah ingin menjauh dari kenyataan pahit yang baru saja menghantamnya. Ia berlari hingga keluar dari gedung gereja. Di halaman gereja, Yemima melihat Pak Dandi—sopir mobil pengantin—tengah terlelap pada kursinya. Ia berjalan mendekat, membuka pintu mobil dengan tangan gemetar, kemudian segera membangunkan sopir tersebut.

“Eh, Non Mima. Ada yang ketinggalan, Non?” tanya Pak Dandi sedikit kaget dan masih setengah sadar.

Yemima menggeleng. “Pak Dandi bisa keluar sekarang? Saya mau pergi.”

Pak Dandi mengerutkan dahi. “Kok pergi, Non? Memangnya acaranya udah selesai?”

Yemima diam. Tatapannya kosong, tetapi sorot matanya cukup membuat Pak Dandi paham bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya. Pak Dandi beranjak dari kursinya, membiarkan Yemima mengambil alih kemudi. Yemima pun langsung menyalakan mesin mobil.

“Saya pergi ya, Pak,” pamit Yemima sambil melajukan mobilnya.

“Hati-hati, Non.”

Selang beberapa saat, Armand keluar dari gedung gereja dengan tergesa-gesa dan bingung. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru halaman gereja untuk menemukan keberadaan sang kakak. Melihat keberadaan Pak Dandi, Armand memutuskan untuk menghampirinya.

“Pak Dandi lihat Kak Mima nggak?”

“Oh, Non Mima. Tadi baru aja pergi naik mobil pengantin, Den.”

“Pergi ke mana?”

“Bapak juga kurang tahu, Den. Non Mima nggak bilang apa-apa.”

“Perginya ke arah mana ya, Pak?”

“Keluar gerbang, belok kanan.”

“Makasih infonya, Pak. Saya permisi dulu,” ujar Armand sambil beranjak menuju mobil lainnya.

“Pak Bejo, kita kejar Kakak saya sekarang. Keluar gerbang, belok kanan ya?”

“Baik, Den,” sahut Pak Bejo sambil menyalakan mesin mobil. Mobil yang dikendarai Pak Bejo mulai melaju meninggalkan area gereja.

Sementara itu, di sisi lain Yemima menyetir tanpa arah yang jelas. Gaun putih yang menjuntai dan mengganggu geraknya sama sekali tidak ia hiraukan. Mobil terus melaju melewati jalanan kota yang mulai gelap karena cuaca mendung.

“Kenapa kamu tega melakukan hal ini? Apa kamu nggak mikirin perasaan aku?”

Pertanyaan itu bergema berulang-ulang dalam pikirannya. Dengan geram, Yemima menginjak pedal gas lebih dalam. Mobilnya melesat cepat, meninggalkan mobil yang dikemudikan Pak Bejo yang sedari tadi berhasil mengekor dari kejauhan.

“Gimana nih, Den? Kita kehilangan jejak Non Mima. Non Mima nyetirnya ngebut banget,” ujar Pak Bejo cemas.

Armand menghela napas panjang. “Kita coba ikuti jalan saja, Pak. Siapa tau kita ketemu lagi sama mobil Kak Mima.”

“Baik, Den.”

Tanpa sadar, Yemima akhirnya tiba di sebuah taman—tempat yang selama ini selalu ia datangi saat pikirannya kalut. Hujan mulai turun perlahan ketika Yemima membuka pintu dan keluar dari mobil, membiarkan hujan membasahi rambut dan gaunnya. Pandangannya kini beralih ke bunga-bunga yang terpasang pada bagian depan mobil. Yemima segera beranjak menghampiri bunga tersebut, merobeknya, dan dilemparnya ke tanah.

“Nino sialan! Aku benci sama kamu!” umpatnya disusul dengan suara hak sepatunya menghantam bunga-bunga itu di tanah.

Yemima menangis sejadi-jadinya. Tangisnya tenggelam dalam deru angin dan gemuruh petir. Ia sama sekali tidak peduli dengan hujan yang mengguyur. Yemima tetap memasuki taman itu, duduk di bangku yang tersedia di tengah taman. Ia duduk dengan tubuh gemetar dan napas terengah.

Hujan turun semakin lebat dan angin mulai berhembus kencang. Yemima berusaha memeluk diri sendiri, menahan dingin yang begitu menusuk.

“Kamu jahat, Nino!”

Selang beberapa saat, tiba-tiba hujan di sekitar Yemima berhenti. Yemima langsung mendongakkan kepalanya perlahan dan mendapati seorang pria berdiri di sampingnya, memegang sebuah payung transparan yang meneduhinya dari derasnya hujan.

“Akhirnya aku berhasil temuin kamu, Mima. Kamu ngapain di sini hujan-hujanan, Mima?”

Yemima menatapnya nanar. “Arka … kamu di sini?”

“Ya, Mima? Aku di sini.”

“Bisa aku memelukmu? Aku butuh sandaran.”

“Tentu,” ujar Arka sambil mengambil posisi duduk di samping gadis itu.

Yemima langsung memeluk sahabatnya itu selama beberapa saat.

“Perasaanku sekarang benar-benar hancur. Udah hancur, malu juga. Para tamu undangan pasti bakal ngomongin kejadian ini dan berpikir macam-macam. Sepertinya aku udah nggak punya muka lagi di depan mereka semua.”

“Aku tau memang semua ini nggak mudah. Kamu nggak usah pikirin apa kata orang. Mereka nggak tau apa-apa soal kamu dan Nino.”

“Tetap saja, Ka.”

“Sudahlah nggak usah dipikirkan. Sekarang kita pulang ya? Aku antar kamu pulang.”

Yemima menggeleng.

“Aku butuh waktu, Ka. Aku nggak bisa ketemu siapa-siapa dulu.”

“Ya, udah gimana kalau kamu tinggal di apartemenku dulu untuk sementara waktu? Aku bakal pastiin nggak akan ada orang yang bisa ganggu kamu.”

“Hmm … aku takut ngerepotin kamu, Ka.”

“Nggak ngerepotin sama sekali. Kita pergi sekarang?”

Yemima menggangguk pelan. “Makasih, Ka.”

“Sama-sama.”

Arka mengulurkan tangannya, membantu Yemima berdiri dari bangku yang sudah tergenang air. Tubuh Yemima bergetar hebat, bukan hanya karena dingin, tapi karena luka emosional yang masih terasa sangat menyakitkan. Arka mengeratkan genggamannya. Mereka berjalan pelan menuju mobil Arka yang terparkir di pinggir jalan. Sesekali Arka melirik Yemima yang tetap diam, menunduk, dan memeluk tubuhnya sendiri.

Setibanya di mobil, Arka langsung menyodorkan Yemima handuk berukuran sedang yang selalu tersedia di mobilnya.

“Ini pakai handuk ini buat keringin rambut kamu.”

“Makasih, Ka. Kamu masih aja seperti dulu. Selalu sedia handuk di mobil,” ujar Yemima sambil tersenyum dan menerima handuk tersebut. Ia pun mulai mengeringkan rambutnya yang basah.

“Maaf, mobil kamu jadi basah begini.”

It’s okay, Mima. Kita berangkat sekarang ya?”

“Oke.”

Arka melajukan mobilnya dengan tenang, berusaha menjaga suasana agar tetap nyaman. Lagu instrumen lembut mengalun dari speaker, mengisi kekosongan di antara mereka. Hujan masih turun begitu deras. Sesekali Arka, melirik ke arah Yemima. Yemima terlihat memeluk handuk yang sudah agak lembab, pandangannya kosong memandangi jendela di sampingnya.

“Nino kamu di mana sekarang? Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa tadi kamu pergi meninggalkan aku?”

**

Mobil Arka telah tiba di basement sebuah apartemen berlantai dua belas di kawasan pusat kota. Setelah mobilnya terparkir, Arka langsung mengajak Yemima ke unitnya yang berada di lantai tujuh.

“Silakan masuk, Mima. Anggap aja rumah sendiri,” ujar Arka sambil melepas sepatunya.

“Kamu tunggu di sini sebentar ya? Aku ambil baju ganti dulu.”

Yemima mengangguk pelan. Ia melangkah masuk, menatap ruang tamu yang tertata rapi dengan warna-warna netral. Selang beberapa saat, Arka kembali membawa baju ganti.

“Ini ada baju ganti. Mungkin agak kebesaran, tapi yang penting bajunya kering dan kamu nggak kedinginan. Handuk bersih juga udah aku gantung di kamar mandi. Kamu bisa mandi air hangat dulu biar badan kamu nggak menggigil terus.”

Yemima menatap Arka sebentar, kemudian menggangguk pelan dan menerima pakaian ganti tersebut.

“Makasih, Ka. Kamar mandinya di sebelah mana?”

“Sama-sama. Kamar mandinya di sebelah sana.”

“Oke. Aku mandi dulu.”

Yemima beranjak memasuki kamar mandi yang ditunjukkan oleh Arka. Setelah masuk kamar mandi, Yemima segera menanggalkan gaun putihnya, kemudian mulai mengguyurkan air hangat pada tubuhnya. Di balik uap tipis yang memenuhi ruangan, Yemima memejamkan mata dan membiarkan air membawa serta rasa kecewa dan amarah yang masih melekat. Selesai mandi, ia mengenakan baju yang diberikan Arka. Benar, sedikit kebesaran, tapi lebih baik dibandingkan harus memakai gaun panjangnya yang basah kuyup.

Saat keluar, Yemima mendapati Arka tengah menyeduh dua gelas cokelat hangat.

“Udah beres mandinya?”

“Udah, Ka.”

“Gimana bajunya pas?”

“Kebesaran dikit, tapi nyaman kok.”

“Syukurlah. Ini aku buatin cokelat hangat buat kamu. Sini gabung, kita minum bareng.”

Yemima menggangguk, kemudian duduk di samping Arka yang mulai menyeruput secangkir cokelat hangat.

“Ayo, diminum nanti keburu dingin.”

“Iya, iya.”

Yemima menyeruput cokelat hangat pemberian Arka. Ia memejamkan matanya sejenak, membiarkan kehangatan cokelat itu merambat ke seluruh tubuhnya.

“Enak nggak?”

“Enak banget. Rasanya masih sama persis kayak dulu.”

“Siapa dulu yang buatnya. Arka.”

“Iya, deh. Kamu memang jago kalau soal ini. Makasih ya,” ujar Yemima sambil tersenyum kecil.

“Sama-sama. Aku senang bisa lihat kamu senyum kayak gini. Kamu pasti bisa melewati semua ini.”

“Hmm … habis ini aku ke bawah sebentar ya? Mau beli beberapa keperluan aku.”

“Oke, mau aku temenin?”

“Nggak perlu. Aku bisa sendiri.”

“Ya udah, kalau itu mau kamu. Habiskan dulu minuman kamu.”

“Iya, iya.”

To be continued … ©2025 WillsonEP. Bagaimana chapter kedua “Bisakah Aku Bahagia”? Tulis di kolom komentar ya. Jangan lupa tap Suka ♥️. Terima kasih sudah mampir. 😊

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Bisakah Aku Bahagia - Chapter 3
3
4
Yemima masih menanyakan apa alasan Nino meninggalkannya di hari pernikahan.©2025 WillsonEP Seluruh hak cipta dilindungi undang-undangTerbit : 14 Juni 2025 (Early Access), 21 Juni 2025 (Reguler)Free Voucher : ARKAARDIAN
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan